1 TIPS n TRIK MENJADI KORUPTOR YANG BERSAHAJA 1 Tuntunan Teoretis 2 Hokky Situngkir 3 now kings will rule and the poor will toil and tear their hands ...
TIPS ‘n TRIK MENJADI KORUPTOR YANG “BERSAHAJA”1 Tuntunan Teoretis2 3 Hokky Situngkir …now kings will rule and the poor will toil and tear their hands as they tear the soil but a day will come in this dawning age when an honest man sees an honest wage… Van Diemen’s Land – Bono (U2)
1. Fakta Secara semantik, “korupsi” telah menjadi suatu kata yang memalukan secara teoretis, namun sadar atau tidak sadar seringkali menjadi sebuah kata yang mengisyaratkan kebanggaan praktikal di di tengah‐tengah masyarakat kita. Secara teori tidak ada pejabat publik yang dengan bangga menyebut dirinya seorang koruptor yang sukses, hal ini dapat dipahami mengingat: 1. a. 1. Beberapa peraturan perundang‐undangan atau lembaran negara yang mengasosiasikan praktik korupsi sebagai tindakan melawan negara (pidana) dan dapat diganjar hukuman kurungan badan, e.g.: UU no. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU no. 28/1999 tentang 1
Risalah Pengantar Diskusi di Latihan Kepemimpinan & Organisasi Himpunan Mahasiswa Sipil Institut Teknologi Bandung di Lembang, 14 April 2007. 2 . Artikel ini mengekspresikan pandangan pribadi penulis dan tidak merepresentasikan sikap dan pandangan institusi manapun. Pemilihan sub‐judul “Tuntunan Teoretis” dilakukan dengan memandang dan menyadari dengan kerendahan hati kompetensi penulis sebagai peneliti dan teoretisi korupsi secara tematik dan bukan praktisi ‐ dan bahwa tips dan trik ini diperoleh melalui kajian, survey, studi literatur, dan eksplorasi teoretis dalam kapasitas penulis sebagai peneliti. Jika penulis adalah seorang praktisi korupsi, sub‐judulnya tentunya adalah “Tuntunan Praktis”. 3 Penulis adalah peneliti di Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute. Kontak: http://www.bandungfe.net/hs/ halaman 1 dari 7 halaman
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU no. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1. a. 2. Keberadaan beberapa lembaga negara ad‐hoc maupun lembaga swadaya masyarakat memiliki tugas‐tugas spesifik pemberantasan korupsi. 1. a. 3. Berbagai pemberitaan termasuk advertorial media massa yang mendiskreditkan tindakan korupsi. 1. a. 4. Bisa dikatakan 100% literatur tentang korupsi memiliki semangat anti korupsi dan tercatat hampir 0% literatur yang menganjurkan tindakan korupsi sebagai tindakan terpuji. Gambar 1. Persepsi Masyarakat Indonesia atas Tindakan Korupsi relatif terhadap beberapa negara lain di dunia (adaptasi dari Transparency International, 2006)
Di sisi lain, terdapat fakta yang menarik yang menunjukkan bahwa korupsi adalah perilaku yang justru berpotensi memberikan rasa bangga dan status sosial pelakunya – sepanjang tidak menjadi sorotan tindakan hukum, i.e.: 1. b. 1. Tingginya kesenjangan ekonomi yang kaya dan yang miskin sementara konsumerisme sangat tinggi. Pendapatan perkapita dan skilled labor yang relatif sangat rendah di tengah arus dan status sosial yang cenderung berbentuk fungsi tingkat pembelanjaan dan “kemurahan hati” berbagai kekayaan. 1. b. 2. Berbagai tindakan pemberantasan korupsi di tanah air menunjukkan pola bahwa tindakan korupsi dapat terjadi hampir di semua lini kehidupan sosial, bahkan hingga ke lembaga‐lembaga dengan bendera religius maupun lembaga‐lembaga yang seharusnya memiliki peran penegakan hukum anti korupsi. 1. b. 3. Korupsi telah diarahkan menjadi permasalahan moral dan bukan permasalahan sosial atau permasalahan penegakan hukum. 1. b. 4. Dalam beberapa aktivitas sosial masyarakat, korupsi (dalam berbagai bentuk, e.g.: suap, sogok) justru dapat memperlancar arus aktivitas masyarakat dan halaman 2 dari 7 halaman
memberi peluang peningkatan produktivitas kerja serta penghematan berbagai resources seperti waktu dan tenaga yang tidak dapat diukur dengan nilai nominal mata uang. 1. b. 5. Indeks Persepsi masyarakat kita terhadap korupsi secara global cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun meski rezim telah berganti dalam orde tahun dan berbagai upaya pemberantasan korupsi telah banyak menghiasi media massa. Gambar 2. Koruptor dalam persepsi publik: (searah jarum jam dari kiri atas): sebuah berita foto pada harian KOMPAS 22 Maret 2007, sebuah kover buku karangan Haryanti Susanto, dan sebuah karikatur.4
4
http://ubaypurwokartun.busythumbs.com/entry_id/134709/action/viewentry/ halaman 3 dari 7 halaman
2. Persepsi Tentang Korupsi Dari sisi definisi, korupsi adalah tindakan yang menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan oleh seseorang kepada pelaku korupsi dengan motif untuk mendapatkan keuntungan lebih dari yang seharusnya diperolehnya (definisi formal dapat dilihat di Situngkir, 2003). Untuk dapat menjadi seorang koruptor yang yang baik, seseorang perlu memahami bagaimana sejatinya pandangan publik dan orang lain di sekitar kita terhadap seorang koruptor. Sebuah ilustrasi yang menarik ditunjukkan pada gambar 2. Dalam kajian komunikasi dan studi budaya, gambar‐gambar tersebut pada dasarnya telah cukup menggambarkan bagaimana publik mempersepsikan korupsi dalam banalitas berfikirnya (cf. Fiske, 1990). Koruptor senantiasa disimbolkan dalam bentuk tikus yang menggerogoti harta publik atau tampang buruk rupa yang jahat dan kejam sebagai makhluk yang sama sekali tak mengenal etika dan moralitas. Simbol‐simbol ini secara praktik mungkin dapat menggambarkan perilaku korupsi, namun secara umum, apakah simbol ini benar‐benar menunjukkan realitas yang nyata dalam masyarakat? Hal ini menjadi pertanyaan yang cukup menarik untuk dikaji lebih jauh. Dari sisi survey yang dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya lembaga non‐ pemerintah seperti Transparency International (2006), ranking urutan korupsi Indonesia relatif terhadap persepsi atas korupsi di negara‐negara lain di dunia cenderung membentuk tren menurun, meski hal ini tidak memberikan jaminan apa‐apa dari sisi persepsi mengingat jumlah negara yang di‐survei meningkat dari tahun ke tahun secara signifikan dan nilai indeksnya sendiri relatif tidak banyak berubah (membentuk tren naik namun dengan efek ripple yang kecil) yang menunjukkan pada dasarnya perubahan yang terjadi selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir belum banyak. Hal ini sungguh kontras dengan situasi politik dan ekonomi yang telah sangat berubah dalam kurun waktu tersebut dengan fakta‐fakta fundamental historis seperti: jatuhnya rezim Orde Baru, amandemen konstitusi, perubahan sistem pemilihan umum dari sistem proporsional menjadi sistem pilih langsung one man one vote, perubahan sistem legislatif menjadi bikameralistik, dan sistem ekonomi yang banyak berubah (e.g.: kurun 1997‐1998 adalah kurun krisis ekonomi dengan lonjakan kurs rupiah terhadap dolar AS hingga tren recovery yang pada kurun waktu 3 tahun belakangan ditandai dengan arus investasi dengan likuiditas dan volume yang meningkat tajam direfleksikan melalui pergerakan bullish indeks komposit pasar modal Indonesia) termasuk tatanan ekonomi dunia yang mungkin secara sederhana direfleksikan dengan harga energi dunia yang meningkat drastis yang tentu saja memberikan pengaruh langsung bagi pengaturan anggaran belanja negara (dalam perspektif kenegaraan) dan indeks harga konsumen (dalam perspektif rumah tangga dan firma/industri termasuk sektor pertanian). Memperhatikan teori derajat keanggotaan dalam dinamika ekonomi sosial (cf. Durlauf & Young, 2001) tentang penekanan jaringan sosial dalam pembentukan persepsi atas ekspektasi ganjaran (pay‐off) ekonomi dan sosial maka dapat kita lihat bahwa pada dasarnya korupsi merupakan sebuah aspek sosial yang jelas memberikan pengaruh perseptif pada individu pelaku ekonomi (baca: agen ekonomi). Adalah jelas bahwa orde yang panjang di mana individu menjadi memiliki “keterbiasaan” dalam memandang korupsi sebagai bentuk aspek kehidupan sosial ekonomi akan menjadikan faktor korupsi menjadi sebuah cost yang “biasa” dalam perhitungan ekonomi agen. Hal ini mungkin yang memberikan dampak menjadi lancarnya beberapa urusan ketika korupsi ada dan bukan sebaliknya (cf. Situngkir & Khanafiah, 2006). halaman 4 dari 7 halaman
Gambar 3. Hasil analisis secara simulasi komputasional sistem kompleks atas perilaku korupsi dan tingkat kejujuran populasi (Situngkir & Khanafiah, 2006).
3. Belajar dari Teori: Menjadi seorang Koruptor Lantas bagaimanakah seseorang dapat menjadi koruptor yang tidak akan menjadi terpidana namun justru berpotensi mendapatkan status sosial dan moral yang tinggi di mata masyarakat? Dari deskripsi yang ada kita sedikit banyak mendapati beberapa hal yang cukup menarik. Untuk menjadi seorang koruptor yang sukses seseorang perlu memperhatikan beberapa hal antara lain: ‐ Seorang koruptor yang baik harus benar‐benar memahami peraturan dan perundangan yang berlaku sehingga ia mampu berkelit manakala ada proses audit atau pemeriksaan yang ditimpakan padanya. ‐ Seorang koruptor yang baik tahu kapan harus korupsi dan kapan perlu jujur. Seorang koruptor harus sangat memperhatikan status sosial dan performanya di mata publik dan lingkungan sosial di mana ia berinteraksi. Jika melakukan korupsi, jangan lakukan bersama‐sama dalam tim, namun lakukanlah seorang diri atau melibatkan sesedikit mungkin orang. Terdapat banyak kasus suap dan korupsi level besar yang berakhir di balik sel tahanan oleh karena pengkhianatan satu orang dari tim yang korup. ‐ Seorang koruptor yang baik tidak tamak dalam melakukan korupsi. Kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi harus pula sering dibagikan ke sebanyak mungkin orang lain dalam bentuk donasi sosial, hibah, dan sebagainya. Seorang koruptor yang baik tidaklah seperti tikus yang mati di lumbung padi, namun rajin memberikan sedekah, sumbangan kepada lembaga‐lembaga sosial dan jika perlu membina tata hidup religi dan spiritual yang secara sosial sangat baik. Hal ini terkadang juga diperlukan mengingat seorang koruptor perlu membersihkan diri dari tekanan emosional ketika dan pasca melakukan tindakan korupsi. Jangan membayangkan koruptor adalah seorang yang berwajah garang, kejam, jahat, tidak memperhatikan kehidupan keluarga, dan seterusnya. Koruptor lebih mungkin adalah seorang yang dihormati di halaman 5 dari 7 halaman
masyarakat meski harus dicatat tidak sebaliknya. Aktivitas sosial dan keagamaan seringkali digunakan oleh koruptor karena memberikan fungsi ganda: o Untuk ke dalam dirinya sendiri, membuatnya tidak terlalu merasa bersalah karena telah menggerogoti apa yang seharusnya tidak menjadi haknya. Jika perlu seorang koruptor yang baik adalah seorang yang dipandang anti koruptor. Itulah sebabnya koruptor yang baik perlu menjalin hubungan dengan (jika perlu menjadi salah satu di antara) akademisi, tokoh kegiatan keagamaan dan sosial lainnya, dan seterusnya (cf. Halloway, 2002). o Untuk ke luar dirinya sendiri, membuatnya menjadi tidak lagi dipandang mungkin korupsi ketika ada kecurigaan tentang tindakannya. Koruptor yang sempurna adalah tokoh yang justru ditanya pendapat dan nasihatnya ketika ada tindakan korupsi mulai terasa meluas.
Gambar 4. Simulasi komputasional efek kenaikan gaji dan perilaku korup (Situngkir, 2003).
‐
‐
‐
Korupsi adalah tindakan kriminal kerah putih dan tindakannya sulit dibuktikan dengan skema penyidikan konvensional. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mendeteksi dan menjustifikasi adanya tindakan korupsi. Hal ini bersesuaian dengan waktu yang panjang yang dibutuhkan oleh seorang koruptor untuk memupuk sedikit demi sedikit kekayaan dari penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan padanya. Koruptor yang baik harus senantiasa memiliki pembenaran atas apa yang dilakukannya. Pandangan‐pandangan di dalam diri sendiri, e.g.: “…tiap orang toh melakukannya kok!”, “aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri kok, tapi untuk… (golongan, organisasi, kelompok masyarakat, suku, dan sebagainya)”, “gajiku terlalu kecil sementara tanggung jawabku besar, wajarlah mengambil sedikit keuntungan”, dan berbagai kalimat serupa diperlukan untuk “menipu” hati nurani dan mengurangi atau jika mungkin menghilangkan rasa bersalah. Adalah keliru menganggap bahwa koruptor memiliki SQ (Spiritual Quotient) atau EQ (Emotional Quotient) yang rendah. SQ dan EQ harus senantiasa diasah untuk memperkuat posisi dan menghindarkan diri dari kecurigaan karena ketidaktenangan.
4. Catatan Penutup Kita hidup di tengah‐tengah masyarakat yang sudah sangat akrab dengan korupsi hingga bertahun‐tahun. Bukan tak mungkin sanak saudara kita adalah pelakunya sehingga halaman 6 dari 7 halaman
kita bahkan merasa bahwa orang sebaik dia tidak mungkin melakukan perbuatan keji ini. Berdasarkan berbagai penelitian dan eksplorasi teoretis yang dilakukan secara komputasional (cf. Situngkir, 2003), jelas terlihat bahwa satu‐satunya cara untuk memerangi korupsi adalah penegakan hukum yang sekuat‐kuatnya dan seketat‐ketatnya. Tindakan yang menyandarkan penanggulangan tindakan korupsi terhadap moralitas dan etika individual dan tidak menempatkannya sebagai permasalahan sosial dan hukum adalah ikhwal yang justru membantu koruptor beradaptasi dalam evolusinya menghisap dan menggerogoti tatanan sosial kemasyarakatan kita. Masyarakat yang jujur tidak dibentuk oleh individual yang seratus persen jujur. Masyarakat yang jujur dibentuk oleh sistem yang seratus persen menghukum individu di dalamnya yang tidak jujur. Beberapa Bahan Bacaan Durlauf, S. N., & Young, H. P. (2001). “The New Social Economics”. In Durlauf, S. N. & Young, H. P. (eds.). Social Dynamics. Brookings Institution Press & MIT Press. Fiske, J. (1990). Cultural and Communication Studies 2nd Edition. Routledge. Gambetta, D. (2000). “Corruption: An Analytical Map”. Dalam Kotkin, S. & Sajo, A. (eds.). Political Corruption of Transition: A Skeptic’s Handbook. Central European UP. Halloway, R. (2002). Breaking Through the Barriers of Systemic Corruption: Using Objectives Oriented Projects Planning as a Way to Think Through Anti‐Corruption Strategies. Partnership For Governance Reform Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara No. 3874. Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lembaran Negara No. 3851. Pemerintah Republik Indonesia. (2002). Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara No. 4250. Situngkir, H. (2003). “The Dynamics of Corruption in Indonesia: Artificial Society Approach”. Journal of Social Complexity 1 (3): 3‐17. Situngkir, H. & Khanafiah, D. (2006). “Theorizing Corruption Through Agent Based Model”. Advances in Intelligent System Research JCIS Proceedings 2006. URL: http://www.atlantis‐press.com/publications/aisr/jcis‐ 06/ Transparency International. (2006). Transparency International Corruption Perceptions Index. URL: http://www.transparency.org