TRADISI MECANE SEBAGAI PENDIDIKAN KEDISIPLINAN LINTAS GENERASI (STUDI DI DESA NGIS MANGGIS KARANGASEM)
OLEH: NAMA : DEWA AYU SRI RATNANI NIP : 19670619199203 2 001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR 2014
ABSTRAK TRADISI MECANE SEBAGAI PENDIDIKAN KEDISIPLINAN LINTAS GENERASI (STUDI DI DESA NGIS, MANGGIS KARANGASEM) Dewa Ayu Sri Ratnani Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar Tujuan pendidikan sekarang adalah untuk menyeimbangkan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan karakter. Pendidikan karakter memiliki cakupan yang sangat luas. Melihat dari pengertian pendidikan karakter yang sedemikian luasnya, maka kurang bijaksana apabila upaya pembentukan karakter hanya dibebankan pada pihak sekolah. Diperlukan peran tambahan dalam upaya mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah pendidikan di masyarakat melalui berbagai macam kebudayaan lokal yang dimiliki, salah satunya adalah tradisi Mecane di Desa Ngis, Karangasem. Tradisi ini merupakan suatu upacara atau ritual perwujudan ketaatan,kedisiplinan.kesabaran,keikhlasan,dan kejujuran Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme, nilai pendidikan yang bisa didapat, dan tanggapan masyarakat tentang tradisi mecane.Penelitian ini adalah penelitian historis yang bertujuan mengungkap fakta mengenai suatu tradisi dari informan yang dipercaya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2014 bertempat di Desa Adat Ngis, Manggis, Karangasem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan narasumber ahli yaitu Jero Kubayan I Wayan Wita Raga dan I Kadek Satria, S.Ag selaku Sekretaris Lembaga Konsultan Upacara UNHI.Wawancara juga dilakukan pada warga Desa Ngis untuk mengetahui tanggapan masyarakat Desa Ngis dengan adanya tradisi Mecane ini.Hasil yang diperoleh adalah mekanisme dari upacara Mecane adalah sebagai berikut: mempersiapkan Cane yang ditaruh dibagian tengah dari Bale Agung tempat upacara mecane dilakukan, janggi dipasang di apit-apit Bale agung dan krama desa dan Prajuru desa duduk berhadap-hadapan. Setelah komando dari bendesa upacara mecane dimulai dan berakhir ditandai dengan habisnya air dalam janggi. Jika terjadi pelanggaran dibahas pada rapat krama desa. Nilai pendidikan dari tradisi mecane adalah warga desa diajarkan ketaatan, kedisiplinan, keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran demi persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dengan mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Dari hasil tanggapan warga desa terhadap tradisi Mecane, didapatkan hasil 60% warga menyatakan kesan bahwa tradisi Mecane sangat baik untuk dilakukan dan dilestarikan karena mengajarkan warga untuk mentaati aturan yang sudah dibuat dan dilaksanakan. Sedangkan sebanyak 40% warga merasa “terharu” saat melihat secara langsung tradisi Mecane. Simpulan dari penelitian adalah Nilai pendidikan dari tradisi mecane adalah warga desa diajarkan ketaatan, kedisiplinan, keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran demi persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dengan mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Dari hasil tanggapan warga desa terhadap tradisi Mecane, didapatkan hasil 60% warga menyatakan kesan bahwa tradisi Mecane sangat baik untuk dilakukan dan dilestarikan karena mengajarkan warga untuk mentaati aturan yang sudah dibuat dan dilaksanakan. Sedangkan sebanyak 40% warga merasa “terharu” saat melihat secara langsung tradisi Mecane.
Kata Kunci: Mecane, Pendidikan, Budaya Lokal
ABSTRACT THE MECANE TRADITION AS TRANS GENERATION DISIPLINARY EDUCATION Dewa Ayu Sri Ratnani The Studi Progress Of Biology Education The Faculty Of Teaching And Education University Of Mahasaraswati Denpasar At the present time the goal of education is to reach the balancies between mastering of sciences and character of human being. The character education has wide scope. If we take a look at the scope of character education, it is not fair if this burdon is given to the school only. It needs interfair from other parties such as society in whole through the local culture owned. Mecane tradition is one of local culture at Ngis village, district of Manggis, Karangasem regency. This tradition is a ritual ceremony as the reflection of adherence. Deciplinary. Patient, aboveboard or sincere and honesty. The purpose of this research is to know about mechanism , education value earned and the comment of the society about this tradition. This research in historical research to show or display about the fact of tradition from the believable resource person and. This research has been done on July 2014 at Ngis village district of Manggis Karangasem regency. The method applied is by interview to some resource person such as I Wayan Wita Raga and I Kadek Satria S.Ag as the secretary of ceremony colsultant of Hindu University of Indonesia also to some people of Ngis village. The result of this research is mechanism of Mecane tradition as follow; begun with preparing Cane put in the central of Bale Agung building where Mecane will be held. Janggi hang on at the” apit-apit” the wood under the roof of building and the participant of krama desa sit down facing to the leader of the village. Command is given by Bendesa ended after the water in the Janggi is finished. If there is a foul it will be decided in the next meeting of the krama desa. The education value of Mecane tradition is the people is leaded to adherence to be sincere, disciplinary, aboveboard, honesty, and patient in the reaching together to concencus. The comment of the people of Ngis as 60% of them said Mecane is very good to be maintained because this tradition teaching the people to exercise to role of law. 40% of them said compationate when they are watching this tradition held. Conclucion of the result of this research are as follow: The education value of Mecane tradition is the people is adherence to be sincere, disciplinary, aboveboard, honesty, and patient in the reaching together to concencus. The comment of the people of Ngis as 60% of them said Mecane is very good to be maintained because this tradition teaching the people to exercise to role of law. 40% of them said compationate when they are watching this tradition held
Keyword : Mecane, Education, Local Culture
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia merupakan sebuah sarana dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan menghasilkan manusia-manusia yang seutuhnya, memiliki pengetahuan luas yang disertai akhlak yang mulia. Pada kenyataannya, sekarang ini justru kebanyakan Pendidikan hanya memfokuskan tujuan belajar di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Namun, mulai melupakan karakter-karakter baik yang harus dikembangkan, seperti rasa hormat kepada guru, kecintaan pada lingkungan, menghargai keberagaman dan kedisiplinan, kejujuran serta keikhlasan(Anonim, 2009). Pada kenyataannya, tugas mendidik lebih banyak dibebankan pada sekolah. Sekolah diharapkan dapat menjadi tempat terbaik dalam upaya transformasi anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang kurang berbudi luhur menjadi berbudi luhur. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut maka diselenggarakan suatu bentuk pendidikan yang dapat membangun karakter di sekolah. Pendidikan nasional yang membangun karakter siswa merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga manjadi insan yang sempurna. Seperti yang telah diungkapkan oleh Koesoema tentang makna karakter yang dianggap sama dengan kepribadian, maka pendidikan karakter hampir sama pula dengan mengajarkan kepribadian (Admin, 2011). Menurut Yunus (2013) pembangunan karakter bangsa melalui budaya lokal sangatlah dibutuhkan. Pembangunan karakter bangsa dapat ditempuh dengan cara mentransformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa. Pentingnya transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa salah satunya adalah sebagai sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis.
Melihat dari pengertian pendidikan karakter yang sedemikian luasnya, maka kurang bijaksana apabila upaya pembentukan karakter hanya dibebankan pada pihak sekolah. Diperlukan peran tambahan dalam upaya mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah pendidikan di masyarakat melalui berbagai macam kebudayaan lokal yang dimiliki. Kearifan lokal merupakan perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003 dalam Ernawi, 2010). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007 Ernawi, 2010). . Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Ayatrohaedi, 1986). Bali salah satu provinsi di Indonesia telah dikenal sebagai tujuan wisata dunia karena keberagaman budayanya. Keberagaman budaya Bali berasal dari ritual dan tradisi penduduknya yang sangat beragam. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu sehingga banyak tradisi yang dilaksanakan masyarakatnya berlandaskan pada falsafah Hindu. Tradisi dan ritual yang beragam inilah yang dapat dijadikan sumber pembelajaran dan pendidikan di masyarakat. Salah satu diantaranya adalah tradisi Mecane yang dilaksanakan di Desa Ngis,Manggis, Karangasem.
Desa Ngis merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Karangasem, Bali. merupakan suatu desa yang kaya akan tradisi lokal yang tidak ditemukan di daerah lainnya di Bali. Salah satunya adalah tradisi
Mecane. Meskipun
perkembangan ilmu dan teknologi telah memasuki desa ini seiring globalisasi, namun masyarakatnya tetap memegang teguh dan melestarikan tradisi khas mereka.Keberadaan tradisi lokal di Desa Ngis ini tetap dilestarikan sebagai perwujudan rasa hormat masyarakatnya terhadap leluhur mereka. Rumusan Masalah 1.Bagaimana mekanisme pelaksanaan tradisi Mecane di desa Ngis Karangasem 2.Nilai pendidikan apakah yang dapat dipetik dari tradisi Mecane di desa Ngis Karangasem 3. Bagaimana tanggapan masyarakat desa Ngis terhadap tradisi Mecane Tujuan penelitian ini adalah : 1.Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan tradisi Mecane. 2.Untuk mengetahui nilai pendidikan yang dapat diambil dari tradisi Mecane. 3.Untuk mengetahui tanggapan masayarakat desa ngis terhadap tradisi mecane Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian historis. Menurut Mborasatonda (2012) penelitian historis adalah penelitian yang diarahkan untuk meneliti, menjelaskan dan mengungkapkan suatu fakta, kejadian atau peristiwa pada suatu wilayah atau objek penelitian secara kualitatif. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2014 bertempat di Desa Adat Ngis, Karangasem. Wawancara narasumber ahli juga dilaksanakan di Kampus Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Metode Pengumpulan Data Kegiatan dalam penelitian adalah merumuskan alat pengumpulan data sesuai dengan masalah-masalah yang diteliti. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
Wawancara Menurut Sedarmayanti dan Hidayat (2011 : 80) wawancara adalah metode yang dipakai untuk mengumpulkan data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara lisan, sistematis yang berlandaskan pada tujuan penelitian kepada para informan atau para narasumber yang mengetahui permasalahan tersebut. Wawancara ditujukan kepada pemuka adat di Desa Ngis, Karangasem yaitu pada “Jero Kubayan” I Wayan Wita Raga dan I Kadek Satria S.Ag selaku Sekretaris Lembaga Konsultan Upacara UNHI. Wawancara dilakukan dengan cara wawancara mendalam yaitu dengan menanyakan pertanyaan yang berpotensi menimbulkan pertanyaan baru. Wawancara dilakukan juga dengan warga desa Ngis untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap tradisi Mecane. Studi Literatur Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penilitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, seperti dari buku, dan media internet. Tahap ini dilaksanakan di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif, yang berupa jawaban dari informan berdasarkan pertanyaan yang diajukan. Sumber data dalam penelitian ini adalah : Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan atau narasumber yang memiliki pengetahuan dan berkorelasi dengan penelitian ini. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari pihak lain, berupa laporanlaporan, buku maupun catatan yang terkait dengan penelitian ini.
Metode Analisis Data Hasil yang diperoleh melalui metode wawancara dan studi pustaka selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Menurut Arrumidi(2006: 104) analisis
deskriptif
merupakan
metode
pengolahan
data
dengan
cara
menggambarkan dan menjabarkan hasil dalam bentuk uraian dan bentuk lain yang mendukung,guna mencapai kesimpulan. Sedangkan menurut Kuntjojo, (2009: 54)
kuantitatif adalah tabulasi data atau memasukkan data ke dalam diagram grafik yang telah disediakan, baik untuk data mentah maupun untuk menghitung data tertentu secara statistik. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Gambaran Umum Desa Adat Ngis, Karangasem Desa Ngis adalah desa adat yang berada di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Desa Ngis terbentuk sekitar tahun 1223 saka (Masehi: 1301) dengan beragam budaya khas. Desa Ngis memiliki beragam tradisi lokal yang unik, seperti dari tatanan kepemerintahan adatnya yang hanya diusung oleh 55 Kepala Keluarga (KK) yang jika berkurang, tidak dapat ditambah lagi (Kompri, 2013). Tradisi lokal di Desa Ngis tergolong unik karena belum tentu bisa ditemui di daerah lain di Bali. Beberapa tradisi unik Desa Ngis antara lain : Mebulu Miik, Mayah Petading,Mepetulus,Ngejero,Daha Malong,Ngelad, dan Mecane Mecane berasal dari kata Cane yaitu sejenis sesajen yang terbuat dari daun sirih,buah pinang, kapur sirih, gambir dan tembakau dihiasi bunga beraneka warna yang dipergunakan sebagai sarana dalam acara-acara “sangkepan” (pertemuan). Cane ini berfungsi untuk menyatukan
pendapat atau persepsi
seluruh warga untuk mencapai tujuan tertentu(mufakat). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan pemuka adat desa Ngis, Jero Kubayan I Wayan Wita Raga diketahui bahwa tradisi Mecane merupakan suatu ritual yang
merupakan rangkaian upacara piodalan di Pura
Desa dan Pura Puseh yang dilakukan satu tahun sekali pada sasih Karo sekitar bulan Agustus yang diselenggarakan pada waktu
tengah malam tepat pukul
00 wita, Upacara ini dilakukan oleh krama desa yang berjumlah 55 orang ditambah 4 orang prajuru desa yaitu Bendesa, Jero Kubayan, Jero Nyarikan, dan Pemangku Pura Puseh (semua laki-laki/ kepala keluarga).
Mekanisme Pelaksanaan Tradisi Mecane di Desa Ngis, Karangasem Sebelum upacara dimulai krama desa yang berjumlah 55 orang dengan 4 prajuru desa berkumpul di Bale Agung mempergunakan pakaian tradisional kain
berwarna putih dengan saput berwarna kuning dan destar warna putih dengan asesoris senjata keris di pinggang (telanjang dada). Krama desa yang bejumlah 55 orang duduk di Bale Agung menghadap ke arah utara sedangkan 4 prajuru desa menghadap ke selatan, jadi krama desa dan prajuru desa berhadap-hadapan. Tepat pukul 00 wita seluruh lampu penerangan di pura dan sekitarnya dipadamkan sehingga suasana menjadi hening. Keempat prajuru desa yang akan memimpin upacara mecane mencuci tangan yang hanya diterangi lampu “sembe”(lentera) dilakukan oleh seseorang yang disebut “Saye” . Selesai mencuci tangan sembe dipadamkan kemudian bendesa mengumumkan upacara mecane dimulai. Upacara ini
dilakukan dengan cara merenung selama kurang lebih 30 menit dengan
menggunakan jam tradisional yaitu sejenis bejana yang terbuat dari tempurung kelapa diisi air penuh dan dilubangi bagian bawahnya disebut Janggi. Janggi inilah digunakan sebagai pengukur waktu pelaksanaan upacara mecane, dan waktu mecane habis apabila air dalam janggi tidak menetes lagi. Karena suasana gelap gulita indikasi bahwa air dalam janggi sudah habis adalah suara tetesan air dari janggi yang jatuh ketempat penampungan air (baskom) tidak terdengar lagi. Selama berlangsung tidak boleh bergerak apalagi berpindah tempat duduk, tidak boleh bersuara bahkan batuk yang tidak sengaja. Apabila dilanggar pelakunya dikenakan denda yang besarnya akan diumumkan pada rapat krama desa. Pada saat mecane krama desa dan prajuru desa ini dituntut berjanji dalam hati untuk menjadi pelaksana tugas yang baik dan jujur, dan mengevaluasi diri terhadap tugas yang dibebankan kepadanya dan janji ini semata-mata merupakan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) dan leluhur. Mereka sangat percaya jika melanggar janji ini sanksi akan diterima langsung dari Ida Sang Hyang Widhi “separi sentana” (seluruh keturunannya). Suasana hening selama upacara ini berlangsung bahkan tidak terdengar suara binatang malam. Setelah 30 menit berlangsung, upacara mecane selesai dengan tanda bendesa mendehem/batuk terlebih dahulu yang diikuti oleh peserta yang lain kemudian lampu dinyalakan kembali. Setelah upacara mecane selesai diikuti oleh upacara lainnya sampai pagi hari.
Nilai-Nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Tradisi Mecane Berdasarkan hasil wawancara dengan Jero Kubayan, I Wayan Wita Raga dan dengan Sekretaris Lembaga Konsultan Upacara UNHI, I Kadek Satria S.Ag menyebutkan bahwa nilai pendidikan dalam suatu tradisi lokal dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu Pendidikan Tatwa, Pendidikan Etika, dan Pendidikan Upacara. Menurut Wardana, dkk (2002).Pendidikan Tatwa adalah merupakan nilai pendidikan berupa nilai filosofis dari suatu tradisi. Pendidikan Susila adalah perbuatan (karma) apa saja yang dianggap perbuatan baik dan Upacara adalah cara mengamalkan kedua unsur tadi kedalam suatu Upakara (yadnya).Tradisi Mecane secara filosofis memiliki makna sebagai pertanggungjawaban
setiap
krama desa tentang tugas yang dilakukan selama satu tahun apakah telah melaksanakan tugas dengan baik atau tidak dan janji kedepan untuk berbuat lebih baik. Dari sudut pandang Susila atau etika nilai pendidikan yang dapat dipelajari adalah tentang ketaatan, keikhlasan, dan kejujuran dalam melaksanakan tugas sebagai krama desa dan melalui tradisi ini pendidikan etika merupakan tata aturan kehidupan bermasyarakat yang pada intinya membahas perihal hukum agama. Mulai dari hukum dalam kehidupan sehari-sehari hingga hukum pidana (Kantaka Sodhana) dan hukum perdata (Dharmasthiya).
Nilai pendidikan dari tradisi
upacara mecane adalah warga desa diajarkan untuk taat, disiplin, jujur, ikhlas dan bersabar, serta dapat menahan diri demi persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dengan mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dimana musyawarah mufakat masih dianggap keputusan terbaik daripada keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak. Menurut hasil wawancara dengan peserta mecane, I Nengah sukardana menyatakan tradisi ini sebagai kewajiban moral, pendidikan disiplin diri dan keyakinan kepada Ida Sang Hyang Widhi, sebagai tolok ukur kemampuan diri sebagai krama
desa dan prajuru desa dalam mengemban tugas sebagai
penyelenggara desa, dan dapat menjadi contoh bagi warga masyarakat lainnya. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir selama
20 kali penyelenggaraan
upacara tidak pernah terjadi pelanggaran, ini berarti krama desa dan prajuru desa
memiliki komitmen yang tinggi untuk menjadi penyelenggara desa yang baik yang menjadi contoh bagi warga desa dan keturunannya.
Secara keseluruhan, ada banyak sekali pendidikan karakter yang dapat dipelajari melalui tradisi ini. Dengan adanya tradisi ini, maka anak-anak Desa Ngis dapat mempelajari dan mencontoh mengenai karakter baik yang harus dipelihara secara langsung dan dipertahankan, bukan hanya berupa teori seperti di sekolah saja. Tanggapan Masyarakat Desa Ngis Terhadap Keberadaan Tradisi Mecane Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Desa Ngis terhadap keberadaan tradisi Mecane, penulis melakukan wawancara dengan 20 orang warga desa, didapatkan hasil 60% warga menyatakan kesan bahwa tradisi Mecane sangat baik untuk dilakukan dan dilestarikan karena mengajarkan untuk mentaati aturan yang sudah dibuat dan dilaksanakan. Selain itu, karena tradisi ini merupakan suatu yadnya yang harus dilakukan dengan keiikhlasan hati, maka dapat menciptakan kepuasan batin dan perasaan tentram karena telah dapat mempersembahkan suatu upacara suci kehadapan Tuhan. Sedangkan sebanyak 40% warga merasa “terharu” saat melihat secara langsung tradisi Mecane terutama
yang terasa sangat hening detik-detik
menjelang akhir menunggu dengan harap-harap cemas apakah ada pelanggaran atau tidak karena warga ikut menyaksikan dari luar pura dan itu agak jauh dari areal pura hanya mendengar jika suaranya cukup keras tetapi jika suara pelan pasti hanya akan di dengar petugas di Bale Agung. Pada bagian ini, warga desa seolah diajak merefleksi diri untuk merenungi apa yang telah dilakukan selama ini terkait dengan disiplin dan ketaatan, keikhlasan, kejujuran dan kesabaran. Ritual ini sangat khusuk sehingga banyak warga yang merasa harus turut melakukannya dari luar areal pura sembari menyaksikan jalannya upacara mecane ini.
Simpulan Dan Saran Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Mekanisme dari upacara sangat singkat tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Mekanismenya adalah sebagai berikut:
Dimulai dengan mempersiapkan Cane yaitu sesaji yang terbuat dari rangkaian daun sirih lengkap dengan buah pinang, kapur sirih, gambir dan tembakau dihiasi berbagai macam bunga harum yang ditaruh dibagian tengah dari Bale Agung tempat upacara mecane dilakukan, janggi dipasang di apit-apit Bale agung dan krama desa dan Prajuru desa duduk berhadap-hadapan. Setelah komando dari bendesa upacara mecane dimulai dan berakhir ditandai dengan habisnya air dalam janggi sebagai pengukur waktu. Jika terjadi pelanggaran akan ditentukan sanksinya kemudian dalam rapat krama desa. 2. Nilai pendidikan dari tradisi upacara mecane adalah warga desa diajarkan untuk taat, disiplin, ikhlas, jujur, bersabar, dan dapat menahan diri demi persatuan
dan
kesatuan
dalam
hidup
bermasyarakat
dengan
mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. 3. Wawancara dengan 20 orang warga desa, didapatkan hasil 60% warga menyatakan kesan bahwa tradisi Mecane sangat baik untuk dilakukan dan dilestarikan karena mengajarkan untuk mentaati aturan yang sudah dibuat dan dilaksanakan. Sedangkan sebanyak 40% warga merasa “terharu” saat melihat secara langsung tradisi Mecane Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah : Sebaiknya tradisi Mecane yang menjadi tradisi lokal ini perlu tetap dilestarikan agar warga dapat belajar ketaatan, kedisiplinan, kejujuran, keikhlasan dan kesabaran.
Daftar Pustaka Admin. 2011. Pendidikan Karakter Bagi Siswa SMP. (Terdapat di: http://my-itb.com/tentang-pendidikan-karakter-bagi-siswasmp/. Diakses pada: 03. 12. 11) Anonim. 2009. Dampak pendidikan karakter terhadap akademi anak (Terdapat di: http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologianak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/. Diakses pada: 06.12.11) Anonim, tt . Awig-Awig Desa Adat Ngis. Arrumidi, 2006. Metodologi Penelitian. Penerbit: Gajah Mada University Press. Diakses pada 09.07.2013 Ayatrohaedi. 1986. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Halaman 1. Diakses: 03.02.2013 (Terdapat di: dgiindonesia.com/.../menggalikearifanlokalnusantara1.pdf) Ernawi. 2010. Harmonisasi Kearifan Lokal Dalam Regulasi Penataan Ruang. Halaman 2. Terdapat Di: penataanruang.pu.go.id/.../SinkronisasiKearifanLokal_3004 Terdapat di Diakses: 03.02.2013) Mborasatonda. 2012. Metode Historis (Terdapat http://dhimazmborasatonda.blogspot.com/2012/06/metodologipenelitian-eksotik-sambori.html Diakses pada: 03.02.2013)
di:
Kuntjojo, 2009. Metodologi Penelitian. Penerbit:Universitas Nusantara PGRI Kediri. Diakses pada: 09.07.2013 Sedarmayanti dan Hidayat, 2011. Metodologi Penelitian. Penerbit: Mandar Maju. Diakses pada: 09.07.2013 Wardhana, Wigama, Krisna, 1999. Buku Pelajaran Agama Hindu Untuk SLTP Kelas I. Diakses pada: 10.07.2013 Yunus,
2013. Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo). eJournal Penelitian Pendidikan,Vol. 14 No. 1: 65. Diakses pada: 10.07.2013