“TRADISI PERJODOHAN DALAM KOMUNITAS PESANTREN” (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren) SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DEDI MUHADI NIM: 1111044200012
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( AHWAL SYAKHSIYYAH ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2015 M
ABSTRAK
DEDI MUHADI.
NIM:
1111044200012. TRADISI
PERJODOHAN
DALAM KOMUNITAS PESANTREN (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x +70 halaman dan lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tadisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga Pondok Buntet Pesantrendan faktor apa saja yang menjadi alasan para keluarga kyai Pondok Buntet Pesantren menjodohkan anak-anaknya. Dalam skripsi ini penulis menggunakan menggunakan jenis penelitian kualitatif. dengan metode Riset Kepustakaan (library reseach) dan riset lapangan (field riseach). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebiasaan menjodohkan anak-anaknya di kalangan keluarga kyai pondok Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi yang turun temurun hingga saat ini, perjodohan adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang mana menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Perjodohan menjadi momok di masyarakat, bahwa pernikahan melalui perjodohan tidak akan harmonis dan langgeng karena terdapat unsur pemaksaan. Tetapi perjodohan di keluarga pesantren khususnya di keluarga Buntet Pesantren menggunakan konsep perkawinan endogami dengan cara ditawarkan tanpa ada pemaksaan, selain itu walaupun keluarga kyai melangsungkan pernikahan melalui perjodohan, mereka tetap harmonis dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
Kata Kunci
: Perkawinan, perjodohan, pesantren,kyai.
Pembimbing
: Drs. H. Hamid Farhi, MA
DaftarPustaka
: Tahun 1958 s.d 2015 KATA PENGANTAR
ِﺑِﺴْ ِﻢ اﻟﻠﱠﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿْﻢ Dengan mengucapkan paja dan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan taufiq dan hidayah selalu merahmati seluruh hamba-Nya dengan kasih sayang. Shalawat beriringan salam saya haturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta kaum muslimin yang selalu mengikuti jejaknya hingga akhir zaman. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak/Ibu, terutama: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syaarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga, dan Arip Puqon, M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Drs. H. Hamid Farihi, M.A. Dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Dosen pembimbing akademik dan seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.tidak lupa juga kepada staf perpustakaan dan karyawan. 5. Kedua orang tua Apa H. Hafiz dan Umi Hj. Sri Mulyati,yang selalu memberikan doa, pengorbanan dan dorongan motivasi terbeser dalam penulisan skripsi ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Aa, teteh, dan adik serta saudara-saudaraku yang selalu memeberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Para Kyai dan Keluarga Besar Buntet Pesantren Cirebon, terutama keluarga besar KH Arsyad dan KH Anis Manshur, Kang M. Lutfi Yusuf, KH Ade Nasihul Umam, KH Salman Al Farisi yang telah bersedia membimbing dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. 7. Seluruh sahabat Administrasi Keperdataan Islam Hukum Keluraga angkatan 2011, yang telah memberikan semangat dan membenatu dalam penulisan skripsi ini. 8. Kelurga Besar Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC) Jakarta Raya, yang telah berbagi ilmu dan pengalaman yang tidak ternilai, dan selalu memeberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Kelurga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadikan penulis mahasiswa yang
aktivis dan akademis, dan telah bebabagi ilmu yang tak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10. Keluarga Besar Komunitas Fotografi Ponsel (KOFIPON) dan Rumpak Sinang Bicycle Community (Rumbicy) yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Untuk sahabat, orang yang selalu memberikan dukungan Anisa Tiasari, Yayah Sa’diyah, Vivin Zuhrotunnisa, Syifa Dzihni Hafidzah dan sahabatku yang lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Ciputat, 15 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... ABSTRAK.............................................................................................................. KATA PENGANTAR ............................................................................................ DAFTAR ISI .......................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... B. Batasan dan Perumusan Masalah .......................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. D. Metode Penelitian ................................................................................ E. Kerangka Teori .................................................................................... F. Review Studi Terdahulu ....................................................................... G. Sistematika Penulisan ........................................................................... BAB II
i ii iii iv v viii 1 8 8 9 11 12 14
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN A. Perkawinan .......................................................................................... B. Jenis-jenis Wali dan Peran Wali dalam Perkawinan .............................. C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum Islam Indonesia ....................................................................................
34
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN A. Pondok Pesantren ................................................................................. B. Kyai ..................................................................................................... C. Sejarah dan Tradisi............................................................................... D. Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon ............................
36 40 44 46
BAB IV TRADISI PERJODOHAN DAN PERSEPSI SOSIAL KEAGAMAAN A. Pandangan Kyai Buntet Pesantren Tentang Perjodohan ........................ B. Perjodohan Menurut Hukum Islam ....................................................... C. Analisis Penulis ....................................................................................
52 55 58
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... B. Saran .................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN .............................................................................................................
16 25
BAB V
63 64 65 69
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.1 Akan tetapi Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya, serta berhubungan antara jantan dan betina tanpa adanya aturan. Untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT menciptakan hukum sesuai dengan martabat tersebut, dan Islam menjadikan pernikahan untuk memformat kasih sayang di antara mereka dalam membangun rumah tangga yang baik dan sah menurut agama. Salah satu dasar terpenting membangun rumah tangga adalah cinta. Cinta merupakan keadaan ketertarikan kepada seseorang kepada seorang lainnya, yang bersamanya ia merasakan kesatuan emosianal dan spiritual. Inilah adanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai berubah menjadi keadaan jasadi setelah sebelumnya berupa keadaan rasional dan spiritual.2
1
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu. 1995), hlm. 41
2
Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa. Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf, (Jakarta: Lemtara Basritama. 2000), hlm. 143
1
2
Dari perkawinan akan timbul hubungan suami isteri dan kemudian hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan mempunyai
pengaruh
yang
sangat
luas,
baik
dalam
hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya, karena perkawinan merupakan titik awal pembentukan keluarga, dan keluarga merupakan suatu unit terkecil dari suatu bangsa.3 Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (Dr. Ahmad Ghandur, alAhwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy).4 Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1 dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang DasarDasar Perkawinan pada pasal 2 dijelaskan bahwa: “Perkawinan menurut
3
Mona Eliza, Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara. 2009), hlm. 2 4
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), hlm. 39 5
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1.
3
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah sepakat satu sama lain untuk melakukan suatu perkawinan, berarti mereka telah berjanji akan taat kepada peraturan hukum yang berlaku. Dan untuk menghentikan suatu perkawinan, mereka tidak secara leluasa dapat menghentikannya sendiri, melainkan terikat juga pada aturan hukum yang berlaku. Perkawinan dilakukan atas prinsip: 1. Kerelaan (al-taraadhi), bahwa melangsungkan sebuah perkawinan tidak boleh ada unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis dari pihak calon suami dan calon istri. 2. Kesetaraan (al-musaawah), bahwa sebuah perkawinan tidak boleh muncul diskriminasi dan subordinasi di antara pihak karena merasa dirinya memiliki suporioritas yang lebih kuat dalam mengambil sebuah kebijakan,
yang
akibatnya
merugikan pihak
lain.
Melainkan
perkawinan adalah sebuah hubungan kemitrasejajaran antara suami, istri, dan anak-anak yang dilahirkan. 3. Keadilan (al-adaalah), bahwa menjalin sebuah kehidupan rumah tangga diperlukan adanya kesepahaman bahwa antara suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setara.
4
4. Kemaslahatan (al-maslahat), bahwa dalam menjalankan sebuah perkawinan yang dituntut adalah bagaimana mewujudkan sebuah keluarga sakinah, mawaddah warahmah, yang dapat membawa implikasi positif di lingkungan masyarakat yang lebih luas. 5. Pluralisme
(al-ta’addudiyyah),
bahwa
perkawinan
dapat
dilangsungkan tanpa adanya perbedaan status sosial, budaya dan agama, selama hal itu dapat mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, sejahtera, dan aman baik lahir maupun batin. 6. Demokratis (al-diimuqrathiyyah), bahwa sebuah perkawinan dapat berjalanan dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsinya, apabila pihakpihak memahami dengan baik hak dan kewajibannya dalam keluarga. 6 Melihat beberapa prinsip perkawinan di atas, penulis tidak sepakat dengan prinsip ke lima, yaitu prinsip pluralisme, karena dalam perkawinan sekufu’ (setara) menjadi alasan terpenting. Di
tengah-tengah
masyarakat,
sikap
berhati-hati
dalam
mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan pelaksanaan pernikahan adalah wajar, karena pernikahan diharapakan akan berjalan dengan baik dan langgeng seumur hidup. Pertimbangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia meliputi tiga kriteri dan dikenal dengan nama bobot bibit bebet.
6
Muhammad Zain dan Mukhtar Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta: Grahacipta, 2005), hlm.25-26
5
Bahkan, dalam komunitas Islam tradisional pesantren (Jawa) pada umumnya, untuk menentukan pilihan siapa calon suami atau istri bagi anaknya mendapat perhatian yang matang dari keluarga. Hal ini bukan hanya menyangkut idealisme dalam memilih pasangan hidup semata, melainkan juga menyangkut rasa tanggung jawab7 terhadap keluarga, karena calon menantu adalah calon anggota baru. Untuk itu, dalam menentukan jodoh biasanya orang tua sangat berperan penting dan anaknya akan mengikuti pilihan orang tuanya, bahkan pada pondok pesantren salaf (khususnya), penjodohan di kalangan keluarga kyai atau santri seolah telah menjadi tradisi di kalangan mereka hingga saat ini. Namun secara sosiologis, kelompok kyai tidak dapat terbuka secara lugas dalam masalah ini karena kuatnya prinsip mereka terhadap prinsip perkawinan endogamous.8 Walaupun sebagian keluarga kyai atau santri sudah mulai meninggalkannya, namun jika ditelusuri ke lapangan kenyataannya kita akan menemukan kesulitan untuk mengetahuinya secara terang-terangan, dikarenakan ketertutupan dari pihak keluarga, hal tersebut masih ada. Fenomena proses pemilihan jodoh ini sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, salah satunya kepentingan orang tua dan keluarga, karena
7
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1958), hlm, 14-
15 8
Endogamous (endogami) adalah perkawinan campuran dalam lingkungan kekerabatan sendiri. lihat Kamus ilmiah popular lengkap.
6
mereka beranggapan bahwa penentuan jodoh adalah hak meraka, sehingga mengenyampingkan kepentingan si anak. Hal ini seperti yang terjadi pada masyakat pesantren di lingkungan Pondok Buntet Pesantren, di Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Pesantren ini adalah pondokan salaf, yang mana santrinya lebih dikhususkan mengkaji kitab kuning. Buntet Pesantren adalah sebuah nama desa dan di dalamnya terdapat puluhan pondok pesantren atau masyarakat setempat biasanya menggunakan istilah asrama, Buntet Pesantren memiliki kurang lebih 40 asrama dan kyai, semuanya dalam satu keluarga dari keturunan sang pendiri yaitu Kiai Muqoyyim. Santri keseluruhan di Buntet Pesantren mencapai 1.000 lebih santri dari berbagai daerah di Indonesia. Alumni dari pondok Buntet Pesantren sudah tersebar di seluruh penjuru dan telah menjadi ulama di kampung halamannya masing-masing, selain itu ada pula yang aktif di pemerintahan dari mulai tingakatan paling bawah sampai tingkatan menteri. Penulis memilih Pondok Buntet Pesantren sebagai objek penelitian karena perjodohan sudah menjadi tradisi dalam lingkungan keluarga kyai Buntet Pesantren. Disamping itu keluarga Buntet Pesantren memiliki puluhan kyai dan semuanya masih memiliki hubungan keluarga. Perjodohan di Buntet Pesantren adalah sesama keluarga terdekatnya atau sesama keluarga keturunan kyai Buntet Pesantren.
7
Dalam proses perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren adalah saling menjodohkan putra putrinya dengan keluarga terdekatnya, seperti perkawinan antara misanan atau antara nak-sanak. Perkawinan di Buntet Pesantren tidak hanya dengan keluarga terdekat saja, namun ada juga perjodohan dengan sesama garis keturunan kyai Buntet Pesantren. Dalam hal ini, semua yang menentukan adalah keluarga besar dan si anak yang akan dijodohkan tidak mengetahuinya, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya, apakah ia mau menerima perjodohan ini atau tidak. Jika keluarga besar sudah sama-sama saling setuju, maka anak tidak dapat menolak. Di sini, anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk menentukan pilhannya sendiri, sehingga ada keterpaksaan di dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Meski demikian perjodohan di lingkungan pesantren pada dasarnya dilandasi rasa tanggung jawab yang besar seorang ayah terhadap anak agar terjaga diri dan keluarganya. 9 Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Karena suatu ikatan pernikahan harus berdasarkan atas kerelaan kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan. Agar tujuan dari pernikahan yaitu terciptanya keluarga sakinah, mawadaah, wa rahmah.
9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.(Jakarta: LP3S. 2011) hlm 121
8
Berangkat dari uraian tersebut di atas, penyusun merasa perlu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Bagaimana praktik perjodohan yang terjadi pada masyarakat pesantren di Pondok Buntet Pesantren. Maka penulis membuat skripsi dengan judul “Tradisi Perjodohan dalam Komunitas Pesantren” (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon). B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan untuk mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi masalah tentang tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren pada masyarakat Pondok Buntet Pesantren Cirebon. 2. Perumusan Masalah Untuk mengetahui tradisi perjodohan komunitas pesantren pada masyakarat Pondok Buntet Pesantren Cirebon, berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pada fokus-fokus permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Kyai dalam menentukan perjodohan pada keluarga Pondok Buntet Pesantren Cirebon? 2. Bagaimana tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren pada keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon? 3. Bagaimana hukumnya perjodohan dalam pandangan hukum positif di Indonesia dan hukum Islam?
9
C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadi perjodohan dalam komunitas pesantren pada masyakarat Pondok Buntet Pesantren Cirebon. 2. Untuk mengetahui tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya tradisi perjodohan pada keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon. 3. Untuk mengetahui hukum Islam dan Hukum Positif tentang tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya Pondok Buntet Pesantren. 2. Manfaat Penelitian 1. Secara Akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan program studi penulis, tambahan referensi guna penelitian
lanjutan
serta
kontribusi
untuk
data
perpustakaan. 2. Secara Praktis, kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-lembaga
yang menangani masalah
perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan.
10
D. Metode Penelitian Untuk terciptanya sasaran yang menjadi tujuan penulis, skripsi ini maka digunakan dua metode: 1. Riset Kepustakaan (Library reseach) Yaitu dengan cara mengumpulkan dan membaca bahan-bahan dar buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.10 2. Riset Lapangan (Field Reseach) Riset lapangan adalah mengadakan penelitain secara langsung di Buntet Pesantren Cirebon. Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang akuratdan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis mengguakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan secara sosiologis (empiris) yaitu dengan melihat secara langsung kehidupan keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren, yang melakukan tradisi perjodohan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau penyelidikan yang bertujuan pada pemecahan masalah yang ada pada tradisi perjodohan dalam keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren. Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu : a) Data
Primer,
yaitu
data
yang
dikumpulkan
sendiri
oleh
perorangan/suatu organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada
10
Yayan sopyan, Metode Penelitian, Jakarta, 2009
11
skripsi ini penulis mewawancari para Kyai Buntet Pesantren dan kelurga Kyai Buntet Pesantren. b) Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiyah, Undang-Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian adalah: a) Observasi, yaitu mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian terutama tentang terjadinya tradisi perjodohan di kelurga Kyai Buntet Pesantren. b) Wawancara, yaitu suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, maksudnya ada proses tanya jawab antara peneliti dan objek yang diteliti dengan tujuan mengumpulkan keteranganketerangan dari responden. Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Sayriah dan Hukum UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta 2012. E. Kerangka Teori Pernikahan adalah suatu wujud sosialitas budaya manusia. Dalam lembaga pernikahan, dua individu dipertemukan, diikat, dan mendapatkan wadah untuk saling mewujudkan impian dan idealismenya. Pernikahan
12
menjadi awal dan cikal bakal terbentuknya unit komunitas terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga, yang akan menjalankan fungsinya dalam struktur
dan
tatanan
masyarakat
yang
lebih
luas.
Menurut
Koentjaraningrat, pernikahan dapat diperinci ke dalam pelamaran, upacara pernikahan, perayaan, mas kawin, harta pembawaan pengantin wanita, adat menetap sesudah menikah, poligami, poliandri, perceraian, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut berada dalam usaha perincian untuk memerinci kompleks budaya dan kompleks sosial ke dalam tema budaya dan pola sosial.11 Lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam memilih jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pedamping hidupnya. Oleh karena itu agama islam memberikan tuntunan dalam menentukan pilihan. Namun dalam kehidupan saat ini, intervensi keluarga dalam menentukan jodoh sering kita jumpai, terutama dalam kalangan keluarga pesantren.Dengan tujuan agar tetap terjaganya sanadnya (keturunan). Intervensi keluarga dalam menentukan jodoh mengabaikan hak perempuan untuk memilih jodohnya. Selain itu, kontradiktif dengan hukum Islam di Indonesia yang mentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).
11
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.168.
13
F. Review Studi Terdahulu Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi terdahulu dalam bentuk table berikut ini: No
Identitas
Subtansi
Pembeda
1
Ahmaditus Farida, (2010) Al-Ahwal AsySyakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan skripsinya yang berjudul “Dinjauan Hukum Islam terhadap Penjodohan Anak di Keluarga Kyai di Pondok Pesantren Al Miftah Desa Kauman Kecamatan Naggulan Kabupaten Kulon Progo”
Dalam skripsi ini, Ahamaditus Farida mengulas tentang tinjauan hukum Islam terhadap penjodohan anak di keluarga Kyai di pondok pesantren Al Miftah saja, dan lebih menitik beratkan tentang hak anak dalam menentukan pasangan hidup.
Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan di dalam komunitas pesantren di pondok Buntet Pesantren Cirebon, dan menitik beratkan kepada dampak dari perjodohan tersebut.
2
Dita Sundawa Putri, (2013) Al-Ahwal AsySyakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan skripsinya “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik kawin paksa karena adanya hak ijbar wali. Studi kasus pada dua pasangan keluarga di Kota Gede Yogyakarta”.
Dalam skripsi ini, Dita Sundawa Putri menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap kawin paksa atas adanya hak ijbar wali, dan lebih menitik beratkan hak anak yang telah dipaksakan untuk menikah dengan alasan adanya hak
Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan pada komunitas pesantren, dan lebih menitik beratkan terhadap Dampak perjodohan tersebut.
dari
14
ijbar pada wali. 3
Zamakhsyari Dhofier, (1982) LP3S, Jakarta. Terjemahan dari disertasinya yang berjudul “Tradisi Pesantren studi tentang Pandangan Hidup Kyai”.
Dalam disertasi ini, Zamakhsyari Dhofier menjelaskan tradisi pesantren dengan pusat kajiannya pada peranan kyai dalam upaya memelihara dan mengembangkan faham Islam di Jawa.
Sedangkan dalam skripsi saya, saya menjelaskan tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya tradisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kyai pondok Buntet Pesantren.
G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini: BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori, Riview Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. BAB KEDUA berisi, memuat ketentuan umum perkawinan. Berbicara perjodohan maka berbicara tentang perkawinan, maka penulis merasa penting membahas tentang perkawinan secara umum, dan menjelaskan pengertian dan peran wali dalam perkawinan.
15
BAB KETIGA berisi, memuat tentang pengertian pondok pesantren, menjelaskan Kyai dan peranannya pada masyarakat, dan menjelaskan sejarah dan tradisi perjodohan yang berkembang dalam komunitas pesantren. BAB KEEMPAT berisi, menjelasakan kondisi obyektif Buntet Pesantren Cirebon dan menjelaskan hasil analisa terhadap tradisi perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren, yang meliputi: dari segi rukun dan syarat nikah, dalam hal ini penulis menjelaskan syarat dan rukun nikah dan bagaimana aplikasinya terhadap perjodohan dalam keluarga pesantren. Serta uraian hasil wawancara penulis dengan para kyai pondok Buntet Pesantren. BAB KELIMA berisi, Penutup, Kesimpulan, dan Saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN A. Perkawinan 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah ( )ﻧﻜﺎحberasal dari kata ﻧﻜﺤﺎ- ﻧﻜﺢ – ﯾﻨﻜﺢ
yang artinya mengawini.
Sedangkan zawaj ( )زواجberasal dari kata زوج – ﯾﺰوج – ﺗﺰوﯾﺠﺎyang artinya mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.1 Perkataan nikah itu dalam bahasa Arab mepunyai arti hakiki dan majazi. Arti hakikatnya ialah “menghimpit, menindih atau berkumpul” dan arti majzinya ialah “setubuh atau akad”2. Dalam bahasa Indonesai kata nikah diartikan “kawin” yaitu membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau setubuh.3 Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan”
1
Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyajarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 1560. 2
Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,
1974), h. 11. 3
Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1994), cet III, h. 456.
16
17
sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama.4 Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadist Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin dalam QS. An-Nisa (4) : 3.
ﻦ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﻣَﺜْﻨَﻰ َ ِن ﺧِ ْﻔﺘُ ْﻢ أَﻻ ُﺗ ْﻘﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟﯿَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎ ْﻧﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ ﻃَﺎبَ ﻟَﻜُ ْﻢ ﻣ ْ ِوَإ ﺖ أَ ْﯾﻤَﺎُﻧﻜُﻢْ ذَﻟِﻚَ أَ ْدﻧَﻰ أَﻻ ْ َن ﺧِ ْﻔُﺘ ْﻢ أَﻻ ﺗَ ْﻌﺪِﻟُﻮا َﻓﻮَاﺣِﺪَ ًة َأ ْو ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ ْ وَﺛُﻼثَ وَرُﺑَﺎعَ َﻓِﺈ (3:ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. AnNisa:3) Kata zawaja dalam al-Qur’an terdapat pada QS. Al-Ahzab (33) : 37.
َﻚ وَاَّﺗﻖِ اﻟﻠَّﮫ َ ﺟ َ ﻚ ﻋََﻠ ْﯿﻚَ زَ ْو ْ ﺴ ِ ل ﻟِﻠَّﺬِي أَ ْﻧﻌَ َﻢ اﻟﻠَّ ُﮫ ﻋَﻠَ ْﯿﮫِ َوأَ ْﻧ َﻌ ْﻤﺖَ ﻋََﻠ ْﯿﮫِ أَ ْﻣ ُ َوإِ ْذ َﺗﻘُﻮ ﺨﺸَﺎ ُه ﻓَﻠَ َﻤّﺎ ْ َن ﺗ ْ َﻖ أ ُّ َﺨﺸَﻰ اﻟ َﻨّﺎسَ وَاﻟَّﻠﮫُ أَﺣ ْ َﻚ ﻣَﺎ اﻟﻠَّﮫُ ُﻣ ْﺒﺪِﯾﮫِ وَﺗ َﺴ ِ ﺨﻔِﻲ ﻓِﻲ َﻧ ْﻔ ْ ُوَﺗ ج ﻓِﻲ ٌ َﻦ ﺣَﺮ َ ﻲ ﻻ ﯾَﻜُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﯿ ْ َﻗَﻀَﻰ زَ ْﯾ ٌﺪ ﻣِ ْﻨﮭَﺎ َوﻃَﺮًا زَوَّﺟْﻨَﺎ َﻛﮭَﺎ ﻟِﻜ (37:ﻃﺮًا وَﻛَﺎنَ أَ ْﻣﺮُ اﻟﻠَّﮫِ ﻣَ ْﻔﻌُﻮﻟًﺎ )اﻻﺣﺠﺐ َ َﻀﻮْا ﻣِ ْﻨﮭُﻦَّ و َ َأ ْزوَاجِ َأ ْدﻋِﯿَﺎﺋِﮭِ ْﻢ إِذَا َﻗ 4
Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet.I, h. 17
18
Artinya:Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.(Q.S. Al-Ahzab (33):37). Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya penikmatan sebagai tujuan primer.5 Sedangkan Definisi Perkawinan menurut Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 6 Dan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 7 Menurut hemat penulis dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan langkah awal umat manusia untuk 5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta:
Pustaka AL-Kautsar, 2007), h.80 6
Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
7
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2
19
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan dan berumah tangga dengan tujuan terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawadaah wa rahmah. 2. Rukun dan Syarat Perkawinan Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah: 1) Mempelai laki-laki 2) Mempelai perempuan 3) Wali 4) Dua orang saksi 5) Shigat ijab kabul8 Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. 8
Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2009), h. 12.
20
Syarat-syarat calon mempelai pria adalah 1) Beragama Islam 2) Laki-laki 3) Jelas orangnya 4) Dapat memberikan persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah 1) Beragama Islam 2) Perempuan 3) Jelas orangnya 4) Dapat dimintai persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu persetujuan calon mempelai.9
3. Dasar Hukum Perkawinan Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau
9
12-13.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009), h.
21
hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.10 Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.11 Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadist, adapun ayat yang menunjukkan syariat nikah adalah Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4) : 3.
ِﻦ اﻟﻨِّﺴَﺎء َ ِن ﺧِ ْﻔﺘُ ْﻢ أَﻻ ُﺗ ْﻘﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟﯿَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎ ْﻧﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ ﻃَﺎبَ ﻟَﻜُ ْﻢ ﻣ ْ ِوَإ َﺖ أَ ْﯾﻤَﺎﻧُﻜُ ْﻢ ذَﻟِﻚ ْ َن ﺧِ ْﻔﺘُ ْﻢ أَﻻ َﺗ ْﻌﺪِﻟُﻮا ﻓَﻮَاﺣِ َﺪةً أَ ْو ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜ ْ ِع ﻓَﺈ َ ث وَ ُرﺑَﺎ َ ﻣَ ْﺜﻨَﻰ َوﺛُﻼ (3:أَدْﻧَﻰ أَﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. AnNisa:3). Dan Hadis Nabi Muhammad SAW :
ﺴﻌُﻮ ٍد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗَﺎلَ َﻟﻨَﺎ رَﺳُﻮلُ اَﻟﻠَّﮫِ ﺻﻠﻰ اﷲ ْ َﻦ ﻣ ِ ﻋَﻦْ ﻋَ ْﺒ ِﺪ اَﻟَّﻠﮫِ ْﺑ ُ ﻓَﺈِﻧَّﮫ, ج ْ َّﺳﺘَﻄَﺎعَ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢُ اَ ْﻟﺒَﺎءَةَ ﻓَ ْﻠﯿَ َﺘﺰَو ْ ﻦا ِ َب ! ﻣ ِ ﺸﺒَﺎ َّ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ) ﯾَﺎ ﻣَ ْﻌﺸَﺮَ اَﻟ 10
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutamaan RUmah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta:
CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3 11
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,
2007), h.86
22
ُﺼّﻮْ ِم ; ﻓَﺈِﻧَّﮫُ ﻟَﮫ َ ﺴﺘَﻄِ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿﮫِ ﺑِﺎﻟ ْ ﻦ َﻟ ْﻢ َﯾ ْ وَ َﻣ, ج ِ ﻦ ِﻟ ْﻠﻔَ ْﺮ ُ َﺣﺼ ْ َ وَأ, ﺾّ ﻟِ ْﻠﺒَﺼَ ِﺮ ُ ﻏ َ َأ 12
ﻋﻠَﯿْﮫ َ ﻖ ٌ وِﺟَﺎ ٌء ( ﻣَُﺘّ َﻔ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi. Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa; pernikahan atau perkawinan adalah perintah Allah dan Rasulnya (aturan agama islam) disebut juga dengan Sunatullah. Perkawinan adalah sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia, karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai dan memuliakan perkawinannya. 13 Hukum melakukan perkawinan adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Tetapi berdasarkan kepada perobahan situasi dan kondisinya, hukum melakukan perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. Ulama Syafi’iyah menyatakan hukum perkawinan itu melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut: a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk
kawin dan dia
telah
perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
12
Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, (Harramain), h. 207
13
Sidi Nazar Bakri, Op.Cit. h.5
mempunyai
23
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas kawin, belum berkeinginan kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan, tua bangka, dan kekurangan fisik lainnya (al-Mahalliy, 206).14 Ulama Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut. a. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin; ia takut akan terjerumus zina kalau tidak kawin. b. Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkwinannya itu. (Ibn Humam III, 187). Sedangkan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2) “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.15
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. III h.45-46 15
UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2
24
4. Tujuan Perkawinan Perkawinan mempunyai tujuan antara lain ialah: 1. Menta’ati Perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak nabi-nabi dan Rasul-Nya terutama sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup beristeri, berumah tangga dan berkeluarga termasuk sunnah beliau. 2. Melanjutkan keturunan yang merupakan pewaris kehidupan dan penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan umat yang diridhai oleh Allah SWT. 3. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan dengan rasa kasih sayang antara keluarga suami dan keluarga isteri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera lahir dan batin. 4. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah di samping menyalurkan syahwat insaniyah (libido sexual) secara wajar. 5. Untuk membersihkan keturunan. 16 5. Hikmah Perkawinan Perkawinan merupakan suaru ketentuan-ketentuan dari Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,
16
Mona Eliza, Op. Cit., h. 16-20
25
menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.17 Perkawinan yang terjadi pada makhluk hidup, baik tumbuhan, binatang,
maupun
manusia,
adalah
untuk
keberlangsungan
dan
pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan. 18 Hikmah perkawinan menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran. 19 B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan 1. Definisi Wali Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa. 20 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Dalam literatur fiqh, jenis perwalian terbagi menjadi dua: al wilayah al-amah (kekuasaan umum) dan al walayah al-khashah (kekuasaan khusus). Al-walayah al-khashah terdiri atas dua. Pertama, kekuasaan atas harta (al-walayah ala al-mal), yakni penguasaan atas harta benda, seperti mengembangkan, memanfaatkan dan menjaga harta benda.
17
Abdul Qadir Djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41.
18
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosda, 1994),h. 1. 19
Amir taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. III, h. 31. 20
Abdul Mujib dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, kajian fikih nikah
lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 89.
26
Kedua, kekuasaan atas jiwa (al-walayah ala al-nafs), yakni penguasaan atau urusan-urusan personal (syakhsiyyah), seperti mengajar dan kawin.21 Dalam kaitan ini jenis terakhirlah yang dibicarakan dalam pembahasan perwalian dalam nikah. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’I dan Imam Malik, mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah bukan dari ibu. Susaunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I adalah sebagai berikut: 1) Ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas. 2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu). 3) Saudara laki-laki seayah. 4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sekandung. 5) Anka laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah. 6) Paman yang bersaudara dengan ayah ang sekandung. 7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah. 8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 21
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (t.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), JIlid II. h. 82.
27
9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.22 Susunan wali yang harus didaulukan menurut Imam Malik adalah sebagai berikut: 1) Ayah. 2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk menjadi wali). 3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak bersangkutan hasil dari perzinahan. 4) Cucu laki-laki. 5) Saudara laki-laki yang sekandung. 6) Saudara laki-laki yang seayah. 7) Anak laki-laki dari saudara sekandung. 8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah. 9) Kakek yang seayah. 10) Paman yang sekandung dengan ayah. 11) Paman yang seayah dengan seayah. 12) Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah. 13) Ayah dari kakek. 14) Pamannya ayah. 15) Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan. 22
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam,2004), Cet. I, h. 69-70
28
Susunan wali yang harus didahuluakn menurut Imam Hanafi adalah sebagai berikut: 1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai ke bawah. 2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai ke atas. 3) Saudara laki-laki yang sekandung. 4) Saudaara laki-laki yang seayah. 5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung 6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah. 7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah. 9) Saudara sepupu atau nak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung, dan seterusnya ke bawah. Seandainya wali-wali yang disebutkan diatas tidak ada semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis keturunan perempuan yang sesuai dengan susunanya. 2. Jenis-jenis Wali Wali memegang peranan penting terhadap keberlangsungan suatu pernikahan.Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa keberadaaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah.Suatu pernikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. Sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi:
29
ح ِاﻻَّ ِﺑ َﻮﻟِﻲٍّ )روه َ ﻻ ﻧِﻜَﺎ َ :َﻦ َاﺑِﻰ ﻣُ ْﻮﺳَﻰ رض ﻋَﻦِ اﻟﻨَّ ِﺒﻲِّ ص ﻗَﺎل ْﻋ َ 23
(اﻟﺒﺨﺎري.
Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR. Bukhari). Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu: 1. Wali Nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu: a. Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunayi kewenangan untuk memkasa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar. b. Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memksakan kehendaknya
untuk
menikahkan
calon
mempelai
perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. 2. Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak
23
Al-bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari (Beirut: Dar
Al-Fikr), h. 95.
30
menjadi wali hakim adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin (khilafah), Penguasa (Rois), atau qadhinikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. 24 3. Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak ada qadli atau pegawai pencatat nikah. 4. Wali Maula, adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya. Adapun yang dimaksud dalam penelitian di sini ialah peran wali terhadap menentukan pasangan yang akan diwalikannya, melihat definisi di atas dapat diketahui yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap seseorang yang ada di bawah perwalaiannya dengan tanpa izin dan persetujuan anaknya adalah wali mujbir. a.
Wali Mujbir menurut Imam Syafi’I adalah ayah, kakek dan
terus ke atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga boleh dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. 25
24
Tihami dan Sohari, Op. Cit., h. 97.
25
Muhammad Asmawi, Op. Cit.,h. 17.
31
Imam Syafi’I mengacu pada hadis Nabi SAW.
ﻦ ﻋَ ْﺒ ِﺪ ْ َ ﻋ،ٍﻦ ﺳَ ْﻌﺪ ِ ﻦ زِﯾَﺎدِ ْﺑ ْ َ ﻋ،ُ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳُ ْﻔﯿَﺎن،ٍﻦ ﺳَﻌِﯿﺪ ُ ﺣﺪﺛﻨﺎ ُﻗﺘَﯿْ َﺒ ُﺔ ْﺑ ن ّ َأ:ٍﻋﺒَّﺎس َ ِ ﻋَﻦِ ا ْﺑﻦ،ُﺨ ِﺒﺮ ْ ُﯾ،ٍﻦ ﺟُﺒَ ْﯿﺮ َ ﺳَﻤِ َﻊ ﻧَﺎﻓِﻊَ ْﺑ،ِﻀﻞ ْ َاﻟﻠَّﮫِ ﺑْﻦِ اْﻟﻔ ،ﻦ وَﻟِﯿِّﮭَﺎ ْ ِﻖّ ﺑِﻨَ ْﻔﺴِﮭَﺎ ﻣ ُ َ " اﻟﺜَّﯿِّﺐُ َأﺣ:َﺳَّﻠ َﻢ ﻗَﺎل َ َﻋﻠَ ْﯿﮫِ و َ ﷲ ُ اﻟ َﻨّ ِﺒﻲَّ ﺻََﻠّﻰ ا " ﺳﻜُﻮﺗُﮭَﺎ ُ وَإِ ْذُﻧﮭَﺎ،ُﺴﺘَ ْﺄﻣَﺮ ْ ُوَا ْﻟﺒِ ْﻜ ُﺮ ﺗ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421]. Hadis ini menunjukaan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. b.
Wali Mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan
washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang hendak menyandang wali mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan Imam Syafi’i. c.
Wali Mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain
dapat diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapat wasiat dari bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan danya dua orang saksi. Adapun
32
fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah beranjak dewasa. Terhadap perempuan-perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang menjadi pilihannya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat tertentu. Apalagi perawan yang memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi diri sendiri, atau janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa izin terlebih dahulu dari mereka. d.
Wali Mujbir menurut Imam Hanafi adalah semua wali yang
tercantum dalam terstrukturisasi adalah wali mujbir, tidak ada perwalian selain perwalian mujbir.26 Orang yang memiliki hak perwalian ijbar adalah sebagai berikut: 1. Orang yang tidak memiliki kemampuan, atau kurang memiliki kemampuan, karena masih kecil, atau gila, atau idiot. 2. Perawan yang telah akil baligh. Berlaku hak perwalian ijbar untuknya menurut jumhur fuqaha selain mazhab hanafi. Karena illatnya adalah keperawanan, berdasarkan pemahaman hadist.
وَِإ ْذُﻧﮭَﺎ ﺳُﻜُﻮﺗُﮭَﺎ،ُﺴﺘَ ْﺄﻣَﺮ ْ ُ وَا ْﻟﺒِ ْﻜ ُﺮ ﺗ،ﻦ َوﻟِﯿِّﮭَﺎ ْ ِﻖ ﺑِﻨَ ْﻔﺴِﮭَﺎ ﻣ ُّ َاﻟﺜَّﯿِّﺐُ أَﺣ Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” 26
Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu (Damaskus: Darul Fikr,2007),
cet.10, jilid. 9, h. 179
33
Hal ini menunjukkan bahwa nak perempuan yang masih perawan dan akil baligh hanya dapat dikawinkan dengan kerelaannya. 3. Menurut mazhab Maliki orang yang memiliki hak perwalian ijbar adalah Janda yang telah akil baligh yang keperawanannya hilang dengan perkara yang datang mendadak, seperti akibat pukulan dan benturan dengan batang kayu, dan yang sejenisnya. Atau keperawanannya hilang dengan perbuatan zina
atau
perkosaan,maka
wali
mujbir
berhak
untuk
mengawinkannya. Sedangkan
jumhur
fuqaha
tidak
mengatakan
tetapnya
perwalian ijbar terhadap janda yang telah mencapai baligh, atau pun sebab kehilangan keperawanannya. C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum Islam Indonesia Berbicara tentang peran wali dengan pernikahan, Perundangundangan Perkawinan Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 dan 19, yang menyatakan bahwa wali nikah menjadi salah satu rukun nikah. Tanpa kehadiran wali, perkawinan menjadi tidak sah. 27
27
KHI pasal 14, "untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon
Isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan kabul". Kemudian disebutklan lebih tegas
34
Hubungannya dengan persetujuan calon mempelai, Hukum Islam Indonesia
menetapkannya sebagai salah satu syarat perkawinan.
Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan isteri memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benardapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional. Dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai. Apabila salah satu atau kedua calon mempelai tidak setuju dengan pernikahan tersebut maka akad nikah dapat dilangsungkan,28 jika akad nikah (secara paksa) tetap dilaksanakan maka dapat dibatalkan29 dalam jangka waktu 6 bulan setelah bebas dari ancaman atau menyadarinya. Adapun bentuk persetujuan dari para calon mempelai, KHI pasal 16 ayat (2) menjelaskan, "Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas"; dan pasal 17 ayat (3) menyebutkan,"Bagi penderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat
pada KHI pasal 19, "wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindaka untuk menikahkannya". 28
Dijelaskan dalam: UU No.1 1974 pasal 6 ayat (1), "Perkawinan harys didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai ", KHI pasal 16 ayat (1), "perkawinan didasrakan atas persetujuan calon mempelai; dan KHI pasal 17 ayat (2), "bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan 29
UU Perkawianan No.1 tahun 1974 pasal 27 ayat (1)menjelaskan; "seorang suami atau
isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum"; KHI pasal 71 ayat (f), "sesuatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:..... perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan".
35
yang dapat dimengerti." Sedang proses untuk mengetahui ada atu tidaknya persetujuan dari kedua mempelai dilakukan dengan cara menanyakan keduanya sebelum akad nikah dilangsungkan, sebagaimana diatur dala KHI pasal 17 ayat (1), "Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah". Dengan ditetapkannya ketentuan ini, diharapkan dapat mengikis budaya sementara masyarakat yang masih membenarkan praktik kawin paksa,
karena
Islam
sendiri tidak
menghendaki adanya paksaan.30 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Perundang-undangan Perkawinan Indonesia pada prinsipnya tidak lagi mengakui hak ijbar wali, bahkan mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum akad nikah dilaksanakan. Apabila terjadi pekawinan paksa, maka para pihak berhak mengajukan permohonan pembatalan.
30
Rahmawati, Jurnal PERAN WALI DAN PERSETUJUAN MEMPELAI PEREMPUAN:
Tinjauan atas Hukum Islam Konveensional dan Hukum Islam Indonesia, (Dosen LB PKPBA UIN Malang), h.10-11.
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN A. Pondok Pesantren Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas di Indonesia, lembaga ini tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal kedatangan agama Islam di Indonesia. 1 Bila menelisik akar katanya, Pondok Pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari kata “pondok” dan kata “pesantren”. Kata “pondok” (kamar, gubuk, atau rumah kecil) dalam bahasa Indonesia memiliki makna bangunan yang sederhana. Ada pula kemungkinan kata “pondok” berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sedehana.2 Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata dasar “santri” yang dibumbuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri.3 Dengan demikian bila mengartikan secara bahasa maka pondok pesantren adalah bangunan sederhana yang digunakan olehsantri sebagai tempat tinggal sekaligus tempat belajar.4
1
Hamdani Rasyid, kaderisasi Ulama di Pesantren, dalam Dinamika Pesantren Telaah
Kritis terhadap Keberadaan Saat ini. Editor: Saefullah Ma’sum. (Jakarta: Yayasan Islam AlHidayah-Yayasan Saefuddin Zuhri, 1998) cet. II, h.76. 2
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta;P3M, 1986) cet. I, h. 98
3
Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1995) h. 18.
4
Muhammad FathiRoyyani, PesantrenBuntetMelintasSejarah. (Cirebon: An Nur, 2004) h.
13.
36
37
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah: 1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga
pendidikan
tradisional
Islam
untuk
mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. 2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. 3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola Pembelajaran
Pesantren
mendefinisikan
bahwa
pondok
pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku (kitab kuning). 4. Rabithah Ma ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi
38
meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al - sunnah wa a l - Jam ã ’ah 5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga
tradisional
Islam
untuk
memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam ( tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. 6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59). Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan
39
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.5 Pesantren telah ada di Nusantara kita jauh sebelum lembaga pendidikan formal gencar dikembangkan. Sejarahnya sangat dialektis dan fluktuatif. Secara kultural, pesantren nyaris identik dengan pendidikan tradisional Islam.6 Abdurahman Wahid menjelaskan bahwa sistm pendidikan pondok pesantren sebetulnya sama dengan sistem yang dipergunakan Akademi Militer, yakni dicirikan dengan sebuah bangunan beranda yang di situ seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral. Dibandingan dengan lingkungan pendidikan parsila yang ditawarkan sistem pendidikan sekolah umum di Indonesia sekarang ini, sebagai budaya pendidikan nasional, pondok pesantren mempunyai kultur
5
ZaksariDhofie, TradisiPesantren,.Op.cit, h.79-80.
66
Muhammad Maksum, Refleksi Pesantren, otokriti dan prospektif, (Jakarta: Ciputat
Istintut, 2007), h.9.
40
yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam subkultur tersedia dalam masyarakat Indonesia. 7 Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu tradisi tarekat8 dan diilhami olehlembaga pendidikan “kuttab”.9 Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat meraka juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Aktifitas mereka kemudian dinamakan pengajian atau halaqoh, dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajiannya ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren. 10 B. Kyai Istilah kyai memiliki pengertian yang plural. Kata kyai bisa berarti 1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) alim ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) kepala distrik (di Kalimantan Selatan); 5) sebutan yang mengawali nama benda
7
Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan, wacana pemberdayaan dan transformasi
pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.13. 8
Istilah “tarekat” diambildaribahasa Arab ThariqdanThariqah.Yang berartijalan;
jalankontempelatif Islam.Kata inibiasanyadikontraskandengansyariat yang lebihmengarahkepadakehidupantindakan.Lihat, Muahaimin AG, Islam dalamBingkaiBudayaLokal Cirebon, (Jakarta: Logos 2001) cet. I, h. 337. 9
Istilah “kuttab” adalahlembagapendidikandasar yang
telahmunculsejakzamanNabi.LihatMuhaimin, PemikiranPendidikan Islam (Bandung: Tri GendaKarya, 1993) cet. I h. 298-299. 10
h.103.
Abdul Aziz, ensklopedia Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1994), jilid IV,
41
yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan sebagainya); dan 6) Sebutan samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan).11 Menurut Zamaksary Dhofir, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kramat; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. 2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada para ahli agama Islam yang dimiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik keapda para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya). Pemakaian istilah kyai tampaknya merujuk kepada kebiasaan daerah. Pemipin pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kyai, sedang di Jawa Barat disebut ajengan. Secara nasional, term kyai kyai lebih terkenal daripada ajengan. paralel dengan kyai adalah ulama, yang merupakan istilah yang ditransfer dari dua sumber skriptual Al-Qur’an dan al-Sunnah serta digunakan secara rasional. Kyai dan ulama berbeda asala
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 499
42
usul bahasanya, tetapi memiliki esensi yang berkualitas tinggi dalam hal iman, takwa, dan ilmu sebagai ciri khas. 12 Kyai adalah pemimpin non formal skaligus pemimpin spiritual, dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Seabagai pemimpin masayarakat, kyai memiliki jamaah komunitasa dan masa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuahnya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh jamaah, komunitas dan massa yang dipimpinnya.13 Kepercayaan masyarakat masyarakat yang begitu tinggi kepada kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosiopsikis-kultural-politik-religius menyebabkan
kyai menempati posisi
kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai sangat dihormati masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehinggga memudahkan baginya untuk menggalang masa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak
12
Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga,), h.28 13
Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1999), h. 39-40
43
jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. 14 Para kyai yang memimpin pesantren telah berhasil pengaruhi mereka diseluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka diterima menjadi bagian elit nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak di antara yang diangakat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintah.15 Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon harus berusaha keras memulai jenjang yang bertahap. Pertama-tama, ia biasanya merupakan anggota kyai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berabgai pesantren, kyai pembimbingnya yang terahir melatihnya mendirikan pesantren sendiri. Seringkali turut secara langsung dalam pendirian proyek pesantren baru, sebab kyai muda dianggap mempunyai potensi untuk menjadi seorang alim yang baik dan berfungsi sebagai penyaji santri senior. Saran kyai yang paling utama dalam melestarikan tradisi pesantren ialah membangun solideritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama mereka. Cara praktis yang mereka tempuh untuk membangun solideritas dan kerjasama tersebut ialah.
14
Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,.
Op, Cit., h.29 15
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren., Op. Cit, h. 95
44
1. Membangun suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat mengganti kepemimpinan pesantren; 2. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan edgamous antara keluarga kyai; dan 3. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kyai dan keluarganya. Dari satu generasi ke genarasi penerusnya, para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putra-putra mereka sendiri untuk menjadi pengganti pimpinan lembaga-lembaga pesantren mereka. Jika seorang kyai mempunyai anak laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mengharap anak tertua dapat menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal; sedangkan anak lakilakinya yang lain dilatih untuk dapat mendirikan suatu pesantren yang bau, atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang kebanyakan juga pemimpin pesantren. C. Sejarah dan Tradisi Tradisi keluarga ulama yang telah mapan penting sekali untuk kewibawaan ulama dan penerimaan kewibawaan itu oleh masyarakat. Keterlibatan keluarga secara historis dalam urusan masayarakat serta keberhasilan proses Islamisasi melalui bidang politik dan pendidikan mengabsahkan kekuatan keluarga atas masyarakat, dan sangsi-sangsi kepemimpinan mereka berjalan dalam menghadapi masyarakat. Baik
45
ulama maupun masyarakat berbuat menurut standar seperangkat tingkah laku yang diakui oleh tradisi. Konsep sesepuh yang dituakan misalnya terdapat dalam konsep asli dari struktur sosial dan menenukan suatu hubungan ketaatan terhadap pemimpin.16 Tradisi dan sejarah juga memberikan kepada tiap generasi baru seperangkat kebiasaan keluarga yang berlanjut, kebanggaan dan tugastugas sebagai seorang terpilih yang mengabdi kepada masalah-masalah Islam, mereka berkata “Kita harus melanjutkan pekerjaan orang tua”. Secara tradisional anak laki-laki termuda mengganti sisi keluarga, sedangkan anak laki-laki yang lebih tua diharapkan berpindah ke luar dan memantapkan kedudukan mereka yang baru di daerah tempat merek menikahi keluarga yang kaya. Kekedualian terjadi manakala anak laki-laki termuda gagal menjadai ulama yang lebih berpengaruh, apalagi sang pendatang ini dapat mengambil alih posisi tradisi keluarga. Kebanyakan kyai juga mengawinkan anak-anak perempuan mereka dengan murid-muridnya yang pandai, terutama murid-murid tersebut juga anak atau keluarga dekat seorang kyai, hingga dengan demikian muridmurid dapat dipersiapkan sebagai calon potensial untuk menjadi pemimpin pesantren. Dengan cara ini, para kyai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang intensitas tali-temalinya sangat kuat.17
16
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarkat (P3M), 1987), h. 78-79. 17 Zamaksyari Dhofir, Tradisi Pesantren., h. 102.
46
Tradisi seperti ini juga dilakukan oleh kyai Buntet Pesantren, para kyai Buntet Pesantren menikahkan anaknya kepada saudara terdekat atau senasab atau kepada santrinya yang dianggap pandai dan mempuni untuk dapat meneruskan estafet kepemimpinan pesantren di masa depan. D. Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon Buntet Pesantren terletak di antara Desa Mertapada Kulon dan Munjul, sebelah utara Buntet Pesantren dibatasi oleh Desa Mertapada Kulon; sebelah selatan adalah Desa Kiliyem, dan sebelah barat Desa Munjul. Berbeda dengan pondok pesantren lain, keberadaan Buntet Pesantren cukup unik karena komunitasnya yang homogen. Akan sulit dibedakan antara santri dan penduduk asli kampung. Sebab, baik penduduk asli maupun santri sehari-harinya memang tidak lepas dari aktivitas nyantri (mengaji). Jumlah santri Buntet Pesantren telah mencapai 4.870 orang. Sekarang ini, di bawah kepemimpinan KH Nahdudin Abbas. Awal mula berdirinya Buntet Pesantren, salah satu satu pesantren tertua di Indonesia, pertama kali didirikan pada abad tahun 1750 M, oleh KH. Muqoyyim bin Abdul Hadi, atau orang Buntet menyebutnya Mbah Muqoyyim. Beliau sebagai pejabat mufti (Pengadilan Agama Resmi) Keraton. Salah satu sifat beliau adalah tidak mau koopratif dengan Belanda, yang banyak mencampuri urusan internal keraton, sehingga beliau lebih
47
memilih tinggal di luar keraton dan mendirikan pesantren. Dalam perantauan inilah beliau memulai kehidupan sebagai kyai dengan mendirikan masjid dan gubuk kecil dan mulai mengajar agama. Melihat luasnya keilmuwan beliau dan dikenal sebagai orang Keraton serta tauladan yang beliau tunjukan masyarakat membuat pesantren
beliau
didatangi
banyak
murid,
sehingga
semakin
berkembanglah pesantren dengan pesat dan terus berkembang hingga saat ini.18 Sepeninggal Mbah Muqoyyim, Buntet Pesanten pernah mengalami kevakuman
akibat
kekosongan
kepemimpinan.
Usaha
untuk
menghidupkan kembali pesantren akhirnya datang dari cucu menantu Mbah Muqoyyim sendiri, yaitu Kiai Muta’ad (1785-1825). Selama kepemimpinan Kiai Muta’ad, Buntet Pesantren berhasil mencetak para kiai yang membawa nama harum bagi pesantren, sebut saja seperti Kiai Kriyan, Kiai Thohir, Kiai Soleh, dan Kiai Sa’id. Setelah
Kiai
Muta’ad
wafat
pada
tahun
1852,
tampuk
kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya KH. Abdul Jamil (1842-1919). Di bawah kepemimpinan KH Abdul Jamil, Buntet Pesantren dihuni tidak kurang dari 700 santri yang datang dari berbagai daerah. Salah seorang santrinya adalah Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi tokoh pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI). 18
http://www.buntetpesantren.org/p/sejarah.html
48
Periode berikutnya, setelah KH Abdul Jamil wafat pada tahun 1919, pimpiminan pesantren dipegang oleh putra sulung beliau, KH. Abbas Abdul Jamil, dilahirkan pada 1879, pada masa KH. Abbas Abdul Jamil, Buntet Pesantren mengalami kemajuan pesat. Sepeninggal KH. Abbas Abdul Jamil, pimpinan pesantren dipegang oleh putra sulungnya, KH. Mustahdi Abbas, dilahirkan pada tahun 1913. Di bawah kepemimpinan KH. Mustahdi Abbas (1947-1949), pesantren tidak bisa berbuat banyak, karena para kiai, guru, dan para santri masih dituntut tenaga dan pikirannya untuk berperang melawan tentara Belanda dalam perang kemerdekaan, saat Belanda melancarkan Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948). Setelah masa kepemimpinan KH. Mustahdi Abbas berakhir, Buntet Pesantren dipimpin oleh KH. Mustamid Abbas. Dalam sejarah, KH. Musatamid Abbas tercatat sebagai orang yang pertama kali menyetujui Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Setelah masa kemimpinan KH. Mustamid Abbas, Buntet Pesantren dipimpin oleh KH. Abdullah Abbas pada masa ini jumlah santri Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat. KH. Abdullah Abbas merupakan sosok ulama yang tidak banyak bicara, tetap banyak kerja dan berusaha, berkepribadian sederhana, wara’, ikhlas, dan tawadhu. Beliau juga terkenal sebagai ulama yang selalu memperhatikan Hak-hak
49
Asasi
Manusia
(HAM),
demokrasi,
keadilan,
dan
kesejahteraan
masyarakat. Kini kepemipinan Buntet Pesantren berada di pundak KH. Nahduddin Royandi Abbas. KH Nahdududdin Royandi Abbas kini bermukim di Londen Inggris, selain sebagai pimpinan Buntet Pesantren beliau juga Mustasyar NU Cabang Khusus London, beliau melakukan
upaya
dan
kesungguhan
untuk
meningkatkan
terus dan
mengembangkan Buntet Pesantren dengan terus meningkatkan sarana fisik, sumber daya santri, menajemen organisasi, dan eksesibillitas pesantren.19 Buntet Pesantren, memliki sistem pendidikan yang memadukan sistem pendidikan salafiyah ala pesantren dengan sistem khalafiyah (modern)
dalam
sistem
pengajarannya.
Dalam
penyelenggaraan
pendidikan, Buntet Pesantren dapat dikategorikan sebagai pesantren semi modern. Sistem lama yang tradisional digabungkan dengan sistem madrasah (sekolah) yang bersifat modern. Bila dikelompokkan, maka di Buntet Pesantren, para santri mengikuti pendidikan khusus kepesantrenan dan juga mengikuti pendidikan madrasah dan sekolah. Dengan melalui dua jalur ini, pagi hari mereka belajar di madrasah atau sekolah, sedangkan sore hari mereka mengkuti pendidikan pesantren.
19
Olman Dahuri dan M. Nida’ Fadlan, Pesantren-pesantren Berperngaruh di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), h. 2-8.
50
Buntet Pesantren, dengan segala potensi yang dimiliki terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan, pada tahun 1958 didirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan Lembaga Pendidikan Islam (LPI). Dalam perkembangan selanjutnya, status LPI diubah menjadi sebuah yayasan yang berbadan hukum dengan nama Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren. Dalam pengelolaannya, YLPI membagi tugas organisasi ke dalam departemen-departemen, unit-unit pelaksana, dan unit teknis. Unit-unit tersebut diantaranya, Taman Kanak-kanak Islam (RA), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI) Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putra I, MTs NU Putra II, dan MTS NU Putri, Madrash Aliyah Nahdlatul Ulama (MA NU) Putra Putri, Sekolah Menengah Kejuruan Nahdlatul Ulama (SMK NU) Mekanika, Akademi Keperawatan (AKPER), Lembaga Bahasa Inggris dan Arab, kursus komputer, bhatsul masa’il, Ikatan Keluarga Asrama Pondok Buntet Pesantren (IKAPB). Pada tahun 2009, pengembangan pendidikan di lingkungan Buntet Pesantren berkembang dengan berdirinya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dibawah Kementrian Pendidikan dan Budaya, SMP Ma’arif adalah sekolah yang berada pada lingkungan Buntet Pesantren, dan bukan bagian dari unit Yayasan Lembaga Pendididkan Islam (YLPI) Buntet Pesantren,
51
SMP Ma’arif berada di bawah Yayasan Nadwatul Banin, yang dipimpin oleh KH Anis Manshur.
BAB IV TRADISI PERJODOHAN DAN PERSEPSI SOSIAL KEAGAMAAN A. Pandangan Kyai Buntet Pesantren tentang Perjodohan Apabila
memperhatikan
ketentuan-ketentuan
hukum
yang
mengatur tentang perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi “perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1) berbunyi “Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai”. Menurut penulis, perjodohan yang telah menjadi tradisi di kalangan pesantran, terutama di Buntet Pesantren tidak memperhatikan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, karena perjodohan yang dilaksanakan di kalangan pesantren terkesan memaksakan putra putrinya. Padahal, dalam pernikahan persetujuan kedua calon sangatlah penting, agar tetap terjalinnya keharmonisan untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. Menurut Hiroko Horikoshi para keluarga ulama telah mengatur perkawinan-perkawinan keluarganya dengan maksud agar sejalan dengan kepentingan kelembagaan mereka sendiri.1 Perkawinan yang banyak
1
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta : p3m 1987), h. 44.
52
53
dilakukan oleh keluarga kyai adalah perkawinan endogamous, perkwinan endogamous adalah perkawinan yang dilakukan antar sesama keluarga atau kerabat terdekat. Dengan adanya perkawinan endogamous dikalangan keluarga
kyai
inilah
perjodohan
mulai
menjadi
cara
untuk
mempertemukan putra putrinya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Kyai Buntet Pesantren, penulis melakukan wawancara dengan KH Ade Nasihul Umam, menurut KH Ade Nasihul Umam, perjodohan di Buntet Pesantren bermula dari pesannya orang tua terdahulu yang mengharuskan putra putrinya untuk menikah dengan kerabat terdekat, karena putra putri kyai dididik untuk tidak mempertanyakan atau dididik agar selalu mematuhi perintah orang tua, maka perintah orang tua terdahulu tidak dapat ditolak. Maka hingga saat ini perkawinan antar sesama saudara atau pernikahan endogamous marak di Buntet Pesantren. Alasan kyai menjodohkan putra putrinya adalah untuk menghindari konflik yang timbul akibat perbedaan status, karena dengan menikahkan anaknya kepada saudara terdekat dapat dipastikan sudah sama-sama saling faham dan memaklumi. Selain itu, alasan lainnya adalah untuk keberlangsungan pondok pesantren ke masa yang akan datang.2 Selanjutnya penulis mewawancarai KH Salman Al Farisi, ia mengatakan bahwa para kyai Buntet Pesantren lebih sering menjodhkan
2
Wawancara pribadi dengan KH Ade Nasihul Umam (Minggu, 2 agustus 2015 pukul 20.00 wib. Di kediaman beliau).
54
anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Karena, para kyai menginginkan menantunya nanti dapat meneruskan pondok pesantren.3 Menurut Ustadz M. Lutfi Yusuf, ia mengatakan bahwa perjodohan di Buntet Pesantren mempunyai tujuan untuk menjaga keturunan, oleh sebab itu perkawinan endogamous marak dilakukan oleh keluarga kyai Buntet Pesantren4. Dan menurut Lutfi juga, bahwa tradisi perjodohan di Buntet Pesantren itu terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, adalah perjodohan yang dilakukan oleh Kyai di Buntet Pesantren dengan adanya paksaan, tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu terhadap anak yang akan dijodohkan. Dan bagian kedua, kyai cenderung menawarkan terlebih dahulu kepada anaknya yang akan dijodohkan, dan seorang kyai lebih dominan menjodohkan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Bagian kedua inilah yang masih menjadi tradisi di Buntet Pesantren. Melihat pandangan Kyai Buntet Pesantren tentang perjodohan, faktor utama perjodohan menjadi tradisi di komunitas pesantren terutama dikalangan keluaraga Buntet Pesantren adalah menjaga keturunan. Seperti yang dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofir bahwa para kyai merasa bertanggung jawab “menjaga” anggota keluarga dan keluarganya yang terdekat dari ancaman neraka. Merujuk pada firman Allah SWT.
3
Wawancara pribadi dengan KH Salman Al Farisi (Minggu, 2 agustus 2015 pukul 22.00 wib. Di kediaman beliau). 4 Wawancara pribadi dengan Ustadz M. Lutfi Yusuf (Jum’at, 31 Juli 2015 pukul 21.00 wib. Dikediaman beliau)
55
ُﺤﺠَﺎرَة ِ ْس وَاﻟ ُ ﯾَﺎ أَﱡﯾﮭَﺎ اﱠﻟﺬِﯾﻦَ آﻣَﻨُﻮا ﻗُﻮا أَﻧ ُﻔﺴَﻜُ ْﻢ وَأَ ْھﻠِﯿ ُﻜ ْﻢ ﻧَﺎرًا َوﻗُﻮدُھَﺎ اﻟﻨﱠﺎ َظ ﺷِﺪَا ٌد ﻟﱠﺎ ﯾَ ْﻌﺼُﻮنَ اﻟﱠﻠﮫَ ﻣَﺎ أَﻣَﺮَھُ ْﻢ َوﯾَ ْﻔ َﻌﻠُﻮنَ ﻣَﺎ ﯾُﺆْﻣَﺮُون ٌ ﻋَﻠ ْﯿﮭَﺎ ﻣَﻠَﺎ ِﺋﻜَﺔٌ ﻏِﻠَﺎ َ (6 : )اﻟﺘﺤﺮﯾﻢ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai (perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”,(Q.S. At-Tahrim/66: 6). Perkataan ahli dalam ayat Al Qur’an tersebut selalu diartikan oleh para kyai sebagai “sanak keluargamu”, sehingga dengan demikian perintah Tuhan yang tertulis dalam Al Qur’an tersebut (agar kita menjaga ahli dari api neraka) tidak terbatas kepada keluarga batih (istri dan anakanak) kyai saja.5 B. Perjodohan Menurut Hukum Islam Islam merupakan salah satu agama yang suka memberi tuntunan hidup. Hidup tanpa aturan dalam kondisi tertentu bisa melahirkan benturan di sana-sini. Memang tidak setiap hal diatur. Dalam sejumlah hal, Islam memberikan keleluasaan pemeluknya untuk mengatur. Namun begitu, Islam tidak mengatur sepenuhnya dalam satu urusan. Misalnya saja perjodohan. Menurut Wahbah Az Zuhaili menyatakan bahwa perjodohan dalam Islam harus mengikuti beberapa aturan, seperti yang telah diatur oleh mazhab Syafi’i, menurut mazhab
5
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. (Jakarta: LP3ES 2011), h. 109.
56
Syafi’i perjodohan pada anak perempuan yang masih perawan dan telah baligh dan berakal dapat meminta izin kepadanya, dan diamnya si anak adalah jawaban sebagai persetujuannya.
Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
ﻦ ﻋَ ْﺒ ِﺪ ْ َ ﻋ،ٍﻦ ﺳَ ْﻌﺪ ِ ﻦ زِﯾَﺎدِ ْﺑ ْ َ ﻋ،ُ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳُ ْﻔﯿَﺎن،ٍﺳﻌِﯿﺪ َ ﻦ ُ ﺣﺪﺛﻨﺎ ُﻗﺘَ ْﯿ َﺒ ُﺔ ْﺑ ن ّ َأ:ٍﻋﺒَّﺎس َ ِ ﻋَﻦِ ا ْﺑﻦ،ُ ُﯾﺨْ ِﺒﺮ،ٍ ﺳَ ِﻤ َﻊ ﻧَﺎﻓِﻊَ ْﺑﻦَ ﺟُﺒَ ْﯿﺮ،ِﻀﻞ ْ اﻟﻠَّﮫِ ْﺑﻦِ اﻟْ َﻔ ،ﻦ وَﻟِﯿِّﮭَﺎ ْ ِﻖّ ﺑِﻨَ ْﻔﺴِﮭَﺎ ﻣ ُ َ " اﻟﺜَّﯿِّﺐُ َأﺣ:َﺳَّﻠ َﻢ ﻗَﺎل َ َﻋﻠَ ْﯿﮫِ و َ ﷲ ُ اﻟ َﻨّ ِﺒﻲَّ ﺻََﻠّﻰ ا ( وَِإ ْذﻧُﮭَﺎ ﺳُﻜُﻮ ُﺗﮭَﺎ" )رواه ﻣﺴﻠﻢ،ُﺴﺘَ ْﺄﻣَﺮ ْ ُوَا ْﻟﺒِ ْﻜ ُﺮ ﺗ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin AlFadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421]. Berbeda dengan Janda, Janda yang akan dijodohkan oleh orang tuanya harus memperoleh izin dari si Janda dan tidak cukup sekedar diamnya saja. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Muslim:
ﻖ ﻟِﻨَ ْﻔﺴِﮭَﺎ ﺐ أَﺣَ ﱠ ُ ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻗَﺎلَ اﻟﱠﺜﱢﯿ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋَﱠﺒﺎسٍ اَ ﱠ (ﺳ ُﻜ ْﻮُﺗﮭَﺎ )رواه ﻣﺴﻠﻢ ُ ﺴﺘَ ْﺄﻣَ ُﺮ وَإِ ْذُﻧﮭَﺎ ْ ﻦ وَﻟِﱢﯿﮭَﺎ وَا ْﻟﺒِ ْﻜ ُﺮ ُﺗ ْ ِﻣ Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya dan tanda persetujuannya adalah diam. (HR. Muslim)
57
Asas persetujuan dalam pernikahan yang diungkapkan oleh hukum Islam di Indonesia didasarkan pada hukum Islam yang menyatakan bahwa dalam suatu pernikahan terdapat pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pihak-pihak yang berhak akan perkawinan tersebut. Dalam asas persetujuan pernikahan Islam terdapat hak beberapa pihak yaitu :6 a. Hak-hak Allah b. Hak-hak orang yang akan menikah c. Hak wali. Yang dimaksud Hak Allah ialah dalam melaksanakan pernikahan itu harus diindahkan ketentuan Allah, seperti adanya kesanggupan dari orangorang yang akan nikah dengan seseorang yang dilarang nikah dengannya dan sebagainya. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan maka pernikahan menjadi batal. Di samping itu ada hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali. Mengenai hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali ini tersebut dalam hadist :
ﻦ وَﻟِﱢﯿﮭَﺎ ْ ِﻖ ﻟِﻨَ ْﻔﺴِﮭَﺎ ﻣ ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻗَﺎلَ اﻟﱠﺜﱢﯿﺐُ أَﺣَ ﱠ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋَﱠﺒﺎسٍ اَ ﱠ (ﺴﺘَ ْﺄﻣَﺮُ وَإِ ْذﻧُﮭَﺎ ﺳُﻜُ ْﻮﺗُﮭَﺎ )رواه ﻣﺴﻠﻢ ْ ُوَا ْﻟﺒِ ْﻜﺮُ ﺗ Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya dan tanda persetujuannya adalah diam. (HR. Muslim).
6
http://hakamabbas.blogspot.com/2014/03/nikahpaksa.html#sthash.Ha3hqPgk.dpuf (Senin, 31 Agustus 2015 pukul 22.30 wib)
58
Hadits di atas menerangkan bahwa orang-orang yang akan nikah baik lakilaki ataupun perempuan mempunyai hak atas pernikahannya, begitu pula walinya. Akan tetapi orang yang akan nikah lebih besar haknya dibanding dengan hak walinya dalam pernikahannya itu. Wali tidak boleh menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak disukai. Wali berkewajiban meminta pendapat anak perempuannya mengenai laki-laki yang akan dijodohkan, apakah ia mau menerima laki-laki itu atau menolaknya.7 Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan haknya atau tidak melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya. Hak ijbar (memaksa) dalam Islam dimiliki oleh wali mujbir, namun bukan berarti wali mujbir berhak menjodohkan anaknya tanpa memberikan persetujuan kepada anaknya. Di dalam Islam, hak ijbar dimaknai sebagai bimbingan atau arahan seorang wali kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang sesuai. Adanya keihlasan, kerelaan dan izin dari seorang anak gadis adalah hal yang tidak bisa diabaikan, sebab seorang anaklah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga dan waktunya rentang lama (permanent/muabbad) dan bukan untuk waktu yang sementara (muaqqat). C. Analisis Penulis Tradisi perjodohan yang berlangsung di keluarga Kyai Buntet Pesantren mempunyai dasar sesuai dengan hadis Nabi:
7
Ghazali Mukri, terj. Panduan Fikih Perempuan, karya Yusuf Al Qardhawi, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), h. 126.
59
ِﻇﻔَ ْﺮ ِﺑﺬَاتِ اﻟﺪَّ ْﯾﻦ ْ ﺠﻤَﺎِﻟﮭَﺎ وﻟِﺪِ ْﯾﻨِﮭَﺎ ﻓَﺎ َ ِﺴﺒِﮭَﺎ وﻟ َﺤ َ ِ ِﻟﻤَﺎﻟِﮭَﺎ وﻟ:ٍﺢ اﻟﻤَ ْﺮَأ ُة ِﻟﺄَ ْرﺑَﻊ ُ َُﺗﻨْﻜ 8
( )رواه اﻟﺒﺨﺎرى.َﺖ ﯾَﺪَاك ْ ََﺗﺮِﺑ
Artinya: “Seorang perempuan (boleh) dinikahi karena empat hal: karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”. (H.R. Bukhāri). Dapat dilihat dari hadis di atas, menurut penulis kyai Buntet Pesantren menjodohkan putra putrinya sesuai dengan konsep kafa’ah (sekufu) dalam islam, dan alasan yang menjadi prioritas kyai Buntet Pesantren menjodohkan anaknya adalah karena keturunanya dan karena agamanya. Dalam arti bahwa calon suami dan calon istri harus seagama yaitu sama-sama Islam, dan mempunyai tingkatan akhlak ibadah yang seimbang. Selain itu, calon suami dan calon istri diharapkan masih keturunan keluarga Buntet Pesantren, karena dengan masih adanya hubungan kekeluargaan, akan menjadikan kemakluman dan saling memahami antar keluarga dan calon suami dan istri.9 Di Indonesia sendiri masalah kriteria/ukuran kafā`ah ini tidak dibahas secara jelas, baik dalam Undang-undang perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam hanya dijelaskan:
8
Abī Abdillāh Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhim bin al-Muġīrah al-Bukhāri al-Ja’fiy, Şahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 445. 9 Wawancara pribadi dengan KH Ade Nasihul Umam (Minggu, 2 agustus 2015 pukul 20.00 wib. Di kediaman beliau).
60
a.
Bab VI tentang larangan Nikah pasal 40 dijelaskan bahwa seorang pria itu dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam.10
b.
Bab X tentang pencegahan perkawinanpasal 61 menerangkan bahwa tidak sekufu tidak dijadikan alas an untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama. Konsep kafa’ah dalam seagama dan senasab yang menjadi faktor
perjodohan di Buntet Pesantren mempunyai tujuan agar tetap terjadi hubungan pernikahan yang sakinah, mawaddah warahmah. Yang mana apabila seorang kyai menikahkan anaknya dengan yang bukan senasab atau yang bukan keturunan kyai, maka dikhawatirkan akan timbul rasa tidak percaya diri dari salah satu pasangan dan menyebabkan akan terjadinya ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Mengenai hak ijbar yang menjadi alasan lain seorang kyai menjodohkan anaknya, menurut penulis seorang kyai harus dapat berdialog atau memusyawarahkan terlebih dahulu kepada anaknya apabila hendak menjodohkannya, agar tidak melanggar Pasal 6 ayat (1) Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dimana UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua calon mempelai, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun.
10
Kompilasi Hukum Islam: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Fokus Media, 2012), h. 16.
61
Perkawinan endogami yang menjadi faktor pendukung adanya perjodohan di Buntet Pesantren dapat dilihat dari data yang penulis dapatkan. Berikut ini beberapa pasangan yang menerapkan pernikahan endogami dalam perkawinannya. Di antaranya yaitu: 1.
K.H Adib Rofi`uddin Izza bin KH izzudin (Pondok Pesantren alInaroh) dengan Hj syarifah binti KH Hamid Anas (Pondok Pesantren Falahiyyah Futuhiyyah).
2.
R. Zidni Ilman bin KH Nasiruddin (Pondok Pesantren al-Khiyaroh) dengan Endah Ayu Fikriyah binti K.H Adib Rofi`uddin Izza (Pondok Pesantren al-Inaroh).
3.
M Faris Al-Hak bin KH Fuad Hasyim (Pondok Pesantren Nadwatul Ummah) dengan Dewi Aisyah binti KH Fahim (Pondok Pesantren darul Hijroh).
4.
M. Farid NZ bin KH Nasiruddin (Pondok Pesantren al-Khiyaroh) dengan Qistintoniyah Zamrud binti KH Baidlowi Yusuf (Pondok Pesantren Subbaniyah Islamiyah).
5.
KH Anis Manshur bin KH Arsyad (Pondok Pesantren Nadwatul Banin) dengan Siti Aisyiah binti KH Abdullah Abbas (Pondok Pesantren Al Istiqomah).
6.
Ade Nasihul Umam bin KH A Nidzommudin (Pondok Pesantren Al Muttaba) dengan Lela binti KH Abdullah Abbas (Pondok Pesantren Al Istiqomah).
62
7.
Nuruddin bin Kiai Abdul Jalil dengan Elok binti KH Anas Arsyad (keduanya adalah cucu dari KH Arsyad).
8.
Fikri Mubarok bin Hafash (Pondok Pesantren Al Muttaba) dengan Fina Nurul Fitriah binti H Amin Subagyo (Pondok Pesantren Falahiyah Futuhiyah). Dari beberapa contoh perkawinan di atas semuanya menerapkan
perkawinan endogami, dalam hubungan perkawinanya masih memiliki garis keturunan yang sama dan berdekatan atau dapat dikatakan senasab. Menurut
pandangan
penulis,
dengan
diterapkannya
konsep
perkawinan endogami di dalam keluarga Buntet Pesantren, menjadikan rumah tangga masing-masing pasangan ini harmonis dan dapat dikatakan sebagai keluarga sakinah mawaddah warahmah, dan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat maupun santrinya. Dan yang paling penting yaitu dapat menjadi penerus yang baik yang mampu meneruskan estafet perjuangan orang tuanyanya, sehingga Pesantren Buntet bisa terus berkembang dalam mencetak santri yang berkualitas.
BAB V PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah penulis kemukakan, maka dapat penulis tarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut. A. Kesimpulan 1. Tradisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga pesantren, di Buntet Pesantren sah menurut agama Islam, hanya saja diperlukan adanya dialog atau penawaran terlebih dahulu kepada anak yang akan dijodohkan. 2. Yang melatarbelakangi kyai dan keluarga Buntet Pesantren menjodohkan anaknya adalah karena untuk menjaga nasab. Nasab atau keturunan di dalam keluarga pesantren sangat penting perannya. Karena itu, untuk menjaga nasab maka para kyai menjodohkan anaknya kepada keluarga yang satu nasab atau sama-sama kyai. 3. Doktrin untuk taat dan patuh terhadap orang tua sangat ditekankan dalam keluarga pesantren. Dalam artian, seorang anak tidak dapat membantah apa yang telah diperintahkan orang tuanya kepada anaknya, di sinilah yang menurut penulis adanya semi pemaksaan saat kyai akan menjodohkan anaknya. 4. Rata-rata yang telah dijodohkan orang tuanya atau kyai Buntet Pesantren menjalin rumah tangga yang harmonis, dan dapat dikatakan sakinah, mawadah warahmah. Dalam hal ini berarti mindset (pola fikir) masyarakat tentang perjodohan yang dikhawatirkan tidak akan langgeng bila pernikahan dilakukan dengan perjodohan telah terbantah. Karena apabila perjodohan dikemas dengan baik dan demokratis, maka akan mencapai
63
64
cita-cita sebuah perkawinan, yaitu perkawinan yang sakinah, mawadah warahmah. B. Saran 1. Hendaknya orang tua atau keluarga Buntet Pesantren memahami dan mengerti, jika anaknya hendak di nikahkan atau dijodohkan maka orang tua atau kyai harus mengadakan dialog dan musyawarah kepada anaknya secara terbuka tanpa intervensi. 2. Apabila seorang anak sudah memiliki pilihannya sendiri, sebaiknya diterima tanpa harus memandang nasab atau keturunan, karena akhlak yang baik sudah menjadi tolok ukur kriteria pasangan yang baik. Dan setiap orang mempunya kebebasan sendiri dalam hal cinta. 3. Untuk mewujudkan cita-cita perkawinan, sebaiknya rencana perjodohan diberitahu jauh-jauh hari kepada anak yang akan dijodohkan, agar si anak dapat saling mengenal satu sama lain, walaupun kedua orang tua mereka sudah saling mengenal. 4. Bagi anak yang dijodohkan apabila merasa dipaksa oleh orang tuanya maka dapat mengajukan pembatalan perkawinan, sesuai dengan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009. Ashqolani, al, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Harramain. Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam, 2004. Aziz, Abdul. ensklopedia Islam. Jakarta: PT. IkhtiarBaru Van Hoove, 1994. Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutamaan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah). Jakarta: CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Bukhari, al, Muhammad bin Ismail, Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Fikr. Dahuri, Olman dan M. Nida, Fadlan, Pesantren-pesantren Berperngaruh di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015. Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren studi pandangan hidup kyai dan vsisinya mengenai masa depan Indonesia. Jakarta: LP3S. 2011. Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya : Bina Ilmu, 1995.
65
66
Djalil, Basiq. Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo. Jakarta: Qolbun Salim, 2007. Eliza, Mona. Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya. Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2009. Fadlullah, Sayyid Muhammad Husain Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa. Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf. Jakarta: Lemtara Basritama, 2000. Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarkat (P3M), 1987. Ismail, Faisal. NU Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan. Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2007. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi . Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Kompilasi Hukum Islam: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Bandung: Fokus Media, 2012. Mujib, Abdul dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, kajian fikih nikah lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Mukhtar, Kamal. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
67
Munawwir, Ahamad Warson.
Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia.
Yogyajarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984. Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Qomar, Mujamil. Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta: Erlangga. Rahmawati,
Jurnal
PERAN
WALI
DAN
PERSETUJUAN
MEMPELAI
PEREMPUAN: Tinjauan atas Hukum Islam Konveensional dan Hukum Islam Indonesia. Dosen LB PKPBA UIN Malang. Rasyid, Hamdani. kaderisasi Ulama di Pesantren, dalam Dinamika Pesantren Telaah Kritis terhadap Keberadaan Saat ini. Jakarta: Yayasan Islam AlHidayah Yayasan Saefuddin Zuhri, 1998. Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunah. Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah Sahrani, Sobari dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009. Shabbagh, al, Mahmud. Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam. Bandung: PT Remaja Rosda, 1994. Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta:Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
68
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: CV. Kencana Prenada Media, 2009. Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bakti, 1958. __________ ,Pesantren Masa Depan, wacana pemberdayaan dan transformasi pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. www.buntetpesantren.org/p/sejarah.html. www.hakamabbas.blogspot.com/2014/03/nikahpaksa.html#sthash.Ha3hqPgk.dpuf (diakses Senin, 31 Agustus 2015 pukul 22.30 wib). Zain, Muhammad dan Mukhtar, Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis. Jakarta: Grahacipta, 2005. Ziemiek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta;P3M, 1986. Zuhaili, al, Wahbah, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayie al-kattani, dkk. Damaskus: Darul Fikr,2007.
69
69
70
PEDOMAN WAWANCARA 1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluargakyai Buntet Pesantren. 2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya. 3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat terdeka. 4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya. 5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan. 6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan. 7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya.
69
71
HASIL WAWANCARA Nama: KH ADE NASHIHUL UMAM. Lc Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2015 1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet Pesantren. Riwayat asal mula tradisi perjodohan di Buntet Pesantren, dimulai dari pesan KH Abdul Jamil kepada anak-anaknya “Kawinnya jangan saam orang jauh, lebih baik dengan orang dekat (saudara)”. Penjelasannya adalah, jika kita menikah dengan orang dekat (saudara) dapat saling memaklumi baik kekurangan maupun kelebihan kita, karena yang namanya perkawinan itu tidak bisa lepas dengan ma’isyah (sumber kehidupan). 2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya. Peran orang tua masih sangat besar dalam menjodohkan putra putrinya. 3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat terdekat. Kebanyakannya iya, karena yang menjadi faktornya perjodohan adalah untuk menjaga keturunan. Oleh sebab itu pernikahan dengan saudara agar untuk keberlangsungan pondok Buntet Pesantren. 4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya. Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan). kemudian faktor yang menjadi alasan untuk menjodohkan, akhlak yang sholeh dan seorang
69
72
kyai akan menjodohkan putrinya dengan lelaki yang bisa ngaji (pintar dalam ilmu agama). 5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan. Ada yang sudah dijodohkan sejak kecil, tapi kebanyakan dijodohkan saat memasuki usia baligh. 6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan. Iya, tradisi perjodohan berdampak positif bagi masyarakat dan keluarga Buntet Pesantren, oleh sebab itu tradisi perjodohan masih lestari di keluarga Kyai Buntet Pesantren. 7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya. Yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. “seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya”.
Nama: Ustadz M. Lutfi Yusuf Hari/Tanggal: Jum’at, 31 Juli 2015 1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet Pesantren.
69
73
Perjodohan di Buntet dibagi menjadi dua: 1. Pada zaman dahulu di Buntet Pesantren anak laki-laki dan perempuan di Jodohkan. 2. Saat ini di Buntet Pesantren, cenderung yang dijodohkan perempuan. 2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya. Saat ini peran orang tua hanya menawarkan kepada anaknya yang akan dijodohkan, apakah ia bersedia atau tidak. Tidak ada unsur pemaksaan seperti dulu. 3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat terdekat. Kebanyakan iya pada kerabat terdakat, tetapi ada juga kepada keluarga kyai di luar Buntet Pesantren. 4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya. Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan) 5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan. Saat memasuki usia baligh. 6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan. Persontase perjodohan di Buntet Pesantren telah menurun. Oleh sebab itu dapat dikatakan hanya beberapa kyai saja yang masih menerapkan konsep perjodohan. Nama: KH Salman Al Farisi Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2015 1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet Pesantren.
69
74
Riwayat asal mula tradisi perjodohan di Buntet Pesantren, dimulai dari pesan KH Abdul Jamil kepada anak-anaknya “Kawinnya jangan saam orang jauh, lebih baik dengan orang dekat (saudara)”. Penjelasannya adalah, jika kita menikah dengan orang dekat (saudara) dapat saling memaklumi baik kekurangan maupun kelebihan kita, karena yang namanya perkawinan itu tidak bisa lepas dengan ma’isyah (sumber kehidupan). 2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya. Peran orang tua masih sangat besar dalam menjodohkan putra putrinya. Karena ada hak ijbar wali (orang tua). 3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat terdekat. Tidak selalu kerabat dekat. Bisa juga dengan kerabat jauh, seperti saya sendiri yang nikah dengan istri saya yang tidak ada hubungan kerabat dengan Buntet Pesantren. Alasan para kyai menjodohkan anaknya kepada kerabatnya karena sudah saling mengetahui. 4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya. Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan). 5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan. Ada yang sudah dijodohkan sejak kecil, tapi kebanyakan dijodohkan saat memasuki usia baligh. 6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan.
69
75
Tidak menjadi keputusan mutlak. karena saat ini sudah ada kelonggaran dalam keluraga kyai, terutama anak laki-laki biasanya mendapat kelonggaran untuk memilih jodoh. 7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya. Yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. “seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya”.
Nama: FINA NURUL FITRIAH Hari/tanggal: Rabu, 16 September 2015 8. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluargakyai Buntet Pesantren. Dari pihak perempuan mendatangi rumah laki-laki untuk meminta atau meminang calon penganten laki-laki, disebut daden-daden. 9. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya Sangat berperan penting, karena pihak perempuan yang dijodohi selalu menuruti apa kata orang tua, manut ke orang tua.. 10. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat terdeka.
69
76
Biasanya seperti itu, selalu pada keluarga terdekat atau saudara jauh. Tapi seringnya selalu saudara dekat. 11. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya. Mungkin salah satu faktornya yaitu karena keluarga dekat atau saudara dekat jadi dijodohkan anak-anaknya, atau kalau saudara jauh, supaya lebih dekat kekeluargaan atau persaudaraan biar makin erat. 12. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan. Tidak tentu, tapi biasanya dari umur 18 sampe 22 tahun 13. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan. Waktu dulu iya, tapi sekarang banyak juga banyak yang tidak melakukan perjodohan. 14. Bagaimana respon anda sebagai anak Kyai yang dijodohkan? Respon saya, ya semua ini pasti ada maksud baik dan intinya kalau nurut sama orang tua, pasti kesananya akan baiak-baik saja..
69