SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
TRADISI CERITA LISAN DALAM KOMUNITAS TIONGHOA DI TUBAN : MERANGKAI SERPIHAN MASA LAMPAU YANG TERLUPAKAN G.M. Adhyanggono Fakultas Sastra Unika Soegijapranata
ABSTRAKSI Banyak hasil penulisan yang menganggap interaksi tatap muka masih merupakan bentuk komunikasi utama manusia. Berangkat dari hal diatas, amatlah menarik mengamati komunitas masyarakat Tionghoa di kota Tuban sebagai buah dari migrasi besar bangsa Cina ratusan tahun yang lalu. Budaya tutur inilah yang menarik untuk diteliti dalam studi ini adalah tentang keberadaan dan bentuk cerita lisan (oral narratives) in masyarakat Tionghoa di Tuban, apa fungsinya dan bagaimana dilestarikan. Inilah yang menarik penulis untuk melakukan studi folklor ini. Dengan teknik interview kepada para narasumber yang diperoleh lewat purposive sampling dan observasi, beberapa temuan layak untuk diperhatikan. „Kepunahan‟ cerita lisan yang di masyarakat Tionghoa Tuban disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Efek dari kebijakan politik tentang adat istiadat keturunan Cina yang muncul pada jaman pemerintahan Soeharto lewat Instruksi Presiden no. 14/1967; 2) Ketidaktertarikan generasi muda terhadap hal-hal yang bersifat tradisional karena bagi kebanyakan anak muda, tradisi sudah tidak punya arti lagi; 3) Kenyataan bahwa kebanyakan dari kaum Tionghoa adalah pedagang dimana tekanan ekonomi mengharuskan mereka bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan masalah-masalah yang berhubungan dengan budaya apalagi menjalankan tradisi yang ada; 4) Agama baru yang dianut oleh orang-orang Tionghoa yang cenderung mempertanyakan praktekpraktek kepercayaan tradisional; 5) Pendidikan modern terutama mulai dari pendidikan dasar hingga menengah yang secara umum tidak mendukung perkembangan cerita-cerita rakyat/lisan baik itu cerita-cerita lokal, apalagi untuk cerita-cerita Tionghoa. Kata kunci: tradisi lisan, legenda, mitos, lokal, migratoris, apresiasi
PENDAHULUAN Pada banyak bangsa dan etnis didunia ini baik yang tergolong yang belum mengenal tulisan (illiterate), yang sudah mengenal tulisan tetapi lebih menekankan bentuk lisan (non-literate), dan bahkan yang sudah lebih menekankan bentuk tulisan (literate), tradisi lisan (termasuk di dalamnya cerita-cerita rakyat), boleh dikata memegang peranan yang tidak kecil. Bagi kelompok masyarakat yang pertama dan kedua, tradisi lisan menjadi begitu signifikan dikarenakan fungsinya untuk menanggung beban besar meneruskan dan melestarikan kebudayaan mereka. Sedangkan pada kelompok masyarakat
terakhir, fungsi tersebut lebih banyak diperankan oleh tradisi tulis. Dengan kata lain, tradisi lisan pada masyarakat ini bersifat melengkapi. Namun demikian tradisi lisan tetap penting dikarenakan mengandung unsur interaksi tatap muka. Banyak hasil penulisan yang menganggap interaksi tatap muka masih merupakan bentuk komunikasi utama manusia. Media komunikasi yang lain seperti bentuk tulis dan elektronik dalam beberapa hal hanya bersifat menggantikan „bentuk‟ tatap muka ini. Berangkat dari hal diatas, amatlah menarik mengamati komunitas masyarakat Tionghoa di kota Tuban sebagai buah dari
1
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
migrasi besar bangsa Cina ratusan tahun yang lalu. Keberadaan oral narratives, atau dalam istilah Dananjaya (1997) disebut cerita prosa rakyat lisan/folklor boleh jadi telah melekat pada komunitas awal Tionghoa di Tuban. Budaya tutur inilah yang menarik untuk diteliti dalam tulisan ini adalah tentang keberadaan dan bentuk cerita lisan (oral narratives) in masyarakat Tionghoa di Tuban, apa fungsinya dan bagaimana dilestarikan. Inilah yang menarik penulis untuk melakukan studi folklor ini. Hal ini dianggap penting karena ada dugaan bahwa boleh jadi keberadaan cerita lisan dalam masyarakat tersebut semakin diabaikan. MASYARAKAT TIONGHOA DI TUBAN Berbicara tentang orang Tionghoa sebagai salah satu etnis dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia alangkah bijak apabila menghubungkannya dengan asal usul sebagian besar penduduk asli Indonesia. Alasan yang paling mendasar adalah dari hasil penulisan antropologi diketahui bahwa ras Indonesia terdiri dari empat bagian: Negrito, Wedda, Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Dua golongan terakhir termasuk dalam ras Mongoloid yang berasal dari daerah Cina bagian selatan, Yunnan. Migrasi golongan Proto Melayu dari Yunnan ke Nusantara terjadi 1500 SM, sedangkan golongan Deutero Melayu terjadi 200-300 SM. Keturunan dari Melayu Tua antara lain suku Dayak di Kalimantan dan suku Batak di Sumatera Utara. Keturunan dari Melayu Muda adalah suku Jawa, Bali, Bugis, Makasar, Ternate dan Minangkabau. Hasil penulisan lain yang mendukung fakta di atas adalah studi folklor itu sendiri. Terdapat adanya kesamaan dalam hal adat
istiadat antara suku Yueh di Tiongkok selatan dan Melayu purba. Kesamaan tersebut tampak pada upacara potong rambut, bertelanjang kaki, mencacah kulit, berkumis pendek, dan bergigi hitam akibat mengunyah sirih. Berdasarkan catatan sejarah Tionghoa sendiri, mereka telah mengenal Nusantara mulai 1-6 SM, yakni pada masa Dinasti Han. Kala itu mereka menyebut Nusantara sebagai Huang-tse. Kedatangan orang-orang Tiongkok untuk berdagang dan tinggal di Indonesia dimulai pada abad IX, dalam masa Dinasti Tang. Migrasi tersebut menjadi semakin intens pasca ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke Indonesia dan pasca jatuhnya Dinasti Ming ke Dinasti Ch’ing (Mancu). Puncak atau gelombang besar migrasi orang Tionghoa dari Tiongkok (bagian tengah dan selatan utamanya) terjadi pada abad XIX dan permulaan abad XX. Dari segi tinjauan sejarah, keberadaan orang-orang Tionghoa untuk pertama kali di Tuban tidak secara pasti dapat diketahui. Namun berdasarkan catatan Krom yang diperolehnya dari berita-berita para penulis Cina, Tuban sudah dikenal sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Bahkan “konon” menurut de Graaf (1986) dan MeilinkRoelofsz (1962) balatentara Mongol (Dinasti Yuan) di bawah pimpinan Ip-Shieh mendarat di Tuban untuk menghukum Kertanegara dari Singasari atas perbuatannya yang menghina utusan Khu Bi-Lai Khan. Boleh jadi sisa-sisa prajurit Mongol yang telah berada di Tuban dan setelahnya rombongan Laksamana Cheng Ho yang “konon” juga dikabarkan mengunjungi Tuban serta peristiwa sejarah Chineesche Moord di Batavia 1740 membuat perkembangan komunitas Tionghoa di Tuban semakin besar. Dari perdagangan dengan etnis lokal, pendirian bangunan berasitektur Cina dari
2
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Klenteng hingga Mesjid, penyebaran agama dari Budha, Islam dan Kristen, hingga keterlibatan mereka dalam kancah politik lewat Partai Tionghoa Indonesia, orang-orang Tionghoa tidak sedikit menyumbangkan perannya. Namun yang menjadi ironis adalah ketika keberadaan mereka dengan segala budaya yang dibawanya mengalami resistensi secara politis, kultur, ekonomis dan sosial oleh etnis-etnis lain maupun oleh pemerintah sejak dari zaman VOC, Hindia Belanda, Orde Lama dan Orde Baru (dan hingga sekarang?). Setelah lebih dari tujuh tahun Indonesia masuk ke era reformasi akan lebih sangat tragis manakala proses persingunggan (baca: assimilasi dan integrasi) etnis Tionghoa dengan etnisetnis lain masih dipandang dan disikapi dengan kecurigaan rasial. TRADISI CERITA LISAN: “DIBUANG SAYANG DISIMPAN JANGAN” Dari studi, penulis mendapatkan kenyataan bahwa cerita lisan sudah punah. Yang tinggal kalaupun ada hanyalah cerita lisan yang dikemas dalam cerita wayang Potehi dalam rangkaian ulang tahun (sinjit) kelenteng. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh beberapa kisah yang dapat dikategorikan sebagai cerita lisan. Cerita-cerita tersebut adalah: 1. Tik Jing, Kwee Cu Gie, Pui Sie Giok 2. Riwayat Sie Jin Kui 3. Pertarungan Dewa-Dewa atau Hong Sin 4. Han Wei Sing 5. Asal-Usul Kelenteng Kwan Sing Bio 6. Kapiten Liem Pek Thok 7. Riwayat Keluarga Cheng 8. Cin Si Ong Yang Kejam
9. Menteri Jie Hok Mencari Obat Awet Muda 10. Sing Khek Kelontong 11. Bao Kong menghukum keluarga yang kebal hukum 12. Asal-Usul Pat Kwa Setelah mendapatkan cerita-cerita di atas, langkah berikutnya adalah membuat klasifikasi. Klasifikasi meliputi bentuk cerita, motif-motif cerita, dan asal-usul cerita. Dan dari hasil pengklasifikasian, penulis mendapatkan kenyataan bahwa bentuk-bentuk cerita di atas termasuk kedalam kategori mitos (myth), dan legenda (legend). Klasifikasi bentuk cerita tersebut didasarkan kepada beberapa parameter seperti mitos yang dikategorikan oleh William R. Bascomb dan legenda oleh Jan Harold Brunvand. Untuk mengidentifikasi motif cerita, klasifikasi didasarkan pada kategori Stith Thompson, sedangkan untuk asal-usul didasarkan pada Alan Dundes. Dari 14 buah cerita di atas, ternyata bentuk-bentuknya meliputi mitos dan legenda. Mitos-mitos yang diperoleh berupa dewa-dewi ataupun binatang suci/keramat. Untuk legenda, jenisjenisnya adalah legenda perseorangan dan legenda setempat, meskipun yang paling banyak adalah legenda perseorangan. Motif-motif ceritanya pun beranekaragam. Sementara itu dari segi asal usul 5 cerita merupakan legenda lokal, artinya tumbuh dan dikenal di Tuban, sedangkan lainnya berasal dari Tiongkok. Hal lain yang patut disimak adalah ternyata dari 14 cerita tersebut tidak ada satupun yang memiliki struktur utuh atau paling tidak mendekati utuh seperti diutarakan Axel Olrik yaitu: hukum pembukaan (the law of opening), hukum dua tokoh dalam satu adegan (the law of two to a scene), hukum keadaan
3
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
berlawanan (the law of contrast), hukum anak kembar (the law of twin), hukum pentingya tokoh yang keluar pertama dan terakhir (the law of importance of initial and final position), hukum satu pokok cerita dalam suatu cerita (the law of the single strand), hukum penggunaan adeganadegan tablo (the law of the use of tableux scenes), hukum logika legenda (the law of the sage), hukum kesatupaduan rencana cerita (the law of the unity of the plot), hukum pemusatan pada tokoh utama dalam cerita itu (the law of the concentration on a leading character). Dengan kata lain bahwa seluruh cerita tersebut dalam keadaan rusak (broken myths and legends). Seperti diungkapkan sebelumnya, cerita lisan bagi masyarakat Tionghoa di Tuban sudah dianggap punah, malah ada yang beranggapan tidak ada. Tentunya kondisi ini mempunyai raison d’ètre (sebab untuk ada). Hal ini dapat diketahui seperti diungkapkan oleh seorang narasumber, misalnya, yang mengatakan bahwa dikarenakan tradisi Tionghoa sekarang sudah banyak berubah, maka cerita lisan/rakyat pun yang kebanyakan berjalan „mengiringi‟ tradisi turut berubah pula. Kalau untuk saat ini sudah berubah banyak ya…Kalau 30 tahun yang lalu sebelum Orde Baru ya tradisi Tionghoa-nya masih kental. ... Apalagi sejak orde barukan dengan tekanantekanan dan sebagainya, tradisi sudah banyak ditinggalkan. Seolah-olah tradisi itu mencerminkan ke-Cina-an itu berbahaya ... Itu dimana-mana. Terlebih-lebih setelah dikaitkan dengan G30S, dimana PKI itu dianggap bekingnya Cina, lebih-lebih BAPERKI itu perkumpulan Cina itu dianggap terlibat...sehigga ketakutan mereka. Sampai saat ini orang-orang Tionghoa masih trauma.
Dengan demikian maka cerita lisan/rakyat yang berfungsi sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam juga mengalami perubahan. Secara komunal cerita rakyat bagi mereka tidak lagi berfungsi sebagai alat pendidik; bukan pula proyeksi keinginan terpendam, apalagi protes sosial; namun lebih sekedar alternatif hiburan nostalgia atau juga memuaskan rasa ingin tahu. Cerita lisan/rakyat di kalangan keluarga Tionghoa di Tuban boleh dikatakan tidak mempunyai peran. Ditengarai hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah kenyataan historis bahwa orang-orang Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara, khususnya Jawa, sangat beragam latar belakangnya. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum dinasti Ching banyak kaum pedagang yang datang ke Asia Tenggara, termasuk Jawa. Tuban adalah salah satu pelabuhan tertua yang mengadakan kontak dagang dengan Cina. Sedangkan pada masa dinasti Ching, khususnya abad 18-19 dikarenakan banyaknya pemberontakan dan perang dengan kongsi-kongsi dagang asing (Eropa dan Amerika), gelombang migrasi yang terjadi disebabkan oleh kelaparan, peperangan, tekanan, dan ancaman hukuman akibat perubahan orientasi politik kekaisaran. Oleh karena itu banyak dari mereka yang datang tidak memiliki pendidikan yang cukup dan miskin. Fakta historis di atas ternyata didukung oleh para narasumber yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka datang ke pulau Jawa karena desakan ekonomi, dan umumnya mereka laki-laki muda yang berasal dari keluarga miskin yang tidak mempunyai pengetahuan cukup perihal tradisi dan cerita lisan/rakyat. Ketika mereka menikah dengan perempuan Jawa,
4
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
kondisinya adalah bahwa laki-laki perantauan tersebut tidak mengetahui secara pasti tradisi Tionghoa yang berkaitan dengan kaum perempuan, maka tradisi yang dipergunakan adalah tradisi Jawa untuk masalah ”kewanitaan”, mengikuti istri-istri mereka. Kondisi ini boleh jadi turut mendukung terciptanya sistem matrilokaal bilokaal disamping sistem patrilokaal yang merupakan tradisi asli keluarga Tionghoa di Tiongkok. Hasilnya yang unik adalah budaya campuran dalam keluarga-keluarga tersebut. Oleh sebab itu apa yang dulu pernah mereka lakukan di Tiongkok lambat laun memudar. Faktor kedua adalah perpindahan agama. Mereka yang sebelumnya menganut aliran-aliran tradisional (agama rakyat) di Tiongkok seperti Konfusianisme, Taoisme dan Mahayana Budhisme (Sam Kauw Hwee) dan pindah ke Islam, Kristen Protestan dan Katolik cenderung mempertanyakan praktekpraktek keagamaan yang tradisional mulai dari tingkat lingkungan sosial terkecil dalam keluarga hingga masuk ke lingkungan pendidikan. Kenyataan ini juga didukung oleh narasumber pertama yang mengatakan bahwa perpindahan dari agama tradisional ke agama lain membuat pudarnya tradisi yang dulu pernah dijalankan. Faktor ketiga adalah masalah yang berkaitan dengan faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang dimasud di sini adalah kondisi ekonomi yang sulit yang menyebabkan orangtua harus bekerja ekstra keras sehingga perhatian kepada halhal yang bersifat tidak menguntungkan terabaikan. Sang ayah yang secara tradisional bertindak sebagai the breadwinner, pencari nafkah, bekerja siang dan malam; sementara ibu berada di rumah
mengurus anak. Kondisi ini menyebakan anak-anak mereka, yang disebut Jiaoshen atau peranakan, jauh lebih dekat ke ibu ketimbang ke ayah. Maka konsekuensinya adalah anak-anak mendapatkan nilai-nilai ajaran, tradisi dan kebiasaan yang lebih cenderung ke Jawa ketimbang ke Tionghoa. Narasumber pertama bahkan mengatakan cukup tegas bahwa kebanyakan orang Tionghoa itu tahunya cari duit untuk makan, bisnis dan jual-beli itu hanya dianggap bisnis. Mereka tidak memikirkan kalau memiliki perhatian dan pengetahuan tentang budaya Tionghoa bisa juga menguntungkan. Mengenai faktor ekonomi tersebut, Berkowits juga mengatakan bahwa akibat tekanan ekonomi yang mengharuskan orangtua bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak ada waktu lagi untuk menjalankan tradisi yang ada. Faktor keempat adalah pendidikan modern. Pendidikan modern membuat orang akan dengan mudah menganggap bahwa cerita-cerita lisan dan tradisi pada umumnya tidak berfaedah, kuno dan membuang-buang waktu. Indikasi ini dapat dilihat pada animo peminat wayang Potehi di Tuban. Menurut narasumber pertama, manakala ada pertunjukan wayang Potehi di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban, penonton yang datang kebanyakan malah dari penduduk sekitar yang etnis Jawa; sedangkan orang-orang dari etnis Tionghoa jarang sekali yang ikut menyaksikan. Kalaupun ada hanyalah mereka yang kebetulan selesai bersembahyang di kelenteng, dan itupun tidak rutin. Orangorang cenderung memilih untuk mencari hiburan lain yang lebih modern dan menarik. Hal ini sebetulnya tidak begitu mengherankan apabila menilik kebelakang pengakuan dari semua narasumber bahwa
5
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
pengetahuan mereka tentang cerita-cerita rakyat itu sangat terbatas. Keterbatasan itu disebabkan sejak awal tidak diperkenalkan pada cerita-cerita rakyat lewat media bertutur (lisan), dalam lingkup keluarga mereka. Kalaupun ada yang mengetahui cerita-cerita tersebut banyak diantaranya yang diperoleh dari membaca entah itu buku, majalah atau surat kabar dan juga dari menonton wayang Potehi seperti. Dari penjelasan di atas tampak bahwa aktifitas membaca dan menonton pertunjukkan wayang Potehi merupakan cara untuk mengenal cerita-cerita lisan. Tentu pada awalnya mereka tidak begitu paham bahwa apa yang mereka baca ataupun lihat meski telah beralih bentuk pada mulanya berangkat dari cerita lisan. Dari hasil wawancara dengan para narasumber, semua menyatakan tidak mengetahui kapan tepatnya cerita-cerita tersebut mulai dikenal dikalangan mereka. Secara umum mereka memberikan suatu indikasi (dugaan) bahwa sejak kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara dan pulau Jawa khususnya berabad-abad silam yang disambung dengan migrasi besar pada masa kolonialisme Belanda terutama dari abad 19 hingga awal abad 20, ceritacerita lisan Tionghoa juga „dibawa serta‟. Hal ini tentu berlaku untuk cerita-cerita yang bersifat migratoris, artinya yang berasal dari Tiongkok. Merekapun mengetahuinya juga karena membaca literatuur-literatuur sejarah kedatangan para perantau Tionghoa. Namun untuk cerita-cerita yang bersifat lokal mereka tidak mengetahui secara pasti. Terlepas dari apakah para narasumber menyimpulkan hal ini sebagai akibat hasil membaca literatuur-literatuur sejarah, yang jelas hal ini adalah pernyataan yang mereka ungkapkan.
Dari segi tinjauan sejarah, keberadaan orang-orang Tionghoa untuk pertama kali di Tuban juga tidak secara pasti dapat diketahui. Namun berdasarkan catatan Krom yang diperolehnya dari berita-berita para penulis Cina, Tuban sudah dikenal sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Dikatakan pula bahwa menurut de Graaf (1986) dan Meilink-Roelofsz (1962) balatentara Mongol (Dinasti Yuan) di bawah pimpinan Ip-Shieh mendarat di Tuban untuk menghukum Kertanegara dari Singasari atas perbuatannya yang menghina utusan Khu Bi-Lai Khan. Boleh jadi sisa-sisa prajurit Mongol yang telah berada di Tuban dan setelahnya rombongan Laksamana Cheng Ho yang “konon” juga dikabarkan mengunjungi Tuban serta peristiwa sejarah Chineesche Moord di Batavia 1740 boleh jadi membuat keberadaan cerita lisan/rakyat Tionghoa pada komunitas Tionghoa di Tuban semakin tampak. Terlepas dari dibukukannya cerita-cerita lisan tersebut atau bahkan diangkat ke layar kaca atau bahkan film, dari segi penyampaian yang masih mempertahankan unsur „lisan‟-nya adalah wayang Potehi. Wayang Potehi merupakan satu-satunya bentuk kesenian tradisional Tiongkok yang secara langsung masih berfungsi sebagai sarana hiburan rakyat sebetapapun menyedihkan kondisi pertunjukkan maupun peminatnya. Memang persinggungan yang terjadi adalah hubungan antara suatu pertunjukkan dengan penontonnya yang terjadi oleh banyak faktor. Namun layak pula disimak bahwa sekarang kebanyakan dalang wayang Potehi yang ada berasal dari suku Jawa. Ini berarti bahwa wayang Potehi seberapapun kecil telah berhasil diterima masyarakat Jawa. Kondisi ini tentu tidak perlu diperbandingkan dengan wayang kulit yang memang merupakan
6
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
kesenian pertunjukkan tradisional „asli‟ Jawa. Dari para narasumber, semua „sepakat‟ bahwa tradisi lisan di dalam keluarga Tionghoa tidak ada. Tradisi lisan tersebut tidak hanya mengenai cerita-cerita rakyat tetapi bahkan juga tradisi yang berkaitan dengan ritual kepercayaan. Menurut penuturan narasumber pertama dan kedua, satu-satunya tradisi Tionghoa yang masih berlaku dan banyak dipraktekkan oleh hampir semua keluarga apapun agama mereka sekarang adalah Jing Bing, ziarah ke makam leluhur. Jing Bing biasa dilaksanakan setiap tanggal 4 hingga 5 April. Namun cerita apa dibalik ritual Jing Bing ini juga tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan mereka melaksanakan hal itu berdasarkan argumen penghormatan terhadap leluhur. Bagi yang menganut keyakinan tradisional Tiongkok, seperti Konfusianiesme, Taoisme dan Budhisme memang menganggap tradisi tersebut sebagai bagian dari ritual keagamaan mereka, namun bagi mereka yang sekarang telah berkeyakinan lain menganggap tradisi tersebut sebagai hal yang manusiawi dimana unsur penghormatan terhadap leluhur dan kenangan terhadap orangorang yang (pernah) dicintai lebih ditekankan. Selain Jing Bing tradisi lain yang masih juga dilaksanakan adalah Tang Jik, sembahyang ronde pada setiap tanggal 22 Desember. Tidak ada yang tahu juga cerita apa dibalik tradisi ini. Yang jelas sebagian umat kelenteng melaksanakan ritual ini. Karena ritual ini sangat berhubungan dengan Konfusianisme, maka mereka yang telah beragama lain tidak pernah merayakan Tang Jik. Selain Jing Bing dan Tang Jik, tradisi yang masih dijalankan di Tuban adalah perayaan-perayaan utama Kalender Tionghoa seperti Sincia (Imlek),
Cap Go Meh atau King Tik Kong. Tentang tradisi keagamaan yang masih ada dijalankan, narasumber keempat menambahkan bahwa upacara kematian secara tadisional dengan membakar bendabenda kesayangan orang yang meninggal masih dilaksanakan oleh mereka yang masih memegang kepercayaan kuno. Sedangkan bagi yang sudah beralih agama maka ritual tersebut sudah jarang bahkan hampir tidak dilaksanakan. Meskipun diakui bahwa banyak cerita lisan/rakyat dan tradisi sekarang ini tidak berkembang terutama dalam masyarakat Tionghoa sendiri, ada upaya-upaya dilakukan oleh pengurus kelenteng untuk membuat tradisi-tradisi tersebut tidak hilang sama sekali. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah pertama, setiap sin-jit Kwan Sing Tee Koen selalu diusahakan menampilkan pertunjukkan Potehi; kedua, memberikan pemahaman keagamaan yang benar lewat kegiatan-kegiatan pendalaman aliran-aliran yang ada (Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme); ketiga memberikan pengajaran Bahasa Mandarin bagi umat dan anggota keluarganya yang tertarik; keempat, selalu melaksanakan perayaan-perayaan pada ritual-ritual penting kelenteng; kelima, adanya rencana untuk mendirikan perpustakaan di dalam kelenteng guna menambah pengetahuan tentang budaya Tionghoa bagi anggota umat; keenam, adanya pembuatan reliefrelief yang mengandung tema cerita rakyat Tiongkok, seperti Pat Sian, Ciang Cu Gee, dan rencananya kisah Sam Kok yang terdiri dari 130 episode lebih yang berpusat pada kepahlawanan Kwan Kong. KESIMPULAN DAN SARAN Cerita lisan dalam bentuknya sebagai media tutur yang bersifat mendidik di komunitas Tionghoa Tuban (sudah) tidak
7
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
ada. Adapun cerita lisan yang ada pada pertunjukan wayang Potehi yang secara berkala diselenggarakan oleh pengurus kelenteng Kwan Sing Bio tidak lebih memberikan fungsi hiburan „nostalgia‟ atau juga memuaskan rasa ingin tahu semata pengunjung kelenteng ataupun masyarakat sekitarnya. Perubahan fungsi diatas disebabkan oleh bebera faktor, yaitu: faktor historis, faktor perpindahan agama, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan modern. Tidak diketahui kapan tepatnya ceritacerita tersebut mulai dikenal dikalangan komunitas Tionghoa Tuban. Secara umum mereka memberikan suatu indikasi (dugaan) bahwa sejak kedatangan orangorang Tionghoa ke Nusantara dan pulau Jawa khususnya berabad-abad silam yang disambung dengan migrasi besar pada masa kolonialisme Belanda terutama dari abad 19 hingga awal abad 20, cerita-cerita lisan Tionghoa juga „dibawa serta‟. Hal ini tentu berlaku untuk cerita-cerita yang bersifat migratoris, artinya yang berasal dari Tiongkok. Merekapun mengetahuinya juga karena membaca literatuur-literatuur sejarah kedatangan para perantau Tionghoa. Namun untuk cerita-cerita yang bersifat lokal mereka tidak mengetahui secara pasti. Terlepas dari apakah para narasumber menyimpulkan hal ini sebagai akibat hasil membaca literatuur-literatuur sejarah, yang jelas hal ini adalah pernyataan yang mereka ungkapkan. Persinggungan yang terjadi antara cerita lisan/rakyat Tionghoa dengan penduduk lokal tampak dapat dilihat pada setiap pertunjukan wayang Potehi. Adalah hubungan antara sebuah pertunjukkan dengan penontonnya yang terjadi pada saat itu. Namun layak pula disimak bahwa
sekarang kebanyakan dalang wayang Potehi yang ada berasal dari suku Jawa. Ini berarti bahwa wayang Potehi seberapapun kecil telah berhasil diterima masyarakat Jawa. Ada beberapa upaya „pelestarian‟ cerita-cerita yang ada dalam masyarakat Tionghoa yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa itu sendiri, terutamanya, mereka yang aktif di kelenteng. Upaya tersebut antara lain adalah: lewat Wayang Potehi, meskipun dalang yang ada sangat sedikit, dan lewat memberikan pemahaman keagamaan yang benar lewat kegiatankegiatan pendalaman aliran-aliran yang ada (Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme). Hendaknya budaya Tionghoa pada umumnya, terutama cerita lisannya dapat diperkenalkan dan ditumbuhkan secara lebih apresiatif serta mendapat perhatian dari terutamanya pihak komunitas Tionghoa itu sendiri, pemerintah, dan masyarakat luas. Bentuknya dapat bermacam-macam, antara lain: pertama, pendokumentasian cerita-cerita lisan yang ada ke dalam bentuk tulis (trans-literasi), dan bila perlu dalam bentuk audio visual; kedua, pendirian sebuah “museum kecil” di Tuban yang berisikan salah satunya hasil pendokumentasian di atas. Koleksi cerita Tionghoa “Anak Negeri” dalam bentuk teks maupun audio-video bersama dengan koleksi pakaian-pakaian adat Tionghoa, kebaya encim, foto-foto Tionghoa Tuban Tempo Doeloe dan furniture kuno khas Tionghoa dapat dipajang di dalamnya disertai alunan lembut yang kim yang dapat menciptakan suasana khas Tionghoa. Keberadaan museum kecil ini dapat menjadi obyek wisata dan studi budaya di KotaTuban.
8
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
REFERENSI Adhyanggono, Riyandari dan Rahardjo. 2005. Tradisi Cerita Lisan Dalam Komunitas Tionghoa di Pecinan Semarang. Hasil penelitian Pusat Studi Urban Universita Katolik Soegijapranata Semarang. (tidak diterbitkan) Adhyanggono, dan Riyandari. 2006. Tradisi Cerita Lisan Dalam Komunitas Tionghoa di Lasem. Hasil penelitian Fakultas Sastra Universita Katolik Soegijapranata Semarang. (tidak diterbitkan) Al Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Press Amos, Dan-Ben, “Folktale” dalam Bauman, Richard.. 1992. Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments. New York: Oxford University Press. AS, Marcus. 2002. Hari-Hari Raya Tionghoa Jakarta: Marwin. Berkowitz, M.I. 1975. The Tenacity of Chinese Folk Tradition. (Occasional Paper) July. No.33. Singapore: Institute of South East Asian Studies (ISEAS) Choy, Lee Khoon. 1976. Indonesia Between Myth and Reality. London: Nile & Mackenzie. Daldjoeni, N.. 1991. Ras-Ras Umat Manusia: biogreografis, kulturis, sosiopolitis. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Fox, Martin Stuart. 2003. A Short History of China and South-East Asia: Tribute, Trade and Influence. New South Wales: Allen & Unwin. Goody, Jack. “Oral Culture” dalam Bauman, Richard.. 1992. Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments. New York: Oxford University Press. Hariyono, Paulus. 1994. Kultur Jawa dan Cina: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural. Jakarta: Pustaka sinar Harapan. Hok Ham, Ong. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Lohanda, Mona. 2002. Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 18901942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
9
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 1, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Pigeaud, Th. G. Th. 1960-1963. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History The Negarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365. A.D. The Hague: Martinus Nijhoff. Purcell, Victor. 1965. The Chinese in South-East Asia 2nd ed. London: Oxford University Press. Setiono, Benny G.. 2003. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES Suryadinata, Leo. “Buddism and Confucianism in Contemporary Indonesia” dalam Tim Lindsey dan Helen Pausacker. 2005. Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting. Australia: Monash University Press. Taylor, Jean Gelman. “The Chinese and the Early Centuries of Conversion to Islam in Indonesia” dalam Tim Lindsey dan Helen Pausacker. 2005. Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting. Australia: Monash University Press Thompson, Stith. 1965. Motif-Index of Folk Literature, Vol. I-VI. Blomington: Indiana Univ. Press Wibowo, I. 1999. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
10