TINJAUAN WAKTU HAJI (Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Abdul Hasan Mughni NIM: 105034001162
Pembimbing: Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2010 M
BAB IV PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI
A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197 Seperti telah disinggung pada bab pertama, bila diperhatikan lebih lanjut perbedaan penafsiran Masdar dibanding para mufasir lainnya lebih tertekan pada waktu pelaksanaan wuqûf Arafah yang menurut Masdar bisa dilakukan pada bulan Syawwâl dan Dzû al-Qa‟dah. Wuqûf sendiri masih merupakan salah satu ritual peribadatan dalam haji, sedangkan waktu pelaksanaan haji itu ialah tiga bulan sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur‟an yang dijadikan dasar oleh Masdar tersebut yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 197 berikut:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi1, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats2, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa3 dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Q.S. al-Baqarah/2: 197)
1
Ialah bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh. 3 Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau meminta-minta selama perjalanan haji. 2
55
56
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang asbâb al-nuzûl yang masih berkaitan dengan ayat di atas, disebutkan dalam hadis yang dikeluarkan oleh „Abd ibn Hamîd, Bukhâri, Abû Dâwûd, Nasâ‟î, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibbân, dan Baihaqî (dalam sunannya), diriwayatkan dari Ibn „Abbâs, ia berkata: “Pernah ada sekelompok penduduk Yaman yang berhaji sedangkan mereka tak membawa bekal, dan mereka hanya berkata: “Kami adalah orang-orang yang tawakkal”. Kemudian mereka dikenai ketiadaan (bekal), sehingga akhirnya mereka memintaminta, maka Allah menurunkan ayat: watazawwadû fa inna khair al-zâdi altaqwâ.4 Riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibn Jarîr dan Ibn Abî Hâtim menyebutkan, diriwayatkan oleh Ibn „Abbâs, ia berkata: “Ada seleompok manusia yang keluar dari desanya sedang dalam diri mereka tidak ditemukan bekal, mereka berkata: “Kami berhaji (menziarahi) Allah sedangkan Ia tak memberi kita makan!. Maka kemudian Allah bersabda: “Berbekallah kalian dengan apa yang dapat menutupi wajah-wajahmu dari manusia lain.”5 Dan juga beberapa riwayat selainnya yang sohih dan hampir semisal. Sedangkan Ibn Abî Hâtim sendiri menambahkan komentarnya bahwa mengenai riwayat di atas yang lebih sohih adalah yang diriwayatkan oleh Ibn „Uyainah.6 Ayat di atas kurang lebih menerangkan tentang; waktu kebolehannya berhaji; hal-hal yang tidak boleh dikerjakan saat telah niat berhaji; ke-Mahatahuan 4
Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 248. Lihat pula: Jalâl al-Dîn al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd al-Muhsin al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 390 5 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr …, h. 390 6 Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim …, h. 247
57
Allah dengan perbuatan baik kita; dan anjuran berbekal dengan takwa, yang mana korelasi antara ayat 197 dari surat al-Baqarah tersebut dengan ayat sebelumnya masih menjelaskan perihal haji. Pada ayat sebelumnya, setelah Allah Swt menyebutkan ketentuanketentuan ibadah haji buat selain penduduk Mekah sedangkan mengenai waktunya belum disebutkan pada bulan apakah dalam setahun itu untuk menjalankan ibadah haji, maka pada ayat 197 surat al-Baqarah ini dijelaskan bukan pada tempatnya tapi menjelaskan bahwa waktu haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu.7 Bulan-bulan tersebut yaitu, Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Dari sini dapat diketahui bahwa melaksanakan haji tidaklah seperti umroh, kapan saja dilaksanakan boleh. Ayat ini menetapkan batas waktu atau ketentuan waktu haji, yaitu Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Inilah yang dinamakan mîqât zamanî (waktu) sebagaimana telah difirmankan Allah Swt:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,8 akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah/2: 189).
7
Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm Bin ‟Umar Al-Biqâ‟î, Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389 H/1969 M) j. III, h. 137-138 8 Pada masa Jahiliyyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah Saw Maka diturunkanlah ayat ini.
58
ما اَحل ّه ْهأ ُه ٌر َحل عل ٌر
(“haji itu beberapa bulan yang ditentukan”). Tiga
bulan tersebut di atas ialah yang disebut dengan mîqât zamâniy (waktu). Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang bulan Dzû al-Hijjahnya. Dan perbedaan ini, tentunya akan menarik konsekuensi perbedaan dâm bagi jama‟ah yang di antara amalan hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban (al-hadyu) merujuk firman Allah QS. al-Baqarah/2: 196. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:9 Pertama, Imam Mâlik berpendapat bahwa bulan haji adalah Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah seluruhnya. Pendapat ini didasarkan pada pendapat dan riwayat dari „Abdullah bin „Umar, „Abdullah bin Mas‟ûd, „Atâ‟, dan Mujâhid. Ibn Hazm menguatkan pendapat ini, karena beberapa bulan tidak bisa diartikan dua setengah bulan. Kedua, sedangkan jumhur ulama‟ (Abû Hanîfah, Syâfi‟î, dan Ahmad) berpendapat bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah sampai dengan tanggal sepuluhnya saja. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari „Abdullah bin „Abbâs, al-Suda, dan al-Nakhâ‟i. Imam al-Syaukâniy—seorang ulama Syi‟ah Zaidiyyah yang pendapatnya banyak dipegang oleh ulama-ulama Sunni—berkata, “Terlihat hikmah perbedaan pendapat ini, yaitu bagi orang yang di antara amalan hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban, bagi yang berpendapat bahwa Dzû al-Hijjah seluruhnya dalam bulan Haji, maka ia tidak terkena dam; sedangkan bagi yang berpendapat bahwa bulan haji itu hanya 10 Dzû al-Hijjah, maka lebih dari itu harus dam. 9
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab (Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 27
59
Ketiga, Imam Mâlik dalam satu riwayat berpendapat bahwa Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, sampai dengan 13 Dzû al-Hijjah, yaitu hari Tasyrîq (menjemur daging kurban). Sedang menurut Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab, untuk menyatukan pendapat ini, usaha pertama ialah menyelesaikan haji dan hadyu tanggal 10 Dzû al-Hijjah. Tetapi, kalau ada hal yang tidak memungkinkan karena kendaraan atau sebab lain, maka diusahakan selesai tanggal 13 Dzû al-Hijjah. Namun, jika tidak dapat diselesaikan juga karena situasi dan kondisi tidak mengizinkan maka tingkat terakhir adalah asal dapat menyelesaikan dalam bulan Dzû al-Hijjah, meskipun sampai tanggal 30.10 Pada kalimat
ف ِه ّه اَحل َّج
َحل َحل َحلَفَحل
(“barang siapa yang telah
menetapkan kefarduannya haji bagi dirinya”), yaitu dengan niat, diringi dengan perbuatan ihram dan talbiyah yang diucapkan dan kedengaran. Talbiyah ini dijadikan rukun oleh Ibn Habîb dan Abû Hanîfah, serta madzhab Zahiri (literal), tetapi Imam Syâfi‟i tidak memasukkannya pada rukun, dan berpendapat bahwa cukup niat pada ihram rukun yang pokok. Dalam talbiyah Rasulullah Saw dan para jama‟ah pria sampai suaranya parau, sedang wanita asal terdengar oleh dirinya sendiri.11
10 11
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28 Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
60
َحل َحلَحل َحل
(“jangan rafats”) dalam ayat ini mengandung makna larangan
untuk jima‟ (senggama) karena hal ini dapat merusak haji. Para ulama telah ijmâ‟ (sepakat) bahwa senggama sebelum wuqûf di Arafah merusak haji dan wajib dia mengqadâ tahun depan, di samping wajib pula al-hadyu (menyembelih hewan). Ibn „Umar, Tâwus, dan „Atâ serta ulama sahabat dan para tabi‟in berpendapat bahwa termasuk rafats ialah berkata dengan perkataan yang cabul atau porno yang mengarah atau membangkitkan nafsu seks. Mereka berpendapat bahwa membicarakan wanita yang mengarah kepada seks termasuk rafats baik wanita itu hadir atau pun tidak ada. Termasuk pula rafats, seorang laki-laki membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan seks, walau dengan istrinya sendiri. Ibn Mas‟ûd membaca
لو َحل ُهُه َحل
(“jangan berkata-kata yang
cabul/jama‟”).
لو َحل َحل ُه ُه َحل
(“dan jangan berbuat fasik”). Fasik berarti segala bentuk
kemaksiatan. Inilah pendapat Ibn „Abbâs, Hasan Basri, dan Ibn „Umar. Sebagian ulama berpendapat, fasik ialah berbuat maksiat sewaktu ihram haji seperti berburu, memotong kuku, mencukur rambut, dan larangan-larangan ihram yang lain. Ibn Zaid dan Imam Mâlik berkata bahwa fasik ialah menyembelih binatang untuk persembahan pada berhala, seperti firman Allah:
... ...
61
“... atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah …”
Imam al-Dahhâk berkata bahwa fisqun itu ialah apa yang disebut Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri12 dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman13 dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zâlim.” Ibn „Umar dalam satu riwayat berkata bahwa fusûq adalah mencaci maki sebagaimana dalam hadis nabi:
عل ُه ٌر ِه ِه ما ا ِه ُه لو َحل ماُه ُه ْه ٌر ُه
“Cacian seorang muslim itu adalah fusûq, dan membunuhnya adalah kafir.”14
12
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. 13 Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya. 14 Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahih Sunan al-Tirmidzî. Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, h. 353
62
Pendapat Ibn „Umar yang kedua ini lebih sempit dari pendapat yang pertama. Oleh sebab itu, maka pendapat pertama yang lebih kuat dan benar karena mencakup segala pendapat. Rasulullah Saw bersabda:
ح َّج َحلَل ي ُه ْه َحلَل يَف ْه ق جع َحل ف ِه ُه ف ا ْب ا ا ت د ا لم س اَحل َحل َحل ُّ ُّ َحل ْه ُه ْه َحل َحل ُه ْه َحل َحل َحل َحل َحل َحل َحل ُه َحل َحل َحل َحل َحلجزءٌر إّه جلَحلنَّجة “Dan barangsiapa yang haji dan tidak rafats, dan tidak pula fusûq, dia kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, dan haji mabrur itu balasannya hanyalah surga.”15
اَحل ّه
ِهجد ا
(“dan tidak bertengkar selama haji”). Jidâl artinya
berbantah-bantahan, dan dalam kebiasaan umum berlaku, jidâl itu sering terjadi antara pihak yang dilayani (pengguna jasa) dan yang melayani (penjual jasa) di perjalanan, karena sempitnya tempat atau waktu dan lain-lain yang menimbulkan ketidaksukaan pada hati masing-masing pihak.16 Termasuk perbuatan jidâl (bertengkar) ialah:17
Mencaci maki sehingga menimbulkan kemarahan (Ibn „Abbâs, Ibn Mas‟ûd, dan „Atâ‟)
15
Memberi gelar dengan gelar yang tidak baik (Qatâdah)
Berselisih atau bertengkar (Ibn Zaid dan Mâlik bin Anas)
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî. Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 553 16 Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997 M) h. 104 17 Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 29
63
Berselisih pendapat yang mengarah kepada permusuhan pada satu tempat dan waktu
Membangga-banggakan keturunan masing-masing
م تَحلَف ْه َحلعُهل ِه َحلخ ْهٍْي يَحلَف ْه عَحل ْه هلل
(“dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan niscaya Allah mengetahuinya”). Allah akan membalas setiap amal manusia, sehingga mendorongnya untuk beramal saleh setiap tempat dan zaman, menghindarkan diri dari segala kecabulan, dosa, dan pertengkaran.
َحل تَحلَفَحلزَّج ُهد
(“siapkanlah perbekalan”). Ibn „Umar, „Ikrîmah, Mujâhid,
Qatâdah, dan Ibn Zaid berkata: “ayat ini turun mengenai serombongan orang Arab yang pergi haji tanpa persiapan bekal.” Adapun pelaksanaan haji di Indonesia dengan Ongkos Naik Haji (ONH) sudah merupakan bekal yang cukup, karena 1750 real dikembalikan kepada jama‟ah haji untuk living cost sudah cukup, bahkan ada lebihnya. Namun demikian, untuk sekadar oleh-oleh masih diperlukan tambahan biaya, lebih-lebih jika kita bermaksud tanazzul (memisahkan) diri di Mina, tidak mabît di Haratul Lisan, maka dibutuhkan biaya pemondokan dan konsumsi di Mina sesuai dengan kemampuan. Ada ulama yang berpendapat bahwa bekal yang paling baik bagi ibadah haji ialah teman yang saleh. Memilih rombongan dengan pemimpin atau pembimbing yang saleh-saleh adalah bekal yang utama di samping bekal uang.
64
Ada yang mengartikan persiapan bekal ialah persiapan bekal untuk kembali haji dengan amal-amal yang saleh. Hakikat bekal ialah untuk makan, minum, karena hotel dan kendaraan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dari ONH.
ِه َحل َّج َّجقلى إن َحلخ َحلْي ازد ا َحل
(“sebaik-baik bekal ialah takwa”). Perbekalan yang
harus disiapkan ialah biaya hidup. Tetapi di samping itu, bekal yang sangat penting ialah takut jangan sampai terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah. Karena tanpa persiapan mental ini, betapa pun bekal harta cukup, tetapi kemudian dalam haji terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah maka akan sia-sialah seluruh biaya, waktu, dan tenaga yang dikerahkan dalam menunaikan ibadah haji. Persiapan biaya hidup adalah manifestasi dari takwa karena haji tanpa bekal bisa terjatuh kepada kebinasaan, minta-minta, dan mengemis.
تَف ُهَّجق ِه لن يم ُه ىل ألَحلاْه ما َحل
(“bertakwalah kepada Ku wahai orang-orang yang
mempunyai akal”). Perintah takwa ini dikhususkan kepada orang yang berakal, walau takwa tertuju untuk umum. Karena, hanya orang-orang yang berakal yang menggunakan otaknya, yang dapat melaksanakan perintah dan bangkit menegakkan setiap perintah Allah serta menjabarkannya dalam kehidupan seharihari. Orang yang berakal itu yang mempunyai lubbun (otak) seperti orang Arab berkata:
ب ُّ ت تَحلَفعُه “ ا ْه َحلotakmu yang kamu gunakan untuk berakal (berpikir).”
65
Adapun munâsabah dengan ayat setelahnya yaitu, apabila manusia telah memahami ayat di atas—menjauhi beberapa perkara dalam berhaji, perintah berbekal, dan pemberitahuan bahwa sebaik-baiknya bekal ialah takwa—maka terbentuklah jiwa-jiwa suci. Hal-hal tersebut karena semuanya pada intinya mendorong agar individu-individu yang melakukan ibadah haji bisa menjadi insan yang bertakwa dan terhindar dari segala yang menyebabkan siksaan Allah Swt sehingga dalam akhir ayat di atas disebutkan yâ uli al-albâb.
B. Penafsiran Masdar 1. Latar Belakang Dasar Penafsiran Masdar Sebagaimana penulis telah kemukakan berbagai rincian permasalah haji terdahulu dalam bab III, terlebih pada sub bab problematika ibadah haji, memang menunjukkan berbagai polemik hingga menyebabkan kematian pula. Atas dasar inilah Masdar banyak mengambil inti dari kaidah-kaidah Usûl dan yang tentunya ia mengakui sendiri untuk berusaha tidak melenceng jauh dari teks-teks hukum Islam.
Bagi Masdar, kebijakan dengan mengurangi jumlah kuota merupakan kebijakan yang akan menimbulkan efek tak terduga. Misalnya, akan ada tindakan suap-menyuap untuk mendapatkan tiket seperti yang sekarang ini terjadi. Dan pembatasan kuota itu juga tidak mungkin, karena memang tidak dilarang secara agama. Persoalan lain, mulai dari proses pemberangkatan saja sudah ada permainan uang supaya mendapatkan shift. Kemudian pejabat hajinya juga
66
mengomersilkan itu. Ini akan terjadi terus kalau tidak diadakan peninjauan kembali secara radikal menyangkut tata cara pelaksanaan haji, khususnya soal waktunya tadi.18
Adapun latar belakang penafsiran Masdar, dalam kutipan wawancaranya dengan Ulil Absor Abdalla, ia membaginya dalam beberapa poin: Pertama, adalah karena masyaqqât atau kesulitan yang tingkatannya sudah di luar kebiasaan yang saat ini dialami para hujjaj. Kesulitan itu dapat dilihat indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada saat jumrah, ada saja yang meninggal karena terinjak-injak, kadang-kadang sampai puluhan, dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, menurut Masdar: “… Tentu saja, hal tersebut seharusnya menggugah umat Islam dengan berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam arena „pembantaian‟? dan itu bertentangan dengan prinsip Islam sendiri, yaitu prinsip al-dînu yusrun…”19 Berkaitan dengan permasalahan kesulitan diatas, agaknya Masdar menganggapnya agar dapat diatasi dan agar tidak menyulitkan para jama‟ah. Manusia sendiri sebenarnya memang hidup dalam masalah. Endang Saifuddin Anshari membagi dua kategori atasnya, yaitu Masalah Segera (Immediate Problems) dan Masalah Asasi (Ultimate Problems). Masalah Segera ialah masalah praktis sehari-hari, masalah-masalah yang kembali kepada keperluan-keperluan pribadi yang mendesak dan masalah-masalah seperti administrasi negara, 18
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 156 19 Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
67
produksi, konsumsi, distribusi, dan lain-lain termasuk juga yang berkaitan dengan hilangnya nyawa. Sedangkan Masalah Asasi ialah masalah seperti bagi manusia yang memperhatikan hidup dengan serius dan bersifat pribadi, biasanya manusia yang mengalami masalah ini sering muncul dalam dirinya pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti, “Apakah aku ini?”, atau “Apakah alam semesta itu?” dan sebagainya mengenai manusia, alam, dan Tuhan.20 Dari sini dapat dikategorikan bahwa hal-hal yang menimbulkan beberapa masalah dalam ritual haji merupakan Immediate Problems. Meskipun tiada manusia yang hidup di atas bumi ini yang dapat mengelakkan diri dari menghadapi masalah-masalah tersebut, namun masalah termaksud harus dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia ini suatu yang sukses, dengan menggunakan beragam cara, efisiensi, serta kesadaran praktis.
Bagi Masdar, sebenarnya ada 2 dimensi yang bisa dinapaktilasi dalam ritual wuqûf; tempatnya yang spasial dan waktu yang temporal. Sebenarnya, yang pertama dinapaktilasi adalah tempat, karena tidak mungkin merujuk pada waktu yang sama. Tempat napaktilas itu pun telah mengalami perluasan karena membludaknya jamaah haji dan mendapat justifikasi teologis dari fatwa ulama Arab Saudi.
Saat Nabi Ibrahim melontar batu tidak diketahui titik pastinya. Tapi kemudian didefinisikan sebagai daerah Mina. Proses napak tilas dalam haji ini idealnya bisa menjangkau dimensi spasial dan temporal, atau deimensi waktu dan 20
7, h. 35-36
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) cet.
68
tempat. Tapi dua dimensi itu kacau balau dan berantakan karena konsentrasi jamaah yang sangat padat dalam proses pelaksanaan haji.21
Misalnya, mabît di Mina menurut fikih adalah bermalam di Mina atau bain al-jabalain. Tapi beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perluasan sampai ke Muzdalifah. Sementara kekacauan di bidang waktu misalnya, terjadi dalam perjalanan Arafah-Mina. Diperlukan singgah di Muzdalifah untuk mengambil kerikil, tapi banyak yang gagal karena ketika tiba di Muzdalifah matahari sudah terbit. Akhirnya, pelacakan napak tilas dari kedua dimensi tersebut lepas. Di samping itu, kepadatan yang luar biasa menimbulkan korban jiwa, terutama orang-orang tua, ibu-ibu dan anak anak. Padahal, sebagaimana kita tahu, Tuhan itu Maha Pengasih pada hambanya.
Dalam Islam, salah satu pertanda kasih sayang Tuhan adalah ritual shalat. Orang tak mampu berdiri boleh melaksanakannya dengan duduk dan seterusnya. Jadi sebetulnya ada banyak dispensasi juga dalam ibadah. Al-Qur‟an sendiri memang menyatakan agar manusia tidak boleh mempersulit yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Allah Swt telah menjadikan agama Islam sebagai sebuah ajaran yang sangat cocok dengan umat manusia yang hidup kapan dan di mana saja sampai tiba saat berdirinya hari Kiamat. Dan, tidak asing lagi bahwa agama yang memiliki karakter seperti ini tentunya adalah ajaran
21
Masdar Farid Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-dilembagakan/
69
yang sederhana dan mudah bagi orang yang menjalankannya serta bagi orang yang mempelajari sumber dan penjabarannya. Firman Allah Swt:
...
... “…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu,22 dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Adapun hikmah dari ringan dan mudahnya agama Islam adalah agar hatihati manusia tidak merasa berat menjalankan perintah yang dibebankan oleh agama, bahkan semua orang sangat mudah menjalankannya. Sehingga, umat Islam pun bertambah banyak dan mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam menjalankan berbagai syariat-Nya. Dan, manakala agama Islam memiliki karakter seperti ini, yakni mudah dan sederhana, dapat menjamin kebaikan hidup di dunia dan akhirat, cocok untuk setiap waktu dan tempat, maka Allah pun menjadikannya sebagai agama penutup.23 Dari sinilah, Masdar memunculkan gagasannya agar ritual-ritual dalam ibadah haji itu tidak terlalu memberatkan para jama‟ah bahkan hingga
22
Maksudnya: Dalam kitab-kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad Saw. 23 Syekh „Ali Ahmad al-Jarjawî, Hikmat al-Tasyrî‟ wa Falsafatuhû (Beirut: Dâr al-Fikri, 1997 M/1418 H) cet. 5, h. 299
70
menghilangkan nyawa dan sekaligus pula ajaran-ajaran dalam Islam dapat dikerjakan dengan mudah pada zaman sekarang ini. Adapun dahulu nabi melaksanankan haji hanya pada lima hari efektif, berarti karena dulu belum ada masyaqqah seperti sekarang.
Nabi memang sekali saja berhaji, sebab pada kesempatan sebelumnya sempat gagal dihadang oleh kafir Quraisy. Bagi Masdar, sejarah ini menimbulkan satu tafsiran yang mempersempit cakrawala haji itu sendiri. Misalnya, waktu haji sebenarnya 3 bulan, tapi karena Nabi hanya sekali berhaji pada jam-jam dan waktu-waktu itu saja, maka disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan wuqûf di luar tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah dengan mencontoh apa yang dilakukan Nabi.24 Selanjutnya, bagi Masdar sebenarnya prosesi haji managable dan bisa ada penggiliran.
Saat ini haji tidak seperti itu. Kondisi di sana sangat penuh sesak, makanya ada adu kekuatan untuk menyingkirkan orang lain yang bisa mengganggu kekhusyu‟an ibadah. Ini lebih ironis lagi. Terlebih jika kita cerna melalui penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Akibatnya, haji dipahami sekadar ritualisme sebagaimana ibadah-ibadah lain.
Kedua, sebagai latar belakang pemikiran Masdar selanjutnya adalah kembali pada teks al-Qur‟an. Dalam hal ini, Masdar sampai pada pendapat bahwa sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang dipahami khalayak umum. Selama ini, haji dinilai banyak umat sebagai sekumpulan prosesi haji, mulai dari 24
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
71
tawâf qudûm sampai tawâf ifâdah yang hanya berlangsung pada 9, 10, 11, dan 12 Dzû al-Hijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzû al-Hijjah selama 5 hari, padahal dalam al-Qur‟an, terdapat satu ayat yang sangat sarîh, yaitu QS. alBaqarah/2: 197 di atas.25
Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab II, karakter pemikiran Masdar yang bercorakkan ilmu Fikih ini—selain melihat situasi dan kondisi masyarakat sekarang dan masyarakat pada saat turunnya wahyu—tentu membawa konsekuensi terhadap penelitian teks, terutama dalam pengambilan dalil-dalilnya karena bagaimanapun Fikih itu berasal dari kaidah-kaidah Usûl. Dalam hal ini pun, Masdar mengaku bahwa interpretasinya tersebut kembali kepada teks. Dalam bahasa Arab, dalil berarti penunjuk bagi segala sesuatu yang bersifat konkrit maupun abstrak, yang baik maupun yang buruk. Menurut ahli Usûl, dalil ialah sesuatu yang dipakai sebagai hujjah berdasar perundangundangan yang benar atas hukum syara‟ tentang tindakan manusia, baik secara qat‟iy maupun zanniy.26 Bila dilihat lebih seksama, ilmu Usûl sendiri menurut penulis sebenarnya merupakan khazanah keilmuan yang dimiliki umat Islam dalam menjelaskan kaidah yang harus dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an atau teks lainnya. Dalam pada itulah, teks yang pertama kali digunakan Masdar sebagai landasan berpikirnya yaitu apa yang terdapat pada al-Qur‟an terlebih dahulu sebelum lainnya yang notabenenya sebagai qat‟iy al-wurûd. 25
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152. Ayatnya lihat halaman 55 bab IV. 26 Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah oleh Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 35
72
Lebih lanjut, menurutnya sebenarnya yang aneh adalah pemahaman umat selama ini, karena mengabaikan teks al-Quran yang begitu sarîh, begitu jelas. Karena umat lebih tunduk kepada tradisi dan menganggap tradisi itu dogma, maka berhaji dari tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah itu tidak bisa ditinjau lagi. Padahal, sekarang ini umat Islam dalam keadaan yang semakin luar biasa sulitnya dalam berhaji. Masdar merasa bahwa ulama harus melakukan refleksi ulang terhadap pemahaman umat selama ini, karena agama tidak mengajarkan untuk masuk pada kondisi yang mempersulit diri sendiri. Dan dalam kenyataannya, al-Quran begitu longgar. Dan ayat al-hajj asyhurun itu tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah jamah haji yang sudah jutaan seperti sekarang ini.27 Suatu teks al-Qur‟an sendiri menuntut diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah, dan menurut tuntutan atau kehendak nass. Karena, setiap pemahaman nass melalui salah satu cara dari keempat metode ini pada dasarnya merupakan pengertian nass tersebut, dan nass itu merupakan hujjah atas pengertian itu.28 Bila sekedar memperhatikan ayat tersebut, baik makna yang tersurat maupun yang lainnya, memang haji itu secara waktunya ialah tiga bulan. Namun demikian, ritual haji tersebut merentet panjang mulai niat ihrâm hingga tahallul. Permasalahan inilah yang menurut penulis seharusnya perlu dikaitkan dengan ayat lain yang masih berkenaan dengannya. Dalam hal inilah kiranya yang merupakan kekurangan dari interpretasi Masdar dimana ia tidak mengkorelasikannya dengan QS. al-Hajj/22 ayat 28 berikut, 27 28
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155 Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 257
73
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan29 atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.30 Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj/22: 28). Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa salah satu manfa‟at haji ialah menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dipermaklumkan, menurut imam Mâlik yaitu hari nahr. Bahkan madzhab Mâliki sendiri tidak membolehkan penyembelihan pada malam hari karena dalam ayat tersebut disebutkan ayyâm bukan layâliya. Akan tetapi, menurut Wahbah al-Zuhailî sebenarnya kata yaum itu mengandung arti malam dan siang. Adapun selain Mâlikî, memakruhkan penyembelihan malam hari karena dikawatirkan melakukan kesalahan oleh sebab gelap.31 Adapun berkaitan dengan kalimat „alâ mâ razaqahum min bahîmah alan‟âm, berkata Ibn Katsîr yakni dengan menyebut nama Allah di saat-saat melakukan penyembelihan hewan kurban. Dipilihnya uslub ini, dengan menyertakan sembelihan sebagai salah satu mata rantai dari manâsik haji seperti bayar dam bagi orang yang melakukan haji bagi orang yang melakukan haji tamattu‟ dan qiran, mencerminkan bahwa dzikir kepada Allah dengan tulus dan
29
Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyrîq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzû al-Hijjah. 30 Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri. 31 Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII, h. 200
74
bersih dari percikan syirik, itu merupakan tujuan agung dari pensyari‟atan haji itu sendiri; sedangkan membagi-bagikan rezeki melalui hewan kurban mencerminkan rasa syukur mereka kepada Allah.32 Dalam hal menyebut nama Allah atas kurban pada hari nahr inilah kiranya penulis tidak mendapati gagasan dari penafsiran Masdar atau setidaknya bagaimanakah solusi mengenainya bagi orang yang melakukan wuqûf tidak pada hari Arafah. Agaknya, Masdar berhenti dari membahas ayat lainnya—setelah meneliti pada Q.S. al-Baqarah: 197 saja—karena ia telah mampu „mensejajarkan‟ pengalaman konkretnya dengan wahyu, yang menurutnya wahyu tanpa konteks tidaklah bisa berbunyi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, “… wahyu yang tertulis adalah „wahyu eksplisit‟, sementara konteks yang meliputi turunnya wahyu—konteks dimana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan wahyu tersebut—sebagai „wahyu implisit‟. Dalam penggunaan yang lebih populer, dikenal dua istilah: ayat-ayat qouliyyah dan ayat-ayat kauniyyah.33
2. Pemahaman Terhadap Hadis Dalam mendukung pengambilan dasar dalil ayat al-Qur‟an di atas, Masdar menilai pula hadis-hadis yang sering dipandang sebagai dalil bahwa wuqûf Arafah harus dilakukan pada hari Arafah sebagai penafsiran yang dianggapnya
32
Suma, Tafsir Ahkam 1 …, h. 134 Masdar Farid Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam Zuhairi Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004) cet. 1, h. 85 33
75
berlebihan. Selain itu, menurut Masdar, hadis-hadis tersebut juga seringkali dianggap para ulama sebagai pentakhsîs ayat al-Baqarah/2: di atas. Hadis-hadis tersebut ada sekitar dua matan, yaitu: i.
اَحل ّه َحلعَحل َحلة
(“Haji itu adalah wuqûf Arafah”)
Menurut Masdar, hadis tersebut berarti bahwa haji itu intinya wuqûf di padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk dalam kategori hadis itu. Dalil ini berbicara mengenai aktivitas, inti dari haji adalah wuqûf Arafah, bukan berbicara soal tempat. Adapun waktu haji sudah diterangkan dalam ayat al-Qur‟an tadi. Jadi antara ayat dan hadis itu tidak saling menafikan.34 Secara umum, fungsi hadis sendiri dalam hukum Islam salah satunya adalah berkedudukan sebagai bayân takhsîs. Di dalam al-Qur‟an terdapat ayatayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat serupa itu datang hadis memberikan penjelasan tentang kekhususannya, yakni, di samping keumuman ayat itu ada yang dikhususkan. Takhsîs dapat dilakukan antara ayat dengan ayat yang lain. Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya dengan alasan bahwa nass-nass al-Qur‟an semuanya adalah qat‟iy al-wurûd. Sedangkan hadis terhadap ayat, selain hadis mutawâtir, diperselisihkan ulama.35 Namun demikian, menurut Masdar hadis di atas tidak menkhususkan ayat al-Qur‟an tadi, walaupun hadis bisa memberi penjelasan kepada ayat al-Qur‟an. 34 35
h. 179
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 Abuddin Nata, Al-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet. 3,
76
Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayyâmun (beberapa hari) tentu tidak masuk akal. Kecuali kalau dijelaskan berapa jumlah bulan dan atau bulan apa saja, maka itu baru masuk akal.36
ii.
ُهخ ُهذ َحلع ّهّن َحل نم ِه َحلككل
(“Contohlah tata cara hajimu dariku”)
Adapun hadis kedua yang sering dijadikan takhsîs terhadap ayat al-Qur‟an surat al-Baqarah/2: 197, yaitu hadis tersebut di atas. Selama ini, memang kebanyakan nass yang dijadikan referensi oleh para ulama maupun pelaksana haji adalah hadis Nabi yang berbunyi: khudzû „annî manâsikakum. Hadis ini menunjukkan bagaimana cara pelaksanaan haji. Di situ tidak termasuk soal waktu.37 Masdar mengakui bahwa kalau hujjah naqli (alasan tekstual), selain ayat al-Quran surat al-Baqarah/2: 197 di atas, ia belum punya. Paling tidak, hujjahnya negatif, yaitu ketika nabi mengatakan “khudzû „annî manâsikakum,” itu tidak melarang bahwa di luar waktu itu haji menjadi tidak sah.38 Yang dimaksud dengan hujjah negatif di sini ialah pengertian balik (mafhûm mukhalafah). Apabila ada nass yang menunjukkan suatu hukum pada suatu masalah yang dibatasi dengan suatu batasan, misalnya jika masalah itu mempunyai sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi dengan suatu batasan atau bilangan, maka hukum nass atas masalah yang telah 36
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”. 38 Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 156 37
77
jelas batasannya tersebut disebut mantûq al-nass. Sedangkan hukum atas masalah yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut mafhûm mukhâlafah.39 Atas dasar pengertian balik ini, dalam memahami hadis tersebut, Masdar merujuk pada tata cara haji saja, prosesi, syarat, dan rukunnya. Dan mengenai soal waktu, ia tetap berpedoman pada ayat al-Qur‟an di atas. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa ayat tentang waktu dan hadis tentang tempat tadi tidak dalam posisi saling menafikan. Jadi harus diamalkan dan dipakai kedua-duanya, bahkan membatalkan ayat dengan hadis tersebut merupakan masalah yang serius.40 Namun demikian, penulis menganggap bahwa setiap teks ataupun dalil, baik yang terdapat dalam al-Qur‟an ataupun hadis tidak semuanya mengandung pengertian balik, bahkan ada beberapa teks yang penulis anggap akan menyalahi kehendak teks bila digunakan kaidah tersebut.
3. Penawaran Solusi Waktu Mengenai
waktu
haji,
Masdar
menganalogikan
pelaksanaannya
sebagaimana waktu untuk solat. Dalam al-Qur‟an ada perintah mendirikan solat, mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji, berjuang di jalan Allah, qisâs, dan lain sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur‟an. Teknik tersebut dijelaskan dalam sunah, karena di antara kedudukan sunah bagi al-Qur‟an juga adalah sebagai bayân tafsîl.
39 40
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 265 Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
78
Yang dimaksud dengan bayân tafsîl di sini adalah bahwa sunah itu menjelaskan atau memperinci keglobalan al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun diperlukan perincian.41 Perbedaan bayân tafsîl dengan bayân takhsîs sendiri ialah kalau dalam tafsîl, sunah berfungsi menjelaskan, mentafsîlkan, dan menta‟yinkan (menyatakan) al-Qur‟an, dan kelihatan tiada pertentangan. Sedangakan pada bayân takhsîs ini di samping sunah sebagai bayân, juga antara al-Qur‟an dan sunah secara lahiriah nampak ada pertentangan.42 Salah satu contoh adalah perintah solat sebagaimana disebutkan pada ayat
ِهف ل اصعلة
(dan dirikanlah solat), ataupun ayat
اؤِه نني ِه مبم َحل ْهل لتم
اصعلة منَحلت ععى ّه إن ّه
(sesungguhnya solat itu ). Ulama ahli usul menetapkan
bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut, solat hukumnya wajib. Sedangkan mengenai bilangan raka‟aat dan cara mengerjakannya dijelaskan dalam hadis:
صعّهي صعّهل َحل م َحل يْهَفُه لين َحل َحل “Solatlah kamu sebagai mana kamu melihat aku mengerjakansolat.”
Dikatakan bahwa solat itu wajib bagi setiap orang mukallaf. Namun, kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksnakan. Rasul dalam 41 42
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178 Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 179
79
hal ini menjelaskan syarat, rukun, serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang sesuai dengan keadaannya. Cara solat orang yang mukim, tidak bepergian, dan tidak dalam keadaan sedang perang berbeda dengan orang yang sedang bepergian atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan dapat melaksanakan solat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk, atau berbaring. Semua penjelasan masalah ini terdapat dalam petunjuk nabi Saw.43 Menurut Masdar, waktu haji itu terdiri dari waqtu al-jawâz dan waqtu alafdaliyyah, sama dengan solat. Waktu haji adalah waktu yang muwassa‟, waktu yang longgar. Artinya, persediaan waktu untuk pelaksanaannya lebih panjang dari kebutuhan kita yang sebenarnya. Misalnya, kebutuhan haji hanya lima hari saja, tapi waktunya lebih panjang dari itu. Solat juga begitu, waktunya paling lama 10 menit, tapi waktu yang tersedia atau diperbolehkan bisa berjam-jam. Berbeda dengan puasa yang waktunya mudayyaq, agak ketat dan disediakan seperlunya saja. Puasa Ramadan misalnya, waktunya hanya bulan itu saja, tak boleh kurang atau lebih.44 Dalam waktu yang muwassa‟ inilah terdapat dua penggal waktu, waqtu aljawâz dan waqtu al-afdaliyyah. Waktu jawâz menunjukkan bahwa sepanjang waktu itu bisa digunakan untuk ibadah. Dalam konteks haji, waktu yang boleh digunakan untuk menjalankan ibadah haji (waqt al-jawâznya) adalah sepanjang tiga bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Tapi ada juga waqtu alafdaliyyah. Dalam waktu-waktu inilah nabi pernah menjalankan ibadah haji, yakni tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah. Tapi ini bukan berarti di luar tanggal 9-13 kita tidak 43 44
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178 Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
80
dapat menjalankan haji. Ibadah haji sah dijalankan sejak tanggal 1 Syawwâl sampai 13 Dzû al-Hijjah, atau bahkan ada yang mengatakan sampai akhir Dzû alHijjah. Hanya saja, memang ada waqt al-afdaliyyah, atau prime-time, sebagaimana yang dilakukan selama ini.45 Jadi, bila mengikuti pemahaman Masdar, waktu wuqûf itu bisa dilakukan pada tanggal berapa saja, asal dalam tiga bulan yang ditentukan karena memang itu waktu keabsahan haji, dan berarti keabsahan untuk wuqûf, karena inti dari haji adalah wuqûf Arafah. Hal yang tidak aneh memang, karena menurut Masdar, bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (Fikih) ialah kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal, atau—dalam ungkapan yang lebih operasional—keadilan sosial. Tawaran teoritik (ijtihâdî) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nass atau tidak, yang bisa menjamin kemaslahatan kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah, dan Islam terikat untuk mengambilnya dan melestarikannya.46 Adapun solusi yang ditawarkan Masdar mengenai waktu haji tersebut, ia memperkirakan kalau dalam satu bulan ada empat minggu, satu prosesi haji diandaikan berlangsung seminggu atau 10 hari, maka sebetulnya selama satu bulan bisa berlangsung tiga kali shift, atau tiga angkatan haji. Jadi, pada bulan Syawwâl 3 shift, Dzû al-Qa‟dah 3 shift, dan bulan Dzû al-Hijjah 3 shift. Jadi dalam tiga bulan itu akan ada 12 shift. Andai saja dalam 1 shift bisa dilakukan oleh 1 juta orang, maka dalam setahun akan ada 12 juta orang yang berhaji. Dan 45 46
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” ..., h. 61
81
itu akan dilakukan dengan aman, rileks, dan khusuk karena hanya ada 1 juta orang dalam satu kali angkatan.47 Penawaran-penawaran yang diajukan Masdar di atas memang akan memudahkan dan membuat khusyû para jama‟ah. Namun demikian, permasalahan yang muncul kemudian ialah kapankah ditentukan nantinya waktu untuk berkumpul bersama di padang Arafah bila mengkaitkannya dengan lanjutan hadis Arafah di atas karena di situ disebutkan malam perkumpulan. Pastinya penentuan hari
tersebut
akan
menjadikan
perselisihan
lebih
lanjut,
apalagi
bila
mengkaitkannya pula tentang kapankah diberlakukannya hari nahr bila ritual ibadah haji dilaksanakan dalam 12 shift.
4. Manfa’at yang Dapat diambil Dari berbagai pemahaman di atas, penulis memprediksi bila penafsiran Masdar ini dibenarkan oleh para ulama dan diberlakukannya perubahan ini oleh pihak Saudi, maka elemen-elemen yang berkecimpung dalam peribadatan haji semuanya memang merasa untung, baik itu dari jama‟ah yang mulai merasakan kenyamanan dan tentunya murah untuk biaya ONHnya; panitia pemberangkatan yang selama ini dipegang pemerintah akan lebih efektif dan meraup untung lebih banyak meskipun menetapkan tarif ONH lebih murah karena terbantu dengan jumlah jama‟ah yang lebih banyak dalam tiap tahunnya; berkurangnya jumlah korban meninggal atau sakit serta semakin tertata rapinya kebersihan dan kenyamanan jama‟ah; meningkatnya kesempatan berhaji bagi kelas menengah ke 47
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
82
bawah; berkurangnya antrian jama‟ah yang harus antri beberapa tahun; dan lain sebagainya. Masdar sendiri telah menyatakan bahwa yang paling diuntungkan sebenarnya—mulai dari perdagangan hingga devisa turis dan transportasi—adalah pemerintah Saudi, tapi sebetulnya tidak mungkin pemerintah kita menerapkan kebijakan pelarangan haji kecuali untuk yang pertama kali saja, seperti yang dihembuskan sekarang-sekarang ini. Sebetulnya kebijakan itu tidak mungkin bisa ditegakkan, karena secara hukum setiap muslim boleh melakukan haji seberapa mampunya, meskipun sunah. Dan perlu diingat, kalau tingkat kesejahteraan masyarakat Islam semakin meningkat, orang akan butuh tourism dan menjadikannya sebagai pilihan masa depan. Dan bentuk tourism yang terbaik dilakukan umat Islam itu tourism spiritual.48
Lebih lanjut, menurut Masdar, ajaran-ajaran dan ritual keagamaan seperti shalat, haji dan lain-lain merupakan sistem simbol untuk mengungkapkan pemujaan, penghormatan, kepasrahan dan ketundukan kita pada Tuhan. Di samping itu, ada simbol-simbol yang memberikan dimensi kemanusiaan. Kalau shalat itu mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, puasa antara manusia dengan diri sendiri (karena di dalamnya ada prinsip kejujuran dan pengendalian diri), maka haji merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan alam semesta.49
48 49
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155-156 Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
83
Itu bermakna: pertama, napak tilas asal-usul manusia secara biologis: yaitu dari Nabi Adam dan Hawa sebagai nenek moyang kita.
Kedua, juga
menapaktilasi asal-usul tradisi spiritualitas kita yang punya keterhubungan dengan Nabi Ibrahim maupun Nabi Adam sendiri. Sebenarnya, seluruh prosesi haji itu adalah napak tilas dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Itu disimpulkan misalnya, dari ritual sa‟i antara Shafa dan Marwah yang dirujuk dari kisah Siti Hajar. Ritual ini merefleksikan usaha keras untuk mencari anugerah Allah dengan bekerja bukan hanya menengadahkan tangan. Kemudian thawaf, wukuf, sampai melontar jumrah di Mina, itu merupakan pengalaman spiritual dari Nabi Ibrahim. Bahkan memakai baju ihram merupakan tanda perlucutan segala atribut sosial dan kita semua sama di hadapan Allah.
Namun demikian, apakah semisal penafsiran Masdar tersebut telah diberlakukan, maka hal itu tidak bertentangan—atau setidaknya mampu mewujudkan—dengan manfaat dan hikmah haji yang termaktub dalam QS. AlHajj/22: 28. Dari beberapa penafsiran ini, terlihat bahwa Masdar begitu konsekuen dengan pendapatnya bahwa syari‟at itu bertujuan untuk kemaslahatan, lebih jelasnya, ia pernah menyatakan: “…syari‟at Islam, sebenarnya, tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali „kemaslahatan manusia…”50
50
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” …, h. 55
84
Dalam permasalahan lain, barangkali konklusi ini pulalah yang mendorong Masdar agar pajak tidak boleh dicobasatukan dengan zakat, seperti yang sempat diindikasikan oleh Megawati dan ditanggapi dingin oleh Masdar.51
C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar Gagasan Masdar di atas, yang memang masih relatif baru—meski menurut Masdar betul-betul sudah berpijak pada al-Qur‟an—masih tetap ada keberatan. Tanggapan dari ulama-ulama lain sesudahnya pun belum banyak karena mungkin belum diwacanakan secara intens, itupun baru dari ulama-ulama Indonesia, baik yang mengkritiknya terang-terangan maupun sekedar menyindir. Diantara tanggapan-tanggapan yang menentangnya tersebut ada yang keras menjurus kasar, halus dan menusuk, dan ada pula yang cukup ilmiah dan „menengahi‟. Ada yang apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif dengan mengedepankan kajian argumentatif. Sosok setelah Masdar yang penulis nilai cukup representatif dan memang pendapatnya langsung ditujukan sebagai bantahan dalam menelaah pemikiran Masdar yaitu Jamal Ma‟mur Asmani. Bila dilihat hasil telaahnya, peneliti CePDeS (Center for Pesantren and Democracy Studies) dan staf pengajar PP Mahasiswa al-Aqobah Diwek, Jombang
ini menawarkan beberapa kelemahan pemikiran
Masdar dalam poin berikut:
51
Lebih jelasnya lihat Masdar Farid Mas‟udi, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
85
Lafadz “Asyhurun Ma’lûmât” Merupakan Lafaz Makhsûs Yang dimaksud dengan adanya makhsûs di sini ialah tiga bulan (asyhurun)
di atas menunjukkan makna pada hari Arafah, yaitu 9 Dzû al-Hijjah. Pengkhususan lafadz asyhurun pada ayat tersebut dikarenakan adanya lafadz setelahnya, yaitu ma‟lûmât yang berdasarkan tradisi waktu Arafah ialah pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah. Dalam pada itulah berdasar pemahaman Jamal, problem yang disampaikan Masdar tentang pertautan antara al-hajju asyhurun ma‟lûmât dengan
hadis
al-hajju
„arafah
adalah
sebuah
misunderstanding,
salah
pemahaman. Jamal menyatakan: Yang satu, al-hajju asyhurun ma‟lûmât menjelaskan tentang mîqât zamâniy haji, sedangkan yang kedua, al-hajju „arafah, menjelaskan rukun haji. Lebih lengkapnya begini, Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr, sedangkan ma‟lûmât adalah qoyyid lâzim (batasan tetap) dalam ilmu Balâghah. Artinya, haji itu pada bulan-bulan yang sudah sangat maklum. Maklum di sini adalah kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama berabad-abad sebelum turunnya ayat tersebut. Dan sebagaimana diketahui bersama, tradisi orang Arab adalah pada waktu Syawwâl, Dzû al-Hijjah, dan Dzû al-Qa‟dah. Oleh sebab itulah, kemujmalan lafadz asyhurun disitu sudah tidak ada.52 Pengertian mujmal sendiri adalah teks global yang butuh penjelasan atau dalam bahasa Arabnya mâ kâna muhtajjan ilâ bayânin fa mujmalun.53Jika merujuk pada pengertian tersebut, maka tidak hanya waktu haji, seluruh perilaku haji, termasuk waktu wuqûf di Arafah juga sudah masuk dalam ayat tersebut. Konsekuensi selanjutnya ialah dikarenakan tradisi wuqûf selama bertahun-tahun itu berlangsung pada tanggal 9 Arafah, maka asyhurun ma‟lûmât—meski
52
Jamal Ma‟mur Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/ 53 Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, cet. 2, h. 304
86
memang mempunyai maksud 3 bulan—harus tetap mewajibkan jama‟ah untuk melaksanakan wuqûf pada waktunya, yaitu tanggal 9 dari bulan ke terakhir yaitu Dzû al-Hijjah. oleh karena itu, hadis nabi al-hajju „arafah hanya sekedar menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyannya adalah syar‟u man qablanâ, syariat orang sebelum turunnya ayat. Imam al-Zamakhsyarî berkomentar mengenai lafadz ma‟lûmât sendiri adalah ma‟rûfâtun „inda al-nâsi lâ yusykilna „alaihinna, telah dikenal atau diketahui oleh manusia tanpa kemusykilan suatu apapun.54 Oleh karena itu adanya syari‟at tidak mungkin datang sebagai penentang terhadap adat, akan tetapi datang sebagai penetapan atasnya. Jika demikian adanya, maka permasalahan ini mengharuskan pentingnya studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses turunnya wahyu karena syariat inilah yang kemudian diteruskan nabi Muhammad Saw. Rasulullah Saw telah menerangkan bulan-bulan itu dengan menerangkan tempat-tempatnya dan nama-namanya. Bulan-bulan itu telah diketahui masyarakat Arab sejak zaman nabi Ibrahim As. Di dalam bulan-bulan itulah Allah memfardukan atas Ibrahim As dan keturunannya mengerjakan haji dan Ibrahim menerangkan cara-cara mengerjakan haji kepada manusia.55 Maka dari itu, jika mengikut tradisi yang telah ada, memang haji itu sudah dianggap dan terhitung boleh berniat menjalankannya pada awal bulan Syawwâl dan tetap mengikuti wuqûf pada hari Arafah. Sedangkan bila ada seseorang
54
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1, juz. I, h. 406 55 Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 28
87
memulai amalan-amalan haji di luar bulan-bulan itu, maka hajinya tidak sah.56 Adapun orang yang sampai mîqât di luar bulan-bulan haji, seperti bulan Ramadân dan Sya‟ban, maka dalam hal ini disunahkan berihram umroh dengan meniatkannya dalam hati dan melafadkan dengan lisannya seraya mengucapkan talbiyah.57 Syawwâl adalah permulaan bulan-bulan haji. Syawwâl itu adalah pula bulan Idul Fitri. Kata jamaknya Syawwalât dan Syawâwîl, kadang-kadang disebutkan al-Syawwâl. Di masa jahiliyyah bulan tersebut dinamakan Baw‟al atau Waghal.58 Adapun adanya pelaksanaan wuqûf pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah dapat ditemukan pada berbagai kitab hadis dan tafsir. Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jâbir menceritakan bahwa rasulullah Saw menuju ke Minâ dalam keadaan ihrâm pada tanggal 8 Dzû al-Hijjah, setelah itu singgah di Namîrah sebelum akhirnya sampai di padang Arafah pada tanggal kesembilannya, yang mana pada saat itulah rasul Saw menyampaikan khutbah Arafah.59 Begitu juga dalam beberapa kitab tafsir, banyak di antara pengarangnya yang mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada hari Arafah (9 Dzû al-Hijjah) tersebut, seperti M. Quraish Shihab, Muhammad „Ali al-Sabûnî, dan al-
56
Al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl ..., h. 406 57 „Abd al-„Azîz Ibn „Abdullah Ibn Bâz, al-Tahqîq wa al-„Iddah li Katsîrin min Masâ‟il al-Hajji wa al-„Umrah wa al-Ziyârah „alâ Dau‟i al-Kitâb wa al-Sunnah. Penerjemah Nurul Ulum, Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah (Bandung: Gema Risalah Press, 1995) h. 33 58 Al-Shiddieqy, Pedoman Haji …, h. 30 59 Muhammad Nasîr al-Dîn al-Albânî, Hajjatun Nabî Saw. Kamâ Rawâhâ „Anhu Jâbir Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan Umroh seperti Rasulullah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h. 95
88
Qurtubî. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji. Lebih jelasnya, pernyataan beliau sebagai berikut: “Umroh tidak mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Bahkan dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan beberapa kali. Sementara itu, haji ada waktunya, yakni bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain itu aktivitas amaliah umroh dan haji semuanya sama kecuali salah satu diantaranya ialah wuqûf yang harus dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah”.60 Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah. Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî—bahkan dinilai—sebagai pendapat jumhur ulama, selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari tergelincirnya matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzû al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat dinyatakan sah, apabila orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja dari jarak waktu tersebut di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada malam harinya, dengan ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari, maka wajib baginya meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang orang yang memulai wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu atasnya.61 Lebih lanjut mengenai bunyi hadis yang menerangkan wuqûf rasul Saw secara lengkap ialah sebagai berikut,
60
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239 61 M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10, j. I, h. 453
89
فمن َحلع ْه بَحلك ٍْي بْه ِه ما نْهَفَحلأنَحلم ِه ٌرع َحل َحل ما َحلح َّجدثَحلنم ُه ْه ُه ا َحل َحل َحل ما َحلأ ِه ْهد ُه لا هلل (ص) اَحل ُّ َحلعَحل َحلةُه َحل َحل ْه ِه ِه ْه اَحلفعَحلة َحلْه ٍع َحلَف َحلق ْهد َحلَّج َحلح ُّ ُه
هفل ْهخَحلَفَحلنم ْهع َحل ُهق بْه ُه إبْه َحل ِه َحلعطمء َحلع ْه َحلعْهد اَحل ْهْحمن بْه ِه يَحلَف ْه َحل ْهد َحل َحل اَحلْهفعةَحل َحلع َحلةَحل َحلَفْه ُه ْهعلِه ا َحل ْه ِه َحل َحل
“…dari Abdurrahman bin Ya‟mar, dia berkata, “Saya melihat rasulullah Saw. didatangi manusia ditanya soal Haji, rasulullah kemudian menjawab: “Haji adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang menemukan pada malam Arafah sebelum terbitnya fajar dari malam jam‟in, maka sungguh hajinya telah sempurna.”62
Râis „Âm Syuriyah PBNU, K.H. MA. Sahal Mahfudz dan K.H. A. Musthofa Biysri (Rais Syuriyah PBNU) dalam terjemahan kitab Mausû‟at alIjmâ‟ (Ensiklopedi Ijmak) menjelaskan sebagai berikut: “Waktu wuqûf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari di hari Arafah dan menyingsingnya fajar di malam nahr, menurut pendapat segenap ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuqûf adalah antara menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di hari nahr. Ulama juga telah sepakat bahwa wuqûf tidak sebelum duhur pada hari ke sembilan (9 Dzû al-Hijjah dan tidak hari nahr, bagi mereka yang tahu bahwa itu hari nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat bahwa orang yang berhenti di Arafah pada malam nahr, sekira dari berhentinya itu sempat solat subuh dengan imam, ia dianggap telah wuqûf. Barang siapa berhenti di siang hari dan bertolak sebelum tenggelamnya matahari, dan tidak kembali ke Arafah waktu siangnya, itu telah mencukupi sebagai wuqûfnya, dan hajinya sah menurut semua ulama, kecuali Mâlik. Beliau berkata; “Yang mu‟tamâd dalam wuqûf di Arafah adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka tertinggalah haji (haji terlepas darinya).” Ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuqûf di Arafah sebelum tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir matahari, wuqûfnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuqûf setelah tergelincir atau wuqûf pada sebagian malamnya, sebelum menyingsingnya fajar, maka haji terlepas darinya.”63
62
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî. Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, Juz III, hlm. 237 63 Sa‟di Abu Habieb, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma (Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
90
Jamal Ma‟mur Asmani juga mengutip dari beberapa pendapat dalam kitabkitab tafsir bahwasanya ritual wuqûf Arafah—termasuk waktunya—itu telah dinaskan (mansûs) dalam al-Qur‟an,64 yaitu pada ayat setelahnya,
... “…Maka apabila kamu Telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟arilharam.65 dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. alBaqarah/2: 198) Kata afadtum sendiri bermakna melimpah,66 sehingga dimaknai “Jika kamu melimpah, yaitu bertolak ramai-ramai, tidak sendiri-sendiri. Orang Arab mengatakan
م َحل انمءُه إإ ْه َحل َحل َحل
(tumpah bejana itu apabila penuh). Jamaah
keluar dari Arafah setelah Maghrib tanggal 10 Dzû al-Hijjah, seperti air yang tumpah dari bejana beramai-ramai. Jamaah ahli qira‟ah membaca
ٍ ع ما
dengan tanwîn kasrah. Al-Nuhhâs
berkata inilah qira‟ah yang paling baik. Tetapi, Sibawaih membaca
ع ِه ما َحل
dengan kasrah ta tanpa tanwîn (ma‟rifah), sedang al-Akhfasy dan ulama-ulama
64
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”. Ialah bukit Quzah di Muzdalifah. 66 Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 124 65
91
Kufah membaca
ما َحلعَحل َحل
menyamakan dengan Talhah dan Fâtimah. Dalam hal
ini qira‟ah pertamalah yang paling baik.67 Nama Arafah sendiri, berkaitan dengannya, ada beberapa pendapat mengapa dinamakan Arafah:68
Setelah Jibril menuntun Ibrahim haji, mulai dari tawâf kemudian sa‟i sampai Mina, Muzdalifah, hingga Arafah, maka Jibril bertanya,
ت م يُهك ه ع َحل
, “Apakah anda telah mengetahui
apa yang telah saya perlihatkan?”, Ibrahim menjawab:
ت ن ل ع ُه
, “Ya, saya sudah mengerti.” Sejak itulah padang itu dinamakan Arafah. Ini didahului dengan do‟a nabi Ibrahim:
ِهنم َحل نم ِه َحلكنم
Dinamakan Arafah karena tempat itu merupakan pusat perkenalan manusia sedunia. Pada tahun 1411 H/1991M jama‟ah haji yang resmi terdaftar adalah 2.300.000 orang yang wuqûf di Arafah. Belum lagi yang tidak terdaftar, masih terdapat lagi puluhan ribu.
Dinamakan Arafah karena di tempat itulah Adam dan Hawa bertemu dan saling berkenalan, setelah saling mencari sewaktu
67 68
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125 Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
92
Adam diturunkan di India dan Hawa di Jeddah. Peristiwa ini terjadi pada hari Arafah (9 Dzû al-Hijjah).
Dinamakan hari itu hari Arafah karena tempatnya di Arafah (alDahhâk).
Diambil dari kata al-„arfu yang berarti al-tayyîb (bersih). Berbeda dengan Mina yang ada kotoran dan darah (Jabal Qurban).
Diambil dari kata al-sabru seperti kata:
ِه ف إإ من صمبِه خمأ م ُهج ٌر عم ٌر Orang yang haji itu sabar terhadap qadâ Allah, khudû‟, dan merendahkan diri kepada Allah serta sabar dalam berdo‟a, sabar dalam menghadapi bala dan cobaan-cobaan, sabar dalam menegakkan ibadah. Ulama sendiri telah ijma‟ bahwa barangsiapa yang wuqûf di Arafah sebelum tergelincir matahari dan keluar meninggalkannya sebelum tergelincir maka wuqûfnya tidak dianggap, atau batal. Dan ulama juga telah ijma, bahwa jika seseorang wuqûf di Arafah sesudah tergelincir matahari (selesai zawâl) pada hari Arafah dan keluar meninggalkan Arafah sebelum Maghrib maka wuqûfnya dianggap sah, kecuali imam Mâlik bin Anas, wuqûf harus sampai Maghrib atau malam. Adapun yang wuqûf di Arafah pada malam hari maka hajinya sah.69 Adapun hujjah jumhur ulama ialah: Pertama, firman Allah Swt,
69
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 126
93
ٍ إإ َحل ُهل ِه ع ...ما َحل Ayat ini tidak menjelaskan siang atau malam, yang terpenting telah menjalankan wuqûf. Kedua, hadis „Urwah bin Mudarris, “Barang siapa yang solat Duhur dan Ashar dijama‟ bersama kami, sedang dia sudah datang di Arafah sebelumnya, baik malam atau siang, maka dia telah menyempurnakan hajinya.” Adapun alasan Imam Mâlik ialah hadis panjang dari Jâbir yang mengemukakan bahwa rasulullah wuqûf di Arafah sampai terbenam matahari. Sedang perbuatan nabi menunjukkan wajib, lebih-lebih dalam masalah haji rasulullah Saw telah bersabda, “Ambillah dariku manâsik haji kamu.” Jumhur ulama berbeda pendapat bagi yang selesai dari Arafah sebelum Maghrib. Hal perbedaan tersebut tentunya menyebabkan konsekuensi yang berbeda pula pada perbedaan dam. Imam „Atâ, Sufyân al-Tsaurî, Imam Syâfi‟î, Ahmad, Abû Tsaur dan Ahl Ra‟yi mengatakan wajib membayar dam. Sementara itu imam Hasan al-Basrî berpendapat wajib al-hadyu (kurban). Adapun imam Mâlik berkata bahwa wajib melaksanakan haji pada tahun berikutnya, dan al-hadyu disembelih tahun depan. Sama seperti yang hilang waktu mengerjakan haji. Seluruh Arafah adalah tempat wuqûf yang luasnya sekitar 2x4 km. Saat ini sudah dihijaukan dengan pohon-pohon yang tingginya sekitar lima meter. Rasulullah Saw bersabda:
. ت ه ُه نم َحلع ة ُه عُّ م َحل لِه ٌر َحل َحل ُه
94
“Aku wuqûf di sini (sekitar 50 meter timur Jabal Rahmah) sedang Arafah seluruhnya adalah tempat wuqûf.”70
Sebelum rasulullah sampai ke tempat wuqûf, beliau singgah di Namîrah. Saat ini sudah berdiri masjid yang luasnya sekitar 1 hektar, terkenal dengan masjid Namîrah. Disunahkan mandi dan solat sunah dua raka‟at sebelum berangkat ke tempat wuqûf. Hanya sayang sekali, saat ini sangat sulit untuk solat di sini, karena penuh sesak dengan pengunjung dan kendaraan yang kadang-kadang tidak lewat di sini. Di tempat tersebut rasulullah berkhutbah, khutbah haji. Kemudian adzan daniqamah dua kali, yaitu Duhur dan Asar (jama‟ taqdîm), tanpa ada solat sunah yang menyelanginya. Kemudian memperbanyak dzikir dan do‟a sampai matahari terbenam.
Adanya Masyaqqât Hendak Menunjukkan Ketebalan Takwa Adapun alasan kedua berkaitan dalam membantah pendapat Masdar adalah
penilaian Jamal tentang adanya masyaqqah. Kalau argumen Masdar karena ada masyaqqah, masyaqqah sendiri ada batas-batasnya (al-hudud).71 Dan kalau ada masyaqqah—semisal orang yang haji kalau dipaksa wuqûf akan mati umpamanya—maka solusinya bukan dengan mengubah jadwal haji, melainkan dengan banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuqûf tidak pada waktu fadilah
70 71
t.th) h. 58
al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî …j. III, h. 232 Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Asybâh wa al-Nadâ‟ir (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,
95
(malam tanggal 10 Dzû al-Hijjah), namun mencari waktu yang longgar melaksanakannya, begitu juga dengan pelaksanaan ramy al-jimâr. Yang dibatasi dalam haji hanya wuqûf, walaupun begitu syara‟ memberi kelonggaran, karena dalam wuqûf dimanapun sepanjang masih di tanah Arafah, baik siang maupun malam, walaupun sebentar adalah sah.72 Jika tetap tidak mampu, sakit keras misalnya, bisa menyuruh orang lain untuk menggantinya (istinâbah) dengan syarat-syaratnya. Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan wuqûf, namun pada sabîl (jalan). Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sabîl (jalan), pengembangan teritorial atau dengan menggunakan lift, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak nabi Ibrahim sampai nabi Muhammad Saw dan sekarang ini.73 Tak dipungkiri, beberapa ritual haji Ibrahim as memang sungguh berat. Ibrahim as sendiri termasuk salah satu dari rasul ulû al-„azmi yang mempunyai kesabaran lebih dari yang lainnya. Setelah dalam waktu yang lama ia tak dikaruniai anak, ia diperintahkan untuk beristri dengan wanita budak. Tak lama berselang, istri yang keduanya diperintahkan Allah agar ditinggal sendirian di gersangnya padang pasir, bahkan setelah anak kesayangannya tersebut dewasa, ia dimimpikan oleh Allah agar menyembelihnya. Tak pelak, pantaslah Ibrahim as diberi julukan khalîlullah.
72 73
al-Ghazâli, al-Wâjiz (Beirut: Darul Fikri, tth) j. I , h. 73 Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
96
Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal
Alasan ketiga dalam membantah pendapat Masdar ialah bahwa haji itu merupakan ritual ibadah mahdah, yang ditujukan secara vertikal kepada Allah, bukan ibadah sosial atau horizontal, seperti mu‟amalah. Ada sebuah kaidah, al-aslu fi al-„ibadati al-tahrîm illâ mâ dalla al-dalîlu „alâ ibâhatihî, wa al-aslu fi al-mu‟âmalati al-ibâhati illâ mâ dalla al-dalîlu „ala tahrîmiha. Asal dari semua ibadah (hubungan vertikal transendental) adalah haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan asal dari mu‟amalah (hubungan sosial horizontal) adalah boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Oleh sebab itulah para ulama di berbagai kitab hadis, fikih, tafsir, tajwid, nahwu, dan lain-lain banyak mengutip berbagai pendapat generasi sebelumnya pada saat mereka memaknai sebuah teks.
Memang tidak mungkin dalam masalah ibadah kita tidak berlandaskan teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio, jadi harus ada landasan teks atau sumber yang jelas, yang autentik (mu‟tamad „alaihi).
Jamal bahkan menilai Masdar dalam lontaran pemikirannya tidak mempunyai landasan teks yang autentik, terkesan mengabaikan kitab-kitab kuning (classical books) yang menjadi rujukan utama NU dan pesantren khususnya.74
Di sini penulis belum hendak menilai tentang siapakah yang keluar sebagai pemenang, karena proses sejarahlah yang nantinya akan menjawab. Namun, ujian 74
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
97
yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya yang bersifat empirik. Karena suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat dan kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang masih menjelaskan tentang ritual haji, penulis mendapati bahwa kesimpulan mengenai penafsiran salah satu tokoh generasi sekarang, yakni Masdar Farid Mas’udi, yang didasarkan atas rumusan masalah yang telah penulis buat sebelumnya, yaitu inti pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga kloter, sehingga wuqûf di Arafah tidak hanya—tidak wajib—dilakukan pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah (hari Arafah) sebagaimana ketentuan yang berlaku. Hal ini selain sesuai dengan petunjuk ayat Q.S. al-Baqarah/2: 197, juga untuk menghindari masyaqqah.
Penulis sendiri memang mengakui eksistensi dari adanya dua hal di atas. Secara kaidah penafsiran, jika dengan mendasarkan hal waktu haji tersebut pada teori-teori usûl memang dapat diakui kebolehannya. Namun demikian, penulis menganggap kurang pada penafsiran Masdar ini, terlebih dalam hal penawaran solusi waktunya yang mana ia tidak memberikan lebih detail berkaitan dengan waktu untuk menyebut nama Allah (takbîr) pada hari-hari tertentu yang telah disebutkan dalam QS. al-Hajj/22: 28, demikian juga dengan kapan waktu kita dapat menyaksikan penyembelihan secara bersama-sama. Hal tersebut penulis anggap penting karena nantinya dengan adanya perubahan waktu wuqûf akan menyeret konsekuensi manfaat atau hikmah haji yang telah disebutkan pada ayat
98
99
lain. Dari sini, terlihat bahwa Masdar seakan kurang memperhatikan munâsabah antara ayat satu dan yang lainnya yang masih termaktub dalam al-Qur’an. Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan mufassir sebelumnya, yaitu lebih tertekan pada hal wuqûf saja. Hal tersebut maklum adanya karena memang pelaksanaan ritual wuqûf zaman dahulu tidak begitu membludak, hingga menghilangkan nyawa. Bisa jadi, bila salah seorang mufassir periode klasik ada yang masih hidup pada zaman sekarang—yang mana tingkat peradaban manusia sudah sebegitu njelimet dan serba instan—maka telah ada yang menafsirkan seperti Masdar. Namun demikian, alasan bahwa adanya masyaqqât adalah hendak menunjukkan ketebalan takwa seseorang bisa dipertimbangkan agar waktu wuqûf tetap pada hari Arafah, karena memang suatu kaum dari masa satu ke masa lainnya membawa tingkat kesulitannya masing-masing yang berbeda. B. Saran Adapun saran yang penulis ajukan: 1. Adanya penelitian lebih lanjut terhadap tafsir Masdar Farid ini, karena penelitian dan data yang dipaparkan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis senantiasa mengharap saran dan kritik yang membangun, agar mendapatkan kesimpulan yang lebih valid. 2. Adanya kajian yang lebih mendalam terhadap mufassir kontemporer yang merupakan generasi yang dekat dengan dunia kemodernan, karena generasi mereka adalah generasi yang memiliki cita rasa perubahan sosial, kemajemukan, serta penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 1985) Abdalla, Ulil Abshar, Membakar Rumah Tuhan, (Bandung: Rosda Karya, 1999) Abu Habieb, Sa‟di, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma, (Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160 Adam, Muchtar, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5 Al-Albânî, Muhammad Nasîr al-Dîn, Hajjatun Nabi Saw. Kamâ Rawâhâ ‘Anhu Jâbir Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan Umroh seperti Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) cet. 7 Asmani, Jamal Ma‟mur, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/ Bashier, Zakaria, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1 Al-Biqâ‟î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm bin ‟Umar, Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389 H/1969 M) j. III Al-Bukhârî, Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Bukhârî. Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II Al-Dimasyqî, abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren, (2006) j. II Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, “KH. Masdar Farid Mas‟udi”, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content &task=view&id=210 Farid, Ishak, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1999) cet. 1 Al-Farmawî, ‟Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’iy. Penerjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2 Al-Ghazâlî, al-Wâjiz, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth) j. I Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) cet. 2 Hurgronje, Christian Snouck, Perayaan Mekkah, (Jakarta: INIS, 1989) Ibn Bâz, „Abd al-„Azîz ibn „Abdullah, al-Tahqîq wa al-‘Iddah li Katsîrin min Masâ’il al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyârah ‘alâ Dau’i al-Kitâb wa al-Sunnah. Penerjemah Nurul Ulum, Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan alQur’an dan al-Sunnah, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995) Ja‟far, Muhammmad, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada tanggal 03 Maret 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/ “Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004 Al-Jarjawî, Syekh „Ali Ahmad, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut: Dâr alFikri, 1997 M/1418 H) cet. 5 Jawa Pos 18 Januari 2009 Al-Jâzirî, ‟Abd al-Rahmân, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri, (Semarang: al-Syifa, 1994) Khallâf, „Abd al-Wahhâb, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) Mas‟udi, Masdar Farid, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yangdilembagakan/ --------, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam Zuhairi Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004) cet. 1 --------, “Meninjau Ulang Waktu Haji”, Jawa Pos, 18 Januari 2009 --------, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005 --------, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/ Al-Misrî, Ibn Manzûr al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, (Libanon: Dâr Sâdir, 1990) j. II Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet. 3 --------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) cet. 7 Al-Nawâwî, Imam, Sahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawâwî, (Libanon: Dâr al-Fikr) j. I PMII KOMFAKSYAHUM, “Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‟udi”, artikel diakses tanggal 10 Februari 2010 dari http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentangmasdar-farid-masudi/ Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta : LkiS, 2007) cet. 1 Al-Qurtubî, Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Fakhr, Tafsîr al-Qurtubi, (Kairo: Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III
Rahardjo, M. Dawam, “Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) Ramitha, Vina, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://inilah .com Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30 Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a 5.pdf Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://liputan6.com Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39 Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depanlebih-nyaman Ringkasan Berita Terakhir “Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola”, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_ bola.htm Ringkasan Berita Terakhir “Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib”, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://vivanews.com/117423santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm Ringkasan Berita Terakhir “Selamatkan Ahli Tahlil”, diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‟udi-ketua-pbnuselamatkan-ahli-tahlil.html
Ringkasan Berita Terakhir “Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi SBY”, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://www.hanura.com Al-Sâbûnî, M. ‟Alî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Penerjemah Saleh Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10 Al-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) Shihab, M. Quraish, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5 --------, Membumikan Al-Qur’ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994) Sitonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997 M) Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) cet. 1 Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Asybâh wa al-Nadâ’ir, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth) --------, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd al-Muhsin al-Turkiy, (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II Al-Tabarî, Abû Ja‟far bin Muhammad bin Jarîr, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Âyi alQur’ân, di tahqiq oleh: Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1374 H) cet. 2, j. IV Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: IKAPI, 1992) Al-Tirmidzî, Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî. Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al„Arabî) Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990)
Al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‟Umar, al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ’Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1 Al-Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII
TINJAUAN WAKTU HAJI (Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh:
Abdul Hasan Mughni NIM: 105034001162
Pembimbing
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA NIP: 1955725 200012 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul : ”Tinjauan Waktu Haji: Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap al-Baqarah/2: 197” yang ditulis oleh Abdul Hasan Mughni, NIM: 105034001162, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Program Strata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 14 Juni 2010 Sidang Munaqasyah
Ketua,
Sekretaris,
Dr. M. Suryadinata, MA
Muslim, S.Th.I
NIP: 19600908 198903 1 005
Penguji I,
Penguji II,
Dr. Yusuf Rahman, MA
Drs. Zaenal Arifin Z, MA
NIP: 19670213 199203 1 002 Pembimbing,
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA NIP: 1955725 200012 2 001
Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Tuhan sekalian alam; Tuhan segala hal; Tiada kekuatan pun kecuali atas kehendak-Nya; Yang telah memberikan taufiq-Nya bagi penulis untuk merampungkan skripsi ribet ini; Yang mendorong Kajur seakan ngerjain penulis dengan menolak proposal hingga harus keempat kalinya; Yang mendorong mata penulis tertuju untuk membeli buku merah berjudul Ijtihad Islam Liberal; Yang mempertemukan penulis dengan dosen pembimbing setelah sempat hampir satu bulan tidak bisa bertemu; Yang selalu ‘menguji’ hambanya dengan ‘masalah-masalah’ sakit, kurang dana, jauhnya jarak, dan sebagainya. Oh, sungguh tiada sekutu satu pun bagi-Mu. Engkaulah pencipta akal serta segala hal yang membingungkan dan meyakinkannya. Engkaulah pencipta manusia dengan segala tafsiran dan ide-ide kreatifnya. Engkaulah pencipta setan dengan segala pembangkangannya. Engkaulah pencipta dunia dengan segala tempat dan waktu yang melingkupinya. Solawat serta salam tetap tersanjungkan pada insan paling agung sepanjang zaman, Muhammad Saw. Karena ia, dunia ini ada. Berkat dia, nikmat Islam dan wahyu mampu dirasakan manusia setelahnya. Tak terbayangkan bila harus ada dunia tanpamu karena tiada seorang pun yang akan mampu menyampai dan memberi syafa’at tetapnya ajaran ini hingga hari akhir kecuali engkau, tanpamu, tanpa keluargamu, tanpa sahabatmu, semuanya. Terima kasihku bagimu sekalian.
iv
Penulis begitu berterima kasih pula bagi para guru yang telah sudi mendidik dan mendoakanku. Mbah Muntaha Wonosobo, Abah Ilyas Bogor. Pengajaran kalian semoga bisa penulis lanjutkan. Juga pada para dosen dan guru-guru di sekolah formalku, yang selama bertahun-tahun dengan sabar memberi waktu mereka demi memberikan sejumlah wacana keislaman, keuniversalan, sosial, dan aqidah. Kepada Bu Faizah yang selalu berupaya dengan ketulusan hati membimbing dan mewarnai pembentukkan skripsi ini di sela-sela kesibukannya, Pak Eva yang sempat membuka secuil celah permasalahan, bagi Pak Yusuf sebagai dosen yang menguji dan memberi tambahan opini dan bagi para dosen lain, nama kalian tak bisa ku tuliskan satu-satu. Terima kasih pula bagi kedua orang tua penulis. Meski dulu terkadang rasa benci menyelimuti penulis, namun semuanya telah aku sesalkan. Kalian mendidikku dengan pengajaran yang ternyata begitu aku kagumkan. Kerelaan kalianlah kerelaan Tuhan. Semoga anakmu ini mampu menjadi cita-cita kalian. Terima kasih dan permintaan maaf penulis sampaikan pula bagi mbahku, terkhusus Mbah Jidah, yang mana penulis sempat hidup bersamanya, dengan fakta masa lalu yang kini telah banyak dianggap sebagai dongeng kuno; dengan ceritacerita Belandanya; dengan kisah Ratu Hernianya, kisah-kisah perjuangan dulu yang juga telah membentukku. Maafku untukmu tak bisa melihat senyum merah mu— senyum ketulusan dari sebuah mulut tua karena nginang—dengan mempersembahkan
v
wisuda pada semester kelima. Tapi di sisi-Nya ku yakin engkau sedang melirikku. Kau telah kembali mendahuluiku pada Pemilikmu. Yang Ia juga Pemilikku. Terima kasih buat para teman-teman TH-A 2005 yang militant dan berdaya juang tinggi; teman-teman SMA yang dengan sabar mendukungku; teman-teman SMP yang hingga sekarang pun masih banyak setia denganku. Sahal! Sudah tak membebanikah kau bagi orang-orang di sekitarmu?; Ubay! Telah bermanfaatkah ilmu Ushuluddinmu?; Aqib… cepatlah ajukan proposal! Usia mudamu sudah tak tertutupi lagi oleh wajahmu; Maksal… buruan kejar nilaimu! Tidak kasihankah kau pada wanita setulus
Susi
yang senantiasa sabar
membimbingmu?; Omen… gaulilah sekelilingmu! Mereka juga butuh kehangatan dermamu; Ummu… ah! Aku pun sudah tak tahu mesti bilang apa untuk memotivasimu; Ratih… tak perlu lah! Jutaan perubahan menghadang di dunia luar; Hendri! Makasih sudi menemaniku wisuda; Ismail! Salutku padamu yang tak peduli nilai formal demi estetika keindahan; Aini! Semoga langgeng bersama Ipin, ia teman baik bagiku juga; Apis! Entah kenapa ku teringat Raju Rastogi dalam 3 Idiots bila melihatmu. Selamat! Kau telah menjadi juara MTQ nasional sekarang; Riski! Silahkan nikmati raisonalitasmu hingga kau menganggap penting artinya sebuah tindakan; Agus! Teruskanlah tindakanmu hingga bisa menikmatkannya pada kenyataan; Izu! Aku sudah tak bisa berkata-kaa lagi bila berhadapan denganmu; Izi! Maafkan aku bila punya salah ya!; Mbak Fai! Aku salut padamu; Vina! Pesan
vi
namamu tanpa ‘A’ ya! Teman-teman ku semua yang tak sanggup ku sebut satu per satu. Semuanya! Kuharap kalian terima rasa kasihku ini, semoga tulisan ini mampu menjadi wasilah rasa banggaku pada kalian, yang telah membantuku sedemikian, sebagai aku, Abdul Hasan Mughni. Sungguh, tak ada salah satu dari kalian, maka tak ada aku seperti sekarang. Sekali lagi, maaf dan terima kasih pada semuanya, berkat perantara kalian semua, insya Allah, diri ini masih diliputi cinta-Nya. Segala puji bagi Tuhan Semesta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Merajai hari pembalasan.
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN....................................................................... iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 8 C. Kajian Pustaka ...................................................................................... 10 D. Tujuan Penelitian .................................................................................. 12 E. Metodologi Penelitian........................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI ................................................................................................. 15 A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi ................................................. 15 B. Karakter Pemikiran ............................................................................... 26 1. Karakteristik Fikih ............................................................................ 26 2. Karakteristik Kemodernan ................................................................ 28 C. Karya-karyanya ..................................................................................... 32
BAB III PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA .............................. 35 A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam ................................ 35 B. Pengertian dan Tata Cara Haji .............................................................. 41 1. Syarat Haji ........................................................................................ 43 2. Rukun Haji........................................................................................ 44 3. Denda ................................................................................................ 44 viii
4. Hikmah Haji ..................................................................................... 46 C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang .......................................... 48 1. Jumlah Jama’ah................................................................................ 48 2. Registrasi di Negeri Masing-masing ................................................ 51
BAB IV PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI ........................................ 55 A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197 ............................................................ 55 B. Penafsiran Masdar ................................................................................ 65 1. Latar Belakang Dasar Penafsiran ..................................................... 65 2. Pemahaman Terhadap Hadis............................................................ 74 3. Penawaran Solusi Waktu ................................................................. 77 4. Manfaat yang Dapat Diambil ........................................................... 81 C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar .................................................. 84 1. Lafadz Asyhurun Ma’lûmât Merupakan Makhsûs ........................... 85 2. Adanya Masyaqqât Menunjukkan Ketebalan Takwa ...................... 94 3. Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal .............................. 96
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 98 A. Kesimpulan ............................................................................................... 98 B. Saran .......................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan أ ب ت ث ج ح خ د ذ ر
ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف
=a =b =t = ts =j =h = kh =d = dz =r
ق ك ل م ن و ه ي
=z =s = sy =s =d =t =z =' = gh =f
=q =k =l =m =n =w =h =y
2. Vokal Panjang Vokal (a) panjang = â, contoh: َق َقل
= Qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: ِي َقْل
= Qîla
Vokal (u) panjang = û, contoh: = ُددوْ نَقDûna
3. Diftong ْو ْي
َق َق
= au = ai
4. Syaddah Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda tasydid. Misalnya madda
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال. Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyyah.
x
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr. b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai bunyinya. Misalnya alBadru, al-Wathan.
6. Hamzah Bila hamzah itu terletak di awal kata maka dilambangkan sesuai harakat yang disandangkan pada huruf, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
7. Pengecualian Transliterasi Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.
8. Foot note Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value (Karachi: Royal Book Company, 1989) h. 100 Dalam pengulangan, cukup menyebutkan seperti berikut : Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value ..., h. 90
9. Singkatan-singkatan Swt = Subhânahû wa ta’âlâ Saw = Sallâ Allah ‘alaihi wa sallam As = ‘Alaihi al-salâm
xi
Ra = Radiya Allah ‘anhu H
= Tahun Hijriah
M = Tahun Masehi W = Wafat tt
= Tanpa Tempat
tth = Tanpa Tahun tp
= Tanpa Penerbit
ed = editor
10. Daftar Pustaka Abdillah, Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. 1.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada majalah Tempo awal 1990-an, tertulis pendapat yang cukup aneh dari seorang tokoh intelektual NU bahwasanya waktu pelaksanaan haji perlu ditinjau ulang. Menurut Masdar Farid Mas‟udi—begitulah nama lengkap penggagasnya, selanjutnya penulis singkat dengan Masdar—sekaranglah saatnya diperlukan solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempattempat penampungan jemaah. Hal yang cukup mengagetkan memang, karena selain pelaksanaannya yang telah berlangsung sekitar 1400 tahunan, haji telah dianggap muslim sebagai ibadah ritual yang bukan hanya bernilai sosial, tetapi juga ibadah mahdah kepada Tuhan dan merupakan rukun dalam agama Islam yang kelima. Hampir setiap muslim yang berakal di seluruh dunia mungkin tahu, bahwa yang namanya rukun sendiri merupakan hal yang wajib dipenuhi agar keislaman seseorang menjadi sempurna. Bisa dikatakan, mana saja muslim yang telah mampu—baik jiwa raga maupun biaya—sedangkan ia belum juga menjalankan ibadah haji, maka muslim tersebut akan menanggung dosa selama hajinya tadi tak terpenuhi. Betapa pentingnya ibadah ini juga, barangkali yang menyebabkan prosesi pelaksanaannya menjadi sakral serta menuntut muslim agar dilakukan dengan benar berdasarkan tuntunan nabi Saw, mulai dari syarat, rukun, hal yang menjadikan batal, hingga tata cara, dan waktu pelaksanaannya.
1
2
Namun demikian, bagaimanakah jadinya bila muncul suatu pendapat seperti dari Masdar di atas yang mempertanyakan peninjauan ulang mengenai waktu pelaksanaannya. Tentu pendapat tadi tidak dengan baik diterima masyarakat bahkan terkesan adanya penolakan yang hingga saat ini pun belum ada tindak lanjut dari pihak pemerintah, khususnya di Indonesia—dalam hal ini DEPAG—yang selain instansi tadi ditunjuk sebagai regulator, ia juga memposisikan diri sebagai kontroler. Terlepas dari hal tersebut, di sini penulis berkeinginan untuk menelaah penafsiran Masdar sendiri yang bisa terbilang masih aneh. Sebagaimana kita ketahui, al-Qur‟an yang dinilai sebagian pakar sebagai intan ini1 begitu multitafsir, setiap lafadnya memancarkan berbagai makna, hingga tak ayal perbedaan dan pertentangan pendapat pun terjadi. Penulis sendiri menilai hal tersebut sebagai cobaan dan hikmah kehidupan yang seakan Tuhan menghendakinya, dalam al-Qur‟an disebutkan:
ِِ ِ ِِ ِ اختِالَفاً َكثِْي ًرا ْ َولَ ْو كا َن م ْن عْند َغ ِْْي اهلل لََو َج ُدوا فيه “Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. al-Nisâ‟/4: 82) Ayat di atas memang tidak secara langsung menyatakan bahwa al-Qur‟an itu menyebabkan perbedaan. Namun bila diperhatikan lebih lanjut, ayat tersebut bagaikan kalimat retoris „seandainya saja al-Qur‟an bukan dari Allah, pastilah pertentangan yang terjadi akan lebih banyak—baik itu dari segi keotentikan dan keindahan bahasanya; kebenaran data dan sejarah perbuatan umat masa silam; 1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994) h. 16
3
kecocokan dan ketepatan prediksinya dengan penemuan di masa sekarang; ataupun yang selainnya—karena al-Qur‟an sendiri saja, yang kenyataannya benarbenar dari Tuhan masih juga diperdebatkan, paling tidak dalam upaya interpretasinya juga pastilah ada perbedaan‟. Hal perbedaan tersebut bagi penulis merupakan eksistensi yang tak bisa ditolak. Lebih lanjut penulis berpandangan, dalam memahami—mungkin bisa juga sekaligus menilai kebenaran—al-Qur‟an, maka upaya tersebut tergantung juga pada orientasi kita. Jika bertujuan untuk penelitian sejarah, maka kita perlu menilainya dari tekstualis ayat. Sedangkan bila tujuannya adalah demi menarik „manfaat‟ untuk kehidupan zaman ini, maka diperlukanlah penafsiran secara kontekstual dengan menarik kesimpulan nilai-nilai saat turunnya wahyu dan mengkondisikannya dengan keadaan sekarang. Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan beberapa mufassir dan ulama-ulama fiqh sebelumnya lebih tertekan pada waktu pelaksanaannya saja, khususnya saat berkumpul di Arafah. Masdar menyatakan: “Dalam al-Qur‟an, sesungguhnya kita menemukan satu ayat yang sangat sarîh, yaitu ayat “al-hajju asyhurun ma‟lûmât” (haji itu waktunya adalah beberapa bulan yang diketahui). Jadi tegas sekali di dalam ayat itu diterangkan bahwa waktu haji itu beberapa bulan, bukan beberapa hari. Bahwa sekarang ini dipersempit menjadi hanya lima hari (waktu efektif), memang karena waktu praktek Rasulullah yang berhaji hanya sekali, dan kebetulan pada hari-hari itu tadi (9-13 Dzû al-Hijjah).”2 Jadi menurut Masdar, waktu pelaksanaan ibadah haji itu beberapa bulan, yaitu bisa di bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, atapun pada bulan Dzû al-Hijjah. Hal ini tentunya bila dipraktekkan akan memudahkan para jama‟ah haji yang 2
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 152
4
memang kenyataannya mengalami berbagai masyaqqât dalam pelaksanaanya pada saat sekarang ini, mulai dari penampungan-penampungan yang perlu diperluas, mudahnya terjadi kebakaran karena padatnya perkemahan—selain juga panasnya negeri Arab—bahkan kasus yang terbaru adalah pembatalan kuota sejumlah 30.000 jama‟ah haji yang tentunya menjadikan penyesalan tersendiri bagi orang yang mau menjalankan ibadah ke rumah Allah. Adapun pelaksanaan yang berlaku dari dahulu hingga sekarang yang mensyaratkan adanya wuqûf di Arafah pada hari Arafah merupakan adat yang akhirnya menjadi sakral karena kebetulan rasul pernah mempraktekkannya pada hari tersebut. Dalam menguatkan argumennya berkaitan dengan hadis Arafah, lebih lanjut Masdar menambahkan: “Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari itu-itu saja. Lebih-lebih ada hadis yang mengatakan bahwa “al-hajju „arafah”, atau haji itu adalah wuqûf di Arafah. Nah, hadis ini yang kemudian dipahami bahwa haji itu intinya bukan hanya wuqûf di tempat bernama Arafah, tapi juga wuqûf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan menurut saya, problem ini harus dipecahkan.”3 Sebenarnya secara keseluruhan, penafsiran Masdar mengenai waktu haji itu beberapa bulan—kalau dalam bahasa Arabnya asyhur—tidak begitu berbeda dengan para mufassir sebelumnya. Al-Zamakhsyari (538 H) misalnya menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan lafad asyhurun ma‟lûmât adalah Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.4 Pendapat senada juga tertulis dalam beberapa kitab tafsir sesudahnya, seperti Ibn Katsîr (w. 774 H) yang mengutip dari hadis
3
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152 Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1, juz. I, h. 405 4
5
riwayat Bukhâri5, al-Suyûti (911 H)6, dan sebagainya. Lebih-lebih, dalam kitabkitab tafsir tersebut tidak banyak—meskipun ada juga beberapa yang mencoba mengkorelasikannya dengan menganggap hadis Arafah sebagai takhsîs dari surat al-Baqarah ayat 197 di atas—menafsirkan dengan mengkorelasikannya terhadap lafad „arafah yang terdapat dalam hadis. Kebanyakan dari mereka justru banyak memaparkan bahwa apakah kata asyhur tersebut hanya tiga bulan tadi, ataukah seluruh bulan. Dari sini jugalah sebabnya Masdar mempertanyakan kenyataan sekarang yang mana kenapa hari pelaksanaan haji hanya lima hari efektif dan selanjutnya menganggapnya merupakan adat semata. Mengenai bunyi hadis yang menyebutkan bahwa waktu haji itu tiga bulan dan dijadikan dasar dalam menjelaskan ayat di atas adalah;
،ُ َح َّدثَنا َوَر اء، َح َّدثَنا أبو نُ َعْيم،أْحَ ُد بْ ُن حا ِزم بْ ِن أيب غُْرَزة ْ َح َّدثَنا:ارر ّ َُاا الل ِ ِ ِ َأ ّو ٌراا َوذو:وماا} َاا َع ْن ابْ ِن َعمر َاا {ااَ ُّج أ ْأ ُ ٌرر َم ْع ٌر،َع ْن َعْلد اهلل بْ ِن ديْنا ٍر 7ِ ِ ِ َّ وع ْ ٌرر ِمن ذر اا َ ال َل ْع َدة Adapun diantara mufassir yang menyebutkan ketentuan waktu haji seperti tersebut di atas dan juga mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada hari Arafah adalah M. Quraish Shihab, Muhammad „Alî al-Sabûni, dan alQurtubi. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji. Umroh terambil dari akar kata yang sama dengan ma‟mûr. Dari segi bahasa, 5
Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azim (Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 239 6 Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin Abd al-Muhsin al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 374 7 Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî. Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 570
6
umroh berarti „sesuatu yang memakmurkan‟. Menurut istilah hukum Islam, Umroh adalah berkunjung ke Ka‟bah dengan cara tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh agama, yakni memakai pakaian ihram dari tempat tertentu, bertawâf tujuh kali mengelilingi Ka‟bah, melakukan sa‟i antara bukit Safâ dan Marwah, serta menggunting atau mencukur rambut (dalam rangka memakmurkan jiwa). Ini harus dilakukan sesuai dengan urutan itu. Umroh tidak mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Bahkan dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan beberapa kali. Sementara itu, haji ada waktunya, yakni bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain aktivitas yang disebut di atas tentang Umroh, masih ada aktivitas lain yang harus dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, melontar jumrah, dan lain-lain.8 Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah. Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî sebagai pendapat jumhur ulama, selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari tergelincirnya matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzû al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat dinyatakan sah, apabila orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja dari jarak waktu tersebut di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada malam harinya, dengan ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari, maka wajib baginya
8
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
7
meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang orang yang memulai wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu atasnya.9 Bila demikian adanya, berarti meskipun Quraish Shihab, al-Qurtubi, dan al-Sâbûni membolehkan pelaksanaan haji pada bulan Syawwâl misalnya mulai dari niat berihrâm, akan membawa konsekuensi tetap harus adanya wuqûf hingga pada saat bulan Dzû al-Hijjah selama hampir tiga bulan di tanah haram. Hal wuqûf yang diharuskan adanya pada hari Arafah inilah yang berbeda dengan pamaknaan Masdar dan dianggapnya sebagai masyaqqah. Karena baginya telah dinilai sah orang yang sedang berhaji untuk pulang pada bulan Syawwâl, dengan syarat orang tersebut telah wuqûf di Arafah. Masdar sendiri banyak menjadikan kaidah-kaidah usûl sebagai dasar pengambilan pendapatnya. Ia melihat bahwa pelaksanaan haji sekarang ini sudah mencapai masyaqqât dan selanjutnya mengharuskan adanya kemudahan karena agama itu dalam hakikat dan tujuannya adalah memudahkan dan memberikan petunjuk, namun ternyata dalam prakteknya, masyarakat sekarang justru malahan terlihat terberatkan dalam menjalani ibadah. Namun demikian, Masdar sendiri tidak langsung menyalahkan mufassir dan ulama-ulama fiqh klasik karena memang hampir bisa dipastikan bahwa ritual haji pada saat nabi dan ulama-ulama fiqh masa lalu tidak didapatkan adanya masyaqqât. Bila sudah demikian, apakah sekarang saatnya. Dari beberapa latar belakang masalah inilah, ditambah pula untuk mengetahui pendekatan metode Masdar dalam menafsirkan ayat diatas serta 9
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh Mahfoed (Bandung: al-Ma‟arif, 1994), cet. 10, j. I, h. 453
8
mengkorelasikannya dengan ayat-ayat haji lain dan hadis Arafah, penulis menganggap penting pembahasan ini dengan memberikan judul “TINJAUAN ULANG WAKTU HAJI (Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah Sebelum menyinggung pembahasan waktu pelaksanaan haji, perlu diketahui juga bahwa dalam menafsirkan sebuah teks ataupun ayat al-Qur‟an, pastilah dalam diri penafsirnya terdapat konteks dunianya sendiri—pada proses pembentukan dasein ini, yang dianut adalah paham existensialisme, ukurannya adalah experience—yang mana hal tersebut mempengaruhi juga terhadap konklusi penafsiran, termasuk juga dalam hal ini yaitu kehidupan dari seorang mufassir. Oleh karena itulah, pada bab-bab selanjutnya nanti, penulis perlu menjelaskan biografi dan karakter pemikiran Masdar terlebih dahulu, agar dari situ dapat dengan mudah diketahui pendekatan metode manakah yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat di atas. Begitu juga dengan menyinggung pandangan mufassirmufassir lain dan konteks turun ayat beserta hadis yang melingkupinya—diantara fungsi hadis sendiri merupakan penjelas dan pengkhusus suatu ayat—yang nantinya dapat diperkirakan kenapa dalam sebuah tafsir terdapat perbedaanperbedaan konklusi. Berkaitan dengan permasalahan haji, dalam al-Qur‟an sebenarnya ada cukup banyak ayat-ayat yang menjelaskan ritual-ritual haji. Namun tidak semua ayat tersebut menjelaskan waktu satu per satu ritualnya secara langsung.
9
Penyebutan mengenainya berkisar mengenai tata cara, dam (denda), hal-hal yang tak diperbolehkan, bacaan-bacaan yang diajarkan, hukum kewajiban haji, keutamaan rumah Allah, dan lain sebagainya. Penjelasan yang masih bersifat global tersebut bisa kita dapati pada ayat-ayat, antara lain dalam surat alBaqarah/2: 124-129, 158, 196-203, Âlu „Imrân/3: 96-97, al-Taubah/9: 3, dan alHajj/22: 26-34. Adapun mengenai ayat yang menyebutkan waktu prosesinya, selain yang disebutkan di atas, penulis juga mendapati dua ayat yang dirasa bila kita mengkorelasikan dengan ayat al-Baqarah/2: 197 tersebut masih berkaitan dengan proses wuqûf itu sendiri. Sebagaimana dapat diketahui pada latar belakang masalah, beberapa mufassir klasik sendiri tidak banyak berbeda pendapatnya dengan Masdar karena mereka tidak banyak menekankan waktu pelaksanaan satu per satu prosesi haji. Namun, pendapat-pendapat mereka juga tidak secara langsung mendukung Masdar, terlebih dalam masalah wuqûf di Arafah. Hal ini bisa jadi disebabkan karena prosesi haji pada saat itu belum sebegitu membludaknya seperti pada zaman sekarang. Adapun permasalahan waktu haji—sebagaimana dapat diketahui pada latar belakang di atas pula—penulis mengkhususkan pembahasannya yaitu pada ayat ke-197 dari surat al-Baqarah, karena ayat inilah yang dijadikan dalil dasar oleh Masdar dalam pengambilan pendapatnya. Selanjutnya, penulis juga merasa perlu kembali pada ayat tersebut, yang mana memang waktu yang tersirat dari ayat tersebut seakan terlupakan
oleh kebanyakan muslim sekarang ini sekaligus
penulis menambahkan pembahasannya dengan menggunakan kaidah dasar dalam
10
penafsiran, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, sehingga nantinya penulis berusaha untuk mengkorelasikannya dengan ayat-ayat lain yang tentunya masih ada kaitannya dengan waktu haji, yaitu al-Baqarah/2: 203, al-Hajj/22: 28, dan al-Baqarah/2: 203. Metode tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ini juga dinilai oleh beberapa pakar tafsir sebagai kaidah dasar tafsir yang utama dan mesti didahulukan dari pada kaidah selainnya,10 seperti kaidah syar‟i, atau kaidah kebahasaan. Diantara kaidah dasar tafsir yang lain adalah penafsiran al-Qur‟an dengan hadis nabi.11 Oleh karena itu, nantinya dalam menjelaskan ayat-ayat dari surat alBaqarah/2: 197 dan 203, serta al-Hajj/22: 28 akan dihadirkan beberapa hadis yang meliputinya dan tentunya juga disertai pemahaman Masdar mengenainya. Dari identifikasi dan pembatasan di atas, kiranya bisa diketahui beberapa poin perumusannya, yaitu: Bagaimanakah penafsiran dan metode Masdar dalam memahami ayat? Dan penafsiran Masdar manakah yang berbeda dengan mufassir sebelumnya dan praktek ritual haji sekarang ini?
C. Kajian Pustaka Dalam perbendaharaan kumpulan skripsi TH, penulis hanya mendapatkan tiga buah pembahasan yang mengangkat tema haji. Pertama, berjudul Perintah Haji dalam al-Qur‟an, ditulis oleh Kustiana Arisanti yang membahas pengaruh masyarakat pra-Islam terhadap haji dan objek perintah haji dalam ayat-ayat tersebut. Kedua, judul skripsi Telaah Hadis Pelaksanaan Ibadah Haji Sebelum 10
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. 1, h.
11
Supiana dan Karman, Ulum al-Qur‟an …, h. 279
283
11
dan Sesudah Hijrah membahas jumlah pelaksanaan haji nabi ditulis oleh Deden Muhammad. Sedangkan yang ketiga, baru-baru ini ditulis oleh Sopiyah yang lulus tahun 2010 menitik beratkan pada takhrîj hadis dengan judul Pelaksanaan Ibadah Haji Berulang-ulang. Melihat dari berbagai judul yang diangkat di atas—yang tidak banyak mengambil tema untuk mengkritisi haji—semakin terlihatlah apa yang telah penulis kemukakan pada latar belakang masalah betapa haji itu merupakan suatu yang urgen bagi kebanyakan rata-rata muslim. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan pembahasan mengenainya telah mendekati sempurna dan tanpa celah lagi untuk diberi ruang ijtihad, atau bisa juga karena ibadah haji begitu sakral yang memang notabenenya ibadah tersebut merupakan rukun Islam yang terakhir hingga seakan tabu bila ada orang yang hendak mengkritisinya. Dari segi inilah barangkali yang membedakan skripsi ini dengan pembahasan-penbahasan yang lain, meskipun sekedar telaah pemikiran. Secara khusus, buku-buku atau bentuk tulisan lain yang mengambil tema waktu haji—dalam hal ini bermukim di Arafah—boleh di dua bulan sebelum bulan haji tidak banyak penulis ketemukan. Buku-buku yang banyak penulis dapati adalah berbagai pendapat yang menyarankan betapa pentingnya haji, hukum-hukum haji dalam fiqih, dan juga cerita-cerita seputar haji, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Namun demikian, ada juga buku-buku yang beredar meski sedikit jumlahnya yang cukup kritis membahasnya, baik itu dari segi konstruksi maupun rekonstruksi yang mana biasanya di dalamnya dilakukan
12
pemaknaan ulang atau juga kritik sosial, seperti Haji Pengabdi Setan karya Ali Mustofa Ya‟kub.
D. Tujuan Penelitian Kesengajaan penulis mengambil tema dengan memberi judul di atas dalam studi ini bertujuan antara lain ke dalam poin-poin berikut:
Mampu mengetahui bagaimana penafsiran dari ayat yang sama bisa menjadi berbeda dalam praktek pengaplikasiannya.
Mendorong para muslim agar lebih bersifat kritis dalam membedakan mana yang budaya dan mana yang merupakan ajaran.
Meningkatkan semangat ijtihad.
Mengetahui makna dan hikmah ibadah haji.
Meningkatkan pengetahuan tentang cara memecahkan solusi pada problem kemasyarakatan setelah melewati proses ijtihad
E. Metodologi Penelitian Dalam menjelaskan penelitian ini, penulis menggunakan model metode penafsiran maudû‟i sebagai metode pembahasannya, yaitu dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunya ayat-ayat tersebut.12 Sedangkan untuk coraknya, bercorakkan linguistic dan dalam beberapa hal banyak menggunakan studi fiqhî sebagai objek kajiannya. 12
Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2, h. 36
13
Adapun sehubungan landasan operasional penulisan yang menggunakan buku-buku terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ini adalah penelitian kepustakaan (library research) sebagai metode pengumpulan datanya. Adapun referensi primer yaitu tulisan dari Masdar dan juga kitab-kitab tafsir mulai dari masa klasik hingga modern, seperti: Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm karya Ibn Katsîr, al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyûtî, Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhailî, Safwat al-Tafâsîr karya al-Sâbûnî, dan selainnya yang membahas tema haji pada ayat di atas. Adapun pendapat-pendapat Masdar, banyak tertuang dalam buku Ijtihad Islam Liberal dan juga alamat website islamlib.com. Pada URL tersebut banyak juga termuat tulisan-tulisannya berbentuk artikel, makalah, ataupun dialog. Dan untuk mengetahui lebih lanjut pemikirannya—berhubung Masdar masih hidup—penulis juga berusaha langsung menemuinya ataupun sekedar mengikuti seminar-seminar yang ia datangi. Sedangkan referensi sekunder berupa buku-buku pendukung untuk melacak akar metodologi dari pemikiran tokoh, sekaligus sebagai pendukung penganalisisan penulis dalam mengambil konklusi. Penelitian kepustakaan ini akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis agar perangkat teoritik yang tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang ditemukan dalam referensi primer. Adapun metode penulisan skripsi ini merujuk pada
buku “Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2005/2006”
yang
diterbitkan
oleh
Biro
Administrasi
Akademik
dan
Kemahasiswaan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005.
F. Sistematika Penulisan Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa subbab. Untuk memudahkan pembahasannya digunakan sistematika sebagai berikut: Pada bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua, agar dapat mengetahui dengan jelas metode penafsiran Masdar, penulis membahas tentang biografi dari Masdar Farid Mas‟udi, mulai dari riwayat hidup, latar belakang sosial dan intelektual, corak dan karakter pemikiran, serta karya-karyanya. Pada bab ketiga, akan dijelaskan tentang bagaimana praktek ritual haji praIslam dan sesudah Islam datang. Selanjutnya, ditambah dengan pengertian, syarat, rukun, hal yang membatalkan, dan hikmah haji itu sendiri serta ditutup dengan pemaparan berbagai problematika ritualnya pada zaman sekarang. Dalam bab keempat akan dipaparkan sekilas tafsiran surat al-Baqarah ayat 197 dilanjutkan dengan penafsiran Masdar mulai dari latar belakang hingga manfa‟atnya dan diimbangi dengan beberapa kounter yang dihadapkan terhadap Masdar. Terakhir pada bab kelima, penulis memberikan kesimpulan dan saran kemudian menutupnya dengan daftar pustaka.
BAB II BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR MAS’UDI A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi 1. Pertumbuhan
Sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBNU 2010, tentu bisa dibilang Masdar adalah seorang yang cukup berpengaruh dalam sosial kemasyarakatan, serta mumpuni dalam berorganisasi. Kita tahu juga, ormas NU itu sendiri merupakan ormas Islam terbesar di dunia yang pastinya menempatkan Masdar pada perkenalannya dengan berbagai tokoh, baik nasional maupun internasional. Masdar sendiri sebenarnya sudah memiliki garis keturunan kyai yang bila saja
Masdar
ingin
sekedar
memanfaatkan
ketenaran,
tentu
ia
sudah
mendapatkannya tanpa harus bertemu dan meminta pada beberapa tokoh besar. Namun demikian, ia lebih mengutamakan kepakaran keilmuan daripada mengandalkan segi nasab tersebut, bahkan seperti kedekatannya dengan mbah Ali Maksum adalah merupakan permintaan mbah Ali sendiri yang menasihatinya untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk mengajar dan menjadi asisten pribadi mbah Ali terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga.1 Masdar lahir pada tahun 1954 di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto dari pasangan Hj. Hasanah dan Mas‘udi bin Abdurrahman. Ayahnya seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta‘lim dari kampung ke kampung. 1
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖, artikel diakses tanggal 10 Februari 2010 dari http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-masdar-farid-masudi/
15
16
Sampai dengan kakeknya, kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad, yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam di daerah Banyumas.2 Kegeniusan pemikiran Masdar sudah terlihat sejak kecil, terbukti ia menamatkan Sekolah Dasar hanya 5 tahun.3 Setelah itu, ia dikirim ayahnya ke pesantren salaf di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan mbah kyai Khudlori yang selang tiga tahun kemudian, ia pindah pesantren ke Krapyak, Yogyakarta. Selama tiga tahun di Tegalrejo tersebut, Masdar mampu menamatkan dan menghafalkan Alfiyyah Ibn ‘Âqil.
Di pesantren Krapyak, Masdar berguru kepada mbah kyai Ali Maksoem, Râis ‘Âm PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas III Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di kelas III Aliyah. Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN seperti telah disebutkan di atas, akan tetapi dinasihati untuk menjadi aspri dari mbah Ali. Masdar pernah menyatakan ―Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan‖.4 Sebagai aspri, tentulah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan pribadi mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf (klasik) maupun yang kholaf (modern). 2
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Hujjah Press, 2007) cet. 2,
3
PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖. PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
h. 145 4
17
Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami‘ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mengajar Alfiyyah untuk kalangan mahasiswa.
Adapun pengalaman organisasi Masdar di kampus yang dikenal sebagai salah satu pendobrak pemikiran itu antara lain aktif di organisasi PMII—sebuah organisasi terbesar dan tercatat berkali-kali presiden BEM adalah perwakilan dari partai tersebut di kampus UIN Sunan Kalijaga—bahkan ketika tahun 1972, ia dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai dengan 1978.
Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan karena ia sempat memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan
18
K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum—saat itu Gus Dur—dan Râis ‘Âm di bidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan. Masdar menamatkan pendidikannya di Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1979.5
Berbagai seminar ilmiah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Masdar pernah mengadakan kunjungan di pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.6
Sebagai kordinator program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal PESANTREN, yang pertama dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984–1990. Di lain pihak, didukung oleh Rabitah Ma‘ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui berbagai halqah.7 Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema ―Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual‖, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah dengan keikutsertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah
5
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145 PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖. 7 Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, ―KH. Masdar Farid Mas‘udi‖, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task= view&id=210 6
19
satu diantara outputnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.
Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth), dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina pesantren al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi.8 Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan diluluskan dengan prestasi akademik yang unggul sesuai dengan namanya, yakni rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik.
2. Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Melihat dari berbagai lingkungan yang pernah disinggahi Masdar, tampak pemikiran-pemikirannya yang menghormati berbagai kebudayaan dan juga perilaku-perilaku sosial kemasyarakatan. Pesantren Tegalrejo sendiri yang notabenenya sebagai tempat tujuan perantauan Masdar pertama kali dalam menuntut ilmu merupakan pesantren salaf yang memegang teguh nilai-nilai budaya tersebut. Pesantren di Tegalrejo ini setiap tahunnya juga mengadakan acara haflah yang untuk semakin menambah semaraknya acara tersebut, panitia mempersilahkan berbagai pagelaran budaya, seperti wayang ataupun selainnya. Haflah ini sebenarnya ditujukan sebagai bentuk pemberian syahadah bagi para
8
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
20
santrinya yang telah menyelesaikan studi atau hafalan kitab tertentu pada tiap jenjangnya. Namun dibalik ketradisionalannya, Tegalrejo tetap mampu mencetak kader-kader santrinya yang diarahkan agar dapat bersaing dalam perkembangan dunia yang semakin maju. Tercatat tokoh seperti Gus Dur, mantan ketua Tanfidz dan mantan orang nomor satu di Indonesia ini juga pernah nyantri di pesantren tersebut selama 2,5 tahun mulai dari 1957-1959 yang saat itu dipimpin oleh ulama karismatis K.H. Chudlori.9 Kyai Chudlori sendiri masih merupakan guru dari Masdar yang wafat pada 1977. Pondok Pesantren (PP) salaf dengan nama Asrama Perguruan Islam (API) didirikan oleh K.H. Chudlori bin H. Ichsan di desa Krajan, kecamatan Tegalrejo, kabupaten Magelang pada 1 Oktober 1944 M. Bagi masyarakat, nama desa Tegalrejo lebih populer disebut sebagai nama PP tersebut daripada nama resminya ―Asrama Perguruan Islam (API)‖. Pada 2001, penghuni PP Tegalrejo tercatat 3.002 santri,10 sedangkan pada tahun ini jumlah total santri sudah sekitar 4000 orang.11 Sebagai bukti lanjut dari partisipasi Pesantren Tegalrejo dalam menghormati budaya bangsa, kita bisa melihatnya saat peringatan 7 hari wafatnya Gus Dur. Di kompleks API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo mengadakan acara peringatan tersebut yang antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas agama dan golongan seniman, serta budayawan setempat. Sejumlah tokoh 9
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://vivanews.com/117423-santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm 10 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren (2006) j. II, h. 23 11 Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
21
Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng ―Liong Hok Bio‖ Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen. Kemudian dua rohaniwati Gereja Katolik Santo Ignasius kota Magelang, masing-masing Suster Lidwina dan Suster Verona. Pada kesempatan itu penyair kota Magelang, Es. Wibowo membacakan puisi Obituari Gus Dur, kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang mementaskan performa Massa Tanpa Ulang. Sebuah grup musik asal Wonosobo pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif ‗Kiai Langit‘, dan seniman Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan Slaman Slumun Slamet.12 Mayoritas penduduk Tegalrejo merupakan warga Nahdiyyîn dan simpatisan Partai Kebangkitan Bangsa—sebelum muncul PKNU—yang pekerjaan sebagian besar penduduknya sebagai petani, pegawai, pedagang, dan buruh. Di lingkungan pondok Tegalrejo terdapat juga beberapa buah PP, diantaranya PP Muttalibin diasuh Kyai Muthalib, saudara K.H. Abdurrahman; PP TarbiyyatunNisa‘ diasuh K.H. Madrik Chudlori; PP API Putri dengan pengsuhnya Kyai Damanhuri, menantu Kyai Chudlori Ichsan. Tidak jauh dari desa Krajan, di desa Kuripan terdapat sebuah PP dipimpin oleh K.H. Ichsan. Di lingkungan PP Tegalrejo sendiri ada dikenal istilah ahl al-bait, yaitu keluarga kyai.13 Ciri khas PP Tegalrejo dikenal dengan sistem salafnya yang mempelajari ilmu
fikih 12 13
beserta
ilmu-ilmu
alatnya
dan
menyelenggarakan
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖. DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
program
22
pendidikannya sejak dahulu dengan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fiqh, ‗aqîdah, akhlâq, tasawwuf, dan ilmu alat (nahwu dan saraf) yang semuanya dengan kitab berbahasa Arab.14 Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo setiap bulan Ramadhan mengirimkan santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan da‘i dan muballigh. Di lingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahts al-Masâ’il, yakni pembahasan masalah-masalah aktual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyyah al-Qurrâ’, yaitu membaca al-Qur‘an secara bersama-sama. Selain itu juga ―khutbah komplek‖, yaitu latihan berkhotbah/pidato. Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal sebagai acara Seninan. Dan juga ada istilah pertemuan Selapanan, yaitu pertemuan mutakharrijîn PP yang diselenggarakan setiap 35 hari. Untuk pengadaan makanan sehari-hari, para santri secara jam‘iyyah membayar iuran perbulan sebesar harga beras atau jagung sekitar 10 kg atau kesepakatan pengurus kamar. Pembayaran syahriyyah ini diberikan kepada seksi jam‘iyyah kamar, selanjuntya seksi jam‘iyyah membelanjakan serta memasak nasi. Adapun untuk sayur dan lauknya, para santri membeli sendiri di kantinkantin yang tersedia di dalam PP. Sedang untuk makan para ustad dan pegawai, disediakan kantin oleh PP dengan cara membelinya. Di siniliah terlihat kesederhanaan Masdar telah terlatih sejak usia senja.
14
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
23
Adapun lingkungan yang membentuk pribadi Masdar berikutnya, selain di PP API Tegalrejo ialah Pondok Pesantren al-Munawwir Bantul. Meski berada di kabupaten Bantul, PP al-Munawwir lebih dekat dengan kota Yogyakarta, yang tentunya keberadaan pesantren yang didirikan K.H. Munawwir pada 1911 M15 tersebut menambah khazanah pendidikan kota pelajar. Nama pesantren itu sendiri diberikan oleh para penerus K.H. Munawwir setelah beliau wafat demi terkandung maksud sebagai bentuk penghormatan terhadap pendiri pondok. Namun demikian, pesantren tersebut lebih dikenal dengan nama kampungnya yaitu Krapyak. Para penerus pondok juga merumuskan kembali tujuan didirikannya pondok pesantren:16 1) Menyebarkan agama Islam ala ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah 2) Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia 3) Mengajarkan agama Islam sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada 4) Membina warga Negara yang berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam segala segi kehidupan.
Pesantren al-Munawwir sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami tiga jaman. Mulai jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa Pemerintah Indonesia. Pesantren yang lahir di tengah kancah perjuangan, menjadi saksi hidup perjuangan bangsa, hingga seperti sekarang ini. Pasang surutnya sejarah bangsa telah membuat pesantren ini makin matang, dan menunjukkan
15 16
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102 DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
24
kelasnya sebagai pesantren yang sangat diperhitungkan dalam kancah lokal maupun nasional. Sejak berdiri, kepemimpinan PP al-Munawwir telah memasuki periode keempat. Periode pertama, (1911-1942), merupakan periode pendiri. Periode kedua (1942-1968) di bawah kepemimpinan K.H. A. Afandi. Periode ketiga (1968-1989). Periode keempat kepemimpinan K.H. Zainal Abidin Munawwir. Pada periode kedua dan ketiga merupakan periode kepemimpinan menantu pendiri.17 Masdar sendiri nyantri di pesantren tersebut pada periode ketiga dibawah kepemimpinan K.H. Ali Maksoem. Sistem kepemimpinan pesantren sejak berdiri hingga periode ketiga bertumpu pada figur sentral, seorang kiai, yang mana lebih banyak menerapkan ‗manajemen keluarga‘. Mereka yang terlibat mengasuh pondok terdiri anak dan keluarga pendiri, baik keturunan langsung atau karena pertalian perkawinan. Ketika
memasuki
periode
keemmpat,
kepemimpinan
pondok
menjadi
kepemimpinan kolektif yang diambil melalui musyawarah Dewan Pengasuh.18 Pesantren al-Munawwir ini dikenal bercirikan sebagai ponpes al-Qur‘an. Hal ini karena materi pokok yang diberikan kepada santri-santrinya adalah alQur‘an dengan segala ilmunya. Pendirinya yang dikenal sebagai ulama al-Qur‘an ternyata menjadi unggulan komperatif pesantren jika dibandingkan dengan pesantren lainnya. Jenis
pendidikan di
Pondok Pesantren
al-Munawwir merupakan
pendidikan keagamaan. Pada periode kepemimpinan yang pertama, pendidikan PP 17 18
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103 DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
25
al-Munawwir merupakan pendidikan spesialisasi bidang al-Qur‘an, baik dengan metode bi al-ghaib atau dengan metode bi al-nazar. Pada periode kedua, pengajian kitab-kitab kuning mulai dikembangkan. Pelopor pengajian kitab kuning ini adalah K.H. Ali Maksoem. Metode belajar yang digunakan dengan sistem wetonan, sorogan, dan bandongan.19 Adapun pengembangan pendidikan pesantren ini makin terasa ketika kepemimpinan Pesantren al-Munawwir dipegang K.H. Ali Maksoem. Pada periode ini, mulai dirintis sistem pendidikan klasikal, dengan mendirikan Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Takhasus, dan Madrasah Huffaz. Pada masa kepemimpinan K.H. Zainal Abidin Munawwir, dimana terdapat pemisahan pengelolaan lembaga pendidikan sekolah dan lembaga pendidikan luar sekolah, maka madrasah-madrasah tersebut, kecuali madrasah Huffaz dan Takhasus, diselenggarakan oleh Yayasan Ali Maksum (1990).20 Sedangkan madrasah yang dikelola Yayasan al-Munawwir antara lain: Madrasah Salafiyah, Ma‘had Aly, dan Madrasah Takhasus/Hufaz. Saat ini, santri yang belajar di madrasah dan Ma‘had Aly PP al-Munawwir berjumlah 1.045 orang. Jumlah santri tersebut diasuh 126 orang kiai dan ustadz.21 Latar belakang pendidikan mereka antara lain Pendidikan Guru Agama 66 orang, SLTA 25 orang, D1 seorang, D3 dua orang, dan 32 sarjana Strata 1.
19
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104 DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104 21 DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 105 20
26
B. Karakter Pemikiran 1. Karakteristik Fikih Ada beberapa kecenderungan yang menjadi ciri seorang mufassir meneliti suatu teks tertentu, biasanya karakter tersebut selain muncul dari lingkungan tumbuh kembangnya peneliti tersebut, juga dari kemampuan analisis mufassir terhadap suatu teks. Dari berbagai tulisannya, karya-karya Masdar banyak berkenaan dengan kajian-kajian fikih, baik itu upayanya yang mengkaji masalah ibadah maupun mu‘amalah kemasyarakatan. Hal yang maklum kiranya karena ia merupakan sarjana syari‘ah dan berlatarbelakang pendidikan pesantren yang mengedepankan kajian kitab kuning dan dalil-dalil teks. Tak dipungkiri, pada dasarnya seluruh tindakan manusia, ucapan ataupun perbuatan yang terdapat di dalam ibadah dan mu‘amalah, pidana atau perdata yang terjadi di dalam akad dan transaksi menurut syari‘ah Islam seluruhnya mengandung hukum. Hukum-hukum tersebut sebagian dijelaskan di dalam nasnas al-Qur‘an dan al-Sunnah. Sebagian yang lain belum terdapat penjelasan, namun syari‘ah Islam telah menentukan dalil dan isyarat-isyarat tersebut sesuai kemampuan mujtahid, akan mampu menentukan ketetapan dan penjelasan terhadap masalah tersebut. Di samping itu istinbât dalil-dalil syari‘ah Islam yang tidak terdapat nassnya, maka disusun di dalam ilmu Fikih.
Keterlibatan Masdar dalam kajian Fikih ini, tentunya menarik Masdar dalam hubungan sosial juga karena memang obyek pembahasan ilmu tersebut
27
adalah perbuatan mukallaf.22 Diantara keikutsertaannya dalam organisasi sosial kemasyarakan terbesar di Indonesia, yaitu NU, bahkan tercatat ia pernah menjabat sebagai ketua Tanfidz.
Dalam salah satu statemennya, Masdar pernah memberi nasihat terhadap organisai tersebut sesaat sebelum Muktamar NU 2010 yang mana pernyataannya merupakan bentuk kepeduliannya terhadap umat bahwa, ―Muktamar 2010 sebaiknya menetapkan bagaimana NU kembali merawat umat.‖ jelas K.H. Masdar Farid.23
Alasan tersebut tentu menjadi penting lantaran saat itu eksistensi umat NU yang ahli tahlil, qunut, salawatan dan sebagainya, mendapat ancaman dan serbuan dari kaum Islam radikal, misalnya karena masjid-masjid NU yang akhir-akhir ini sudah mulai banyak yang meninggalkan qunut. Selain itu, memberdayakan ekonomi warga nahdliyin juga merupakan bagian dari khittah.
Berbeda dengan situasi tahun 1984, yang menurut Masdar, NU saat itu dalam kondisi kritis, karena NU berada pada posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah. Sehingga, lanjut Masdar, pengurus NU di semua tingkatan harus siap dengan segala bentuk intimidasi, jadi khittah waktu itu diartikan warga NU boleh memilih Golkar.24
22
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 23 23 Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahlil‖, diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‘udi-ketua-pbnu-selamatkan-ahli-tahlil.html 24 Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahli‖.
28
Adapun defisini ilmu Fikih sendiri menurut syara‘ ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syari‘ah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara detail atau kodifikasi hukum-hukum syari‘ah Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara detail.25 Para ulama‘ ahl al-sunnah wa al-jama’ah menetapkan bahwa dalil-dalil acuan perbuatan manusia dikembalikan pada empat sumber yang mana yang dijadikan dalil pokoknya dan sumber dari hukum syari‘ah pertama adalah al-Qur‘an kemudian al-Sunnah, sekaligus sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur‘an, dan sebagai penjelas serta pelengkap al-Qur‘an.
Adapun penelitian Masdar berkaitan dengan dalil teks—yang mana penelitian tersebut merupakan obyek pembahasan ilmu Usûl—misalnya gaya interpretasinya mengenai zakat ataupun waktu wuqûf di Arafah yang hendak penulis teliti pada skripsi ini.
2. Karakteristik Kemodernan Corak pemikiran Masdar lainnya adalah kemodernan. Pemikiran Masdar pada wilayah ini dilatarbelakangi oleh keinginannya memperlihatkan bahwa kajian-kajian keislaman bukan hanya tidak bertentangan dengan isu-isu modernitas, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang mendukung modernisasi itu sendiri. Masdar ingin memperlihatkan bahwa ajaran Islam, pada dirinya sendiri, secara inheren dan aslinya adalah agama yang ‗selalu modern‘. Paling tidak upaya Masdar itu dimaksudkan memberi landasan teologis, terutama bagi golongan 25
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 22
29
intelektual agar mampu memberikan respon positif terhadap proses modernisasi, tetapi tetap bertolak dan tetap mengacu kepada iman Islam.26 Percikan pemikiran Masdar tentang proses modernisasi, tidak lepas dari upayanya mengadopsi nilainilai yang inheren dengan zaman modern, seperti: rasionalisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dengan ajaran Islam. Sebagaimana Cak Nur, Modernisasi Masdar sendiri ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi, kemudian yang paling penting bahwa, baik westernisasi maupun westernisme sebagai paham yang membentuk total way of life nya bangsa Barat, Rasionalisme sebagai paham
yang mengakui kemutlakan rasio,
sebagaimana yang dianut orang komunis, atau liberalisme sebagai ajaran sesat yang memandang ajaran sesat kemerdekaan mutlak atau tak terbatas, bertentangan dengan ajaran Islam.27 Di sinilah pentingnya berfikir rasional, sehingga akan terjadi apa yang disebut dengan proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak aqliyyah, dan upaya menerapkan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan, sebagai hasil rasio atau pemahaman manusia terhadap hukumhukum obyektif yang menguasai alam, ideal, material, sehingga alam bertindak menurut kepastian tertentu yang harmonis, apalagi semangat tersebut sejalan dengan ajaran agama Islam.28
26
M. Dawam Rahardjo, ―Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid‖, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987) h. 27 27 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987) h. 171-203 28 Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan …, h. 172-173
30
Oleh karena itu, modernisasi tidak lain perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar, dan sebagai konsekuensinya modernisasi adalah suatu keharusan bagi seorang Muslim. Masdar Farid Mas‘udi sendiri sudah lama terkenal sebagai sosok lokomotif pembaharu dalam tubuh NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan kadang kala mengagetkan. Dua bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, dan Reproduksi Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya dalam lapangan pembaharuan pemikiran. Pemikiran Masdar ini pun banyak yang menular ke bawah.
Ulil Abshar, tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar Rumah Tuhan menceritakan, ketika Lakpesdam NU mengadakan program pelatihan bagi para kiai muda NU dari seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka yang sudah mempunyai pemikiran progresif, semisal K.H. Husein Muhammad dari Arjawinangun, Cirebon, dan K.H. Moh. Ishom Hadizq (alm) dari Tebuireng Jombang. Mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur Rahman.
Bedanya,
pembaharuan
mereka
dilakukan
secara
diam-diam,
menghindari ‗tabrakan‘ para kiai sepuh. Dalam istilah Ulil menirukan Aswab Mahasin, disebut sebagai ‗pembaharuan tanpa dentuman besar‘ atau silent modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap gempita.29 Ini juga sejalan dengan filosofi pesantren, al muhâfadatu ‘ala al-qadîmi al-sâlih wa al-akhdzu bi
29
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Rosda Karya, 1999) h. 181
31
al-jadîd al-aslah, mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Kesederhanaan Masdar tak lepas dari pengaruh kehidupannya di lingkungan PP Tegalrejo. Ketokohannya yang mendunia karena memang sudah terbiasa bertemu atau setidaknya melihat tokoh-tokoh yang berkunjung ke pesantren tersebut, baik itu yang lokal maupun nasional, seperti yang terbaru adalah kedatangan Jussuf Kalla dan Wiranto yang meminta dukungan dan doa restu sebagai capres dan cawapres pada pemilihan umum kemarin.30 Adapun dengan pemikiran-pemikiran Masdar yang aktual dan mendobrak demi kemaslahatan masyarakat bagaikan pendahulu dan para kyainya seperti K.H. Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), yang tercatat pernah mendirikan Pusat Latihan (Puslat) Sepak Bola Tegalrejo untuk mengembangkan olah raga yang telah digemari masyarakat. Puslat sepak bola dengan pelatih mantan pemain sepak bola nasional, Siswanto itu diresmikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Susilo di Magelang. Alasan Gus Yusuf memilih mendirikan puslat sepak bola karena cabang olah raga tersebut bisa memberikan ruang positif bagi generasi muda yang saat ini banyak mendapat tantangan berupa kenakalan remaja.31 Namun demikian, menurut Jamal Ma‘mur Asmani bentuk pembaharuan para kyai ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya Masdar dan Ulil sendiri.
30
Ringkasan Berita Terakhir ―Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi SBY‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://www.hanura.com 31 Ringkasan Berita Terakhir ―Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_bola.htm
32
Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi hard and clear modernism, modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan keduanya sangat jelas dengan memakai media cetak dan elektronik, atau dengan statemen kontroversial di forum-forum ilmiah sehingga menyebabkan iklim intelektualitas utamanya kalangan Nahdliyin tradisionalis menjadi keras dan panas dibuatnya.32
Contoh terkininya adalah gagasan terbaru Masdar—yang katanya sudah mulai disosialisasikan mulai tahun 80-an di Majalah Tempo—yang dimuat Jawa Pos.33 Banyak para kiai, santri dan umat Islam yang pasca pemuatan gagasan itu menjadi berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif dengan mengedepankan kajian argumentatif.
C. Karya-karyanya Sedikit jumlahnya dan yang cukup kritis membahasnya. Sebagai salah satu tokoh yang dianggap senior dalam jajaran Jaringan Islam Liberal, nama Masdar memang tak sementereng rekan senior lainnya yang duduk di kursi pemerintahan atau yang banyak menghasilkan buku. Tercatat hanya ada empat buah buku yang penulis ketahui tentang karya-karyanya. Namun demikian, meskipun bisa dibilang tak banyak, buku-buku tersebut cukup mendobrak kancah iklim tata negara bahkan ada juga yang merambah hingga tataran internasional.
32
Jamal Ma‘mur Asmani, ―Telaaah Kritis Pemikiran Masdar‖, artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/ 33 Masdar Farid Mas‘udi, ―Meninjau Ulang Waktu Haji‖, Jawa Pos, 18 Januari 2009
33
Bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam yang diterbitkan Januari 1991 merupakan buku paling orisinil dan provokatif di antara buku-buku yang ditulis orang NU dalam waktu yang lama. Buku lainnya adalah Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, buku ini sendiri sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and Women’s Reproductive Rights dan terbit pada Januari, 2002. Tiga tahun kemudian, pada tahun 2005, ia menulis Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat, sebuah buku yang berisikan gagasannya berkaitan formalisasi zakat demi mempererat korelasi antara Indonesia dan Islam. Yang terakhir, Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih Antikorupsi, sebuah karya yang muncul dari keprihatinan mendalam terhadap lingkungan pemerintahan. Penggagas kajian kitab fikih kontekstual dan pemred jurnal ―Pesantren‖ ini juga aktif menulis di berbagai media massa nasional dan sering menjadi narasumber seminar baik lokal, regional, maupun internasional.34 Dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia ia menjadi kontributor dalam bentuk wawancara yang diberi judul: Keadilan Dulu Baru Potong Tangan. Selain itu, artikel-artikel lain yang cukup representatif telah banyak ia sumbangkan, antara lain: Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan, dan Selamatkan Ahli Tahlil. Dalam buku Ijtihad Islam Liberal ia juga menyumbang pendapat dalam tulisan berjudul Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang. Artikel terakhir
34
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
34
inilah—yang juga pernah dimuat di Harian Republika pada tanggal 6 dan 13 Oktober 2000) dengan judul Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji dan juga dimuat di Media Indonesia, Islamlib.com, dan Koran Jawa Pos—yang hendak penulis telaah dimana pendapat tersebut tentu saja menuai protes dan kecaman berbagai kalangan karena orang menganggapnya janggal dan aneh.
BAB III PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA
A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam Pemandangan gersang, bukit-bukit gundul bahkan tandus, dan lautan padang pasir di jazirah yang dikenal sebagai Hijaz ini masih dapat disaksikan oleh jamaah haji dalam perjalanan antara Jedah dan Mekah. Populasi di wilayah Hijas terdiri dari kaum pengembara dan kaum pemukim, yang antara keduanya terjadi interaksi yang cukup tinggi. Suku Badui pengembara menjelajahi daerah gurun pasir yang luas maupun daerah semi-gurun pasir, dan membentuk jaringan kumpulan antara suku dan keluarga yang menandai bangsa Arab sebelum munculnya Islam. Sedangkan kaum pemukim mendiami kota Mekah, Madinah, dan Ta‟if, kota-kota yang berkembang selain gurun pasir Badui. Kota-kota ini pada kenyataannya adalah tempat kedua jenis masyarakat ini bercampur dengan bebasnya, guna mengadakan perdagangan, berhaji, melakukan perkawinan, dan juga kegiatan kebudayaan, khususnya pada pecan raya terkenal, yang menarik para penyair dari seluruh Arab.1 Dalam kitab al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, Mahmud Syaltut menyatakan bahwa haji adalah bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum masa Islam. Ia berarti penziarahan ke tempat-tempat tertentu sebagai suatu penyembahan dan penyucian pada Tuhan yang disembahnya. Begitulah praktekpraktek dari berbagai bangsa purba seperti orang-orang Mesir kuno, Yunani kuno,
1
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1, h. 3-4
35
36
Jepang kuno, dan sebagainya. Keadaan ini berlangsung terus sampai Allah swt mengutus Nabi Ibrahim As dan memerintahkannya membangun Ka‟bah di Mekkah untuk tujuan penyatuan sistem haji manusia, dimana padanya dilakukan tawâf dan menyebut asma Allah.2 Allah Swt berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa) “Ya Tuhanku, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukanlah kepada kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah/2: 127-128) Dari ayat di atas, jelas sekali bahwa Ka‟bah yang telah ditetapkan menjadi kiblat manusia dibangun oleh Nabi Ibrahim As beserta putranya Nabi Ismail As. Ketika Ibrahim As memasuki lembah Mekah dengan istrinya, Siti Hajar, bersama anak mereka, yaitu Ismail As, Mekah masih merupakan tempat yang kosong dan tandus. Sejarah Mekah sebelum kedatangan Ibrahim As dan keluarganya memang tidak diketahui dengan jelas. Para sejarawan hanya dapat menegaskan dengan pasti bahwa Mekah, merupakan tempat persinggahan penting dalam jalur
2
Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1999) cet. 1, h. 33
37
perdagangan kuno, antara pelabuhan Arab Felix (Samudera Hindia) danpelabuhan Siria (Laut Tengah) yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.3 Namun ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangun Ka‟bah adalah para malaikat, 2000 tahun sebelum Adam diciptakan, sebagai tempat tawâf-nya para malaikat di bumi. Pembangunan yang kedua dilakukan oleh Nabi Adam As setelah beliau disuruh keluar dari surga dan menetap di bumi. Dengan bantuan para malaikat, Ka‟bah dapat dibangun, lalu Allah memerintahkan untuk tawâf. Setelah nabi Adam wafat, Ka‟bah dibangun lagi oleh salah seorang putranya yang bernama Syîst dengan menggunakan tanah dan batu. Ka‟bah yang dibangun oleh Syîst itu berjalan terus sampai zaman nabi Nuh, dimana bangunan itu runtuh akibat taufan nabi Nuh. Setelah itu beritanya tidak terkisahkan lagi hingga muncul kisah Ibrahim dengan putranya Ismail membangun kembali Ka‟bah itu.4 Haji ke Baitullah merupakan salah satu ritus keagamaan bagi pemeluk agama-agama samâwi. Ia telah dilaksanakan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad. Menurut beberapa sumber, nabi Adam telah melaksanakan ibadah haji dengan cara tawâf (mengelilingi Ka‟bah) setelah membangun Ka‟bah di Mekkah. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Saleh, dan Syu‟aib dikabarkan juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah.5 Haji merupakan ibadah pokok bagi para nabi. Tata cara pelaksanaan haji antara satu nabi dengan nabi lainnya terdapat perbedaan. Hal itu disebabkan oleh
3
Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah …, h. 25 Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 35 5 M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2007) cet. 1, h. 4
21
38
keberagaman kondisi umat manusia dan lingkungan yang ada disekitar nabi yang satu dengan yang lainnya. Kondisi dan lingkungan secara alamiah (sesuai dengan sunnatullah), berkembang secara evolusi ke arah kesempurnaan. Agama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia tentu dapat mengantisipasi perkembangan zaman melalui penyesuaian syariat suatu agama yang dibawa oleh seorang nabi. Dengan demikian, syariat agama seorang nabi dapat berbeda dengan nabi lainnya. Sementara aqidah tidak mengalami perubahan. Menurut Islam, aqidah pada semua agama samâwi adalah sama, yaitu tauhid, percaya kepada Tuhan yang Esa.6 Pada masa nabi Adam, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat sederhana, berbeda dengan haji yang dilaksanakan oleh nabi Ibrahim yang mempunyai manâsik (tatacara dan pelaksanaan ibadah haji) yang terurai, terutama terkait dengan tempat dan kegiatan, karena diantara manâsik tersebut berkaitan dengan sejarah hidup nabi Ibrahim dan keluarganya.7 Sejak zaman nabi Ibrahim As seluruh bangsa Arab telah menjadikan Ka‟bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji yang mereka lakukan sesuai dengan tuntunan nabi Ibrahim dan perintah Allah Swt. Hanya saja, karena perjalanan masa yang cukup lama, dari masa nabi Ibrahim As ke masa nabi Muhammad, manusia telah mengubah sistem ibadah haji nabi Ibrahim As yang berdasar tauhid. Mereka tidak lagi menyembah Allah, mereka mengubah dan mencampuradukkan haji dengan syirik. Mereka membuat patung-patung
6
Putuhena, Historiografi Haji Indonesia …, h. 22 Salah satu contohnya adalah Sa‟i yang menjadi potret perjuangan Siti Hajar ketika mencari air untuk putranya, nabi Ismail. 7
39
sembahan yang kemudian mereka letakkan di Ka‟bah, lalu mereka sembah, mohon syafâat dan pertolongannya.8 Pada masa itu, musim-musim haji malah dijadikan musim perdagangan, Makkah dan Madinah dijadikan pusat penyembahan berhala sekaligus pusat perdagangan. Para penduduk setempat menjadikan Ka‟bah yang menjadi tempat para peziarah berkunjung, dihiasi dengan seindah-indahnya kemudian diletakkan berbagai jamuan hidangan yang lezat di daerah sekitar Ka‟bah untuk menghibur dan menyenangkan para peziarah yang ingin melakukan transaksi perdagangan. Hilanglah kesan spiritual, dan yang tertinggal adalah sebuah pengalihan nilai spiritual ke material semata, dari ibadah ke perdagangan. Dari sinilah nabi sebagai utusan Tuhan merasa terpanggil untuk menyadarkan kembali masyarakat sekitar untuk kembali kepada Tuhan yang tunggal dan mutlak, yaitu sebuah seruan monoteisme.9 Dengan demikian, diutusnya nabi Muhammad Saw mengandung arti yang sangat penting dalam sejarah. Beliau bertugas memperbaiki dan meluruskan kembali akidah dan ibadah manusia yang telah menyimpang jauh, termasuk menyempurnakan sistem ibadah haji warisan nabi Ibrahim.10 Rasulullah diberikan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan haji seperti yang dilaksanakan nabi Ibrahim. Mulai dari saat itu, ibadah haji kembali murni, bersih dari syirik-syirik jahiliyyah. Pelaksanaan kurban yang tadinya dipersembahkan kepada pembesar-
8
Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 37 Christian Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989), h. 7-10 10 Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …,h. 37 9
40
pembesar berhala tersebut, dibersihkan oleh Islam untuk semata-mata secara ikhlas dipersembahkan kepada Allah.11 Oleh karena itu, nabi Muhammad sebagai mujaddid (reformer) mengambil oper ibadah haji itu, disempurnakan dan dimurnikannya, lalu Allah meresmikan ibadah haji sebagai syariat nabi Muhammad Saw sekaligus mewajibkannya. Namun terdapat berbagai versi tentang awal perintah haji dan pensyariatannya. Dalam hadis disebutkan bahwa haji diperintahkan pada tahun ke-7 H, dan ini yang mengakibatkan problematika perbedaan teks hadis Rukun Islam.12 Sedangkan menurut Jumhûr, ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 H, yakni ketika turun firman Allah swt yang memerintahkan nabi Muhammad saw dan umatnya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.
... “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah …” (QS. AlBaqarah/2: 196) Akan tetapi Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî berpendapat dalam tafsirnya bahwa haji diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah.13 Sedangkan menurut Ibn Qayyim, haji diwajibkan pada tahun ke-9 atau ke-10 H karena kaum muslimin pertama kali melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 H
11
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: IKAPI, 1992), h.278 12 Imam al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarhi Imâm an-Nawâwi (Libanon: Dar al-Fikr), j. I, h. 223 13 Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî (Kairo: Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III, h. 139
41
yang dipimpin oleh Abû Bakar al-Siddîq,14 setelah turunnya firman Allah swt yang terdapat dalam surat Âlu „Imrân/3: 97,
)( “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran/3: 97).
B. Pengertian dan Tata Cara Haji Secara etimologi, asal makna haji adalah menyengaja sesuatu.15 Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, haji merupakan ibadah yang berupa perjalanan jauh, khususnya bagi selain bangsa Arab. Ibn Manzûr menyebut hajji yang berasal dari kata hajja atau al-Hajj yang berarti secara luhgat (bahasa) adalah “bermaksud”.16 Menurut Mahmud Yunus kata hajja atau hijjatan secara etimologi mempunyai arti “ziarah”,17 dalam Kamus Kontemporer berarti menuju atau berziarah ke Tanah Suci.18 Dan Hasbi al-Siddieqy menjelaskan haji menurut bahasa ialah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan.19 Adapun secara terminology haji ialah sengaja mengunjungi Ka‟bah (Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang
14
Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 23 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30, h. 247 16 Ibnu Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab (Libanon: Dar Sodir, 1990) j. II 17 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990) h. 97 18 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) h. 378 19 Al-Siddieqy, Pedoman Haji …, h.16 15
42
tertentu.20 Sedangkan dalam pengertian terminologi ulama mazhab empat, haji diartikan berbeda-beda: 1. Imam Hanafî mendefinisikan haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka‟bah) untuk mengerjakan ibadah dengan cara, tempat, dan dalam waktu tertentu. Maksud tertentu ialah tawâf, sa’i, dan wuqûf. Tempat tertentu ialah Ka‟bah dan Arafah. Waktu tertentu ialah tanggal 10 Dzû al-Hijjah, dan orang berhaji harus berniat ketika ihrâm.21 2. Menurut Imam Mâlik haji menurut syara‟ ialah wuqûf di padang Arafah pada malam ke sepuluh dari bulan Dzû al-Hijjah, tawâf di Ka‟bah 7 kali, sa’i 7 kali, yang semuanya harus dikerjakan menurut cara-cara tertentu.22 3. Imam Syâfi‟î mengartikan haji secara terminologi adalah sengaja mengunjungi Ka‟bah untuk melaksanakan manâsik haji.23 4. Dan haji menurut Imam Hanbalî adalah sengaja mengunjungi Mekkah untuk satu perbuatan tertentu seperti tawâf, dan sa’i, termasuk wuqûf di Arafah.24 Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa haji secara terminologi fiqh didefinisikan sebagai perjalanan mengunjungi Ka‟bah untuk melakukan ibadah tertentu, atau bepergian ke Ka‟bah pada bulan-bulan tertentu
20
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 247 „Abd al-Rahmân al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri (Semarang: as-Syifa, 1994) h. 537 22 al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 538 23 al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539 24 al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539 21
43
untuk melakukan ibadah tawâf, sa’i, wuqûf, dan manâsik-manâsik lain untuk memenuhi panggilan Allah Swt, serta mengharap keridaan-Nya.25
Syarat Haji Adapun syarat haji, yaitu: 1. Islam, tidak wajib, tidak sah haji orang kafir. 2. Berakal, tidak wajib atas orang gila dan orang bodoh. 3. Bâligh, sampai umur 15 tahun, atau bâligh dengan tanda-tanda lain. Tidak wajib haji atas kanak-kanak. 4. Kuasa Adapun pengertian mampu itu ada dua macam: 1. Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat sebagai berikut; a) Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah dan kembalinya, b) Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Syarat ini bagi orang yang jauh tempatnya dari Mekah adalah dua marhalah (80.640 km). Orang yang jarak tempatnya dari Mekah kurang dari itu, sedangkan ia kuat berjalan kaki, maka ia wajib mengerjakan haji. Adanya kendaraan tidak menjadi syarat baginya. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih dari utang dan bekal orang-orang yang dalam tanggungannya sewaktu pergi dan sampai ia kembali.
25
h. 209
A. Rahman Sitonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
44
c) Aman perjalanannya, d) Bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan mahramnya, suaminya, atau bersama dengan perempuan yang dipercayai. 2. Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan, tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain.
Rukun Haji 1) Ihrâm, berniat mulai mengerjakan haji atau umroh 2) Wuqûf, hadir di padang Arafah 3) Tawâf, berkeliling Ka‟bah
Denda Dalam haji, istilah denda ini disebut dam. 1) Adapun dam tamattu’ dan qiran. Artinya, orang yang mengerjakan haji dan umroh dengan cara tamattu’ atau qiran, ia wajib membayar denda; dendanya wajib diatur sebagai berikut: a) Menyembelih seekor kambing yang sah untuk korban. b) Kalau tidak sanggup, wajib puasa sepuluh hari; tiga hari wajib dikerjakan sewaktu ihram apaling lambat sampai hari raya haji, tujuh hari lagi wajib dikerjakan sesudah ia kembali ke negerinya.
45
2) Dam karena mengerjakan salah satu dari beberapa larangan berikut: a) Dam karena bersetubuh yang membatalkan haji dan umrah apabila terjadi sebelum tahallul pertama. Denda itu mulamula wajib menyembelih unta, jika tidak maka sapi, atau tujuh ekor kambing, atau dihitung dari harga unta untuk membeli makanan. Kalau tidak, hendaklah berpuasa. b) Dam membunuh buruan (binatang liar). Binatang liar ada yang mempunyai bandingan dengan binatang yang jinak. c) Dam karena terkepung (terhambat). Dendanya hendaklah ia bertahallul dengan menyembelih seekor kambing di tempat tersebut.
Melontar jumrah dan tawâf (mengitari Kabah tujuh kali) serta sa’i (berjalan dan lari -lari kecil antara bukit Safâ dan Marwah) wajib hukumnya dalam ibadah haji, jika tidak dikerjakan, harus membayar dam atau denda berupa ternak kurban. Adapun ibadah yang hampir sama dengan haji ialah umroh terambil dari kata i’timâr yang secara etimologi berarti ziarah, demikian kata Sayyid Sâbiq. Adapun yang dimaksud dengan umroh di sini ialah mengunjungi Ka‟bah untuk melakukan tawâf di sekelilingnya, sa’i antara Safâ dan Marwah dan kemudian mencukur rambut.26 Bedanya di sini, selain dalam umroh tidak ada ritual wuqûf di
26
M) h. 102
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
46
padang Arafah juga umroh boleh dilakukan dalam bulan apapun sepanjang tahun. Berbeda dengan haji yang waktunya hanya tiga bulan dan ada ibadah wuqûf sebagai rukunnya.
Hikmah Haji Disebutkan dalam buku Fiqh Islam bahwa guna menguatkan rasa persatuan dan menanamkan semangat suka bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama, Islam telah membuat beberapa aturan.27 Di antaranya adalah dengan menyuruh solat berjama‟ah setiap waktu, menyuruh solat Jum‟at seminggu sekali, dan sesudah itu disuruh pula solat hari raya dua kali setahun. Semua itu untuk menguatkan persatuan antara beberapa golongan yang berdekatan. Termasuk di antaranya juga adalah ibadah haji. Ibadah ini bisa dikatakan sebagai sebuah forum permusyawaratan sedunia Islam, karena ibadah ini dihadiri oleh segala utusan, baik dari barat, timur, selatan, dan utara, dengan tidak memandang bangsa dan warna kulit. Para jama‟ahnya berpakaian sama, berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, yaitu di padang Arafah dan Mina. Dalam pertemuan yang amat besar itu, dapatlah mereka berkenalan satu sama lain, dan bertambah teguhlah persatuan dan perasaan saling memiliki antara mereka. Sedangkan K.H. Drs. Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Haji setelah menafsirkan QS. Al-Hajj/22: 28, ia merincikan beberapa manfaat haji, di antaranya ialah:28 27
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 277 Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab (Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 22 28
47
Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat Allah dengan khusyû’ pada hari-hari yang telah ditentukan dengan memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja.
Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan sesame kaum muslimmin.
Mencoba mengalami dan membayangkan kehidupan di akhirat nanti, yang pada waktu itu tidak seorang pun dapat memberikan pertolongan kecuali Allah SWT.
Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan.
Menghayati kehidupan dan perjuangan nabi Ibrahim beserta putranya Isma‟il dan Muhammad saw beserta para sahabatnya.
Sebagai Muktamar Islam seluruh dunia.
Adapun hikmah peribadatan haji bila merujuk pada ayat 197 surat alBaqarah, maka penulis di sini menambahkannya lebih lanjut yaitu, segala bentuk dan kebolehan dalam ibadah haji—termasuk dalam hal perniagaan—akan mendorong para jama‟ahnya agar setelah selesai berhaji nantinya terwujud insaninsan mutawakkilûn seperti Ibrahim as, dan mampu mengingat bahwa dalam setiap gerak langkahnya dalam kehidupan duniawi, mereka mampu mengingat tuhannya, baik saat jual beli, makan, mandi, berwudu, tidur, saat susah, senang, dan sebagainya semua adalah dari Allah. Ia yang menunjukkan dan Ia pulalah yang menggerakkan sendi-sendi tingkah manusia.
48
C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang 1. Jumlah Jama’ah Sebagai salah satu rukun Islam yang terakhir, tentu ibadah haji merupakan suatu ibadah yang menarik hati jutaan muslim agar melaksanakannya dengan tulus ikhlas. Belum lagi begitu kuatnya image positif haji tersebut, yang seringkali membuat golongan kaya dan terkenal dengan mudahnya mendaftarkan diri agar bisa pergi ke baitullah berkali-kali semakin menambah membludaknya jumlah jama‟ah yang berada di Mekah, tak terkecuali juga muslimin dari Indonesia, yang notabene merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dunia. Memang setiap muslim hanya berkewajiban satu kali saja menunaikan ibadah haji selama hidup. Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit yang melakukannya lebih dari sekali. Sesuai kesepakatan Organisasi Konferensi Islam (OKI), setiap negara hanya memperoleh kuota sebesar satu per mil atau seperseribu dari total populasi penduduknya.29 Setiap tahun, Mekah dibanjiri dua hingga tiga juta calon jama‟ah haji. Kota suci umat Islam ini pun dituntut untuk terus berkembang demi mengakomodir ibadah rukun itu. Tak heran, pada tahun 2009, pemerintah Saudi pun merencakan sebuah ekspansi dan proyek renovasi dan terbilang cukup ambisius, dengan anggaran yang setara produk domestik bruto (PDB) sebuah negara kecil, yakni US$125 miliar.30
29
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39 30 Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari
49
Begitu membludaknya orang di Mekah pada musim haji, tentu memunculkan berbagai permasalahan, dikabarkan setiap adzan Subuh menjelang, para jamaah haji selalu antre ke toilet. Mulai dari sekedar wudlu hingga membersihkan diri. Namun untuk sekitar 2.000 jamaah hanya tersedia 10 toilet. Alhasil jamaah musti antre lama. Bisa dibayangkan berapa waktu yang terbuang untuk antrian selama itu. Sebagian jamaah pun jadi tak sabar. Ada yang menyikat gigi di luar toilet, sampai ada yang buang air pun di luar toilet. Belum lagi fasilitas yang tidak memadai, air toilet menetes terus menerus menjadikan lantai basah, licin, dan tidak bersih.31 Kondisi ini juga semakin menambah tumpukan sampah berbau persis di depan pemondokan haji. Untuk urusan transportasi, banyaknya jumlah jamaah haji juga seringkali menyebabkan kemacetan. Untuk menempuh jarak 6 kilometer saja dari Mina ke Masjid al-Haram di Mekah, diperlukan waktu dua sampai tiga jam untuk menembus kemacetan lalu lintas di jalan akses yang harus dilewati. Namun, mulai musim 1431 H (2010) ini, angkutan monorel yang menghubungkan kota suci Mekah dan lokasi peribadatan di Mina, Muzdalifah direncanakan sudah akan beroperasi. Studi kelayakan juga sedang dilakukan untuk memperluas jaringan monorel ke stasiun dekat Masjid al-Haram, Mekah yang menghubungkan kedua kota suci, Mekah dan Madinah, berjarak sekitar 420 kilometer. Proyek bernilai miliaran Riyal—tahap pertama SR 6,7 miliar atau sekitar Rp. 167,5 triliun—yang
http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a5.pdf 31 Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://liputan6.com
50
merupakan kerja sama antara Arab Saudi dan China ini dirancang untuk mengangkut lima juta penumpang.32 Berkaitan dengan megaproyek yang ditargetkan tuntas selama 10 tahun di atas, nantinya bermula dari ekspansi Masjid al-Haram yang akan diperluas hingga 400 ribu meter persegi. Tahap pertama adalah perluasan al-Massa yang sebenarnya sudah dua kali lipat ukuran aslinya. Tempat ini akan ditambahkan lantai lagi untuk mempermudah calon jama‟ah haji ketika melakukan ibadah sa’i antara Safâ dan Marwah. Kapasitasnya saat ini 100 ribu jama‟ah per jam dan pemerintah Saudi bermaksud menggandakannya. Megaproyek ini dilanjutkan ke area sipil, layanan publik, serta infrastruktur. Antara lain beberapa perbaikan di gua Mina, padang Arafah, dan Muzdalifah.33 Dalam beberapa tahun ke depan diyakini jumlah muslim akan berlipat ganda. Demikian pula dengan arus informasi dan teknologi yang terus meluas selama satu dekade terakhir. Megaproyek ini pun sangat penting untuk mengakomodasi umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh.34 Namun demikian, pelaksanaan proyek raksasa ini tentu tak mudah direncanakan mengingat semuanya harus berjalan paralel, dalam artian, hal ini akan memakan dana yang besar dan butuh kerjasama berbagai pihak. Belum lagi ditambah topografi Mekah yang berada di atas lembah dan pegunungan tinggi
32
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-lebih-nyaman 33 Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”. 34 Vina Ramitha, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal 05 Mei 2010 dari http://inilah .com
51
serta adanya kritikan masyarakat yang tentunya tak menginginkan pembangunan tersebut merusak sejarah kota dan membuat segalanya terlihat modern. Dalam hal ini, Walikota Mekah, Osama al-Bar menegaskan: “Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima ini takkan bisa dilakukan dengan jumlah muslim yang semakin banyak dan mereka harus berdesakkan di jalanan kecil. Bagian terpenting seperti masjid dan gua-gua suci takkan kami ubah. Tempat-tempat ini historis, akan kami pertahankan hingga akhir jaman. Perubahan ini hanya permukaan saja. Seperti moda transportasi, kenyamanan masyarakat yang akan meningkat, serta lingkungan yang sangat mendukung bagi pelaksanaan ibadah ini.”35 Dari pernyataan ini, semoga esensi ibadah haji dimana umat Islam melakukan napak tilas perjuangan nabi Ibrahim as. takkan berubah. Ka‟bah atau rumah Allah akan tetap menjadi pusat ibadah di negara yang mampu mengeruk keuntungan hingga miliaran dolar tiap tahunnya karena haji dan umroh itu. Dari gambaran permasalahan jumlah jama‟ah yang membludak di atas, banyak pula jama‟ah yang terkena berbagai penyakit saat melakukan ibadah haji, bahkan tak sedikit di antara mereka yang harus kehilangan nyawa. Kepadatan dan masyaqqât yang dirasakan oleh pemerintah Saudi ini serupa juga dengan yang dirasakan Masdar yang melatar belakanginya untuk meninjau waktu haji dalam alQur‟an.
2. Registrasi di Negeri Masing-masing Bukan hanya merepotkan jama‟ah, pada saat musim haji, registrasi maupun transportasi juga merepotkan regulator dan kontroler di negeri masingmasing. Mirisnya, pada beberapa negara, terkadang pihak pemerintahnya ada
35
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
52
yang mengambil peran ganda tersebut sekaligus mengambil keuntungan finansial dari berkahnya haji, seperti di Indonesia. Mengenai jumlah jama‟ah haji di Indonesia sendiri, berdasarkan keputusan OKI, kuotanya mencapai 200 ribu. Sekitar 20 ribu dari jumlah tersebut mengikuti program ONH Plus.36 Selain biaya formal, seorang jama‟ah biasanya mengeluarkan biaya non-formal, semisal untuk biaya tasyakuran sebelum keberangkatan dan kepulangan jama‟ah. Biaya formal untuk ONH Biasa dan Plus masing-masing 2500 dollar AS dan 4000 dollar AS. Ini artinya, secara keseluruhan, rata-rata setiap jama‟ah haji mengeluarkan biaya kurang lebih 23 juta rupiah ONH Biasa, dan 35 juta rupiah untuk jama‟ah ONH Plus. Dari keseluruhan jama‟ah haji, dapat dikategorikan secara acak dalam beberapa bagian: pertama, sekitar 20 persen (ONH plus sekitar 30 persen) dari mereka melakukan ibadah haji bukan untuk pertama kalinya. Padahal ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup, itupun bagi mereka yang secara ekonomi mampu. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji relatif kecil dibandingkan dengan keseluruhan aset harta yang dimiliki. Ini berarti bahwa total biaya keseluruhan yang dikeluarkan jemaah haji kategori ini sebesar 578 milyar rupiah.37
Kedua, sekitar 30 persen dari jemaah haji ONH biasa adalah muslimin yang secara ekonomi termasuk kategori menengah. Biasanya, biaya haji yang mereka keluarkan didapatkan dari hasil menjual aset keluarga yang sebenarnya 36
“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004, h. 1 Muhammmad Ja‟far, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada tanggal 03 Maret 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/ 37
53
merupakan harta yang relatif masih dibutuhkan untuk menunjang perekonomian keluarga. Namun, karena motivasi dan sekian banyak tendensi (misalnya, prestise sosial), mereka mempertimbangkan untuk berhaji. Padahal, selain haji, Islam menyediakan berbagai bentuk ritual lainnya, yang selain dapat dijalankan tanpa biaya (gratis), juga tidak kalah efektifnya untuk menempa iman dan takwa jika diaplikasikan secara serius dan konsisten. Inilah latar belakang mengapa haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu. Ketiga, sekitar 10 persen dari jama‟ah haji kita adalah muslimin yang secara ekonomi adalah menengah ke bawah. Biasanya biaya yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji didapatkan dari hasil pinjaman atau dari hasil menjual aset keluarga satu-satunya dan paling berharga. Maka tak jarang keputusan untuk menunaikan ibadah haji ini memberi pukulan telak pada perekonomian mereka. Ditinjau dari hukum haji, pelaksanaan haji dalam kondisi perekonomian keluarga yang demikian, bahkan dapat dikategorikan haram. Sebab menafkahi keluarga jauh lebih wajib dari ibadah haji. Sehingga jika seorang muslim yang tidak mampu secara ekonomi memaksakan untuk beribadah haji, maka itu berarti ia telah meninggalkan sebuah kewajiban demi sesuatu yang tidak diwajibkan baginya.38
Begitu juga ketika kita melihat masalah tradisi kurban pada Idul Adha. Jumlah kaum muslimin 85 persen dari total populasi di Indonesia 220 juta jiwa. Jika 20 persen kaum muslimin secara ekonomi menengah ke atas, dan 5 persen
38
Ja‟far, ““jalan Lain” Berhaji dan Berqurban”.
54
dari jumlah tersebut menjalankan tradisi kurban, maka jumlah hewan yang dikurbankan setiap tahunnya bisa mencapai sekitar 1.870.000 juta ekor hewan kurban—termasuk seorang muslim yang berkurban lebih dari satu hewan—. Jika spesifikasinya sekitar 20 persen (374.000) hewan yang dikurbankan adalah sapi, dan selebihnya 1.496.000 kambing atau domba, sementara harga seekor kambing atau domba rata-rata 400 ribu rupiah, dan harga sapi 1,5 juta rupiah, maka total biaya yang dibutuhkan sebesar 1,1594 trilyun rupiah. Sebuah jumlah yang tentunya cukup fantastis.