SEMINAR NASIONAL KEPEMIMPINAN YANG BERPERSPEKTIF JENDER
TIPE KEPEMIMPINAN MASKULIN ATAU FEMININ YANG BERPENGARUH TERHADAP KEBERHASILAN PEREMPUAN DI RANAH PUBLIK?
OLEH: Tri Lisiani Prihatinah,S.H.,M.A.,Ph.D. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman)
18 Juni 2009 PUSAT STUDI WANITA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
TIPE KEPEMIMPINAN MASKULIN ATAU FEMININ YANG BERPENGARUH 1 TERHADAP KEBERHASILAN PEREMPUAN DI RANAH PUBLIK ? Oleh: 2 Tri Lisiani Prihatinah,S.H.,M.A.,Ph.D.
ABSTRAK Terdapat dua sifat kepemimpinan di ranah publik yaitu sifat maskulin dan feminin dan masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya sendiri. Dengan semakin banyaknya perempuan yang terjun di ranah publik seringkali terbentur dengan nilai-nilai sifat keduanya yang masih merefleksikan ketidaksetaraan jender. Hal ini seringkali menjadi penghambat perempuan tersebut dalam menjalankan perannya karena perempuan pada saat yang sama harus juga menjalankan perannya dalam rumah tangga yang menyebabkan beban yang berlipat (multiple burden). Dengan menggunakan metode studi pustaka terhadap data sekunder yang di dalamnya terdapat kasus-kasus riil dalam masyarakat Indonesia kurun waktu 2004-2009, maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan kepemimpinan perempuan di ranah publik dipengaruhi oleh diterapkannya gabungan sifat feminin dengan maskulin, bergantung pada situasi dan kondisi. Dengan demikian menyebabkan cairnya dikotomi sifat feminin dan maskulin tersebut dan pada akhirnya semakin memperbanyak sifatsifat tersebut dimasukkan dalam sifat universalitas androgini.
Kata kunci: kepemimpinan, publik, feminin, maskulin PENDAHULUAN Perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dikonotasikan dengan perbedaan sifat-sifat yang melekat pada keduanya yaitu feminin dan maskulin. Sifat-sifat ini kemudian dalam praktek dihubungkan dengan terjadinya dikotomi peran mereka dalam kehidupan sehari-hari dimana laki-laki lebih cocok dengan kehidupan publik dan perempuan dengan kehidupan privat. Hal ini karena adanya anggapan yang meragukan kepempinan perempuan, menurut Havelock Ellis seperti dikutip oleh Ani dan Benedicta dikarenakan adanya anggapan bahwa perempuan tidak cocok sebagai pemimpin karena lebih emosionil dari laki-laki terutama saat menstruasi sehingga putusannya di ranah publik dikawatirkan tidak logis.(2009, 540). Hanya saja dengan semakin banyaknya 1
Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Kepemimpinan Yang Berperspektif Jender” yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,, pada tanggal 18 Juni 2009. 2 Staf pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Email:
[email protected]
2
jumlah perempuan masuk dalam kehidupan publik bahkan menjadi pemimpin tertinggi dalam profesi mereka, timbul pertanyaan sifat-sifat kepemimpinan seperti apa yang mereka terapkan sehingga sukses dalam profesi mereka masing-masing. Makalah ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan mendeskripsikan terlebih dahulu konsep feminin dan maskulin, diikuti dengan kasus-kasus kepemimpinan perempuan, koalisis sifat feminin dengan maskulin, dan diakhiri dengan jenis putusan maskulin, feminin atau androgini.
PENGERTIAN MASKULIN DAN FEMININ .
Dalam keseharian kita sudah tidak asing dengan dua kata “feminin” dan
“maskulin”, meski kadang-kadang ada pihak yang tidak tahu persis maknanya. Kedua kata tersebut timbul karena dan selalu dikonotasikan dengan seksualitas seseorang baik itu perempuan maupun laki-laki. Pengertian feminin dapat diketahui dari pernyataan bahwa ”feminine conventionally associated with women: conventionally thought to be appropriate for a woman or girl”. (feminin secara konvensional dikaitkan dengan perempuan, pemikiran konvensional yang sesuai untuk perempuan atau anak perempuan).(Kamus Encarta online). Sementara pengertian maskulin adalah “Masculine of traditional manly character: having traits or qualities traditionally associated with men or boys rather than women or girls”. (Maskulin adalah karakter yang dimiliki lakilaki tradisionil: sifat-sifat atau kualitas tradisionil yang dikaitkan dengan laki-laki atau anak laki-laki daripada dengan perempuan atau anak perempuan). Maskulin dianggap khas laki-laki dan feminin dianggap khas perempuan. Secara umum, maskulin diartikan sebagai sesuatu yang memiliki sifat-sifat kejantanan, baik berupa kepribadian, perilaku, pekerjaan, benda atau lainnya. Misalnya agresif, dominan, ambisius, tanpa emosi, balap motor, naik motor besar, senjata api, tinju, bina raga, buruh bangunan, sopir truk, adalah hal-hal yang dianggap maskulin. Sebaliknya, feminin diartikan sebagai sesuatu yang memiliki sifat-sifat keperempuanan. Misalnya lembut, perasa, mudah menangis, boneka, pegawai perpustakaan, sekretaris, perawatan wajah, adalah hal-hal yang dinilai feminin. Memfokuskan kepentingan pada pihak laki-laki saja melahirkan apa yang disebut dengan phalogocentris yaitu memusatkan segala hal dan perhatian hanya pada kepentingan lakilaki, yang dalam bahasa latinnya disebut dengan phallus. (Humm, 2002, 341)
3
Diantara maskulin dan feminin ada androgini yakni tidak bersifat maskulin maupun feminin alias bisa dianggap maskulin maupun feminin sekaligus. Orang yang bersifat androgini menggabungkan dalam dirinya sifat-sifat maskulin maupun feminin. Misalnya rajin memasak di dapur tapi bekerja sebagai buruh kapal atau sangat tegas ketika bekerja tapi sangat lembut ketika di rumah. Idealnya, jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang. Menurut Maggie Humm yang dimaksud androgen adalah bahasa yang digunakan mengakomodir kebutuhan perempuan dan lakilaki, sehingga teks tidak didominasi oleh wacana laki-laki. (Humm, 2002, 19)
KASUS-KASUS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN Meskipun hampir di semua masyarakat terutama di ranah publik sifat maskulin sangat mendominasi, tetapi kondisi Indonesia saat ini menunjukkan adanya perempuan dapat mencapai puncak karier. Dalam makalah ini akan diambil beberapa kasus yang masih sangat lekat dengan ingatan kita karena perempuan-perempuan tersebut saat ini masih menjabat sebagai pucuk pimpinan di bidang masing-masing. Pengambilan mereka sebagai kajian menjadi menarik karena akan diketahui sifat-sifat kepemimpinan apa yang mereka terapkan dalam menjalankan profesinya di ranah publik. Berikut adalah kasuskasus keberhasilan karier perempuan baik sebagai pengusaha maupun pejabat di dunia publik: Tabel Kategori Sifat Kepemimpinan Sumber (pelaku)
Ciri kepemimpinan
Kategori sifat
Majalah Swa -sabar, rajin April-Mei 2008 -dapat dipercaya -motivasi bagus, , pantang menyerah, kreatif Annita Rodddick -sadar lingkungan, menjaga (pencetus Body lingkungan Shop) -dan pengorganisasian yang bagus. Benazir Bhutto -baik hati, kepemimpinan yang peduli Nurul Arifin* - tidak konfrontatif, uang silaturrahmi, uang Transport, tali asih - tidak menunjukkan sifat emosi, politik Uang - tidak menunjukkan diri sebagai perempuan, tapi sebagai pemimpin
4
- Feminin - Maskulin?, androgini - Androgini - Feminin - Androgini - Feminin - Feminin - Maskulin - Maskulin
* Hasil kajian terhadap keberhasilan Ratna Ani Lestari sebagai Bupati Banyuwangi, Ratu Atut Chosiyah sebagai Bupati Banten dan Rustiningsih sebagai Bupati Kebumen & saat ini sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. (Nurul Arifin, 2009). Dari tabel tersebut terlihat bahwa keberhasilan perempuan di publik dipengaruhi oleh sifat maskulinitas dan feminitas, bahkan cenderung merupakan gabungan dari keduanya yang biasa disebut dengan sifat androgini. Ati Cahyani dan Benedicta D Muljani menyebut jenis kepemimpinan perempuan ini sebagai kepemimpinan yang unik. (2009, 546). Keunikan ini – menurut keduanya- disebabkan susunan otak perempuan lebih mempunyai sifat-sifat lebih sebagai pemelihara dan pencinta seperti layaknya sifatsifat seorang ibu pada anaknya. Sewaktu perempuan harus berperan sebagai pemimpin dalam profesinya, maka sifat-sifat pemelihara ini masih terbawa dan memberi warna dalam menjalankan institusi yang dipimpinannya. Hal ini menyebabkan sebagian pengusaha cenderung memilih perempuan sebagai pekerjanya atau karyawannya dikarenakan perempuan lebih sabar dan lebih teliti serta lebih berperikemanusiaan.(Ani dan Benedicta, 2009, 547). Sementara menurut Prihatinah, pemilihan perempuan sebagai pekerja pabrik dipengaruhi juga pertimbangan bahwa perempuan kurang berontak jika dibandingkan dengan laki-laki bila diperlakukan tidak wajar seperti upah dibawah UMR dan waktu kerja yang melebihi seharusnya.(1997). Tetapi hal ini semakin mencair dengan banyaknya gerakan membela buruh saat terjadi ketidakadilan. Ini berarti sifat feminin perempuan dimanfaatkan atau dieksploitasi laki-laki sebagai pihak yang lebih powerful dengan sifat maskulin laki-laki tersebut.
KOALISI SIFAT FEMINI DENGAN MASKULIN DI RANAH PUBLIK Salah satu asas yang terkandung dalam kehidupan berdemokrasi adalah asas kesetaraan. Semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial maupun identitas eksklusif lainnya. Namun dalam praktik mewujudkan keutamaan itu tidak semudah merumuskan dalam konstitusi karena berbagai priveleg universal baik yang berakar dari sejarah, budaya, adat istiadat, religi serta norma-norma lainnya yang mempengaruhi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penerimaan kehadiran
perempuan
di
ranah
publik
sangat
dipengaruhi
pembentukan persepsi masyarakat tentang peran sosial perempuan dan laki-laki.Hampir
5
semua masyarakat di dunia adalah masyarakat patriarki, yang didominasi nilai-nilai maskulin yang menganggap nilai-nilai feminin lebih rendah dibandingkan yang maskulin. Akibatnya, perempuan sebagai kelompok yang diidentikkan dengan pemilik sifat-sifat feminin, dianggap tidak setara dengan laki-laki sehingga lebih pantas berada di ranah domestik untuk mengurusi hal-hal yang bersifat reproduktif daripada yang produktif. Tidak mengherankan kalau keterlibatan jumlah perempuan di publik lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Sebagai anggota dewan contohnya, representasi perempuan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai tahun 2004 tidak lebih dari 13 persen. (Prihatinah, 2009, 3). Meskipun jumlah anggota dewan tidak banyak, kelompok perempuan dengan kefemininan tersebut harus mempunyai kualitas untuk bisa menggandeng anggota dewan laki-laki agar aspirasi perempuan bisa terwakili dalam membuat suatu produk hukum. Dengan melakukan pendekatan yang elegan terhadap laki-laki agar lebih peduli pada isuisu perempuan, perempuan bisa mengejar ketertinggalan dan bukan untuk memusuhi laki-laki. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan penekanan bahwa keberhasilan agenda perempuan juga akan menguntungkan laki-laki. Dalam laporan Bank Dunia tentang Gender and Development disebutkan bahwa membangun kesetaraan dan keadilan gender pada akhirnya adalah menguntungkan kedua belah pihak antara kaum feminism dan maskulin. (Kompas, 15 Mei 2008). Alasan untuk berkoalisi cukup kuat karena bila perempuan memiliki peran lebih banyak, mereka akan lebih baik dan berdaya untuk memberi sumbangan pemikiran yang lebih baik untuk rakyat.Hal inilah yang merupakan tantangan terbesar yang harus diatasi perempuan termasuk mengatasi kendala seperti disebutkan berikut. Kendala yang menghadang adalah beberapa penghambat yang dialami perempuan untuk tampil sebagai leader dalam ranah publik, seperti misalnya sebagai anggota dewan yaitu: •
Kualitas individu yang dipertanyakan (untuk caleg laki-laki dan perempuan)
•
Lemahnya kaderisasi dalam tubuh parpol (untuk caleg laki-laki dan perempuan)
•
Bias persepsi dan konstruksi jender (lebih ditujukan pada caleg perempuan)
•
Political will pemerintah/ partai kurang (untuk caleg laki-laki dan perempuan)
6
•
Keberpihakan anggota dewan perempuan dipertanyakan terhadap kebijakan ramah perempuan (untuk caleg perempuan). (Heriyani Agustina, 2009)
PUTUSAN MASKULIN, FEMININ ATAU ANDROGINI Agar usaha perempuan dalam mencetuskan produk hukum ramah perempuan berhasil, maka jumlah keanggotaan di DPR menjadi sumber kekuatan. Hal ini menjadi penting karena perempuan perlu melakukan advokasi secara intensif dengan tindakan strategis agar mendorong mayoritas anggota parlemen laki-laki setuju lebih terbuka dan lebih partisipatif dalam proses pembuatan produk hukum. Meskipun jumlah perempuan sedikit, sebagian dari mereka sudah punya pengalaman di parlemen dan telah membentuk kelompok yang disebut Kaukus Perempuan untuk memperkuat posisi politik dari kelompok minoritas ini. Dengan bertambahnya jumlah mereka di parlemen saat ini, tentu bentuk koalisi haruslah diperluas baik pada perempuan maupun laki-laki dengan tujuan memperjuangkan pembentukan undang-undang yang memihak kaum perempuan. Selain itu Kaukasus Perempuan juga bekerjasama dengan gerakan organisasi pegiat jender yaitu ”Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3)” dalam mewujudkan produk hukum yang ramah perempuan. Sementara saat perempuan dipercaya sebagai motor dalam mengambil keputusan di dewan atau karena lobi yang kuat oleh perempuan, ternyata beberapa beberapa produk yang berpihak pada perempuan dan kemanusiaan pada umumnya dapat dihasilkan seperti UU No. 23 Tahun 2004 (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ PKDRT), UU Kewarganegaraan dan UU No 21 Tahun 2007 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/ UU PTPPO). Perempuan di ranah publik secara umum masih direpresentasi dengan menggunakan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan yang maskulin, meskipun dijumpai ada pengecualian seperti yang terjadi di Aceh. Di daerah ini, teks tertulis menunjukkan adanya upaya untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, akan tetapi dalam Perda berikut keputusan para pengambil kebijakan di dalam politik lokal tersebut didominasi oleh bahasa maskulin sehingga kurang mampu mengakomodir kepentingan perempuan. Terdapat kekhawatiran menguatnya kekuasan lokal yang mengabaikan kepentingan perempuan bukannya tidak beralasan. Hal itu dapat dilihat
7
dengan
munculnya
sejumlah
isu
perempuan
di
daerah
yang
cenderung
mendiskriminasikan perempuan. Misalnya, isu kepemimpinan perempuan, pemisahan ruang publik berdasarkan jender, perempuan dan kesusilaan, perempuan dan tenaga kerja, perempuan dan pendapatan daerah, perempuan dan APBD, perempuan dan sumber daya alam, perempuan dan kesehatan reproduksi, perempuan dan adat, serta perempuan dan peraturan kepegawaian. Isu-isu itu menunjukkan bahwa Perda-Perda berikut kebijakan publik yang diambil oleh para pengambil kebijakan di tingkat lokal belum sepenuhnya “ramah” terhadap kepentingan perempuan. Hal itu diperburuk oleh kuatnya hegemoni patriarkal yang disebut dengan phalogocentris. Maksudnya adalah memusatkan segala hal dan perhatian pada kepentingan laki-laki, yang dalam bahasa latinnya disebut dengan phallus. (Ensiklopedia Feminisme, Maggie Humm, hal. 341, 2002).
KESIMPULAN Semakin banyaknya perempuan menduduki jabatan penting di ranah publik dikarenakan mereka melakukan transformasi dua sifat feminin dan maskulin sekaligus dalam menjalankan profesinya. Hanya saja ujud transformasi ini berbeda-beda antara satu perempuan dengan perempuan lainnya. Tetapi ada kecenderungan mereka menghindari hal-hal yang bersifat konfrontatif secara langsung. Dengan melihat beberapa keberhasilan perempuan tersebut maka terbantahkan asumsi selama ini yang menyatakan bahwa perempuan tidak cocok dengan kehidupan publik. Apalagi beberapa putusan yang dikeluarkan dengan campur tangan langsung perempuan ternyata lebih mempunyai nuansa kemanusiaan melalui perlindungan lebih banyak pada perempuan yang selama ini banyak menjadi korban. Tetapi putusan ini dapat dilakukan dengan berhasilnya perempuan menularkan sifat feminin pada laki-laki. Dengan demikian keberhasilan perempuan di ranah publik menyebabkan cairnya sifat feminin dan maskulin, serta cenderung mengarah ke sifat androgini.
Berdasarkan simpulan ini maka terdapat hal yang bisa dijadikan tindak lanjut agar tercapai kesetaraan yaitu perlu dilakukannya pelatihan sensitivitas jender bagi para pengambil kebijakan/ anggota dewan di tingkat pemerintah pusat dan lokal secara berkesinambungan. Hal ini dikarenakan bergantinya pemerintahan/anggota dewan, memerlukan lagi pelurusan terhadap mereka yang baru menjabat, atau paling tidak untuk menyegaran arti penting diambilnya produk hukum yang ramah perempuan.
8
DAFTAR PUSTAKA Agustina, Heriyani (2009) “Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Perspektif Keadilan dan Kesetaraan Gender” dalam Sastriyani, Siti Hariti (Editor) Gender and Politics, diterbitkan atas Kerjasama antara Pusat Studi Wanita Gadjah Mada dengan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Arifin, Nurul (2009) “Menjadi Perempuan Politisi, Pelajaran dari Lapangan: Sejumlah Tantangan dan Isu Problematis” keynote speaker dalam Seminar Internasional Gender and Politics, Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Cahyani, Ani dan Mulyani, Benecta D, 2009, “The Uniqueness of Female Leadership”, dalam Sastriyani, Siti Hariti (Editor) Women in Public Sector (Perempuan di Sektor Publik), Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 539-547. Daud, Itji Diana, 2009, “Koalisi Feminin dan Maskulin”, Kompas, 23 April. Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, 2002. Kamus Encarta online, 2009, tersedia di website http://uk.encarta.msn.com/dictionary_1861725960/masculine.html, diakses 13 Mei. Kompas, 2008, Tajuk “Kalah Politik: Uang Habis, Istri Minta Cerai”, tersedia di website: http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/25/09302282/kalah.politik.uang.hab is.istri.minta.cerai, diakses 15 Mei 2009. Prihatinah, Tri Lisiani, 2009, “Kebijakan Afirmatif Perempuan Di Parlemen: Tinjauan Yuridis”, malakah dipresentasikan dalam Diskusi Pemilu 2009, diadakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman, 14 Maret. ___________________, 1997, Feminist Analysis of Women Workers in the Export Garment Factories of Central Java – Indonesia, Thesis, Universitas Murdoch, Perth.
9