Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PERANAN TRADISI LISAN DALAM UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN; STUDI EKOLOGI BUDAYA GOA NGERONG RENGEL TUBAN Role Of Oral Tradition To Conserve Environmental: Study On Ecological Culture Ngerong Cave Rengel Tuban 1)
Moh. Fathul Hidayat, 2)Endang Fardiansari PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE (UNIROW) TUBAN e-mail :
[email protected] Hp : 081335222330 PRODI PENJASKESREK FKIP IKIP BUDI UTOMO MALANG e-mail :
[email protected] Hp :081330490713 Abstrak Warisan tradisi lisan bangsa Indonesia tidak semata mata sebagai suatu kekayaan budaya, tetapi juga memiliki peranan dalam praktik-praktik sosial budaya masyarakat. Salah satu peranan tersebut adalah turut serta dalam upaya pelestarian lingkungan. Bagaimanakah model penelitian yang relevan untuk itu? Bagaimanakah implementasinya dalam penelitian di lapangan? Tradisi lisan, dan lingkungan, merupakan konstruksi teoritis yang akan dibangun menggunakan pendekatan ekologi budaya, dimana model tersebut diimplementasikan dalam bentuk penelitian yang menimbulkan fenomena pelestarian lingkungan di desa Rengel, kabupaten Tuban. Simpulan yang didapat adalah: (1) tradisi lisan, dan lingkungan, dapat menjadi model alternatif dalam kaitannya dengan penelitian Ekologi Budaya; (2) peranan tradisi lisan sangat penting dalam upaya pelestarian lingkungan; dan (3) Tradisi lesan merupakan bentuk penguatan pembangunan ekologi masyarakat. Kata kunci: ekologi budaya, tradisi lisan, pelestarian. Abstract Inheritance of the oral tradition of the Indonesian nation is not solely as a cultural property only, but also has a role in the socio-cultural practices of the community. One of these roles is participating in efforts to conserve the environment. How is relevant research model for it? How is its implementation in research in the field? oral tradition, and the environment, is a theoretical construction which would be built with the cultural ecology approach, the model is implemented into the study of environmental preservation in the village Unexplained Rengel, Tuban regency, as research objects. The conclusions obtained are: (1) the oral tradition, and the environment, can be an alternative model in relation to research Cultural Ecology; (2) the role of oral tradition is very important in the preservation of the environment; and (3) the oral traditionis a form of strengthening ecological construction community . Key word: ecological culture, oral traditions, preservation. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan tradisi lisan sebagai warisan kebudayaan masa lalu. Hal itu dilatarbelakangi oleh geografi kewilayahan, keanekaragaman etnik, dan karakteristik masyarakatnya. Pertama, negara Indonesia bersifat pluralistik, yang beraneka ragam etnik, bahasa, budaya, dan tradisinya. Kedua, negara Indonesia sebagai negara kepulauan, yang dengan sendirinya mengembangkan 242
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
kebudayaan daerahnya masing-masing, yang dipisahkan oleh lautan. Ketiga, corak kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris dan tradisional, yang secara mentalitas dan ideologis masih terdapat jejaknya hingga sekarang, juga memicu perkembangan tradisi lisan itu. Tradisi lisan tersebut tidak semata sebagai wacana budaya lokal, tetapi juga sebagai media untuk pendidikan, sosialisasi nilai-nilai, dan identitas kelokalannya. Berbicara tentang tradisi lisan tentu berangkat dari konsep folklor. Folklore menurut Danandjaja (1994:2), adalah: sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Menurut Danandjaja foklore dibagi menjadi tiga bagian , yaitu, pertama folklore lisan (verbal folklore), yaitu folklor yang bentuknya murni lisan misalnya bahasa rakyat seperti logat dan dialek. Kedua, folklore sebagian lisan (partly verbal lisan), yaitu campuran antara unsur lisan dan unsur non-lisan, semisal kepercayaan rakyat, pesta rakyat, adat istiadat. Ketiga adalah folklore bukan lisan (non-verbal lisan), yaitu folklore yang bentuknya bukan lisan atau dalam bentuk cerita misalnya gerak isyarat tradisional, musik rakyat (1994:21-22). Namun demikian, kekayaan tradisi lisan akan segera punah apabila tidak dimanfaatkan bagi kehidupan masyarakat, sebagaimana fungsinya sebagai media pendidikan, sosialisasi nilai-nilai, dan identitas kelokalan, Pefungsian itu akan sekaligus dapat menjamin kelestriannya. Pertanyaan strategis dalam hubungannya dengan hal tersebut adalah, bagaimana memanfaatkan fungsitradisi lisan itu bagi kehidupan masyarakat. Di sisin yang lain, Indonesia juga memiliki latar belakang geografis yang menarik dan berpotensi sebagai lingkungan ekologi yang sehat, hijau, komersial, dan alamiah. Kawasan hutan yang luas, gunung dan pegunungan yang banyak tersebar di setiap pulau, kawasan lautan yang dominan, keanekaragaman flora dan fauna, dan kekayaan alam yang lainnya, merupakan kekayaan di atas geografi negara Indonesia. Kekayaan akan potensi alam tersebut perlu dibudidayakan dan dilestarikan untuk kepentingan masyarakat. Pertanyaan strategis sehubungan dengan hal tersebut adalah, bagaimana melestarikan lingkungan alam tersebut dalam rangka membangun lingkungan ekologi yang sehat, hijau, komersial (pariwisata), dan indah. Pertanyaan yang berkaitan dengan kekayaan tradisi lisan dan geografi negara Indonesia, di atas dapat dihubungkan dalam satu pertanyaan, bagaimanakah tradisi lisan yang kaya dan beraneka ragam tersebut dimanfaatkan bagi program pelestarian lingkungan alam yang sehat, hijau, komersial, dan indah. Pertanyaan tersebut semakin relevan dewasa ini mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki andil terhadap kerusakan lingkungan yang berakibat langsung pada kelangsungan hidup masyarakat. Adanya relasi manusia, masyarakat, dan alam merupakan proposisi, baik dalam disiplin ilmu sosiologi, kebudayaan, maupun ekologi, yang tak terbantahkan. Hubungan ketiganya dapat dijelaskan dalam konteks multidimensional, tergantung sudut pandang yang diambil. Dalam disiplin sosiologi, hubungan ketiganya dipandang saling mempengaruhi untuk membentukan struktur sosial dan perkembangannya. Dalam dimensi kebudayaan, hubungan ketiganya dijelaskan dalam rangka pembentukan cipta, rasa, dan karya, dalam bentuk kebudayaan sebagai pedoman dan penuntunan kesadaran dan 243
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam dimensi ekologi, hubungan ketiganya dipandang sebagai saling mempengaruhi dalam rangka pelestarian, pembangunan, pembudidayaan alam semesta sebagai habitat manusia dan masyarakatnya. Ketiga dimensi di atas dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin, tetapi juga dapat diintegrasikan sebagai pendekatan interdidipliner untuk memahami suatu fenomena. Pendekatan yang mengintegrasikan ketiga dimensi tersebut secara multidisipliner digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena kebudayaan, yaitu tradisi lisan sebagai unsur budaya (folklor) dalam kaitannya dengan ekologi masyarakat pemiliknya. Pendekatan tersebut terangkum dalam konsep dan landasan yang disebut dengan Ekologi Budaya. Fokusnya adalah, bagaimanakah suatu tradisi lisan memiliki kekuatan untuk memedomani dan menuntun masyarakat pemiliknya dalam pelestarian ekologi. Tulisan ini terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) merumuskan premis-premis ekologi budaya sebagai suatu pendekatan; dan (2) implementasi pendekatan ekologi budaya dalam studi kasus terhadap tradisi lisan masyarakat di kabupaten Tuban, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan. Dengan kedua tahap kajian tersebut, tulisan ini diharapkan dapat merumuskan model penelitian yang dapat digunakan dalam rangka upaya-upaya pembangunan, pembudidayaan, dan pelestarian lingkungan alam sebagai habitat (ekologi). TRADISI LISAN DAN EKOLOGI BUDAYA SEBAGAI PENDEKATAN 1. Tradisi Lisan Berbicara tentang tradisi lisan harus dimulai dari pembahasan tentang folklor. Istilah folklorberasal dari dua kata, yaitu folk dan lor. Folk menurut Dundes adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan khusus, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain (dalam Dananjaya, 002:1). Sedangkan lor adalah sebagian tradisi yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan, melalui contoh atau alat bantu mengingat (Dananjaya, 2002-1-2). Dengan demikian, folklor adalah tradisi suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, jenis folklore menurut Danandjaja dibagi menjadi tiga bagian penting, yaitu,pertama, folklore lisan (verbal folklore), yaitu folklor yang bentuknya murni lisan seperti misalnya bahasa rakyat, seperti logat dan dialek. Kedua, folklore sebagian lisan (partly verbal lisan), yaitu campuran antara unsur lisan dan unsur non-lisan, semisal kepercayaan rakyat, pesta rakyat, adat istiadat. Ketiga adalah folklore bukan lisan (non-verbal lisan), yaitu folklore yang bentuknya bukan lisan atau dalam bentuk cerita seperti misalnya gerak isyarat tradisional, musik rakyat (1994:21-22). Menurut Dorson (1963), terdapat dimensi yang melekat dalam tradisi lisan, yaitu: (1) kelisanan, (2) kebahasaan, (3) kesastraan, dan (4) nilai budaya. Sedangkan Dananjaya (dalam Sukatman, 2009: 5) mengemukakan delapan ciri yang melekat dalam tradisi lisan, yaitu:pertama, penyebaran dan pewarisannya bisa dilakukan dengan lisan, yakni dari mulut ke mulut dengan contoh, isyarat, atau alat bantu mengingat; kedua, bersifat tradisional, yakni berbentuk relatif dan standard; ketiga, bersifat anonim; keempat, mempunyai varian dan versi berbeda; kelima, mempunyai pola berbentuk; keenam, mempunyai kegunaan bagi 244
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
kolektif tertentu; ketujuh, menjadi milik bersama suatu kolektif; dan delapan, bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasaratau terlalu sopan. Dananjaya (2002) mengutip pendapat William R. Bascom, seorang ilmuwan dari Amerika, mengemukakan empat fungsi tradisi lisan. Pertama, tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) angan-angan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan. Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Keempat, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Sukatman, 2009: 7-8). Sedangkan Ong (1989) mengemukakan sembilan yang melekat dalam kelisanan primer, yaitu: (1) aditif, yaitu gaya penuturan disesuaikan dengan pendengarnya; (2) agregatif, yakni menggunakan ungkapan yang bersifat menyatukan kelompok (kolektif) tertentu; (3) redudan, yaitu menggunakan ungkapan yang diulangulang dan terasa berlebihan yang tujuannya untuk memudahkan pemahaman dan tetap diingat; (4) konservatif, yakni memegang teguh nilai tradisional; (5) dekat dengan dunia kehidupan manusia; (6) agonistik, yakni menjaga agar pengetahuan dan tradisi tetap kompetitif dengan pengetahuan dan tradisi baru; (7) empatetis-partisipatori, yakni belajar atau mengetahui dalam masyarakat tradisi lisan berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama; (8) homestatik, artinya masyarakat budaya lisan berusaha membangun keseimbangan hidup; dan (9) situasional, yakni bahwa dalam masyarakat budaya lisan konsep-konsep yang berlaku lebih bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak. 2. Ekologi Budaya sebagai Pendekatan Penelitian Ekologi Budaya terhadap lingkungan masyarakat telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang ada memiliki tujuan yang bermacam-macam, seperti: pelestrian, pembudidayaan, kepariwisataan, konservasi lingkungan, dan pembangunan habitat masyarakat yang sehat dan alamiah. Salah satu hasil penelitian yang kiranya relevan untuk dikemukakan di sini adalah penelitian Puja Astawa, dkk (2002) tentang ―Pola Pengembangan Pariwisata Terpadu Bertumpu Pada Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah‖. Berdasarkan penelitian itu dirumuskan beberapa temuan dalam rangka pengembangan objek wisata: (1) potensi ekologis yang terdiri dari ekologi persawahan, perkebunan, hutan, sungai, mata air dan pegunungan; (2) potensi sosial budaya dari berbagai aspek kehidupan budaya petani masyarakat pedesaan; (3) revitalisasi dan konservasi kebudayaan lokal, yang ditandai dengan dibangkitkannya kembali berbagai jenis tradisi yang belakangan ini semakin terancam keadaannya, serta semakin mantap dan terpeliharanya keberadaan lembaga subak yang sangat penting artinya bagi ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan setempat; (4) meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap pemeliharaan dan penyelamatan peninggalan budaya masa lalu; (5) pengelolaan pariwisata subak dilakukan melalui kerjasama terpadu antara masyarakat sebagai pemegang peran sentral, pengusaha pariwisata sebagai mitra usaha dan pemerintah sebagai fasilitator dan sekaligus sebagai control terhadap pengembangan pariwisata setempat. Temuan penelitian yang berorientasi pada pembangunan daerah wisata berdasarkan pemberdayaan masyarakat di atas, mengarahkan cara pandang yang berangkat dari potensi 245
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
sosial budaya dan konservasi budaya lokal bagi lingkungan. Hal itu oleh Kaplan dijelaskan dalam kerangka Teori Adaptasi, yaitu proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungan. Perubahan yang terjadi terhadap lingkungan, baik yang bersifat cepat maupun lambat, akan direspon oleh manusia dengan cara beradaptasi terhadap perubahan itu. Walaupun seringkali manusia tidak berhasil mengadaptasikan dirinya terhadap perubahan itu, sehingga menghasilkan sifat (perilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan (Kaplan, 2000: 112). Susilo (2008)mengatakan bahwa penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan lokal tradisional, karena ia membantu penyelamatan lingkungan. Hal ini sesuai dengan teori ekologi budaya yang dikemukakan oleh Steward, bahwa lingkungan dan budaya tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi merupakan campuran (mixed product) yang berproses lewat dialektika. Keduanya memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia tetapi pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan (dalam Efendi, 2011:165-168). Model penelitian Ekologi Budaya mengintegrasikan konsep-konsep dalam disiplin Ekologi dan budaya. Kurniawan mengemukakan, ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi Budaya (http://awan80.blogspot.com/2008/07/pengertian-ekologi-budaya-oleh.html, unduh 20 Oktober 2012). Lebih lanjut dikemukakan Kurniawan,suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya berdaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan kedua, sebagai konsep adaptasi sistemik, perhatian terhadap cara institusi-institusi dalam suatu budaya baradaptasi dan saling menyesuaikan diri. Ekologi budaya menyatakan bahwa diperlukannya prosesproses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan, dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa tradisi lisan dimiliki secara kolektif. Artinya, tradisi lisan tersebut tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memiliki pemahaman, praktik-praktik sosial budaya, dan dalam konteks yang sama. Dalam kerangka pembicaraan tentang kearifan lokal, Ridwan (2007: 6-7), mengutip pendapat Sarlito Wirawan, mengatakan kearifan lokal mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama mengenai sesuatu. Pemahaman bersama mengenai sesuatu itu terbentuk dari proses yang sama pula di mana mereka berinteraksi dalam lingkungan yang sama. Pemahaman yang sama mengenai sesuatu ini dapat terjadi karena pada dasarnya setiap lingkungan pasti memiliki setting tertentu mengenai hubungan-hubungan ideal kelompok mereka. Setting inilah sebenarnya yang menjadi ruh dari tingkah-laku masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan Ridwan, menurut teori Human Ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan tingkah-laku. Lingkungan dapat mempengaruhi tingkah-laku atau sebaliknya, tingkah-laku juga dapat mempengaruhi lingkungan. Penekanan teori ini adalah adanya setting dalam lingkungan. Lingkungan 246
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
tersusun atas struktur-struktur yang saling mempengaruhi di mana dalam struktur-struktur tersebut terdapat setting-setting tertentu pula. Satu hal yang menarik dari teori ini adalah pengakuan adanya set tingkah-laku (behavioral setting) yang dipandang sebagai faktor tersendiri dalam sebuah interaksi sosial. Set tingkah-laku yang dimaksud di sini adalah set tingkah-laku kelompok (bukan tingkah-laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu). Set tingkah laku ini muncul sebagai respon dari kondisi lingkungan yang ada. Dengan demikian,hubungan timbal balik antara manusiadengan lingkungan ekologinya, dalam kerangka penelitian ini, dipahami sebagai bentuk interaksi dalam suatu setting tingkah laku. Implementasinya dalam bentuk model interaksi antara manusia, tradisi lisan, dan lingkungan, yang dijadikan landasan metodologi penelitian ini. Manusia secara kolektif, berperilaku sehari-hari didasari atas pemikiran, tanggapan, keyakinan, dan persepsi yang dituntun oleh tradisi lisan untuk merespon lingkungan ekologinya. Respon tersebut dipahami sebagai kesadaran untuk menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan itu. Model penelitian tersebut dijelaskan aspek-aspeknya berdasarkan teori-teori folklor dan teori ekologi, sebagaimana dikemukakan di atas. Aspek-aspek yang terkandung dalam variabel dijelaskan berdasarkan teori budaya dan teori ekologi, yang keduanya terintegrasikan ke dalam Teori Ekologi Budaya. Teori-teori Folklor yang dikemukakan oleh beberapa ahli budaya dapat menjelaskan aspek-aspek yng berhubungan dengan variabel tradisi lisan. Sedangkan aspek-aspek variabel pelestarian lingkungan ekologi dijelaskan berdasarkan teori ekologi. Keduanya terkonstruksikan ke dalamsuatu model kajian ekologi budaya. Jika skemakan akan tampak sebagaimana berikut ini: Aktivitas manusia
Persepsi tanggapan Pemikiran Keyakinan
Lingkungan ekologi
Tradisi Lisan sebagai bagian dari budaya
Upaya pelestarian lingkungan ekologi
Menjaga Merawat Skema 1 Melestarikan
247
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
3. Peranan Tradisi Lisan dalam UpayaPelestarian Lingkungan ekologi. Model penelitian sebagaimana skema di atas, tentu membutuhkan peran informan, secara enkulturasi penuh, sebagai sumber data penelitian, di samping catatan-catatan lapangan hasil dari pengamatan. Berdasarkan data-data yang terkumpul, dapat diperoleh pemahaman mengenai setting tingkah laku masyarakat yang diteliti dalam kaitannya dengan tradisi lisan dan lingkungan yang dimilikinya. Selanjutnya model tersebut diimplementasikan dalam penelitian terhadap beberapa kelompok masyarakat di kabupaten Tuban. Sebagai penelitian pendahuluan, diambil kasus yang menunjukkan kecenderungan keberhasilannya dalam melestarikan lingkungan, yang didorong oleh tradisi lisan yang ada di daerah itu, yaitu Pelestarian Goa Ngerong di Desa Rengel, Kab. Tuban.. 4. Implementasi Pendekatan Ekologi Budaya dalam Kajian Tradisi Lisan Peranan Tradisi Lisan bagi Pelestarian Goa Ngerong di Desa Rengel, Kab. Tuban Goa Ngerong merupakan tempat wisata yang banyak dikunjungi wisatawan, baik berasal dari daerah kabupaten Tuban maupun daerah lainnya. Tempat wisata alam tersebut memiliki beberapa potensi, seperti: goa yang dapat dimasuki dengan perahu sepanjang 1,5 km, sungai yang jernih dan bersih untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari masyarakatnya, dan keindahan panorama yang menarik bagi pengunjungnya. Namun demikian, ciri khas yang jarang ditemui di tempat lain adalah kekayaan ikan yang melimpah dari dalam sungai yang mengalir dari dalam goa. Dari dahulu sampai sekarang, kekayaan ikan tersebut tidak pernah berkurang. Di samping itu, pelestarian goa tersebut terjaga sehingga tak ada sedikit pun tangan-tangan manusia yang berusaha meninggalkan jejak dan merusaknya. Adakah sesuatu yang menyebabkan goa Ngerong tersebut terjaga hingga sekarang? Dari beberapa informan penulis mendapat informasi tentang mitos yang melingkupi goa Ngerong tersebut. Mitos tersebut secara turun temurun diyakini masyarakat setempat dan menuntun mereka mengaplikasikannya dalam praktik-praktik sosial budayanya. Dua mitos yang masih diyakini dan dipercaya tersebut adalah sebagaimana berikut. 1) Mitos yang bersumber dari legenda goa Ngerong. Menurut legenda, goa Ngerong muncul karena kesaktian Sunan Bonang, salah satu Wali Sanga yang tinggal di daerah Tuban, ketika menolong seorang perempuan yang baru melahirkan (data wawancara dengan Biranto, laki-laki, pensiunan guru, 60 th, Jawa.Wawancara tgl. 6 Okrober 2001, pewawancara Suhariyadi, 42 th. dosen, Jawa). 2) Mitos tentang ikan yang ada di dalam goa Ngerong. Menurut mitos tersebut, siapapun yang mengambil ikan dari dalam goa dan memakannya, akan meninggal atau mengalami kejadian yang tidak diharapkan (data wawancara dengan Biranto, laki-laki, pensiunan guru, 60 th, Jawa.Wawancara tgl. 6 Okrober 2001, pewawancara Suhariyadi, 42 th. dosen, Jawa). 3) Mitos bahwa goa Ngerong merupakan sebuah tempat rapat para wali dalam rangka syi‘ar agama Islam di pulau Jawa (data wawancara dengan Sarip, laki-laki, pensiunan polisi, 66 th, Jawa.Wawancara tgl. 1 Agustus 2001, pewawancara Suhariyadi, 42 th. dosen, Jawa). Ketiga mitos tersebut hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat Rengel, kabupaten Tuban. Keyakinan tersebut menempatkan goa Ngerong 248
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
tidak saja telah mendatangkan sumber mata pencarian bagi mereka, tetapi juga menempatkannya sebagai situs sejarah yang berkaitan dengan seorang tokoh yang telah berjasa dalam pengembangan agama Islam. Sunan Bonang atau nama aslinya Makhdum Ibrahim, juga dimakamkan di Tuban yang sampai sekarang makamnya menjadi situs dan tempat ziarah bagi masyarakat muslim dari daerah–daerah di Indonesia.Bagi masyarakat Tuban, khususnya masyarakat Rengel, Sunan Bonang merupakan sosok yang dijunjung tinggi, baik karena jasanya dan peninggalannya, yaitu karya sastra suluk (sastra sufi). Dengan demikian, peranan ketiga mitos tersebut sangat penting dalam usaha pelestarian goa Ngerong. Peranan tersebut tampak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu menempatkan goa Ngerong sebagai tempat keramat sebagai peninggalan seorang tokoh yang selama ini dijunjung tinggi. Nilai-nilai tersebut kemudian menuntun dan memedomani masyarakat untuk menjaga kelestariannya. Dan dampaknya adalah, keberlangsungan ketercukupan sumber air bagi pertanian dan kebutuhan sehari-hari, serta sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sebagai tempat pariwisata. Kesimpulan Tradisi lisan tidak semata sebagai kekayaan warisan budaya masa lalu, tetapi juga memiliki peranan dalam usaha-usaha pelestarian ekologi. Tradisi lisan tersebut memberikan pedoman, penuntunan, dan pemikiran bagaimana masyarakat harus beraktivitas dalam kaitannya dengan lingkungannya. Dalam kerangka pemikiran tentang ekologi budaya, bagaimana tradisi lisan terebut diberikan peranan yang lebih dalam program pembangunan ekologi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, dengan menerapkan model penelitian ekologi budaya, muncul temuan-temuan sebagai berikut. 1) Tradisi lisan telah membuktikan peranannya untuk turut serta dalam pelestarian dan pembangunan ekologi. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya penguatan terhadap tradisi lisan tersebut. 2) Upaya penguatan terhadap tradisi lisan dalam rangka pelestarian ekologi, sekaligus berdampak pada pelestarian tradisi lisan itu. Hal itu merupakan alternatif bagi program pelestrian budaya lokal sebagai kekayaan budaya bangsa. 3) Diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan menjangkau wilayah penelitian yang lebih luas lagi, untuk menemukan model-model interaksi antara manusia, budaya, dan lingkungan. Model-model tersebut selanjutnya akan bermanfaat bagi perumusan program kebijakan tentang ekologi masyarakat sebagai habit, di samping pengembangan keilmuan. DAFTAR PUSTAKA Albert A, David Kaplan, Hari, Dr. 2002Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anwar, C. dan HendraGunawan.2006. PerananEkologisdan SosialEkonomisHutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. ProsedingEsposhasil-hasilPenelitian PUSLITBANG HutandanKonservasi SDA. Bogor. Bronfenbrenner, U., Morris, P. A. (1998).The Ecology of Developmental Processes. In W. Damon. 249
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Dahler, Franz, Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Dananjaya, J. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Tama Grafiti Press. Efendi, Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS, dalam Jurnal Sekolah Pascasarjana UPI, Edisi Khusus, No. 2, Agustus 2011. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kaplan, David and Albert Manners. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kurniawan, Pengertian Ekologi Budaya, http://awan80.blogspot.com/2008/07/ pengertianekologi-budaya-oleh.html, diunduh 20 Oktober 2012. Poerwanto, Hari, Dr. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ridwan, Nurma Ali, 2002. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, dalam Jurnal Ilmiah P3M STAIN Purwokerto,Ibda, Vol. 5, No. 1, Jan-Jun 2007, hlm. 27-38. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: CitraWacana Sukatman, 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia; Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
250