Titik Kritis-Titik Kritis Implementasi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Masa Depan1 Oleh: Adzkar Ahsinin2 Pendahuluan 1.
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mulai berlaku secara efektif sejak 31 Juli 2014 lalu, dua tahun sejak diundangkannya undang-undang ini pada 30 Juli 2012.3 Filosofi dasar keberadaan UU SPPA terbaca pada konsideran menimbang undang-undang ini bahwa “untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.” Selain itu, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
2. UU SPPA ini melengkapi rezim hukum perlindungan anak di Indonesia sejak diratifikasinya Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pasca ratifikasi terdapat beberapa undang-undang yang menempatkan anak sebagai subyek hukum perlindungan anak sebagai upaya transformasi norma-norma dan prinsip-prinsip KHA menjadi norma hukum positif yang mengikat setiap warga negara. Menurut Ian Brownlie keberadaan legislasi nasional berperan strategis karena menjadi tolok ukur apakah suatu perjanjian internasional dapat dianggap berlaku atau tidak dalam ranah hukum nasioal negara peratifikasi.4 Beberapa undang-undang yang membentuk rezim hukum perlindungan anak antara lain UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,5 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.6
1
Catatan untuk Diskusi dan Media Briefing dengan Tema : “Prospek Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform, 18 November 2014 2 Bekerja pada Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Jakarta 3 Lihat Pasal 108 menyatakan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. 4 Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Edisi Pertama, Alumni, Bandung, 2011 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 telah mengalami revisi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014. 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Pengesahan revisi Undang-Undang Ini menurut salah seorang ahli di LPSK menjadi energi baru bagi saksi dan korban karena ada perluasan subyek perlindungan termasuk anak di bawah umur. Lihat Maharani Siti Shopia, Energi Baru Bagi Saksi Dan Korban, Kompas, 10 November 2014
Hal. | 1
Prinsip-Prinsip dan Norma-Norma Universal Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum 3. Terdapat 2 pasal payung yang menjadi norma yang dijadikan dasar untuk memberikan perlindungan khusus terhadapa anak yang berhadapan dengan hukum, yakni Pasal 37 dan Pasal 40 KHA. Apabila merujuk pada KHA, kedua pasal ini terdapat norma- norma yang melandasi beroperasinya sistem peradilan pidana anak,yaitu:7 Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa (Pasal 37 (c)); Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undangundang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan tepat (Pasal 37 (b)); Setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, memperkuat kembali penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar, memperhatikan usia anak, mengintegrasikan kembali anak dan anak diberikan peran konstruktif dalam masyarakat (Pasal 40 (1)); Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana mendapatkan perlindungan dan jaminan sesuai hak-haknya (Pasal 40 (2)); Mengembangkan reformasi legislasi, prosedur-prosedur, kelembagaan yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana (Pasal 40 (3)); Mengembangkan mekanisme diversi agar anak tidak perlu memasuki proses peradilan secara formal. Keseluruhan norma-norma ini dalam implementasinya harus mengaitkan dengan 4 prinsip KHA yakni hak hidup dan tumbuh kembang (Pasal 6); non-diskriminasi (Pasal 2); kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3); dan hak untuk berpartisipasi (Pasal 12). Selain keempat prinsip ini, terdapat prinsip yang juga perlu diperhatikan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu hak anak atas perkembangan kapasitasnya (right to evolving capacities) seperti tercantum dalam Pasal 5 KHA. 8 Dalam konteks, anak yang berhadapan dengan hukum, menurut anak hak anak atas perkembangan kapasitas diri terkait dengan penetapan usia pertanggungjawaban pidana dan perlindungan anak dari faktor sosial dan ekonomi yang merugikan/membahayakan anak.9 Di samping itu, dalam menjalankan kewenangannya aparat penegak hukum juga memiliki kewajiban untuk mencegah penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam serta memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan fisik atau psikis, cedera atau penyalahgunaan, penelantaran atau lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual (Pasal 37 dan Pasal 19 KHA).
7
United Nation Office in Drugs and Crime, Cross-Cutting Issues: Juvenile Justice Criminal Justice Assessment Toolkit, United Nation, NY, 2006 8 Pasal 5 Konvensi menyatakan bahwa negara harus menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orang tua atau, atau apabila dapat diberlakukan, para anggota keluarga atau masyarakat sebagaimana diatur oleh adat setempat, wali hukum atau orang lain secara hukum bertanggung jawab atas anak, untuk memberikan, dengan cara yang tepat dengan kapasitas yang berkembang dari anak, pengarahan dan pembimbingan yang tepat dalam pelaksanaan oleh anak mengenai hak yang diakui dalam konvensi ini. 9 Gerison Lansdown, The Evolving Capacities of the Child, Innocenti Insight, United Nations Children’s Fund, 2005
Hal. | 2
Identifikasi Awal Faktor-Faktor yang Berpotensi Menghambat Implementasi UU SPPA 4. Salah satu cara untuk melihat prospek implementasi UU SPP di masa depan adalah dengan menilai kesesuaian norma dalam UU SPPA dengan standar universal perlindungan hak asasi manusia anak yang berkonflik dengan hukum. Beberapa norma dalam UU SPPA yang tidak sesuai standar universal perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, 10 antara lain mengenai isu-isu berikut ini: Penetapan usia pertanggung jawaban pidana anak Penetapan usia menjadi sangat mendasar dalam perlindungan anak karena menyangkut 2 isu: 1) batas minimal usia seorang anak dianggap memiliki kapasitas mental untuk melakukan tindak pidana; dan 2) batas usia minimal anak dianggap layak untuk memikul tanggung jawab terhadap penuntutan dan sanksi formal atas tindak pidana yang dilakukannya. Batas usia minimal pertanggungjawaban pidana menurut Pasal 1 angka 3 UU SPPA adalah 12 tahun. Batasan ini apabila disandingkan dengan Komentar Umum Komite Hak Anak No. 10 (2007) mengenai Hak Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Children’s Rights in Juvenile Justice) menyatakan bahwa usia minimal pertanggungjawaban pidana di bawah usia 12 tahun dianggap tidak dapat diterima secara internasional. Selanjutnya Komite mendorong negara-negara untuk memperkenalkan usia minimal pertanggungjawaban pidana yang lebih tinggi, misalnya 14 atau 16 tahun.11 UU SPPA belum menjadi rezim perlindungan anak yang bersifat khusus (sui generis) 12 Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 16 yang menyatakan Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain.13 Ketentuan ini membuka celah, ketentuan yang diberlakukan bagi 10
Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain yang telah menjadi standar universal dalam perlindungan anak berhadapan dengan hukum antara lain: Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik; Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Konvensi Menentang Penyiksaan; Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan; Komentar Umum No. 10 (2007) Komite Hak Anak tentang Hak-Hak Anak dalam Peradilan Anak; Pedoman PBB tentang Pencegahan Kenakalan Remaja (Pedoman Riyadh), 1990; Aturan Minimal PBB untuk Administrasi Peradilan Pidana Anak (Aturan Beijing), 1985; Aturan PBB untuk Perlindungan Remaja yang Kehilangan Kemerdekaan (Aturan Havana), 1990; dan Resolusi PBB 1997/30 mengenai Administrasi Peradilan Pidana Anak (Pedoman Wina), 1997. 11 Lihat Komentar Umum Komite Hak Anak Nomor (10) 2007. Lihat juga Peraturan Standar Minimum PBB untuk Administrasi Peradilan Anak (The Beijing Rules) tahun 1985 pada aturan 4 menegaskan penentuan usia minimal pertanggungjawaban pidana anak memperhatikan faktor emosional, mental, dan kematangan intelektual anak. 12 Untuk mengembangkan model fungsional hak anak yang sui generis terdapat beberapa langkah, yaitu: (1) mengakui dan memahami adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara anak dengan orang dewasa yang berpotensi disalahgunakan; (2) mengidentifikasi sumber keberadaan hak anak yang sui generis tepat terletak dalam relasi kuasa yang tidak seimbang anakanak dengan orang dewasa; (3) Sumber-sumber hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional harus dimanfaatkan untuk menemukan parameter yang tepat dalam memberikan perlindungan bagi pemenuhan hak anak yang sui generis dan (4) Memperkuat kelangsungan perlindungan anak melalui pendekatan yurisprudensi. Memodifikasi pemikiran Lolita Buckner Inniss, Toward a Sui Generis View of Black Rights in Canada - Overcoming the Difference-Denial Model of Countering Anti-Black Racism, Berkeley Journal of African-American Law & Policy, Volume 9/Issue 1, 2013 13 Selain Pasal 16 juga terdapat ketentuan lain yang membuka celah anak berpotensi diperlakukan sama dengan orang dewasa, misal Pasal 26 ayat (4) meyatakan Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Demikian juga Pasal 41 ayat (3) menyatakan hal serupa bahwa dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) yang mengatur bahwa dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi
Hal. | 3
setiap orang dan berlaku umum(orang dewasa) akan diberlakukan kepada anak-anak yang seharusnya membutuhkan ketentuan yang bersifat khusus sesuai karakteristik anak. Sifat lex specialis UU SPPA akan tereduksi karena merujuk pada KUHAP yang bersifat lex generalis. Ini berarti juga bertentangan dengan definisi peradilan pidana anak (juvenile justice) itu sendiri. Peradilan pidana anak mengacu pada undang-undang, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan, lembaga dan badan-badan khusus yang berlaku untuk pelaku tindak pidana anak.14 Kelembagaan khusus untuk Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Pasal 4 KHA mengatur bahwa untuk mengimplementasikan prinsip dan norma KHA dibutuhkan berbagai langkah-langkah meliputi legislatif, yudikatif, administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak. Sepanjang yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara akan mengambil langkah-langkah maksimal dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila diperlukan dalam kerangka kerjasama internasional. Tindakan-tindakan sebagaimana diatur dalam pasal tersebut meliputi:15 1) Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA; 2) Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak hak anak; 3) Mengalokasian dan menganalisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak. Butir ketiga kewajiban tersebut, kemudian diartikulasikan lebih rinci dalam The Guidelines for Periodic Report CRC Committee, yang meliputi:16 1) Pembagian anggaran publik yang proporsional untuk belanja layanan sosial baik di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi kepentingan anak, termasuk kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan; 2) Terdapatnya kecenderungan kenaikan anggaran publik untuk kepentingan anak; 3) Mengambil langkah-langkah guna memastikan semua kompetensi nasional dan daerah, termasuk para pengambil kebijakan anggaran publik, diorientasikan untuk kepentingan anak serta mengevaluasi penetapan prioritas alokasi anggaran yang ditujukan bagi kepentingan terbaik untuk anak. Apabila dikaitkan dengan implementasi UU SPPA, maka diperlukan kemauan politik yang baik (political will), khususnya penentuan arah politik (kebijakan) anggaran agar responsif terhadap perlindungan anak yang berada dalam sistem peradilan. Dalam kaitan ini, maka untuk mengimplementasikan UU SPPA dibutuhkan alokasi APBN yang besar untuk mengembangkan sistem peradilan pidana anak, misalnya kebutuhan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan sumber daya manusia yang bersifat khusus sesuai mandat undang-undang ini. Situasi-situasi berikut menggambarkan kebutuhan alokasi anggaran khusus untuk mengimplementasikan UU SPPA:
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal ini justru kontradiktif dengan alasan filosofis keberadaan dan spirit UU SPPA. 14 Anna Volz, Advocacy Strategies Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice, Defence for Children International, 2009 15 Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, USA, 1998 16 Rachel Hodgkin dan Peter Newell, ibid
Hal. | 4
1) UU SPPA masih menganut upaya paksa berupa penahanan dan penjara anak yang berhadapan dengan hukum, maka dibutuhkan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan khusus untuk menahan dan memenjarakan mereka. Apabila melihat kondisi nyata saat ini masih terbatasnya fasilitas rutan dan Lapas Anak, maka diperlukan alokasi anggaran yang besar untuk membangun fasilitas17 dan meningkatkan kapasitas SDM penegak hukum.18 Hal ini berkorelasi dengan fenomena-fenomena yang masih terjadi saat ini yakni anak tahanan dan narapidana anak dititipkan di rutan atau lapas orang dewasa karena keterbatasan infrastruktur pendukung. Situasi ini menyebabkan anak rentan mengalami tindak kekerasan. Di samping itu, fenomena terdapat beberapa lapas anak yang kelebihan kapasitas (over capacity) , di samping berpotensi terjadinya kekerasan, kelebihan kapasitas merupakan bentuk perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat anak. 2) Lembaga dan Profesi Pendukung Khusus Keberadaan lembaga dan profesi pendukung khusus untuk mendukung beroperasinya sistem peradilan pidana anak seperti telah diatur dalam UU SPPA juga membutuhkan alokasi APBN, seperti pembangunan LembagaPembinaan Khusus Anak (LPKA) yang berfungsi lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya dan Lembaga Penempatan Anak dan (LPAS) yang berfungsi sebagai tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Kemudian pembentukan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) yang berfungsi Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dan Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang berfungsi sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Selain itu, juga terdapat beberapa profesi pendukung seperti Pembimbing Kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, advokat, ahli pendidikan, psikolog, dan psikiater. Salah satu prasyarat agar dapat terlibat dalam proses peradilan pidana anak ini adalah mendapatkan pelatihan teknis sesuai profesi dan memiliki sertifikat. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan tepat Masa penahanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum dalam setiap tahapan peradilan pidana anak seperti di atur dalam UU SPPA membutuhkan waktu sampai 110 hari seperti tercantum dalam tabel di bawah ini. Tahapan Peradilan Pidana Penahanan untuk kepentingan penyidikan Penahanan untuk kepentingan penuntutan
Ketentuan Pasal 33 Pasal 34
Jangka Waktu Paling lama Perpanjang Paling lama Perpanjang
7 hari paling lama 8 hari 5 hari paling lama 5 hari
17
Lihat beberapa contoh pasal-pasal berikut: Pasal 3 menyatakan setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak dipisahkan dari orang dewasa; Pasal 30 ayat (2) menyatakan Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. Pasal 53 ayat (1) menyatakan Pasal 53 (1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak. Sedangkan Pasal 53 ayat (2) berbunyi Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. 18 Lihat beberapa contoh pasal-pasal berikut: Pasal 26 ayat (3) menetapkan salah satu syarat penyidik perkara anak telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak; Pasal 41 ayat (3) Salah satu syarat Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Pasal 43 ayat (3) salah satu syarat menjadi hakim telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
Hal. | 5
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi
Pasal 35 Pasal 37 Pasal 38
Paling lama 10 hari Perpanjang paling lama 15 hari Paling lama 10 hari Perpanjang paling lama 15 hari Paling lama 15 hari Perpanjang paling lama 20 hari
Pembatasan waktu pemeriksaan dan penahanan merupakan upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik penyiksaan. Selain itu, juga belum ada ketentuan yang mengatur bahwa anak yang ditangkap harus segera dibawa secara fisik di hadapan hakim anak agar hakim anak mengetahui kondisi anak dan menilai apakah anak perlu ditahan atau tidak. Situasi ini berpotensi menempatkan anak rentan mengalami penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Mekanisme Khusus dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana Anak Mekanisme yang bersifat khusus merupakan salah satu karakteristik peradilan pidana anak yang ramah terhadap anak.19 Proses pembuktian sangat terkait dengan hak anak untuk berpartisipasi dalam proses peradilan seperti telah dijamin dalam Pasal 12 KHA.20 Berdasarkan pasal ini, dalam proses dan tahapan peradilan anak tidak hanya didengar pandangannya , tetapi pandangan tersebut diberikan bobot sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. Namun demikian UU SPPA belum mengatur secara khusus dan komprehensif mengenai partisipasi anak dalam proses peradilan. 21 UU SPPA juga tidak mengatur mengenai alat-alat bukti dan pembuktian yang secara khusus ramah terhadap anak. Dengan demikian, dalam proses peradilan pidana anak, khususnya mengenai alatalat bukti dan pembuktian mengacu pada KUHAP. Selanjutnya, dalam UU SPPA juga belum diatur mengenai tidak diakuinya alat bukti yang diperoleh melalui cara-cara melawan hukum (exclutionary rules).22 Dalam konteks ini, meskipun dalam UU SPPA telah diatur mengenai anak sebagai korban dan atau saksi dari tindak pidana, namun muatan materinya sangat terbatas. UU SPPA hanya mengatur 3 pasal, yakni Pasal 8991. Rumusan pengaturannya terlalu sumir dan umum. Padahal anak yang menjadi korban atau saksi dari sebuah tindak pidana memerlukan perlindungan yang bersifat khusus. Dalam UUSPPA tidak terdapat aturan yang menjelaskan secara detail bagaimana posisi anak sebagai saksi dan/atau korban dalam sebuah tindak pidana, karena mereka juga rentan dalam menerima kekerasan sepanjang proses peradilan pidana tersebut.23
19
Hangama Anwari, Justice for The Children: The situation for children in conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC, tanpa tahun 20 Pasal 12 Ayat (2) KHA menyatakan anak berhak memberikan kesaksian di pengadilan, dan berpartisipasi dalam proses administrasi dan peradilan. 21 Terkait dengan hak anak untuk didengar, Komite Hak Anak mengeluarkan Komentar Umum No. 12 (2004) mengenai Hak Anak untuk Didengar (The right of the child to be heard). Menurut Komite, pandangan seorang anak tidak dapat didengar secara efektif apabila berada pada lingkungan yang mengintimidasi, bermusuhan, tidak sensitif atau tidak sesuai dengan usianya. Proses peradilan harus dapat diakses dan sesuai dengan situasi anak. Perhatian khusus perlu diberikan pada penyediaan dan penyampaian informasi yang ramah anak (child-friendly information) dukungan yang cukup untuk advokasi diri, staf terlatih, rancangan ruang pengadilan, pakaian hakim dan pengacara, tabir penutup, dan ruang tunggu yang terpisah. 22 Menurut Phyllis B. Garstendfel memberikan definisi exclutionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum. Lihat Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2012 23 SOS Children’s Village mengutip pandangan Al. Wisnubroto, dalam UU. No. 11 Tahun 2012 Dan Tinjauan Kritisnya, http://soscvyogya.blogspot.com/2013/04/uu-no-11-tahun-2012-dan-tinjauan.html
Hal. | 6
Peran Masyarakat dalam Implementasi UU SPPA Secara teori ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup badan-badan, institusi-institusi dan kelompok yang terlibat dalam keseluruhan proses peradilan pidana anak. Merujuk pada pengertian ini maka terdapat 5 (lima) pilar system peradilan pidana anak yakni: (i) kepolisian, (ii) kejaksaan, (iii) pengadilan, (iv) lembaga pemasyarakatan, dan (v) komunitas. Berdasarkan perspektif hak asasi manusia, maka setiap pilar dilekati peran sebagai pengemban kewajiban (duty bearers) dalam rangka memberikan perlindungan dan memajukan kepentingan terbaik anak.24 Dari kelima pilar tersebut dan dari sekian banyak kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku di Indonesia, komunitas yang terkena dampak tindak pidana yang dilakukan anak belum dilibatkan dan berpartisipasi dalam penanganan kasus tersebut. Padahal partisipasi komunitas (community participation) dan pengembangan komunitas (community building) merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice).25 Pendekatan keadilan restoratif yang menjadi spirit baru UU SPPA seharusnya mengakui peran penting komunitas dibandingkan dengan institusi peradilan pidana. Peran serta masyarakat dalam proses peradilan pidana hanya diatur dalam 1 pasal yakni Pasal 93 yang berbunyi bahwa salah berperan serta masyarakat dalam pelindungan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif. Namun rumusan norma ini tidak diurai lebih jauh bagaimana peran serta masyarakat dalam mekanisme diversi dan keadilan restoratif. UU SPPA tidak mengatur dimensi gender dalam proses peradilan pidana anak UU SPPA disusun dengan bahasa netral gender karena tidak terdapat satupun ketentuan yang mengatur karakteristik kebutuhan khas anak perempuan yang berhadapan dengan hukum, seperti perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan alatalat reproduksi perempuan, kesaksian anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, alat bukti dan pembuktian kasus kekerasan seksual dalam setiap tahapan peradilan, hak atas pemulihan bagi korban kekerasan seksual, dan lain-lain. Dalam kaitan ini, Pasal 71 ayat (2) UU SPPA mengakomodasi pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana tambahan. Namun demikian, ketentuan ini tentu bisa berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender dalam implementasinya, mengingat masih tertanam kuat pola-pola budaya patriakhi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, sistem peradilan pidana yang responsif gender menjadi signifikan dikembangkan agar dapat mengatasi terjadinya bias gender dalam sistem peradilan pidana, mencegah ketidakadilan berbasis gender, dan mampu memberikan perlindungan korban atau saksi, serta mendorong partisipasi aktif perempuan dalam semua tahapan dan tingkatan sistem peradilan pidana. 26 Pasa 2 huruf c Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi Perempuan (CEDAW) mengatur bahwa negara harus menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah
24
Save the Children-UK Philippines Programme, Breaking Rules : Children in Conflict with the Law and the Juvenile Justice Process, The Experience in the Philippines, Save the Children UK, 2004 25 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, United Nations, New York, 2006 26 Shelby R. Quast, Gender in the Criminal Justice System Assessment Tool, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) & United Nations, 2010
Hal. | 7
lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi. Rekomendasi Pada titik ini, perubahan (amandemen) terbatas terhadap UU SPPA menjadi strategis dilakukan untuk merespon permasalahan-permasalahan tersebut di atas, seperti untuk mengakomodasi kebutuhan anak perempuan yang berhadapan dengan hukum. Seturut dengan upaya ini, penting pula untuk mengatur ketentuan khusus untuk merespon perlindungan khusus bagi anak-anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Di samping itu, peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang dimandatkan oleh UU SPPA perlu segera diundangkan agar implementasi undang-undang ini dapat lebih efektif dalam menjamin perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum.
Hal. | 8