Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tinjauan Umum Sindroma Geriatri Kris Pranarka
Pendahuluan Istilah geriatri (geros = usia lanjut, iatreia = merawat/merumat), pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909. Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935 di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex Hospital yang dianggap sebagai pelopornya. Dokter ini mulai menerapkan pelaksanaan pengobatan terpadu yang lebih aktif terhadap penderita-penderita lanjut usia dilengkapi dengan latihan fisik dan rehabilitatif dengan sistematik, yang ternyata banyak berhasil baik. Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangan yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya, diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2010. Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 11,34%. Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Dengan begitu secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyak terjadi distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai “penyakit degeneratif” (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus dan kanker). Sifat penyakit pada usia lanjut tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada golongan populasi usia lainnya, yaitu dalam hal: O
Penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakit.
O
Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian.
O
Usia lanjut juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat dengan kondisi daya tahan yang menurun.
O
Kesehatan usia lanjut juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi.
1
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
O
Pada usia lanjut seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi).
Sindroma geriatri Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis penderita usia lanjut. Masalah-masalah kesehatan ini tergantung dari sudut pandang berbagai ahli geriatri diberi nama (istilah) sendiri-sendiri, misalnya: Y
Menurut Cape dkk: The “O” complex, yang terdiri dari 9 Fall 9 Incontinence 9 Impaired homeostasis 9 Confusion 9 Iatrogenic disorders
Y
Menurut Coni dkk: The “Big Three” yang terdiri dari 9 Intelectual failure 9 Instability / immobility 9 Incontinence
Y
Menurut Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari 9 Immobility 9 Instability 9 Intelectual impairement 9 Incontinence 9 Isolation 9 Impotence 9 Immuno-deficiency 9 Infection 9 Inanition 9 Impaction 9 Insomnia 9 Iatrogenic disorder 9 Impairement of hearing, vision and smell
2
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Y
Menurut Brocklehurst dkk: The “Geriatric’s Giants” yang terdiri dari 9 Cerebral syndromes 9 Autonomics disorders 9 Falls 9 Mental confusion 9 Incontinence 9 Bone disease and fractures 9 Pressure sores
Semua ini merupakan sindroma (kumpulan gejala) yang sering ditemukan dalam bidang ilmu penyakit lanjut usia, sehingga disebut sebagai sindroma geriatrik. Dalam kesempatan yang terbatas ini, akan sekilas disampaikan beberapa sindroma geriatri dalam buku Brocklehurst’s text book of geriatric medicine and gerontology edisi ke VII, Volume 1, 2010. Walaupun demikian, pendapat para ahli geriatri lainnya di luar para pengarang dalam buku ajar tersebut, tetap disertakan sesuai topik yang dibahas.
1. Sindroma serebral Pada usia lanjut banyak terjadi perubahan-perubahan pada sistim pembuluh darah otak yang akan berpengaruh pada sirkulasi darah otak. Pembentukan plak ateroma banyak dijumpai pada sistim karotis yaitu di daerah bifurkasio, khususnya pada pangkal a.carotis interna. Circulus Willisii fungsinya dapat pula terganggu oleh plak ateroma yang berakibat penyempitan pembuluh darah secara menyeluruh. Di samping itu semua pembuluh darah arteri yang kecil juga mengalami perubahan ateromatus. Sejak Lobstein (1933) menggunakan istilah arteriosklerosis untuk semua kondisi yang berhubungan dengan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sudah dikenal juga bentuk yang paling sering dijumpai yaitu aterosklerosis. Demikian juga dapat dimengerti aterosklerosis adalah suatu penyakit berkenaan dengan bertambahnya usia. Dimulai dini sejak kanak-kanak dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan keluhan. Patogenesis aterosklerosis meningkat berkaitan dengan usia. Dari hipotesis tentang aterogenesis, sifat aterogenik dari LDI memegang peran penting. Bersama dengan proteoglikan menjadi ikatan lipoprotein pada tempat lesi yang aterogenik, selanjutnya terjadi retensi dan oksidasi membentuk lipidhidroksiperoksid. Lipid-hidroksiperoksid ini akan diambil oleh makrofag untuk dibersihkan, tetapi bila berlebihan akan terjadi akumulasi lemak dan terbentuk sel busa. Akumulasi lemak dan sel busa ini merupakan dua hal yang penting untuk terjadinya aterosklerosis.
3
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada usia lanjut terjadi kemunduran kemampuan untuk memperbaiki kerusakan/ jejas akibat proses oksidatif. Berbagai stimulus telah diidentifikasikan sebagai faktor yang menyebabkan jejas (injury) endotel inisial yang mengakibatkan rentetan kejadian (cascade) yang menghasilkan deposisi lipid dan migrasi sel inflamasi ke ruang subintimal pembuluh darah. Stimulus inisial dapat berupa antara lain hipertensi, oxidized LDL, hiperhomosisteinemia, merokok, hiperglikemia, infeksi. Infeksi telah diimplikasikan sebagai salah satu penyebab aterosklerosis sejak permulaan abad ke sembilan belas, namun publikasi mengenai topik ini meningkat secara mencolok pada dasawarsa terakhir ini. Banyak patogen berasosiasi dengan aterosklerosis. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat banyak patogen yang aterogenik. Risiko mengalami aterosklerosis yang ditimbulkan oleh infeksi berkaitan dengan jumlah patogen aterogenik yang menginfeksi seorang individu. Pemaparan endotel terhadap faktor-faktor jejas ini mengakibatkan keadaan inflamasi dari pembuluh darah, migrasi monosit dan T-limposit. Juga jejas pada endotel meningkatkan deposisi lipid di jaringan pembuluh darah. Interaksi makrofag dan akumulasi lipid menyebabkan pembentukan foam cells dan respons sekunder poliferasi otot polos dan pelepasan cytokin pro-inflamatori dan pro-trombotik. Pembuluh darah yang aterosklerotik, di samping morfologinya yang abnormal, juga didapatkan defek fungsional, yang mempredisposisi bagi terbentuknya trombosis dan vasokonstriksi yang berlebihan. Endotel yang melapisi lesi aterosklerotik mensintesa dalam jumlah yang berkurang prostasiklin (yang menginhibisi fungsi trombosit dan berperan dalam vasodilatasi), tissue type plasminogen activator (t-PA, meng-inisiasi fibrinolisis), dan nitrogen oksida (faktor relaksasi yang dibentuk di endotel). Aterosklerosis umumnya asimptomatik bahkan sampai stadium yang lanjut, sehingga diagnosis sering ditegakkan setelah terjadi gejala klinis berupa infark miokard atau stroke. Beberapa penyakit yang mempercepat terjadinya aterosklerosis adalah antara lain diabetes melitus dan hipertensi. Perubahan degeneratif yang dapat mempengaruhi fungsi sistim vertebrobasiler adalah degenerasi diskus vertebralis (kadar air sangat menurun, fibrokartilago meningkat dan perubahan pada mukopolisakarid). Akibatnya diskus ini menonjol ke perifer mendorong periost yang meliputinya dan lig. intervertebrale menjauh dari corpus vertebrae. Bagian periost yang terdorong ini akan mengalami kalsifikasi dan membentuk osteofit. Keadaan seperti ini dikenal dengan nama spondilosis servikalis. Discus vertebralis total merupakan 25% dari seluruh columna vertebralis sehingga degenerasi diskus dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan pada usia lanjut.
4
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Spondilosis servikalis berakibat 2 hal pada a. vertebralis, yaitu: 1.
Osteofit sepanjang pinggir corpus vertebrale dapat menekan aa. vertebrales, dan pada posisi tertentu bahkan dapat berakibat oklusi pembuluh arteri ini.
2.
Berkurangnya panjang kolum servikal berakibat aa. vertebrales menjadi berkelokkelok. Pada posisi tertentu pembuluh ini dapat tertekuk sehingga terjadi oklusi.
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa perubahan-perubahan pembuluh darah arteri yang meluas berkaitan erat dengan munculnya gangguan pada fungsi otak usia lanjut. Gangguan fungsi ini sendiri dapat meliputi spektrum sindroma klinis yang luas dan sebagian bahkan tumpang tindih. Sindroma klinis otak dapat dibagi 3 kelompok: 1.
Sindroma klinis berkaitan dengan seluruh otak.
3.
Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis.
4.
Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh vertebrobasiler.
Ad. 1. Sindroma klinis berkaitan dengan seluruh otak Sindroma klinis kategori ini terdiri atas gejala berikut : O
Apraxia, dengan kaku otot, refleks meningkat dan tendensi untuk condong ke belakang.
O
Gangguan jalan (gait).
O
Demensia vaskular.
O
Inkontinensia.
Demensia vaskular adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit yang mengganggu peredaran darah otak dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek, gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berfikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, aktifitas harian dan sosial. Gangguan fungsi kognitif yang belum mengganggu aktivitas hidup sehari-hari, sebenarnya merupakan bagian dari proses penuaan. Namun sejauh mana gangguan ini dalam proses penuaan masih dianggap normal atau sudah patologis membutuhkan penilaian yang cermat. Gangguan fungsi kognitif yang ringan pada usia lanjut seringkali tidak terdiagnosis, karena baik pasien maupun keluarga terdekat umumnya tidak memperhatikan adanya penurunan fungsi ini atau menganggap penurunan fungsi kognitif yang terjadi merupakan hal yang wajar dialami pada usia lanjut. Di sisi lain, adanya kewaspadaan
5
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
(awareness) yang kurang di pihak dokter dan tenaga kesehatan untuk mengenali gejala dan tampilan klinis pasien dengan gangguan kognitif ringan serta tidak mengetahui pada populasi dengan faktor risiko apa saja yang sering mengalami gangguan ini. Secara garis besar faktor-faktor risiko timbulnya gangguan kognitif ringan dan demensia dapat dibagi atas faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi sebagian besar tampaknya faktor risiko vaskular, yang merupakan faktor risiko demensia vaskular, antara lain: 1. Tekanan darah tinggi. 2. Resistensi insulin dan diabetes melitus 3. Dislipidemia. 4. Obesitas. 5. Fibrilasi atrium. 6. Gagal jantung. 7. Merokok. 8. Penyakit paru obstruktif kronis. 9.
Hiperkoagulasi dan hiperagregasi trombosit.
Ad. 2. Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis Sindroma klinis yang utamanya berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis dapat dikategorikan menjadi tiga kelainan utama, yaitu serangan otak sepintas (transient ischemic attack), stroke dan arteritis. Prevalensi stroke meningkat terutama pada populasi lanjut usia, sehingga wajar kalau setiap dokter yang mempelajari masalah kesehatan pada usia lanjut, harus trampil dalam pengelolaan stroke secara komprehensif. Gangguan pembuluh darah otak atau stroke atas dasar patologisnya dapat dibagi atas dasar infark (akibat trombus atau emboli) dan perdarahan otak (akibat pecahnya pembuluh darah otak). Sedangkan atas dasar perkembangan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi stroke in evolution dan completed stroke. Stroke in evolution yang gejalanya berkembang dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari, terjadinya dapat diakibatkan ketiga kejadian patologis seperti telah disebutkan di atas. Emboli yang terjadi tiba-tiba seringkali masih diikuti pembentukan trombus lebih lanjut disebelah proksimalnya, sehingga defisit neurologik yang terjadi masih terus akan berkembang akibat meluasnya infark. Demikian juga perdarahan otak yang kejadiannya mendadak, perembesan darah yang masih terjadi kemudian akan menimbulkan iskemia lebih lanjut selama periode tertentu sehingga defisit neurologik juga akan berkembang dalam waktu beberapa jam bahkan beberapa hari. Demikian pula edema yang muncul beberapa jam kemudian baik pada infark ataupun perdarahan otak, dapat mengakibatkan progresi gejala-gejala neurologik yang muncul.
6
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada usia lanjut perlu untuk memikirkan diagnosa diferensial untuk stroke, yaitu hematoma subdural (subdural hematoma atau SDH) dan perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage atau SAH). Riwayat trauma kepala umumnya menyertai SDH. Pada stroke, hal ini seringkali terjadi karena penderita jatuh. Pada usia lanjut dimana otak sudah mengalami atrofi serta ruang antar selaput otak relatif luas, akselerasi otak karena trauma kepala, mudah berakibat robeknya pembuluh darah di daerah subdural ataupun subarachnoid. Pada hemiparesis dimana kesadaran berfluktuasi dalam waktu beberapa hari, selalu harus dicurigai adanya SDH. Pada SAH umumnya pasien mengeluh nyeri kepala yang hebat dan kebanyakan disertai asimetri diameter pupil kiri kanan.
Ad. 3. Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh vertebrobasiler Spondilosis servikalis adalah keadaan yang mengikuti proses degenerasi discus intervertebralis dan sering dihubungkan dengan sindroma klinis akibat iskemia vertebrobasiler. Salah satu gejala yang diutarakan pada spondilosis servikalis adalah nistagmus dan ini menunjuk pada kemungkinan adanya insufisiensi vertebrobasiler. Karena osteofit yang menekan radiks spinalis servikal. Gejala lain dari spondilosis servikalis adalah parestesi dan atrofi otot tangan atau nyeri kepala oksipital. Pada kasus dengan kanalis spinalis sempit bahkan dapat terjadi paraparesis atau tetraparesis karena penekanan medula spinalis. Yang penting dari sindroma yang berhubungan dengan sistim vertebrobasiler ini adalah TIA dan drop attack (serangan roboh). Drop attack adalah suatu keadaan dimana seseorang jatuh mendadak tanpa diduga, tanpa kehilangan kesadaran dan begitu terbaring di lantai, yang bersangkutan tak mampu untuk bangun sendiri. Sering juga pasien mengalami vertigo atau pusing sebelum jatuh dan dapat bangun sendiri dengan berpegangan pada meja atau tempat tidur di dekatnya. Jatuh dengan drop attack umumnya tidak menimbulkan cedera oleh karena jatuhnya tidak keras berdebum melainkan pelan-pelan. Tetapi, 22% kasus fraktur femur pada usia lanjut diakibatkan oleh serangan jatuh ini. Diduga bahwa drop attack disebabkan oleh oklusi mendadak kedua arteria vertebralis akibat tertekuk atau tertekan oleh osteofit. Penyebab langsung adalah posisi gerakan leher tertentu, di mana mendadak aliran darah ke otak bagian belakang dan cerrebelum terganggu, menimbulkan hilangnya tiba-tiba mekanisme refleks untuk mempertahankan postur sehingga pasien jatuh. Yang bersangkutan tak dapat segera bangun diduga karena refleks postur tak akan pulih sebelum ada impuls proprioseptif yang masuk. Misalnya suatu tekanan pada telapak kaki dan transmisi berat badan melalui tungkai. Umumnya bila pasien dibantu berdiri pada kedua kakinya ia akan segera dapat berjalan.
7
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
2. Gangguan fungsi otonom Suatu ciri dari proses menua adalah kemunduran homeostatis yang berakibat penurunan kemampuan penyesuaian terhadap pengaruh lingkungan dan terhadap macam-macam bentuk dari stres lainnya. Sebenarnya daya homeostatis tetap dipertahankan sampai lanjut usia, tetapi bila terpapar pada suatu keadaan stres, terjadi gangguan keseimbangan fisiologik dan waktu yang dibutuhkan untuk pulih setelah faktor stres berlalu, menjadi lebih panjang. Sistima syaraf dan endokrin mempunyai peran penting dan khususnya gangguan fungsi syaraf otonom berpengaruh besar terhadap penurunan kapasitas homeostatis. Iskemia otak bagian posterior akibat gangguan pembuluh darah vertebrobasiler akan mengganggu serebelum dan korteks oksipital. Di antara gejalanya adalah gangguan termoregulasi dan episode hipotensi. Hipotensi postural atau hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan sistolik atau diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat penderita berubah posisi dari tidur ke posisi tegak. Pengarang lain menambahkan batasan tersebut dengan catatan bahwa penurunan tekanan darah harus berlangsung setelah 1-2 menit perubahan posisi ke posisi tegak (Van der Cammen, 1991). Mekanisme mempertahankan tekanan darah merupakan refleks, dimana serabut aferen berasal dari baro-reseptor di sinus karotikus. Serabut ini berjalan menuju ke pusat vasomotor di batang otak melalui saraf glosofaringeus. Serabut eferen berjalan melalui medula spinalis dan serabut preganglionik ke rantai simpatis, kemudian melalui serabut postganglionik ke pembuluh darah. Pada perubahan dari posisi baring ke posisi tegak terjadi perpindahan hampir 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan vena di daerah perut dan kaki. Tekanan di atrium kanan turun lebih rendah dari tekanan dalam rongga dada, menyebabkan venous return ke jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, dengan akibat penurunan tekanan darah. Reaksi kompensasi berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi arteriole dan vena disertai dengan reaksi parasimpatis berupa percepatan denyut jantung. Pada penderita muda, keadaan seperti ini seringkali disertai gejala light-headed (rasa melayang/nggliyeng) ringan dalam waktu yang tidak terlalu lama, oleh karena mekanisme pengaturan vasomotor dengan segera mengadakan kompensasi. Pada penderita lansia, mekanisme kompensasi tersebut sering tidak efektif, sehingga tetap terjadi hipotensi dengan segala gejalanya selama beberapa jam. Bahkan seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran, yang baru membaik bila penderita diletakkan pada posisi berbaring lagi. Hipotensi postural ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya jatuh pada usia lanjut yang seringkali mendadak bangun dari tempat tidur di malam hari karena ingin buang air ke kamar mandi.
8
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada penelitian terhadap 100 orang penderita lansia berusia di atas 70 tahun yang dirawat di bangsal geriatri, prevalensi hipotensi postural didapatkan pada 17% penderita. Angka pada lansia di atas usia 65 tahun yang ada di rumah di Glasgow didapatkan 24% penderita mengalami penurunan tekanan darah 20 mmHg, 9% turun sekitar 30 mmHg, dan 5% mengalami penurunan tekanan darah lebih/sama dengan 40 mmHg (Van der Cammen, 1991). Hanya sedikit perbedaan insidens antara wanita dan pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur.
3. Konfusio Konfusio diberi batasan sebagai suatu keadaan status mental di mana reaksi terhadap rangsang lingkungan tidak tepat, disertai disorientasi dan ditandai dengan memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan serta terganggunya proses berpikir. Konfusio merupakan masalah yang penting di bidang geriatri. Diagnosis yang tepat diikuti pengelolaan yang sesuai dapat memperbaiki status kesehatan penderita usia lanjut dan meningkatkan kemampuannya untuk mandiri. Antara sepertiga sampai setengah dari penderita usia lanjut yang dirawat menunjukkan berbagai tingkatan dari konfusio.
Penyebab umum dari konfusio Metabolisme otak terutama tergantung pada glukosa dan oksigen yang mencapai otak dan berbeda dengan organ lain, tidak mempunyai tempat penyimpanan yang cukup dan oleh karenanya tergantung pada pasokan dari sirkulasi darah. Penurunan mendadak dari pasokan tersebut akan mengganggu jalur metabolik otak dan menyebabkan terjadinya konfusio. Hal ini sangat mencolok pada usia lanjut, dimana berbagai mekanisme cadangan homeostatik sudah sangat buruk. Tiga kelompok penyebab bisa dikatakan sebagai penyebab utama konfusio akut, yaitu keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral dan penyebab iatrogenik. Kehilangan/gangguan sensorik dan depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio akut.
Gambaran klinis Gambaran klasik penderita berupa kesadaran menurun disertai dengan derajat kewaspadaan yang berfluktuasi. Gangguan pada memori jangka pendek dan mungkin disertai dengan gangguan mengingat memori jangka panjang serta halusinasi atau mis-interprestasi visual. DSM-III R memberikan kriteria untuk keadaan konfusio akut, termasuk adanya penurunan mendadak dari kemampuan untuk mempertahankan perhatian terhadap rangsangan luar (antara lain pertanyaan harus diulang karena perhatiannya mengembara) atau perhatian penderita mudah teralihkan oleh rangsangan luar yang baru.
9
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Seperti dikemukakan, konfusio akut adalah suatu masalah kesehatan dan bukan diagnosis, dan diagnosis bisa dari berbagai penyebab, sehingga tindakan pertama adalah penegakan diagnosis. Cara penegakan diagnosis pada penderita lanjut usia yang dapat menapis berbagai penyebab tadi adalah dengan tata cara asesmen geriatri. Tata cara ini dengan anamnesis dan pemeriksaan secara sistematis terhadap semua aspek sosial ekonomi, lingkungan, psikis dan fisik secara menyeluruh akan dapat menemukan penyebab konfusio akut tersebut.
4. Inkontinensia urin Inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia. Usia yang lanjut tidak menyebabkan inkontinensia. Walaupun begitu, beberapa perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia, misalnya penurunan panca indera, kemunduran sistim lokomosi, dapat mendukung terjadinya inkontinensia. Demikian juga kondisi-kondisi medik yang patologik misalnya gagal jantung kongestif, diabetes melitus, dapat mencetuskan kejadian inkontinensia. Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksikontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75% lanjut usia yang mengalami inkontinensia. Penurunan kapasitas kandung kemih dapat menimbulkan lima macam keluhan yang sering saling tumpang tindih: 1.
Sering berkemih.
2.
Tidak dapat menahan kencing.
3.
Kencing malam hari meningkat.
4.
Gangguan pancaran kencing (sering pada pria dengan gangguan kelenjar prostat).
5.
Inkontinensia yang terjadi akibat peninggian tekanan intra-abdominal, misalnya saat bersin, tertawa keras atau mengangkat beban.
Untuk memudahkan mengingat, dapat dipakai kependekan kata DRIP, untuk kausa inkontinensia akut: D : Delirium (konfusio). R : Retriksi mobilitas. I : Infeksi, inflamasi, impaksi faeces. P : Pharmasi (Iatrogenik), poliuri.
10
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Oleh karena sifatnya yang akut dan sementara, dengan penyebab spesifik yang diharapkan dapat di obati, inkontinensia akut juga disebut inkontinensia transien atau inkontinensia sementara. Inkontinensia yang persisten atau kronik/menetap, dapat dibagi menjadi empat tipe yaitu: 1.
Tipe stres (tekanan).
2.
Tipe urgensi.
3.
Tipe luapan
4.
Tipe fungsional.
ad. 1. Tipe stres Inkontinensia urin tipe stres ditandai dengan keluarnya urin di luar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intraabdominal misalnya saat bersin, tertawa atau olahraga. Inkontinensia ini banyak didapatkan pada wanita lanjut usia. Dan urin yang keluar biasanya sedikit dan tidak terlalu berpengaruh pada kualitas hidup penderita serta tidak membutuhkan pengobatan khusus. Tetapi juga dapat sedemikian banyak dan mengganggu, sampai dibutuhkan tindakan pembedahan untuk mengatasinya. Peristiwa seperti ini seringkali berkenaan dengan kelemahan jaringan sekitar muara kandung kemih dan uretra. Hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan dengan disertai tindakan pembedahan merupakan faktor predisposisi. Obesitas dan batuk kronik juga sering memegang peranan. Inkontinensia tipe stres jarang pada pria. Dapat terjadi setelah mengalami operasi lewat uretra (trans-urethral) atau misalnya akibat terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari sfingter.
ad. 2. Tipe urgensi Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan pengeluaran urin di luar pengaturan berkemih yang normal, biasanya dalam jumlah banyak, karena ketidakmampuan menunda berkemih, begitu sensasi penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengatur. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot-otot detrusor kandung kemih. Inkontinensia ini didapatkan pada gangguan sistim syaraf pusat misalnya pada stroke, demensia, sindroma Parkinson dan kerusakan medula spinalis. Gangguan lokal dari saluran urogenital misalnya sistitis, batu dan divertikulum dari kandung kemih juga dapat mencetuskan inkontinensia tipe urgensi.
11
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ad. 3. Tipe luapan Inkontinensia tipe luapan (overflow) ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin biasanya dalam jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sudah sangat regang. Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara lain: 9
Sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya kistokel dan penyempitan jalan keluar urin.
9
Gangguan kontraksi kandung kemih akibat gangguan dari persyarafan, misalnya pada penyakit diabetes melitus.
ad. 4. Tipe fungsional Inkontinensia tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun macam-macam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor-faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe fungsional ini. Macam-macam tipe dari inkontinensia ini dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan (inkontinensia kompleks), sehingga membawa dampak juga pada strategi pengelolaannya.
Pengelolaan inkontinensia urin Mengetahui penyebab dari inkontinensia urin sangat penting untuk strategi pengelolaan yang tepat. Pengelolaan inkontinensia urin diharapkan akan cukup baik hasilnya bila kausa dan tipe inkontinensia dapat diketahui. Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: 9
12
Program rehabilitasi, antara lain: O
Melatih perilaku berkemih.
O
Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
O
Melatih respons kandung kemih.
O
Latihan otot-otot dasar panggul.
9
Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).
9
Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.
9
Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9
Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
Untuk kasus-kasus tertentu, dibutuhkan konsultasi dengan bidang ilmu lain misalnya Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Bagian Bedah Urologi dan sebagainya.
Inkontinensia alvi Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali terjadi akibat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat. Karena dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada lanjut usia hampir seluruhnya dapat dicegah. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan, dibandingkan inkontinensia urin, apalagi bila penderita tidak menderita inkontinensia urin. 30-50% penderita dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologik yang sama antara inkontinensia urin dengan inkontinensia alvi.
5. Jatuh Perdefinisi, jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata, dimana seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop dan dizziness, serta faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata, terantuk benda-benda yang menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang dan sebagainya. Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh: a.
Sistem sensorik Yang berperan di dalamnya adalah: visus, pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia, diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi proprioseptif.
b.
Sistem saraf pusat (SSP) SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan tekanan normal, yang diderita oleh lansia akan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga
13
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
berespon tidak baik terhadap input sensorik. c.
Kognitif Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.
d.
Muskuloskeletal Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang spesifik milik lansia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan oleh: 9
Kekakuan jaringan penghubung.
9
Berkurangnya massa otot.
9
Perlambatan konduksi saraf.
9
Penurunan visus/lapang padang.
9
Kerusakan proprioseptif.
yang semuanya menyebabkan: 9
Penurunan range of motion (ROM) sendi.
9
Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah.
9
Perpanjangan waktu reaksi otot/refleks.
9
Kerusakan persepsi dalam.
9
Peningkatan postural sway (goyangan badan).
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama dan pelebaran langkah kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seseorang susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung atau kejadian mendadak, sehingga memudahkan jatuh. Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia di bagi dalam dua golongan besar, yaitu: 1.
Faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam).
2.
Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar),
14
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Seperti tampak pada skema di bawah ini: Faktor intrinsik
Faktor ekstrinsik
Kondisi fisik dan neuropsikiatrik
Obat-obatan yang diminum
Penurunan visus dan pendengaran
Falls (Jatuh)
Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan dan reflek postural karena proses menua
Alat-alat bantu
Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)
(Rejeki Andayani, Buku Ajar Geriatri, edisi IV, 2009).
Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan mengobati komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, serta mengembalikan kepercayaan diri penderita yang biasanya mengalami trauma, takut jatuh lagi. Anxiety of falling akan menyebabkan imobilitas dan ketergantungan bertambah serta menambah risiko untuk jatuh lagi. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, dan langsung menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoral sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
15
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
1. Penyakit tulang dan patah tulang Tulang manusia terdiri atas tulang trabekuler 20% dan tulang kortikal 80%. Tulang mengalami proses resorpsi (penyerapan) dan formasi (pembentukan) secara terusmenerus yang disebut remodelling tulang. Kira-kira 10% tulang manusia dewasa mengalami remodeling setiap tahunnya. Pembaharuan ini akan mencegah kelelahan tulang dan penting bagi keseimbangan/homeostasis kalsium. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara kecepatan resorpsi dengan formasi terjadilah kehilangan massa tulang. Pembentukan sel tulang diawali oleh adanya sel pembentuk tulang yang dinamakan sel osteogenik. Melalui proses mineralisasi, sel ini membentuk osteid yang berkembang menjadi osteosit padat, keras dan kompak. Jadi, tulang terbentuk dari perkembangan sejumlah osteosit yang telah matang. Ada dua proses utama yang bekerja pada siklus tulang. Pertama, bone formation yaitu pembentukan sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoblast. Kedua, bone resorption yakni pengurangan sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoklas. Proses pembentukan dan penimbunan sel-sel tulang berjalan paling efisien sampai umur mencapai 30 tahun. Setelahnya, seperti proses alamiah tubuh, jumlah sel-sel tulang yang luruh menjadi lebih banyak daripada sel-sel baru yang terbentuk. Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas secara singkat osteoporosis sebagai penyakit tulang dan keterkaitannya sebagai penyebab patah tulang pada usia lanjut. Dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilang tulang secara linear. Hilang tulang ini lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% pertahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria >80 tahun. Hilang tulang ini lebih mengenai bagian trabekula dibanding bagian korteks. Pada pemeriksaan histologik wanita dengan osteporosis spinal pasca menopause tinggal mempunyai tulang trabekula <14% (nilai normal pada lansia 14-24%). Penyakit tulang dan patah tulang merupakan salah satu dari sindrom geriatrik, dalam arti insidens dan akibatnya pada usia lanjut yang cukup signifikan. Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan gangguan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat fragilitas tulang meningkat dan memperbesar risiko kemungkinan patah tulang. WHO memberikan definisi sebagai berikut: adalah penurunan massa tulang >2,5 kali standard deviasi massa tulang rata-rata dari populasi usia muda. Penurunan antara 1-2,5 standard deviasi dari rata-rata usia muda disebut osteopenia. Menurut hasil analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI
16
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%). Penelitian lain di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan tahun 2002 juga makin menunjukkan bahwa osteoporosis di Indonesia sudah seharusnya diwaspadai. Dari 101.161 responden, ternyata 29% diantaranya telah menderita osteoporosis (sumber: DepKes RI). Insidens (angka kejadian) osteoporosis pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Satu dari tiga wanita mempunyai kecenderungan terkena osteoporosis, sedangkan pada pria insidensnya lebih kecil yaitu 1 dari 7 pria. Penatalaksanaan osteoporosis meliputi: pencegahan dan terapi.
I. Pencegahan Pencegahan osteoporosis meliputi optimalisasi puncak massa tulang pada pertumbuhan dan mencegah/modifikasi faktor risiko, pencegahan kehilangan tulang pasca menopause dan pencegahan sekunder kehilangan massa tulang lebih lanjut pada keadaan osteoporosis sudah terjadi. Sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelainan tulang. 2. Meningkatkan kemandirian pasien mengurus diri sendiri. 3. Promosi terhadap efektifitas pembiayaan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan mencakup: Y
Pencegahan primer
Adalah upaya yang dapat dipergunakan secara luas dan dimulai sejak dini dengan makanan yang bergizi, protein, mineral yang dibutuhkan seperti kalsium dan aktivitas fisik yang memadai untuk mencapai maksimum puncak massa tulang, menghindari faktor risiko seperti gaya hidup atau obat-obatan yang merugikan. Perubahan gaya hidup sangat penting dalam penatalaksanaan osteoporosis, meliputi antara lain diet yang cukup kalsium, cukup gerak dan menghindari kebiasaan merokok dan alkohol. Tak ada istilah terlalu dini untuk pencegahan, kalau tidak ingin menyesal karena terlambat. Terlebih untuk osteoporosis, dengan sedikit upaya pencegahan yang relatif mudah, sudah akan diperoleh manfaat. Pencegahan osteoporosis mencakup faktor nutrisi, latihan fisik, pola hidup aktif, kurangi faktor risiko osteoporosis, melakukan tes untuk deteksi dini, terapi hormonal bagi wanita, serta beberapa upaya khusus untuk kondisi penyakit tertentu yang cenderung menimbulkan osteoporosis.
17
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Masalah yang berkaitan dengan kehilangan massa tulang ini, tidaklah melulu masalah medis, tetapi berkaitan juga masalah sosial, kultur, ekonomi, yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas. Kondisi faktor nutrisi yang mempunyai peran untuk terjadinya osteoporosis adalah intake kalsium rendah, vitamin D rendah, protein tinggi, fosfat tinggi dan kafein tinggi. Kondisi tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap pembentukan puncak massa tulang dan mempercepat kehilangan massa tulang. Y
Pencegahan sekunder
Seperti pencegahan primer ditambah pemberian obat pembentuk tulang seperti HRT (Hormon Replacement Therapy) pada wanita pasca menopause yang kehilangan massa tulang signifikan dan belum ada patah tulang. Penatalaksanaan penderita yang hanya dengan osteoporosis tanpa disertai patah tulang lebih sederhana dibanding bila penderita sudah datang dengan patah tulang. Alur terapi osteoporosis Kelompok resiko tinggi atau faktor resiko
Patah tulang dengan rudapaksa minimal atau kekurangan massa tulang
Merubah gaya hidup diet, latihan fisik, merokok
Pengukuran Kepadatan Tulang (Bone Densitometri)
Di atas +1 SD
+1 SD to - 1 SD
- 1 SD to -2.5 SD
Ulang 5 th lagi
Ulang 1 th lagi
Estrogen
Estrogen
Bisfosfonat
Kalsitriol
(sumber: Harry Isbagio, IRA, 2005)
18
Di bawah - 2.5 SD
Kalsitonin
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada kasus-kasus penderita geriatri dengan fraktur, maka penatalaksanaannya terdiri atas: 9
Tindakan terhadap fraktur. Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu sebab tidak bisa dioperasi dan hanya akan dilakukan tindakan konvensional. Untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dengan bagian ortopedi. Dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut dan dengan sendirinya kasus fraktur, dalam disiplin ilmu bedah timbul suatu sub disiplin orto-geriatri.
9
Tindakan terhadap jatuh. Mengapa penderita sampai jatuh, apa penyebabnya, bagaimana agar tidak terjadi jatuh yang berulang dan lain sebagainya.
9
Tindakan terhadap kerapuhan tulang. Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang sudah terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur.
9
Keperawatan dan rehabilitasi saat penderita imobil. Pencegahan komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio), upaya agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi. (Hadi Martono, Buku Ajar Geriatri, edisi 4, 2009)
7. Dekubitus Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Walaupun semua bagian tubuh dapat mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat di atas tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kuit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain: 9
Berkurangnya jaringan lemak subkutan
9
Berkurangnya jaringan kolagen dan elastik
9
Menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
19
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada lanjut usia. Kekhususannya terletak pada insidens kejadiannya yang erat kaitannya dengan imobilitas. Seseorang yang tidak immobil dapat berbaring di tempat tidur sampai bermingguminggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur. Sedangkan immobilitas hampir pasti menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan umum dari penderita. Tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batasbatas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring di atas kasur busa biasa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Tekanan ini akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Empat faktor yang berpengaruh pada patogenesis timbulnya ulkus dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan dan kelembaban. Penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut: Derajad I
: Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.
Derajad II
: Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus yang dangkal, dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajad III
: Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.
Derajad IV : Perluasan ulkus menembus otot, sehingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Pengelolaan dekubitus Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita dengan risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
20
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Usaha untuk meramalkan akan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistim skor dari Norton. Skor di bawah 12 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah: a.
b.
Meningkatkan status kesehatan penderita: 9
Umum: memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemi dikoreksi, nutrisi dan hidrasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.
9
Khusus: coba mengatasi/mengobati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya diabetes yang belum terkontrol baik, penyakit paru dan sebagainya.
Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah. 9
Alih posisi/alih baring/tidur selang-seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang dan dapat mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
9
Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekanan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya: O
Kasur dengan gelombang tekanan naik-turun.
O
Kasur air.
Keberatan perlengkapan canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendiri harus baik dan dapat rusak. Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium atau derajatnya dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi. Pada umumnya penatalaksanaan derajat I dan II adalah secara non bedah sedangkan derajat III dan IV secara bedah.
Penutup Penurunan kemampuan daya homeostatik untuk menyesuaikan diri terhadap macam-macam stresor baik dari dalam badan sendiri maupun dari luar, menyebabkan kemunduran yang menandai proses menua. Hal ini berakibat juga pada kekhususan penampilan macam-macam penyakit pada populasi lanjut usia.
21
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan-perubahan faktor psiko-sosial-ekonomi juga mempunyai dampak yang penting. Semuanya ini berakibat perbedaan masalah penyakit pada usia lanjut di bandingkan usia dewasa saja. Beberapa sindroma tampak lebih sering dijumpai, sehingga sering disebut sebagai sindroma geriatri. Para penulis memberi beberapa istilah khusus pada kumpulan gejala ini agar lebih mudah diingat. Contohnya pada buku ajar, dengan editor Brocklehurst, J. C. Et. Al., disebut dengan Geriatrc’s Giants (Geriatric’s Dragons), karena hampir selalu dijumpai dan menjadi masalah pada penderita-penderita Lanjut Usia. Geriatric Giant bukanlah suatu diagnosis, tetapi merupakan suatu gejala dari macam-macam variasi penyakit yang menyebabkannya. Dengan tata cara khusus, yaitu Asesmen Geriatrik Komprehensip, diharapkan dapat ditemukan penyebab terjadinya Sindrom Geriatrik ini.
Daftar pustaka 1.
Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student. Churchill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987.
2.
Rosens., Reuben D. B. Presentation Of Disease In Old Age. In Broclehurst’s Text Book Of Geriatric Medicine And Gerontology, 7th ed, 2010.
3.
Kuchel, G. A., Lach, M. S. et al: Geriatric Syndromes. In Hazzard’s Geriatric Medicine And Gerontology, 6th Ed., 621-731, 2009.
4.
Kris Pranarka, Widiastuti Samekto, Abdul Wahib, Rejeki Andayani, Hadi Martono. Sindroma Geriatri. Dalam Boedhi-Darmojo. Buku Antar Geriatri, Edisi IV, 2009.
5.
Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Simposium Geriatri, F. K. Univ. Sam Ratulangi, Manado, 1999.
6.
Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.
22
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Patofisiologi Stroke Endang Kustiowati
Pendahuluan Stroke adalah hilangnya fungsi neurologis yang terjadi secara mendadak akibat adanya gangguan fokal dari aliran darah cerebral yang disebabkan oleh proses iskemik atau perdarahan. Bergantung pada durasi dari gangguan serebrovaskular, dapat menyebabkan kelainan neurologis permanen, kecacatan maupun kematian. TIA (transient ischemic attack), yang gejalanya berlangsung kurang dari 1 jam, dapat tidak menyebabkan kelainan neurologis namun ini berhubungan kuat dengan resiko untuk terjadinya stroke dalam waktu 90 hari ke depan. Stroke merupakan posisi ketiga yang menyebabkan kematian di US. Stroke iskemik mencapai 87% dari seluruh stroke. Populasi pada usia 45-65 tahun dan 8-12% dari stroke iskemik menyebabkan kematian dalam waktu 30 hari. Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke sebesar 15,4%, serta prevalensi faktor risiko penyebab kematian tertinggi meliputi penyakit hipertensi, penyakit jantung serta stroke. Meskipun stroke merupakan kondisi yang mengancam kehidupan, stroke merupakan kondisi yang dapat diterapi, dan derajat kecacatannya dihubungkan dari respon terapi.
Patofisiologi stroke iskemik Mekanisme dari iskemik Meskipun terdapat banyak mekanisme etiologi, jalur yang umum dari stroke iskemik adalah berkurangnya jumlah aliran darah yang menyuplai jaringan cerebral. Terhentinya dari aliran darah pada setiap tempat dapat memicu kerusakan neuronal irreversibel. Mekanisme dari iskemik dapat secara umum dibagi menjadi 5 kategori: trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, obliterasi lumen arterial dan kongesti vena. Yang akan dibahas adalah 4 kategori pertama seperti pada tabel berikut.
23
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Atherosclerosis merupakan gangguan sistemik yang tersebar luas dan dapat menimbulkan kematian serta morbiditas yang serius mencakup stroke. Lesi patologis dasar adalah atheromatous plaque dan dimana sisi tersering yang terkena adalah Aorta, arteri coronaria, arteri carotis pada bifurcatio dan arteri basilaris. Arteriosklerosis, merupakan suatu istilah kondisi yang lebih umum menunjukkan mengeras dan kekakuan pembuluh darah arteri dan ditandai dengan kalsifikasi pada tunika media dan arteriolosclerosis dengan proliferasi dan perubahan hyalin yang mengenai arterioles. Atherosclerosis dimulai pada usia muda dan akumulasi lesi dan berkembang selama kehidupan dan menjadi simptomatik serta kejadian klinis saat target organ terkena. Lesi awal dari atherosclerosis berhubungan dengan fatty streaks dan intimal cell mass. Berbagai konsep telah dikemukakan untuk menerangkan progresifitas dari beberapa prekursor lesi tertentu dalam terbentuknya atherosclerosis, yang paling sering dijumpai dan luar biasa adalah hipotesis respon terhadap injury yang menerangkan respon cellular dan molecular terhadap berbagai stimulus atherogenic dalam proses inflamasi.
24
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Proses inflamasi terjadi secara bersamaan dengan akumulasi dari LDL yang teroksidasi dan stimulasi dari sel-sel otot polos vascular (VSMCs). Sel endotel dan makrofag dan sebagai hasil dari agregasi sel busa dengan akumulasi sari LDL oksidasi. Proses selanjutnya perkembangan plaque aterosklerosis, VSMCs migrasi, proliferasi dan membentuk komponen matrix extracelluler pada sisi lumen dari dinding pembuluh darah yang membentuk fibrous cap dari lesi atherosclerosis. Pada proses yang kompleks ini pertumbuhan, progresifitas dan akhirnya ruptur dari plaques atherosclerosis yang melibatkan dalam jumlah besar dari matriks modulator, mediator inflamasi, growth factor dan substansi vasoactif. Fibrous cap membungkus inti lipid dengan akumulasi yang besar sari extracelluler lipid (atheromatous plaque) atau fibroblast dan kalsifikasi ekstraseluler akan membentuk lesi fibrokalsifikasi.
Trombosis Trombosis adalah pembentukan dari bekuan darah (clot) pada suatu arteri yang menetap dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan cerebral yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Plaques atherosclerosis sering ditimbulkan dari kelainan patologis pada endhotelium setempat. Plaques atherosclerosis berkaitan dengan prothrombotic, plasminogen activator inhibitor-1 yang berlebihan dan faktor jaringan. Chlamydia pneumoniae juga berhubungan dengan plaques atherosclerosis dan selanjutnya terjadi aktivitas inflamasi yang ditandai dengan teraktivasi makrofag dan sel T yang berkumpul pada daerah tersebut. Pada trombosis pembuluh darah besar, aspek luminal dari palques atherosclerosis dapat dipecah oleh metalloproteinases, memicu terjadinya ruptur dan menimbulkan lesi elserasi dengan sifat-sifat trombogenic yang tinggi. Ulserasi memicu terjadinya trombosis in situ atau embolisasi dari material trombotic pada bagian ulserasi. Pada pembuluh darah yang lebih kecil (diameter 400-900µm), microateromatosis menyebabkan infark
25
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
lakunar. Pembuluh darah kurang dari 200µm terjadi deposisi lipohyaline pada dinding media menyerupai proliferasi fibrous intima akibat paparan yang lama dari hipertensi atau hiperglikemia, yang menimbulkan infark lakunar yang kecil sering tidak menimbulkan gejala.
Emboli Tabel di bawah ini menunjukkan sumber dari emboli serebral.
Meskipun jantung merupakan sumber yang sangat umum dalam tromboembolus, beberapa tipe dari material dapat dibawa menuju otak melalui sirkulasi serebral dan menyumbat pada pembuluh darah, sehingga menimbulkan stroke. Stasis dari posterior atrium yang berhubungan dengan atrial fibrilasi atau flutter, menimbulkan suatu kondisi resiko tinggi untuk terjadinya formasi trombus. Pada kasus infeksi seperti endokarditis, menimbulkan kumpulan dari platelet, fibrin dan fragmen bakteri, yang mengirimkan emboli pada sirkulasi serebral. Sedangkan trombotic endokarditis non bakterial dapat terjadi pada keadaan malignansi atau kondisi inflamasi lain. Atheromatous plaques pada aorta dan arteri carotis dapat terjadi ulserasi atau menjadi gangguan mekanik, yang memicu terbentuknya embolisasi dari cholesterol dan trombus. Ini diketahui sebagai embolisasi artery-to-artery embolization.
26
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sistemik hipoperfusi Mekanisme ketiga dari stroke iskemik adalah sitemik hipoperfusi akibat dari kehilangan tekanan arterial secara general (umum). Beberapa proses dapat menimbulkan hipoperfusi, dan yang sangat dikenal adalah cardiac arrest akibat infark myocard atau aritmia. Daerah-daerah otak bagian yang paling distal ditempat perbatasan dari sistem arteri, disebut dengan regio watershed merupakan daerah yang terutama terkena. Hipotensi yang berat dapat menyerupai pola iskemik ini, bila terjadi stenosis pada arteri carotis komunis atau interna dapat menimbulkan watershed ischemic unilateral.
Obliterasi pada arterial lumen Penyempitan lumen yang ditimbulkan oleh vasculopathy non inflammatory, vasculitis inflamasi atau infeksi, vasospasme atau kompresi oleh masa ekstrinsik.
Type dari kelainan acute cerebrovascular Framingham study menunjukkan frekuensi dari complete stroke: 60% disebabkan oleh atherothrombotic infark otak, 25.1% dengan cerebral emboli, 5.4% dengan subarachnoid hemorrhage, 8.3% dengan intracerebral hemorrhage dan 1.2% tidak diketahui. TIA mencapai 14,8% dari total kejadian cerebrovascular. Ischemic stroke disebabkan oleh reduksi critical dari aliran darah cerebral regional dan, bila pengurangan aliran darah melebihi waktu kritis berlangung lama, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan atherothrombotic pada arteri yang menyuplai otak atau emboli yang berasal dari jantung, pada aorta atau arteri yang lebih besar. Substrat pathological dari stroke ischemic adalah ischemic infark dari jaringan otak. Lokasi, luas dan bentuk dari infark tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang mengalami oklusi, mekanisme dari obstruksi arterial dan kemampuan kompensasi dari vascular. Oklusi dari arteri yang menyuplai daerah otak tertentu oleh atherothrombosis atau embolisasi menimbulkan infark territorial dengan berbagai ukuran, ukuran besar berasal dari middle cerebral artery (MCA) atau kecil bila cabang dari arteri besar yang mengalami oklusi atau bila mendapatkan kompensasi dari collateral perfusion, melalui sirkulus wilisi atau leptomeningeal anastomoses. Infark lacunar menunjukkan bahwa kelainan pada pembuluh darah penetrasi yang memperdarahi otak pada bagian capsula, basal ganglia, thalamus dan regio paramedian dari brain stem. Yang sangat sering disebabkan oleh lipohyalinosis dari arterie yang dalam (smallvessel disease); dan lebih jarang disebabkan oleh stenosis MCA dan microembolisasi pada daerah arterial penetrasi. Patologi dari infark lakunar adalah adanya scar trabekulasi cystic yang kecil yang berukuran diameter 5-15mm, yang lebih sering terlihat pada MRI.
27
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pathofisiologi stroke hemorrhage Perdarahan intracerebral (PIS) terjadi sebagai hasil perdarahan langsung dari arterial dalam brain parenchyma dan jumlahnya sekitar 5-15% dari seluruh stroke. Hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak, di samping merokok, konsumsi alkohol dan tingginya serum kolesterol, telah diketahui. Dalam keadaan tertentu, perdarahan intracerebral dapat terjadi tanpa hipertensi dengan lokasi atipikal. Penyebab yang lain mencakup small vascular malformation, vasculitis, tumor otak dan obat-obat sympathomimetic (seperti cocaine). PIS juga dapat disebabkan oleh cerebral amyloid angiopathy dan jarang disebabkan oleh perubahan akut pada tekanan darah. Kejadian PIS juga dipengaruhi oleh penggunaan yang tinggi dari terapi antithrombotic dan thrombolytic pada ischemic brain, jantung dan organ lain. PIS yang spontan terjadi predominan pada daerah dominan cerebral hemispheres (typical PIS). Tempat yang sering dijumpai adalah putamen (35-50% dari kasus). Subcortical substansia alba terjadi sekitar 30%. Selanjutnya perdarahan pada thalamus dijumpai sekitar 10-15%, pons 5-12% dan cerebellum 7%. Sebagian besar PIS berasal dari ruptur pembuluh darah arteries kecil, dengan diameter 50-200 mm, akibat kelainan lipohyalinosis yang mengarah pada hipertensi kronik. Perubahan dari small-vessel memicu kelemahan dari dinding pembuluh darah dan miliary microaneurysm dan diikuti perdarahan lokal kecil, yang mana dapat diikuti oleh ruptur sekunder. Setelah dimulai, perdarahan aktif dapat berlanjut selama beberapa jam dengan perluasan dari hematoma yang sering berhubungan dengan kelainan klinik.
28
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada PIS, akumulasi lokal dari darah merusak parenkim otak yang menggantikan struktur saraf dan merusak jaringan otak. Setelah beberapa jam atau hari terjadi extracellular edema pada sekitar hematoma. Setelah 4-10 hari sel darah merah mulai lisis, kemudian granulocytes dan microglial cells muncul serta terbentuk foamy macrophages, yang menghancurkan debris dan hemosiderin. Pada akhirnya astrocytes berada pada sekitar dari hematoma dan mengalami proliferasi dan berubah menjadi gemistocytes dengan eosinophilic cytoplasm. Saat hematoma menghilang, astrocytes akan digantikan oleh fibril-fibril glial.
Ringkasan Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke, sedangkan merupakan posisi ketiga yang menyebabkan kematian di US. Mekanisme dari iskemik dapat secara umum dibagi menjadi 5 kategori: trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, obliterasi lumen arterial dan kongesti vena. Dan pada perdarahan intracerebral, hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak, di samping merokok, konsumsi alkohol dan tingginya serum kolesterol.
Daftar pustaka 1.
Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update: a report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee.Circulation 2008;117:e25–146.
2.
Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35–41.
3.
Ay H, Furie KL, Singhal A, et al. An evidence-based causative classification system for acute ischemic stroke. Ann Neurol 2005;58:688–97.
4.
Labovitz DL, Boden-Albala B, Hauser WA, Sacco RL. Lacunar infarct or deep intracerebral hemorrhage: who gets which? The Northern Manhattan Study. Neurology 2007;68:606-8.
5.
Rajamani K, Fisher M, Fisher M. Atherosclerosis-pathogenesis and pathophysiology. In: Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular Disease: Pathophysiology, Diagnosis and Management, Vol. 2. London: Blackwell Science; 1998:308-18.
6.
Willeit J, Kiechl S. Biology of arterial atheroma. Cerebrovasc Dis (Basel) 2000;10 Suppl 5:1-8
7.
Aikawa M, Libby P. The vulnerable atherosclerotic plaque: pathogenesis and therapeutic approach. Cardiovasc Pathol 2004; 13:125–38.
8.
Faxon DP, Fuster V, Libby P, Beckman JA, Hiatt WR, Thompson RW, et al. Atherosclerotic Vascular Disease Conference: Writing Group III: pathophysiology. Circulation 2004; 109:2617-25.
29
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9.
Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA. Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004.
10. Wolf PA. Epidemiology of stroke. In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA, eds. Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004: 13–34.
30
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Stroke Berdasarkan Bukti Medis (EBM) H. Hadi Martono
Pendahuluan Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Definisi lain lebih mementingkan defisit neurologik yang terjadi sehingga batasannya adalah sebagai berikut: ”adalah suatu defisit neurologik mendadak sebagai akibat dari iskemia atau hemorhagik sirkulasi syaraf otak”. Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh darahnya, yang tentu saja, merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan dari pembuluh darah tersebut secara patologik bisa didapati pada pembuluh darah di bagian lain tubuh. Oleh karenanya stroke harus dianggap merupakan akibat dari penyakit sistemik. Komplikasi yang terjadi, seperti akan dapat dilihat dalam pembicaraan nanti, adalah lebih banyak diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Di samping itu kematian otak yang sudah terjadi tidak akan dapat di obati dengan cara apapun. Dalam era evidence based medicine maka semua tindakan medis oleh IDI diharuskan pada penyakit apapun berdasarkan pada EBM tersebut, termasuk stroke (Helsingborg declaration, 2006, ESO 2008, Gofur, 2010). Obat-obat neuroprotektor yang sering digunakan oleh dokter-dokter kita ternyata tidak terbukti bermanfaat secara evidence based (ESO 2008, Gofir, 2010, Cadogan, 2010), walaupun penelitian pada hewan memberikan harapan, itupun hanya kalau diberikan bersama rTPA. Oleh karena itulah penatalaksanaan utama stroke adalah terutama berupa perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran selanjutnya akan mencegah perluasan kerusakan jaringan otak. Karena itulah kami menganggap bahwa semua spesialis penyakit dalam harus berperan, bahkan berperan utama dalam penatalaksanaan stroke. Demikian pula bahwa dokter yang berkecimpung dalam bidang geriatri, sebagai sub bagian ilmu penyakit dalam harus menguasai penatalaksanaan penderita stroke, terutama pada usia lanjut, mengingat bahwa pada populasi ini insidensi kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem merupakan hal yang sangat penting
Jenis dan epidemiologi Di seluruh bagian dunia stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75-84 tahun sekitar 10x dari populasi 55-64 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit ke-2 setelah infark miokard akut (AMI) sebagai penyebab kematian utama, sedangkan di Amerika stroke masih merupakan
31
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
penyebab kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan 1 kasus stroke diperkirakan sekitar US $ 80.000-100.000. Stroke juga merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan (disabilitas) di negara negara barat. Dengan makin meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan gangguan lipid, insidensi stroke di negara-negara maju makin menurun. Di Perancis stroke disebut sebagai “serangan otak (attaque cerebrale)” yang menunjukkan analogi kedekatan stroke dengan serangan jantung. Berdasar atas jenisnya, stroke terbagi atas: O
Stroke non hemorhagik: jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak, yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Tersering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis dari arteri otak/atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah diluar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80-85% dari semua stroke (Cadogan, 2010). Stroke jenis ini juga bisa disebabkan akibat berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain.
O
Stroke hemorhagik: yang merupakan sekitar 15-20% dari semua stroke. Diakibatkan karena pecahnya suatu mikroaneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan antara: perdarahan intraserebral, subdural dan subarakhnoid. Mortalitas lebih tinggi dibanding jenis iskemik (sekitar 50% meninggal dalam waktu 1 bulan setelah serangan-Cadogan, 2010)
Secara patologik pada stroke non hemorhagik, yang merupakan jenis terbanyak dari seluruh stroke, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutama jenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor risiko terjadinya stroke serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik.
Gejala dan tanda Gejala stroke bisa dibedakan atas gejala/tanda akibat lesi dan gejala/tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Penderita bisa datang sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi tidak jarang penderita datang dalam keadaan koma dalam sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke. Secara umum gejala tergantung dari besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda dari organ yang dipersyarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemorhagik atau non hemorhagik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemorhagik seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terjadi terutama saat bekerja.
32
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Beberapa perbedaan yang terdapat akibat stroke hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang terdapat dan dengan pemeriksaan neurologik sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini.
Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian 5x lebih banyak dibanding akibat lesi dan bersama-sama keduanya menyebabkan sekitar 20% kematian pada hari I. Komplikasi akut yang terjadi adalah: -
Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme kompensasi dalam upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi. Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistol >220/ diastol>130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada penderita hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera.
-
Kadar gula darah. Penderita stroke seringkali merupakan penderita DM sehingga kadar gula darah pasca stroke tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan gula darah penderita sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stress. Akan tetapi tindakan yang terlalu antusias dapat menyebabkan gula darah menjadi terlalu rendah juga
-
Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi. Sebagai penyebab terutama adalah fibrilasi atrium dan keadaan jantung yang menyebabkan
33
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
terjadinya thrombus, antara lain MIA, endokarditis bakterialis. Keadaan ini memerlukan perhatian yang khusus, karena seringkali memperburuk keadaan stroke bahkan sering merupakan penyebab kematian. -
Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat nafas.
-
Infeksi dan sepsis merupakan komplikasi stroke yang serius.
-
Gangguan ginjal dan hati.
-
Gangguan cairan, elektrolit, asam dan basa. Antara lain pada keadaan syok hipovolemik sebagai penyebab stroke.
-
Stress ulcer, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena.
Penelitian Clifford Rose, 1990 di Inggris tentang kematian akibat stroke akut dapat dilihat pada tabel berikut: Penyebab kematian
Infark iskemik
Hemorhagia serebral Keterangan
Kematian otak primer Pneumonia Emboli paru Insufisiensi ginjal Insufisiensi jantung Infark jantung Rekurensi stroke
9% 40% 20% 8% 13% <1% 9%
70% 13% 10% 3% <1% 4% <1%
Kematian akibat luasnya lesi, tak ada yang bisa diperbuat
Dari: Clifford Rose,1990 (dengan catatan penulis)
Komplikasi kronis akibat stroke yang sering terjadi dan perlu diperhatikan adalah: -
Akibat baring di tempat tidur lama bisa terjadi pneumonia, dekubitus, inkontinensia serta berbagai akibat imobilisasi lain.
-
Rekurensi stroke.
-
Gangguan sosial ekonomi.
-
Gangguan psikologik.
Penatalaksanaan stroke akut: Berbagai pedoman (guidelines) dari berbagai pusat stroke, antara lain Amerika, Eropa (ESO-2008 dan Helsingborg declaration 2006, juga buku Penatalaksanaan Stroke berdasarkan EBM-Gofir, 2009 dan EBM, Acute Stroke Cadogan, 2010) secara umum telah memberikan panduan berdasarkan penelitian yang sahih, yang kesemuanya didasarkan EBM selayaknya juga menjadi patokan dokter di Indonesia. Tujuan penanganan stroke akut pada dasarnya adalah sebagai berikut: O
Memberikan penunjang hidup (life support) secara umum, antara lain dengan: -
34
Pembebasan jalan nafas dengan suction atau intubasi.
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
-
Oksigenasi kalau ada hipoksia.
-
Pengendalian sirkulasi darah agar tidak terjadi penurunan perfusi darah ke otak.
-
Manajemen cairan dan elektrolit.
-
Pengaturan posisi penderita (kepala > tinggi 15-30º).
-
Mengatasi kejang.
-
Mengatasi rasa nyeri.
-
Menjaga suhu tubuh tetap <37,5ºC.
-
Menghilangkan rasa cemas.
-
Mengobati komplikasi lain.
O
Meminimalkan lesi stroke.
O
Mencegah komplikasi akibat stroke.
O
Melakukan rehabilitasi.
O
Mencegah serangan ulang stroke.
Berdasarkan panduan di atas, maka penatalaksanaan stroke akut pada dasarnya adalah sebagai berikut: A. Management aktif: Diagnosis, ditujukan untuk mencari beberapa keterangan, antara lain: -
Apakah ada kecurigaan penderita menderita stroke atau bukan dengan pemeriksaan face arm speech test (FAST) dan pemeriksaan neurologic sederhana lain. Skoring sederhana ABCD untuk kemungkinan stroke adalah sebagai berikut (Gofir, 2009):
-
Karakteristik
California
Poin ABCD
ABCD2
(Age) Usia >60 tahun Bl.Press.(Tek.Darah) >140/90 Clin. Feat. (tpln. klinik) - Kelemahan - Gangguan bicara Durasi >60menit 10-59 menit Diabetes
1 -
1 1
1 1
1 1 1 1 1
2 1 2 1 1
2 1 2 1 1
Skor Total
0-5
0-6
0-7
Bila memang ke arah stroke, letak, jenis dan luas lesi, faktor risiko, penyakit komorbid? Penderita dengan TIA dengan skor ABCD2 >3, lebih baik dirawat inap (Class IIa,
35
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
LOE C), kemudian di RS dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan baku emas adalah pemeriksaan dengan skan tomografi terkomputer (CT-scan), (rekomendasi A) walaupun pada beberapa keadaan, antara lain stroke di batang otak pada hari-hari pertama sering kali tidak didapatkan abnormalitas, sehingga harus diulang setelah 24 jam kemudian. CT scan tersebut idealnya harus dilakukan dalam waktu 1 jam setelah kedatangan penderita di RS (atau sebelum 3½ jam setelah awitan stroke). Dengan MRI (magnetic resonance imaging=pencitraan dengan resonansi magnetik) diagnosis letak dan jenis lesi dapat lebih diketahui dengan pasti. Lesi kecil di batang otak yang tidak terlihat dengan skan TK tersebut, akan dapat terdeteksi dengan MRI (rekomendasi B). Kesemua data ABCD2 ini untuk penderita usia lanjut sudah diintegrasikan dalam asesmen geriatri. -
Terdapat beberapa scoring system untuk mendiagnosis jenis,letak dan besarnya lesi, antara lain skor Siriraj, skor Gajah Mada dan lain-lain, akan tetapi ketepatannya masih tidak bisa diandalkan. Hubungan diagnosis dengan waktu sangat penting sehingga timbul adagium time is brain, terutama untuk stroke jenis iskemik karena dalam waktu kurang dari 3 jam berhubungann dengan kemungkinan dapat dilakukannya terapi spesifik trombolisis dengan rTPA. Demikian pula untuk jenis stroke perdarahan yang masih mungkin dilakukan tindakan bedah, lebih cepat penatalaksanaan akan lebih baik hasilnya. Sehubungan dengan masalah waktu ini dianjurkan dibuat suatu PROTAP untuk pendidikan/edukasi kepada masyarakat dan tenaga RS sehingga upaya pengenalan stroke dini dan transportasi yang cepat dan efektif ke pusat stroke dapat dilaksanakan (Helsingborg decl, 2007). Hal-hal lain yang perlu pada diagnosis adalah: -
Status penderita. secara keseluruhan, termasuk di sini adalah kesadaran (GCS?) tekanan darah, kadar gula darah, keadaan kardiorespirasi, keadaan hidrasi, elektrolit, asam-basa, keadaan ginjal, apakah penderita masih dalam pemberian warfarin, adanya tendensi perdarahan, GCS rendah (<13), gejala fluktuatif atau progresif yang tak jelas penyebabnya, curiga meningitis atau adanya gejala nyeri kepala hebat di awitan serangan (Cadogan,2010). Skrining ABCD seperti di atas, dapat sebagai dasar untuk rawat inap apabila memenuhi syarat skor >3 atau kurang dari 3 tetapi terdapat hal lain yang mengindikasikan gangguan fokal (klas IIa, tingkat bukti C). Perawatan umum, diarahkan untuk memberikan perawatan yang optimal pada penderita. Memberikan posisi yang tepat, alih baring untuk penderita dengan kesadaran menurun, pemberian hidrasi yang cukup merupakan beberapa aspek perawatan yang penting. Termasuk disini adalah asesmen gangguan menelan dan tata cara pemberian nutrisi bila terdapat gangguan menelan. Seringkali pemberian makanan peroral (aktif atau dengan sonde) diberikan pada penderita yang berbaring. Pada usia lanjut hal ini sangat berbahaya, karena sering menyebabkan pneumonia aspirasi.
36
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perbaikan gangguan/komplikasi sistemik: seperti dikemukakan di atas, berbagai komplikasi sistemik sering lebih berbahaya dibanding strokenya sendiri. Oleh karena itu keadaan tersebut harus selalu dipantau. Beberapa diantaranya akan dibicarakan berikut ini. Airway: perhatikan gangguan jalan nafas, mungkin pada keadaan berat perlu ventilator mekanis (kelas I, LOE C). Keadaan hipoksia harus segera dicari penyebab dan perlu mendapat terapi oksigen (Kelas I, LOE C). Blood Pressure (Tekanan darah)/Breathing. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada stroke akut, biasanya tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, untuk kemudian kembali menjadi normal setelah 2-3 hari. Oleh karena itu, peningkatan tekanan darah pada hari-hari pertama stroke tidak perlu dikoreksi, kecuali bila mencapai nilai yang sangat tinggi (sistolik >220 mmHg/diastolik >120mmHg) atau merupakan tekanan darah yang emergency. Pada keadaan inipun penurunan tekanan darah harus secara perlahan, tidak sampai normal, hanya sekitar 10-20%. (kelas I, LOE, C). Pada penderita usia lanjut kehati-hatian dalam menurunkan tekanan darah tersebut sangat penting, karena pada penderita sudah terjadi gangguan otoregulasi, artinya otak penderita seolah menjadi terbiasa dengan keadaan tekanan darah yang meninggi, sehingga bila mendadak tekanan darah diturunkan, akan terjadi gangguan metabolik otak yang sering justru memperburuk keadaan. Pada hari-hari pertama ini penurunan tekanan darah juga dibedakan apakah penderita memang penderita tekanan darah tinggi kronis, yang penurunan tekanan darahnya sebaiknya sampai 180/100-105 mmHg. Apabila belum pernah menderita hipertensi maka sasaran penurunan tekanan darah bisa sampai 160-180/100-110 mmHg. (EUSI, 2003, Cadogan 2010). Apabila direncanakan tindakan trombolisis dengan rTPA, tekanan darah sistolik tidak boleh melebihi 180 mmHg. Agar penurunan darah bisa dilaksanakan secara titrasi maka dianjurkan pemakaian obat Labetalol/ urapidil/nitroprusid atau nitrogliserin I.V, kalsium antagonis IV titrasi atau captopril oral. Penggunaan nifedipin oral/SL atau penurunan tekanan darah yang terlalu drastis atau hipotensi perlu dihindari. Keadaan kardiak(jantung) telah dikemukakan diatas sering menyebabkan kematian oleh karena itu perlu pemantauan yang baik dengan EKG monitoring 24 jam I (kelas I, LOE B) dan diberikan tindakan pengobatan dimana perlu. -
Gula darah. Seperti dengan tekanan darah, gula darah seringkali meningkat pada hari-hari pertama stroke, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa gula darah yang tinggi (>40mg%) akan memperburuk kerusakan otak, sehingga peninggian kadar gula darah pada hari-hari I stroke harus diturunkan senormal mungkin, kalau perlu dengan pemberian insulin melalui pompa-siring (kelas II, LOE C).
37
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal atau hati juga merupakan berbagai keadaan yang perlu diperhatikan pada penderita stroke, karena keadaan tersebut seringkali terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup penderita. Emboli paru dan/atau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi stroke. Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi dini, baik secara pasif maupun aktif. Terhadap lesi: Perlakuan terhadap lesi tergantung jenis, besar dan letak lesi, serta berapa lama lesi sudah terjadi. Lesi hemorhagik, terutama subarakhnoid dan subdural bisa segera dilaksanakan operasi, akan tetapi jenis intra-serebral hanya yang terletak superficial, dengan volume darah >30cc atau diameter >3 cm, dengan tanda peninggian tekanan intracranial dan ancaman herniasi otak. Bisa dilaksanakan operasi, walaupun hal ini masih kontroversial. Pemberian obat hemostatik menurut kepustakaan barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut. Tetapi beberapa penelitian dengan recombinant activated Factor VII a (rFVIIa) ternyata mempunyai kemampuan membatasi pembesaran hematom. Pada beberapa keadaan stroke non hemorhagik intra serebral, tindakan operatif kadang diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghilangkan efek massa pada otak (EUSI,2003). Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah syaraf yang berpengalaman. Lesi iskemik, pada dasarnya harus dibedakan antara pusat infark dan jaringan sekitarnya, yang disebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematian jaringan otak, sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi infark. Di daerah ini akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain masuknya ion kalsium dan laktat ke intraseluler, menyebabkan terjadinya oedem sel dan akhirnya nekrosis. Berbagai tindakan terapetik secara antara lain: -
Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi, keseimbangan cairan dan asam basa, kardiorespirasi dan lain-lain).
-
Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulan (heparin, warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa (ESO 2008 dan tempat lain) tidak direkomendasikan. Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator plasminogen jaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat ketat, yaitu waktu pengerjaan tidak boleh lebih dari 3½ jam dari saat awitan stroke (saat ini beberapa senter memperpanjang waktu). Penggunaan sampai dengan 4½ jam pasca awitan (Cadogan, 2010). Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi terkendala dengan kemungkinan besar terjadinya komplikasi hemorhagik di daerah infark atau daerah lain, sehingga tidak direkomendasikan (rekom. A).
38
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pemberian anti-trombosit (aspirin) 100-300 mg diberikan dalam waktu 24 jam setelah terjadinya stroke akan menurunkan mortalitas dan mencegah stroke ulangan secara signifikan.Aspirin tidak boleh diberikan apabila akan dilakukan trombolisis atau dalam waktu 24 jam setelah trombolisis. -
Perbaikan metabolik sekitar lesi, antara lain pemberian vasokonstriktor umum yang diharapkan memberikan vasodilatasi lokal ditempat lesi (reverse steal phenomenon) calsium entry blocker dan berbagai zat neuroprotective walaupun dari segi teoretik hal ini sangat menarik, akan tetapi hasil dari berbagai penelitian dengan derajat bukti tingkat I (level of evidence I) ternyata tidak ada gunanya sama sekali. Upaya untuk menurunkan viskositas darah bila Ht >54% (terapi hemodilusi) menurut EUSI 2003 juga tidak direkomendasikan pada stroke iskemik.
Rehabilitasi dini: upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan penderita sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat penderita masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah penderita bisa berjalan sendiri, terapi fisik dan okupasi perlu diberikan, agar penderita bisa kembali mandiri. Pendekatan psikologik terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri penderita yang biasanya sangat menurun setelah terjadinya stroke. Kalau perlu dapat diberikan antidepresan ringan. Tindakan pengawasan lanjutan (follow-up): tindakan untuk mencegah stroke berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya stroke ulangan.
ABC penatalaksanaan stroke oleh spesialis penyakit dalam Dengan melihat tinjauan di atas, maka penatalaksanaan pada stroke akut setelah diagnosis ditegakkan (terutama dengan CT-Scan/MRI), terutama harus dilakukan oleh spesialis penyakit dalam dan meliputi ABC seperti juga dalam menghadapi kegawatan lain sebagai berikut: A : Airway, artinya mengusahakan agar jalan nafas terbebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat strokenya sendiri. B : Blood pressure atau breathing atau tekanan darah dan fungsi bernafas yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat nafas (akibat stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran nafas. C : Cardiovascular function, yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus yang harus ditangani secara tepat.
39
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab stroke, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari stroke tersebut. Dalam huruf “C” ini bisa dimasukkan pula aspek coagulation. Status koagulasi menyeluruh termasuk kadar fibrinogen perlu diperiksa dan kalau mungkin dikoreksi. Keadaan hiperviskositas (hematokrit yang terlalu tinggi, misalnya pada keadaan PPOM) perlu diturunkan secara moderat, sedangkan keadaan obstruksi parunya perlu diperbaiki. D : Drug/medication harus dievaluasi tentang obat-obatan yang sudah/sedang atau akan diberikan, jangan mengganggu fungsi homeostasis yang pada saat ini sedang dalam keadaan terkompromi. E : Electrolyte terutama natrium, kalium, kalsium yang akan mengganggu memperberat berbagai fungsi organ. F : Fluid status/balance. Keadaan gangguan cairan kemudian akan memberi pengaruh pada fungsi ginjal, jantung dan fungsi organ yang lain, oleh karenanya pantau dengan baik dan kalau perlu di koreksi bila ternyata terdapat gangguan balans cairan. G : Glucose level yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kadar glukosa yang terlalu rendah sering kali memberikan gejala-gejala neurologik fokal serupa dengan stroke, sedangkan kadar gula darah yang terlalu tinggi dikatakan akan memperburuk lesi sehingga akan memperburuk status neurologik. “G” di sini juga bisa dikenakan pada gastric bleeding sebagai akibat stress ulcer yang kemudian memerlukan penanganan tersendiri termasuk perubahan jalur pemberian nutrisi. Apabila pada pemasangan pipa nasogastrik ternyata teralirkan cairan hitam tanda terdapat perdarahan gastrik, maka semua tindakan konvensional untuk menghentikan perdarahan lambung ini harus dijalankan. H : Hypertension sebagai akibat dari penyakit hipertensi kronis akan tetapi bisa sebagai akibat kompensasi akut akibat stroke (sudah dibahas dimuka). ”H” juga bisa diartikan sebagai “hidrasi”. Pemberian hidrasi yang kurang baik akan berakibat pada terjadinya berbagai gangguan homeostasis organ-organ, akan tetapi juga harus diperhatikan kemungkinan overhidrasi (terutama apabila keadaan ginjal atau jantung kurang baik). I:
Intake diperlukan guna mempertahankan fungsi metabolisme tubuh. Walaupun dalam keadaan kesadaran menurun, masalah intake harus diperhatikan, karena nutrisi yang baik akan membantu penyembuhan keadaan penderita. Nutrisi yang baik juga akan membantu daya tahan tubuh terutama dari keadaan infeksi. “I” juga bisa dikenakan pada kedaan INFEKSI, yang selalu harus dicegah dan kemudian diatasi seefektif mungkin karena akan mempengaruhi prognosis dari penderita stroke. Bronkopneumonia dan infeksi saluran kemih, yang kemudian bisa berlanjut ke keadaan sepsis merupakan infeksi tersering yang harus selalu dipantau kemungkinan terjadinya. Pada keadaan perawatan yang kurang baik, dekubitus merupakan penyebab infeksi lain yang harus diperhatikan.
40
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Upaya pencegahan Upaya pencegahan primer dan sekunder berupa perbaikan dari berbagai faktor risiko seperti yang telah disebutkan di muka. Salah satu yang menjadi bahan perdebatan adalah pelaksanaan end-arterectomy pada arteri karotis. Kesepakatan saat ini adalah anjuran untuk end-arterectomy pada penderita TIA bila terdapat stenosis arteri karotis >70% (Bogosslavsky, 1997). Pada individu yang belum terserang TIA/ stroke endarterectomy juga bisa dianjurkan apabila stenosis >90%, terutama bila bersifat progresif dan risiko perioperatif <3%. Pemberian aspirin atau warfarin harus dilaksanakan sebagai upaya pencegahan primer pada semua penderita dengan fibrilasi atrium non valvuler yang berisiko sedang untuk terjadinya emboli. Pada mereka yang berisiko emboli tinggi (usia >75 tahun atau >60 tahun+risiko tinggi/menderita tekanan darah tinggi, disfungsi ventrikuler kiri, diabetes melitus) diberikan terapi antikoagulasi jangka panjang dengan warfarin dengan target INR 2,0-3,0.
Unit stroke Dari pengalaman berbagai senter dapat diambil kesimpulan bahwa perawatan penderita stroke dalam suatu unit stroke secara signifikan akan menurunkan angka kematian, angka disabilitas dan perawatan institusional katimbang perawatan di bangsal rawat umum. Suatu unit stroke adalah suatu unit rumah sakit atau bagian di rumah sakit yang secara khusus ditujukan untuk menangani penderita stroke. Dalam unit ini para staf yang bersifat multi disipliner sudah terlatih secara khusus dalam pengobatan dan perumatan penderita stroke. Disiplin inti yang terikut dalam unit stroke ini adalah tenaga medis (penyakit dalam, jantung, intensivist dan neurologis) perawat dan berbagai modalitas rahabilitasi. Berbagai jenis unit stroke antara lain adalah: unit stroke akut, unit kombinasi stroke dan rehabilitasi, unit rehabilitasi stroke dan tim stroke mobil. Akan tetapi mengingat dasar pendidikan yang agak berbeda antara berbagai spesialis di Indonesia dan di berbagai tempat di Eropa maupun di Amerika, pendirian suatu unit stroke tetap diperlukan akan tetapi dengan penekanan tugas setiap komponen yang sedikit berbeda. Di negara-negara Eropa atau Amerika, seorang spesialis syaraf/ neurologis dalam pendidikannya telah mengalami pendidikan penyakit dalam dalam waktu yang cukup, biasanya antara 2-3 tahun, sebelum kemudian mengambil spesialisasinya di bidang penyakit syaraf, sehingga pengetahuan mereka di bidang penyakit dalam sudah cukup memadai untuk menatalaksanai penderita stroke. Di Indonesia, pendidikan neurologi di bagian penyakit dalam hanya berlangsung antara 23 bulan, sehingga petalaksanaan stroke di unit stroke seperti yang telah dikemukakan di atas seharusnya menjadi tugas spesialis penyakit dalam sebagai dokter utama. Dokter spesialis syaraf bisa ikut dalam tim unit stroke untuk memberi bantuan pendapat (second opinion) tentang penatalaksanaan gangguan syaraf sebagai akibat stroke.
41
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Neuroprotektan Seperti dikatakan di atas, berbagai penelitian mengenai penggunaan neuroprotektan gagal untuk membuktikan kegunaannya pada terapi stroke akut. Penelitian penggunaan Citikolin pada tikus, memberikan hasil baik hanya kalau obat ini diberikan bersama dengan rTPA (Caplan, 2009). Oleh karenanya pada sebagian besar guidelines penggunaan obat ini sama sekali tidak disebut (ESO, stroke AHA, Gofir, Cadogan). Helsingborg declaration yang dibuat oleh International Society of Internal Medicine dan WHO regional Eropa hanya memperbolehkan penggunaan neuroprotektor ini dalam rangka penelitian ilmiah.
Kesimpulan dan penutup Telah dibicarakan pengelolaan stroke dipandang dari aspeknya sebagai penyakit sistemik. Dari pembicaraan di atas jelas bahwa sebagian besar pengelolaan stroke memerlukan pengetahuan yang mendalam dari segi penyakit dalam (general medicine), sehingga siapapun yang mengelola penyakit ini harus mempunyai pengetahuan tentang penyakit dalam yang cukup, disertai pengetahuan pemeriksaan dasar neurologik sederhana. Di Indonesia, spesialis penyakit dalam dan geriatrislah dan bukannya spesialis syaraf yang merupakan spesialis yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai pengelola utama stroke. Oleh karena itulah pembentukan suatu unit stroke, yang tetap merupakan suatu unit penting dalam suatu rumah sakit, tetap merupakan suatu keharusan dalam suatu rumah sakit besar, tetapi dengan tetap meletakkan spesialis penyakit dalam dan/atau geriatris sebagai dokter utama pengelola penderita stroke.
Tinjauan kepustakaan 1.
Brocklehurst, JC and Allen, SC: ”Cerebral syndrome” in Geriatric Medicine for Students 3rd edt, Churchil Livingstone, 1987.
2.
Bogousslavsky, J: ”Meeting the challenge of stroke: on the Attack”, Oddyssey, 3/3:1996.
3.
Clifford Rose: ”Clinical Diagnosis and Therapy of Strokee” in Meier Ruge, W (ed) Vascular Brain Disease in old age, Teaching and training in Geriatric Medicine pp135176, Karger, AG Switzerland, 1990.
4.
Caplan, LR: ”Intracerebral Hemorrhage” in STROKE OCTET, Lancet 339/8794 656658, 1992.
5.
Caplan, LR: “Caplan’s stroke, a clinical Aopproac” IVth edit, Saunders, Elsevier, 2009.
6.
Cadogan, M: “EBM Acute stroke”, Life in the fast lane. Education. AFTB lecture, 2010.
7.
Editor: ”Rehabilitation Congress in Berlin: Brain plasticity greater than had expected” the News, 36/1993.
8.
European Stroke Initiative, recommendation 2003 ”EUSI, Ischaemic Stroke. Prophylaxis and treatment, Information for doctors in hospitals and practice, 2003.
42
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9.
European Stroke Organization Executive Committee, ESO Writing Committee: ”Guidelines for Management of Ischaemic Stroke and Transient Ischaemic Attack” 2008.
10. American Heart Association (AHA, American Stroke Association (ASA): ”Guidelines for the Early Management of Adults with Ischemic Stroke, 2007. 11. Gofir, A: ”Manajemen Stroke, Evidence Based Medicine ”Pustaka Cendekia Press, Cetakan Pertama 2009. 12. Hacke, W: ”What’s right for MI is right for stroke as well” the News, 36/1993. 13. Hadi-Martono: ”Stroke, who in Indonesia is supposed to manage it?” (unpublished). 1993. 14. Hadi-Martono: ”Stroke pada usia lanjut ”Pertemuan Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam, FK UNDIP-RS Dr. Kariadi. 1990. 15. Kejellstrom, T, Norrving., Shatzkutte, A: ”Helsingborg Declaration 2006 on European Stroke Strategies” WHO Regional Office For Europe. 2006. 16. Meier-Ruge, W: ”The Pathophysiology of Stroke, Causes and mecahnism of Cerebral Infarction” in Meier Ruge W(ed) Vascular Brain Disease in old age, Teaching and training in Geriatric Medicine. pp 43-85, Karger AG Switzerland, 1990. 17. Oppenheimer, S and Hachinsky, V: ”Complication of acute stroke” in STROKE OCTET, Lancet. 339/8795, 721-724, 1992. 18. Paulson,OB and Strandgaard, S: ”The old brain’s Blood flow. Its mechanism of cerebral infarction” in Meier-Ruge, W (ed) Vascular Brain Disease in old age, Training and teaching in Geriatric Medicine, pp1-42, Karger AG Switzerland. 1990. 19. Van der Cammeln TJM: ”Strokee” in Van der Cammeln, Rai, GS and Exton-Smith, AN (eds) Manual of Geriat. Medicine pp 1-8, Churchil-Livingstone, Edinburgh. 1991 20. Van Gijn, J: ”Subarachnoid Hemorrhage” in STROKE OCTET, Lancet, 339/8794, 653656. 1992. 21. Warlow, C: ”Secondary prevention of stroke” in STROKE OCTET, Lancet 339/8795,724727. 1992 22. Wade, DT: ”Strokee:rehabilitation and long-term care” in STROKE OCTET, Lancet 339/8796, pp.791-793. 1992.
43
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
44
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Diet untuk Hipertensi (DASH=Dietary Approach to Stop Hypertension) Siti Fatimah Muis, Etisa Murbawani
Pendahuluan Hipertensi atau tekanan darah tinggi bersama dengan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Cardiovascular Disease=CVD) merupakan penyebab kematian teratas di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi tak hanya terjadi pada golongan ekonomi tinggi tapi dapat terjadi pada semua golongan sosial ekonomi baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi/kejadian hipertensi meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun berkembang. Di Amerika Serikat, saat ini ada 50 juta penderita hipertensi atau 1 di antara 4 orang, dengan jumlah lebih tinggi pada kelompok African American. Selain jumlah penderita yang meningkat, terjadi pula pergeseran umur penderita ke arah yang lebih muda. Bila beberapa dekade yang lalu hipertensi dianggap sebagai penyakit para lansia, maka saat ini gambaran tersebut telah berubah. Di Indonesia, prevalensi hipertensi juga meningkat baik sebagai perubahan gaya hidup, termasuk di dalamnya pola makan sebagai dampak dari affluency maupun pengaruh globalisasi. Beberapa studi di Indonesia a.l. mendapatkan angka 41,9% untuk pulau Jawa, dengan rincian kota 39% dan desa 44,1% dari data SKRT 2004,1 serta ditemukan 37,3% pada kelompok usia 40 tahun dengan hipertensi tanpa pengobatan.2 Lebih memprihatinkan, di Jakarta Timur pada pekerja industri dengan umur 20 tahun ke atas, didapatkan 22,3% yang mengidap hipertensi.3 Penyebab kejadian hipertensi bersifat multifaktor, meliputi genetik, gangguan fungsi organ dan faktor lingkungan termasuk di dalamnya peran beberapa nutrient/zat gizi. Berkaitan dengan peran genetik, kita mengenal individu yang bersifat salt sensitive dan salt insensitive dengan lebih banyak African American yang sensitif terhadap garam dibanding Caucasian American. Studi pada tikus Dahl yang sensitif terhadap garam menunjukkan bahwa ada penurunan produksi NO yang bersifat vasodilatator yang diperkirakan karena gangguan aktifitas NOsynthase. 4 Hipertensi harus dikendalikan baik melalui pengobatan yang bersifat medikamentosa maupun non medikamentosa. Salah satu pendekatan non medikamentosa adalah pengelolaan diet atau makanan sehari-sehari sebagai upaya pengendalian hipertensi. Pada beberapa dekade terakhir terungkap bahwa pendekatan atau perubahan pola makan dalam arti pemilihan bahan makan sehari-hari, mampu mengendalikan ataupun menghentikan kemunculan hipertensi. Dalam hal yang berkaitan dengan makanan, berbagai bahan makanan ditengarai berperan terhadap kejadian hipertensi meliputi makro maupun mikro nutrien. baik secara langsung maupun tidak langsung. Nutrien tersebut adalah lemak jenuh, lemak trans, kolesterol, kalium kalsium dan natrium.
45
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Peran beberapa zat gizi Studi epidemiologi beberapa dekade yang lalu mendapatkan bahwa insidens hipertensi tertinggi ada di Jepang Utara dimana penduduknya mengkonsumsi natrium di atas 400 mmol/hari (=20-30 g NaCl/hari).5 Pada saat yang sama di Amerika Serikat asupan natrium berkisar 100-200mmol/hari dengan insidensi hipertensi yang moderat. Pada masyarakat tradisional, dimana penduduknya tidak menggunakan garam dalam makanan sehari-hari (Papua, New Guinea dan Eskimo) dengan sumber natrium hanya bersala dari bahan makanan alami dan berkisar 10-60 mmol/hari, kejadian hipertensi sangat rendah. Studi pada hewan coba menunjukkan bahwa peningkatan asupan natrium akan meningkatkan tekanan arterial yang akan kembali normal 6 bulan sesudah asupan natrium diturunkan.6 Studi pada individu yang sensitif terhadap natrium, asupan natrium sebesar 125-250 mmol/hari sudah menimbulkan hipertensi, sedang pada yang non sensitif, asupan sampai 300mmol/hari belum memberikan dampak kenaikan tekanan darah.5 Asupan natrium yang sangat tinggi yakni sekitar 800 mmol/ hari akan menyebabkan kenaikan tekanan darah pada kelompok yang sensitif maupun tak sensitif terhadap natrium. Selain natrium, kalium dan kalsium juga berasosiasi dengan tekanan darah. Asupan yang rendah dua nutrien tersebut pada kelompok individu yang salt sensitive akan mempotensiasi kesensitifan mereka terhadap garam hingga memunculkan kenaikan tekanan darah.4 Asupan kalium yang dianggap adekwat adalah 2.000 g/hari dan kalsium sebesar 500-1200 mg. Asupan kalium dan kalsium yang tinggi pada hewan coba mencegah kemunculan NaCl induced hypertension.4,6 Pada individu normotensi, peningkatan asupan kalium tidak berdampak terhadap tekanan darah. Peningkatan asupan kalium biasanya dilewatkan peningkatan asupan bahan makanan sumber kalium bukan suplementasi kalium anorganik yang pahit dan memberikan dampak rasa mual. Asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol dan hidrat arang yang berlebihan selama ini telah dipahami sebagai faktor risiko hipertensi lewat jalur dislipidemia yang kemudian berlanjut ke perubahan anatomi pembuluh darah maupun lewat jalur terjadinya obesitas. Obesitas berkorelasi dengan kemunculan berbagai senyawa yang diproduksi jaringan adiposa yang bersifat vasokonstriktor. Penurunan berat badan pada obes individu akan disertai penurunan tekanan darah. Natrium dapat berasal dari berbagai bahan makanan dan dari bahan yang ditemukan manusia untuk memberikan rasa enak pada makanan olahan yakni garam NaCl. Namun dengan berkembangnya teknologi pangan dan tuntutan untuk memperoleh makanan dengan citarasa tinggi, maka abad ke 20 natrium menjadi bagian bumbu/condiment dan sebagai zat aditif dalam proses pengolahan makanan. Zat aditif adalah senyawa yang dengan sengaja ditambahkan pada makanan olahan dengan berbagai tujuan. Seperti penyedap (monosodium glutamat), pengawet daging (natrium nitrit), skuestran (sodium tripolyphosphate) pengawet minuman (garam benzoate dengan natrium atau kalsium).
46
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada tahun 1988 SACKS melaporkan hasil studi adanya tekanan darah yang rendah pada vegetarian.7 Meta analisis terhadap hasil studi suplementasi asam lemak omega-3 sebesar 3 g/hari memberikan penurunan tekanan darah pada mereka yang menderita hipertensi tanpa pengobatan.8 Pada berbagai studi observasional, terlihat adanya dampak positif dalam bentuk penurunan risiko relatif terhadap kemunculan hipertensi pada asupan kalsium, magnesium, kalium dan serat yang cukup.9 Namun suplementasi yang diberikan secara berdiri sendiri tunggal atau ganda memberikan hasil yang tak konsisten.8,9 Studi The Multiple Risk Factors Intervention Trial (MRFIT) menunjukkan adanya asosiasi antara asupan protein dengan penurunan tekanan darah (22% vs 12 % energi berasal dari protein).10 Adanya inkonsistensi antara hasil studi epidemiologi dan uji klinik dihipotesiskan oleh karena interaksi berbagai nutrien di dalam satu atau beberapa bahan makanan yang dimakan secara bersama-sama yang mampu menurunkan tekanan darah dibandingkan efek dari satu atau beberapa jenis nutrien yang diberikan sebagai suplemen anorganik.
DASH diet Sebelum DASH diet di introduksi, di Amerika Serikat sudah ada common dietary prescription yang diberikan kepada penderita hipertensi secara umum yakni penurunan berat badan dan restriksi natrium. The Trials of Hypertension Prevention, Phase I (TOHP I)11 menilai efektifitas pedoman umum tersebut dengan mengumpulkan data selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 40,5% subyek pada kelompok kontrol menjadi hipertensi dibandingkan 18,9 % yang menjadi hipertensi pada kelompok yang mengikuti program penurunan berat badan. Pada kelompok restriksi natrium 22,4% menjadi hipertensi dibanding 32,9 % pada kelompok kontrol.10 Menyadari bahwa hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan tingginya prevalensi hipertensi, National Institute of Health (USA)12 pada tahun 1997 mengembangkan pendekatan pola makan dalam mengendalikan atau menurunkan prevalensi hipertensi berdasar hasil studi multisenter DASH diet,13 TOHPI11 dan uji klinik Appel.14 Pendekatan dietetik ini diharapkan dapat sejajar dengan rekomendasi diet untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, osteoporosis dan kanker yang sudah menjadi bagian dari promosi kesehatan yang dapat diterima masyarakat. Setelah melihat hasil DASH diet terhadap hipertensi, pada 1999 dilanjutkan dengan studi DASH sodium diet dengan beberapa kategori kandungan natrium. DASH diet ini kemudian menjadi rekomendasi pada 7th Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7).15 Sebelumnya JNC-6 hanya merekomendasi lifestyle modification berupa penurunan berat badan, aktifitas fisik, pengurangan natrium dalam makanan dan konsumsi alkohol yang moderat. Modifikasi gaya hidup (JNC-6) ditambah dengan DSH Diet (JNC-7) memberikan penurunan tekanan darah yang lebih besar. Komposisi yang dipilih dalam menyusun DASH diet adalah (a) peningkatan asupan buah, sayur, whole grain/serealia berkulit atau serealia yang diolah bukan
47
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dengan penggilingan, rendah lemak dari dairy products, (b) cukup kalsium, kalium dan magnesium, (c) rendah daging merah, gula/sweets, minuman bergula/beverages.15 Bila dirinci lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai para penyusun DASH diet ini adalah (a) asupan lemak jenuh tidak lebih dari 6% dari keseluruhan asupan energi, (b) natrium tak melebihi 2300 mg, (c) asupan lemak tak melebihi 27% energi total, (d) asupan hidrat arang tak melebihi 55% energi total. Tabel 1dan 2 memberikan gambaran bukti ilmiah yang dipakai sebagai dasar penyusunan DASH diet.16 US Department of Health and Human Service menyusun DASH diet dengan nilai 200 kkal dengan komposisi sebagai terlihat pada Tabel 3. Nampak bahwa pada DASH diet bersifat what to include bukan what to avoid. Di samping itu, pola ini ditujukan juga untuk melihat efek suatu pola makan yang kaya kalium, magnesium dan kalsium, bukan menilai hasil suplementasi satu nutrient. Baru pada studi lebih lanjut DASH diet ini di kombinasikan dengan restriksi natrium, hingga dikenal DASH diet dan DASH-Low Sodium dengan kategori kandungan natrium tinggi, menengah dan rendah. Tabel 3. DASH eating plan (2000 Kkal) Kelompok bahan makanan
Porsi harian anjuran DASH
Whole Grains/serealia berkul Sayu mayur Buah-buahan Hasil produk susu (rendah/tanpa lemak) Daging, ayam, ikan Kacang-kacangan, biji-bijian Minyak/lemak Jajanan manis (sweets) Kalsium dalam makanan Natrium
6-8 4-6 4-5 2-3 = 6 4-5/mg 2-3 =5/mg 1250 mg =2300 mg
Porsi yang dikonsumsi masyarakat
3,04 1.7
970 mg 000-3500 mg
Sumber: Department of Health and Human Service, 2006 & Reimer 2002
Hasil berbagai studi DASH diet Appel dkk melaporkan bahwa pada hipertensi ringan, DASH dapat menjadi single hypertensive medication.14 Dengan menggunakan 3 jenis diet (diet kontrol, diet tinggi sayur buah dan diet tinggi buah-sayur+ rendah lemak produk susu dengan semuanya mengandung kurang lebih 3000 mg natrium selama 8 mg, studi pada 459 orang dewasa mendapatkan bahwa diit kombinasi memberikan nilai terbaik bagi penurunan sistole maupun diastole.10 Selanjutnya studi dilanjutkan dengan DASH diet dengan 3 kategori kandungan natrium yaitu tinggi (3300 mg/hari), medium (2.400 mg/hari) dan rendah (1.500 mg/hari) pada 412 subyek selama 30 hari. Oleh Matterson.10 Hasilnya menunjukkan konsistensi hasil DASH diet yang original dalam menurunkan tekanan sistole dan diastole, serta ada penurunan lebih lanjut dengan pengurangan natrium dengan dampak yang lebih tinggi pada penurunan tekanan sistole.
48
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dengan perjalanan waktu para ahli dari American Heart Association (AHA), mengakui kemanfaatan DASH diet dalam penurunan risiko CVD lewat penurunan homosistein dan perbaikan profil lipid.17,18 Demikian pula para ahli osteoporosis menyetujui DASH diet karena di dalam komposisinya terdapat 1200 mg kalsium/ 2100 kkal, juga di apresiasi oleh para ahli onkologi, karena sejalan dengan anjuran diit untuk mencegah kanker yakni diet yang memasukan 5-10 serving buah dan sayur dalam sehari. Dikaitkan dengan penyakit ginjal, Dash diet tak dianjurkan pada individu dengan penyakit ginjal kronik dengan GFR kurang dari 60 ml/menit oleh karena tingginya protein, kalium dan fosfor dalam diit ini.19 Dalam hal batu ginjal, diit ini dapat menjadi potensial untuk pencegahan pembentukan batu ginjal karena komposisinya yang tinggi sayur-buah (inhibitor terhadap pembetukan batu kalsium) dan rendah protein hewaninatrium (protektif terhadap pembentukan batu oksalat) yang terungkap dari studi follow up selama 50 tahun yang menemukan 5.645 kasus batu ginjal baru pada subyek dengan berbagai pola makan. Bagi penderita diabetes melitus tipe 2 (DM), ada yang menganggap Dash diet kurang tepat karena kadar hidrat arang yang tinggi.10 Namun bila dilihat lebih lanjut, bentuk hidrat arang yang dianjurkan dalah non refined carbohydrate dengan kandungan seratnya (whole grain). Bagi penderita DM yang telah alami penurunan fungsi ginjal maka Dash diet tak dianjurkan.
DASH diet vs Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) Indonesia memiliki suatu pedoman tentang pola makan seimbang yang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang sehat dari berbagai tahapan kehidupan yang dikenal dengan PUGS.20 PUGS disusun pada tahun 1992 oleh para pakar gizi Indonesia dalam rangka menyempurnakan pesan gizi dalam bentuk Empat Sehat Lima Sempurna. Mengacu kepada pedoman ini yang disusun dalam 13 Pesan Dasar dengan ilustrasi Piramida gizi Seimbang atau Balanced Diet Pyramid. (Lampiran) 21 Penulis akan mengambil PUGS bagi golongan dewasa dengan nilai energi 2000 kkal dan 2500 kkal (Tabel A dan B). Pertama mengenai sumber hidrat arang, memang ada perbedaan yakni beras sebagai padanan grain bersifat rendah serat, sedangkan yang dianjurkan adalah whole grain dimana kulit ari gandum turut digiling menjadi whole wheat bread. Keadaan ini sulit dilaksanakan pada beras, karena kalau ingin memasukkan katulnya, maka tak ada yang mau makan nasi katul. Dalam hal sumber protein sebagai lauk di Indonesia, maka anjuran rendah daging merah tak sulit dilaksanakan, bahkan gantinya adalah tahu tempe dari golongan kacang-kacangan. Sumber lemak kita adalah minyak dan santan serta lemak pada ayam ataupun daging dibanding produk susu seperti keju, dan butter pada pola makan barat. Konsumsi lemak di Indonesia juga sangat tergantung strata ekonomi. Pada kelompok ekonomi terbatas, asupan lemak akan tinggi, namun pada golongan mampu dapat dipastikan tak banyak berbeda dengan masyarakat barat. Dalam sweet, maka cemilan/
49
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
jajanan/makanan kudapan kita yang serba manis hampir sama. Kita juga memiliki golongan nuts, seeds, dry beans dan peas, namun konsumsi kita pada padanan ini yakni kacang koro, kacang merah, kacang tolo, kacang bogor, kecipir dan kapri tak terlalu banyak dan lebih bersifat sebagai bagian dari cemilan. Pada kelompok vegetarian, misalnya masyarakat India, maka konsumsi nuts, seeds dan dry bean ini sangat tinggi karena dimasak bersama sayur mayur setiap harinya. Secara umum asupan protein kita sangat tergantung dari strata ekonomi. Pada kelompok mampu, asupan protein dapat tinggi, pada masayarakat marginal asupan protein dapat rendah. Anjuran untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah tidak akan sulit dilaksanakan, karena anjuran dalam PUGS (apabila dilaksanakan) kurang lebih sama dengan yang ada pada DASH diet. Namun perlu diingat bahwa kita biasanya hanya makan sayur dan buah di siang dan malam hari saja hingga untuk memenuhi DASH diet maupun PUGS kita harus mengkonsumsi 2 satuan buah dan sayur di siang hari. Susu sebagai sumber kalsium jarang dikonsumsi orang Indonesia dewasa, sehingga sumber kalsium dari makanan sehari-hari kita harus berasal dari golongan kacang-kacangan dan ikanudang kecil yang kita makan keseluruhan. Secara umum PUGS sudah memberikan panduan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan kita, tergantung apakah kita dapat dan mau menggunakan panduan itu atau tidak. Apabila seseorang memiliki penyakit tertentu seperti hipertensi, maka perlu modifikasi ringan. Selanjutnya perlu disadari bahwa pemilihan bahan makanan segar sangat penting baik dalam melaksanakan DASH diet maupun PUGS agar kandungan natrium dapat bersifat sedang-rendah. Mengapa? Adalah biasa di negara barat, masakan dibuat tidak terlalu asin dengan tersedianya table salt. Dengan demikian pengendalian penggunaan garam ada di tangan masing-masing individu. Lain keadaan di Indonesia, di mana makanan dimasak dengan rasa yang kurang lebih sama untuk semua orang/anggota keluarga. Variasi muncul berdasar daerah atau etnik yakni masakan Jawa Timur cenderung asin, sedangkan Jawa Tengah bersifat manis dan darah Sumatera dan Kalimantan serba pedas dan sebagainya. Mungkin kita akan dianggap tidak sopan bila kita makan di rumah sendiri atau orang lain dan meminta garam meja, yang dapat diartikan ibu atau si pemilik rumah bahwa masakan beliau hambar atau tak enak. Masalah lain yang muncul pada 3-4 dekade terakhir di Indonesia adalah munculnya berbagai produk olahan yang siap/cepat dan banyak mengandung natrium di dalamnya. Mungkin tak kita sadari bahwa konsumsi natrium kita cukup tinggi karena berasal dari garam dalam sayur dan sambal, penyedap dalam semua masakan dan berbagai saus (tomat, kecap) dan berbagai pengawet dalam bakso, mie, sosis dan teh, serta berbagai jus dalam kemasan. Walaupun di Indonesia belum ada penelitian berbasis population study yang dapat/akan mengungkapkan jumlah natrium dalam makanan kita sehari-hari (pada keluarga kaya, menengah maupun miskin), sudah saatnya kita yang memasuki usia menjelang lansia atau sudah lansia waspada terhadap jumlah natrium dalam makanan harian kita.
50
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penutup Salah satu pendekatan yang dipakai dalam pencegahan dan pengeloaan hipertensi merupakan modifikasi life style yang berkaitan dengan pola/susunan makan seharihari. Adalah benar dan sangat bijaksana apa yang dikatakan oleh Hippocrates kurang Lampiran Tabel 1 dan 2 Table 1. Effect of Dietary Factors and Dietary Patterns on BP: A Summary of the Evidence Hypothesized Effect Weight Sodium Clhoride (salt) Potassium Magnesium Calcium Alcohol Fat: Saturated Omega-3 Polyunsatured Fat Omega-6 Polyunsatured Fat Monounsatured Fat Protein: Total Protein: Vegetable Protein: Animal Fiber Cholesterol Dietary Patterns: Vegetarian Diets DASH Type Dietary Patterns
Direct Direct Inverse Inverse Inverse Direct Direct Inverse Inverse Inverse Uncertain Inverse Uncertain Inverse Direct Inverse Inverse
Evidence ++ ++ ++ +/+/++ +/++ +/+ + + +/+ +/++ ++
Key: +/- indicated limited or equivocal evidence; + suggestive evidence, typically from observational studies and some clinical trials; ++ persuasive evidence, typically from clinical trials. Source: Table2, p.305: Appel IJ, Brands MW, Daniels SR, Karania N, Elmer PJ, Sacks FM; American Heart Association. Dietary approaches to prevent and treat hypertension; a scientific statement from the American Heart Association. Hypertension, 2006; Feb; 47(2):296-308. Table 2. Effect of Lifestyle Modification to Manage Hypertension Recommendation
Average Systolic BP reduction
Weight reduction to maintain a BMI 18.5-24.9 Diet rich in fruits, vegetables and low-fat daily products with reduced saturated and total fat the DASH Eating Plan Intake of not >100 mEq/day (2.4 g sodium or 6 g sodium chloride) Aerobic activity, such as brisk walking for 30 min/day, most days of the week Most men: Not >2 drinks/day Women and lighter weight men: Not >1 drink/day
5-20 mmHg/10kg 8-14 mmHg 2-8 mmHg 4-9 mmHg
2-4 mmHg
*DASH--Dietary Approaches to Stop Hypertension. University of Washington Department of Medicine. Source: Appel IJ, et al. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. (N Engl J Med 1997; 336: 1117-1124). Sacks FM, et al Effects on blood pressure of reduced dietary sodium and the dietary approaches to stop hypertension (DASH) diet. (N Engl J Med 2001; 3443-10). JNC7 USDHHS, 2003.
51
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka 1.
Zamhir Setiawan. Prevalensi dan determinan hipertensi di Pulau Jawa. Jurnal Kesmas. 2004. Abstrak diunduh dari Portal Garuda Dikti www.digilib.ui.ac.id, 25 Maret 2011.
2.
Setati S, Sutrisna B. Prevalence of hypertension without anti-hypertensive medications and itsassociation with sociodemographic characteristics among 40 years and above adult population in Indonesia. Acta Med Indones. 2005; 37(1): 20-5.
3.
Dinie Zakiah. Faktor-faktor risiko yang berhubungandengan hipertensi dan hiperlipidemia sebagai factor risiko PJK diantara pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Diunduh lewat Portal garuda 23 Maret 2011.
4.
Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross C. Modern Nutrition in Health and Disease. 9th ed, vol 2. Lippincott Williams & Wilkins. 1998; 1217-9.
5.
Brody T. Nutritional Biochemistry. Academic Press. 1994; 503-72.
6.
Berdanier CD. Advanced Nutrition: Micronutrient. CRC Press. 1998; 152-72.
7.
Sacks FM, Kass EH. Low blood pressure in vegetarians: Effect of specific foods and nutrients. Am J Clin Nutr. 1988; 48 (supp): 795-800.
8.
Hermansen K. Diet, blood pressure and hypertension . Br J Nutr. 2000;83 (Suppl I):S113-S119.
9.
Sacks FM, Brown LE, Apple L, et al. Combination of potassium,calcium and magnesium supplements in hypertension. Hypertension. 1995; 26: 950-6.
10. Reimer RA. The DASH Diet: Implementation for people with diabetes. Can J Diab. 2002; 26 (4): 369-77. 11. Trials of Hypertension Prevention Collaborative Research Group. The effect of non pharmacologic intervention on blood pressure of persons with high normal level. Result of the Trials in Hypertension Prevention Phase I. JAMA. 1992; 262: 1213-20. 12. US Department of Health and Human Service. Your Guide to Lowering Your Blood Pressure with DASH Diet. Rockville MD: National Heart, Lung, and Blood Institute. National Institute of Health, 2006. 13. Sacks FM, Obarzanek E, Windhauser MM, et al. Rationale and Design of the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH). A multi center controlled feeding study of dietary pattern to lower blood pressure.Ann Epidemiol. 1995; 5: 108-18. 14. Apple LJ, Moore TJ, Obarzanek E, et al. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. N Engl J Med. 1997; 336: 1117-24. 15. Blumenthal JA, Babyak MA, Hinderliter A, Wathins LL, Craighead L, Poa-Hwa Lin. Effects of DASH Diet alone and in combination with exercise and weight loss on blood pressure and cardiovascular biomarkersin men and women with high blood pressure. The Encore Study. Arch Intern Med. 2010;170(2):126-35. Diunduh dari www.archiinternmed.com pada 6 Februari 2011.
52
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
16. Pujol T, Tucker MS. Disease of the cardiovascular system. In Nelms M, Sucker K, Long S: Nutrition Therapy and Pathophysiology. International Student Edition. Thomson & Wadsworth. 2007; 371-86. 17. Obarzanek E, Sacks FM, Vollmer WM, Bray GA, Miller III ER, Pao-Hwa Lin. Effects on blood lipids of blood pressure-lowering diet:the Diatery Approaches to Stop Hypertension (DASH) trial. Am J Clin Nutr. 2001; 74: 80-9. 18. Fung TT, Chiuve SE, McCullough MJ, Rexrode KM, Logroscino G, Hu FB. Adherence to a DASH-Style Diet and risk of coronary heart and stroke in women. Arch Intern Med. 2008; 168 (7): 713-20. 19. Taylor EN, Fung TT, Curhan GC. DASH Style Diet associates with reduced risk of kidney stones. J Am Soc Nephrol. 2009; 20: 2253-59. 20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Umum Gizi Seimbang. 1995. 21. Yayasan Institute DANONE. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. PT Gramedia. 2010; 45, 109, 110, 131.
53
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
54
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut Lestariningsih
Pada tahun 2010 populasi penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 400%, jauh lebih besar dibandingkan prediksi populasi balita. Prevalensi hipertensi pada usia >60 tahun sangat tinggi, bila disertai faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lain (misalnya obesitas, hipertrofi ventrikel kiri, kurangnya aktifitas fisik/ olahraga, hiperlipidemia, penyakit ginjal kronik dan diabetes) akan menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang diderita oleh orang lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi. TDS (Tekanan darah sistolik) akan terus meningkat seiring pertambahan usia, akan tetapi peningkatan TDD (Tekanan Darah Diastolik) seiring pertambahan usia hanya terjadi sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi (HST) dimana terjadi pada 2/3 pasien berusia 60 tahun, 3/4 pasien usia >75 tahun dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung dan penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar dibandingkan pada orang yang lebih muda. Pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut dengan TDS atau TDD yang tinggi telah menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Dari hasil penelitian yang terakhir, HYVET (2008), pada penderita populasi usia sangat lanjut yang berusia lebih dari 80 tahun, pengobatan hipertensi berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas. Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik (TDS) >140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) >90 mmHg. The joint National Committee on Prevention, detection,Evaluation, and treatment of High Blood pressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society of Hypertension guidelines subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi.
Klasifikasi dan definisi hipertensi pada usia lanjut Dalam rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan oleh The Seventh of Joint national Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) 2003, WHO-ISH 1999, British Hypertension
55
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Society 2006, European Society of Hypertension/ European Society of cardiology (ESH/ESC) 2007, definisi hipertensi sama utnuk semua golongan umur di atas 18 tahun. Pengobatan juga bukan berdasarkan penggolongan umur, melainkan berdasarkan tingkat tekanan darah dan adanya risiko kardiovaskular pada pasien. Tabel 1. Definisi Hipertensi dari JNC-7 Klasifikasi Normal Prehypertension Stage 1 Hypertension Stage 2 Hypertension Isolated Systolic Hypertension
TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg) <120 120-139 140-159 >160 <140
dan <80 atau 80-89 atau 90-99 atau >100 dan <90
Hipertensi sistolik terisolasi (HST) Risiko kardiovaskular akan meningkat secara progresif dan kontinyu seiring dengan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik. Angka risiko ini meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan 20/10 mmHg tekanan darah yang terjadi pada kisaran tekanan antara 115/75 mmHg sampai dengan 185/115 mmHg. Mereka yang tetap normotensi pada usia di atas 55 tahun tetap mempunyai risiko sebesar 90% untuk menderita hipertensi sepanjang hidupnya. HST didefinisikan sebagai TDS 140 mmHg dengan TDD 90 mmHg. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh anemia, hipertiroidisme, insufisiensi aorta, fistula arteriovena dan penyakit paget. Meskipun demikian, sebagian besar kasus diakibatkan oleh kehilangan elastisitas arteri karena proses penuaan dan akumulasi kolagen, kalsium arterial serta degradasi elastin pada arterial. Kekakuan aorta akan meningkatkan TDS dan pengurangan volume aorta, yang pada akhirnya menurunkan TDD. Pada usia lebih dari 50 tahun, tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lebih penting daripada tekanan diastolik. Semakin besar perbedaan TDS dan TDD atau tekanan nadi (pulse pressure), semakin besar risiko komplikasi kardiovaskular. Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan HST berkaitan dengan besarnya kerusakan yang terjadi pada organ target; jantung, otak dan ginjal. Pada usia lebih dari 50 tahun, tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lebih penting daripada tekanan diastolik
56
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pengaruh terhadap Morbididtas selain Kardiovaskular, stroke, fungsi kognitif dan demensia, diabetes melitus (DM), Penyakit ginjal kronis, Indeks massa tubuh (IMT).
Pengelolaan hipertensi pada usia lanjut Hipertensi pada usia lanjut sama seperti hipertensi pada usia lainya. Walaupun risiko terjadinya komplikasi lebih besar. Penurunan tekanan darah akan menurunkan risiko morbiditas maupun mortalitas maupun mortalitas akibat komplikasi kardiovaskular. Hasil-hasil dari penelitian besar yang telah dilakukan pada hipertensi sistolik dan diastolik menghasilkan penurunan risiko yang sama. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini, yang saat ini telah dianggap sebagai dasar pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Studi
N
SHEP (1998) Syst-Eur (1998) Syst-China (2000)
4736 4695 2394
TD awal 160-219/<90 160-219/<95 160-219/<95
Risiko relatif(diobati >< kontrol ) Stroke
CAD
CHF
CVD
0,67 0,58 0,62
0,73 0.74 0,73
0,45 0,71 -
0,68 0,69 0,75
N=Jumlah orang. TD=Tekanan darah SHEP=Systolic Hypertension in the Elderly Program. Syst-Eur=Systolic Hypertension in Europe Trial. Syst-China=Hypertension in the elderly: Chinese trial. CAD=Coronary artery disease. CHF=congestive heart Failure. CVD=Cardiovascular disease.
Pada kelompok usia diatas 80 tahun, penelitian HYVET (Hypertension in the very eldery trial), dengan diuretik dengan atau tanpa ACE Inhibitor mendapat hasil yang serupa. Pada penelitian ini didapatkan 30% penurunan stroke, penurunan 39% kematian karena stroke, penurunan 21% kematian karena semua penyebab, penurunan 23% karena penyebab kardiovaskular dan penurunan 64% kejadian gagal jantung. Penurunan tekanan darah pada kelompok usia sangat lanjut juga sangat bermanfaat. Target tekanan darah pada usia lanjut adalah Tekanan darah sistolik (TDS): <140 mmHg Tekanan darah diastolik (TDD): 85-90 mmHg (pada hipertensi diastolik) Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan organ target (KOT), tanpa memandang usia. Pada keadaan khusus seperti DM sasaran tekanan darah <140/90 mmHg. Sedangkan pada penyakit ginjal kronik (PGK), penyakit jantung koroner (PJK) tekanan darah ditargetkan lebih rendah yang dapat ditolerir. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa penurunan dicapai secara bertahap dan TDD tidak terlalu rendah karena dapat mengurangi perfusi jaringan. Pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup, berhenti merokok, mengurangi asupan natrium, olah raga atau aktifitas fisik, seperti pada tabel di bawah ini.
57
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 3. Modifikasi gaya hidup untuk tatalaksana hipertensi.
DASH : Dietary Approaches to Stop Hypertension * untuk semua reduksi risiko kardiovaskular, stop merokok # Efek implementasi modifikasi berikut bersifat dose and time dependent dan dapat lebih Maksimal pada bebarapa individu.
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE/BHS. 2006) merekomendasikan utnuk memulai intervensi medikamentosa antihipertensi bila:
58
z
Tekanan darah diatas 160/100 mmHg; atau
z
Hipertensi sistolik terisolasi (TDS >160 mmHg); atau
z
Tekanan darah >140 mmHg dan disertai: -
Risiko Kardiovascilar (+) ; atau
-
Kerusakan organ target (KOT); atau
-
Risiko kardiovaskular (dalam) 10 tahun minimal 20%.
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gambar 1. Diagram pengobatan hipertensi pada usia lanjut (sesuai Guideline NICE/BHS, 2006 ) Keterangan: A = ACE Inhibitor atau ARB (antagonis reseptor angiotensin II ) C = Calcium Channel Blocker D = Diuretik golongan thiazide
β blocker bukan lagi pilihan terapi awal pada >55 tahun, tetapi merupakan alternative pada pasien dengan intoleransi atau indikasi kontra terhadap ACE inhibitor. β blocker juga dianjurkan sebagai terapi tambahan pada penderita hipertensi yang telah diberikan CCB (Calcium Chanel Blocker), ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) atau ARB (Angiotensin receptor Blocker) dan diuretic, juga dianjurkan pada penyakit jantung kongestif, angina pektoris. Selain itu, terdapat pula rekomendasi lain mengenai pemberian antihipertensi pada populasi lanjut usia yaitu rekomendasi dari JNC-7 yang pada prinsipnya serupa dengan rekomendasi pengobatan terapi hipertensi pada populasi umum. Prinsip utama tersebut adalah: 1.
Mengobati HST.
2.
Terapi lini pertama: diuretic golongan thiazide
3.
Terapi lini kedua harus berdasarkan komorbiditas dan faktor risiko (tabel 3)
4.
Pasien dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan diastolik >100 mmHg biasanya akan membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah.
5.
Terapi sebaiknya dimulai dengan obat antihipertensi terpilih dalam dosis rendah, dititrasi perlahan untuk meminimalisasi efek samping seperti hipotensi ortostatik.
6.
Penurunan berat badan dan pengurangan konsumsi natrium telah terbukti sebagai salah satu intervensi hipertensi yang efektif pada populasi lanjut usia.
59
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
7.
Untuk memperbaiki ketaatan pasien terhadap regimen antihipertensi, sebaiknya pasien dilibatkan dengan perencanaan kontrol tekanan darah dan sasaran terapi. Hipertensi pada Usia Lanjut Harus Diobati Sasaran TD adalah <140/90 mmHg
Obat-obat antihipertensi spesifik -
Diuretik golongan Thiazide. Populasi lanjut usia rentan pada dehidrasi yang dipicu oleh thiazide, sehingga perlu pengawasan kejadian hipotensi ortostatik dan elektrolit.
-
β-Blockers (BB). Pemberian BB sebagai sebagai terapi awal sebaiknya terbatas pada penderita hipertensi dengan indikasi lain yang menyertainya (compelling indication) seperti infark miokard, beberapa jenis aritmia dan gagal jantung (dengan konsultasi oleh spesialis).
-
ACE Inhibitor dan ARB. Efek first dose hypotension sebaiknya selalu diwaspadai pada inisiai terapi hipertensi dengan ACEI pada penderita usia lanjut.
-
Calcium Channel Blockers (CCB). Pada penderita usia 55 tahun ke atas, obat pilihan pertama yang sebaiknya diberikan adalah dari golongan CCB atau diuretic thiazide.
Golongan antihipertensi lain Penggunaan penyekat reseptor alfa perifer, obat-obat yang bekerja di sentral dan obat golongan vasodilator pada populasi lanjut usia cukup terbatas karena efek sampingnya yang signifikan. Walaupun obat-obatan ini mempunyai efektifitas yang cukup tinggi dalam menurunkan tekanan darah, tidak ditemukan asosiasi antara obatobatan tersebut dengan reduksi angka mortalitas maupun morbiditas pasien-pasien penderita hipertensi.
Masalah khusus pada usia lanjut Ada berbagai masalah khusus yang sering dijumpai pada usia lanjut seperti di bawah ini: 1.
60
Usia lanjut sering mendapat obat-obatan jauh lebih banyak, sehingga kemungkinan interaksi harus selalu dipikirkan.
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
2.
Pendengaran dan penglihatan yang menurun sering mengakibatkan kesulitan dalam memahami instruksi dokter. Cara pemberian obat harus sederhana dan semudah mungkin.
3.
Adanya demensia atau gangguan fungsi kognitif perlu jadi pertimbangan untuk menentukan pilihan obat.
4.
Kemasan dan tempat obat yang diberikan apotik, kesulitan membuka tutup dan mengeluarkan obat mengakibatkan kepatuhan minum obat dapat terganggu.
5.
Kebanyakan usia lanjut mempunyai kesulitan keuangan, sehingga dalam pemilihan obat, pemeriksaan penunjang dan lain-lain harus mempertimbangkan hal ini.
6.
Komunikasi dengan pasien. Agar dokter dapat menyediakan waktu dalam mendengarkan keluhan seperti efek obat, segala kesulitan dan nasehat.
Daftar pustaka British Hypertension Society Guidelines. Guidelines for management of hypertension: report of the fourth working party of the british hypertension Society, 2004-BHS IV. J Hum Hypertens 2004; 18:139-185 Baruch L. Hypertension and the elderly: More than just blood pressure control. J Clin Hypertens 2004;6:249-255 Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh report of The joint nasional Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 report. JAMA.2003;289(19):2560-72. Dickerson LM, Gobson MV. Management of Hypertension in older persons. Am Fam Physician 2005;2005 71:469-76. Guidelines Committee.2003 European Society of hypertension-European Socitey of cardiology guidelines for the management of arterial hypertension, J Hypertens 2003;21:1011-1053. Hanson L, Zanchetti A, Carruthers SG et al. Effects of intensive blood-pressure lowering and low dose aspirin in patients with hypertension: principal results of the Hypertension Optimal treatment ( HOT) randomized trial. HOT study Group.Lancet, 1998;9118:17551762. Hanson L, Lindholm LH, Ekbom T,et al. Randomised trial of old and new antyhypretensive drugs in elderly patients:cardiovascular mortaliyti and mortalyti the Swedish Trial in Old patients with Hypertension @ study. Lancet 1999;9192:1751-1756. NICE clinical guideline 34. Hypertension: Management of hypertension in adults in primary care. National Institute for health and Clinical Excellence. June. 2006. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Hipertensi pada usia lanjut dalam Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi pada keadaan khusus. 2009.
61
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
62
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hipotensi Postural RA Tuty Kuswardhani
Pendahuluan Definisi Definisi hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah (hipotensi) karena perubahan posisi tubuh (postur) ketika seseorang bergerak ke posisi yang lebih vertikal dari duduk ke berdiri atau dari berbaring ke duduk atau berdiri. Hipotensi postural lebih umum pada orang berusia tua. Hipotensi bisa terjadi pada siapa saja tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua. Hipotensi postural biasanya ringan. Berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit. Kejadiannya terjadi paling banyak setelah berdiri. Namun, hipotensi postural dalam jangka panjang dapat menjadi petanda masalah yang lebih serius jika terjadi kehilangan kesadaran, bahkan sesaat. Memiliki hipotensi postural ringan, mungkin tidak membutuhkan pengobatan. Banyak orang kadang-kadang merasa pening atau pusing setelah berdiri dan biasanya tidak menimbulkan kekhawatiran. Perlakuan untuk kasus yang parah dari hipotensi postural tergantung pada apa yang menyebabkan episode penurunan dari tekanan darah.
Tanda dan gejala Gejala kardinal hipotensi adalah sakit kepala ringan atau pusing. Jika tekanan darah cukup rendah pingsan dan sering kejang akan terjadi.
Penyebab Penyebab rendahnya tekanan darah dapat terjadi karena perubahan hormonal, pelebaran pembuluh darah, efek samping obat, anemia, jantung dan gangguan sistem endokrin. Pengurangan volume darah atau hipovolemia adalah mekanisme yang paling umum menginduksi hipotensi. Hal ini akibat dari perdarahan, asupan cairan yang tidak mencukupi atau kehilangan cairan yang berlebihan dari diare atau muntah. Hipovolemia sering disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari diuretik. Dan obat lain yang dapat menghasilkan hipotensi dengan mekanisme yang berbeda. Aritmia sering mengakibatkan hipotensi. Beta Blockers dapat menyebabkan hipotensi baik dengan mekanisme memperlambat denyut jantung dan dengan
63
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
mengurangi kemampuan memompa otot jantung. Varietas meditasi dapat membuat efek hipotensi sementara. Vasodilatasi berlebihan atau resistensi penyempitan pembuluh darah (sebagian besar arterioles), menyebabkan hipotensi. Vasodilatasi berlebihan juga dapat akibat dari kejadian sepsis, asidosis atau obat-obatan, seperti persiapan nitrat, calcium channel blockers, angiotensin II receptor blockers, ACE Inhibitor. Selain obat penurun tekanan darah, obat psikiatri pada antidepresan khususnya, dapat memiliki efek samping hipotensi. Hipotensi postural disebut juga hipotensi ortostatik adalah bentuk umum tekanan darah rendah. Neurocardiogenic syncope adalah bentuk dysautonomia ditandai oleh penurunan tekanan darah yang tidak tepat sementara pada posisi tegak lurus. Neurocardiogenic syncope berhubungan dengan vasovagal syncope dalam hal keduanya muncul sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas saraf vagus dari sistem saraf parasimpatis.
Epidemiologi 1.
Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia.
2.
Prevalensi pada umur 65 tahun ±20%, pada umur 75 tahun ±30%.
3.
Pada orangtua yang sakit prevalensi hipotensi ortostatik meningkat >50%.
4.
Hampir tidak ada perbedaan insiden antara pria dan wanita.
5.
Hipotensi ortostatik berhubungan dengan kejadian jatuh, fraktur, TIA, sinkope dan infark myocard.
Pathogenesis Dapat disebabkan oleh: 1.
Penurunan keluaran sistem saraf simpatik atau aktivitas parasimpatis yang meningkat yang terjadi sebagai akibat dari cedera pada otak atau sumsum tulang belakang atau dari dysautonomia, kelainan intrinsik pada fungsi sistem otonom.
2.
Pada orang sehat, saat perubahan posisi dari posisi baring ke posisi tegak ±5001000 ml darah pindah meninggalkan rongga dada menuju pool cadangan vena di daerah perut dan kaki.
3.
Tekanan di atrium kanan turun, menyebabkan venous return ke jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun dengan akibat penurunan tekanan darah.
4.
Konsekuensi baroreseptor pada a.carotis dan aorta aktif, menyebabkan terjadinya peningkatan efek simpatis (vasokontriksi arteriole dan vena), disertai dengan menurunnya efek parasimpatik dari Central Nervous System. Reflek kompensasi
64
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ini mengembalikan cardiac output dan tekanan darah dengan meningkatkan denyut jantung dan tahanan vaskuler. 5.
Kehilangan respon tersebut pada perubahan posisi mengakibatkan terjadinyaJhipotensi ortostatik.
6.
Patofisiologi yang terjadi pada setiap orang bisa berbeda: a.
Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia, disertai hilangnya elastisitas pembuluh darah.
b.
Gangguan aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama.
c.
Hipovolemia dan atau hiponatremia, contohnya akibat pemberian diuretika.
d.
Pemakaian obat dengan efek hipotensif, antara lain thiazide dan diuretika, fenitiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, levodopa dan bromokriptin.
Table 1. Age-Related Change that can Affect Normal Blood Pressure Regulation Decreased baroreflex sensitivity Decreased α-1-adrenergic vasoconstrictor response to sympathetic stimuli Decreased renal salt and water conservation Increased Vascular stiffness Reduced left ventricular diastolic filling (The American Academy of Neurology and the Joint Consensus Committee of the American Autonomic Society, 1995)
Gejala klinis 1.
Simptomatik-Asimptomatik.
2.
Asimptomatik karena adanya otoregulasi sirkulasi serebral (pengaturan vasomotor)Jmengkompensasi penurunan tekanan darah.
3.
Simptomatik: dizziness (pusing), light headedness (rasa melayang), weakness, syncope, nausea, paracervical pain, low back pain, angina pectoris dan transient ischemic attacks.
4.
Pada penderita lansiaJmekanisme kompensasi tidak efektifJpenurunan kesadaran (confusion), disturbed speech, gangguan penglihatan, falls dan gangguan kognitif
Diagnosis Bagi kebanyakan orang dewasa, tekanan darah tersehat berada pada atau dibawah 115/75 mmHg. Penurunan yang kecil pada tekanan darah, bahkan sekecil 20 mmHg, dapat menyebabkan hipotensi yang bersifat sementara.
65
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pengukuran tekanan darah dan detak jantung sederhana sambil berbaring, duduk dan berdiri (dengan jeda dua menit di antara setiap perubahan posisi) dapat mengkonfirmasi adanya hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik diindikasikan jika ada penurunan 20 mmHg tekanan sistolik (dan penurunan 10 mmHg pada tekanan diastolik di beberapa fasilitas) dan peningkatan 20 kali per menit pada denyut jantung (1995, the American Academy of Neurology and the Joint Consensus Committee of the American Autonomic Society).
Evaluasi 1.
Evaluasi awal termasuk pengukuran tekanan darah dan denyut jantung setelah 5 menit pasien tidur terlentang dengan tenang, dan diukur lagi setelah 1 dan 3 menit setelah berdiri.
2.
Deteksi hipotensi ortostatik memerlukan pengukuran berulang di hari yang berbeda.
3.
Pengukuran dilakukan setelah sarapan, setelah minum obat, setelah makan siang dan sebelum tidur.
4.
Evaluasi neurocardiogenic syncope dilakukan dengan tes Tilt-Table.
5.
Pengujian Tilt-Table dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hipotensi postural. Pengujian Tilt-Table melibatkan penempatan pasien di atas meja dengan penyangga kaki. Meja dimiringkan ke atas dan tekanan darah dan denyut nadi diukur sementara gejala dicatat dalam berbagai posisi.
Management 1.
Farmakologi
2.
Non Farmakologi
Intervensi non farmakologi 1.
Umumnya penanganan dimulai dengan intervensi non farmakologi, bila gagal barulah dimulai dengan pemberian obat.
2.
Pada pasien hipotensi ortostatik akut oleh karena dehidrasiJterapi cairan pengganti.
3.
Pasien yang lama dirawat di rumah sakit atau inaktif sebaiknya disarankan untuk berdiri perlahan untuk mengurangi perpindahan darah ke ekstremitas bawah saat berubah posisi.
4.
Aktivitas yang dapat menurunkan venous return ke jantung, seperti tertawa, tegang dan berdiri terlalu lama sebaiknya dihindari terutama pada cuaca panas.
5.
Posisi kaki dorsofleksi sebelum berdiri tegak dapat meningkatkan venous return ke jantung, meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan tekanan darah.
66
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
6.
Physical counter maneuvers seperti menyilangkan kaki saat berdiriJkontraksi otot meningkatkan venous returnJpeningkatakn cardiac output dan tekanan darah.
7.
Pasien dengan gangguan otonom dan supine hypertension, meninggikan posisi kepala di tempat tidur 10-20 pada malam hari dapat menurunkan tekanan darah dan mempertahankan tekanan darah pagi hari saat berdiri.
Table 3 Nonpharmacologic Treatment Options for Orthostatic Hypotension Withdraw offending medication (either substitution or discontinuation) Rise slowly from supine to sitting to standing position Avoid straining, caughing, and prolonged standing in hot weather Cross legs while standing Squat, stooping forward Raise head of bed 10 to 20 degrees Small meals and coffee in the morning Elastic waist high stocking Increase salt and water intake Exercise, eg, swimming, recumbent, biking and rowing (Gupta V., Lipsitz L A., 2010)
Intervensi farmakologi Secara langsung terkait dengan kecepatan pada mana hipotensi diperbaiki. Mengatasi masalah yang mendasar (yaitu antibiotik untuk infeksi, stent atau CABG untuk infark, steroid untuk insufisiensi adrenalin dan lainnya) Derajat sedang (dan menunjukkan gejala kurang baik) dengan penatalaksanaan pada hipotensi termasuk: 1.
Mengontrol gula darah (80-150 oleh satu studi).
2.
MidodrinJagonis adrenergik. Dimulai dengan dosis 3x2,5 mg/hari dan dosis bisa ditingkatkan 25 mg/minggu sampai dosis maksimal 3x10 mg/hari. Terbaik diberikan sepagi mungkin dan dosis malam tidak diberikan lebih dari jam 6 malam. Kombinasi terapi fludrocortisone dan midodrine dosis rendah (efek sinergis) juga menguntungkan. Efek samping: supine hypertension, piloerection, pruritus dan paresthesia. Midodrine mempunyai kontraindikasi pada pasien dengan penyakit koroner, gagal jantung, retensi urine, thyrotoxicosis atau gagal ginjal akut.
3.
Methylxanthine caffeine: a.
Adenosine-receptor blocker (vasokonstriktor)J inhibisi adenosine J vasodilatasi
67
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
b.
Dimulai dengan dosis 200 -250 mg setiap pagi sehabis makan untuk hipotensi post prandial (setara dengan 2 cangkir kopi).
c.
Untuk mencegah tolerance dan insomnia, caffeine sebaiknya diberikan sekali pada pagi hari.
4.
Erythropoetin: efektif pada subgrup pasien dengan anemia dan disfungsi otonom.
Daftar pustaka Andrew G., 1993. Aging in the WHO-East-Asian-Region, Report on WHO-5-Country Community study of the Elderly. Anonim., Emerging Health Care-Associated Infections in the Geriatric Population http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2631705/pdf/11294721.pdf. (diakses: 2011, Maret 9). Anonim., http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=7671. Anonim., Hypotension. http://en.wikipedia.org/wiki/Hypotension (diakses: 2011, Maret 9). Anonim., Orthostatic hypotension http://en.wikipedia.org/wiki/Orthostatic_hypotension (diakses: 2011, Maret 9). Anonim Postural orthostatic tachycardia syndrome. http://en.wikipedia.org/wiki/ Postural_orthostatic_tachycardia_syndrome (diakses: 2011, Maret 9). ASGM, Australian Society of Geriatric Medicine. (2005). Position Statement. Birrer RB. (2004) Depression in Later Life A Diagnostic and Therapetic Challenge Am Fam Physician. 69: 2375-829. Delirium In Older People. no.13. Freeman, R. Neuogenik Ortostatic Hypotension. The New Englang Journal of Medicine, 2008; 358: 615-24. Forherby, Potter, Ortostatic hypotension and anti-hypertensive therapy in the elderly. Postgrad Medical Journal (1994) 70,878-881. Gupta V., Lipsitz L A., 2010, Orthostatic Hypotension in the Elderly: Diagnosis and Treatment. Beth Israel Deaconess Medical Center, Hebrew Senior Life and Harvard Medical School, Boston, Mass. Juwita, P. 2009. Imobilitas dan Toleransi Aktivitas Lansia. http://pusva.wordpress.com/ cztegory/health (accesed: 2011, Februari 16). Martono, H. H. 2009, Aspek Fisiologik dan Patologik Akibat Proses Menua. Dalam: Martono, H. H. Dan Pranaka, K. (eds). Buku AjarBoedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia) edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. The American Academy of Neurology and the Joint Consensus Committee of the American Autonomic Society., 1995.
68
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Patofisiologi Demensia Dodik Tugasworo
Pendahuluan Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah fungsi luhur. Otak manusia jauh berbeda dengan otak binatang, karena adanya korteks asosiasi yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer. Otak bekerja secara keseluruhannya dengan menggunakan fungsi dari seluruh bagian. Proses mental manusia merupakan sistem fungsional kompleks dan tidak dapat dialokasikan secara sempit menurut bagian otak terbatas, tetapi berlangsung melalui partisipasi semua struktur otak. Sehingga kerusakan pada sel otak yang diakibatkan oleh suatu keadaan atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan pada proses mental tersebut. Tanpa riwayat asessmen yang hati-hati, sindrom jangka pendek dari delirium (hampir timbul harian sampai mingguan) dapat dianggap demensia, karena keduanya memiliki gejala yang sama, serta rentang waktu yang sama. Beberapa penyakit mental, termasuk depresi dan psikosis, dapat memproduksi gejala yang harus dibedakan dari delirium maupun demensia. Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, penderita menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas (Gelder, et al. 2005). Keadaan mental dan masalah perilaku sering mempengaruhi orang yang memiliki demensia sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup, kehidupan sosial, dan kebutuhan untuk berinteraksi. Saat demensia menjadi bertambah buruk, penderita dapat melupakan dirinya sendiri dan menjadi lepas kendali, penderita tersebut dapat tergantung pada orang lain (Gelder, et al. 2005). Demensia adalah sebuah sindrom klinis dimana terjadi pengurangan dari fungsi intelektual dan memori yang menetap dalam tahap tertentu sehingga menyebabkan disfungsi pada kehidupan harian. Kehilangan kemampuan fungsional adalah ciri khas yang membedakan demensia dan MCI. Ciri khasnya adalah: -
Perjalanan penyakit yang memburuk secara bertahap.
-
Tidak ada gangguan kesadaran.
69
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Demensia dalam populasi geriatri dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: -
Demensia reversibel dan demensia parsial reversibel.
-
Demensia non reversibel.
Sangatlah penting untuk mengerti dan memahami patofisiologi demensia, sehingga kita dapat memberikan pengobatan secara paripurna. Namun demikian sampai saat ini patofisiologi demensia banyak yang masih kontroversial sehingga hal ini akan berpengaruh pada pengelolaan dan keberhasilan terapi. Beberapa klasifikasi berbeda-beda telah direkomendasikan untuk demensia nonreversibel. Guideline dari The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) untuk Alzheimer dan Demensia (Costa et al 1996) menyatakan ada empat kategori dasar, berdasarkan penelitian Katzman, Lasker dan Bernstein (1988), telah ditentukan seperti yang tertulis pada tabel 3. 1.
Penyakit degeneratif pada SSP.
2.
Gangguan pembuluh darah.
3.
Trauma.
4.
Infeksi.
AD dan demensia vaskular (multi infark) merupakan demensia yang paling sering terjadi pada populasi geriatri. Keduanya seringkali terdapat pada pasien yang sama (Snowden et al., 1997; Langa, Foster, dan Larson, 2004), untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologi keduanya.
Pembahasan Demensia reversibel Sangatlah penting untuk menemukan penyebab demensia yang dapat diobati dan potensial untuk reversibel, tetapi demensia jenis ini hanya sebagian kecil dari seluruh demensia. Akhir-akhir ini telah ditemukan penyebab demensia yang reversibel, tetapi ternyata tidak menjamin bahwa demensia yang reversibel tersebut akan membaik, setelah penyebab tersebut diobati. Tabel 1 menunjukkan penyebab-penyebab demensia. Gangguan-gangguan ini dapat dideteksi dengan anamnesis yang hati-hati, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium tertentu.
70
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 1. Penyebab potensial demensia reversibel Neoplasma Gangguan Metabolik Trauma Racun Alkohol Logam berat Racun organik Infeksi Virus, termasuk HIV
Gangguan Autoimmune Vasculitis di SSP, arteritis temporalis Disseminated lupus erythematous Multiple sclerosis Obat-obatan Gangguan nutrisi Gangguan psychiatric Depresi Gangguan lain (misal: normal pressure hydrocephalus)
Obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan abnormalitas pada fungsi kognitif (lihat tabel. 2) harus dihentikan sedini mungkin. Sebaiknya pada pemeriksaan pasien usia lanjut perlu ditanyakan apakah penderita mengkonsumsi alkohol yang berlebihan. Insiden konsumsi alkohol cukup bervariasi pada populasi berbeda tetapi mudah terlewatkan dan dapat menyebabkan demensia, delirium, depresi, jatuh dan komplikasi medis yang lain. Tabel 2. Obat-obatan yang dapat menyebabkan delerium dan demensia Analgetik Narkotik Non-narkotik Non steroid anti-inflamasi Antikolinergik/Antihistamin Antikonvulsan Antihipertensi Antipsikotik Antimikroba Antiparkinsons Alkohol
Kardiovaskuler Antiaritmia Digoxin H2 reseptor antagonis Psikotropik Antianxietas Antidepresan Sedative/hipnotik Muscle relaxants Steroid
Beberapa karakteristik klinis dapat membantu dalam diagnosis, termasuk keluhan yang menonjol berupa penurunan daya ingat, defisit kognitif pada hal-hal kecil tertentu (patchy) dan inkonsisten pada pemeriksaan serta seringnya jawaban “tidak tahu” yang sering diucapkan. Tes neurofisiologis yang teliti perlu dilakukan oleh psikoneurolog atau profesional perawatan kesehatan lain yang ahli dalam hal ini. Kadangkala setelah menyelesaikan penilaian, ketidakpastian sering muncul terkait dengan adanya depresi yang disertai defisit neurologis. Pada keadaan-keadaan seperti ini, pemberian antidepresan dapat membantu diagnosis dan mungkin dapat membantu keseluruhan fungsional dan kualitas hidup. Pasien-pasien usia lanjut yang menderita gangguan kognitif reversibel dengan disertai depresi, nampak memiliki risiko tinggi untuk demensia pada tahun-tahun berikutnya sehingga evaluasi fungsi kognitif harus diikuti secara ketat dari waktu ke waktu.
71
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Demensia nonreversibel Alzheimer Disease (AD) Alzheimer’s Disease (AD) merupakan bentuk demensia yang paling umum, merupakan gangguan otak progresif mempengaruhi daerah otak yang mengontrol memori dan fungsi kognitif dan secara bertahap akan menghancurkan memori seseorang dan kemampuan untuk belajar, memberi alasan, berkomunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penyakit Alzheimer mempunyai karakteristik hilangnya neuron dan sinaps pada korteks serebri dan beberapa wilayah subkortek. Hal ini mengakibatkan gross atrofi pada wilayah yang terkena, termasuk degenerasi pada lobus temporalis dan lobus parietalis dan bagian dari kortek frontalis dan girus singulata. AD secara garis besar dibagi menjadi sporadik atau onset akhir (90-95% Alzheimer) dan onset awal (dijumpai pada usia <65 tahun, 5-10% AD). Salah satu tanda AD adalah produksi berlebihan dari 4-kDa peptida, amyloid β-peptida dan terbentuknya plak. AD mencakup sejumlah fenotip, meluas dari kasus dengan Aβ42 dan sejumlah besar spesies tidak larut Aβ40. Pemecahan protein membran neuron protein prekursor amyloid (PPA) akan menghasilkan 2 produk, Aβ40 dan Aβ42. Bukti kuat peranan Aβ dalam patogenesis AD biasanya diketahui dari observasi dalam keluarga atau onset awal AD, adanya mutasi PPA atau enzim yang membelah akan menghasilkan produksi berlebihan Aβ42 dan terjadinya progresi yang cepat dari penyakit. Onset akhir AD dikarakteristikkan oleh adanya akumulasi Aβ dan pembentukan plak. Tanda kedua Alzheimer adalah adanya neurofibrillary tangles disebabkan hiperfosforilasi protein “Tau”. Tabel 3. Penyebab demensia nonreversibel Penyakit degenerative Alzheimer Demensia Lewy Bodies Parkinsons Penyakit Pick Huntington disease Progresive supranuclear palsy Demensia vaskular Multi infark dimensia Penyakit Biswanger Emboli serebral Arteritis Sekunder Anoksia Traumatik Craniocerebral injury Demensia pugilistika Infeksi AIDS Infeksi opportunistik Creutzfeldt-Jakob disease Progresive multifocal leukoencephalopathy Postencephalitic dementia
72
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penyakit Alzheimer diketahui merupakan penyakit karena kesalahan pelipatan protein (proteopati) yang ditandai adanya akumulasi dari amyloid beta abnormal dan protein tau di otak. Plak terbentuk dari peptide kecil yang terdiri dari 39-43 asam amino yang disebut beta-amyloid. Beta amiloid merupakan suatu fragmen dari protein yang lebih besar yang disebut protein precursor amiloid (PPA), suatu protein transmembran yang menembus membran neuron. Protein ini penting dalam pertumbuhan neuron, ketahanan dan perbaikan post cedera. Pada penyakit Alzheimer suatu proses yang tidak dikenal menyebabkan APP terbagi menjadi fragmen yang lebih kecil oleh suatu enzim melalui suatu proses proteolisis, salah satu dari fragmen ini meningkatkan fibril menjadi beta amiloid yang membentuk suatu endapan diluar neuron yang disebut plak senilis. Plak amiloid ekstraseluler dan kekusutan neurofibrin intraseluler adalah penjelasan untuk lesi AD. Banyak data genetik dan biokimia yang mendukung hipotesis akumulasi dan agregasi amyloid-β (Aβ) sebagai awal dan pusat peristiwa dalam patogenesis AD. Ab berasal dari rangkaian proses proteolisis protein prekursor amyloid (amyloid precursor protein=APP) oleh β- dan γ-secretase. Mutasi yang berhubungan dengan AD familial onset awal (familial AD = FAD) diwariskan secara dominan dan ditemukan pada gen APP atau pada gen presenilin 1 (PSEN1) dan PSEN2, produk yang, bersama dengan nicastrin, APH1, dan PSENEN2, merupakan komponen-komponen penting kompleks protein yang bertanggungjawab dalam aktifitas γ-secretase. Ciri umum kebanyakan mutasi FAD adalah mereka meningkatkan pembentukan peptida Aβ atau meningkatkan proporsi Aβ42 rantai panjang, yang bertendensi lebih tinggi untuk beragregasi dan lebih toksik dibanding Ab40 yang memiliki rantai pendek. Karena pemecahan g-secretase pada beberapa substrat penting untuk fungsi sinaptik dan pertahanan neuronal, hipotesis mengenai hilang fungsi pada mutasi PSEN sebagai patogenesis AD juga telah diajukan. Adanya hubungan genetik dengan AD telah teridentifikasi, dengan ditemukannya alel apolipoprotein E epsilon4 (apo E-E4) pada kromosom 19. Risiko relatif terjadi pada AD yang berhubungan dengan satu atau lebih salinan dari alel orang kulit putih. Pada penelitian, apoE-E4 ternyata bukan merupakan risiko untuk terjadinya AD pada orang-orang Afro-amerika dan Hispanik. Akan tetapi suatu penelitian pada mereka yang berumur sampai 90 tahun telah menunjukkan, bahwa risiko kumulatif untuk AD, yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan jenis kelamin, ternyata pada Afroamerika adalah empat kali lebih tinggi dan dua kali lebih tinggi untuk hispanik dibanding orang kulit putih (Tang et al., 1998). Pada penelitian telah diketahui adanyanya satu atau lebih alel apo E-E4 tidak sensitif juga tidak spesifik untuk AD, sehingga ada ketidaksetujuan untuk menjadikan ApoE-E4 sebagai pemeriksaan rutin untuk AD (Small et al., 1997; Mayeux et al., 1998). Untuk itu dilakukannya skrining rutin, bahkan untuk populasi risiko tinggi, secara umum tidak dianjurkan. FAD genetik dan model tikus telah memberi penerangan dalam patogenesis AD onset awal, namun mayoritas kasus AD justru baru muncul di usia lanjut. Alel ε4 gen
73
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
apolipoprotein E (APOE) adalah risiko mayor untuk AD onset lambat (late-onset AD = LOAD). Alel ini, yang ditemukan tahun 1993 oleh Strittmatter, Roses, dan kawankawan, telah diakui dalam berbagai studi genetik yang berkaitan. Meskipun suatu gen dalam kromosom 19 telah lebih dulu dikaitkan dengan risiko LOAD, namun observasi tentang APOE yang berikatan dengan Aβ dalam cairan serebrospinal mendorong dilakukannya tes bagi APOE sebagai kandidat yang mungkin. APOE adalah suatu apolipoprotein mayor dan pembawa kolesterol di dalam otak. Pada manusia, gen APOE muncul dalam tiga alel polimorfik berbeda (ε2, ε3, dan ε4), yang membentuk enam variasi genotip (ε2/ε2, ε2/ε3, ε2/ε4, ε3/ε3, ε3/ε4, dan ε4/ε4). ε3 adalah alel terbanyak (77%), dan ε2 paling jarang (8%). Frekuensi alel ε4 sekitar 15% pada populasi umum, namun adalah sekitar 40% pada pasien AD. Individu dengan satu alel ε4 adalah tiga atau empat kali lebih sering mendapat AD dibandingkan individu tanpa alel ε4. Odds ratio ini lebih besar dibanding odds ratio untuk alel risiko AD lain, yang rata-rata <1.5. Efek alel ε4 sebagai risiko AD menjadi maksimal pada usia 60-70 tahun, dan prevalensi alel ε4 pada pasien AD yaitu >50%. Menariknya, alel ε2 telah dihubungkan dengan proteksi melawan LOAD, dibandingkan dengan alel ε3. Alel ε4 juga merupakan faktor risiko aterosklerosis, perburukan HIV, dan gangguangangguan neurologis tambahan termasuk cerebral amyloid angiopathy (CAA) dan CAA yang berhubungan dengan perdarahan serebral, tauophaty dan demensia dengan lewy bodies, parkinson dan sklerosis multipel. Penelitian-penelitian ini menyimpulkan bahwa alel ε4 mungkin berhubungan dengan percepatan proses neurodegenerasi pada perkembangan beberapa penyakit neurodegeneratif. APOE adalah protein 34 kDa yang mengangkut kolesterol dan lipid-lipid lain di dalam plasma dan sistem saraf pusat dengan cara berikatan dengan reseptor APOE permukaan sel. Konsentrasi tertingginya terdapat dalam hati dan otak. Di perifer, APOE mengangkut lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), suatu subkelas lipoprotein densitas tinggi, dan kilomikron hasil sintesis sistem pencernaan. Di dalam otak, APOE disintesis terutama oleh astrosit dan sebagian kecil oleh microglia. Partikel lipoprotein APOE dari cairan serebrospinal manusia memiliki ukuran dan densitas sama dengan HDL plasma, berbentuk bulat dan mengandung core lipid: kolesterol teresterifikasi. Menariknya, calon partikel-partikel lipoprotein APOE yang disekresi cultured astrocytes awalnya berbentuk cakram dan mengandung sedikit lipid. Diduga partikel lipoprotein APOE yang disekresi astrosit tersebut menerima inti kolesterol teresterifikasi sebelum mencapai cairan serebrospinal. Kemungkinan lain yaitu partikel lipoprotein APOE yang diproduksi astrosit otak berbeda dengan partikel yang disekresi oleh cultured astrocytes. Agar APOE dapat stabil dalam otak, ia harus berikatan dengan lipid, ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan bermakna kadar APOE otak saat gen Abca 1, suatu produk yang mengikat lipid pada APOE dihilangkan. Tiga isoform APOE (APOE2, APOE3, dan APOE4) dibedakan melalui satu asam amino. Pada kebanyakan jalur patogenik AD yang dikemukakan, APOE4 mengurangi proteksi atau memperbesar toksisitas jika dibandingkan dengan APOE2 dan APOE3. Di dalam otak, partikel lipoprotein APOE diproduksi terutama oleh astrosit, dan berfungsi
74
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
mengantar kolesterol dan lipid-lipid esensial lainnya untuk neuron-neuron lewat bagianbagian kelompok reseptor lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein receptors=LDLR). Meskipun mekanisme yang mendasari sifat patogenik APOE4 dalam AD masih belum dipahami seluruhnya, beberapa jalur telah diidentifikasi secara in vitro dan in vivo. Fungsi utama APOE di dalam otak adalah untuk mengangkut kolesterol, terutama dari astrosit menuju neuron. Kolesterol adalah komponen esensial membran dan sarung mielin yang penting bagi integritas dan fungsi neuron. Pengurangan sintesis dan kebutuhan kolesterol yang besar dalam neuron otak manusia dewasa menandakan bahwa transportasi aktif kolesterol dibutuhkan untuk mendukung fungsi dan perbaikan sinaps. Kolesterol yang berhubungan dengan partikel lipoprotein-APOE yang disekresi astrosit adalah penting dalam pembentukan sinaps matur in vitro, melalui mekanisme yang membutuhkan reseptor APOE fungsional. Menariknya, hubungan antara metabolisme kolesterol dan risiko AD telah diajukan. Pada manusia, penelitian tentang penggunaan statin, yang menghambat sintesis kolesterol, dihubungkan dengan penurunan prevalensi AD yang signifikan; namun begitu, beberapa studi retrospektif baru-baru ini tidak mendukung kesimpulan itu. Karena statin juga memiliki efek pleiotropik lainnya, termasuk pengaturan ekspresi gen dan prenylasi serta isoprenylasi protein, efek spesifik statin terhadap patologi AD pada berbagai model sistem kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis dan patologis yang bervariasi, misalnya efisiensi aliran darah ke otak dan munculnya penyakit-penyakit lain misalnya hipertensi, diabetes, dan hiperkolesterolemia. Di tingkat seluler, efek kolesterol dalam pengolahan amyloidogenik APP menjadi Aβ masih kontroversial. Kolesterol dan statin jelas memodulasi proses APP in vitro dan in vivo. Banyak efek kolesterol dalam pengolahan APP yang berhubungan dengan peran penting kolesterol dalam rangkaian lipid, dimana APP diproses oleh β- dan γ-secretase. Tingkat kolesterol di dalam otak AD lebih rendah dibanding pada otak normal. Menariknya, mencit yang memiliki APOE4 memiliki konsentrasi kolesterol otak lebih rendah meskipun tingkat kolesterol perifernya meningkat. Temuan ini menguatkan pernyataan bahwa metabolisme lipoprotein-APOE di otak lebih sedikit dibanding di plasma. Meskipun perbedaan fungsi pasti tiga isoform APOE dalam metabolisme kolesterol otak masih belum jelas, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa APOE4 mungkin kurang efisien dibanding APOE3 untuk mengangkut kolesterol otak. APOE4 juga kurang efisien dibanding APOE3 dalam meningkatkan pengeluaran kolesterol dari neuron dan astrosit. Dengan menggunakan astrosit yang berasal dari penggantian APOE target pada mencit, terlihat bahwa beberapa APOE3 dibandingkan dengan APOE4 dibutuhkan untuk membentuk partikel lipid dengan ukuran tertentu. Ini menggambarkan bahwa APOE3-expressing astrocytes dapat menyediakan kolesterol yang lebih ke neuron daripada APOE4-expressing astrocytes. Selain observasi yang menarik ini, peran perbedaan APOE isoform dalam metabolisme kolesterol otak membutuhkan investigasi lebih jauh. Perbedaan struktur diantara APOE isoform yang menentukan lipid dan spesifitas receptor-binding mereka di otak dapat
75
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
menerangkan perbedaan mereka dalam memodulasi metabolisme kolesterol otak. Penting untuk dicatat bahwa mungkin terdapat mekanisme transport kolesterol yang dimediasi LRP1 di otak yang independen terhadap APOE, karena defisiensi LRP1 di otak tapi bukan defisiensi APOE menyebabkan level kolesterol otak menurun. Ligand LRP1 lainnya seperti lipoprotein lipase juga dapat berperan. Kemungkinan lain, LRP1 dapat menjadi sensor kolesterol yang mempengaruhi sintesis kolesterol dan/atau transport intraseluler. Di samping kolesterol, APOE memediasi transport lipid otak lainnya, beberapa tidak diproduksi dalam astrosit. Sebagai contoh, sulfatide, lipid yang disintesis oligodendrosit yang penting untuk neuron tulang belakang dan integritas pembungkus myelin, secara aktif ditransport oleh mekanisme APOE dan LRP1-dependent. Mungkin bahwa partikel lipoprotein-APOE dimodifikasi oleh myelin-associated lipid sebelum ditransport ke dalam neuron. Menariknya, sulfatide adalah biomarker potensial untuk diagnosis AD dimana levelnya menurun pada otak AD. Susunan Aβ, khususnya oligomer-oligomer Aβ, sangat toksik untuk neuron. Oligomer Aβ42 sintetik menghambat viabilitas neuron 10 kali lipat lebih banyak dibanding fibril Aβ42 dan 40 kali lipat lebih banyak dibanding peptida yang tidak teragregasi. APOE4 lebih menghambat neurotoksisitas Aβ42 yang dipengaruhi-oligomer dibanding APOE3. Dimer Aβ dari otak AD manusia dan dodecamer Aβ (juga dikenal sebagai Aβ*56) dari otak tikus Tg2576 menghambat potensiasi jangka panjang (LTP) dan memori pada model hewan, tetapi tidak diketahui apakah toksisitas ini diatur lebih lanjut oleh APOE. Baru-baru ini diketahui bahwa agregat APOE4 dan Aβ (agregasinya dipicu oleh penghambatan neprilysin) berperan sinergis dalam memicu neurodegenerasi otak tikus. Karena neurodegenerasi tidak ditemukan pada beberapa model tikus amiloid yang mengekspresikan APOE4 manusia, masih belum jelas mengapa akumulasi Aβ yang dipicu oleh penghambatan neprilysin dapat menyebabkan neurodegenerasi padahal akumulasi Aβ yang dipicu oleh produksi mutan APP yang berlebihan tidak mengakibatkan hal itu. Penelitian mengenai peran penting APP solubel dan domain APP intraseluler (APP intracellular domain = AICD), yang lebih terlihat pada mencit yang berlebihan mengekspresikan APP, mungkin dapat menjelaskan perbedaan ini. Terdapat perdebatan berkaitan dengan peranan Aβ versus protein tau pada AD. Percobaan pada tikus AD membutuhkan 2 atau lebih mutasi untuk menghasilkan semua gambaran fisik AD (plaque Aβ dan tau tangle), sampai saat ini belum diketahui mengenai hubungan antara plaque Aβ dan tau tangle. Tikus percobaan dengan ekspresi APP yang berlebih ternyata tidak membentuk neurofibrillary tangle dan lebih menyerupai gangguan memori yang berhubungan dengan usia daripada AD. Beberapa model tau mengekspresikan amyloid dan berkembang menjadi problem memori parah yang berhubungan dengan AD. Sejauh ini semua usaha membangun penatalaksanaan untuk AD diarahkan untuk melemahkan plaque Aβ. Tikus percobaan berdasarkan ekspresi berlebih Aβ dapat berguna dalam membuat strategi untuk membatasi
76
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pembentukan plaque Aβ, tapi penelitian yang dilakukan masih terbatas/inkomplit untuk AD. PPA dan PPA/PS1 tikus percobaan mutan membentuk deposisi amyloid pada usia muda, tapi gagal membentuk neurofibrillary tangle yang merupakan tanda yang penting dalam AD. Atrofi neuritik ditemukan pada beberapa tikus transgenik, akan tetapi dari 1 lusin tikus percobaan ternyata hanya 1 yang dilaporkan kehilangan karakteristik neuron, hal ini akan mempengaruhi strategi penatalaksanaan AD. Perkembangan strategi terapi diarahkan pada patologi tau akan membutuhkan identifikasi daerah fosforilasi yang dihubungkan dengan agregasi tau dan pembentukan filamen dan kinase dan fosfatase spesifik yang terlibat. Hiperfosforilasi protein tau yang berhubungan dengan mikrotubulus (MAPT; juga dikenal sebagai tau) bersifat toksik untuk neuron dan merupakan komponen utama rangkaian serat neuron. Tau sangat penting dalam disfungsi neuron yang dipicu oleh Aβ dan eksitotoksin: mengurangi blokade tau endogen terhadap gangguan kognitif yang dipicu Aβ pada PDGF-APPSw.Ind model tikus. Ekspresi berlebihan transgenik APOE4 dalam neuron (bukan dalam astrosit) meningkatkan fosforilasi tau pada mencit, menunjukkan efek spesifik neuron APOE4 pada fosforilasi tau. Hubungan patofisiologi jalur ini masih belum jelas, sebab APOE secara umum diproduksi oleh astrosit dan mikroglia, bukan neuron. Bagaimanapun, telah dilaporkan adanya ekspresi APOE dalam neuron setelah cedera. Meskipun APOE tidak diekspresikan di neuron hippokampus pada keadaan normal, cedera neuronal yang dipengaruhi oleh cainic acid meregulasi ekspresi APOE di dalam neuron. Dengan begitu, kemungkinan ekspresi APOE abnormal di dalam neuron otak AD yang cedera memicu hiperfosforilasi tau. Pertanyaan lain yang harus dijawab adalah bagaimana APOE dan tau, yang normalnya dipisahkan oleh plasma atau organel membran, dapat bersentuhan. Hipotesis yang diajukan misalnya bahwa fragmen badan-terminal-C APOE, yang ditemukan pada otak AD manusia dan model tikus AD yang neuronnya mengekspresikan transgen APOE4, memasuki sitosol dan berinteraksi langsung dengan tau. Hipotesis lain, isoform APOE mungkin mengatur siklus signalling APOE yang diperantarai reseptor yang kemudian dapat memodifikasi fungsi tau kinase dan fosfatase. Wilayah ikatan-reseptor dan ikatan-lipid fragmen APOE4 bekerja bersama menyebabkan disfungsi mitokondrial dan neurotoksisitas. Dengan menggunakan garis sel neuronal asli, terlihat bahwa wilayah ikatan-reseptor fragmen badan-terminal-C APOE4 dibutuhkan untuk pergi dari jalur sekretorik, dan wilayah ikatan-lipid menengahi interaksi dengan mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Keterkaitan in vivo jalur toksik APOE4 ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Sementara itu etiologi onset akhir AD sampai saat ini belum banyak dimengerti, ada penelitian yang mengatakan bahwa kolesterol adalah bagian penting dalam perkembangan dan progresi penyakit. Apolipoprotein E (Apo E) adalah salah satu Apo utama di plasma dan merupakan protein pembawa kolesterol yang penting di otak. Identifikasi gen mengkode varian ApoE4 (alel APOE º4) sebagai faktor risiko
77
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
yang signifikan pada AD onset akhir merupakan bukti adanya peranan kolesterol dalam patogenesis AD. Kenaikan nilai kolesterol akan meningkatkan Aβ dalam sel dan binatang percobaan, dimana obat seperti statin yang kerjanya menghambat sintesis kolesterol akan menurunkan nilai Aβ. Statin akan menghambat 3-hydroxy-3methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reduktase yang mengawali sintesis lipid kolesterol dan isoprenoid. Kolesterol dibutuhkan untuk membuat membrane sel microdomain sebagaimana rakit lipid. PPA, β-sekretase, γ-sekretase complex dan sfingomyelinase netral (N-SMase) terdapat pada rakit lipid yang kaya akan kolesterol dan sfingomyelin (SM). Mutasi genetik yang terjadi pada PPA atau presenilins (bagian dari γ-sekretase complex) akan meningkatkan produksi Aβ42. Studi terbaru menyarankan Aβ40 menghambat HMG-CoA reduktase sementara Aβ42 mengaktifkan N-SMase dan meningkatkan produksi seramid, yang akan mempercepat proses neurodegeneratif. Bagaimanapun, belum diketahui secara pasti apa yang meregulasi pemecahan Aβ42 versus Aβ40 dan juga rasio Aβ42 hingga Aβ40 dapat diturunkan seperti yang terjadi pada pelemahan HMG-CoA reduktase dan N-SMase. Percobaan prospektif yang mengevaluasi terapi statin ternyata tidak menunujukkan terjadinya peningkatan fungsi kognitif pada pasien Alzheimer. Juga belum diketahui apakah perbedaan genetik seperti adanya alel APOE º4 akan mempengaruhi keluaran klinis. Studi terbaru telah menunjukkan ekspresi mRNA secretor proinflamator fosfolyphase A2 (sPLA2) grup IIA (IIA) diregulasi pada otak Alzheimer dibandingkan dengan otak lansia non-demensia dan juga ditemukan sPLA2 IIA astrosit imunoreaktif pada hipokampus Alzheimer yang dihubungkan dengan plque Aβ. Sejumlah studi menunjukkan adanya peningkatan peroksidase lipid pada AD yang mana hal ini merupakan bukti kuat mengenai peranan kerusakan oksidatif. Studi terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah hidroksinonenal (HNE) dan akrolein pada jaringan otak dari pasien dengan gangguan kognitif ringan dan AD dini, hal ini menginidikasikan peroksidasi lipid terdapat pada patogenesis awal AD. Akrolein, merupakan elektrofil terkuat diantara semua αβ-unsaturated aldehid, yang bereaksi dengan DNA dasar termasuk guanine, adenosine, sitosin dan timidin untuk membentuk adduct siklik, eksosiklik utama adduct adalah akrolein-deoksiguanosin. Peningkatan jumlah akrolein-deoksiguanosin adduct ditunjukkan baru-baru ini dalam jaringan otak pasien Alzheimer. ROS juga berperan dalam deposisi amiloid pada Alzheimer sebagai kondisi oksidasi menyebabkan protein cross-linking dan agregasi peptide Aβ, dan juga berkontribusi pada agregasi protein tau. Agregasi Aβ sudah ditunjukkan untuk menginduksi akumulasi ROS, yang dapat membentuk siklik atau kerusakan oksidatif yang diprakarsai sendiri. Pasien AD dan gangguan kognitif ringan juga menunjukkan sistem pertahanan antioksidan yang rendah. Pada percobaan tikus berdasarkan mutasi pada AD familial (bentuk yang jarang) ternyata tidak menyerupai bentuk sporadik. Lebih jauh lagi, sebagian besar hewan percobaan tidak menunjukkan neurodegenerasi yang luas pada pasien AD. Vaksin amiloid AN-1792 efektif membersihkan plak dan meningkatkan memori pada hewan
78
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
percobaan sementara percobaan fase 2 ditinggalkan setelah beberapa subjek terjadi meningoensefalitis, inflamasi otak yang potensial menjadi fatal. Apakah pengobatan ini (AN-1792) lebih sesuai dengan bentuk familial dibandingkan sporadik? Ketiga penelitian tikus transgenic (protein prekursor amiloid/PSI/tau) meningkatkan kemungkinan pendekatan terapi berdasarkan multi-antibody (contohnya, satu melawan Aβ dan lainnya melawan tau) dapat menunjukkan keuntungan klinis yang paling signifikan untuk pengobatan AD. Masalahnya adalah bagaimana pasien akan merespon kombinasi pengobatan tanpa menyebabkan komplikasi klinis. Faktor risiko lain untuk AD, termasuk riwayat cedera kepala sebelumnya, jenis kelamin wanita, tingkat pendidikan yang rendah dan genetik masih dalam penelitian. Faktor protektif yang mungkin, termasuk penggunaan estrogen, antioksidan dan NSAID. Signifikansi klinis dari efek-efek protektif tersebut bagaimanapun juga, tetap terbukti.
Demensia Vaskular Demensia vaskular, terutama disebabkan oleh infark multipel (demensia multiinfark), biasanya terjadi pada populasi geriatri. Demensia multi infark dapat terjadi secara sendiri atau kombinasi dengan gangguan lain yang menyebabkan demensia (Zekry et al, 2002). Penelitian autopsi menunjukkan bahwa penyakit serebrovaskular dapat memainkan peran penting dalam terjadinya dan tingkat keparahan dari gejalagejala AD (Snowdown et al., 1997). Demensia multi-infark terjadi ketika seorang pasien mempunyai stroke kortikal dan subkortikal yang rekuren. Banyak dari stroke ini yang tidak menunjukkan adanya defisit neurologis fokal yang permanen atau bukti terjadinya stroke pada gambaran computed tomography (CT). Sekarang dengan adanya Magnetic Resonance Imaging (MRI) bisa lebih sensitif dalam mendeteksi infark kecil. Pada tabel 3 mengidentifikasi karakteristik pasien yang diduga memiliki demensia multi infark dan membandingkan karakteristik klinis dari demensia degeneratif primer dan demensia multi infark. Sebuah ciri khusus demensia multi infark adalah perburukan atau kemunduran dari fungsi kognitif, seperti yang diilustrasikan pada gambar 1. Bentuk lain dari bentuk vaskular demensia telah dijelaskan, dinamakan demensia senil dari tipe Binswanger, yang sulit dibedakan secara klinis dengan demensia multi infark. Semakin penting untuk mendiferensiasikan demensia vaskular dengan demensia yang lain, karena pasien dengan dimensia vaskular biasanya dapat membaik dengan pengobatan agresif untuk hipertensinya dan faktor risiko kardiovaskular lain (Forette et al., 2002; Murray et al., 2002), dimana pemberian pengobatan farmakologis yang lebih baru untuk AD, tidak membantu pasien dengan demensia vaskular. Adanya fungsi kognitif yang terganggu akibat penyakit vaskular disebut Rockwood (1997) sebagai gangguan kognitif vaskular yang dipengaruhi oleh faktor risiko vaskular. Gangguan kognitif ini dapat menjadi awal dari terjadinya demensia vaskular, sehingga dapat dicegah dari kemunduran lebih lanjut. Demensia vaskular termasuk demensia yang dapat dicegah, sehingga sangat penting mengetahui faktor risiko dan faktorfaktor lain yang mempengaruhinya.
79
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai gangguan kognitif dan demensia pasca stroke. Zhu dkk (1998) dalam penelitiannya mengatakan bahwa stroke selain berhubungan dengan disability (ketidakmampuan) juga berhubungan dengan perkembangan demensia. Tipe stroke silent merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya gangguan kognitif. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa stroke juga berhubungan dengan terjadinya gangguan kognitif tanpa adanya demensia. Pasien stroke iskemik yang dirawat mempunyai risiko paling sedikit lima kali untuk terjadinya demensia. Mekanisme yang mendasari hubungan tersebut ada beberapa. Pertama stroke secara langsung atau sebagian merupakan penyebab utama demensia, yang secara umum diklasifikasikan sebagai demensia multi infark atau demensia vaskular. Kedua adanya stroke dapat memacu onset terjadinya demensia Alzheimer’s. Pada akhirnya lesi vaskular pada otak termasuk perubahan pada substansi alba, lesi degenerasi Alzheimer’s dan usia sendiri berpengaruh pada perkembangan dari demensia. Kuller dkk (1998) mengatakan bahwa hubungan antara penyakit vaskular dan demensia telah berkembang dengan peningkatan penggunaan MRI dan CT, yang menunjukkan bahwa patologi vaskular subklinik di otak seperti infark silent dan perubahan substansia alba kemungkinan merupakan penyebab vaskular yang dihubungkan dengan penurunan kognitif dan demensia. Pohjasvaara dkk (1998) mengatakan bahwa faktor risiko demensia yang dihubungkan dengan stroke belum diketahui secara lengkap, berbagai faktor gambaran stroke (dysphasia, sindrom stroke dominan), karakteristik penderita (tingkat pendidikan) dan penyakit kardiovaskular yang mendahului berperan terhadap risiko tersebut. Pohjasvaara dkk (1997) dalam penelitian lainnya mengatakan bahwa penurunan kognitif dan demensia sering terjadi pada pasien stroke iskemik dan frekuensinya meningkat dengan meningkatnya umur. Hasil penelitian Pohjasvaara didapatkan penurunan fungsi kognitif yang terjadi 3 bulan pasca stroke adalah 56,7% untuk paling sedikit 1 kategori, 31,8% untuk penurunan 2 atau 3 kategori, dan penurunan lebih dari 4 kategori ada 26,8%. Gangguan kognitif vaskular dipengaruhi oleh faktor risiko vaskular, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pencegahan. Dari penelitian Desmond dkk (1993) dikatakan bahwa faktor risiko spesifik penyakit serebrovaskular berhubungan dengan disfungsi kognitif. Dari analisa regresi logistik didapatkan antara lain bahwa diabetes visuospasial dan hiperkolesterolemi berhubungan kuat dengan disfungsi memori. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa stroke menimbulkan gangguan fungsi kognitif dari yang sangat ringan sampai dengan yang berat, atau sampai keadaan demensia. Untuk melihat adanya gangguan fungsi kognitif dapat diperiksa dengan Tes Mini Mental (TMM) atau MMSE (Mini-Mental State Examination), di mana dapat ditemukan skor yang menurun. Sedang untuk keadaan demensia, harus ditegakkan dengan
80
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
kriteria demensia dari DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV) dari American Psychiatric Association tahun 1994.
Penutup Belum ada jawaban yang mudah untuk kompleksitas terjadinya demensia. Apakah bentuk Alzheimer familiar dan sporadik sudah jelas? Apakah lapangan penelitian salah jalan dalam mempelajari bentuk familial dan tidak memberi perhatian lebih pada bentuk sporadik? Apakah hewan percobaan cukup baik untuk mendapatkan jawaban yang kongkrit? APOE4 adalah faktor risiko yang kuat untuk LOAD. Penelitian telah mengidentifikasi jalur multipel yang dapat menjelaskan patogenik alami APOE4. Ini termasuk produksi Aβ, klirens Aβ, fibrilisasi Aβ, pembentukan rangkaian, homeostasis kolesterol, plastisitas dan perbaikan sinaps, dan toksisitas neuron. Untuk itulah maka harus diidentifikasi jalur mana yang paling relevan dalam patogenesis Demensia yang mempresentasikan target dengan efikasi yang dapat diidentifikasi untuk terapi demensia. Pengertian yang besar tentang perbedaan ekspresi dan fungsi APOE isoform sudah difasilitasi oleh hewan coba baru, termasuk human APOE isoform TR mice dan tikus yang mengekspresikan APOE manusia pada APOEknockout background. Ekspresi APOE isoform yang dapat diinduksi pada hewan yang sudah tua harus diklarifikasi lebih jauh mengenai peran APOE isoform pada penuaan otak. Lebih jauh lagi, hubungan antara kolesterol yang dimediasi APOE otak dan metabolisme lipid dan patologi tau dan Aβ yang dimediasi APOE masih harus dilakukan penelitian in vivo. Demikian juga hubungan fungsional antara APOE isoform dan reseptor APOE multipel masih perlu dilakukan investigasi lebih mendalam.
81
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
82
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Demensia Kris Pranarka
Pendahuluan Abad ke 20 ditandai peningkatan populasi lanjut usia yang bermakna, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara yang sedang berkembang. Misalnya di Inggris, populasi lanjut usia mencapai hampir 17% dibanding hanya 5% di akhir abad ke 19. WHO memprediksikan populasi lanjut usia dari sepuluh negara di Timur Tengah (Aljazair, Bahrain, Mesir, Irak, Israel, Kuwait, Lebanon, Lybia, Saudi Arabia dan Syria) akan melampaui 326 juta pada tahun 2050, suatu peningkatan dari 6,2% pada tahun 2005 menjadi 17,1% pada tahun 2050.1 Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, dengan pelayanan kesehatan yang semakin maju, juga mengalami transisi demografi dari struktur penduduk muda ke struktur penduduk tua. WHO memprediksi, Indonesia akan beranjak dari peringkat ke sepuluh pada tahun 1980 menjadi peringkat ke enam pada tahun 2020 (WHO, 1993). Misbach, dkk. (1996, tidak dipublikasikan) dalam penelitian secara prospektif dari sejumlah 1.458 kasus di Kabupaten dan Kotamadia Bogor menemukan demensia sebanyak 0,94%. Dari 4,2 juta jumlah penduduk di daerah tersebut terdapat 42.000 penderita demensia. Jika penelitian ini dianggap mewakili gambaran Indonesia secara keseluruhan, maka dari jumlah penduduk 220 juta saat itu, akan ditemukan sekitar 2,2 juta penduduk yang menderita demensia.2 Demensia adalah suatu sindroma, dimana terjadi gangguan fungsi kognitif sedemikian sehingga mengganggu kemampuan penderita untuk melanjutkan perannya di masyarakat (Phillip, PJH. 2011). Usia lanjut adalah faktor risiko utama terjadinya demensia, dari 5% pada penderita diatas 60 tahun meningkat menjadi 20% pada mereka diatas usia 80 tahun. Dari berbagai tipe demensia, demensia tipe Alzheimer mencapai 60% diikuti demensia vaskular ± 20% dan tipe-tipe campuran serta macam-macam lain sisanya.2
Penatalaksanaan Penatalaksanaan demensia dimulai dengan asesmen menyeluruh penderita meliputi anamnesa (allo), pemeriksaan fisik, tes mini mental, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
83
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Asesmen antara lain berusaha menentukan tipe dari demensia, menyingkirkan adanya depresi dan delirium dan faktor-faktor risiko yang dapat dikoreksi serta adanya ko-morbid.4 Penderita demensia tidak kebal dari macam-macam penyakit yang lain, yang dapat menambah gangguan fungsi yang terjadi. Sebaliknya demensia juga dapat mengaburkan keluhan penyakit ko-morbid, bahkan tumpang tindih dengan gejala penyakit yang lain. Menurut Hope dan Pitt, 4 pilar penatalaksanaan demensia adalah:1 D
: Demensia, obati penyebab yang dapat diobati.
I
: Illness, obati penyakit-penyakit penyerta.
P
: Problem list, atasi semua problem yang menonjol.
S
: Support the supporters; berikan dukungan pada yang merumat.
Sejauh ini, tidak ada tata cara pengobatan yang baku untuk demensia. Tujuan utama tatalaksana demensia adalah mengobati penyebab yang dapat dikoreksi dan memberikan dukungan dan kenyamanan bagi penderita dan care giver. Penanganan harus secara terpadu dengan tim multi disiplin, dan terdiri dari terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Lingkup pengobatan membutuhkan pengetahuan dan pengalaman tentang demensia (penyakit Alzheimer), meliputi penggunaan obat-obat kolinergik dan obatobat lain untuk meningkatkan fungsi kognitif, pengelolaan depresi dan gangguan tingkah laku serta gejala-gejala psikologik dari demensia.4 Behavioural and Psychological Symptoms of Demensia (BPSD) meliputi antara lain jalan mondar-mandir dan mengembara, sikap agresif baik dengan kata-kata maupun perbuatan, teriak-teriak, waham, halusinasi serta gangguan perilaku seksual. Pendekatan farmakologis dan non farmakologis bertujuan untuk:5,6 a.
Mempertahankan kualitas hidup dengan memanfaatkan kemampuan yang ada secara optimal.
b.
Menghambat progresifitas penyakit.
c.
Mengobati gangguan lain yang menyertai demensia.
d.
Membantu keluarga dengan memberikan informasi cara perawatan yang tepat dan menghadapi keadaan penderita secara realistis.
Penatalaksanaan Non Farmakologik Banyak yang dapat dikerjakan untuk meningkatkan derajat kesehatan, fungsi dan kualitas hidup dari penderita Alzheimer serta keluarga yang merawat.
84
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Di bawah ini beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menghadapi penderita dan keluarganya:
1. Tentukan kondisi subyektif perjalanan penyakit penderita Pengelolaan yang efektif untuk penderita tergantung dari pemahaman manifestasi klinik yang terjadi antara lain perubahan kognitif, gangguan fungsi, adanya gangguan psikopatologik, penyakit-penyakit komorbid, kebutuhan obat-obatan dan disabilitas yang terjadi. Penderita Alzheimer secara bertahap akan kehilangan fungsi kognitifnya tetapi tidak semua kemampuan dan ketrampilan menurun secara serentak. Sedapat mungkin penderita harus diikut sertakan dalam pengelolaan penyakitnya. Hubungan yang baik dengan yang merawat dan tersedianya layanan kesehatan yang memadai, akan menahan laju penyakit dan meningkatkan kesehatan penderita. Reaksi terhadap demensia yang diderita, dapat tampak dari beberapa tahapan sikap penderita: a.
Merasakan ada yang tidak beres dalam dirinya.
b.
Penyangkalan, bukan saya.
c.
Marah, sedih dan malu: mengapa harus saya ... ?
d.
Mencoba menyesuaikan.
e.
Menerima apa yang terjadi.
f.
Tidak menyadari lagi keadaannya.
Tidak semua penderita mengalami tahap-tahap ini secara berurutan. Tujuannya adalah untuk membantu penderita mengenali kemampuan yang masih ada, berusaha mengatasi kekurangannya dan mencoba menerima ketergantungan yang makin bertambah.
2. Pendekatan pada keluarga/yang merawat Tidak ada saran yang benar-benar memuaskan untuk cara merawat penderita Alzheimer. Tetapi yang sama sekali tidak dibenarkan adalah membiarkan keluarga menghadapi dan mengerjakan semuanya sendiri. Upaya perawatan akan menjadi kurang efektif, melelahkan bahkan akan mengganggu kesehatan yang merawat. Mungkin ada beberapa kendala dalam keluarga, misalnya: a.
Kurang memahami apa yang menimpa penderita dan perjalanan penyakit.
b.
Terdapat konflik dalam keluarga yang dapat mengganggu kerjasama dalam merawat penderita.
c.
Ada beban lain yang juga membutuhkan perhatian, misalnya ada anggota keluarga lain sakit, masalah sosial ekonomi dan lain-lain.
85
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Di bawah ini beberapa hal praktis yang dapat dikerjakan bersama-sama keluarga, pengasuh dan penderita bila status demensianya masih memungkinkan:2
Program harian penderita z
Kegiatan harian teratur dan sistematis, yang meliputi latihan fisik yang dapat memacu aktifitas fisik dan otak yang baik (brain-gym).
z
Asupan gizi yang berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah dicerna, penyajian yang menarik dan praktis.
z
Mencegah/mengelola faktor resiko yang dapat memberatkan penyakitnya, misalnya hipertensi, gangguan vaskuler, diabetes, dan merokok.
z
Melaksanakan hobi dan aktifitas sosial sesuai dengan kemampuannya
z
Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan dan Asosiasi).
z
Tingkatkan aktifitas di siang hari, tempatkan di ruangan yang mendapatkan cahaya cukup.
Orientasi z
Pasien diingatkan akan waktu dan tempat.
z
Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi.
z
Pemberian stimulasi melalui latihan atau permainan, misalnya permainan monopoli, kartu, scrable, mengisi teka-teki silang.
z
Buatlah lingkungan yang familier, aman dan tenang, hindarkan keadaan yang membingungkan yang menimbulkan stres. Berikan keleluasaan bergerak.
Keluarga dan pengasuh z
Memberikan informasi yang benar mengenai penyakit penderita pada keluarga dan pengasuh.
z
Membuat rencana pola asuh/perawatan penderita dengan melibatkan seluruh anggota keluarga dan pengasuhnya.
z
Kesejahteraan keluarga dan pengasuhnya perlu diperhatikan.
z
Penderita demensia akan kehilangan hak dalam hukum sehingga perlu perwalian.
Penatalaksanaan farmakologik Pada reversible dementia ditujukan untuk pengobatan kausal, misalnya pada hipotiroid, defisiensi Vit. B12, intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik
86
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada demensia vaskular terapi ditujukan untuk mengontrol faktor-faktor vaskular dan simptomatis untuk substitusi neurotransmitter yang berkurang. Walaupun tidak dapat disembuhkan, demensia vaskular dapat dihentikan progresifitas penyakitnya dengan pengobatan terhadap faktor resiko. Pada demensia alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghambat progresifitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Akhir-akhir ini diperoleh kemajuan antara lain tentang peran genetik, patofisiologi dan perjalanan penyakit. Biarpun masih tergolong dini, pengelolaan terhadap demensia cepat berkembang dengan kemajuan di bidang diagnosis, pengobatan farmakologik maupun non-farmakologik. Kemajemukan dari penyakit Alzheimer merupakan pemacu untuk munculnya obatobatan baru. Harus dibedakan antara obat-obat yang memperbaiki keluhan penderita misalnya golongan inhibitor kolinesterase dan yang mempengaruhi perjalanan penyakit antara lain dengan cara menghambat laju jalannya penyakit, misalnya golongan antioksidan. Sekitar 20 tahun belakangan ini diperoleh beberapa kemajuan pada pengobatan penyakit demensia, biarpun obat-obatan ini masih terbatas khasiatnya. Diharapkan akan diikuti datangnya obat-obat baru dengan terutama berorientasi pada patofisiologi dari penyakit ini. Obat-obat untuk penyakit demensia yang ada saat ini dapat dibagi: 1.
Obat-obat dengan pendekatan etiologik.
2.
Obat-obat dengan pendekatan simptomatik.
Ad. 1. Obat-obat dengan pendekatan etiologik a.
Golongan obat-obat anti-inflamasi Penggunaan obat-obat anti-inflamasi pada penyakit Alzheimer didasarkan pada penemuan adanya aktifasi proses inflamasi pada otak penderita Alzheimer yang dapat berakibat degenerasi neuron. Dari studi epidemiologik tampak mereka yang mendapat terapi NSAID jangka panjang mempunyai resiko lebih kecil untuk menderita penyakit Alzheimer. Bersamaan dengan plak senilis dan kekusutan neurofibril didapatkan juga tandatanda peradangan. Karena sel-sel syaraf merupakan sel yang bersifat post-mitotik, dan tidak dapat membelah lagi, maka neuron yang mati karena proses radang ini tidak dapat berfungsi lagi. Terdapat juga data-data yang mendukung aktifasi imunologik berlebihan pada penyakit Alzheimer dengan produksi sitokin, interleukin 1 dan interleukin 6 yang meningkatkan sintesa dari protein amiloid.
87
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
b.
Golongan obat terapi pengganti hormon, khususnya estrogen didasarkan pada pengamatan hasil yang lebih baik pada wanita-wanita yang menggunakan terapi pengganti hormon dan sekaligus dalam pengobatan dengan obat-obatan kolinergik. Hasil penelitian menunjukkan estrogen dapat menggeser metabolisme protein amiloid menjadi jalur metabolisme yang non-amiloid dan mencegah oksidasi dari radikal bebas. Juga tampak dari penelitian, prevalensi penyakit Alzheimer makin meningkat pada wanita-wanita dengan defisiensi estrogen. Tetapi penelitian yang terakhir menyimpulkan, estrogen tidak bermanfaat untuk terapi demensia dan tidak dibenarkan penggunaannya.
c.
Golongan obat neuroprotektif Keterbatasan terapi obat-obat kolinergik mungkin berkaitan dengan matinya selsel neuron. Penghambat ion kalsium (calcium channel blocker) mungkin mempunyai daya protektif terhadap sel neuron dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel yang dapat berakibat aktifasi enzim yang merusak sel. Beberapa penelitian dengan memakai nimodipine menunjukkan hasil menghambat laju progresifitas penyakit Alzheimer.
d.
Golongan obat-obat neurotropik Golongan neurotropik adalah kelompok peptida yang merangsang pertumbuhan dan memelihara kehidupan sel-sel syaraf. NGF (Nerve Growth Factor) ini meningkatkan daya hidup sel-sel syarat kolinergik. Obat ini dapat menghambat proses kematian sel otak dan karenanya menghambat laju penyakit. Kesulitan teknik cara pemberian obat-obat ini antara lain merupakan kendala pada pemakaiannya. Contoh obat golongan ini adalah Propentofyllin. Ada juga golongan obat-obat neurotropik yang dikaitkan dengan sekelompok obat yang strukturnya sesuai dengan piracetam dan dilaporkan dapat meningkatkan fungsi kognitif. Cara kerja obat ini belum jelas benar.
e.
Golongan obat-obat anti protein amiloid Sejauh ini tidak ada pengobatan atau pencegahan yang memuaskan untuk penyakit Alzheimer. Perhatian ditujukan untuk mengurangi penyebab kelainan patologik yang utama ialah plak senilis serta kekusutan neurofibril. Sifat neurotoksik dari amiloid sudah diketahui secara luas, terutama A4 amiloid. Di antara obat yang diberikan adalah yang menghambat kerja enzim proteolitik yang memecah prekursor protein amiloid (APP) secara berlebihan untuk mencegah pembentukan dan penimbunannya sedini mungkin. Contoh obat ini antara lain rifampicin.
88
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
f.
Golongan obat-obat berbasis pengetahuan genetik Pengetahuan tentang penyakit Alzheimer dari segi genetik mendapat kemajuan pesat dengan ditemukannya APO E4 pada penderita Alzheimer yang antara lain menyebabkan afinitas berlebihan sel-sel neuron terhadap protein amiloid. Adanya APO E4 ini meningkatkan resiko penyakit Alzheimer dan mungkin memegang peranan terhadap waktu terjadinya dan progresifitas dari penyakit. Obat-obat berbasis pengetahuan genetik ini masih terus dikembangkan.
g.
Golongan obat-obat antioksidan10 Pemberian obat-obat golongan antioksidan didasarkan pada teori bahwa radikal bebas terlibat pada perusakan sel-sel syaraf dan aktifasi sel-sel radang. Sesuai strategi pengobatan penyakit Alzheimer, selain diberikan obat-obat yang dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti golongan obat-obat kolinergik, juga diberikan obat-obat yang dapat menahan laju penyakitnya. Neuron pada penderita Alzheimer mungkin lebih peka terhadap stres oksidatif dengan meningkatnya aktifitas monoaminooksidase. Radikal bebas sebagai produk dari metabolisme yang sifatnya oksidatif menyebabkan terjadinya peroksidase lemak berlebihan dan degenerasi neuron otak. Monoaminoksidase inhibitor dapat mencegah terjadinya radikal bebas dan menjaga keutuhan neuron. Contoh dari inhibitor monoaminoksidase ini misalnya moclobemide menunjukkan kasiat tambahan selain sebagai anti depresif juga meningkatkan fungsi kognitif. Contoh lain dari inhibitor monoaminoksidase yang juga banyak dipakai adalah selegilene. Alpha-tocopherol (Vit. E) juga dapat mengurangi kerusakan oksidatif dan mencegah terjadinya peroksidase lemak, dengan dosis 800-2000 IU, diberikan 2 X sehari. Golongan ko-enzim Q juga mempunyai daya menghambat peroksidase lemak dan berfungsi sebagai anti-oksidan. Ekstrak daun Ginkgobiloba juga dikenal sebagai antioksidan dan potensial dan dianjurkan sebagai terapi alternatif pada penyakit Alzheimer.
Ad. 2. Obat-obat Kolinergik Obat-obat ini berdasarkan teori bahwa metabolisme asetilkolin memegang peran penting dalam proses memori. Kemunduran daya ingat dan fungsi kognitif lainnya, berhubungan dengan degenerasi dari neuron yang mempunyai sifat kolinergik. Obat-obat golongan kolinergik ini antara lain: a.
Obat-obat yang membantu pembentukan asetilkolin, contohnya lecitin. Sayang pada penelitian, obat-obat ini tidak banyak manfaatnya.
89
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
b.
Obat-obat yang memacu pengeluaran asetilkolin, contohnya golongan aminopiridin. Obat-obat ini juga tidak jelas manfaatnya.
c.
Obat-obat agonis asetilkolin misalnya arekolin dan nikotin. Nikotin mempunyai daya mempercepat pemahaman dan ingatan serta meningkatkan perhatian. Sayang kerja obat-obat ini terlalu pendek serta kurang menembus sawar darah otak.
d.
Obat-obat inhibitor kolin-esterase mulai populer sekitar tahun 1970 dipelopori oleh physostigmin, yang cukup aman dan dapat menembus sawar darah otak serta dalam sediaan oral. Obat-obat kolinergik lainnya mempunyai kerja yang lebih panjang dan sifat-sifat lebih baik misalnya donepecil, rivastigmine, galantamine dan golongan nemantine. Sekitar dua-tiga bulan sudah terlihat manfaatnya memperbaiki fungsi kognitif dan kondisi umum dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pada demensia Alzheimer stadium ringan sampai sedang, bahkan berat.
Berbagai obat lain yang mempunyai titik tangkap pada neuro transmitter yang bersifat non-kolinergik sudah juga dicoba. Tetapi sejauh ini pengobatan lewat neurotransmitter lain ini misalnya yang bersifat adrenergik dan serotonergik belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Contoh obat-obat ini misalnya golongan antagonis opium, clonidin dan carnitin. Biarpun ada perbaikan tetapi semuanya ini tidak didukung oleh penelitian yang berskala besar. Yang terakhir dan sering dilupakan pada pengelolaan penderita dengan demensia adalah aspek mediko legal. Keluarga sering menyangsikan apakah perbuatan penderita masih dapat dipertanggung-jawabkan. Kalau sudah tidak dapat, kapan tanggung jawab ini harus dialihkan. Sering juga keluarga tidak mau diajak berbicara tentang hal ini karena masih belum dapat menerima penurunan fungsi penderita dengan demensia. Penting untuk memberi motivasi pada keluarga dan mungkin juga masih dapat dimengerti oleh penderita, mendiskusikan cara-cara mengambil keputusan setelah diagnosis demensia ditegakkan.
Penutup Sampai saat ini, penyakit demensia, khususnya tipe demensia yang paling banyak dijumpai yaitu demensia Alzheimer dikatakan “unpreventable and incurable”. Penatalaksanaan lebih dititik beratkan pada mengatasi faktor-faktor risiko, penyakit-penyakit ko-morbid, dan gejala-gejala yang ada serta dukungan pada mereka yang merumat (care giver).7 Walaupun begitu kemajuan di bidang obat-obatan dan intervensi lainnya mulai kelihatan manfaatnya dalam menghambat laju perjalanan penyakit dan memperbaiki keluhan.
90
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Salah satu segi pengobatan yang paling penting adalah deteksi dini, “the sooner the better”. Secepatnya keluhan dan penyebabnya dapat diketahui, upaya pengelolaan akan makin efektif dalam mencegah, atau sedikitnya memperlambat perjalanan penyakit. Penyakit demensia pada umumnya, atau penyakit Alzheimer pada khususnya diberi sebutan “A Family System’s Disease” karena keluarga terkena dampak yang besar sekali, bila ada anggota keluarga yang menderita demensia. Pada tanggal 22 Juli 2000, telah dideklarasikan Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) sebagai suatu organisasi bio-sosial-medis, yang bertujuan meningkatkan kepedulian terhadap penderita Alzheimer di Indonesia, beserta keluarganya.
Daftar pustaka 1.
Hope, T; Pitt, B.: Management of dementia. Lancet, 345, 1274-1280, 2004.
2.
Clark, D.G.; Cummings, J.L.: Diagnosis and management of dementia. Departments of neurology, psychiatry and bio-behavioral sciences. UCLA, Los Angeles, CA. 2004.
3.
Philip, PJH: Ethics of dementia care asia pasific geriatric conference, Cebu-the Philippines, January, 2011.
4.
Mc Cullagh, C.D.; Pass More, A.P.: Risk factors for dementia advances in psychiatric treatment. Vol. 7 : 24-31, 2001.
5.
Czeresna, H., et al: Peran dokter spesialis penyakit dalam untuk deteksi dini, diagnosis dan penatalaksanaan gangguan kognitif ringan pada usia lanjut. PERGEMI, Konsensus Nasional, 2006.
6.
Kris Pranarka. Deteksi dini dan penatalaksanaan demensia. Simposium AAzI, Wilayah Jawa Tengah, Semarang 2009.
7.
Nasrun, M.W.S.: Diagnosis dan tatalaksana demensia Alzheimer dalam praktik. Temu Ilmiah Geriatri, Jakarta, 2002.
8.
Purba, J.S.: Demensia dan penyakit Alzheimer. Temu Ilmiah Geriatri, Jakarta 2002.
9.
Kris Pranarka. Social medical aspects of Alzheimer disease. Temu Ilmiah Nasional Geriatri, Semarang 2008.
10. Kris Pranarka. Ginkgobiloba as an alternative treatment in Alzheimer’s disease. Temu Ilmiah Nasional Geriatri, Semarang 2008.
91
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
92
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Asesmen Geriatri Hadi Martono
Abstract Geriatric Assessment is a multidiciplinary analyses done by a geriatrist and/or an interdisciplinary geriatric team to an elderly patient in order to reveal the medical, fungtional and psycho-social capability so that an overall and continuous management to the patient can be done. A geriatric assessment is an important tools for geriatric medicine. It is as important as an endoscope to a gastro-enterologist or an echo-cardiography to a cardiologist and considered as a geriatric technology, due to the fact that an elderly patient is characteristically different to the other patients from the other population. It should consist of a complete medical examination as well as functional status and psychosocial examination of the patient. Once the comprehensive geriatric assessment is done, a problem list consist of the whole aspects of partient problems is established, the interdisciplinary team is then in action to manage the patient holistically. The collaboration of the American Association of Internal Medicine and the American Geriatric Society have also succeeded in providing a short and simple form for doctors other than internist or geriatrist to assessing the elderly patient. An interdisciplinary geriatric team is different from other medical multidisciplinary team either in its component or in the way it works. The component of geriatric team is usually from that of functionally (i.e that’s are not usually need to be a super-specialistic but rather a functional member that willing to work closely in day to day cooperation with other team members). The all team members should not only works together conceptually, but is also to work together hand by hand to attain the same objective without being restricted by any discipline bordering. Key words: Multidisciplinary analyses, comprehensive, interdisciplinary team.
Pendahuluan Penyakit pada usia lanjut jelas jelas berbeda baik penampilan maupun perjalanannya dengan penyakit yang terjadi pada golongan populasi lain. Oleh karena itulah dalam tatalaksana pelayanan geriatri terdapat beberapa prinsip yang sedikit berbeda dengan apa yang terdapat pada penatalaksanaan pelayanan pada golongan populasi lain. Salah satu tatalaksana khusus geriatri ini adalah apa yang disebut sebagai asesmen geriatri. Apakah asesmen geriatri? Dari batasan umum, asesmen dapat di artikan sebagai: ”konsep tentang pembangunan, penilaian dan pengukuran”. Akan tetapi dalam
93
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pengertian asesmen geriatri, hal ini diartikan sebagai: ”suatu analisis multidimensional untuk menilai kapabilitas medis, fungsional ataupun psikososial pada seorang penderita lanjut usia, yang dikerjakan oleh seorang geriatris atau suatu tim interdisipliner geriatrik untuk dapat diadakan suatu penatalaksanaan yang menyeluruh dan berkesinambungan” (Mykyta, 1990, Shaw, 1987). Asesmen geriatri ini begitu penting artinya bagi suatu layanan geriatri, sehingga oleh seorang ahli kesehatan masyarakat Amerika, Prof. Kane, dianggap setara dengan suatu endoskop di tangan seorang gastroenterologi atau suatu EKG dan ekokardiograf di tangan seorang kardiolog. Gallo dkk menganggap asesmen geriatri komprehensif ini sebagai “teknologi geriatri”.
Dasar-dasar asesmen geriatri Untuk mengetahui dasar pemikiran penggunaan asesmen geriatri sebagai sarana diagnosis di bidang geriatri perlu diketahui tentang konsep tubuh seorang usia lanjut dalam hubungannya dengan kesehatan. Dalam hal ini “tubuh” seorang usia lanjut harus diartikan bersama dengan psikis dan lingkungan, serta sosial ekonominya (konsep biopsikososial). Oleh karena itu, pada usia lanjut konsep kesehatan juga menyangkut konsep penyakit/diagnosis, status fungsional dan masalah kesehatan utama (sindroma geriatrik). Perbedaan karakteristik penyakit pada usia lanjut dalam hal perjalanan maupun penampilannya dengan penyakit pada golongan populasi lain dapat dilihat pada tabel berikut sebagai berikut: Perbedaan karakteristik penyakit pada usia muda dan usia lanjut Gol. lanjut usia
Gol. usia muda
Etiologi
Endogen, okult, kumulatif, multipel, sering sisa penyakit lama
Eksogen, jelas, spesifik (singel, baru terjadi
Awitan penyakit
Insidious, asimtomatik
Jelas
Perjalanan Penyakit
kronik, progresif (kecacatan lama sebelum mati), aspek psikososial tidak timbulkan kekebalan, bahkan lebih rentan terhadap penyakit lain.
akut, self limiting, timbulkan kekebalan
Variasi individual
besar
kecil
(Stieglitz,1954)
Jenis-jenis penyakit yang banyak diderita populasi usia lanjut seperti dikatakan di atas adalah penyakit degeneratif, akan tetapi di Indonesia dimana masih terjadi transisi epidemiologik, maka penyakit-penyakit infeksi juga masih banyak terdapat. Penyakit-penyakit yang terbanyak diderita golongan usia lanjut tersebut menurut penelitian di Semarang, Bandungan dan Jepara adalah:
94
-
Penyakit sendi dan muskulo skeletal (rematisme).
-
Penyakit mata (katarak, glaucoma).
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
-
Penyakit kardiovaskular: - tekanan darah tinggi/hipertensi. - Penyakit jantung baik jantung koroner, maupun penyakit jantung paru. - Stroke/penyakit serebrovaskular.
-
Penyakit kencing manis/diabetes melitus.
-
Demensia atau pikun.
Status fungsional: sebagai akibat dari proses bio-psiko-sosial tersebut, fungsi dari seorang lansia juga mengalami gangguan yang dimanifestasikan sebagai status fungsional yang merupakan hasil interaksi antara abnormalitas fisik, pikis dan sosial. Pada orang muda, abnormalitas pada masing-masing aspek biasanya tidak terjadi bersamaan, akan tetapi satu persatu (lihat gambar berikut).
Dari gambar di atas juga terlihat bahwa gangguan fungsional pada lanjut usia merupakan resultante dari gangguan fisik, psikis dan sosial. Pada usia lanjut status fungsional ini lebih menggambarkan keadaan “kesehatan” usia lanjut secara keseluruhan ketimbang hanya sekedar diagnosis 1 atau beberapa penyakitnya. Dengan mengetahui status fungsional seorang individu lanjut usia dapat ditelusuri kemungkinan gangguan/penyakit dari ke-3 aspek tersebut.
Masalah kesehatan utama (sindroma geriatrik) Masalah kesehatan utama pada populasi usia lanjut adalah manifestasi aspek bio-psiko-sosial dalam masalah kesehatan yang dirasakan oleh penderita dan/atau keluarga(=carers) dan menimbulkan gangguan yang paling mengganggu bagi kehidupan sehari-hari dari individu usia lanjut tersebut. Masalah kesehatan ini seringkali bukan merupakan penyakit, tetapi suatu keluhan yang memerlukan usaha dan upaya yang
95
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
cukup dari dokter untuk mengungkap penyakit/diagnosis yang mendasari timbulnya masalah tersebut. Rumitnya lagi masalah kesehatan utama ini ditampilkan berbedabeda oleh berbagai ahli geriatri di seluruh dunia, sebagaimana bisa dilihat berikut ini: Cape et al mengemukakan konsep “the O Complex” yang terdiri atas: - Fall - Incontinence - Impaired Homeostasis - Confusion - Iatrogenic disorders Sedangkan Coni, Davison dan Weber mengajukan “the Big Three” yaitu: - Intelectual Failure - Instability/immobility - Incontinence Solomon et al dari California University mengemukakan “The 13/14 i I” yaitu: Immobility Isolation Impaction Instability Impotence Iatrogenic Intelectual impairment Immunodeficiency Insomnia Incontinence Infection Impairment of hearing, vision, smell etc Inanition Impecunity
Tim geriatri Mengingat tugas holistik yang begitu luas dalam suatu pelayanan geriatri, maka berbeda dengan pelayanan oleh disiplin lain dalam displin geriatri dikenal suatu pelayanan oleh tim geriatri, yang berbeda dengan berbagai tim lain yang dikenal dalam dunia medis. Tim ini yang dikenal sebagai tim multidipliner yang bersifat interdisiplin bekerja bukan saja dengan menyerasikan konsep bersama dalam pelayanan tetapi juga dalam pelaksanaannya harus berjalan bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam bentuk skematik maka gambaran tim geriatri dibandingkan dengan tim multi disiplin lain di bidang kedokteran/kesehatan adalah sebagai berikut:
Tim Multidisiplin
96
Tim interdisiplin (mis. geriatri)
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dari skema terlihat bahwa pada tim I, anggota-anggotanya sangat ketat dalam menjaga disiplinnya masing-masing (garis tak terputus), sedangkan tujuan di bagi menjadi tujuan dari masing masing disiplin. Pada tim geriatri masing-masing anggauta bersifat longgar terhadap disiplinnya masing-masing (garis terputus). Tujuan merupakan tujuan bersama yang harus dicapai melalui tindakan dan kerja bersama pula. Tim tersebut yang komponennya terdiri atas semua disiplin yang berkaitan dengan pelayanan geriatri (tergantung dari tingkat pelayanannya), bekerja dengan sangat erat menurut alur yang telah dkemukakan di atas. Tim inti terdiri atas dokter (geriatrist), perawat dan pekerja sosiomedik. Berdasarkan kebutuhan dapat ditambahkan kemudian berbagai terapis (fisio-, okupasi-, wicara) dokter rehab medik, farmasi, gizi bahkan keluarga penderita.
Penatalaksanaan asesmen geriatri Pada dasarnya asesmen/pengkajian geriatric adalah suatu analisis multi dimensional yang dikerjakan oleh seorang geriatris dan/atau tim geriatris untuk dapat mengungkap kapabilitas medis, fungsional kepada seorang penderita geriatrik agar dapat dilaksanakan penatalaksanaan menyeluruh dan berkesinambungan pada penderita tersebut.
97
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Melihat kedua model seperti tersebut di atas, jelaslah mengapa tatacara diagnosis seperti yang digunakan pada penderita dewasa muda (yang berdasarkan model medik) tidak dapat diterapkan pada penderita usia lanjut dan harus digunakan tatacara diagnosis khusus yang disebut sebagai “asesmen geriatri”. Asesmen geriatri tersebut di atas pada dasarnya bertujuan: a)
Menegakkan: - Diagnosis kelainan fisik/psikis yang bersifat fisiologik. - Diagnosis kelainan fisik/psikis yang bersifat patologik. dan melakukan terapi atas kelainan tersebut.
b)
Menegakkan adanya gangguan organ/sistema (impairmen), ketidakmampuan (disabilitas) dan ketidakmampuan sosial (handikap) untuk dapat dilakukan terapi dan/atau rehabilitasi.
c)
Mengetahui sumber daya sosial ekonomi dan lingkungan yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan penderita tersebut.
Dari hasil asesmen geriatrik tersebut kemudian dapat dibuat suatu “DAFTAR MASALAH” yang meliputi: penyakit (fisik, sosial-ekonomi, psikis), status fungsional dan sindroma geriatrik yang terdapat pada penderita. Atas dasar daftar masalah yang dibuat ini, seorang geriatrist atau tim geriatri kemudian membuat rencana untuk mengatasi SEMUA masalah yang ada. Dengan mengetahui tujuan asesmen geriatri tersebut jelaslah bahwa istilah “tim interdisipliner” yang dimaksud dalam definisi asesmen geriatri tersebut minimal harus beranggotakan: O
Dokter yang mengetahui berbagai penyakit organ/sistem.
O
Tenaga sosio-medik yang meneliti keadaan sosial/lingkungan penderita.
O
Tenaga perawat yang mengases dan mengadakan upaya keperawatan pada penderita.
Tenaga interdisiplin geriatri tersebut dapat diperluas keanggotaannya dengan berbagai disiplin sesuai dengan tempat kerja dan luas ruang lingkup kerjanya. Di pusat geriatri di suatu rumah sakit rujukan misalnya, keanggotaan tim geriatri tersebut biasanya diperluas keanggotaannya dengan tenaga rehabilitasi, psikolog/psikiater, farmasis dan tenaga lain yang berkaitan dengan penatalaksanaan kesehatan penderita usia lanjut. Yang terlebih penting lagi adalah tatakerja “interdisipliner”. Gail Hills Maguire et al (1985), dalam buku Care of the elderly: a health team approach menyatakan sebagai berikut: “an interdisciplinary process is in force when the solution of problems or completion of tasks requires interdependent specialized skills of two or more health professionals
98
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
…… In multidisciplinary activity, a task is divided into parts and various health professionals work on individual parts to complete the task or to solve the problem …..” (Secara skematik tatakerja tim interdisiplin dan multidisiplin dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut). Tugas masing-masing anggota tim tersebut adalah sebagai berikut : - Asesmen lingkungan/sosial
: petugas sosiomedik
- Asesmen fisik
: dokter/perawat
- Asesmen psikis
: dokter/perawat/psikolog-psiko-geriatris
- Asesmen fungsional/disabilitas : dokter/terapis rehabilitasi - Asesmen psikologik
: dokter-psikolog/psikogeriatri
Dengan tatacara asesmen geriatri yang terarah dan terpola, maka kemungkinan terjadinya “mis/under diagnosis” yang sering didapatkan pada praktek geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin.
Penutup Demikianlah telah dijelaskan dan dibahas beberapa hal mengenai asesmen geriatri dan tim geriatri, yaitu suatu tatalaksana yang khas bagi suatu layanan geriatri. Semoga bahasan dan penjelasan tersebut dapat membantu upaya kita semua guna meningkatkan taraf kesehatan lanjut usia di Indonesia.
Daftar kepustakaan 1.
Burvill PB; ”Psychiatric assessment of the elderly”in Wearne RW and Prinsley DM(eds) A manual of geriatric care. Williams and Wilkins Ass. Sidney, 1998:53-65.
2.
Coni,N, Davison,W and Weber, S: ”The geriatric department” in Lecture notes in Geriatric Medicine, 2nd ed, Blackwell Sc. Publ. Oxford, 1980: 60-76.
3.
Hadi-Martono: ”Department of geriatric and rehabilitation medicine,a comparative study from Royal Adelaide Hospital and its possibillities on its application in Indonesia ”Paper presented at Royal Adelaide Hospital, Australia, 1988.
4.
Hadi-Martono: ”Asesmen geriatri” Proceeding Simposium Geriatri dalam rangka mengantar purna bakti Prof. R. Boedhi-Darmojo, 1994
5.
Hadi-Martono: ”Geriatri pencegahan”dalam Simposium awam tentang kesehatan usia lanjut dalam rangka HUT PMI, Semarang 1994.
6.
Hadi-Martono, Boedhi-Darmojo: ”Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut di masyarakat berbasis rumah sakit” Lokakarya Kesehatan Jiwa, DEPKES R. I, Ciloto, 1993.
7.
Hadi-Martono: ”Aspek Fisiologik dan patologik usia lanjut” Lokakarya Geriatri, Bagian/ UPF Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang, 1993.
99
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
8.
Ham. RJ and Marcy, ML: ”Evaluation of elderly patients” in Ham, RJ et al(eds) Primary Care Geriatrics, John Wright PSG Inc. Boston, 1983, 53-72
9.
Kane, RL, Ouslander JG and Abrass IT: ”Evaluating the elderly patients” in Essentials of clinical geriatrics, Mc Graw-Hill Inform Serv. Coy, 1993, 47-80
10. Maguire GH et al: ”The team approach in action” in Macguire GH (eds) Care of the elderly, a health team approach,Littele Brown and Coy, Boston, 1985 11. Mykyta, L: ”Aged care, South Australian Experience” in Simposium Lansia menjelang tahun 2000, Jakarta 1992; 1-15 12. Ozanne, E: ”Social assessment of the elderly” in Warne RW and Prinsley DM(eds) A manual of geriatric care. William and Wilkins and Ass, Sidney 1988: 43-52 13. Shaw MW: ”Assessment” in Shaw MW(ed) The challenge of aging, ChurchillLivingstone, Melbourne, 1984:76-83. 14. Warne RW: ”Phyasical assessment of the lederly patients”in Warne RW and Prinsley DM (eds) A manual of geriatric care, William and Wilkins and Ass, Sidney, 1988: 43-52.
100
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel Kuestioner pendek portabel untuk status mental Daftar pertanyaan
Penilaian
1. Tanggal berapakah hari ini (bulan, hari, tahun) 2. Hari apakah hari ini? 3. Apakah nama tempat ini? sedang 4. Berapa nomor telepon Bpk/ibu? intelek berat (Bila tak ada tilpun: Di jalan apakah rumah Bpk/ibu?) 5. Berapa umur Bpk/ibu? 6. Kapan Bpk/ibu lahir (Tanggal/bulan/tahun) 7. Siapakah nama gubernur kita? (walikota/lurah/ camat) 8. Siapakah nama gubernur sebelum ini? (walikota/lurah/camat) 9. Siapakah nama gadis Bpk/ibu anda? 10. Hitung mundur 3-3, mulai dari 20
0-2 kesalahan = baik 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan 5-7 kesalahan = gangguan intelek 8-10 kesalahan
=
gangguan
Bila penderita tak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di atas. Bila penderita sekolah lebih dari SMA, kesalahan yang diperbolehkan -1 dari atas
Tabel Indeks Katz untuk ketidaktergantungan dalam aktivitas hidup sehari-hari (=AHS) Indeks ketidaktergantungan dalam aktivitas hidup sehari-hari didasarkan pada evaluasi dari ketergantungan atau ketidaktergantungan fungsional dari penderita dalam hal mandi, berpakaian, pergi ke WC, bergerak/ transfer, kontinesia dan makan. Definisi spesifik dari ketergantungan atau ketidaktergantungan fungsional ditunjukkan di bawah indeks. A Tak tergantung dalam hal makan, kontinensia, transfer, BAB/BAK, berpakaian dan mandi. B Tak tergantung dalam semua hal kecuali satu dari fungsi di atas. C Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi dan satu fungsi tambahan lain. D Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan. E Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, BAB/BAK dan satu fungsi tanbahan. F Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, BAB/BAK, transfer dan satu fungsi tambahan. G Tak tergantung dalam semua enam fungsi. Lain-lain: Tergantung pada setidaknya 2 fungsi, tetapi tak terklasifikasi sebagai C, D, E dan F. Tak tergantung berarti tanpa supervisi, pengarahan atau bantuan aktif personal, kecuali seperti di jelaskan di bawah. Keadaan ini didasarkan pada status sebenarnya dan bukan atas kemampuan penderita yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi tersebut, walaupun mereka tampaknya mampu). Mandi (bilas, pancuran atau bak rendam): Bergerak/transfer : Tak tergantung: bantuan hanya diperlukan untuk 1 bag.badan Tak tergantung: naik dan (mis.bagian punggung atau anggauta badan yang lumpuh turun tempat tidur sendiri dan Tergantung: perlu bantuan saat mandi pada lebih dari pergi ke/dari kursi sendiri (bisa satu bagian badan dan untuk keluar atau masuk bak rendam dengan/atau bisa tanpa bantuan atau sama sekali tidak bisa mandi sendiri samasekali tanpa menggunakan suport mekanik) Tergantung: dibantu saat Naik/turun TT atau kursi. Tak Pernah bisa bergerak sendiri Berpakaian Kontinensia: Tak tergantung : bisa mengambil pakaian dari almari dan Tak tergantung: bisa mengontrol gantungan, dapat memakai pakaian dalam dan luar. Dapat BAB/BAK sepenuhnya. memasang sabuk. Memakai sepatu tak termasuk. Tergantung: inkontinensia
101
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tergantung: tak dapat memakai sendiri pakaiannya Atau selalu dalam keadaan berpakaian taklengkap BAB/BAK (toiletting ) Tak tergantung : dapat perhi sendiri ke WC, naik/turun dari jamban, membuka dan meletakkan pakaian, dapat bercebok sendiri (dapat mengatur penggunaan bedpan sendiri yng digunakan hanya malam hari dan tidak menggunakan suport mekanik bedpan atau komodo atau selalu mendapat bantuan utk pergi ke/dari dan untuk menggunakan toilet/jamban
partial/total dalam BAB/BAK Sebagian/sepenuhnya di bantu. Dengan enema, kateter atau diatur BAB/BAK dengan menggunakan pan/urinal Makan Tak tergantung: mengambil makanan dan menyuap ke mulut (mengiris makanan atau memasak/sediakan Tergantung: selalu menggunakan makanan tak termasuk dlm ini) Tergantung: perlu bantuan dalam, menyuap, tak bisa makan atau perlu makanan parenteral
Penilaian fungsi Aktivitas Hidup Sehari-hari (AHS) Aktivitas hidup sehari-hari dasar (basic activities of daily living) Makan Berpakaian Bergerak/ambulasi Beralih tempat/transfer (dari TT dan WC) BAK/kontinen Berdandan/grooming Ber komunikasi Aktivitas hidup sehari-hari instrumental (instrumental ADL) Menulis Membaca Membersihkan rumah Berbelanja Mencuci, setrika pakaian Naik-turun tangga Gunakan tilpun Menangani obat-obatan Menangani keuangan Mampu tangani pembayaran pmbantu/pekerjaan luar rumah (mis. berkebun) Mampu pergi jauh (dengan kendaraan umum/keluar kota)
102
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Demam Neutropenia pada Usia Lanjut C. Suharti
Pendahuluan Demam pada penderita dengan neutropenia merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat kemoterapi kanker. Angka kejadian demam neutropenia bervariasi tergantung rejimen kemoterapi, populasi penderita, maupun jenis kanker. Angka kejadian demam neutropenia pada tumor solid atau limfoma sekitar 10-50%, sedangkan pada penderita dengan keganasan hematologi lebih dari 80%.1 Hampir separuh dari penderita demam neutropenia mempunyai infeksi, baik yang terdokumentasi maupun yang tidak terdokumentasi. Angka kematian bagi penderita kritis dilaporkan sebesar 10-20%, dengan angka kematian untuk penderita yang mengalami bakteremia kuman gram-negatif sebesar 40%. Data ini menunjukkan betapa pentingnya penatalaksanaan demam neutropenia secara cepat dan efektif, agar dapat dicapai hasil yang optimal bagi penderita dalam hal ketahanan maupun kualitas hidup.2 Hal penting lain bahwa, kejadian neutropenia bisa berakibat pengurangan dosis maupun penundaan terapi, yang akhirnya mempengaruhi hasil terapi.
Definisi demam neutropenia Demam neutropenia didefinisikan sebagai demam dengan suhu sekurangkurangnya 38.30 C (atau sekurang-kurangnya 38.00C dalam dua waktu) pada kondisi hitung neutrofil absolut kurang dari 0.5x109 sel/L, atau kurang dari 1.0x109 sel/L dan diprediksi akan turun dibawah 0.5x109 sel/L.3 Neutrofil mempunyai peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Mereka bergerak ke jaringan yang mengalami infeksi (karena pengaruh faktor kemotaktik), berfungsi sebagai fagosit, menghancurkan bakteri penyebab infeksi melalui berbagai mekanisme intraseluler. Hitung neutrofil kurang dari 1.000/mm3 mempunyai risiko untuk terjadi infeksi; risiko ini makin meningkat dengan makin menurunnya hitung neutrofil. Selain itu, lama berlangsungnya neutropenia juga merupakan faktor yang penting. Hitung neutrofil kurang dari 500/mm3 yang berlangsung dalam waktu 10 hari, merupakan faktor risiko besar untuk terjadinya infeksi yang mengancam jiwa.
Usia sebagai faktor risiko demam neutropenia Sumsum tulang merupakan elemen yang dinamik karena dalam sepanjang hidup selalu mengalami produksi dan replikasi. Hal ini berbeda dengan jaringan lain seperti otot dan syaraf. Berdasarkan pengamatan klinik dan laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu sumsum tulang mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada usia lanjut menurun.4
103
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Berdasarkan review literatur secara sistematik, usia lanjut (>70 tahun) terbukti sebagai satu-satunya prediktor demam neutropenia yang paling konsisten, dengan angka kejadian demam neutropenia 24% vs 7% bagi penderita yang lebih muda.5 Selain itu, dari beberapa studi menunjukkan bahwa status performens yang buruk dan keterlibatan sumsum tulang merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik.5 Hasil analisis dari 4.522 penderita limfoma non Hodgkin agresif yang mendapat terapi dengan rejimen CHOP (cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine dan prednisone), atau R-CHOP (rituximab-CHOP) atau CNOP (cyclophosphamide, mitoxantrone, vincristine dan prednisone) menunjukkan bahwa usia lanjut, jenis kelamin wanita, stadium penyakit lanjut, status performens buruk dan hitung neutrofil absolut rendah sebelum terapi, merupakan prediktor independen yang signifikan.6
Rekomendasi untuk asesmen risiko dan penatalaksanaan rawat jalan Identifikasi pasien risiko rendah Klasifikasi penderita dengan demam neutropenia menjadi kelompok risiko rendah dan risiko tinggi dapat mengarahkan pendekatan selanjutnya berdasarkan kriteria stratifikasi yang sudah ditentukan, sebagai contoh misalnya indeks risiko MASCC (Multinational Association for Supportive Care in Cancer). Penderita yang secara klinik stabil pada saat awal demam neutropenia harus dilakukan asesmen sebagai risiko rendah atau risiko tinggi untuk timbulnya komplikasi medik dengan menggunakan indeks risiko MASCC. Tabel 1. MASCC index score for identifying low-risk patients with neutropenic fever Characteristic
Point score
Burden of illness: · No or mild symptoms · Moderate symptoms No hypotension No chronic obstructive pulmonary disease Solid tumour or no previous fungal infection* Outpatient status** No dehydration Age <60 years
5 3 5 4 4 3 3 2
MASCC, Multinational Association for Supportive Care in Cancer. The maximum value in this system is 26. A score of >21 predicts a <6% risk for severe complications and a very low mortality (<1%) in neutropenic febrile patients. *Previous fungal infection means demonstrated fungal infection or empirically treated suspected fungal infection. **Outpatient status: means onset of fever as an outpatient. Worth LJ, et al. Internal Medicine Journal 2011;41 (Suppl 1):82-89.
104
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Risiko dan kesesuaian untuk rawat jalan untuk populasi pasien tertentu ·
Penderita dengan tumor solid Pada umumnya, penderita dengan tumor solid mempunyai lama neutropeni kurang dari 7 hari setelah kemoterapi, dan karenanya dipertimbangkan sebagai risiko rendah dan secara aman diindikasikan untuk penatalaksanaan rawat jalan. Akan tetapi, kemoterapi dengan intensitas lebih tinggi, atau efek imunoterapi kumulatif sebelum terapi untuk beberapa tumor solid (misal advanced germ tumor, osteosarcoma) memerlukan pengelolan sebagai pasien rawat inap.
·
Penderita dengan keganasan hematologi Limfoma. Penderita limfoma yang mendapat rejimen kemoterapi yang diperkirakan mengakibatkan neutropenia kurang dari 7 hari (R-CHOP-14), secara aman dapat diindikasikan sebagai pasien rawat jalan. Namun tidak ada data yang mendukung strategi seperti ini bagi penderita limfoma derajat keganasan tinggi yang memerlukan kemoterapi dengan intensitas tinggi. Keganasan hematologi selain limfoma derajat keganasan rendah dan menengah. Bukti yang mendukung penatalaksanaan rawat jalan bagi kelompok penderita dengan keganasan hematologi selain limfoma derajat ringan dan menengah sangat terbatas.
Tabel 2. Exclusion criteria for ambulatory care of patient with neutropenic fever at “low risk” of complications Exclusion criteria: · Confirmed focus of infection (skin, soft tissue, UTI, pneumonia, CVC-related infection, bacteremia · Indwelling catheters with the exception of implantable devices, such as infusaports · High-risk chemotherapy regimens · Chemotherapy-refractory disease · Multi-resistent organism colonization (MRSA,VRE) UTI, urinary tract infection; CVC, central venous catheter; MRSA, methicillin-resistent Staphylococcus aureus; VRE, Vancomycin-resistant enterococcus. Worth LJ, et al. Internal Medicine Journal 2011; 41 (Suppl 1): 82-89.
Strategi penatalaksanaan rawat jalan Terapi antibiotik Bagi penderita risiko rendah dengan tumor solid dan limfoma derajat keganasan rendah dan menengah yang menjalani observasi 24 jam sebagai pasien rawat inap, biasanya diberikan antibiotik oral segera atau sebagai alternatif untuk dosis pertama kadang diberikan antibiotik parenteral sesuai praktek masing-masing institusi. Berdasarkan bukti klinik yang telah dipublikasi, pemberian amoxicillin-clavulanate dan ciprofloxacin dianjurkan untuk pasien rawat jalan (bagi pasien yang tidak alergi
105
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
terhadap obat ini); atau clindamycin plus ciprofloxacin (bagi penderita yang alergi terhadap penicillin); dan monoterapi dengan amoxicillin-clavulanate bagi penderita yang alergi terhadap fluoroquinolone.
Lama pemberian antibiotik Defervescence sebelum terjadi perbaikan neutrofil Bilamana penderita menjadi tidak demam dalam waktu 3-5 hari dari terapi, antibiotik perlu dilanjutkan minimal dalam jangka waktu 7 hari. Lama terapi ini terbukti aman dalam studi klinik pada terapi dengan antibiotik oral. Apabila mikrorganisme penyebab dapat diidentifikasi, harus segera dimulai terapi yang ditujukan terhadap kuman pathogen ini atau, antibiotik yang digunakan awal diteruskan.
Defervescence setelah terjadi perbaikan neutrofil Penghentian antibiotik sebaiknya dilakukan setelah terjadi perbaikan neutrofil >0.5x109 sel/L. Bilamana hitung neutrofil tetap <0.5x109 sel/L dan lama neutropeni diperkirakan dalam jangka panjang, keputusan untuk menghentikan maupun melanjutkan terapi antibiotik harus didasarkan kriteria klinik. Sebagai contoh, keputusan menghentikan terapi bila pasien bisa dipantau dengan baik, membran mukosa dan integumen utuh dan tidak ada prosedur invasif yang mungkin akan dilakukan atau rencana kemoterapi ablasi.
Evaluasi awal bagi penderita dengan gangguan sistemik Penilaian risiko untuk komplikasi medik bagi penderita dengan gangguan sistemik, menentukan pilihan terapi antibiotik awal, waktu pemberian, lama pemberian dan pertimbangan sekiranya terapi rawat jalan bisa dilakukan. 1.
Penderita dengan gangguan sistemik. Semua penderita dengan demam neutropenia harus dievaluasi kemungkinan adanya gangguan sistemik agar dapat member arah untuk penatalaksanaan awal. (Tabel 3.)
2.
Penderita yang menujukkan stabil secara klinik (tidak jelas adanya gangguan sistemik), harus mendapat antibiotik dalam waktu 1 jam dari saat datang, setelah pemeriksaan kultur yang sesuai telah dilakukan.
3.
Stratifikasi risiko dengan menggunakan skor MASCC.
106
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 3. Features of systemic compromise 1. 2. 3. 4. 5.
Systolic blood pressure <90 mmHg, or >30 mmHg below patient’s usual blood pressure, or requirement for vasopressor support. Room air arterial pO2 of <60 mmHg, or saturation <90%, or requirement for mechanical ventilation. Confusion or altered mental state. Disseminated intravascular coagulation or abnormal PT/APTT Cardiac failure or arrhythmia, renal failure, liver failure, or any major organ dysfunction.
Organ failure only if new or significantly worsening. Disregard stable congestive heart failure or chronic arrhythmias (such as atrial fibrillation). APTT, activated partial thromboplastin time; prothrombin time. Tam CS, et al. Internal Medicine journal 2011; 41 (Suppl.1): 90-101.
Rekomendasi untuk kultur darah dan pemeriksaan lain Kultur darah 1.
Untuk mendapatkan sensitifitas maupun spesifisitas yang optimal, minimal 2 set kultur darah perlu diambil sebelum pemberian antibiotik, yang berasal dari 2 pungsi vena yang terpisah. Minimal 20 mL darah diambil dari masingmasing vena, dan 10 mL dimasukkan kedalam botol aerobik dan anaerobik. Dalam periode waktu 24 jam, dari dua set kultur darah akan mendeteksi 9095% infeksi darah pada penderita dewasa.
2.
Pengambilan darah kultur dari lumen kateter sebagai tambahan kultur darah perifer mungkin dapat membantu diagnosis catether related blood stream infections (CRBSI), dengan memberikan waktu yang diperlukan untuk darah perifer menjadi positif, dibandingkan dengan waktu untuk kultur darah dari kateter sentral hingga menjadi positif. Perbedaan waktu sebesar >120 menit untuk menjadi positif, memberikan prediksi untuk CRBSI. Hal ini perlu bagi penderita yang tidak menginginkan penggunaan kateter lagi.
3.
Guna menghindari terjadinya kontaminasi sewaktu koleksi sampel darah kultur, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: hindari pengambilan dari kateter intravena; cuci tangan dengan alkohol sebelum tindakan; desinfeksi bagian kulit dan tutup botol gelas dengan alkohol selama 1-2 menit; gunakan sarung tangan steril dan tidak ada tehnik sentuhan untuk pungsi vena; hindari pergantian jarum sebelum tindakan inokulasi pada botol.
4.
Ulangan kultur darah sebelum hari ke 3 tidak dianjurkan, kecuali bila didapatkan kondisi tidak stabil seara klinik dan/atau dicurigai adanya fokus infeksi baru. Bagi penderita yang awalnya menunjukkan hasil kultur darah positif, perlu dilakukan ulangan kultur darah perifer untuk membuktikan bahwa bakteremia sudah bersih.
Pemeriksaan lain Selain kultur darah perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap (FBC, full blood count) serta hitung jenis leukosit, elektrolit, ureum, kreatinin dan fungsi liver. Kultur dari tempat lain perlu dilakukan sesuai indikasi klinik. X-foto torak perlu dilakukan bagi penderita dengan keluhan atau tanda yang berhubungan dengan respirasi.
107
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pemilihan rejimen antibiotik lini pertama Riwayat penyakit penderita, alergi, keluhan dan tanda, antibiotik yang baru digunakan, data kultur maupun flora lokal dan pola infeksi, dapat membantu pemilihan awal terapi antibiotik. Meta analisis studi acak dengan kontrol, pada penderita dengan sepsis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan antipseudomonas beta-lactam (misalnya piperacillin-tazobactam, cefepime, ceftazidime, meropenem) merupakan terapi kombinasi yang efektif. Rejimen tunggal dipilih pada berbagai kondisi, khususnya penderita usia lanjut dan pada pasien dengan atau pada kondisi risiko tinggi untuk gangguan fungsi ginjal. Pemilihan piperazillin-tazobactam atau cefepime sebagai terapi tunggal lini pertama untuk suatu institusi harus didukung oleh data antibiogram lokal yang dapat membantu pemilihan. Tabel 4. Initial antibiotic selection (doses for normal renal function) Patient group
Recommendation (grading and level of evidence)
Patients without features of systemic compromise (betalactam monotherapy is recommended unless allergy to the recommended agents)
No penicillin allergy Piperazillin-tazobactam 4.5 gm IV six to eight-hourly (grade A) OR Cefepime 2 gm IV eight-hourlyOther reasonable choice for monotherapy is ceftazidime 2 g IV (grade A) Non-life- threatening penicillin allergy (rash): Cefepime 2g IV eight-hourly (grade C)Other reasonable choices for monotherapy are ceftazidime 2 gg IV 12 hourly or meropenem 1g IV eight-hourly (grade C) Life-threatening (immediate) penicillin allergy or betalactam allergy: Aztreonam 1-2 g IV eight-hourly OR ciprofloxacin 400mg IV 12-hourly + vancomycin 1.5 g IV 12-hourly (if CrCl >90mL/min) OR 1g IV 12-hourly (if CrCl 60-90mL/min)
Patients with systemic compromise compromise (The combination of a beta-lactam antibiotic with an aminoglycoside is the regimen of choice)
As
for
patients
without
features
of
systemic
+ gentamycin 5-7mg/kg ideal body weight IV once daily, adjusted to level ± vancomycin 1.5 gm IV 12-hourly (if CrCl >90mL/min) OR 1g IV 12-hourly (if CrCl 60-90mL/min)
Patients with cellulitis, obviously As for patients without features of systemic compromise infected vascular devices, + vancomycin 1.5 gm IV 12-hourly (if CrCl >90mL/min) OR or MRSA carriers with extensive 1g IV 12-hourly (if CrCl 60-90mL/min) skin breaks/desquamation Patients with features of compromise abdominal or perineal infection
As
for
patients
without
features
of
systemic
+ metronidazole 500 mg IV/oral 12-hourly if receiving cefepime, ceftazidime or ciprofloxacin first-line (grade D)Alternatively, piperacillin-tazobactam or meropenem will provide adequate anaerobic cover, if required (grade B), other than suspected or proven clostridium dificile-associated diarroea or colitis
CrCl, creatinin clearance; IV, intravenous; MRSA, methicillin-resistant Staphylococcus aureus Tam CS, et al. Internal Medicine journal 2011; 41 (Suppl.1): 90-101.
108
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Infeksi jamur pada penderita demam neutropenia Kandidemia pada penderita dengan neutropenia merupakan infeksi yang mengancam kehidupan meliputi termasuk dalam hal ini kandidemia diseminata akut, suatu sindroma yang menyerupai sepsis, gagal organ multiple, dan kematian. Suatu faktor penting yang mempengaruhi hasil terapi kandidemia pada penderita dengan neutropenia adalah perbaikan neutrofil selama terapi. Konsep terapi infeksi jamur sistemik: 1.
Terapi profilaksis Obat anti jamur diberikan atas dasar adanya faktor risiko pasien (penyakit dasar, neutropenia, pengobatan dan lain-lain) tanpa adanya infeksi.
2.
Terapi pre-emptif (targeted prophylaxis) Obat anti jamur diberikan atas dasar adanya faktor risiko ditambah ditemukannya koloni jamur (atau neutropenia) tanpa adanya infeksi.
3.
Pengobatan empirik Obat anti jamur diberikan atas dasar faktor risiko dan ditemukan tanda infeksi, namun etiologi tidak jelas, dan menimbang faktor risiko sangat mungkin infeksi jamur.
4.
Pengobatan definitif. Obat anti jamur diberikan atas dasar adanya tanda infeksi dan diagnosis infeksi jamur sistemik/invasif dibuktikan dengan pemeriksaan histologis atau fungemia.
109
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 5. Management of candidiasis in neutropenic patients Treatment Candidemia in Neutropenic Patients Echinocandin
· Caspofungin: loading dose of 70 mg, then 50 mg daily · Micafungin: 100mg daily · Anidulafungin: loading dose of 200 mg, then 100 mg daily OR LFAmB 3-5 mg/kg daily For patients who are less · Fluconazole: loading dose of 800 mg (12 mg/kg), then 400 mg critically ill and who have (6 mg/kgBB) daily is a reasonable alternative no recent azole exposure · Voriconazole can be used in situations in which additional mold coverage is desired For infection due to C. glabrata · Echinocandin · LFAmB is an effective, but less attractive alternative · For patients who were already receiving voriconazole or fluconazole, are clinically improved, and whose follow-up culture result are negative, continuing use of the azole to completion of therapy is reasonable For infections due to C. parapsilosis · Fluconazol or LFAmB is preferred as initial therapy · If patient is receiving an echinocandin, is cinically stable, and follow up cultureresults are negative, continuing the echinocandin until completion of therapy is reasonable For infections due to C. krusei · Echinocandin, LFAmB, or voriconazole is recommended Duration of therapy for · Two weeks after documented clearance of Candida from the candidaemia without persistent blood stream, resolution of symptoms attributable to fungamia or metastatic candidaemia, and resolution of neutropenia complications Intravenous catheter removal should be considered
Empirical Treatment for Suspected Invasive Candidiasis in Neutropenic Patients · · · · · ·
LFAmB (3-5 mg/kg daily) Caspofungin: loading dose of 70 mg, then 50 mg daily OR Voriconazole (6 mg/kg administered intravenously twice daily for 2 doses, then 3 mg/kg twice daily) Fluconazole, loading dose of 800 mg (12 mg/kg), then 400 mg (6 mg/kgBB) daily and itraconazole 200 mg (3 mg/kg twice daily are alternative agents AmB-d is an effective alternative, but there is a higher risk of toxicity with this formulation than with LFAmB Azoles should not be used for empirical therapy in patients who are received an azole for prophylaxis
LFAmB, Liposomal amphotericin B; AmB-d, Amphotericin B deoxycholate. Pappas PG, et al. Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases 2009;48:000-000.
110
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ringkasan 1.
Demam neutropenia adalah demam dengan suhu minimal 38.30 C (atau minimal 38.00C dalam dua waktu), dengan hitung neutrofil absolut < 0.5x109 sel/L atau <1.0x109 sel/L dan diprediksi akan turun <0.5x109 sel/L.
2.
Usia lanjut >70 tahun terbukti sebagai satu prediktor demam neutropenia yang paling konsisten.
3.
Stratifikasi penderita demam neutropenia dengan menggunakan cara yang tervalidasi seperti indeks risiko MASCC menjadi kelompok risiko rendah atau risiko tinggi dapat membantu kearah pendekatan selanjutnya.
4.
Terapi tunggal dengan antibiotik golongan beta-lactam, merupakan terapi empirik pilihan bagi penderita demam neutropeni dengan kondisi klinik yang stabil; antibiotik antipseudomonal beta-lactam plus gentamicin direkomendasikan bagi penderita gangguan sistemik.
5.
Terapi empirik dengan obat anti jamur diberikan atas dasar faktor risiko dan ditemukan tanda infeksi, namun etiologi tidak jelas. Preparat bisa berupa LFAmB, caspofungin, voriconazole, dan fluconazole.
Daftar pustaka 1.
Klastersky J. Management of fever in neutropenic patients with different risks of complications. Clin Infect Dis 2004;39 (suppl 1):S32-7.
2.
Klastersky J, Ameye L, Maertens J, Georgala A, Muanza F, Anoun M et al. Bactaeremia in febrile neutropenic cancer patients. Int J Antimicrob Agents 2007;30 (Suppl I): S519.
3.
Lingaratnam S, Slavin MA, Koczwara B, Seymour JF, Szer J, Underhill C, et al. introduction to the Australian consensus guidelines for the management of neutropenic fever in adult cancer patients, 2010/2011. Internal Medicine Journal 2011;41(suppl.1):75-81.
4.
Kruger A. The limits of normality in elderlypatients. Bailliere’s clinical hematology 1987;1:271-89.
5.
Dubois RW, et al. Proc AmSoc Clin Oncol 2004; 22:554. Abstract 6154.
6.
Lyman GH et al. J Clin Oncol 2004;22:4302-4311.
7.
Worth LJ, Lingaratnam S, Taylor K, Hayward AM, Morrissey S, Cooney J, et al. Use of risk stratification to guide ambulatory management of neutropenic patients. Internal Medicine Journal 2011;41 (Suppl 1):82-89.
8.
Worth LJ, Lingaratnam S, Taylor K, Hayward AM, Morrissey S, Cooney J, et al. Use of risk stratification to guide ambulatory management of neutropenic patients. Internal Medicine Journal 2011;41 (Suppl 1):82-89.
111
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9.
Tam CS, Reilly MO, AndresenD, Lingaratnam S, Kelly A, Burbury K, et al. Use of empiric antimicrobial therapy in neutropenic fever. Internal Medicine journal 2011; 41 (Suppl.1): 90-101.
10. Pappas PG, Kauffman CA, Andos D, Benjamin DK, Calandra TF, Edwards JE, et al. Clinical practice guidelines for the management of candidiasis: 2009 update by the Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases 2009;48:000-000.
112
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gangguan Termoregulasi pada Orang Usia Lanjut Siti Setiati
Pendahuluan Manusia hidup selalu berhadapan langsung dengan dunia sekitar. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, merupakan suatu kemampuan yang penting untuk tetap bertahan hidup. Salah satunya ialah dengan menyesuaikan diri dengan suhu sekitar. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap suhu sekitar memberikan kestabilan suhu tubuh yang erat kaitannya dengan kemampuan menjalankan fungsi tubuh. Disregulasi suhu pada orang usia lanjut merupakan salah satu gangguan mekanisme homeostasis yang dapat terjadi seiring proses menua. Orang usia lanjut seringkali memiliki masalah dalam menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan yang ekstrim karena penurunan irama sirkadian suhu tubuh. Berikut ini akan dibahas gangguan termoregulasi pada orang berusia lanjut.
Termoregulasi Termoregulasi adalah proses terkontrol untuk mempertahankan suhu inti tubuh, di mana proses-proses biokimia bekerja paling baik pada rentang suhu 37,2-37,5°C.1 Pusat termoregulasi berada di susunan saraf pusat, yakni di daerah spesifik IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior. Bagian tersebut mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di dinding rostral ventrikel II, I disebut juga sebagai korpus kalosum lamina terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini dipengaruhi oleh daerah yang dialiri darah dan input yang berasal dari reseptor kulit dan otot.2
113
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Korpus kalosum lamina terminalis mungkin merupakan sumber prostaglandin. Selama demam, IL-1 masuk ke dalam ruang perivaskular OVLT melalui jendela kapiler untuk merangsang sel memproduksi PGE-2, yang selanjutnya secara difusi masuk ke dalam preoptik/regio hipotalamus dan menyebabkan demam. Prostaglandin E2 memainkan peranan penting sebagai mediator, terbukti dengan adanya hubungan erat antara demam, IL-1, dan peningkatan kadar PGE2 di otak.2
114
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hasil akhir proses ini adalah meningkatkan set point termostat yang akan memberi isyarat serabut saraf aferen, terutama serabut simpatis untuk memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan memproduksi panas (menggigil). Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang bertujuan menaikkan suhu tubuh.2 Hasil peningkatan suhu ini terus berlanjut sampai suhu tubuh mencapai peningkatan set point. Kation Na+, Ca2+, dan cAMP berperan dalam mengatur suhu tubuh, meski mekanisme pastinya belum begitu jelas. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali apabila terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau pemberian antipiretik yang menghambat sintesis prostaglandin. Sebagai tambahan, vasopresin beraksi dalam susunan saraf pusat untuk mengurangi demam-picu-pirogen. Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan serabut simpatis.2 Termoregulasi dipengaruhi oleh 2 proses, yaitu: proses endogen melalui sistem kardiovaskular, pernapasan, neuroendokrin, neuromuskular dan gastrointestinal, sedangkan proses eksogen melalui obat-obatan dan gizi.
Termoregulasi pada usia lanjut Sistem termoregulasi menjadi sistem pertahanan tubuh yang bergantung pada respon autonom dan tingkah laku seseorang. Pada usia lanjut umumnya fungsi pertahanan tersebut berkurang, seiring dengan bertambahnya usia, kerja tubuh dan fungsi kognitif yang berkurang.
115
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penurunan sistem pertahanan bisa terjadi pada komponen sistem pengeluaran atau produksi panas dalam tubuh, yang pada gilirannya akan membuat tubuh pada usia lanjut tidak demam saat mengalami infeksi, mudah terkena heat-stroke atau rentan terhadap hipotermia karena kemampuan vasokonstriksi perifer dan produksi panas juga berkurang. Berkurangnya vasokonstriksi perifer akan menyebabkan perpindahan cairan plasma dari intravaskular ke interstisial dan intraseluler.3 Pada usia lanjut juga ditemukan penurunan jumlah keringat walau tidak signifikan, penurunan aliran darah di kulit, penurunan curah jantung dan sirkulasi renal dan splanknik.4,5
Dengan mengetahui hal tersebut klinisi sebaiknya lebih berhati hati dalam menganalisis hasil pemeriksaan fisik pada usia lanjut. Dokter yang menemukan suhu normal pada pasien usia lanjut harus berhati-hati karena demam tidak selalu muncul pada usia lanjut dengan infeksi.4 Perubahan suhu sebesar 1,30C dengan hasil pemeriksaan suhu dalam batas normal (< 36,40C), ditemukan pada beberapa orang di panti wreda dengan infeksi.6 Pada orang usia lanjut dengan sepsis, semakin tua umur pasien semakin mudah mengalami hipotermia. Keadaan ini bisa tidak disadari jika termometer tidak mampu mendeteksi suhu yang rendah atau dokter yang tidak peduli terhadap temuan tersebut.4
116
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel. 1. Sensitivitas dan spesifisitas suhu oral dari data pasien infeksi di panti wreda Definisi
Sensitivitas(%)
Spesifisitas (%)
T> 38.30C T> 37.70C T> 37.30C
40.0 70.0 82.4
99.7 98.3 89.9
Data from Castle SC, Yeh M, Toledo S, et al. Lowering temperature criterion improves detection of infection in nursing home residents. Aging Immunol Infect Dis. 1993; 4:67-76.
Sebagian besar panas tubuh bersumber dari produk sampingan metabolisme pada organ inti dan otot rangka. Dengan bertambahnya usia terjadi penurunan aktivitas otot. Pada usia tujuh puluh, 30% massa otot hilang dan aktivitas fisik berkurang hingga 50% atau lebih. Sumber kedua produksi energi adalah melalui Sympathetic Autonomic Nervous System (SANS) dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang meningkatkan metabolisme. Penurunan terus menerus dalam metabolisme normal adalah kejadian normal pada proses penuaan.7
117
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sementara komponen dasar homeostasis tetap utuh, kemampuan untuk mendeteksi perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal, kecepatan dan efektivitas respon terhadap perubahan tersebut sering mengalami penurunan atau bahkan hilang pada orang yang sudah sangat tua atau dalam keadaaan lemah.
Suhu tubuh, zat kimia tubuh dan sensitivitas reseptor tubuh menurun seiring perubahan usia. Oleh karena itu orang tua mempunyai persepsi yang lambat pada perubahan suhu dingin atau panas, hal ini dikarenakan mereka kehilangan reseptor kulit atau terjadi penurunan sensitivitas, pusat-pusat kontrol suhu tubuh (hipotalamus dan batang otak) yang lambat atau tidak efektif dalam merespon perubahan suhu.8 Selain itu, kulit menjadi lebih tipis dan lemak subkutan berkurang, sehingga tubuh tidak dapat mengkompensasi dingin.
Hipotermia Hipotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan suhu inti (suhu organ dalam), yakni kurang dari 350C. Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya refleks tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata; disebut hipotermia berat bila suhu tubuh <320C.
118
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko hipotermia pada usia lanjut adalah gangguan termoregulasi yakni kondisi yang menurunkan produksi panas (seperti pada keadaan hipotiroidisme, hipoglikemia, anemia, KAD), kondisi yang meningkatkan kehilangan panas (misalnya luka terbuka, inflamasi umum, luka bakar), kondisi yang menganggu kontrol termoregulasi sentral (misalnya stroke, tumor otak, enselopati wernicke, uremia) dan obat yang menganggu termoregulasi (obat penenang, hipnotik sedatif, antidepresan dan alkohol). Sesungguhnya tidak ada suhu tubuh yang ideal bagi orang usia lanjut untuk mengkompensasi atau mencegah kejadian hipotermia, hal ini tergantung pada kemampuan individu tersebut. Bahkan di musim panas pun kita harus membantu orang tua dalam menjaga tubuhnya agar tetap hangat. Ketika memeriksa pasien, yang harus diperhatikan adalah membuka hanya daerah yang akan diperiksa saja dan sesegera mungkin untuk menutup kembali dengan baju/selimut sementara memeriksa bagian yang lain.1 Tanda-tanda dingin sebagai kompensasi tubuh harus diperhatikan agar dapat menjaga suhu tetap hangat.1 Ketika pasien duduk dalam posisi meringkuk karena menggigil, mereka sedang mencoba untuk menghangatkan dan menggunakan energi otot untuk menghasilkan panas.
Hipertermia Hipertermia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan hipotalamus, dan kondisi ini terjadi bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat atau penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal (metabolik). Secara klinis, hipertermia dapat terjadi bila suhu tubuh inti >40,6°C disertai disfungsi sistem saraf pusat yang berat (psikosis, delirium, koma) dan anhidrosis. Manifestasi dini pada hipertermia yakni terjadinya heat exhaustion, disertai rasa pusing, kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala dan sesak napas. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi serangan panas mencakup gagal jantung, aritmia, edema serebral dan kejang serta defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis hepatoseluler dan syok. Sebagai contoh, bila suhu di luar lebih dari 32°C dengan kelembaban yang tinggi, ruangan dalam gedung dapat mencapai suhu lebih dari 41,6°C. Seperti yang terjadi di Chicago pada tahun 1995 di mana 733 orang meninggal, sebagian besar dikarenakan heat stroke. 6 Mereka sebaiknya bekerja di dalam ruangan yang masih bisa mendapatkan udara melalui kipas angin atau pendingin ruangan. Mereka juga sebaiknya dianjurkan minum banyak untuk menambah jumlah air dalam tubuh. Upaya menjaga kestabilan suhu tubuh, dapat dilakukan melalui dua cara, cara pertama dengan memertahankan agar tubuh tetap hangat dengan cara peningkatan insulasi, penurunan keringat-evaporasi dan menggigil. Cara kedua dengan
119
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
mempertahankan agar tubuh tetap sejuk dengan cara meningkatkan aliran darah ke kulit, peningkatan sekresi keringat dan penurunan aktivitas tubuh.6 Nutrisi adalah kebutuhan penting untuk membantu pengaturan suhu tubuh pada setiap orang, terutama pada orang usia lanjut. Banyak orang beranggapan bahwa mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak dapat memberikan panas dengan cepat, tetapi ternyata upaya ini hanya akan meningkatkan 4% laju metabolisme. Sedangkan makan protein dalam jumlah banyak dapat meningkatkan tingkat metabolisme 30% dan dapat berlangsung selama berjam-jam.5
Penatalaksanaan Tatalaksana Hipotermia Penatalaksanaan keadaan seperti ini tergantung pada kondisi pasien tersebut, jika dalam keadaan Gawat Darurat, maka hal-hal di bawah ini dapat kita lakukan: -
Pindahkan dari lingkungan dingin, kontak dengan obyek dingin.
-
Singkirkan pakaian basah, berikan beberapa lapis selimut.
-
Monitor jantung: bradikardia atau fibrilasi ventrikel atau asistol.
-
Cairan intravena: dekstrose 5%, NaCl tanpa kalium (hangatkan sebelum diberikan).
Jika dalam keadaan tenang, maka perawatan yang dapat dilakukan adalah: -
Evaluasi dan atasi penyebab.
-
Ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada.
-
Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat.
-
Hipotermia kronik (>12 jam): perlu penggantian cairan.
-
Observasi gas darah.
Tatalaksana hipertermia Penatalaksanaan utama pada kondisi seperti ini adalah PENDINGINAN. Setelah itu suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39OC dalam jam pertama. Lamanya hipertermia adalah yang paling menentukan hasil akhir. Berendam dalam es lebih baik dari pada menggunakan alkohol maupun kipas angin. Metode pendinginan meliputi dua cara, yakni : -
Konduksi: dengan cara eksternal; berendam dalam air dingin, kompes es, selimut pendingin dan cara internal; lavase lambung dan peritoneal dengan es.
-
Evaporasi: Berikan kipas angin pada pasien yang sudah dibuka bajunya, basahi permukaan tubuh dengan kasa halus dan gunakan unit pendinginan tubuh (tempat tidur khusus).
120
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Komplikasi Tatalaksana bila terjadi komplikasi dengan keadaan sebagai berikut: -
Kejang dapat diberikan benzodiazepin.
-
Gagal nafas dapat dilakukan intubasi elektif.
-
Hipotensi dapat diberika cairan untuk ekspansi volum, vasopresor, monitor tekanan vena sentral.
-
Rhabdomiolisis lakukan monitoring kalium dan kalsium serum, atasi hiperkalemia.
Kesimpulan Gangguan termoregulasi pada orang usia lanjut menunjukkan penurunan mekanisme homeostasis yang terjadi seiring dengan proses menua. Individu berusia lanjut menjadi rentan terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Hipotermia dan hipertermia merupakan keadaan yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal sehingga tatalaksana yang cepat dan tepat merupakan kunci penting untuk menurunkan mortalitas. Pendidikan dan penyuluhan pada orang berusia lanjut tentang kerentanan terhadap suhu/termoregulasi merupakan hal yang sangat penting. Serta jangan lupa untuk melakukan pengawasan ketat terhadap pasien yang rentan oleh dokter dan pelaku rawat.
Daftar pustaka Robert K, Trimble T. Research Applied to Clinical Practice: Geriatric Thermoregulation. 1996. Sumarmo S Poorwo Soedarmo, Garna H, Hadinegoro Sri Rezeki S, Satari H I. Demam:Petogenesis dan Pengobatan. Dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI, Jakarta, 2010. 27-29. Schifano P, Cappai G, Sario MD, Michelozzi P, Marino C, Bargagli AM, Perucci CA. Susceptibility to heat wave-related mortality: a follow-up study of a cohort of elderly in Rome. Environmental Health 8:50, 2009 Vogelaere P, Pereira C. Thermoregulation and aging. Rev Port Cardiol 24(5):747-61, 2005. Kenney WL, Munce TA. Invited review: Aging and human termperature regulation. J Appl Physiol 95:2598-603, 2003. Sharma Keerti. Atypical presentation of disease in the older adult. Dalam Case-Based Geriatrics A Global Approach. Edisi ke-1. McGraw Hill, San Francisco, 2011:115. Guyton, AC. Textbook of Medical Physiology 8th ed. Philadelphia: Saunders. 1998. Sanders AB. Emergency Care of The Elder Persons, Saunders ed. St Louis: Beverly Publikasi Cracom. 1996.
121
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
122
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Osteoporosis pada Usia Lanjut Suyanto Hadi
Pendahuluan Osteoporosis merupakan kelainan sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah, berkurangnya mikroarsitektur jaringan tulang sehingga menaikkan risiko fragilitas dan fraktur tulang.1,2,3,4 Kelainan ini sering dijumpai pada penderita usia lanjut, sehingga menyebabkan masalah medis dan sosial di negara maju. Pada populasi usia lanjut dilaporkan kejadian osteoporosis dan komplikasi fraktur tulang akan meningkat.5 Bila mengacu pada kriteria osteoporosis WHO, maka pada wanita dewasa muda kulit putih Hispanik Amerika akan menderita osteopenia 15%, sedangkan 0,6% diantaranya akan menderita osteoporosis. Pada peningkatan usia yaitu usia 60-70 osteoporosis akan terjadi pada 1 diantara 3 wanita kulit putih. Wanita lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan pria (3:1), sepertiga wanita usia lebih dari 65 tahun akan mendapat fraktur vertebra dan risiko fraktura panggul.6 Fraktur akibat osteoporosis seringkali disebabkan oleh trauma yang relatif ringan (fraktur patologis) contohnya jatuh akibat terpeleset yang ringan, dimana bila keadaan jatuh tersebut terjadi pada usia muda tidak akan menyebabkan fraktur.5,6 Meskipun osteoporosis merupakan penyakit dengan perjalanan klinik yang progresif, tetapi kelainan ini sering tidak menimbulkan gejala klinik yang nyata (silent diseases), artinya penderita sering tidak merasakan gejala klinik (nyeri) sampai terjadi fraktur tulang.
Fraktur akibat osteoporosis Fraktura panggul Kejadian fraktur panggul bertambah secara dramatik pada usia lanjut. Pada tahun 1991 dilaporkan terjadi 300.000 fraktura panggul di Amerika Serikat, dimana 94% penderita fraktur panggul tersebut berusia lebih dari 50 tahun. Diperkirakan angka kejadian fraktur panggul sebesar 8 penderita setiap 1.000 wanita kulit putih, 4 penderita setiap 1.000 pria kulit putih dan 2 penderita setiap 1.000 pria negro.5
Fraktur vertebra Meskipun fraktura tulang vertebra paling sering dijumpai pada penderita osteoporosis usia lanjut, tetapi angka kejadian fraktur vertebra pada usia lanjut yang dilaporkan lebih rendah dibandingkan fraktur panggul. Angka kejadian fraktur vertebra yang rendah ini disebabkan tidak menyebabkan gejala klinik yang nyata (silent) dibandingkan fraktur panggul. Laporan dari Eropa menunjukkan kejadian fraktur vertebra
123
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pada pria usia 50 tahun lebih sekitar 10%, dan akan bertambah menjadi 18% pada populasi usia 75 tahun. Pada wanita usia 50 tahun lebih dilaporkan sebesar 5%, akan bertambah menjadi 24% pada populasi 74 tahun atau lebih.5
Fraktur sendi perifer Fraktur lengan bawah sering diakibatkan jatuh dengan posisi tangan menahan beban tubuh. Pada pria angka kejadian fraktur lengan bawah relatif konstan pada usia 20 tahun dibandingkan usia 70 tahun. 5
Etiologik/patogenesis Tulang diproduksi oleh suatu sel yang dinamakan osteoblast, sebaliknya akan dihancurkan atau degradasi oleh osteoklast. Pembentukan tulang oleh osteoblast berlangsung lebih tinggi dibandingkan penghancurannya, sehingga tercapai pembentukan puncak massa tulang tulang maksimal pada usia 20-30 tahun.6,8 Periode sesudah 30 tahun proses pembentukan dan penghancuran tulang berjalan seimbang, sampai akhirnya pada usia 50 tahun (dekade ke-5) atau lebih proses penghancuran akan lebih besar dibandingkan pembentukannya. Pada usia 80 tahun atau lebih akan kehilangan massa tulang pada wanita sebesar 40%, dan pria 25%.6 Pada wanita menopause penghancuran massa tulang bertambah tergantung dari tingkat defisiensi estrogen (fungsi ovarium) yang terjadi. Defisiensi estrogen akan mentriger pembentukan sitokin lokal yang kemudian akan menyebabkan fungsi osteoklast untuk meresobsi tulang bertambah. Terjadi bone turnover yang bertambah dan keseimbangan remodeling tulang terganggu. Faktor lokal yang dapat mempengaruhi pembentukan metabolisme tulang belum diketahui, saat ini telah dapat diisolasi protein dari tulang yang dapat menstimulasi pre osteoblast menjadi osteoblast mature. Protein ini di-release saat terjadi resorpsi tulang oleh osteoklast.9,10
Faktor risiko osteoporosis dan fraktur Faktor risiko osteoporosis Faktor risiko osteoporosis dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.5 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor usia, jenis kelamin, genetik/ras, menopause awal dan riwayat keluarga pernah mengalami fraktur. Ras Negro ternyata mempunyai tulang lebih kuat dibandingkan kulit putih, pria negro tidak pernah atau minimal menderita osteoporosis.10 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah; kurang gerak/olah raga (in adequate exercise), nutrisi kurang (inadequate nutrition), kalsium/vitamin D, merokok, alkohol, body weight dan pengguna obat-obatan tertentu (kortikosteroid, anti konvulsan, benzodiasepam dan berbagai hormon antara lain insulin dan tiroid).
124
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Rendahnya body weight seseorang dihubungkan dengan rendahnya BMD dan dihubungkan dengan kenaikan kejadian fraktur tulang patologis..9,10 Tekanan fisik pada tulang secara langsung yaitu bekerja dengan beban, ternyata dapat mempengaruhi faktor remodeling tulang, sehingga menaikkan jumlah massa tulang lewat efek yang disebut piezoelectric effect. Edukasi terhadap aktivitas sehari-hari sangat diperlukan untuk menaikkan massa tulang. Diperlukan kerjasama dengan fisioterapis, perawat, ahli gizi, ahli tulang/reumatik (health professional).9,10 Kehidupan life style yang aktif termasuk reguler weight bearing exercise, menghindari rokok, konsumsi kalsium dan vitamin D sangat berpengaruh terhadap pembentukan massa tulang dan mempengaruhi BMD. Hormon insulin dapat menstimulasi pembentukan dan aktivitas osteoklast. Secara tidak langsung menstimulasi vitamin D.9,10 Hormon tiroid menstimulasi aktivitas osteoklast sehingga terjadi resorpsi tulang. Kenaikan kalsium darah akan menyebabkan penurunan produksi hormon paratiroid, penurunan sintesis vitamin D, sehingga absorpsi kalsium usus menurun.9,10 Efek pemberian kortikosteroid pada tulang berlawanan dengan efek vitamin D dalam metabolisme atau resorpsi kalsium. Studi pengukuran bone mineral density (BMD) dengan photon absorbsiometric kehilangan massa tulang tertinggi di vertebra lumbal, sedikit di kaput femoral dan lengan bawah. Kehilangan massa tulang yang konsisten terjadi bila dosis kortikosteroid 7,5 mg sehari.11
Gambaran klinik/diagnosis osteoporosis Osteoporosis sering mengakibatkan komplikasi fraktur. Fraktur akibat osteoporosis biasanya berlokasi di vertebra lumbal, panggul dan pergelangan tangan. Tingginya fraktur tulang penderita usia lanjut akibat osteoporosis menyebabkan beban sosio ekonomik yang tinggi, di samping menyebabkan komplikasi kematian yang tinggi. Lokasi terbanyak fraktur akibat osteoporosis adalah vertebra, panggul (kolum femoris), dan pergelangan tangan (wrists). Di antara kesemuanya vertebra merupakan tulang yang paling banyak menderita fraktura osteoporosis. Hampir semua fraktur akibat osteoporosis adalah akibat trauma yang ringan (fraktura patologis). Rasa nyeri pada fraktur vertebra seringkali tidak dikeluhkan oleh penderita. Bila timbul nyeri pada fraktur vertebra sifatnya terlokalisir disertai keterbatasan lingkup gerak sendi. Intervensi dibutuhkan untuk mengurangi rasa nyeri dan menaikkan aktivitas. Nyeri akibat osteoporosis timbul sampai 4-6 minggu. Bila rasa nyeri berkepanjangan maka perlu dipikirkan penyebab nyeri akibat metastasis tumor, mieloma multipel. Bila timbul nyeri yang bersifat radikuler, perlu dipertimbangkan adanya hernia nucleus purposus (HNP). Semua fraktur vertebra akibat osteoporosis dihubungkan dengan kurangnya tinggi badan penderita. Pada vertebra torakalis fraktur yang terjadi akan menyebabkan kiposis, sebaliknya fraktur vertebra lumbalis akan menyebabkan lordosis berkurang sehingga
125
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
vertebra menjadi lurus dan skoliosis. Bila jumlah vertebra yang mengalami fraktur bertambah maka kiposis dan berkurangnya lordosis akan bertambah pula. Kurangnya tinggi badan akan menyebabkan pemendekan otot para vertebra. Pemendekan otot ini akan menyebabkan fase kontraksi otot menjadi makin panjang sehingga penderita akan mengeluh nyeri pinggang akibat spasme otot. Nyeri otot para vertebra akan bertambah bila penderita banyak melakukan aktivitas berdiri dan berkurang bila berjalan. Seringkali emosi penderita bertambah karena bentuk kosmetika yang jelek akibat pemendekan tubuh tersebut. Bila deformitas bertambah penderita mengeluh nyeri abdominal sesudah makan, nyeri ini dapat dikurangi bila porsi konsumsi makan dikurangi.1,3
Pemeriksaan BMD Osteoporosis saat ini dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan non in vasif yaitu bone densitometri (BMD). Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO) membuat kriteria untuk massa tulang normal, massa tulang rendah atau osteopenia dan osteoporosis. Diagnosis osteoporosis berbasis pada perbandingan puncak massa tulang penderita dewasa (peak adult bone mass/PABM) dari populasi wanita Caucasian pasca menopause menggunakan ukuran 2,5 SD standard deviasi (SD) PABM. Terdapat 30% prevalensi osteoporosis pada wanita Caucasian pasca menopause. Kriteria WHO Osteopenia adalah ukuran +1 sampai -2,5 PABM. Meskipun risiko fraktur patologis penderita osteopenia lebih rendah dibandingkan osteoporosis, penderita dengan osteopenia tetap memerlukan evaluasi dan pengobatan. Penderita osteopenia yang mendapat pengobatan osteoporosis memerlukan terapi untuk mencegah fraktur tulang. BMD menggambarkan kekerasan tulang, tetapi tidak menggambarkan mikroarsitektur tulang secara keseluruhan yang ikut mempengaruhi kekuatan tulang (bone strength), dan risiko terjadinya fraktur. Pemeriksaan BMD standard mempergunakan dual-energy x-ray absorbtiometer (DEXA). Apabila pemeriksaan BMD untuk menetapkan osteoporosis mempergunakan sistem skor dengan usia yang sama (Z score), maka osteoporosis tidak akan lebih tinggi dibandingkan usia yang sama dan kejadian osteoporosis yang sebenarnya akan di bawah estimasi.1,3 Indikasi pemeriksaan BMD adalah; 1) wanita dengan defisiensi estrogen, 2) diagnosis osteoporosis pada penderita dengan vertebra abnormal atau radiologik osteopenia untuk menentukan diagnosis dan evaluasi lebih lanjut 3) penderita pengguna steroid jangka panjang 4) penderita hiperparatiroid untuk mendeteksi massa tulang yang rendah.9,10
Pemeriksaan laboratorik Sampai saat ini belum ada guideline definitif tentang marker biokimiawi untuk mendiagnosis penderita osteoporosis. Meskipun demikian telah diketahui marker yang menggambarkan aktivitas pembentukan atau resorpsi tulang. Aktivitas pembentukan tulang (bone formation) diwakili marker biokimiawi alkali fosfatase tulang
126
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
(bone spesific alkaline phosphatase), sebaliknya aktivitas resorpsi tulang oleh osteoklast diwakili marker biokimiawi kolagen cross link yaitu: N telopeptide (Ntx) dan C telopeptide (CTx). Material marker resopsi tulang diperoleh dari urine, sedangkan material marker pembentukan tulang diperoleh dari darah. Wanita dengan BMD yang rendah disertai kenaikan marker resorpsi tulang akan mengalami resopsi tulang dikemudian hari dan merupakan kandidat untuk diberikan terapi.5
Manajemen osteoporosis pada usia lanjut Manajemen osteoporosis pada usia lanjut dibedakan menjadi manajemen “non” farmakologik dan farmakologik. Manajemen “non” farmakologik dilakukan dengan latihan (exercise), suplemen vitamin D dan pemberian kalsium. Latihan dapat mengurangi risiko fraktur sebanyak dua kali. Dengan latihan maka akan menambah BMD (kekuatan) dan kualitas tulang. Keuntungan latihan yang lain adalah menambah kekuatan otot sehingga dapat mengurangi risiko jatuh. Kebutuhan kalsium sehari adalah 1.200 mg pada wanita dan pria dengan usia lebih 50 tahun. Dari diet sehari-hari kalsium yang diperoleh sebesar 500-600 mg, sehingga kebutuhan kalsium dari suplemen adalah 600-700 mg sehari. Kalsium karbonat lebih murah dibandingkan kalsium yang lainnya. Untuk reliabilitas absorbsi, maka secara teoritis dibutuhkan suplemen tablet kalsium karbonat 600-700 mg sehari. Berkurangnya kadar vitamin D akan menyebabkan metabolisme kalsium terganggu, reabsorpsi kalsium usus berkurang, terjadi stimulasi fungsi kelenjar paratiroid (hiperparatiroid) yang kemudian akan menyebabkan stimulasi resorpsi tulang dan hambatan fungsi osteoblast dalam pembentukan tulang.9,10
Manajemen farmakologik Tujuan utama manajemen farmakologik pada penderita osteoporosis adalah untuk mengurangi risiko fraktur tulang. Beberapa obat yang dipergunakan adalah derivat bifosfonat yaitu alendronat dan risedronat. Obat yang lain adalah raloxifen dan kalsitonin. Bifosfonat dapat mengikat hidrotoksiapatit pada permukaan tulang sehingga dapat menghambat resorpsi tulang.5 Alendronat merupakan bifosfonat pertama yang disetujui FDA tahun 1995. Dibandingkan plasebo maka pemberian alendronat selama 3 tahun dapat menaikkan BMD sebesar 5,9% pada kolum femoris. Risiko fraktura vertebra dapat diturunan srebesar 47%.5 Pemberian risedronat 5 mg/hari selama 24 bulan dapat menaikan BMD vertebra lumbal sebesar 4% dibandingkan pemberian plasebo. Pemberian risedronat juga dapat menurunkan fraktur vertebra dan non vertebra sebesar 41% dan 39%. Efek samping preparat bifosfonat minimal, efek samping tersebut berupa esofagitis. Anjuran obat diminum saat perut kosong ditambah segelas air untuk menambah absorbsi obat dan mengurangi komplikasi esofagitis. Berapa lama preparat bifosfonat diberikan masih kontroversial. Pemberian preparat bifosfonat selama lima tahun dan dihentikan 2 tahun, nilai BMD ternyata dilaporkan tidak mengalami perubahan.5
127
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hormon estrogen efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada wanita menopause awal. Estrogen konyugasi oral dapat mencegah osteoporosis bila diberikan saat menopause. Estrogen dapat menaikan sensitivitas sel C tiroid untuk memproduksi kalsitonin. Kalsitonin dapat menghambat pembentukan dan fungsi osteoklast (lewat reseptor spesifik osteoklast). Estrogen juga menstimulasi absorbsi kalsium di intestinal secara langsung atau tidak langsung dengan membentuk vitamin D.10 Studi randomized controlled trial pada wanita osteoporosis usia sebelum 60 tahun menunjukkan pemberian estrogen dapat menurunkan risiko fraktur vertebra. Efek samping pemberian HRD adalah perdarahan uterus, perdarahan tersebut rendah pada dosis pemberian estrogen rendah. Secara teoritis efek samping yang ditakutkan terjadi selain perdarahan pada pemberian terapi estrogen adalah keganasan payudara dan endometrium.5
Ringkasan Osteoporosis pada usia lanjut mempunyai angka kejadian tinggi, di samping mempunyai risiko fraktur baik pada panggul, vertebra dijumpai hampir pada sepertiga penderita osteoporosis. Life style merokok, kurang olah raga, konsumsi kalsium dan vitamin D kurang sangat mempengaruhi kejadian osteoporosis. Terapi bifosfonat pada penderita osteoporosis usia lanjut dapat menaikan BMD dan menurunkan risiko fraktura. Demikian pula pemberian estrogen pada penderita osteoporosis menopause dengan usia kurang dari usia 60 tahun bermanfaat menurunkan risiko fraktur vertebra.
Daftar pustaka 1.
Raspr HH, Sambrook P and Dequeker J. Osteoporosis. In: Dieppe PA, and Klippel JH. Rheumatology. Bristol; Mosby Year Book, 1994: 732.1-9.
2.
Ashok K. Bhalla. Osteoporosis and Osteomalacia. In: Maddison FJ, Isenberg DA, Woo PA, and Glass DN. Oxford Text Book of Rheumatology. Oxford: Oxford Medical Press, 2003: 1005-30.
3.
Miller P and Lane NE. Osteoporosis. Clinical and Laboratory Feature. In: Klipel JH. Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001:5; 18-22.
4.
Morgan SL. Saag KG, Julian BA, and Blair H. Osteopenic Bone Diseases. In: Koopman WJ. Arthritis and Allied Conditions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001: 2449-95.
5.
Srivasta M, and Deal C. Osteoporosis in elderly; prevention and treatment. Clin Geriatri Med 18, 2002: 529-55
6.
Nevitt MC. Osteoporosis. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH. Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 511-7.
7.
Nelson B and Watts. Osteoporosis Treatment. In: Klippel JH. Primer on The Rheumatic Diseases.Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 523-6.
128
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
8.
Witham B and Davidson J. The Osteoporosis Hand Book. Victoria: Arthritis Foundation, 1994: 3-9.
9.
Poole K.F.S. Compston J. Osteoporosis and Its Management. BMJ, 2006: 333: 12519.
10. Remagen W. Osteoporosis.Switzerland: Sandoz Ltd, 1989: 3-11. 11. Kirwan JR. Systemic Corticosteroid in Rheumatology. In: Klippel JH. And Dieppe P. Rheumatology. St Louis: Mosby-Year Book Europe, 1994: 8.11. 1-6.
129
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
130
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Jatuh pada Usia Lanjut Nina Kemala Sari
Pendahuluan Jatuh pada usia lanjut merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang masih sering tidak terperhatikan. Jatuh dan komplikasinya merupakan penyebab kematian kelima di negara maju, dan lebih dari 30% mereka yang berusia 65 tahun ke atas akan jatuh minimalnya satu kali setahun. Jatuh juga merupakan alasan utama perawatan pada 85% cedera. Biaya perawatan terkait jatuh dan komplikasinya diperkirakan jutaan dolar di seluruh dunia. Karena itu faktor-faktor risiko jatuh pada usia lanjut perlu mendapat perhatian serius.
Perubahan akibat proses menua terkait instabilitas dan jatuh Proses menua menyebabkan beberapa perubahan yang menyebabkan gangguan keseimbangan dan jatuh seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Proses menua yang berperan terhadap instabilitas dan jatuh Faktor yang berkontribusi
Perubahan
Perubahan kontrol postural
Menurunnya proprioseptif Melambatnya refleks Menurunnya tonus otot Meningkatnya ayunan postural Hipotensi ortostatik Perubahan gaya berjalan Kaki tidak terangkat cukup tinggi postur tubuh membungkuk, kedua kaki melebar dan langkah pendekpendek. kedua kaki menyempit dan gaya jalan bergoyang-goyang. Peningkatan kondisi patologis Penyakit sendi degeneratif Patah tulang panggul dan femur Strok dengan gejala sisa Kelemahan otot karena lama tidak digunakan dan deconditioning Neuropati perifer Penyakit atau deformitas kaki Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Pelupa dan demensia Penyakit lain: penyakit kardiovaskular, parkinsonism Peningkatan kondisi Penyakit jantung kongestif yang menyebabkan nokturia Insufisiensi vena, dll Peningkatan prevalensi Gangguan fungsi kognitif. demensia
131
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Faktor risiko jatuh Risiko jatuh bersifat multi faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik. Pada populasi usia lanjut umum, faktor-faktor yang terkait erat dengan risiko jatuh adalah riwayat jatuh sebelumnya, kelemahan otot, gangguan gaya berjalan atau keseimbangan, gangguan penglihatan, artritis, keterbatasan fungsional, depresi dan penggunaan obat-obat psikotropik. Makin banyak faktor risiko, kemungkinan jatuh makin besar.
Faktor risiko intrinsik Faktor risiko intrinsik terdiri dari faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal adalah osteoartritis genu/ vertebra/ lumbal, gangguan pendengaran/ penglihatan, gangguan sistem keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi atau osteoartritis servikal. Kelemahan otot kuadrisep femoris turut berperan menyebabkan terjadinya jatuh karena tidak mampu mengangkat tungkai secara optimal saat berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun dari duduk. Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, atau gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia, ataupun hipoksia, atau adanya gangguan aliran darah ke otak seperti pada keadaan hiperkoagulasi, stroke dan transient ischemic attack (TIA). Obat-obatan juga merupakan faktor tersering yang menyebabkan jatuh pada usia lanjut seperti diuretik, hipnotiksedatif dan antidepresan.
Faktor risiko ekstrinsik Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh. Contoh faktor ekstrinsik adalah kurangnya pencahayaan ruangan, lantai licin, basah atau tidak rata, furnitur terlalu rendah atau terlalu tinggi, tangga tidak aman, kamar mandi dengan bak terlalu rendah/ kloset terlalu rendah atau terlalu tinggi tanpa pegangan, kabel berserakan di lantai, karpet terlalu tebal hingga kaki mudah tersandung dan benda-benda di lantai yang membuat tersandung.
Penilaian risiko jatuh/pemeriksaan keseimbangan Terdapat berbagai instrumen penilaian mobilitas fungsional terhadap risiko jatuh. Kriteria gold standard untuk instrumen penilaian mutu risiko selayaknya mengacu pada terpenuhinya hal-hal berikut ini: z Telah divalidasi pada studi prospektif. z Menggunakan analisis spesifisitas dan sensitifitas. z Teruji pada lebih dari satu populasi.
132
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
z z z z
Menunjukkan validitas face yang baik. Menunjukkan inter-rater reliability yang baik. Kepatuhan yang baik oleh staf. Kejelasan dan kemudahan menghitung skor.
Sebuah studi melakukan evaluasi sistematik dari 34 penelitian yang telah diterbitkan yang menguji validitas dan reliabilitas instrumen penilaian risiko jatuh pada usia lanjut di masyarakat, perawatan rumah, perawatan kronik, dan perawatan akut di rumah sakit. Terdapat 38 instrumen yang digunakan. Jika memakai kriteria nilai prediktif tinggi menurut Oliver dkk yang mensyaratkan titik potong sensitifitas dan spesifisitas 70% sebagai nilai prediktif tinggi, maka terdapat 6 instrumen dari 4 penelitian yang memenuhi kriteria tersebut. Tidak ada instrumen yang memenuhi syarat untuk perawatan rumah (tabel 2).Tiga instrumen,The 5 Min Walk, The Five-StepTest, dan The Functional Reach berasal dari komunitas masyarakat (tabel 3). Instrumen yang masuk kriteria dari perawatan kronik adalah The Mobility Fall Chart (tabel 4 ) dan 2 instrumen, The Fall-Risk Assessment dan STRATIFY dari perawatan akut di rumah sakit (tabel 5). Tabel 2. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di perawatan rumah Instrumen
Penulis
Waktu yang dibutuhkan (menit)
Jumlah sample (orang)
Usia rata-rata (tahun)
Sensitivitas
Spesifisitas
IRR
Activity-based balance & gait Berg balance Physiological & clinical predictors Postural balance testing
Topper
40-55
100
83
72
57
NS
Berg Lord
10-15 NS
113 66
72 86
NS NS
NS NS
NS NS
Maki
45-60
96
83
80
43
NS
Tabel 3. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di komunitas Instrumen
Penulis
Waktu yang dibutuhkan
Jumlah sample (orang)
Usia ratarata (tahun)
Sensitivitas
Spesifisitas
IRR
Balance self efficacy Berg balance CTSIB Dynamic gait index Elderly fall screening Fall-risk screen test 5 min Walk Five-step test Floor transfer Functional reach GPSS
Gunter Thorbahn Boulgarides Boulgarides Cwikel Tromp Murphy Murphy Murphy Murphy Alessi
NS 15-20 mnt <3 mnt NS NS NS 5 mnt NS NS NS NS
142 66 99 99 283 1285 45 45 45 45 147
80 79 74 74 71 75 73 73 73 73 74
83 53 NS NS 83 54 82 82 64 73 94
38 96 NS NS 69 79 79 82 100 88 NS
NS 0,88 NS 0,80 NS NS NS NS NS NS 0,88
133
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Home assessment Lateral reach POAM-B Maximum step length Postural stability Quantitative gait Rapid step Step up test Tandem stance Timed up and go Tinetti balance 100% limit of stability
Chandler Brauer Murphy Cho Brauer Feltner Cho Brauer Murphy Boulgarides Raiche Boulgarides
NS NS NS <10 mnt NS NS <10 mnt 15 dtk 10 dtk <1 mnt NS NS
159 100 167 45 100 17 167 100 45 99 225 99
75 71 78 73 71 73 78 71 73 74 80 74
NS NS NS 55 14 NS NS NS 55 NS 70 NS
NS NS NS 97 94 NS NS NS 94 NS 52 NS
0,92 0,99 0,86 NS NS NS 0,42 NS NS 0,99 NS NS
Tabel 4. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di perawatan kronik Instrumen
Penulis
Waktu yang dibutuhkan
Jumlah sample (orang)
Usia ratarata (tahun)
Sensitivitas
Spesifisitas
IRR
Area ellipse of postural sway Downtown index Functional reach Functional reach Mean velocity of postural sway Mobility fall chart Mobility fall chart Morse Fall Scale Time chair stands Timed up and go Timed walk Tinetti balance subscale
Thapa
10 dtk
118
81
NS
NS
0,72
Rosendhal Rockwood Thapa Thapa
NS NS NS 10 dtk
78 323 118 118
81 78 81 81
91 NS NS NS
39 NS NS NS
NS 0,92 0,57 NS
Lundin-Olsson Lundin-Olsson Morse Thapa Rockwood Thapa Thapa
5-15 mnt 5-15 mnt 1-3 mnt 30 dtk <1 mnt 10 kaki NS
78 208 124 118 323 118 118
82 82 NS 81 79 81 81
85 43 NS NS NS NS NS
82 69 NS NS NS NS NS
0,80 NS 0,96 0,63 0,56 0,88 0,98
Tabel 5. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di perawatan akut rumah sakit Instrumen
Penulis
Waktu yang dibutuhkan
Jumlah sample (orang)
Usia ratarata (tahun)
Sensi- Spesi- IRR tivitas fisitas
Berg balance Conley scale Downtown index Elderly mobility scale Fall-risk assessment Functional reach Morse fall scale Stratify
Wood-Dauphine Conley Nyberg Prosser Schmid Eagle Morse Oliver
10-15 mnt 1-2 mnt NS NS NS NS 1-3 mnt 1 mnt
60 1168 135 66 334 98 1939 217,331
71 74 NS 82 60-69 69 NS 80,83
NS 71 91 NS 93 76 NS 93,92
134
NS 59 27 NS 78 34 NS 88,68
0,98 0,80 NS 0,88 0,88 NS 0,96 NS
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Studi lain yang dilakukan kemudian menggunakan instrumen Falls Risk for Older People in the Community (FROP-Com) untuk mengidentifikasi risiko jatuh bagi usia lanjut yang dibawa ke unit gawat darurat. Komponen-komponen yang berkaitan prediksi jatuh adalah jumlah jatuh dalam 12 bulan terakhir, observasi keseimbangan, serta apakah membutuhkan bantuan untuk melakukan ADL domestik. Untuk ketiga item tersebut, area under the curve (AUC) untuk receiving operating curve (ROC) dari Skrining FROP-Com ini adalah 0,73 (95% CI 0,67-0,79) dengan sensitivitas 67% (95% CI 59,9-74,3) dan spesifisitas 67% (95% CI 59,8-73,6). Berikut ini diperlihatkan instrumen penilaian risiko jatuh bagi usia lanjut di ruang rawat akut rumah sakit yaitu The Fall Risk Assessment. (tabel 6). Tabel 6. The Fall-Risk Assessment/ Penilaian Risiko Jatuh Pasien Geriatri No Tingkat Risiko
Skor
1 2 3 4 5 6 7
4 3 3 3 2 2
Gangguan gaya berjala (diseret, menghentak, berayun) Pusing/ pingsan pada posisi tegak Kebingungan setiap saat Nokturia/ inkontinen Kebingungan intermiten Kelemahan umum Obat-obat berisiko tinggi (diuretik, narkotik, sedatif, anti psikotik, laksatif, vasodilator, antiaritmia, antihipertensi, obat hipoglikemik, antidepresan, neuroleptik, NSAID) 8 Riwayat jatuh dalam waktu 12 bulan sebelumnya 9 Osteoporosis 10 Gangguan pendengaran atau penglihatan 11 Usia 70 tahun ke atas
Nilai Skor
2 2 1 1 1
Jumlah
Cara melakukan skoring: jumlahkan semua angka di belakang faktor risiko yang ada pada pasien. Tingkat risiko dan tindakan yang disarankan ditentukan sebagai berikut: Tingkat risiko rendah: skor 1-3. Nilai kembali risiko jatuh tiap 12 jam. Berikan edukasi. Tingkat risiko tinggi: >4. Pakaikan gelang risiko jatuh. Komunikasikan risiko jatuh pada tim interdisiplin, pada pasien dan keluarga. Usahakan ada penunggu pasien. Tempatkan pasien dekat nurse station. Monitor kebutuhan pasien secara berkala (minimal tiap 2 jam). Pegangan tangan mudah dijangkau. Gunakan alas kaki yang tidak licin. Gunakan walker untuk bantuan berjalan. Konsul ke farmasi untuk melihat kemungkinan interaksi obat serta ke rehabilitasi medik untuk aktivitas harian.
Tatalaksana jatuh Prinsip dasar tatalaksana jatuh pada usia lanjut adalah mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh, mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, pemilihan sepatu atau sandal yang sesuai, memodifikasi lingkungan agar lebih aman dan sebagainya.
135
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 8. Penilaian Klinis dan Tatalaksana bagi Usia Lanjut yang Berisiko Jatuh Penilaian dan Faktor Risiko
Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya
Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi kemungkinan jatuh berulang
Konsumsi obat-obatan: - Obat-obat berisiko tinggi: benzodiazepin, neuroleptik, antidepresi, antikonvulsi, atau antiaritmia kelas IA. - Konsumsi 4 macam obat atau lebih.
Review dan kurangi konsumsi obat-obatan
Penglihatan Penerangan yang tidak menyilaukan, hindari pemakaian - Visus <20/60 kacamata multifokal saat berjalan, rujuk ke dokter - Penurunan persepsi kedalaman spesialis mata. (depth perception) - Penurunan sensitivitas terhadap kontras - Katarak Tekanan darah postural (setelah >5 menit dalam posisi berbaring, segera setelah berdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan sistolik turun >20 mmHg (atau >20%), dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit berdiri.
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan, review dan kurangi obat-obatan, modifikasi dari restriksi garam, hidrasi adekuat, strategi kompensasi (elevasi bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi), stoking kompresi, terapi farmakologis jika strategi di atas gagal.
Keseimbangan dan gaya berjalan - Laporan pasien atau observasi adanya ketidakstabilan - Gangguan pada penilaian singkat.
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan, kurangi obat-obatan yang mengganggu keseimbangan, intervensi lingkungan, rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan latihan keseimbangan dan gaya berjalan.
Pemeriksaan neurologis - Gangguan proprioseptif - Gangguan kognitif - Penurunan kekuatan otot.
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan, tingkatkan input proprioseptif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak rendah dan bersol tipis), kurangi obat-obatan yang mengganggu fungsi kognitif, kewaspadaan pendamping mengenai adanya defisit kognitif, kurangi faktor risiko lingkungan, rujuk ke rehabiltasi medik untuk latihan gaya berjalan, keseimbangan, dan kekuatan.
Pemeriksaan muskuloskeletal, pemeriksaan tungkai (sendi dan lingkup gerak sendi) dan pemeriksaan kaki.
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan, rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan kekuatan, lingkup gerak sendi, gaya bejalan dan keseimbangan serta untuk alat bantu, gunakan alas kaki yang sesuai, rujuk ke podiatris.
Pemeriksaan kardiovaskular - Sinkop - Aritmia (jika telah diketahui adanya penyakit kardiovaskular, terdapat EKG yang abnormal, dan sinkop).
Rujuk ke dokter spesialis jantung, pemijatan sinus karotis (pada kasus sinkop).
Evaluasi terhadap bahaya di rumah setelah dipulangkan dari rumah sakit.
Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan lampu malam hari, lantai kamar mandi yang tidak licin, pegangan tangga, serta intervensi lain yang diperlukan.
136
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Kesimpulan Terdapat berbagai faktor risiko dan penyebab jatuh pada usia lanjut. Penting dikaji kemungkinan risiko jatuh pada usia lanjut. Validitas dan reliabilitas instrumen penilaian risiko jatuh pada usia lanjut perlu dipertimbangkan saat memilih instrumen yang sesuai untuk berbagai lokasi seperti di komunitas, perawatan rumah, perawatan kronik, atau perawatan akut di rumah sakit. Prinsip dasar tatalaksana jatuh pada usia lanjut adalah mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh serta mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh.
Referensi 1.
Woolcot JC, Richardson KJ, Wiens MO, Patel B, Marin J, Khan KM, Marra CA, et al. Meta-analysis of the impact of 9 medication classes on falls in elderly persons. Arch Intern Med 2009; 169(21).
2.
Scott V, Votova K, Scanlan A, Close J. Multifactorial and functional mobility assessment tools for all risk among older adults in community, home support, long-term and acute care settings. Age and Ageing 2007; 36: 130-139.
3.
Russell MA, Hill KD, Blackberry I, Gurrin LC, Dharmage SC. Development of the falls risk for older people in the community (FROP-Com) screening tool. Age and ageing 2009; 38: 40-46.
4.
Setiati S, Laksmi PW. Gangguan keseimbangan, jatuh, dan fraktur. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006. Hal. 1378-1387.
5.
Smith IJ, ed. Reducing the risk of falls in your health care organization. USA: Joint Commission Resources; 2005.
6.
Prince RL, Austin N, Devine A, Dick IM, Bruce D, Zhu K. Effects of ergocalciferol added to calcium on the risk of falls in elderly high-risk women. Arch Intern Med 2008; 168(1): 103-107.
7.
Campbell AJ, Robertson MC. Rethinking individual and community fall prevention strategies: a meta-regression comparing single and multifactorial interventions. Age and Ageing 2007; 36: 656-66.
137
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
138
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tatalaksana Gagal Jantung pada Lanjut Usia Muh A Sungkar
Abstrak Gagal jantung pada penderita lanjut usia sering dijumpai dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Perawatan oleh karena gagal jantung pada lanjut usia meningkatkan risiko kematian berikutnya, perawatan ulang karena gagal jantung, perawatan kembali oleh karena berbagai alasan dan menyebabkan penurunan gangguan fungsional yang besar. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung pada lanjut usia dapat menunjukan gejala awal yang tak khas. Gejala-gejala mungkin tak spesifik seperti perburukan status mental atau depresi dan tanda-tanda mungkin tersembunyi oleh adanya berbagai co-morbiditas sehingga gagal jantung kronik pada lanjut usia sulit untuk didiagnosis. Selain daripada itu, gagal jantung kronik pada lanjut usia juga sulit diterapi karena co-morbiditas yang banyak, pemberian polifarmasi dan tingginya kejadian efek samping obat. Terapi yang sulit ini menyebabkan mengapa dokter mungkin enggan untuk menggunakan sepenuhnya pilihan pengobatan yang tersedia pada penderita gagal jantung lanjut usia. Sangat sedikit data jumlah penderita usia lanjut yang dimasukkan dalam penelitian klinik utama gagal jantung karena masalah diagnosis dan pengobatan di antara penderita lanjut usia seperti kurangnya penggunaan ACE-inhibitor dan beta-blocker. Oleh karena beberapa pertimbangan pengobatan yang perlu dipertimbangkan yang disebabkan seringkali dijumpainya kontra indikasi dan keadaan patologis yang bersamaan.
139
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
140
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Prinsip Pengobatan Lanjut Usia dengan Diabetes Melitus: Dihubungkan dengan Perubahan Fisik, Kemampuan Fungsional, Kondisi Psikologis, Sosial Ekonomi, Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat
Rejeki Andayani Rahayu
Pendahuluan Dengan meningkatnya usia harapan hidup maka semakin banyak populasi lanjut usia (lansia). Berdasarkan penelitian di AS, 50 % lansia diatas 65 tahun minimal mempunyai 3 penyakit kronik.1 Penelitian-penelitian kohort telah menunjukkan terdapat berbagai tingkatan kapasitas medik, fungsional dan kognitif pada lansia, dari tingkat yang paling baik sampai tingkat yang paling rapuh.2 Hal ini membuat penatalaksanaan lansia menjadi sangat menantang, memerlukan ketelitian, keterpaduan berbagai multi disiplin dan individualis.3 Lansia dengan diabetes mellitus (DM) juga sangat bervariasi kondisinya, ada yang masih baik, tetapi ada juga yang sudah rapuh.1 Beberapa ada yang secara fisik, fungsional dan kognitif masih baik, tetapi ada yang mempunyai gangguan berbagai multiorgan dan mempunyai berbagai keterbatasan baik fisik, fungsional dan kognitif. Ada yang baru saja menderita DM, ada yang sudah lama dan sudah menderita berbagai komplikasi baik mikro maupun makroangiopati Dilain pihak kita memiliki berbagai macam panduan untuk penatalaksanaan DM, dimana panduan itu pasti berlaku umum dan seragam untuk semua orang. Apakah sebuah obat akan berefek sama bila dimakan oleh orang sehat dengan orang dengan gangguan absorbsi? Apakah sama kemampuan orang sehat dengan orang sakit dalam melakukan pembatasan asupan makanan? Variasi tingkat kesehatan, kemampuan fungsional, kognitif pada lansia sangat besar sehingga memerlukan penatalaksanaan yang berbeda tiap individu. Kita harus bisa melakukan penilaian secara holistik keseluruhan kapasitas medik, fungsional, psikososial dan lingkungan serta obat-obat yang sudah dipakai lansia sebelum kita bisa merencanakan pengobatan/ tatalaksana DM pada lansia secara aman dan berhasil mencapai tujuan.1,2,3
141
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan-perubahan pada Lansia Secara keseluruhan terdapat berbagai perubahan pada lansia seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini. Dari tabel 1 tersebut terlihat berbagai perubahan fisik normal yang terjadi pada lansia yang sehat. Keadaan-keadaan tersebut pasti mempengaruhi para lansia dalam segala aspek kehidupannya.3 Di samping perubahan fisik tersebut terdapat pula perubahan kapasitas fungsional, biasanya disebutkan berdasarkan berbagai index kapasitas fungsional, biasanya dipakai index Barthel atau index Katz . Kapasitas fungsional sering menunjukkan tingkat kesehatan secara keseluruhan lansia.4 Sedangkan kapasitas fungsional instrumental seperti menghitung, berbelanja, memasak dan mengatur rumah serta kemampuan bepergian sendiri menunjukkan kapasitas kognitif, psikologis dan sosial lansia.3,4,5 Tingkat kognitif lansia juga harus di-ases, karena kemampuan minum obat, menerima petunjuk diet dan olahraga dan atau kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk tatalaksana DM tidak dapat diterima/dilaksanakan lansia bila terdapat penurunan fungsi kognitif.6 Cara yang mudah untuk mengetahui kapasitas fungsi kognitif dengan memakai tes minimental 10 pertanyaan. Perubahan fisik yang terjadi pada lansia (Kane et al, 1999)
Keseluruhan Kardio vaskuler
Paru Ginjal Saluran makan Tulang Endocrine Sistem saraf
: - Berat badan, tinggi badan dan Total air badan9 - Rasio lemak dan otot badan : - Respon keluaran jantung/menit, Detak jantung terhadap stres - kekakuan tunika intima - kekakuan/sklerosis katup jantung - Pe elastisitas pembuluh darah tepi : - Pe elastisitas & aktivitas silia, reflek batuk - Kapasitas Vital, max pengambilan O2 : - glomerulus yang abnormal - aliran darah ginjal , creatinine cl . osmolaritas urin : - Pe rasa kecap, pe produksi ludah - Pe prod. HCL dan enzyme-enzym : - Osteoarthritis dan osteoporosis : - T3 dan testosteron bebas - Insulin, norepinephrine. Parathormone, vasopres. : - Berat otak , intellect. compl. Kemampuan belajar. - Jam tidur , REM
Bila terdapat kecurigaan gangguan kognitif (nilai salah >3) dilanjutkan dengan memeriksa MMSE 30 pertanyaaan.7 Di samping itu dapat dilakukan tes menggambar jam yang bisa dilakukan cepat di poliklinik rawat jalan.
142
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan lain yang juga harus di ases adalah kemampuan sosial ekonominya. Lansia sebagian besar sudah kehilangan pekerjaannya/ pensiun. Akibatnya daya dukung ekonomi untuk mencari pengobatan dan perawatan, hanya didukung oleh dana yang sedikit dan dana bantuan anak/cucunya. Kondisi sosialnya yaitu hubungan personal lansia dengan keluarga dan lingkungannya juga sangat mempengaruhi daya dukung tatalaksana DMnya. Dalam hal tatalaksana DM pada lansia kita juga harus melihat kemampuan lansia dalam kemampuan sistem endokrinnya. Kemampuan lansia menghadapi krisis atau stres baik fisik maupun psikis menurun. Kemampuan hormon-hormon steroid,kortisol dan glukagon dalam menghadapi kondisi gangguan homeostasis guna mempertahankan hemodinamik sudah menurun. Demikian juga kemampuan baroreseptor dan termostat serta daya cadangan faali jantung dan paru dalam menghadapi stres juga berkurrang.14,15,16,17,18 Itulah sebabnya kenapa dengan sedikit faktor pencetus dapat membuat seorang lansia terjatuh dalam kondisi yang buruk. Perubahan pada lansia juga terjadi dalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh, jadi berhubungan dengan absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Absorbsi di lambung terdapat perubahan, yaitu pH lambung naik sehingga sering absorbsi obat yang harus suasana asam seperti vit B12 menjadi lebih sulit, intestinal blood flow berkurang, transport aktif dan pasif terganggu, laju penyerapan berkurang sehingga konsentrasi puncak menurun dan waktu mencapai konsentrasi puncak menjadi lebih lama, sedangkan jumlah obat yang diserap relatif tidak berubah. Distribusi obat juga berubah, terjadi penurunan kadar albumin, kadar air tubuh, curah jantung dan masa otot, sedangkan jumlah lemak tubuh bertambah. Hal ini menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma bertambah, obat-obat terlarut air kadarnya berkurang sedangkan obat terlarut lemak akan bertahan lebih lama dalam badan. Metabolisme obat terlarut lemak dihati juga berkurang karena penurunan masa hati dan aktivitas ensim pada lansia; bersihan oleh ginjal untuk obat terlarut air juga berkurang karena penurunan renal blood flow dan fungsi ginjal. Farmakodinamik membahas efek obat terhadap badan, jadi berhubungan dengan fungsi obat, efek samping dan interaksi obat dalam tubuh. Terjadi perubahan berupa sensitifitas reseptor obat menurun, sehingga efektifitas obat yang merangsang biokimiawi obat berkurang, sedangkan obat yang menghambat biokimiawi sel efeknya bertambah. Secara umum farmakokinetik obat tidak banyak berubah pada lansia, sedangkan farmakodinamik sangat bervariasi perubahannya ada yang efeknya meningkat, sama atau menurun, demikian juga efek sampingnya.18
Penyakit-penyakit Ko-Morbid Penilaian secara menyeluruh kondisi medis lansia sangat diperlukan. Tetapi asesmen kapasitas medis keseluruhan ini membutuhkan banyak tenaga baik medis maupun perawat, juga membutuhkan tim multidisiplin yang bekerja interdisiplin, serta membutuhkan berbagai pemeriksaan penunjang yang tidak murah dan tidak mudah.
143
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
1,8,9 ,10,11,13,14
Penyakit-penyakit pada lansia sering tidak terlihat secara nyata, baik gejalanya, onset maupun tandanya, sehingga membutuhkan pemeriksaan yang teliti dan intensif. Penyakit-penyakit komorbid yang ada pada pasien lansia dengan DM ini mempengaruhi keputusan atau langkah yang harus diambil dalam rangka pengendalian gula darah. Penyakit-penyakit berat seperti gagal jantung, atrium fibrilasi respon ventrikel cepat, penyakit paru obstruktif kronik, osteoporosis, stroke dan lainlain yang membutuhkan penanganan khusus dan sering kronik, sangat menyulitkan pemilihan regimen obat atau penatalaksanaan DM. 19,20,21,22,23,24,25,26
Tatalaksana Dm dan Lansia Indikasi pengobatan diabetes lanjut usia menurut Orimo apabila kadar darah puasa sama atau lebih dari 140 mg%, atau HbA1C sama atau lebih dari 7% atau kadar glukosa darah 2 jam setelah makan setinggi 250 mg% dan pasien memperlihatkan adanya retinopati diabetik atau mikroalbuminuria. Adelman dan Chau yang menyebutkan bahwa indikasi pengobatan diabetes melitus lanjut usia adalah berdasarkan kriteria ADA (American Diabetes Association), mengingat farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada lanjut usia mengalami perubahan serta terjadinya perubahan komposisi tubuh,maka dianjurkan dosis obat yang diberikan dimulai dengan dosis rendah dan kenaikannya dilakukan secara lambat baik mengenai dosis maupun waktu (start low go slow).20,21,22,23,24,26 Obat yang digunakan untuk menurunkan glukosa darah harus dipilih yang bekerja pendek, mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tak terjadi efek samping. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah status sosial ekonomi penderita dalam pemilihan obat mengingat obat ini dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup.26
Prinsip penatalaksanaan DM Lansia dengan “Guideline” Guideline diciptakan dan dibuat oleh para pakar disiplin ilmu untuk membuat terapi/ penatalaksanaan menjadi mudah dan standar untuk suatu penyakit tertentu. Lansia yang mempunyai berbagai kondisi seperti penurunan fungsi multiorgan, multipatologi, polifarmasi, mempunyai berbagai sindrom geriatri, sungguh sangat sulit mengikuti berbagai guideline tersebut.1 Penatalaksanaan DM terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi kronis dan menghilangkan risiko penyakit lain terutama cardio-cerebro vaskuler disease.27 Jadi kita harus mempertimbangkan berbagai macam hal sebelum melangkah untuk menerapi DM pada lansia. Jika kita menghadapi kasus yang sangat komplek maka sebelum melangkah ke tatalaksana, harus dijawab 2 pertanyaan dibawah ini (dikutip dari 29,30): 1.
Apa penyakit terbesar dan terberat yang diderita lansia DM ini?
2.
Bagaimana dokter bisa menentukan prioritas rekomendasi apa yang akan dipilih dalam keadaan ekstrim ini agar tercapai tujuannya mengontrol gula darah tapi tidak membuat pasien ini semakin menderita.
144
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Contoh kasus, di mana sebuah tim geriatrik akan memilih untuk jawaban pertama adalah memberikan terapi DM pada lansia setelah melakukan asesmen secara menyeluruh bagaimana kondisi pasien baik fungsi organ-organnya, penyakit komorbidnya, kapasitas fungsionalnya, sindrom geriatrik yang diderita, kondisi kognitif dan psikologisnya. Bila ternyata semuanya baik atau relatif baik, maka keputusannya adalah penyakit terbesar yang disandangnya saat ini adalah DM. Maka jawaban pertanyaan ke 2 adalah melakukan penatalaksanaan DM secara intensif guna mencegah terjadinya komplikasi kronik baik mikro dan makro vaskuler. Tetapi bila pada asesmen ditemukan kondisi pasien ternyata mempunyai penyakit jantung koroner dengan CHF NYHA II, anoreksia dan inkontinensia urin tipe urgensi sekaligus DM dan Hipertensi, maka penurunan gula darah tidak harus agresif, mengingat sudah terjadi penyakit yang lebih berat. Jadi prioritas penanganannya adalah memperbaiki gagal jantung, inkontinensia dan anoreksia. Di sinilah kemampuan dokter untuk mempertimbangkan keuntungan dan kerugian penatalaksanaan pasien diuji. Lalu apa yang menjadi pegangan buat menentukan prioritas tersebut ?
Pertimbangan pertama adalah usia harapan hidup. Usia harapan hidup orang Indonesia adalah 73 th untuk wanita dan 70 tahun untuk laki-laki. Berdasarkan penelitian Walter & Covinsky, usia harapan hidup setelah berumur 65 tahun terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama sebesar 25 % populasi bisa bertambah 17 tahun. Kelompok ke 2 sebesar 50% bertambah 12 tahun dan kelompok 3 sebanyak 25 % hanya bertambah 5 tahun. Kalau lansia masih mempunyai fisik , kapasitas fungsional dan psikologis bagus dia termasuk dalam kelompok 1, sebaliknya bila dia mempunyai penyakit yang berat dan kapasitas fungsional kurang termasuk dalam kelompok 3. Jadi bila lansia masuk dalam kelompok ke 3, terapi terhadap penyakit-penyakit yang bersifat factor risiko menjadi pilihan ke 2 setelah terapi life saving.16
Pertimbangan kedua adalah risiko kesehatan. Langkah ke dua ini adalah melihat/ menilai risiko terhadap kesehatan lansia bila kita menerapkan guideline. Risiko kesehatan ini termasuk penyakit-penyakit komorbid, sindrom geriatrik, kondisi psikososial dan untuk DM ada atau tidaknya mikro dan makro angiopati. Data dari penelitian menunjukkan bahwa penurunan tensi dan kadar lemak dan pemakaian aspirin dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Penelitian klinis menunjukkan keuntungan tersebut hanya pada 2-3 tahun pertama. Pengontrolan glukosa darah selama 8 tahun dapat mencegah munculnya komplikasi mikrovaskuler pada penderita baru. Penelitian juga menunjukkan pengontrolan glukosa darah sedang, sudah memperbaiki gejala lemas, poliuria, meningkatkan daya sembuh jaringan dan memperbaiki fungsi kognitif. Maka bila penyakit penyakit atau keadaan lansia tidak prima pengontrolan glukosa darah cukup pada tingkat sedang guideline.1,20,21
145
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Kesimpulan Keputusan untuk memberikan terapi pada lansia dengan DM dan penyakitpenyakit komorbid (kondisi kompleks) harus berdasarkan eviden-based yang dikombinasikan dengan kemampuan memutuskan secara klinis tujuan dan hasil yang akan dicapai. Keputusan ini diberikan secara individual dan dikomunikasikan kepada pasien dan keluarganya. Karena para klinisi sering menjumpai keadaan kompleks ini dan kesulitan dalam menerapi, sering mereka kembali dan berlindung pada guideline penatalaksanaan DM. Mereka lupa bahwa guide-line tersebut hanya membahas tentang penyakit. Sedangkan yang diterapi adalah manusia yang mempunyai berbagai penyulit dan penurunan respon terhadap terapi. Pertimbangan berdasarkan kondisi klinis, fungsional dan psikologis pasien lansia dengan DM seharusnya mempertimbangkan usia harapan hidup dan kualitas hidup.41,42,43
Daftar Obat-obat Anti Diabetik Oral dan Cara Bekerjanya. Berikut ini akan diuraikan mengenai obat hipoglikemik oral yang digunakan untuk penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 khususnya pada lanjut usia.
III.1. Sulfonilurea Sulfonilurea adalah suatu zat kimia yang dapat menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas. Sulfonilurea merupakan salah satu obat hipoglikemik oral (OHO) yang paling kuno namun masih poten, sehingga masih dipakai sampai sekarang dalam terapi diabetes melitus tipe 2 (DM-T2). Sulfonilurea dikategorikan ke dalam kelompok insulinotropic agents, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel beta pankreas. Yang termasuk dalam sulfonilurea generasi pertama antara lain: klorpropamid, tolbutamid, tolazamid, asetoheksamid. Sedangkan yang termasuk dalam sulfonilurea generasi kedua antara lain: gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid. Sulfonilurea sangat membutuhkan sel beta pankreas yang masih intak. Oleh karena itu sulfonilurea tidak dapat diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 1.8,9,10
a. Farmakokinetik Seperti kita ketahui bahwa sulfonilurea bekerja dengan menghambat ATP sensitif potassium channel (K-ATP channel) pada membran plasma sel beta pankreas yang menghasilkan depolarisasi dan sekresi insulin. Berbagai sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda, tetapi absorbsi melalui saluran cerna cukup efektif. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma terutama albumin, ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid. Sulfonilurea generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir 100 kali lebih besar dari generasi I. Meski waktu paruhnya pendek, hanya
146
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
sekitar 3-5 jam, efek hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam, sering cukup diberikan 1 kali sehari. Glipizid absorbsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat protein plasma, potensinya 100 kali lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik maksimalnya mirip dengan sulfonilurea yang lain. Metabolismenya di hepar, menjadi metabolit yang tidak aktif, sekitar 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. Gliburid (glibenklamid), potensinya 200 kali lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya diekskresi melalui urin, sisanya melalui empedu. Karena semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien menderita gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat. Walaupun secara umum dipertimbangkan waktu paruh eliminasi obat melalui ginjal meningkat dengan bertambahnya umur, penelitian mengenai farmakokinetik obat pada lanjut usia masih jarang dilakukan. Farmakokinetik glibenklamid pada lanjut usia tidak berubah dengan bertambahnya umur, tetapi respon C-peptida lebih besar pada pasien diabetes lanjut usia.8,9,10,11
b. Farmakodinamik Berbagai penelitian menunjukkan risiko hipoglikemia pada penggunaan sulfonilurea seharusnya menjadi pertimbangan target kadar glukosa darah yang ingin dicapai, di mana dapat bervariasi menurut kondisi klinis dan tujuan pada masing-masing pasien diabetes lanjut usia yang kemudian akan disesuaikan dengan peresepan obat yang akan ditulis klinisi. Salah satu penelitian random menyimpulkan bahwa efek glibenklamid pada penurunan kadar glukosa darah dua kali lipat dibandingkan dengan glipizid pada dosis yang sama. Penelitian random yang lain dimana tidak dilakukan prosedur titrasi dosis, menyimpulkan bahwa jika dibandingkan efek penurunan kadar glukosa darah antara glibenklamid dan gliklazid, maka akan terjadi episode hipoglikemik yang lebih sering pada penggunaan glibenklamid. Penelitian yang terbaru menganalisis dari 294 pasien diabetes melitus lanjut usia yang berusia lebih dari 65 tahun yang menggunakan rancangan penelitian random double blind dimana membandingkan kegunaan dan toleransi antara glimepirid dengan gliklazid (keduanya diberikan satu kali perhari selama 27 minggu) di mana tidak dapat ditunjukkan perbedaan kegunaan antara kedua obat (dan juga dibandingkan dengan pasien diabetes usia lebih muda), tetapi terdapat dua kali peningkatan risiko kejadian hipoglikemia pada kelompok glimepirid pada kadar glukosa darah yang sama.8 Di samping faktor seperti hipoglikemia dan kejadian interaksi obat, maka diadakan suatu kesepakatan di antara para klinisi bahwa faktor risiko (dalam hal ini frekuensi dan beratnya) kejadian hipoglikemia lebih besar pada obat-obatan yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang dan
147
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
kebanyakan diekskresi lewat ginjal (khususnya karbutamid dan klorpropamid). Dalam hal ini bisa disamakan bahwa risiko beratnya hipoglikemia yang berkepanjangan lebih besar pada obat yang mempunyai masa kerja yang lebih lama.8,10
III.2.
Biguanid Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu obat antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin adalah golongan biguanid yang bekerja menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dan meningkatkan pengambilan glukosa otot dan jaringan lemak melalui peningkatan sensitifitas insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktifasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase). Hanya ada sedikit penelitian yang menggunakan rancangan penelitian small cohorts dan terbatasnya kriteria inklusi, tidak ada yang menggunakan random. Rekomendasi dibuat berdasarkan kesepakatan para ahli, pengecualian pada pasien gagal ginjal.10,11,12
a. Farmakokinetik Metformin oral akan mengalami absorbsi di usus, dalam darah tidak terikat protein plasma. Waktu paruhnya sekitar 2 jam. Metformin diekskresi melalui ginjal. Pembersihan metformin lebih besar daripada kreatinin. Tidak ada hubungan antara kadar metformin serum dan konsentrasi laktat dan tidak ada hubungan antara kadar metformin serum dengan kadar kreatinin serum. Kadar laktat serum tidak tidak dapat digunakan untuk mengawasi efek terapi metformin pada lanjut usia.8,10
b. Farmakodinamik Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Berbeda dengan sulfonilurea yang dapat meningkatkan berat badan, metformin dapat menurunkan berat badan. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas diketahui. Pada orang non diabetik, yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa darah. Metformin juga dapat menurunkan kejadian iskemik arteri koronaria pada pasien diabetes lanjut usia dengan pengaruhnya menurunkan kadar trigliserid dan LDL serta meningkatkan kadar HDL. Metformin juga berguna dalam perbaikan kelainan hemostasis darah dan C-reactive protein, suatu petanda adanya inflamasi. Metformin dapat menurunkan risiko kematian sampai 36% dan menurunkan kejadian infark miokardia sebesar 39% dibandingkan dengan terapi konvensional. Hanya golongan metformin, obat antidiabetik oral satu-satunya yang mempunyai
148
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
efek protektif langsung pada jantung.8,13 Kelainan gastrointestinal merupakan efek samping yang paling sering pada penggunaan metformin seperti nyeri ulu hati, diare yang dapat terjadi pada 30% pasien. Efek samping yang paling berat adalah asidosis laktat. Asidosis laktat sering tampak sebagai keadaan klinis yang kurang spesifik tetapi sering sekali ditemukan pada pasien lanjut usia dengan gagal ginjal dan hipoksia jaringan. Metformin tidak menimbulkan efek hipoglikemia pada pasien yang menggunakannya.8,11
III.3.
Alpha Glucosidase Inhibitors (acarbose dan miglitol) Alpha glucosidase inhibitor seperti acarbose berguna dalam perlambatan proses pencernaan kompleks karbohidrat dan disakarida menjadi monosakarida yang mudah diabsorbsi melalui pengaruhnya dengan menghambat enzim alpha glucosidase di brush border intestine, dapat mencegah peningkatan kadar glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Sebagai hasilnya adalah penurunan kadar glukosa setelah makan dan penurunan sedang kadar HbA1C.8,10,11
a. Farmakokinetik Bioavaibilitas adalah sangat rendah (1%), sehingga dalam sirkulasi sistemik hampir tidak bisa ditemukan, sebagian besar obat dieliminasi melalui feces. Waktu paruh eliminasi sekitar enam sampai delapan jam. Farmakokinetik acarbose tidak dipengaruhi oleh umur.8,10
b. Farmakodinamik Beberapa penelitian tentang farmakodinamik termasuk sebuah penelitian dengan rancangan penelitian randomized double blind yang membandingkan antara placebo dengan penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk yang mendapat terapi acarbose selama beberapa bulan sampai satu tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan kadar glukosa darah puasa secara signifikan (10-20%), penurunan yang lebih besar terjadi pada kadar glukosa darah 2 jam setelah makan sebesar 25-40% dan penurunan HbA1C (0,8% pada nilai yang absolut dan 10-20% pada nilai yang relatif). Penurunan kadar insulin puasa dan terutama kadar insulin setelah makan menunjukkan peningkatan sensitifitas insulin. Kegunaan acarbose tidak berhubungan dengan besarnya dosis.8 Hanya ada satu penelitian random yang membandingkan miglitol dengan sulfonilurea yaitu glibenklamid pada subyek penelitian pasien berumur ratarata 68 tahun dimana menunjukkan bahwa miglitol lebih sedikit menurunkan kadar glukosa darah puasa dan HbA1C dibandingkan dengan glibenklamid, tetapi penurunan kadar glukosa darah setelah makan lebih besar pada
149
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
penggunaan dengan miglitol.8 Álpha glucosidase inhibitor tidak menyebabkan hipoglikemia karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin. Beberapa efek samping yang mengganggu yaitu flatulence atau diare yang terjadi pada 30-80% pasien merupakan efek samping yang sering terjadi dan dapat menyebabkan kepatuhan pasien berkurang. Efek samping tersebut tidak dipengaruhi oleh umur. Telah dilaporkan bahwa waktu transit kolon akan lebih cepat sekitar 20% lebih cepat pada pasien diabetes melitus lanjut usia yang mengalami konstipasi, yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Hanya ada sedikit laporan dengan sedikit kasus tentang komplikasi saluran pencernaan yang dapat menjadi komplikasi yang serius pada pasien dengan riwayat penyakit saluran cerna, neuropati otonom, atau penggunaan obat-obatan antikolinergik.8,10,11
III.4. Meglitinid a. Farmakokinetik Repaglinid terutama dimetabolisme di hati melalui sitokrom P450 yaitu isoensim 3A4, tanpa menghasilkan metabolit yang aktif dan dikeluarkan melalui empedu dan feces. Farmakokinetik obat ini telah dijelaskan dengan percobaan terapi pada pasien diabetes melitus lanjut usia yang berumur kurang dari 70 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan ada sedikit perbedaan farmakokinetik repaglinid antara pasien diabetes lanjut usia dan orang usia lebih muda yang tidak menderita diabetes, tetapi tidak terjadi pada pasien diabetes lanjut usia dan pasien lanjut usia yang tidak menderita diabetes. Waktu paruh eliminasi berkisar antara 1 sampai dengan 1,7 jam dimana Cmax dan daerah di bawah kurva cenderung meningkat menurut umur. Parameter farmakokinetik repaglinid tidak berubah bila klirens kreatinin lebih dari 40 ml/menit pada orang dewasa muda. Ada peningkatan daerah dibawah kurva meningkat 4 sampai 6 kali lipat lebih lambat waktu eliminasi jika klirens kreatinin kurang dari 40 ml/menit, mekanisme ini terutama berhubungan dengan perubahan metabolisme hati dan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal.8,10,11
b. Farmakodinamik Dengan melihat cara kerja obat, ada kemungkinan bahwa repaglinid dapat menimbulkan risiko hipoglikemia terutama pada pasien dengan asupan kalori yang kurang pada saat makan. Risiko kejadian hipoglikemia secara positif berhubungan dengan beratnya gangguan ginjal. Gangguan pada saluran cerna yang bersifat ringan dapat terjadi.8
150
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
III.5.
Thiazolidinediones atau glitazon (pioglitazon dan rosiglitazon) Thiazolidindion termasuk salah satu obat hipoglikemik oral kelompok insulin sensitizer. Sampai saat ini baru ada dua macam obat kelompok thiazolidindion yaitu pioglitazon dan rosiglitazon. Sebelumnya ada troglitazon, tetapi karena efek sampingnya terhadap hepar, obat tersebut ditarik dari peredaran.10,15
a. Farmakokinetik Sebenarnya sangat sedikit penelitian tentang farmakokinetik obat tersebut pada orang lanjut usia, walaupun ada berbagai laporan yang memberikan beberapa data. Kelompok thiazolidindion berefek menyerupai sebagian efek insulin dengan mengaktifkan PPARα (peroxisome proliferator-activated receptor gama). Thiazolidindion setelah melekat di PPARα akan membentuk ikatan kompleks dengan RXR guna meningkatkan trankripsi gen-gen yang insulin sensitif: lipoprotein lipase, fatty acid Co-A tranporter protein, adipocyte fatty acid binding protein, acyl sinthetase, malic enzyme dan GLUT-4. Dengan demikian thiazolidindion meningkatkan pengambilan glukosa dan asam lemak dari sel lemak, adipogenesis dan lipogenesis. Juga meningkatkan pengambilan glukosa, glikogenesis dan penggunaan sel otot serta mengurangi produksi glukosa oleh hepar. Pada orang dewasa muda, waktu paruh rosiglitazon dan pioglitazon adalah sekitar 3 sampai 4 jam dengan 99% lebih terikat protein dan metabolisme di hati melalui sitokrom P450 isoform 2C8 tanpa menghasilkan metabolit yang aktif. Sampai sekarang tidak ada laporan tentang interaksi dengan obat yang lain. Sebagian besar pengeluaran hasil metabolisme obat melalui ginjal ( kurang lebih 65%). Pada penelitian population pharmacokinetic, menunjukkan bahwa usia tidak mepengaruhi kinetiknya.8,10,15
b. Farmakodinamik Hanya ada sedikit data yang dipublikasikan mengenai kegunaan dan keamanan penggunaan pioglitazon dan rosiglitazon pada pasien diabetes melitus lanjut usia. Kesimpulan yang bisa diambil adalah manfaat yang didapat pada pasien diabetes melitus usia lanjut dan pasien diabetes melitus usia lebih muda adalah hampir sama, dengan kejadian efek samping yang kurang berarti (seperti udem, anemia dan gagal jantung) pada pasien diabetes usia lanjut.8 Dalam konsensus pernyataan dari American Heart Association dan American Diabetes Association ditegaskan kita harus berhati-hati, sebelum memakai thiazolidindion, harus dipastikan apakah pasien menderita gagal jantung (CAD, CHF, jantung rematik dan sebagainya), apakah ia menggunakan obat yang
151
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dapat mengakibatkan retensi cairan (vasodilator, NSAID) atau udema kaki. Selama pengobatan berat badan dapat naik khususnya apabila dikombinasikan dengan insulin. Makin tinggi dosis makin banyak kenaikan berat badan.8,15 Laporan dari Summary of Product Characteristic (SPC) menunjukkan bahwa glitazon dapat menimbulkan efek samping retensi cairan yang dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan atau udem, atau bahkan anemia yang ringan (oleh karena hemodilusi). Dekompensasi kordis juga dapat terjadi, terutama pada pasien usia lanjut dengan latar belakang adanya gangguan fungsi ginjal sedang, penyakit jantung, penggunaan obat-obat anti inflamasi nonsteroid dan penggunaan insulin. Belum ada laporan tentang toksisitas pada hati pada penggunaan rosiglitazon dan pioglitazon setelah keduanya beredar di pasaran.8,10,11
III.6.
Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor (DPP-4 Inhibitor) DPP-4 inhibitor menekan degradasi berbagai macam peptide bioaktif, termasuk GLP-1, sehingga waktu kerjanya akan bertambah panjang.
a. Farmakokinetik DPP-4 inhibitor bekerja untuk memperpanjang kerja hormon incretin dimana akan menghasilkan peningkatan dari glucose-dependent insulin release. Sitagliptin mempunyai absorbsi yang cepat (puncak konsentrasi 1-4 jam) setelah diberikan per oral. Percobaan klinis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan perubahan farmakokinetik sitagliptin dengan umur, jenis kelamin, ras atau BMI. Sitagliptin diekskresi tanpa mengalami perubahan melalui urin. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal maka perlu penyesuaian dosis. Seperti pada sitagliptin, parameter farmakokinetik vidagliptin tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan BMI. Vildagliptin cepat diabsorbsi dengan konsentrasi maksimal 1-2 jam setelah pemberian per oral. Vildagliptin dihidrolisis menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Ekskresi metabolit terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui feces.16
b. Farmakodinamik Dari sebuah penelitian random, double blind dilaporkan tentang manfaat dan efek samping penggunaan vildagliptin monoterapi pada pasien diabetes lanjut usia adalah sangat efektif, aman dan baik ditoleransi oleh pasien. Alasannya adalah pada pasien diabetes lanjut usia, terjadi disfungsi sel islet, termasuk hiperglukagonemia dan hiperglikemia post prandial, serta resistensi insulin. Kerja vildagliptin melalui mediator GLP-1 maka akan memperbaiki fungsi sel alfa dan beta pankreas dan asupan makanan adalah pemacu utama
152
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pengeluaran GLP-1, maka vildagliptin sangat efektif dalam menurunkan kadar glukosa post prandial. Mekanisme vildagliptin dalam menurunkan berat badan pada pasien usia lanjut sepenuhnya belum jelas, tetapi kemungkinan oleh karena adanya efek samping pada saluran cerna (seperti rasa mual) pada sebagian pasien yang angka kejadiannya lebih jarang dibandingkan usia muda. Penurunan berat badan biasanya terjadi pada pasien diabetes gemuk.17 Tentang pemakaian sitagliptin, dari sebuah penelitian dilaporkan bahwa terapi dengan obat tersebut akan memperbaiki sensitifitas insulin bahkan pada pasien lanjut usia. Sitagliptin juga sangat aman dan berguna sebagai obat diabetes pada usia lanjut karena sedikit sekali menimbulkan kejadian hipoglikemia. Pada umumnya pada pasien lanjut usia terjadi disfungsi ginjal yang ditunjukkan dengan penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate) sesuai dengan bertambahnya umur. Kadar sitagliptin dalam plasma akan meningkat dua kali lipat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal derajat sedang (klirens kreatinin 30-50 ml/menit) dan empat kali lipat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat (klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit). Peningkatan kadar sitagliptin dalam sirkulasi akan memacu kejadian hipoglikemia yang berat. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian dosis pada pasien tersebut. Sitagliptin dapat memperbaiki metabolisme glukosa dan menurunkan berat badan pada pasien diabetes gemuk dimana tidak berhasil dengan pengaturan diet. Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin, sitagliptin dapat memperbaiki resistensi insulin sehingga menunjukkan bahwa terapi DPP-4 inhibitor berguna untuk kontrol kadar glukosa darah pada pasien diabetes gemuk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa DPP-4 inhibitor tidak berefek meningkatkan berat badan dibandingkan terapi dengan thiazolidindion, sulfonilurea dan insulin.18
Daftar pustaka 1.
Durso SC. Using clinical guidline for older adults with diabetes mellitus and complex health status. JAMA,2006;16:1935-40
2.
Maty SC, Fried LP, Volpato S, Williamson J, Brancati FL, Blaum CS. Patterns of disability related to diabetes mellitus in older women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2004;59:148153.
3.
Blaum CS. Management of diabetes mellitus in older adults: are national guidelines appropriate? J Am Geriatr Soc. 2002;50:581-583.
4.
Blaum CS, Ofstedal MB, Langa KM, Wray LA. Functional status and health outcomes in older Americans with diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2003;51:745-753.
5.
Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA, et al; Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Is diabetes associated with cognitive impairment and cognitive decline among older women? Arch Intern Med. 2000;160:174-180.
153
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
6.
Greene DA, Stevens MJ, Feldman EL. Diabetic neuropathy: scope of the syndrome.AmJ Med. 1999;107:2S-8S.
7.
Newman SC, Hassan AI. Antidepressant use in the elderly population in Canada: results from a national survey. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 1999;54:M527-M530.
8.
Dealberto MJ, Seeman T, McAvay GJ, Berkman L.Factors related to current and subsequent psychotropic drug use in an elderly cohort. J Clin Epidemiol. 1997;50:357364.
9.
Kelsey JL, Browner WS, Seeley DG, Nevitt MC, Cummings SR; Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Risk factors for fractures of the distal forearm and proximal humerus.AmJ Epidemiol. 1992;135:477-489.
10. Morley JE. The elderly type 2 diabetic patient: special considerations. Diabet Med. 1998;15(suppl 4):S41-S46. 11. Schwartz AV, Sellmeyer DE, Ensrud KE, et al. Older women with diabetes have an increased risk of fracture: a prospective study. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:3238. 12. Brown AF, Mangione CM, Saliba D, Sarkisian CA. Guidelines for improving the care of the older person with diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2003;51(5suppl):S265S280. 13. Brown JS, Seeley DG, Fong J, Black DM, Ensrud KE, Grady D; Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Urinary incontinence in older women: who is at risk? Obstet Gynecol. 1996;87:715-721. 14. Ueda T, Tamaki M, Kageyama S, Yoshimura N, Yoshida O. Urinary incontinence among communitydwelling people aged 40 years or older in Japan: prevalence, risk factors, knowledge and self-perception. Int. J Urol. 2000;7:95-103. 15. Vinik AI. Diabetic neuropathy: pathogenesis and therapy. Am J Med. 1999;107(suppl 2B):17S-26S. 16. Walter LC, Covinsky KE. Cancer screening in elderly patients: a framework for individualized decision making. JAMA. 2001;285:2750-2756. 17. Covinsky KE, Justice AC, Rosenthal GE, Palmer RM, Landefeld CS. Measuring prognosis and case mix in hospitalized elders: the importance of functional status. J Gen Intern Med. 1997;12:203-208. 18. Fried LP, Kronmal RA, Newman AB, et al. Risk factors for 5-year mortality in older adults: the Cardiovascular Health Study. JAMA. 1998;279:585-592. 19. Vijan S, Hayward RA, Ronis DL, Hofer TP. Brief report: the burden of diabetes therapy: implications for the design of effective patient-centered treatment regimens. J Gen Intern Med. 2005;20:479-482. 20. Huang ES, Gorawara-Bhat R, Chin MH. Selfreported goals of older patients with type 2 diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2005;53:306-311.
154
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
21. Huang ES, Shook M, Jin L, Chin MH, Meltzer DO. The impact of patient preferences on the costeffectiveness of intensive glucose control in older patients with new-onset diabetes. Diabetes Care. 2006; 29:259-264. 22. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(suppl 1) :S15-S35. 23. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes [published correction appears in Diabetes Care. 2005;28:990]. Diabetes Care. 2005; 28(suppl 1):S4-S36. 24. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2006. Diabetes Care. 2006; 29(suppl 1):S4-S42. 25. Tilvis RS, Hakala SM, Valvanne J, Erkinjuntti T. Postural hypotension and dizziness in a general aged population: a four-year follow-up of the Helsinki Aging Study. J Am Geriatr Soc. 1996;44:809-814. 26. Boyd CM, Darer J, Boult C, Fried LP, Boult L, Wu AW. Clinical practice guidelines and quality of care for older patients with multiple comorbid diseases: implications for pay for performance. JAMA. 2005;294: 716-724. 27. Inouye SK, Peduzzi PN, Robison JT, Hughes JS, Horwitz RI, Concato J. Importance of functional measures in predicting mortality among older hospitalized patients. JAMA. 1998;279:1187-1193. 28. Lee SJ, Lindquist K, Segal MR, Covinsky KE. Development and validation of a prognostic index for 4-year mortality in older adults. JAMA. 2006;295: 801-808. 29. Godolphin W. The role of risk communication in shared decision making. BMJ. 2003;327:692-693. 30. Barry MJ. Involving patients in medical decisions: how can physicians do better? JAMA. 1999;282: 2356-2357. 31. Kassirer JP. Incorporating patients’ preferences into medical decisions.NEngl J Med. 1994;330:1895-1896. 32. Protheroe J, Fahey T, Montgomery AA, Peters TJ. The impact of patients’ preferences on the treatment of atrial fibrillation: observational study of patient based decision analysis. BMJ. 2000;320:1380-1384. 33. Salkeld G, Cameron ID, Cumming RG, et al. Quality of life related to fear of falling and hip fracture in older women: a time trade off study. BMJ. 2000;320: 341-346. 34. Harris R, Donahue K, Rathore SS, Frame P, Woolf SH, Lohr KN. Screening adults for type 2 diabetes: a review of the evidence for the US Preventive Services Task Force. Ann Intern Med. 2003;138:215-229. 35. Tinetti ME, Doucette J, Claus E, Marottoli R. Risk factors for serious injury during falls by older persons in the community. J Am Geriatr Soc. 1995;43:1214-1221. 36. Tinetti ME. Clinical practice: preventing falls in elderly persons. N Engl J Med. 2003;348:42-49.
155
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
37. Tinetti ME, Baker DI, McAvay G, et al. A multifactorial intervention to reduce the risk of falling among elderly people living in the community. N Engl J Med. 1994;331:821827. 38. Papapoulos SE, Quandt SA, Liberman UA, Hochberg MC, Thompson DE. Meta-analysis of the efficacy of alendronate for the prevention of hip fractures in postmenopausal women. Osteoporos Int. 2005; 16:468-474. 39. Shaughnessy AF, Slawson DC. What happened to the valid POEMs? a survey of review articles on the treatment of type 2 diabetes. BMJ. 2003; 327:266. 40. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet. 1998;352:837853. 41. Ohkubo Y, Kishikawa H, Araki E, et al. Intensive insulin therapy prevents the progression of diabetic microvascular complications in Japanese patients with non-insulindependent diabetes mellitus: a randomized prospective 6-year study. Diabetes Res Clin Pract.1995;28:103-117. 42. Stratton IM, Adler AI, Neil HA, et al. Association of glycaemia with macrovascular and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS 35): prospective observational study. BMJ. 2000;321:405-412. 43. Standards of medical care for patients with diabetes mellitus. Diabetes Care. 2003;26(suppl 1):S33-S50. 44. Leipzig RM, Cumming RG, Tinetti ME. Drugs and falls in older people: a systematic review and metaanalysis, I: psychotropic drugs. JAmGeriatr Soc. 1999; 47:30-39. 45. Leipzig RM, Cumming RG, Tinetti ME. Drugs and falls in older people: a systematic review and metaanalysis, II: cardiac and analgesic drugs. J Am Geriatr Soc. 1999;47:4050.
156
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Kegawatan Hiperglikemi pada Lanjut Usia Darmono
Pendahuluan Beberapa masalah pada lansia yang menyulitkan pengelolaan diabetes melitus (DM) antara lain adalah (a) faktor-faktor ko-morbiditas dan psikososial yang menghambat efektifitas pengobatan, (b) disfungsi kognitif dengan konsekwensi kemunduran daya ingat dan berkurangnya ketaatan menjalani pengobatan. Oleh karena itu dianjurkan untuk membuat instruksi pengelolaan DM yang praktis dan informatif, tertulis dan perlu dievaluasi serta dikoreksi berkala. Polifarmasi sedapat mungkin dibatasi untuk mempertahankan ketaatan menelan obat dan mengurangi risiko efek samping.1 Perhatian khusus bagi lansia DM dalam follow up terapi adalah pengamatan terhadap (a) gejala hipoglikemi, kegawatan hiperglikemi, komplikasi vaskular, (b) monitoring kadar glukosa darah periodik terjadwal dan dalam kondisi darurat, (c) pengamatan status mental dan fisik penderita, (d) pelaksanaan diit, kegiatan fisik, dan konsumsi obat.2 Komplikasi metabolik akut hiperglikemi atau kegawatan (lifethreatening metabolic disorder) dari DM adalah kondisi kritis yang ditandai oleh beberapa gejala klinik yaitu ketoasidosis (KAD), hiperosmoler non ketotik (HONK), laktoasidosis (LAD), dan kesadaran penderita dapat menurun sampai derajat yang paling berat yaitu koma.3 Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena menimbulkan gejala-gejala (a) penurunan kontraktilitas miokard, irama jantung, cardiac output, tekanan darah, aliran darah ke hepar dan ginjal, respons terhadap katekolamin dan (b) memacu timbulnya aritmia ventrikel jantung.4 Adapun kondisi gawat akibat HONK adalah syok hipovolemi dan tromboemboli.5 Sangat dibutuhkan data mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium yang cermat, untuk kepastian diagnosis, guna menunjang tindakan terapi awal yang efektif (life saving treatment).3 Insulin merupakan satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi secepat mungkin dalam kegawatan DM, di samping pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat. Adapun pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi.6
Terapi kegawatan hiperglikemi pada lansia Pengaturan program penanggulangan kegawatan hiperglikemi pada lansia, perlu dipandu oleh rambu-rambu kriteria status glikemi normal, agar tidak terjadi hipoglikemi. Kelompok studi WHO memberikan kriteria status glikemi terkendali ideal pada lansia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria untuk kasus-kasus lebih muda. Batasan normal glukosa plasma vena puasa <5.5 mmol/l (<100 mg/dl) dan 2 jam pp <7.8 mmol/l (<140 mg/dl), terlalu rendah untuk lansia DM, sehingga diperlukan penyesuaian seperti terlihat pada tabel-1.1
157
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel-1. Kriteria status glikemi untuk lansia DM (glukosa plasma vena) Status glikemi
Puasa atau minimal 3 jam setelah makan yang terakhir
2 jam pp
Terkendali aman Kurang terkendali
<7.8 mmol/l (<140 mg/dl) >7.8 mmol/l (>140 mg/dl)
<11.1 mmol/l (<200 mg/dl) >11.1 mmol/l (>200 mg/dl)
Penderita dengan terapi insulin, batasan terkendalinya glukosa 2 jam pp dapat lebih tinggi (15 mmol/l).
DM lansia dapat pula mengalami komplikasi akut dan berat atau kegawatan hiperglikemi seperti pada kasus-kasus usia lebih muda, yaitu ketoasidosis (KAD), hiperosmoler non-ketotik (HONK), dan laktoasidosis (LAD), dengan faktor presipitasi peningkatan kebutuhan insulin yang mendadak, berkaitan dengan peningkatan sekresi stress hormones, banyak dijumpai pada kasus-kasus dengan infeksi akut dan berat dengan gejala panas badan tinggi, dapat pula disebabkan oleh gangguan perfusi jaringan yang akut, misalnya hipovolemi, kemunduran fungsi miokard, syok septik, sehingga terjadi peningkatan kadar laktat dalam darah.7 LAD dapat pula disebabkan oleh gangguan fungsi hepar yang mengurangi potensi lactic hepatic clearance dan efek samping dari hipoglikemik oral biguanid (metformin dan fenformin) terutama fenformin, pada kasus-kasus DM dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar, juga pada DM lansia. Biguanid terikat pada membran mitokhondria (terikatnya metformin tidak sekuat fenformin) dan menghambat metabolisme aerob, sehingga metabolisme anaerob lebih dominan, dengan akibat meningkatnya produksi laktat.4,8 Dalam kondisi kegawatan DM tersebut, dibutuhkan suntikan insulin untuk mengendalikan hiperglikemi berat dalam waktu sesingkat mungkin, dengan kewaspadaan untuk menghindari efek samping hipoglikemi yang lebih mudah terjadi pada kelompok lansia. Program suntikan insulin tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan program yang diberikan kepada kasus-kasus DM usia lebih muda, dengan perhatian khusus pada monitoring glukosa darah dan kondisi fisik.7 Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena menimbulkan gejala-gejala (a) penurunan kontraktilitas miokard, irama jantung, cardiac output, tekanan darah, aliran darah ke hepar dan ginjal, respons terhadap katekolamin, dan (b) memacu timbulnya aritmia ventrikel jantung.4 Adapun kondisi gawat akibat HONK adalah syok hipovolemi dan tromboemboli.5 Data mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang cermat, sangat dibutuhkan untuk kepastian diagnosis dan tindakan terapi yang efektif seawal mungkin (life saving treatment).3 Insulin merupakan satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi dengan cepat, di samping pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat, adapun antibiotika dibutuhkan untuk mengendalikan faktor presipitasi infeksi akut. Pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi.6 Faktor prisipitasi KAD adalah (a) infeksi, (b) penghentian atau kurangnya dosis insulin, dan (c) new onset diabetes, adapun patofisiologi KAD pada dasarnya meliputi (a) gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan (b) gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa. Gejala klinik yang terjadi pada KAD adalah (a) kadar
158
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
glukosa darah tinggi, (b) kadar keton bodies darah tinggi, dan (c) asidosis metabolik. Gejala fisik dalam kondisi yang berat adalah (a) dehidrasi sampai dengan syok, (b) nafas Kussmaul, (c) kesadaran menurun sampai dengan koma.6,9 Tabel-2 memberikan panduan klinik praktis mengenai data laboratorium KAD dan HONK, dengan pengertian bahwa sekitar 30% penderita KAD dapat tampil dalam kondisi hiperosmoler.6 Tabel-2 Data laboratorium KAD dan HONK Laboratorium
KAD
HONK
Glukosa plasma (mg/dl) pH HCO3 serum (mEq/L) Keton urine Keton serum Osmolalitas serum (mOsm/Kg) Natrium serum (mEq/L) Kalium serum (mEq/L) BUN (mg/dl)
>250 <7.3 <15
>600 >7.3 >20 >3+ <1+ (-) pada pengenceran 1:2 >330 145-155 4-5 20-40
(+) pada pengenceran 1:2 bervariasi 130-140 5-6 18-25
Panduan klinik praktis untuk membedakan KAD dan HONK dengan pengertian sekitar 30% penderita KAD dapat tampil dalam kondisi HONK.
Berdasarkan pemahaman bahwa penderita KAD mengalami dehidrasi dan kehilangan natrium dengan derajat yang bervariasi, maka prioritas utama adalah mengganti hilangnya cairan dan elektrolit. Dipilih cairan Nacl isotonik oleh karena cairan tersebut stabil berada di jaringan ekstra seluler sehingga lebih cepat menambah volume plasma dibandingkan dengan cairan hipotonik. Untuk mengatur dosis pemberian cairan dan elektrolit selain berpedoman pada pemeriksaan fisik dan pedoman praktis 1 liter cairan per 1 jam pertama, lebih akurat dengan mengukur osmolalitas plasma dengan rumus sebagai berikut: 2Na+ (mEq/L) + glukosa (mg/dl)/18 + BUN (mg/dl)/2.8 mOsm/Kg. Dekstrose 5 persen perlu ditambahkan dalam cairan yang diberikan bila kadar glukosa darah <200 mg/dl, untuk mengimbangi pemberian insulin agar tidak terjadi hipoglikemi, sampai dengan ketonemi terkoreksi.6 Kecukupan cairan dan elektrolit harus segera dipenuhi untuk menjamin efektifitas insulin yang diberikan, sehingga tidak perlu disuntikkan insulin dengan dosis yang terlalu tinggi, untuk memperkecil risiko hipoglikemi.6 Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan dalam pemberian insulin pada penderita KAD dapat diuraikan sebagai berikut. Dosis awal diberikan 0.3-0.4 U/Kg BB, setengah dosis dari hitungan tersebut diberikan intra vena dan setengah dosis lagi diberikan subcutan. Suntikan insulin selanjutnya periodik dengan dosis tergantung respons penurunan kadar glukosa darah dan cara pemberian disesuaikan dengan sarana yang tersedia, misalnya bila penderita dirawat di ruang gawat darurat atau di ruang intensive care (ICU), dapat diberikan per infus dengan dosis 7 unit per jam, dan bila penderita dirawat di bangsal, diberikan suntikan insulin subcutan setiap 1 jam dengan dosis diatur mengacu pada respons penurunan kadar glukosa darah (sliding
159
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
scale).6 Pemberian continuous insulin infusion dosis kecil makin banyak diminati dalam praktek oleh karena dosis insulin dapat diatur lebih rinci untuk mempertahankan efektifitas pengendalian hiperglikemi oleh karena efek terapi yang cepat, komplikasi hipoglikemi dan hipokalemi lebih kecil. Dosis 0.1 unit/KgBB/jam short acting human monocomponent insulin dapat menaikkan kadar insulin dalam darah mencapai 100200 mU/ml, yang mana cukup memenuhi kapasitas maksimal reseptor insulin, dan dosis tersebut dapat diberikan dalam program awal insulin infusion rate. Pengaturan dosis lebih lanjut dipandu oleh respons penurunan kadar glukosa darah, sebagai contoh misalnya dosis dapat ditingkatkan dua kali dalam 1 jam berikutnya bila penurunan kadar glukosa darah kurang dari 50-100 mg/dl. Bila dosis telah mencapai 100 unit/ jam, perlu ditambahkan pemberian kortikosteroid untuk menekan reaksi resistensi insulin. Dosis diturunkan 50 persen bila kadar glukosa darah telah menurun mencapai 250 mg/dl, dengan menambahkan dekstrose 5 atau 10% dalam cairan infus untuk mencegah hipoglikemi sambil melanjutkan infus insulin untuk menekan ketoasidosis. Bagi penderita DM lansia, insulin hanya diberikan dalam dosis 50% dari ketentuan tersebut di atas mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar.10 Apabila rehidrasi telah tercapai, insulin dapat diberikan subcutan setiap 4 jam dengan dosis sesuai respons penurunan kadar glukosa darah (sliding scale) sebagai berikut: (a) 20 unit untuk kadar glukosa darah >300 mg/dl, (b) 15 unit untuk kadar glukosa darah 251300 mg/dl, (c) 10 unit untuk kadar glukosa darah 201-250 mg/dl, (d) 5 unit untuk kadar glukosa darah 150-200 mg/dl, dan (e) tidak diberikan insulin bila kadar glukosa darah <150 mg/dl. Bila penderita sudah dapat makan seperti biasa, diberikan diit diabetes sesuai kebutuhan penderita dan insulin diberikan dalam bentuk preparat human intermediate acting 15-20 unit malam hari dan human short acting (sliding scale) 3 kali sehari 30 menit sebelum porsi makan utama.6 Perkembangan teknologi farmasi berhasil membuat produk baru suatu human insulin analogs dengan rapid onset of action antara lain adalah aspart insulin (Novolog, Novo Nordisk, Princeton, NJ), lispro insulin (Humalog, Eli Lilly, Indianapolis, IN) dan glulisine insulin (Aventis) yang telah dipasarkan sebagai alternatif pilihan di samping short acting insulin. Pengalaman klinik membuktikan bahwa terapi KAD dengan insulin produk baru ini yang diberikan subkutan tiap 1 jam (penderita tidak dalam kondisi dehidrasi), sama efektifitasnya dengan regular insulin intra vena.11,12 Rapid acting insulin bekerja lebih cepat dibandingkan dengan regular insulin, merupakan alternatif pilihan lebih efektif dalam terapi KAD. Preparat rapid acting ini sudah mulai bekerja dalam waktu 10-20 menit setelah disuntikkan s.c. dan mencapai kadar puncak dalam 3090 menit, adapun jangka waktu bekerja berakhir dalam 3-4 jam, dengan catatan bahwa penderita belum sampai mengalami dehidrasi atau sudah mendapatkan koreksi dan kembali dalam kondisi rehidrasi. Uji coba klinik membuktikan bahwa rapid acting insulin yang disuntikkan s.c. tiap 1 jam pada penderita KAD memberikan hasil terapi yang sama efektifnya dengan regular insulin i.v.13 Monitoring glukosa darah dan pemberian suntikan insulin tiap 1 jam dirasakan cukup menjadi beban kerja yang berarti, dan oleh beberapa klinik dicoba mengamati kasus-kasus KAD yang diberikan
160
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
rapid acting insulin dengan interval waktu lebih panjang, yaitu membandingkan kelompok kasus dengan program tiap 1 jam dan kelompok kasus lain dengan program tiap 2 jam, dengan program standard regular insulin i.v. tiap 1 jam. Hasil pengamatan tersebut memberikan kesimpulan bahwa rapid acting insulin tiap 1 jam dan tiap 2 jam setara dalam aspek efektifitas dan keamanan dengan regular insulin i.v. tiap 1 jam.11 Dalam kondisi KAD telah teratasi, namun status metabolik masih membutuhkan insulin, dapat dipakai program rapid acting insulin analogs disuntikkan menjelang makan utama yaitu pagi, siang dan malam. Adapun untuk mengendalikan glukosa puasa dan interprandial, diberikan subkutan sekali sehari extended long-acting insulin analog yang bersifat peakless dan bekerja jauh lebih lama dibandingkan NPH. Dengan konsep tersebut, hiperglikemi postprandial, puasa dan interprandial dapat dikendalikan dengan intensif dan risiko hipoglikemi menjadi sangat kecil.14 Salah satu gangguan elektrolit dari KAD adalah hipokalemi, yang mana penyebab utamanya adalah masuknya kalium dari ekstra sel ke intra sel yang dipacu oleh insulin (insulin mediated reentry of potassium to the intracellular compartment). Akibat yang dapat ditimbulkan oleh hipokalemi adalah aritmia kordis, gagal kardiovaskular, kelemahan otot respirasi dan gagal nafas. Indikasi pemberian kalium bila kadarnya dalam serum kurang dari 5.5 mEq/L dengan dosis 20-30 mEq diberikan per liter cairan infus, sampai dengan kadar kalium serum meningkat kembali mencapai batas normal, adapun dosis maksimal adalah 40 mEq/jam. Kadar kalium serum dipantau setiap 1-2 jam pada awal KAD dan selanjutnya dapat setiap 4-6 jam. Hipokalemi sering kali disertai oleh hipofosfatemi, oleh karena itu dianjurkan preparat kalium yang diberikan 2/3 bagian dalam bentuk KCl dan 1/3 bagian dalam bentuk KPO4.6 Pemberian terapi bikarbonat bagi penderita KAD dipertimbangkan berdasarkan pemikiran, bahwa asidosis metabolik yang disertai oleh asidosis intra sel yang berat, dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ antara lain hati, jantung dan otak. Namun pemberian bikarbonat dapat mengakibatkan dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu memberatnya hipokalemi, terjadinya paradoxical central nervous system acidosis, memberatnya asidosis intra sel akibat peningkatan produksi karbon dioksida dan metabolisme ketoanion menjadi lebih lambat. Dapat dipergunakan satu panduan klinik praktis sebagai berikut: (a) pH darah arteri >7.0 tidak diperlukan pemberian bikarbonat, (b) pH 6.9-7.0 diberikan sodium bikarbonat 44 meq, (c) pH <6.9 diberikan 88 meq sodium bikarbonat. Preparat bikarbonat tersebut diberikan dalam larutan isotonik dan disertai dengan pemberian 15 meq KCl setiap satu ampul (44 meq) bikarbonat 6. Di samping pedoman pH darah arteri, indikasi pemberian bikarbonat yang lain adalah (a) HCO3 - <5.0 meq/L, (b) K+ >6.5 meq/L, (c) hipotensi yang tidak memberikan respons terhadap pemberian cairan, (d) payah jantung kiri yang berat, (e) depresi pernafasan, (f) late hyperchloremic acidosis.9 Dalam kondisi KAD terjadi pergeseran fosfat keluar dari intra sel ke ekstra sel, sehingga pada awal KAD kadar fosfat serum dapat normal atau meningkat. Namun diuresis osmotik yang terjadi lebih lanjut mengakibatkan hilangnya fosfat bersama urine dan kadarnya dalam serum menurun sekitar 1 mmol/ Kg BB. Sama dengan kalium dan glukosa, fosfat akan kembali masuk ke dalam sel
161
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pada waktu terapi insulin diberikan, dengan akibat turunnya kadar fosfat serum. Tujuan dari pemberian preparat fosfat pada KAD adalah pencegahan komplikasi hipofosfatemi yaitu depresi pernafasan, kelemahan otot skelet, anemia hemolitik dan gangguan fungsi jantung. Adapun pemberian dosis fosfat yang berlebihan dapat mengakibatkan hipokalsemi, tetani, kalsifikasi jaringan lunak. Berdasarkan pengalaman klinik beberapa peneliti menyatakan bahwa protokol pemberian kalium sudah cukup memenuhi kebutuhan fosfat, yang mana 2/3 dosis diberikan dalam ikatan kalium klorida dan 1/3 dosis dalam ikatan kalium fosfat.6 HONK adalah komplikasi akut atau kegawatan diabetes melitus di samping KAD, dengan gejala klinik yang utama adalah (a) dehidrasi, (b) hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >600 mg/dl), (c) osmolalitas plasma meningkat (>320 mOsm/L) yang mengakibatkan depresi susunan saraf pusat, (d) tanpa gejala ketoasidosis (ph darah arteri >7.30). Di samping itu didapatkan pula gejala-gejala (e) takikardia, (f) subfebril, (g) dilatasi gaster dengan keluhan nausea, vomitus, distensi, nyeri, disertai (h) gejala neurologik berupa afasia, hemiparesis, hemianopsi, hiper-refleksi unilateral, tanda Babinski positif, miokloni. Adapun gejala laboratorium dapat dilihat pada tabel-2. Beberapa aspek patofisiologi pada HONK yang berkaitan dengan hiperglikemi, hiperosmolalitas, dan nonketotik, antara lain adalah (a) sekresi insulin meningkat namun tidak adekwat mengatasi hiperglikemi, (b) Counterregulatory hormones (growth hormone, glukagon, epinefrin, kortisol) kadarnya meningkat tetapi tidak setinggi pada KAD, (c) hiperosmolalitas menekan lipolisis yang merupakan sumber dari pembentukan keton bodies. Faktor presipitasi yang sering dijumpai dalam klinik antara lain adalah infeksi akut, infark miokard, stroke, pankreatitis. Faktor iatrogenik dapat pula berpengaruh misalnya peningkatan tekanan osmose plasma akibat nutrisi enteral maupun parenteral, kekurangan cairan tubuh akibat diuretika atau dialisis peritoneal, dan obat-obatan yang menghambat sekresi maupun kerja insulin, sebagai contoh kortikosteroid, beta bloker, cimetidine.5 Tujuan terapi HONK pada dasarnya adalah menormalkan kembali keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa dan osmolalitas plasma, serta menghilangkan faktor presipitasi. Walaupun diuresis pada HONK mengakibatkan tubuh kehilangan natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat, namun dalam program terapi tidak semua elektrolit tersebut harus diganti. Kehilangan natrium dan kalium yang merupakan prioritas harus segera diganti, adapun preparat magnesium, fosfat, dan kalsium tidak diberikan kepada penderita HONK tanpa gejala yang ditimbulkan oleh kehilangan elektrolit-elektrolit tersebut. Harus ditegaskan bahwa pemberian insulin (dengan protokol sama dengan KAD), harus disertai koreksi keseimbangan cairan yang adekwat, oleh karena bila kebutuhan cairan tersebut tidak terpenuhi, pemberian insulin justru memacu bertambah hilangnya cairan ekstra sel keluar tubuh dan memperberat hipovolemi, syok dan tromboemboli.5 Mengenai terapi antibiotika ada dua pendapat di kalangan para pakar diabetes, satu pihak menganjurkan segera memberikan antibiotika dengan alasan sebagian besar faktor presipitasi adalah infeksi, lain pihak menganjurkan menunggu sampai ada kepastian adanya infeksi, walaupun ada gejala sub febril dan lekositosis. Pemberian dosis kecil antikoagulan
162
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
misalnya heparin juga ada dua pendapat, ada yang menganjurkan perlu diberikan dengan alasan sering terjadi tromboemboli pada HONK, ada pula yang tidak setuju dengan pertimbangan meningkatnya risiko perdarahan gastrointestinal pada HONK yang disebabkan oleh hypertonicity-induced gastroparesis.5 Sangat dibutuhkan monitoring kondisi fisik penderita selama program rehidrasi antara lain tensi, nadi, jumlah urin, gejala fluid overload (tekanan vena jugularis, auskultasi jantung dan paru). Intubasi nasogastrik diperlukan bagi penderita dengan gastroparesis yang disertai vomitus, adapun kateterisasi saluran kencing sebaiknya tidak dilakukan untuk memperkecil risiko infeksi, atau bila terpaksa diusahakan tidak terlalu lama. Setelah kondisi akut dapat diatasi, masih dibutuhkan insulin dengan protokol programnya seperti pada KAD. Dengan membaiknya kondisi Selanjutnya dapat diberikan hipoglikemik oral dengan dosis diatur kembali sesuai respons penurunan kadar glukosa darah.5 Pencegahan KAD dan HONK tidak kalah pentingnya dibandingkan terapi yang harus diberikan apabila gejala klinik sudah timbul. Dokter maupun paramedik yang merawat penderita harus mulai waspada apabila timbul gejala-gejala dari faktor-faktor presipitasi KAD maupun HONK. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan ketonuri harus segera dilakukan, dan program terapi harus segera disiapkan bagi penderita DM dengan vomitus disertai hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >500 mg/dl atau >28 mmol/L), atau kadar glukosa darah >250 mg/dl disertai ketonuri sedang sampai berat dan sebaiknya penderita segera dirawat di rumah sakit untuk pengelolaan dan pengawasan yang lebih intensif.9 Penderita DM dicurigai mengalami LAD bila didapatkan gejala klinik dari faktorfaktor presipitasi seperti yang telah diuraikan di atas, adapun diagnosis ditegakkan berdasarkan data laboratorium kadar laktat darah >5 meq/L dan pH <7.0. Strategi terapi LAD adalah koreksi perfusi jaringan, terapi terhadap faktor-faktor pencetus, continuous infusion bikarbonat untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 dan bikarbonat serum menjadi 12 meq/L. Koreksi keseimbangan cairan dan protokol pemberian insulin pada dasarnya sama dengan KAD. Hemodialisis diperlukan bagi penderita LAD akibat bahan toksik termasuk dalam hal ini metformin, untuk mempercepat hilangnya preparat tersebut dari darah penderita.5 Preparat dichloroacetate masih dalam pengembangan uji klinik untuk LAD, memiliki potensi mengaktifkan piruvat dehidrogenase, sehingga oksidasi piruvat dan penggunaan laktat meningkat, kadar laktat darah menurun dan asidosis terkoreksi. Di samping itu dichloroacetate memiliki potensi inotropik positif terhadap miokard, dengan dampak positif yaitu kenaikan cardiac output, perfusi jaringan juga ikut meningkat, sehingga stimulasi hipoksia terhadap produksi laktat menurun.8
Ringkasan Manifestasi klinik dari kegawatan hiperglikemi pada penderita DM dapat berupa KAD, HONK dan LAD. Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena mengganggu fungsi kardiovaskular, adapun kegawatan akibat HONK adalah hipovolemi dan tromboemboli. Suntikan Insulin adalah satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi secepat mungkin dalam kegawatan DM, di samping
163
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat. Adapun pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi. Diagnosis kegawatan hiperglikemi pada lansia, apalagi gejala dini, lebih sukar dideteksi dibandingkan dengan kasus-kasus yang lebih muda usia, oleh karena adanya gangguan kognitif pada kelompok lansia. Terapi juga harus ada perhatian khusus, misalnya dosis insulin dibatasi sekitar 50% dari dosis untuk penderita yang lebih muda, mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar. Juga pemberian cairan harus disesuaikan untuk menghindari overhydration yang membahayakan organ kardiovaskular yang memang sudah ada kemunduran fungsi sebelumnya. Tindakan pencegahan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan terapi pada waktu kegawatan DM telah terjadi, oleh karena itu faktor-faktor presipitasi, gejala-gejala awal harus diobservasi dengan teliti, oleh karena pencegahan jauh memberikan hasil positif dibandingkan dengan pengobatan yang baru dimulai dilakukan setelah kegawatan sudah terjadi.
Daftar pustaka 1.
Ho PJ, Turtle JR. Establishing the diagnosis. In: Finucane Paul. Diabetes in Old Age. Chicester: John Wiley & Sons Ltd, 1995: 70-91.
2.
Barrett-Connor E, Ferrara A. Isolated post chalenge hyperglycemia as a predictor of cardiovascular mortality in the elderly. Diabetes Care. 1998; 21: 1236-1239.
3.
Garber AJ. Diabetes mellitus. In: Stein JH. Internal medicine. 4th ed. St Louis: Mosby Year Book Inc, 1994: 1407-1415.
4.
Buchalter SE, Kreisberg RA. Lactic acidosis. In: American Diabetes Association. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. 3rd ed. Virginia: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 1996: 97-103.
5.
Lorber D. Nonketotic hypertonicity in diabetes mellitus. The Medical Clinic of North America. Endocrine Emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79: 39-52.
6.
Kitabchi AE, Wall BM. Diabetic ketoacidosis. The Medical Clinic of North America. Endocrine emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79: 9-37.
7.
Benbow SJ, Walsh A, Gill GV. Brittle diabetes in the elderly. Journal of the Royal Society of Medicine. 2001; 94: 578-580.
8.
Stacpoole PW. Lactic acidosis. Endocrinology and Metabolism Clibnics of North America. Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 221-245.
9.
Genuth S. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmoler coma in adults. In: Lebovitz HE. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. Virginia: American Diabetes Association Inc, 1991: 63-75.
10. Fleckman AM. Diabetic ketoacidosis. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America. Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 181-207.
164
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
11. Umpierrez GE, Cuervo R, Karrabel A, Latif K, Freire AX, Kitabchi AE. Treatment of diabetic ketoacidosis with subcutaneous insulin aspart. Diabetes Care 2004; 27: 10771080. 12. Manna TL, Steinmetz L, Campos PR, et al. Subcutaneous use of a fast-acting insulin analog. An alternative treatment for pediatric patients with diabetic ketoacidosis. Diabetes Care 2005; 28: 1856-1861. 13. Lindstrom T, Hedman CA, Arnqvist HJ, et al. Use of a novel double-antibody technique to describe the pharmacokinetics of rapid-acting insulin analogs. Diabetes care 2002; 25: 1049-1054. 14. Rosseti P, Pampanelli S, Fanelli C, et al. Intensive replacement of basal insulin in patients with type 1 diabetes given rapid-acting insulin analog at mealtime. Diabetes care 2003; 26: 1490-1496.
165
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
166
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Inkontinensia Urin pada Usia Lanjut Dewa P Pramantara S
Pengantar Problem kesehatan pada usia lanjut dapat didekati melalui pemahaman simptomatologi yang merujuk gangguan organ dan sistem (organ and system based), penyakit (disease based) dan sindroma geriatrik. Pendekatan sindroma geriatrik berbeda dengan sindroma penyakit pada umumnya. Sindroma geriatrik muncul sebagai satu fenomena yang latar belakangnya kompleks sedangkan pada sindroma penyakit merupakan kumpulan gejala dan tanda yang merujuk pada satu penyakit.1 Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia urin. Usia lanjut di komunitas lebih sedikit kejadiannya dibandingkan di institusi perawatan kronik yaitu 5-10% dan 60-80% berurutan.2 Inkontinensia urin merupakan fenomena yang tersembunyi artinya kejadian yang tercatat jauh lebih sedikit dari kejadian sesungguhnya. Hal ini disebabkan oleh keengganan pasien menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang mendiskusikan hal ini kepada pasien. Di lain pihak, dampaknya terhadap kualitas hidup bagi penyandangnya sangat nyata.2,3 Pada tulisan ini akan dibahas tipe dan cara pendekatan diagnosis penyebab dan prinsip-prinsip tatalaksananya.
Pembahasan Definisi Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.2,3,4 Dari batasan di atas di satu sisi dan pemahaman tentang proses kontinensia pada sisi yang lain dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urin merupakan bentuk akibat ganguan atau inkompeten proses kesadaran pada tatanan otak dan saraf non otonom, gangguan pada lingkar refleks, gangguan pada sistem saluran kemih bagian bawah dan otot dasar pangul serta akses ke toilet baik bersifat sementara atau menetap.
Pembagian inkontinensia urin Sebagai sindroma geriatrik, inkontinensia urin mempunyai latar belakang penyebab yang beragam. Pengelompokan ragam penyebab tersebut menuntun pada
167
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
tipe-tipe inkontinensia urin. Berdasarkan sifat kesementaraan penyebab, inkontinensia urin dapat dibagi menjadi 2 yaitu transien (akut) dan menetap.
Inkontinensia urin akut Jenis inkontinensia ini awitannya mendadak dan dapat pulih bila penyebabnya dapat diatasi. Penelusuran kausanya dengan mudah ditentukan oleh karena biasanya berkaitan dengan berbagai kondisi akut, obat yang sifatnya sementara. Dua buah akronim yang sangat dikenal berkaitan dengan faktor penyebab yaitu: DIAPPERS dan DRIP.1,4 D I A P P E R S
J J J J J J J J
Delirium Infection, Urinary Atrophic Vaginitis, Urethritis Pharmaceutical Psychologic Disorders, Depression Endocrine Disorders, Excess Urine Output Restricted Mobility Stool Impaction
J J J J
Delirium Restricted Mobility, Retention Inflamation, Impaction Polyuria, Pharmaceutical
Atau D R I P
Inkontinensia urin menetap Penyebab inkontinensia urin jenis menetap ini sangat beragam dan melibatkan bidang-bidang ilmu yang lain selain penyakit dalam pada umumnya dan geriatri pada khususnya. Inkontinensia urin menetap potensial mengganggu kualitas hidup penyandangnya baik domain fisik, psikologik, sosial dan lingkungan. Pendekatan diagnosis penyebab dan penatalaksanaan holistik sangat penting dalam upaya optimalisasi kualitas hidup penyandang inkontinensia urin tipe persisten atau menetap. Pada pasien usia lanjut, faktor-faktor penyebab inkontinensia urin persisten dapat dikategorikan ke dalam 4 kategori pokok yaitu: urologik, neurologik, fungsional/ psikologik dan iatrogenik/lingkungan yang kadang-kadang saling tumpang tindih.2,7 Faktor-faktor penyebab di atas mengakibatkan beberapa tipe inkontinensia urin yaitu: tipe urgensi, stres, overflow dan fungsional. Hubungan antara tipe inkontinensia urin persisten dan pola penyebab dapat dilihat pada tabel 1.
168
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 1.
Tipe dan penyebab inkontinensia urin persisten.4
Tipe
Definisi
Penyebab yang sering
Stres
Keluarnya urin involunter (biasanya dalam jumlah sedikit) tatkala terdapat peningkatan tekanan intraabdomen (batuk, tertawa, olahrga, dll)
z z z
Urgensi
Keluarnya urin (jumlah bervariasi, seringkali dalam jumlah banyak) akibat ketidakmampuan menunda berkemih tatkala timbul sensasi keinginan untuk berkemih
Overflow Keluarnya urin (biasanya dalam jumlah sedikit) akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih yang overdistensi atau faktor lain yang berefek pada retensi urin dan fungsi sfingter
z
Hiperaktivitas detrusor, tersendiri atau berkaitan dengan satu atau lebih kondisi berikut: - Kondisi genitourinarius lokal seperti tumor, batu, divertikel, atau obtruksi aliran keluar - Gangguan SSP seperti strok, demensia, parkinsonisme, trauma medula spinalis
z
Obstruksi anatomik akibat prostat, striktur, sistokel Kandung kemih yang tidak berkontraksi (akontraktilitas) pada DM atau Trauma medula spinalis Neurogenik (disinergi detrusor-sfingter) terkait dengan sklerosis multipel dan lesi medula spinalis suprasakral lainnya Efek samping obat (lihat tabel 2)
z
z
z
Fungsional
Keluarnya urin yang berkaitan dengan ketidakmampuan untuk ke toilet akibat gangguan kognitif dan/atau fungsi fisik, ketidakmauan psikologis atau hambatan lingkungan
Kelemahan otot dasar panggul dan hipermobilitas uretra Kelemahan sfingter uretra atau pintu keluar kandung kemih Kelemahan sfingter uretra pasca prostatektomi
z z
Demensia berat dan kelainan neurologis lain Faktor psikologis seperti depresi
Upaya determinasi penyebab adalah esensial dalam penatalaksanaan inkontinensia urin persisten.
Evaluasi inkontinensia urin Evaluasi inkontinensia urin pada pasien usia lanjut merupakan upaya pendekatan klinis yang bertujuan: 1. Menetapkan ada dan tidaknya inkontinensia urin beserta tipenya, 2. Mengidentifikasi faktor penyebab yang bersifat sementara, 3. Mengidentifikasi kondisi pasien yang menghendaki rujukan ke spesialis lain, 4. Mengidentifikasi penyebab yang persisten.4,6 Dari tujuan di atas, tentu dilakukan tahapan-tahapan atau langkah-langkah yang secara praktek klinik dituangkan dalam algoritma evaluasi inkontinensia urin seperti pada gambar 1.
169
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Evaluasi Awal z z z z
Anamnesis Pemeriksaan fisik Urinalisis Residu urin pasca berkemih (postvoid residual)
Faktor yang reversibel dapat diidentifikasi Ya Tatalaksana Masih inkontinensia urin Indikasi untuk evaluasi lebih lanjut Ya Evaluasi lebih lanjut Urologi Ginekologi Urodinamik Terapi percobaan - Terapi perilaku dan/atau farmakologik untuk IU tipe stres, urgensi atau campuran - Terapi perilaku dan terapi suportif untuk IU fungsional
Apakah IU menetap meskipun terapi percobaan telah adekuat pada pasien yang perlu untuk evaluasi lebih lanjut Gambar 1. Algoritma evaluasi inkontinensia urin.4
170
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pendekatan tim terhadap pasien yang memerlukan evaluasi khusus yang melibatkan spesialis lain akan efektif dan efisien. Diperlukan pemahaman tentang indikasi-indikasi untuk rujukan seperti pada tabel 2. Tabel 2. Indikasi Untuk Evaluasi Khusus. 4 z z z z
z
z z
z z z z z z z z
Inkontinensia urin tipe urgensi atau gejala kandung kemih iritatif yang baru terjadi dalam waktu 2 bulan Riwayat pembedahan anti-inkontinensia Riwayat pembedahan pelvis radikal Riwayat iradiasi atau pembedahan saluran kemih bagian bawah atau daerah pelvis dalam kurun waktu 6 bulan terakhirJkemungkinan adanya kelainan struktural anatomi terkait dengan prosedur tersebut Inkontinensia yang berkaitan dengan infeksi saluran kemih simtomatik berulang (3 kali atau lebih dalam periode 12 bulan)Jadanya kelainan struktural atau kondisi patologik saluran kemih yang menjadi faktor predisposisi infeksi yang harus disingkirkan Nodul prostat yang besar dan/atau kecurigaan keganasan (asimetri atau indurasi yang menonjol dari lobus prostat) Prolaps pelvis yang nyata (sistokel yang menonjol dan melewati himen saat batuk pada pemeriksaan dengan spekulum)Jadanya kelainan anatomik mungkin menjadi dasar patofisiologi terjadinya IU dan perbaikan dengan pembedahan dapat bermanfaat pada kasus-kasus tertentu Kelainan neurologis yang menunjukkan kelainan sistemik atau lesi medula spinalis Hematuria tanpa infeksi (eritrosit >5/LPB)Jadanya kondisi patologik saluran kemih harus disingkirkan Proteinuria persisten yang bermakna Volume PVR yang abnormal (>200 ml)Jkemungkinan adanya obstruksi anatomik atau neurogenik atau kontraktilitas kandung kemih yang buruk Kesulitan untuk memasang kateter no. 14Jkemungkinan adanya sumbatan anatomik terhadap uretra atau leher kandung kemih Ketidakmampuan untuk datang saat diagnosis presumtif atau rencana terapi Gagal memberikan respons terhadap terapi berdasarkan diagnosis presumtifJevaluasi urodinamik dapat membantu dalam memandu/menentukan terapi spesifik Pertimbangan untuk intervensi bedah
Tatalaksana inkontinensia urin Keberhasilan tatalaksana inkontinensia urin bukan saja tergantung pada pilihanpilihan modalitas terapi yang didukung oleh bukti ilmiah yang sahih dan status rekomendasinya tetapi tergantung juga pada kondisi medis pasien, fungsi kognitif pasien, pengalaman dokter dan pilihan pasien. Modalitas tatalaksananya dapat dibagi 2 yaitu: tatalaksana non farmakologik dan farmakologik. Dikatakan bahwa tatalaksana non farmakologik berupa terapi perilaku merupakan terapi utama.4 Terapi inkontinensia urin berdasar tipenya dapat dilihat pada tabel 3.
171
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 3. Terapi inkontinensia urin berdasar tipenya.4 Tipe
IU
Terapi
IU
Tipe Urgensi
IU
Tipe Stres
IU
Tipe Overflow
IU
Tipe Fungsional
Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga
Intervensi perilaku : bladder training, bladder drill Obat-obatan: tolterodine, solifenacin, oxybutynin, dan lain-lain Pembedahan (sangat jarang dilakukan) Intervensi perilaku: Kegel’s exercise, bladder training Obat-obatan: agonis adrenergik alfa dan / atau estrogen Injeksi periuretra; Pembedahan (bladder neck suspension) Pembedahan menghilangkan obstruksi; Katerisasi intermiten Katerisasi menetap jangka panjang Katerisasi suprapubik Intervensi perilaku (tergantung pada pramurawat) Manipulasi lingkungan Pemakaian alas ompol
Bukti ilmiah terapi non-farmakologik dengan status rekomendasinya sebagai berikut: 1.
Penurunan berat badan dengan status rekomendasi B/C.
2.
Diet dengan status rekomendasi B.
3.
Latihan otot dasar panggul dengan status rekomendasi A.
4.
Regimen berkemih terjadwal menunjukkan status rekomendasi bervariasi dari A untuk bladder training dan D untuk habit training.
5.
Terapi komplementer seperti akupunktur belum direkomendasikan walaupun penelitian tanpa kontrol dengan jumlah sampel kecil menunjukkan perbaikan pada kelompok pasien dengan gejala OAB (over active bladder).
Bukti ilmiah terapi farmakologik untuk OAB, inkontinensia tipe stres dan tipe overflow dapat dilihat pada tabel 4, 5 dan 6. Tabel 4.Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe stres.4 Golongan obat Duloxetine Imipramine Methoxamine Midodrine Ephedrine Norephedrine (phenylpropanolamine) Estrogen
172
Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)
Status rekomendasi (Grade of recomendation)
1 3 2 2 3 3
A D D C D D
2
D
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 5. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk OAB. 4 Golongan obat
Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)
Status rekomendasi (Grade of recomendation)
Antimuskarinik Tolterodine Trospium Solifenacin Darifenacin Propantheline Atropin, Hyoscyamine
1 1 1 1 2 3
A A A A B C
Obat kerja ganda Oxybutynin Dicyclomine Propiverine Flavoxate
1 3 1 2
A C A D
Penghambat adrenergik Doxazosin Prazosin Terazosin Tamsulosin Alfuzosin
3 3 3 3 3
C C C C C
Antidepresi Imipramine
3
C
Agonis adrenergik Terbutalin Salbutamol
3 3
C C
Penghambat COX Indometasin Flurbiprofen
2 2
C C
Obat lain Estrogen Baclofen* Capsaicin** Resiniferatoxin** Botulinum Toxin*** Desmopressin****
2 3 2 2 2 1
C C C C B A
173
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 6. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe overflow.4 Golongan obat
Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)
Status rekomendasi (Grade of recomendation)
Antagonis adrenergik alfa Alfuzosin Doxazosin Prazosin Terazosin Tamsulosin
4 4 4 4 4
C C C C C
Antagonis reseptor muskarinik Bethanechol Carbachol
4 4
D D
Penghambat kolinesterase Distigmine
4
D
Obat-obat lain Baclofen Benzodiazepine Dantrolene
4 4 4
C C C
Kesimpulan 1.
Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai.
2.
Tipe-tipe inkontinensia urin sangat terkait dengan faktor-faktor penyebab yang kadang-kadang saling tumpang tindih.
3.
Evaluasi yang dituntun dengan algoritme akan dapat menentukan faktor penyebab baik yang bersifat sementara maupun tetap.
4.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi farmakologik maupun non-farmakologik serta memperhatikan faktor medis, kognitif pasien dan keinginan pasien.
Daftar pustaka 1.
Pramantara, D. P. 2010. Sindroma Geriatrik pada Diabetes Melitus Usia Lanjut. Seminar Penatalaksanaan Medis Penderita Diabetes Pada Lansia, Yogyakarta.
2.
Kane, R. L., Ouslander, J. G., Abrass, I. B. & Resnick, B. 2009. Essentials Geriatrics. 6th Ed. McGraw Hill, New York, pp. 213-56.
of
Clinical
3.
Cefalu, C. A. 2007. Urinary Incontinence dalam R. J. Ham, P. D. Sloane, Warshaw, M. A. Bernard & E. Flaherty (Eds.) : Primary Care Geriatrics. Mosby-Elsevier, Philadelphia. pp: 306-323.
G. A. 5 th Ed.
4.
Pergemi, 2007. Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut, Konsensus Nasional, Jakarta.
5.
Forciea, M.A. & Cordts,G. 2004. Urinary Incontinence dalam M. A. Forciea, E. P. Schwab, D. B. Raziano & R. Lavizzo-Mourey (Eds): Geriatric Secrets. 3rd Ed. Mosby, Philadelphia. pp: 209-14.
174
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
6.
Adelman, A. M., Daly, M. P. & Weiss, B. D. 2001. 20 Common Problems in Geriatrics. McGraw-Hill, Boston, pp. 85-115.
7.
Cohan, M. E., Pikna, J. K. & Duecy, E. 2007. Urinary Incontinence dalam E. H. Duthie, P. R. Katz & M. L. Malone (Eds): Practice of Geriatrics. 4 th Ed. Saunders Elsevier, Philadelphia, pp. 187-194.
8.
Johnson, T. M. & Ouslander, J. G. 2009. Incontinence dalam J. B. Halter, J. G. Ouslander, M. E. Tinetti, S. Studenski, K. P. High, & S. Asthana (Eds): Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th Ed. McGraw-Hill, New York. pp. 717-730.
175
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
176
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Inkontinensia Alvi/Fekal Bambang Joni Karjono
Pendahuluan International Consultation on Incontinence WHO mendefinisikan FI sebagai “hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau higienis.1 Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi / fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus.2 Kejadian inkontinensia alvi / fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin.3 Inkontinensia alvi / fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak pasien enggan untuk mengakuinya. Selain itu, dokter cenderung untuk tidak bertanya tentang hal itu, mungkin karena sama-sama malu atau karena mereka tidak melihatnya sebagai “penting”.4 Tetapi inkontinensia alvi / fekal pada geriatri adalah penting, karena beberapa alasan.4, 5 : Survei dengan populasi besar mengungkapkan prevalensi 3% sampai 7% antara umur 65 orang dan lebih. Pada pasien lanjut usia di rumah perawatan, prevalensi setinggi 50%. Memiliki dampak finansial yang signifikan pada pasien, keluarga, dan sistem perawatan kesehatan. Ini melampaui biaya popok dewasa: inkontinensia adalah salah satu penyebab paling umum dari pelembagaan lansia, dan beban mahal bagi pasien dan keluarga. Memiliki dampak sosial sangat buruk pada pasien lanjut usia, mulai dari malu dan menyebabkan perubahan gaya hidup yang menyusahkan secara signifikan dan isolasi sosial. Berkontribusi banyak terhadap masalah psikologis lansia, termasuk depresi dan menyebabkan penurunan kognitif. Bahkan mungkin dikaitkan dengan kematian, seperti yang ditunjukkan pada studi prospektif pasien lanjut usia yang bertempat tinggal di masyarakat dengan berbagai tingkat inkontinensia fekal. Hal ini sering dapat diobati secara efektif. Impaksi fekal pada pasien rumah keperawatan dan disfungsi rectosphincter karena kelemahan otot atau neuropati diabetes adalah dua penyebab utama fecal incontinence pada lanjut usia, dan perawatan efektif ada untuk kedua kondisi.
177
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Prevalensi inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita (Tabel 1).6 Table 1. Prevalensi inkontinensia fecal pada populasi lansia.6
Porulasi
Prevalensi
Wmur =65 tahun (masyarakat)
3,7-27%
Pasien dirawat di rumah sakit
10-25%
Rumah sakit swasta
@ 50%
Rawat Inap dengan demensia
@ 80%
Hasil survey pada penduduk Amerika Serikat didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia alvi / fekal meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mengenai 18 juta orang dewasa non-institusional di Amerika Serikat dari seluruh umur dewasa.7 Females
Males
Fecal Incontinence Percent
24 20 16 12 8 4 0 20-29 30-39
40-54 55-69
>70
20-29
30-39 40-54
55-69
>70
‘ Age (years) Gambar 1. Prevalensi inkontinensia alvi / fekal menurut kelompok umur pada wanita dan pria.(7)
Inkontinensia alvi / fekal bukanlah konsekuensi normal dari proses penuaan tetapi sering terjadi sebagai akibat dari kerusakan struktural atau fungsional mekanisme kontinensia dan atau perubahan konsistensi feses dan pelepasannya.
178
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Setiap upaya mengelola gangguan anorectal memerlukan pemahaman yang jelas tentang anatomi dan mekanisme fisiologis terintegrasi yang bertanggung jawab untuk menjaga kontinensia.
Fungsional anatomi dan fisiologi anorectum8 Dasar Panggul Dasar panggul adalah lembaran, berbentuk kubah otot lurik yang membungkus kandung kemih, rahim, dan rektum. Bersama dengan sfingter anal, memiliki peranan penting dalam penyimpanan, regulasi, dan evakuasi urin dan feses. Integritas neuromuskuler dari rectum dan anus secara bersama-sama membantu otot-otot dasar panggul untuk menjaga kontinensia normal. Levator ani, yang membentuk diafragma panggul, terdiri dari empat otot yang berdampingan, yaitu, pubococcygeus, ileococcygeus, coccygeus, dan puborectalis. Otot-otot ini melekat dari perifer ke badan pubis, tulang belakang iskiadika, dan arcus.9
Rektum dan Kanal Anal Rektum adalah otot berwujud tabung panjang 15 - 20 cm mulai dari perbatasan rektosigmoid pada vertebra sakral ketiga (Gambar. 2). Terdiri dari lapisan otot memanjang berkesinambungan yang interface dengan otot melingkar yang mendasarinya. Pengaturan unik ini memungkinkan otot rektum berfungsi baik sebagai reservoir untuk feses dan sebagai pompa untuk mengosongkan feses.
Gambar 2. Diagram dubur, lubang anus, dan struktur yang berdekatan. Pembatas panggul termasuk sphincters anal dan panggul lantai otot.6
179
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Saluran anal adalah tabung berotot 2 - 4,5 cm panjang, yang pada istirahat membentuk sudut dengan poros rektum. Saat istirahat, sudut anorectal adalah sebesar 90°. Selama meremas sukarela, sudut menjadi lebih akut, sekitar 70°, dan saat buang air besar, menjadi tumpul lebih, sekitar 110-130°. Yang proksimal 10 mm dari saluran anal dibatasi oleh mukosa kolumnar. 15 mm selanjutnya (termasuk katup) dibatasi oleh epitel kolumnar bertingkat. Distal sekitar 10 mm adalah epitel tebal, tidak berambut disebut Pecten. Yang paling distal 5-10 mm dilapisi oleh kulit berambut. Sphincter anal terdiri dari sphincter anal internal, yang merupakan ekspansi 0,3 hingga 0,5 cm tebal lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sphincter anal eksternal, yang merupakan ekspansi 0,6 hingga 1 cm dari otot levator ani lurik. Secara morfologi, baik sphincters terpisah dan heterogen. Anus biasanya tertutup oleh kegiatan tonik dari sphincter anal internal, dan penghalang ini diperkuat dengan sukarela menekan sphincter anal eksternal. Yang mukosa lipatan dubur bersama dengan meluas, dan bantal vaskular menyediakan segel ketat. Hambatan mekanik yang ditambah dengan otot puborectalis, yang membentuk katup penutup seperti yang menciptakan maju tarik dan memperkuat sudut anorectal untuk mencegah inkontinensia. Dasar panggul dan anorectum yang diinervasi oleh jaras simpatik, parasimpatis, dan somatik. Pasokan syaraf ke rektum dan kanal anal berasal dari pleksus anus superior, tengah, dan inferior. Serat parasimpatis dalam sinapsis pleksus superior dan tengah anus dengan neuron postganglionik dalam pleksus myenteric dari dinding anus. Yang persarafan somatis pokok anorectum yang adalah dari saraf pudenda, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat (S2, S3, S4), dan innervates sphincter anal eksternal, mukosa anal, dan dinding anus. Ini adalah saraf campuran dan subserves baik fungsi sensor dan motor, dan tentu saja melalui panggul membuatnya rentan terhadap peregangan cedera, terutama pada saat melahirkan vagina. Faktor-faktor fisiologis yang mencegah fecal incontinence termasuk penghalang panggul, kepatuhan anus dan sensasi, dan faktor-faktor lain seperti konsistensi feses, mobilitas, dan lain-lain Pada bagian ini, kita membahas faktor-faktor ini.
Penghalang ranggul Sphincter anal internal bertanggung jawab untuk menjaga sekitar 70% dari tone anal istirahat, dan ini terutama disebabkan eksitasi tonik simpatik. Sphincter anal eksternal, yang sebagian besar terdiri dari otot lurik, memberikan kontribusi dalam komponen sisa nada beristirahat. Sphincter anal eksternal, puborectalis, dan kontrak levator ani selanjutnya jika diperlukan untuk mempertahankan kontinensia tapi rileks hampir sepenuhnya selama evakuasi. Kontraksi sfingter eksternal mungkin bersifat sukarela atau refleksif (misalnya, ketika meningkatkan tekanan intra-abdomen). Anal beristirahat dan / atau tekanan meremas umumnya berkurang pada pasien dengan inkontinensia fekal, menunjukkan kelemahan sfingter. Ke dalam traksi yang diberikan oleh puborectalis sudah berkurang inkontinensia fekal dan berkorelasi lebih erat dengan gejala dibandingkan dengan tekanan meremas, dan meningkatkan setelah biofeedback.
180
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penyebab Inkontinensia Alvi / Fekal Penyebab umum kelemahan sfingter anal termasuk kerusakan sfingter, neuropati, atau masukan berkurang dari korteks atau sumsum tulang belakang. Berikut ini adalah daftar etiologi inkontinensia fekal : -
Kelemahan sphincter anal
-
Cedera : trauma obstetri berhubungan dengan prosedur pembedahan (misalnya, hemorrhoidectomy, sfingterotomi internal, fistulotomy, infeksi anorektal)
-
Nontraumatic: skleroderma sfingter, internal penipisan etiologi tidak diketahui
-
Neuropati
-
Stretch cedera, trauma obstetri, diabetes melitus
-
Gangguan anatomi lantai panggul
-
Fistula, prolaps anus, turun sindrom perineum
-
inflamasi kondisi
-
Crohn’s disease, ulcerative colitis, proctitis radiasi
-
Penyakit sistem saraf pusat
-
Dementia, stroke, tumor otak, sumsum tulang belakang lesi, sistem atropi ganda (Shy-Drager syndrome), multiple sclerosis
-
Diare
-
Irritable bowel syndrome, postcholecystectomy diare
Inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia memiliki beberapa etiologi dan membutuhkan penilaian hati-hati pada setiap pasien. Berikut ini adalah sebagian daftar penyebab inkontinensia alvi / fekal pada orang tua6: -
Penurunan sensasi rectum o Fecal impactions o Megarectum o Diabetes melitus
-
Penurunan kapasitas reservoir o Radiasi o Reseksi bedah o Iskemia o Peradangan
181
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
-
Gangguan fungsi sfingter anal / puborectalis o Lesi saraf tulang belakang o Neuropati pudenda o Trauma, operasi
-
Penurunan fungsional o Dementia, delirium, konfusio o Kelemahan, imobilitas, ketidakstabilan o Depresi, psikosis
-
Lainnya o Diare o Pengaturan toilet yang tidak memadai
Pada rawat jalan pasien lansia intak, penyebab inkontinensia alvi / fekal mirip pada populasi dewasa dan membutuhkan penilaian yang sama dengan orang dewasa muda.
Pengelolaan Inkontinensia Alvi / Fekal Penilaian Inkontinensia fekal Penilaian klinis Keengganan untuk melaporkan gejala dan hubungan yang signifikan antara inkontinensia fekal dan gejala kecemasan, depresi dan disabilitas menunjukkan bahwa orang tua harus ditanya tentang inkontinensia fekal. Meningkatnya kesadaran dari skala masalah antara profesional kesehatan dan kepedulian sosial, orang tua dan pengasuh mereka dapat menyebabkan manajemen yang lebih tepat dan efektif pemberian perawatan.10 Dokter harus menyadari bahwa keluhan “diare,” mungkin adalah eufemisme dari inkontinensia alvi / fekal.6 Pada pasien inkontinensia fekal, anamnesis rinci dapat memberikan indikasi kearah etiologi, keparahan, dan patofisiologinya, sehingga dapat dijalin hubungan yang baik dengan pasien, dan rencana tes diagnostik dan pengobatan.(11) Secara klinis ada tiga subtipe (a) inkontinensia pasif - pembuangan spontan dari tinja atau gas tanpa sadar, (b) inkontinensia mendesak - pembuangan feses disamping usaha yang aktif untuk mempertahankan isi usus, dan (c) rembesan kotoran - kebocoran feses dengan evakuasi dinyatakan normal.2
182
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Berat ringannya gejala inkontinensi alvi / fekal dapat dinilai dengan menggunaan skor. (Tabel 3). Beratnya inkontinensi alvi / fekal sangat berkorelasi dengan dampak kondisi ini terhadap kualitas hidup. Kebocoran dari feses padat mencerminkan kelemahan dubur yang lebih parah dari kebocoran feses cair saja. Namun, pasien biasanya lebih terganggu dengan kebocoran cairan dari feses padat. 11 Setelah anamnesis diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik inspeksi dubur dilanjutkan dengan pemeriksaan rektal secara digital untuk menilai fungsi otot sfingter dan puborektalis. Tabel 3. Skala keparahan gejala Inkontinensia fekal11 Skor beratnya gejala
Gejala
1
2
3
Frek uens i
>1 / bulan
tiap hari
Komposisi
fes es lendir / cairan s edik it (pew arnaan saja)
@ 1 / bulan sampai beberapa k ali / minggu fes es padat
Lumlah
Wrgensi atau inkontinensia pasif
tidak
Sedang (membutuhkan ganti pakaian dalam) inkontinens ia pas if
feses padat dan cair Berat (membutuhk an ganti s emua pakaian) ink ontinens ia mendes ak
4
Kom binas i (pasif dan mendesak) ink ontinens ia
Skor dari 1-6, 7-10, dan 11-13 dikategorikan sebagai fecal incontinence ringan, sedang dan berat.
Tes Diagnostik11 Tes diagnostik disesuaikan dengan umur pasien, faktor kemungkinan etiologi, beratnya gejala, dampak terhadap kualitas hidup, respon dengan manajemen medis konservatif seperti loperamide atau pelembut feses, dan ketersediaan tes. Diagnosa dapat diperoleh dengan pemeriksaan endoskopi, manometry anal, sensasi rektum, compliance rektum, WSG endoanal, dynamic proctography (defecography), magnetic resonance imaging panggul, pudendal nerve terminal motor latency, needle electromyography spingter eksternal.
Pengelolan11 Pengelolaan inkontinensi alvi / fekal harus disesuaikan dengan manifestasi klinis, pengobatan penyakit yang mendasari, dan dipandu oleh tes diagnostik. (Gambar 3) Pengelolaan dapat dengan pendekatan Diet dan farmakologis, Latihan otot asar panggul dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.
183
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ringkasan Inkontinensia alvi/fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak pasien enggan untuk mengakuinya. Prevalensi inkontinensia alvi/fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita. Pengelolaan inkontinensia alvi/fekal dimulai dengan mengenali keluhan klinis secara rinci dilanjutkan dengan pemeriksaan colok dubur dan diteruskan dengan pemeriksaan dengan tes diagnostik untuk mencari penyebabnya. Pengobatan dapat dengan pendekatan diet dan farmakologis, latihan otot dasar panggul dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.
Gambar 3. Algoritma sederhana pengelolaan inkontinensi alvi/fekal.11
184
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar rustaka 1.
Harari D. Constipation and Fecal Incontinence in Old Age. In: Howard M. Fillit KR, Kenneth Woodhouse, editors. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology. Philadelphia: Saunders, Elsevier Inc.; 2010. p. 909-25.
2.
Rao SS. Diagnosis and management of fecal incontinence. American Lournal of Gastroenterology. 2004:1585-604.
3.
Theodore M. Lohnson II LGO. Incontinence. Geriatric Medicine And Gerontology. Sixth ed. New York The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2009. p. 717-30.
4.
Tyler K. Stevens Ees, Robert M. Palmer. Fecal incontinence in elderly patients: Common, treatable, yet often undiagnosed. Cleveland Clinic Lournal of Medicine 2003;70(5):441-8.
5.
Nyam DCNK. Fecal Incontinence: Hope for an Wnderdiagnosed Condition. Singapore Med L 2000; 41 (4):188-92.
6.
Wald A. Fecal Incontinence in Elderly and Institutionalized Patients. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007.
7.
William E. Whitehead LB, Patricia S. Goode, Susan meikle, , Elizabeth R. MWELLER AT, Alison WEIDNER, Milena WEINSTEIN, Wen Ye. Fecal Incontinence in W.S. Adults: Epidemiology and Risk Factors. Gastroenterology. 2009;137 (2):512–7.
8.
Satish S. Rao LS. Diagnosis of Fecal Incontinence. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007. p. 95-105.
9.
Adil E. Bharucha REB. Anatomy and Physiology of Continence. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007.
10. Nia I. Edwards DL. The prevalence of faecal incontinence in older people living at home. Age and Ageing. 2001;30:503-7. 11. Bharucha AE. Management of Fecal Incontinence. Gastroenterology & Hepatology 2008;4(11):807-17.
185
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
186
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Complementary Medicine in Elderly Wasilah Rochmah
Abstrak Pengobatan komplementer saat ini telah banyak digunakan oleh masyarakat dimana saja diseluruh dunia. Di Amerika lebih dari 50% menggunakan pengobatan ini di samping pengobatan kedokteran pada umumnya. Justru di pendidikan resmi kedokteran ada bagian tersendiri mengenai pengobatan komplementer tersebut yang sering disebut sebagai CAM UNIT (Complementary and Alternative Medicine Unit). Kalau ditinjau dasarnya pengobatan CAM banyak berasal dari Cina dan India. Masing-masing negara mengembangkannya sesuai dengan kultur serta keadaan alamnya. Usia lanjut merupakan periode akhir kehidupan yang keadaan baik jasmani maupun rohani telah berubah dari seorang dewasa sehat menjadi seorang tua yang bersifat rapuh. Tanpa penyakit yang bersifat kronis, seorang usia lanjut seringkali telah menderita gangguan, ketidakmampuan sampai adanya hendaya (keterbatasan) bahkan bisa suatu penyakit karena akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologik. Dikatakan bahwa Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit kecuali bersama obatnya, selain tua. Dari dasar ini, apakah perubahan-perubahan karena proses menua dan belum menimbulkan penyakit tidak perlu diobati? Namun sejak beribu tahun yang lalu manusia telah berfikir, berusaha mencoba, mencatat pengalaman yang ada sehingga tumbuh ilmu kedokteran kuno yang berasal dari Yunani, ilmu-ilmu pengobatan yang berasal dari Cina dan Hindia yang keduanya terus berkembang menjadi berbagai disiplin ilmu. Definisi masingmasing disiplin semakin jelas, namun aplikasinya sering kurang jelas dan tumpang tindih. Apakah yang disebut pengobatan komplementer mempunyai peran tambahan dalam pengelolaan usia lanjut, mengingat pengobatan tersebut berupa upaya tambahan yang dapat saling memperbaiki antar fisik, psikis dan spirit sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Kata kunci: medicine - CAM - aged and ageing - complementary medicine.
187
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
188
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Depresi pada Lanjut Usia Martina W. S. Nasrun
Abstrak Tingginya prevalensi gangguan depresi berat pada pasien usia lanjut dengan penyakit fisik kronik menuntut keterlibatan dokter umum dan dokter spesialis lain (khususnya spesialis usia lanjut) untuk mampu mendeteksi dan mengelola gejala-gejala depresi agar target pengobatannya dapat dicapai. Depresi yang tidak ditatalaksana akan memperpanjang masa rawat, meningkatkan mortalitas dan menghambat proses rehabilitasi yang penting bagi pemulihan kesehatan usia lanjut. Sampai kini, gangguan depresi masih under-diagnosis dan under-treatment. Penghalang utama misdiagnosis adalah pandangan bahwa reaksi depresi tidak patologis dan terapi tidak diperlukan karena dapat diatasi sendiri. Keengganan untuk memberikan diagnosis psikiatrik pada pasien masih cukup berperan di kalangan kesehatan. Padahal jika depresi diterapi dengan tepat dan adekuat maka kualitas hidup pasien akan menjadi lebih baik sekalipun penyakit fisiknya tak dapat disembuhkan lagi. Mengapa orang dengan depresi jarang berobat? Karena depresi dianggap normal, dan depresi sering terjadi bersamaan penyakit lain. Gejala-gejala depresi sering dianggap sebagai akibat dari penyakit fisik yang sudah lama diderita (kronik). Banyak orang merasa bahwa depresi merupakan kelemahan dari kepribadian/keimanan. Pandangan ini keliru, karena depresi merupakan suatu penyakit medis yang dapat diobati. Tatalaksana gangguan depresi meliputi berbagai aspek dan modalitas tergantung ketersediaan sarana dan prasarana yang ada, yakni meliputi aspek biologis (obat anti depresi, ECT, operasi otak), aspek psikologis (problem solving, psikoterapi, CBT) dan aspek sosial (aktivitas kelompok, reminiscence, dukungan keluarga dan lain-lain). Kata kunci: depresi, usia lanjut.
Epidemiologi dan klasifikasi Prevalensi depresi pada orang berusia lebih dari 65 tahun di komunitas dilaporkan mencapai 15%.1,2 Studi epidemiologi pada usia lanjut di populasi mendapatkan gangguan depresi berat 1%, dystimia 3% dan gejala depresi klinis 8-15%.3 Rendahnya angka prevalensi depresi pada usia lanjut dibandingkan usia lebih muda disebabkan tidak dilaporkannya mood depresi oleh usia lanjut atau terlupakan. Beberapa penelitian
189
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
menunjukkan depresi pada usia lanjut jauh lebih tinggi di lingkungan rumah sakit dibandingkan di komunitas, Alexopoulos mendapatkan gejala depresi 17-37% di pelayanan primer (sepertiganya mengalami depresi berat); sedangkan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit depresi berat mencapai 11%.3 Usia menua bukanlah faktor risiko untuk terjadinya depresi, namun kehilangan pasangan hidup dan menderita penyakit kronis merupakan kerentanan yang berhubungan dengan gangguan depresi. Depresi pada usia lanjut cenderung untuk mengalami kekambuhan. Gambaran depresi pada lanjut usia tampilan gejalanya tidak khas, jarang sekali tampak mood depresi. Yang menonjol adalah gejala ansietas, keluhan somatik, dan perasaan bersalah. Rasa letih, lesu, pesimistik, tidak nafsu makan, insomnia, sulit konsentrasi sering ada namun dapat disalahtafsirkan sebagai gejala biasa pada lanjut usia. Ide bunuh diri (perasaan hidup tak berguna, ingin mati) juga sering tidak ditanggapi serius padahal seharusnya di eksplorasi lebih lanjut. Umumnya usia lanjut dengan depresi yang mempunyai keinginan mati akan menolak pengobatan dan menolak makan minum (passive suicide). Kriteria diagnostik gangguan depresi pada lanjut usia sama dengan kriteria diagnostik gangguan depresi pada dewasa muda (PPDGJ III/ICD 10), namun tidak selalu dapat dipenuhi meskipun secara klinis jelas pasien mengalami depresi. Untuk gangguan depresi berat biasanya dapat dijumpai gejala utama dan gejala tambahan depresi sesuai kriteria diagnosis. Diagnosis gangguan penyesuaian dengan afek depresi sering dijumpai pada komorbiditas pasien rawat dengan penyakit kronis. Kriteria diagnostik untuk gangguan penyesuaian dengan mood depresi mensyaratkan timbulnya gejala depresi dalam kurun waktu 3 bulan setelah onset stresor (kematian, diagnosis penyakit kronis/ terminal, pensiun dan lain-lain). Depresi pada usia lanjut bervariasi dari derajat ringan sampai berat. Instrumen untuk skrining biasanya dipakai Geriatric Depression Scale (GDS) 30 butir dengan cut off 11 sebagai indikator gangguan depresi atau GDS 15 butir dengan kemungkinan depresi bila skor lebih dari 5. Instrumen ini dapat diisi sendiri oleh pasien atau diukur oleh pemeriksa. Pemeriksa memberi skor sesuai dengan pedoman penilaian. Ada 4 pertanyaan kunci dari GDS untuk mendeteksi atau membuka percakapan ke arah depresi yaitu: 1. 2. 3. 4.
Anda puas dengan kehidupan anda? Anda merasakan hidup ini kosong? Anda takut sesuatu yang buruk akan menimpa diri anda? Anda merasa bahagia untuk sebagian besar waktu anda?
Dari jawaban terhadap pertanyaan tsb di atas (ya pada no 1-3 dan tidak pada no 4), dapat dieksplorasi lebih lanjut kemungkinan depresi.
190
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gambaran klinis depresi pada usia lanjut Umumnya gejala-gejala gangguan depresi adalah sebagai berikut: · Rasa letih, lesu yang terus menerus. · Tak ada gairah/semangat. · Perasaan sedih/tertekan/menangis. · Merasa “lebih lamban”. · Khawatir tentang kesehatan/keuangan. · Keluhan fisik (nyeri atau lainnya). · Merasa putus asa/tak berarti. · Perubahan berat badan. · Sulit tidur. · Sulit konsentrasi. Gejala depresi pada usia lanjut tidak selalu mudah untuk dikenali karena mood depresi yang disangkal, keluhan somatik/fisik yang menonjol sementara minat yang berkurang, rasa letih, berat badan menurun dan keluhan gangguan tidur dapat bertumpang tindih dengan penyakit fisik yang dialaminya. Usia lanjut cenderung rentan mengalami depresi berat melankolik yang ditandai oleh afek depresi, hipokondriasis, rendah diri, merasa tak berharga dan cenderung menyalahkan diri sendiri (merasa berdosa) dengan ide paranoid dan ide bunuh diri. Hendaya kognitif pada usia lanjut dengan depresi dikenal sebagai sindrom demensia dari depresi atau pseudodementia, yang dapat rancu dengan demensia yang sebenarnya (Alzheimer misalnya). Pada demensia, penurunan hendaya kognitif biasanya menyeluruh (global) dan konsisten progresif memburuk sementara pada pseudodemensia defisit atensi dan konsentrasi bervariasi dan kurang stabil. Dibandingkan pasien dengan demensia, pada pseudodemensia jarang dijumpai hendaya berbahasa dan konfabulasi; cenderung menjawab “saya tidak tahu” serta kesulitan mengingatnya terbatas pada free recall dari pada recognition. Pseudodementia terjadi pada sekitar 15% pasien depresi usia lanjut.3 Sindrom klinis yang dapat muncul pada usia lanjut yaitu: a.
Depresi agitatif: ditandai dengan gambaran aktivitas yang meningkat, mondarmandir mengejar-ngejar orang (relentless pacing), terus-menerus meremas-remas tangan dan lain-lain yang sering menyulitkan dan melelahkan keluarga atau pasangannya.
b.
Depresi dan ansietas: baik gejala psikik maupun somatik dari ansietas yang menyertai depresi dapat mendominasi gambaran klinis. Gangguan cemas menyeluruh atau phobia dapat terjadi bersama-sama dengan depresi. Penelitian menyatakan bahwa bahwa ansietas 15-20 kali lebih sering dijumpai pada usia
191
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
lanjut dengan depresi. Hubungan penyakit fisik dengan ansietas pada depresi cukup kompleks. Ansietas dapat menyebabkan gejala fisik yang sering dikira sebagai penyakit fisik semata. Ansietas hebat juga dapat menyebabkan kelelahan dan dehidrasi. Sementara penyakit fisik yang mengancam kehidupan atau hilangnya kemandirian seringkali merupakan sumber dari ansietas. c.
Depresi terselubung: tidak munculnya gejala mood yang menurun bukanlah suatu halangan untuk mendiagnosis depresi. Apakah terselubunginya gejala depresi ini karena para lanjut usia takut menjadi beban ataukah karena trend bahwa ‘harus punya keberanian menghadapi hari tua’. Dalam hal ini harus dieksplorasi tanda-tanda dan gejala-gejala lainnya dari depresi secara lebih teliti.
d.
Somatisasi: gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang sesungguhnya dari gangguan depresi, namun dapat pula diperberat dengan adanya depresi.
e.
Pseudodemensia: istilah ini diperuntukkan bagi pasien depresi yang menunjukkan gangguan memori yang bermakna seperti yang terjadi pada pasien demensia.
f.
Depresi sekunder pada demensia: pada stadium awal demensia sering dijumpai depresi, mungkin sebagai dampak dari insight akan deteriorasi fungsi dan menurunnya kemampuan secara progresif. Depresi yang terjadi pada stadium akhir mungkin lebih banyak berhubungan dengan hilangnya fungsi neurotransmiter. Depresi dan gangguan perilaku pada demensia disebabkan oleh berkurangnya fungsi serotonergik, sehingga pengaktifan fungsi serotonergik akan memperbaiki gejala-gejala tersebut.
Mekanisme terjadinya gangguan depresi
2
Psikodinamika terjadinya depresi adalah adanya agresivitas yang ditujukan pada diri sendiri (introjeksi). Agresivitas bermanifestasi sebagai menghukum diri, menyalahkan diri, berpenyakitan dan sebagainya. Individu merasa dirinya tak berarti lagi hidup dan tidak percaya diri sanggup bangkit dari keadaan depresinya. Berbagai peristiwa psikososial seperti kehilangan nyata ataupun ancaman kehilangan akan menyebabkan seseorang merasa tak berdaya (helplessness) dan mempengaruhi cara berpikir yang cenderung pesimis atau pikiran negatif yang disertai perasaan kuatir (was-was). Secara biologik, penurunan neurotransmiter di celah sinaps terutama serotonin menimbulkan berbagai gejala depresi. Demikian juga gangguan fisiologis pada lobus frontalis menimbulkan gejala depresi. Beberapa penyakit sistemik mempengaruhi psiko-neuro-endokrin khususnya pada jaras hipotalamik-pituatri.
192
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Depresi
Perubahan neurotransmiter Penyakit sistemik Penyakit degeneratif
Kehilangan: Harga diri/martabat Kekuatan fisik Orang/benda disayangi
Isolasi sosial Kesulitan ekonomi Tak punya rumah dan lain-lain
Biologik
Psikologik
Sosial
Bagan peran bio-psiko-sosial pada gangguan depresi.
Tujuan tatalaksana pada gangguan depresi adalah mengatasi gejala depresi sehingga pasien dapat hidup normal lagi dalam kehangatan keluarga, teman-teman, dan komunitasnya. Terapi depresi yang lebih dini dan relatif cepat, akan mencegah gejala-gejala depresi menjadi lebih parah dan menetap, mengurangi risiko kekambuhan dan menghilangkan pikiran yang dapat membahayakan diri sendiri (suicide).
Pendekatan multidisiplin Dalam menangani pasien depresi dengan komorbiditas tidaklah mungkin berhasil jika hanya berpijak pada satu disiplin ilmu saja. Kondisi yang demikian kompleks dapat diatasi secara optimal hanya jika ada kerja sama yang baik antar berbagai disiplin ilmu yang terpadu dan menyeluruh dengan fokus pada kepentingan pasien. Peran dari tim multidisiplin ini mulai dari pemeriksaan sampai penatalaksanaan, maintenance maupun pencegahan/prevensi. Siapa saja dapat masuk dalam tim multidisiplin yakni dokter umum, perawat, pekerja sosial, terapis okupasional, psikolog, psikiater, neurolog, internist/geriatrician, kardiolog dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan pasien. Peran dari perawat psikiatri komunitas dan day care hospital sangat penting untuk memonitor kesembuhan pasien dan mencegah relaps. Deteksi dini depresi pada pasien dengan gangguan/penyakit fisik yang disertai dengan intervensi optimal akan memperbaiki prognosis pasien dan mencegah terjadinya disabilitas yang akan membuat pasien menderita berkelanjutan. Depresi dapat dan bisa diobati, apakah itu terjadi bersama-sama penyakit lain atau tersendiri. Pendekatan multidisiplin dengan fokus pada kepentingan pasien harus menjadi perhatian bagi seluruh anggota tim. Kesejahteraan jiwa pasien, harapan-harapan pasien dan kehidupan sosialnya sebaiknya juga diupayakan terpenuhi di samping upaya penyembuhan penyakitnya. Meskipun gangguan depresi dengan komorbiditas tidak mudah untuk dikenali dan diterapi, namun melalui pendidikan dan penyampaian informasi yang berkelanjutan tentang penyakit serta kerja sama tim multidisiplin yang baik akan memberikan manfaat bagi pasien, terutama kualitas hidupnya akan membaik dan paling tidak
193
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pasien usia lanjut dapat bebas dari depresi jika penyakit fisiknya memang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.
Daftar pustaka 1.
Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2007 Lippincott Williams & Wilkins, p 1354.
2.
Lovestone S., Howard R. Depression in Elderly People. London, Martin Dunitz Ltd. 1997.
3.
Alexopoulos G.S. Late-life Mood Disorders in Comprehensive textbook of Geriatric Psychiatry edited by Sadavoy J.et al. W.W. Norton & company, 2004, p. 609-53.
194
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Depresi Lanjut Usia Aris Sudiyanto
Depresi lanjut usia merupakan gangguan afek pada pasien lanjut usia. Gangguan ini seringkali tidak dideteksi dokter oleh karena berbagai hal, pada hal gangguan tersebut sering dijumpai di masyarakat. Oleh karena itu pemahaman untuk deteksi dini dan penetalaksanaannya menjadi suatu hal yang perlu diketahui para dokter. Deteksi dini depresi lansia dapat dilakukan dengan mengenal secara lebih baik tanda dan gejala depresi yang dialami pasien lanjut usia, terutama tanda dan gejala awal depresi. Penatalaksanaan depresi lansia meliputi psikoterapi, psikofarmaka, dan terapi fisik. Psikoterapi untuk pasien lansia yang mengalami depresi di antaranya konseling eklektik, logoterapi, terapi perilaku kognitif, dan psikoterapi dinamik singkat. Psikofarmaka untuk depresi lansia dapat diberikan obat antidepresan dengan dosis rendah dan dipilih yang aman, diantaranya fluoxetin, venlafaksin, dan esitalopram. Terapi fisik untuk depresi lansia dapat diberikan terapi kejang listrik dengan pengawasan dan syarat yang ketat.
195
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
196
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pathophysiology of Sepsis in the Elderly Muhammad Hussein Gasem
The incidence of sepsis is relatively higher in the elderly. Severe sepsis in the elderly older is a major public health problem especially in countries with larger portion of aging population. Clinical studies have shown that many factors influence the increasing risk of infection and sepsis in older patients. Immunosenescence is widely described as important cause of altered pathophysiology of sepsis in the elderly. Immunosenescence that reduces the capacity of innate as well as adaptive immune system could change immune responses like pro and anti-inflammatory responses, lymphocytes functions and cytokines production. The adaptive immune system is coordinated by T-lymphocyte cells, the activation that is required for the initiation, maintenance and termination of responses against microbial pathogens. Changes in the expression and functions of the T-cell receptor for antigen and its co-receptors are closely associated with susceptibility to infection and with severity of sepsis, as well. Low grade inflammation caused by disparities in response to stimulation in human aging like blunted fever response, augmented by underlying diseases and (multi) drug therapy may cause difficulty in clinical diagnosis of sepsis and late of treatment in the septic elderly. Therefore, diagnostic criteria of sepsis based on the recent guidelines is sometimes difficult to be implemented in the older patients.
197
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
198
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sepsis in Elderly A. Guntur H
Abstract The aging world population will increase the incidence and mortality of severe sepsis. The impact of immunosenescence on innate and acquired immunity is associated with relative immunologic depression that may favor the spreading of inflammation. Severe sepsis is a common problem associated with substantial mortality and a significant consumption of healthcare resources. The number of cases per year, currently estimated at 750 000 in the US alone, is expected to increase at a rate of 1.5% per year, and an increasingly significant proportion of these patients will be elderly. Incidence of sepsis in adult patients in Dr. Moewardi hospital (2009), is 384 and 37.8% is the old age. The majority of patients were male (52.6%) with the most underlying diseases is Pneumonia (24.5%). Older persons are more prone to infections due to the effects of aging, comorbidities, use of invasive devices, and problems associated with institutionalization. The diagnosis of sepsis in this population can be difficult, as older patients may have atypical responses to sepsis and may present with delirium or falls, thus delaying therapeutic interventions that may influence their outcome. There is a tendency to treat older persons less aggressively; however, it is important to consider criteria other than just chronological age, such as recent performance level, quality of life, comorbidities, and patient preference, when determining the aggressiveness of care. Future studies should focus on both short- and long-term outcomes of older patients, such as their ability to achieve previous physiological status and social independence, in addition to their risk of mortality after an event of severe sepsis. Key words: sepsis, elderly.
Pendahuluan Pertumbuhan manusia berkembang menjadi tua ternyata diikuti pula oleh organ di dalam tubuh. Organ dalam tubuh berkembang fungsi dan efisiensinya dibandingkan pada saat muda, sebagai contoh glandula timus yang mengsekresikan hormon-hormon penting pada saat pertumbuhan. Pada lanjut usia glandula timus mengsekresikan thimik hormon yang makin lama makin menurun (Muszkat et al, 2003). Dampak immunosenescence tentang kekebalan bawaan dan yang diperoleh berhubungan dengan depresi imunologi relatif yang dapat mendukung penyebaran peradangan. Pasien lansia juga telah meningkatkan jalur apoptosis yang dapat berkontribusi terhadap kejadian kematian akibat sepsis. Jaringan peradangan-koagulasi diaktifkan oleh usia, menjelaskan keberhasilan beberapa terapi tertentu. Gambaran klinis awal sepsis di
199
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
usia lanjut dapat tidak khas tetapi perubahan patofisiologikal spesifik penuaan meningkatkan risiko kemerosotan mendadak untuk sepsis berat dengan pengembangan disfungsi kardiovaskular. Toleransi karakteristik tegangan berkurang dari jaringan berusia menjelaskan tingginya insiden kegagalan multi-organ dalam pasien tersebut. Gambaran patofisiologi dan klinis spesifik sepsis mendasari kematian meningkat pada pasien tersebut dan mendorong penelitian tentang strategi terapi dengan manfaat khusus untuk pasien usia lanjut dengan sepsis.
Angka kejadian Sepsis berat adalah masalah umum yang terkait dengan kematian yang tinggi dan konsumsi sumber daya kesehatan yang signifikan. Jumlah kasus per tahun, saat ini diperkirakan sebesar 750.000 di Amerika Serikat saja, diperkirakan akan meningkat pada tingkat 1,5% per tahun, dan proporsi yang semakin signifikan pasien ini akan menjadi tua. Usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi karena efek penuaan, penyakit penyerta, penggunaan alat invasif dan masalah yang terkait dengan pelembagaan. Tabel 1. Distribusi Jumlah Pasien Sepsis dan Pengunjung Rawat Inap RSUD DR. Moewardi Pasien Hidup Penderita sepsis
188
Pengunjung Rawat Inap
26,097
Pasien Meninggal Dewasa 384
Anak 25
2,288
28,385
Total 597
Jumlah pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2009 sebanyak 28.385 orang. Jumlah penderita sepsis 597, angka kejadian sepsis di RSUD Dr. Moewardi 2,1%. Jumlah total pasien yang meninggal 2.288 orang atau 8,06% dari jumlah total pasien rawat inap. Jumlah pasien menderita sepsis 597 orang dan yang meninggal karena sepsis sebanyak 409 dengan rincian pasien dewasa 384 orang dan anak 25 orang. Dari kematian total di rumah sakit sebanyak 2.288, angka kematian karena sepsis berjumlah 409 orang (17,87%). Jumlah penderita sepsis sebanyak 597, dan yang meninggal karena syok septik sebanyak 409 (68,5%). Angka kejadian sepsis pasien umur >60 tahun sebanyak 37,8%, dengan pasien laki-laki 52,6% dan dengan underlying diseases terbanyak adalah Pneumonia (24,5%). Kejadian sepsis banyak terjadi pada umur >60 tahun (37,8%), distribusi pasien berdasarkan usia selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki (52,6%) (Tabel 3)20
200
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 2. Pembagian umur pasien sepsis di RSUD Dr. Moewardi n
%
Umur (tahun) <40 tahun 41-59 tahun >60 tahun
117 122 145
30,5 31,7 37,8
Jumlah
100%
384
Tabel 3. Pembagian jenis kelamin pasien sepsis di RSUD Dr. Moewardi n
%
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
202 182
52,6 47,4
Jumlah
384
100%
Immunosenescence Sistem kekebalan tubuh pada lansia berbeda dari pasien dewasa muda. Semua komponen sistem kekebalan tampaknya bagaimanapun berubah pada usia lanjut. Kekebalan bawaan sebelumnya dianggap terawat dengan baik usia lanjut, namun studi terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam komponen ini.28 Pada lanjut usia terjadi penurunan kapabilitas produksi limfosit yang berfungsi sebagai Immune Surveilance. Dengan menurunnya fungsi dan jumlah limfosit tersebut maka terjadi penurunan pula reaksi terhadap antigen baik yang berada dalam tubuh atau yang masuk ke dalam tubuh manusia termasuk kuman-kuman yang masuk ke dalam tubuh yang lebih mudah menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Terhadap infeksi responnya juga berkurang, kenyataannya pada lanjut usia apabila mengalami infeksi bakteri 20% tidak disertai panas tetapi pada saraf sentral sangat sensitif terhadap rangsangan sinyal bakteri. Pada kenyataannya bahwa kurang efektifnya sistem imun memudahkan terjadinya infeksi dan menyebabkan kematian pada lanjut usia, dan juga penderita lanjut usia sering mengalami infeksi yang berat (kritis) bila mengalami infeksi dibandingkan dengan usia dewasa atau usia muda. Atrofi timus yang berhubungan dengan usia menentukan pergeseran dari sel T naif untuk sel memori T yang dapat dikaitkan dengan pergeseran di lingkungan sitokin dan peningkatan karakteristik sitokin sel Th2.16
201
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Table 1. Immunosenescence Innate Immunity
L L L L K L
function of macrophages expression of TLRs function of mitogen-activated protein kinases production of TNF-alpha and IL-6 production of IL-10 bactericidal activity
T-cells
L K L L K
naive cells memory cells CD45Ro+ function of mitogen-activated protein kinases type 1 cytokine response (IL-2, TNF-alpha) type 2 cytokine response (IL-4, IL-10)
B-cells
L number of B-cells and plasma cells K polyspecific immunoglobulins with low affinity produced by B1-cells L response to neoantigens
Manifestasi klinis dan diagnosis Proses septik dicirikan oleh serangkaian tanda-tanda dan gejala yang meliputi: -
Demam atau hipotermia.
-
Leukositosis atau leukopenia.
-
Takikardia.
-
Takipnea.
SIRS, jika tidak diketahui sedini mungkin dan diobati secara kurang agresif, dapat berkembang dengan cepat yang mengarah ke cedera endovaskular, trombosis mikrovaskular, iskemia organ dan kematian.1,33,5,31,37,25 Pasien yang usia lanjut menimbulkan tantangan tertentu dalam diagnosis dan manajemen awal sepsis. Pertama, memperoleh spesimen diagnostik yang memerlukan kerjasama pasien dengan dokter sebab keadaan pasien lemah dengan gangguan kognitif atau pasien tua yang sakit parah. Lebih penting lagi, manifestasi klasik SIRS terkadang tidak jelas, seperti digambarkan dalam kasus klinis di atas. Apabila dokter kurang teliti dalam mengenali variasi ini dapat menunda intervensi penting yang akan mempengaruhi hasil akhir dari pasien tersebut. Manifestasi klinis infeksi pada pasien yang lebih tua mungkin tidak biasa, spesifik atau tidak ada dan dapat termasuk kelemahan, malaise, delirium, kebingungan, kehilangan nafsu makan, jatuh atau inkontinensia.30 Demam, ciri infeksi, juga bisa tidak jelas atau tidak ditemukan pada pasien usia lanjut yang terinfeksi. Meskipun peningkatan suhu tubuh pada orang lanjut usia merupakan indikator adanya infeksi serius, penurunan suhu tubuh (hipotermia) adalah tanda yang lebih sering didapatkan. Kejadian infeksi umum pada usia lanjut sama dengan pasien kelompok usia lainnya, diantaranya, sistem saluran kencing, gastrointestinal, pernapasan, kulit
202
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dan jaringan lunak.37 Organisme yang paling sering ditemukan adalah bakteri Gramnegatif, tetapi telah terjadi peningkatan pesat dalam kejadian infeksi cocci Gram positif.26 Peningkatan prevalensi mungkin karena institusionalisasi pasien menua dan penggunaan awal antibiotik spektrum yang luas, yang dipilih untuk mematikan dan strain yang lebih tahan.
Terapi Goal directed therapy (Terapi cairan) Sebuah studi acak baru-baru ini menunjukkan penurunan kematian yang signifikan jika resusitasi awal dimulai segera setelah sepsis berat terdiagnosis, dengan target tekanan vena sentral antara 8-12 mmHg, mean arterial pressure >65 and <90 mmHg, produksi output urin >0.5mL/kg/h dan Central venous oxygen saturation (ScvO2) >70%.32,18 Sasaran ini dicapai dengan terapi cairan, agresif dan hemotransfusi. Sasaran ini mungkin harus tetap sama pada pasien lanjut usia dan ada beberapa pertimbangan tentang cara-cara untuk mencapai target ini. Output jantung meningkat diperlukan selama sepsis dapat diperoleh pada pasien lansia terutama dengan meningkatkan output sistolik, karena denyut jantung meningkat kurang dari pada yang muda; takikardia mungkin tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan pada output jantung karena disfungsi diastolik berkaitan dengan penuaan.29 Mekanisme utama yang tersedia pada pasien lansia untuk meningkatkan output sistolik efek Starling yang dihasilkan oleh peningkatan preload ventrikel kiri.29 Oleh karena itu penting untuk menjaga pengisian jantung yang memadai ketika pasien lansia perlu meningkatkan cardiac output-nya, selama sepsis. Meskipun kelebihan pemberian cairan harus dihindari, tetapi kekurangan cairan juga harus dihindari, oleh karena itu jumlah cairan bebas intravena harus dilakukan pemantauan tekanan vena sentral selama resusitasi awal untuk mempertahankan perfusi organ dan mengingat bahwa pasien yang lebih tua sering mengalami dehidrasi. Target level hemoglobin apabila belum terdapat hipoperfusi jaringan, pendarahan aktif dan penyakit arteri koroner harus 7-9 g/dL sesuai dengan konsensus yang dipublikasikan pada tahun 1999.22 Jika hipoperfusi sedang berlangsung target hemoglobin akan menjadi sekitar 10 g/dL.32 Pada keadaan infark miokard kadar hemoglobin sebaiknya 10-11g/dL dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi.38 Usia lanjut memiliki prevalensi tinggi penyakit arteri koroner yang sering tidak diketahui, pertimbangan ini harus bertujuan pada target hemoglobin yang tepat.
Antibiotic therapy Pada pasien lanjut usia seringkali sulit untuk mengidentifikasi sumber infeksi karena kurangnya gejala terkait dengan beberapa jenis infeksi seperti yang melibatkan saluran kemih. Terapi antibiotik empiris pada sepsis harus dimulai dalam waktu satu jam setelah sampling kultur. Karena terapi awal antibiotik yang tidak memadai dikaitkan
203
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dengan hasil yang buruk di segala usia, terapi awal antibiotik harus memiliki spektrum yang luas terhadap semua kemungkinan patogen.21 Tingginya angka kejadian sepsis karena mikroorganisme multiresisten pada pasien usia harus menuntun pilihan terapi empiris awal terhadap terapi kombinasi dengan menggunakan antibiotik yang aktif melawan mikroorganisme tersebut. Seringkali sepsis disebabkan oleh mikroorganisme multiresisten pada pasien lanjut usia.15 Mereka merupakan flora mikroba pada pasien lanjut usia setelah mendapat paparan antibiotik berulang karena kondisi komorbid, keadaan immunocompromised, tinggal di rumah jompo, masuk rumah sakit berulang dan penggunaan perangkat invasif. Apabila sudah terdapat hasil kultur dan sensitivitas dilakukan deeskalasi dan disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitas (antibiotika yang rasional). Komunitas medis membutuhkan pemahaman peningkatan penyerapan obat, metabolisme hati dan variasi respon obat pada usia lanjut. Hal ini jelas bahwa obat diekskresikan dari tubuh, khususnya melalui ginjal, berubah pada usia lanjut [Rajagopalan], yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal, yang didominasi usia mendasari penurunan klirens obat. Table 1. Antibiotics associated with increased side effects in older patients Antibiotic
Side effect
Aminoglycosides
Renal dysfunction Auditory nerve dysfunction
β-lactams
Seizures Skin rash
Macrolides
Nausea Abdominal cramps
Quinolones
Seizures Hallucinations
Vancomycin
Renal dysfunction
Karena ginjal sebagian besar bertanggung jawab atas ekskresi beberapa antibiotik, penyesuaian dosis dan pemantauan kadar obat dalam serum mungkin diperlukan untuk obat-obatan tertentu pada pasien usia lanjut. Pengujian tingkat kreatinin darah hanya bisa meremehkan atau melebih-lebihkan fungsi ginjal pasien dan kreatinin clearance karena itu akan menjadi penilaian fungsional yang lebih baik kapasitas ginjal mereka. Antibiotik tertentu yang berhubungan dengan peningkatan efek samping pada pasien usia lanjut (Tabel 1).30 Interaksi obat juga meningkat pada usia lanjut, namun hal ini merupakan konsekuensi dari sejumlah besar obat yang digunakan, bukan usia.
Nutrisi Salah satu perubahan fisiologis penuaan salah satunya adalah penurunan tajam dalam hal penciuman pada usia 70 tahun, kemampuan untuk merasakan asam, pahit,
204
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
asin dan manis juga mengalami penurunan,23 yang berpengaruh pada penurunan kenikmatan saat makan, sehingga memperparah anoreksia penuaan. Nutrisi pada prinsipnya diberikan untuk meningkatkan kondisi tubuh dan respon imun secara umum. Terdiri dari glutamine, nukleutida lemak, omega-3 dapat diberikan melalui enteral dan parenteral ditambah dengan mikronutrien yang terdiri dari vitamin terutama yang mempunyai peran ganda juga sebagai antioksidan.
Activated protein C Sebuah uji coba secara acak yang diterbitkan pada tahun 2001 menunjukkan penurunan yang signifikan pada mortalitas ketika activated protein C digunakan dalam pengobatan sepsis berat dan syok septik. Manfaat tersebut melibatkan pasien usia lanjut sebagai akibat dari sepsis berat terkait kelainan koagulasi. Pedoman internasional menyarankan mengobati pasien sepsis berisiko tinggi untuk kematian (APACHE skor >25), dengan syok septik, disfungsi minimal dua organ dan sepsisinduced ARDS dengan activated protein C.11 Farmakodinamika activated protein C termasuk efek antikoagulan, profibrinolytic, anti-inflamasi dan anti-apoptosis. Mekanisme ini mungkin sangat bermanfaat mengingat patofisiologi sepsis pada usia lanjut yang berhubungan dengan perubahan dari koagulan dan apoptosis sistem fibrinolitik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Glucose control Pedoman internasional merekomendasikan untuk menjaga kadar glukosa darah <150 mg/dL dengan infus intravena kontinu insulin dan glukosa.11 Pada konsensus sebelumnya menunjukkan penurunan yang signifikan dalam mortalitas saat kadar glukosa darah terjaga antara 80 dan 110 mg/dL pada periode pasca operasi.36 Kadar glukosa tinggi dapat merusak respon kekebalan dan meningkatkan koagulopati terkait sepsis. Surviving sepsis campaign mengusulkan target kadar gula darah yang lebih tinggi untuk menghindari risiko hipoglikemia.11 Risiko tersebut terutama sering terjadi pada pasien sepsis lansia menggunakan infus insulin, sehingga target 150 mg/dL tampaknya lebih aman pada pasien tersebut.
Kortikosteroid Steroid, ibuprofen dan obat-obatan lainnya juga telah digunakan dalam upaya untuk menghentikan respon inflamasi, dengan kurangnya keseluruhan bermakna positif hasil-klinis.7,5 Kelainan dalam produksi kortisol adrenal memprediksi angka kematian sangat tinggi pada sepsis,2 dan sebuah dokumen penelitian terbaru bahwa dosis rendah steroid mungkin manfaat dalam beberapa kasus sepsis refrakter.3
Sedatives and analgesics Pasien usia lanjut biasanya mengalami kecemasan, rasa sakit dan delirium selama sepsis, membutuhkan obat penenang dan obat-obatan analgesik. Namun, penggunaan
205
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
yang tidak tepat obat-obatan ini dapat menunda penyapihan dari ventilasi mekanis.24,13 Sedatif dan analgesik harus diberikan di bawah pengawasan skala sedasi, menggunakan regimen intermiten bolus atau interupsi harian sedasi infus kontinu.11 Benzodiazepin dapat menghasilkan reaksi paradoks pada pasien usia lanjut dengan kecemasan dan agitasi psikomotor. Obat neuroleptik ditunjukkan dalam kasus delirium pada pasien sepsis usia.
Sepsis dan SOD (Superoxide Dismutase) Sepsis dan sindrom multiple disfungsi organ (MODS) adalah masalah umum yang sering menyebabkan morbiditas dan kematian meski kemajuan dalam terapi perawatan kritis dan regimen antibiotik ditingkatkan. Antibiotik memiliki peran utama dalam terapi tetapi sering tidak memadai saat digunakan sendiri pada pasien sepsis. Meskipun etiologi MODS adalah multifaktorial, sebuah denominator umum yang diusulkan dari sindrom sepsis dan kegagalan organ pelepasan sitokin yang berlebihan, terutama oleh makrofag.4 Sejumlah terapi imunomodulator ditujukan untuk mengurangi respon inflamasi dysregulated telah diperiksa pada pasien dengan sepsis berat.8,35 Kegagalan terapi ini untuk meningkatkan hasil pada sepsis membuat banyak peneliti menyelidiki terapi model tambahan. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa sepsis berhubungan dengan beberapa generasi spesies radikal bebas yang disempurnakan (nitrit oksida [NO], superoksida, hidrogen peroksida) pada otot rangka. Hal ini juga diketahui bahwa generasi radikal bebas yang ditingkatkan ini menghasilkan dalam penurunan kapasitas kekuatan otot rangka, tetapi mekanisme yang tepat di mana efek radikal bebas pada sepsis belum ditentukan. Kami mengemukakan bahwa radikal bebas dapat bereaksi langsung dengan protein kontraktil dalam kondisi ini, mengubah kapasitas protein kontraktil pembangkit kekuatan. Untuk menguji teori ini, kita membandingkan generasi kekuatan tunggal serat diafragma berkulit Triton (Triton menguliti memperlihatkan aparat kontraktil, yang memungkinkan penilaian langsung fungsi protein kontraktil) dari tikus kelompok berikut: (1) hewan kontrol; (2) hewan yang diberikan endotoksin; (3) hewan diberikan endotoksin ditambah polyethylene glycol-superoxide dismutase (PEG-SOD), sebuah superoxide scavenger; (4) hewan yang diberikan endotoksin ditambah N v-nitro-L-arginine methylester (L-NAME), sebuah NO inhibitor sintase; (5) hewan hanya diberikan PEGSOD atau L-NAME, dan (6) hewan diberikan endotoksin ditambah didenaturasi PEG-SOD. Dalam kasus seperti itu, bagaimanapun, orang akan mengharapkan bahwa SOD atau L-NAME masing-masing hanya akan berhasil sebagian dalam mencegah perubahan kontraktil. Sebaliknya, kami menemukan bahwa SOD mencegah 83% dan L-NAME mencegah 88% dari sepsis yang disebabkan penurunan fungsi protein kontraktil, yang menandakan satu interaksi, interaktif sinergis antara sistem superoksida dan NO-menghasilkan dorongan disfungsi kontraktil pada diafragma. Kemungkinan terakhir adalah bahwa temuan diamati dalam penelitian ini tidak mewakili
206
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
efek langsung dari radikal bebas pada sistem protein kontraktil. Misalnya, perubahan radikal bebas yang dimediasi dalam fungsi mitokondria bisa mengubah lingkungan intraselular, secara tidak langsung mempengaruhi fungsi protein kontraktil. Disfungsi mitokondria, bagaimanapun, akan terutama diharapkan mempengaruhi protein kontraktil dengan mengubah hidrogen dan konsentrasi fosfat anorganik dalam sitosol.
Pada penelitian dengan judul Plasma Superoxide Dismutase Activity and Mortality in Patients with Septic tahun 2010 dengan latar belakang tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah plasma superoksida dismutase (SOD) aktivitas, dibandingkan dengan parameter oksidatif lain, terkait dengan kematian pada manusia dengan septic mempunyai hasil SOD secara signifikan berkorelasi dengan Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE II) dan Skor Disfungsi Aktifitas Organ Multipel. Selain itu, aktivitas SOD disajikan kawasan serupa di bawah kurva karakteristik operator penerima bila dibandingkan dengan Fisiologi akut dan kronis Evaluasi Kesehatan II untuk memprediksi kematian. Sebuah penurunan 25% atau lebih pada aktivitas SOD antara D1 dan D2 dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.19
Prognosis sepsis berat pada pasien yang lebih tua Sepsis berat adalah entitas yang sama dengan prognosis buruk pada semua kelompok umur. Faktor-faktor yang telah digunakan untuk memprediksi hasil pada pasien kritis termasuk:9,34 Status imun atau status genetik.
207
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
-
Gender. Usia. Infeksi nosokomial. Komorbiditas. Penyakit parah.
Walaupun studi populasi telah menunjukkan bahwa usia lanjut memiliki angka kematian yang tinggi berhubungan dengan sepsis berat, penting untuk klinisi memisahkan prognosis umum dari populasi pasien yang lebih tua secara individu. Usia kronologis saja tidak boleh digunakan baik untuk memprediksi hasilnya atau menentukan pilihan pengobatan bagi pasien. Walaupun usia merupakan faktor penting yang digunakan untuk memprediksi lama tinggal di ICU, angka kematian meningkat diamati pada pasien dengan sepsis berat lebih tua dianggap karena komorbiditas meningkat di antara kelompok ini:14 Neoplasma yang menyebar (43,4%). Penyakit hati kronik (37,1%). Neoplasma yang tidak menyebar (36,9%). Penyakit ginjal kronik (36,7%). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) (32,1%).
Ringkasan dan kesimpulan Pasien usia lanjut cenderung memiliki komorbiditas, masalah yang terkait dengan institusi atau memiliki perangkat invasif, membuat mereka rentan terhadap infeksi. Pasien yang lebih tua juga menunjukkan dilema diagnostik, mereka menunjukkan banyak gejala tidak khusus sepsis yang membuat diagnosis dini dan manajemen yang sulit. Terapi antibiotik, perawatan dukungan yang memadai dan penggunaan intervensi baru seharusnya berperan penting dalam kelangsungan hidup pasien tersebut. Dengan meningkatnya populasi lansia di tahun-tahun mendatang, memahami tingkat masalah, sosial dan ekonomi, akan membantu kita untuk mentargetkan intervensi terapi dengan cara yang lebih efisien dan efektif.
Daftar pustaka 1.
Angus D, Wax RS. Epidemiology of sepsis: An update. Crit Care Med 2001;29 (suppl. 7):109-16.
2.
Annane D, Sebille V, Troche G et al. A 3-level prognostic classification in septic shock based on cortisol levels and cortisol response to corticotropin. JAMA 2000;283:103845.
3.
Annane D. Effects of the combination of hydrocortisone (HC)-fludro-cortisone (FC) on mortality in septic shock. Crit Care Med 2000;28 (Suppl.):A63.
208
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
4.
Barker, J, 2006. Immunology, Nutrition, and the Athlete, Part II
5.
Bernard G, Vincent JL, Laterre PF et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001;344:699-709.
6.
Bernard GR, Wheeler AP, Russell JA et al. The effects of ibuprofen on the physiology and survival of patients with sepsis. The Ibuprofen in Sepsis Study Group. N Engl J Med 1997;336:912-8.
7.
Bone RC, Fisher CJ Jr, Clemmer TP et al. A controlled clinical trial of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 1987;317:653-8.
8.
C. Leeuwenburgh, J. W. Heinecke, 2001. Oxidative Stress and Antioxidants in Exercise. Center for Exercise Science, Aging Biochemistry Laboratory, College of Health and Human Performance, University of Florida, Gainesville, FL 32611, USA
9.
Chernow B. Variables affecting outcomes in critically ill patients. Chest 1999;115 (Suppl. 5): S71-6.
10. De Gaudio A.R.,et al. 2009. Pathophysiology of Sepsis in the Elderly: Clinical Impact and Therapeutic Considerations . Current Drug Targets, 2009, 10, 60-70 11. Dellinger, R.P.; Carlet, J.M..; Masur, H.; Gerlach, H.; Calandra, T.; Cohen, J.; GeaBanacloche, J.; Keh, D.; Marshall, J.C.; Parker, M.M.; Ramsay, G.; Zimmerman, J.L.; Vincent, J.L.; Levy, M.M.; (2004) Crit. Care Med., 32, 858-873. 12. Destarac A.L.,Ely E.W. 2002. Sepsis in Older Patients: An Emerging Concern in Critical Care. Advances in Sepsis Vol 2 No 1 2002. 13. Ely, E.W.; Truman, B.; Shintani, A.; Thomason, J.W.; Wheeler, A.P.; Gordon, S.; Francis, J.; Speroff, T.; Gautam, S.; Margolin, R.; Sessler, C.N.; Dittus, R.S.; Bernard, G.R. (2003) JAMA, 289, 2983- 2991. 14. Freeborne N, Lynn J, Desbiens NA. Insights about dying from the SUPPORT project. The Study to Understand Prognoses and Preferences for Outcomes and Risks of Treatments. J Am Geriatr Soc 2000;48(Suppl. 5):S199-205. 15. Girard, T.D.; Opal, S.M.; Ely, E.W. (2005) Clin. Infect Dis., 40,719-727. 16. Guntur A.H. 2008. Clinical Immunology In Aging. Simposium Geriatri Semarang. 17. Guntur A.H. 2009. Peranan Imunonutrisi Pada Critical Illness. Jakarta Antimicrobial Update. 2009 18. Guntur A.H. 2009. Recent management in sepsis and septic shock. Solo Sepsis Simposium. 2009 19. Guntur A.H. 2010. SOD In Chronic And Critical Illness. Solo, Simposium Sepsis, 2010 20. Guntur A.H. 2011. Pattern Sepsis In Microbacterial Resistance. Simposium Sepsis 2011 21. Harbarth, S.; Garbino, J.; Pugin, J.; Romand, J.A.; Lew, D.; Pitter, D. (2003) Am. J. Med., 115, 529-535.
209
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
22. Hebert, P.C.; Wells, G.; Blajchman, M.A.; Marshall, J.; Martin, C.; Pagliarello, G.; Tweeddale, M.; Schweitzer, I.; Yetisir, E. (1999) N. Engl. J. Med., 340, 409-417. 23. Jensen GL, McGee M, Binkley J. Nutrition in the elderly. Gastroenterol Clin North Am 2001;30:313-34. 24. Kress, J.P.; Pohlman, A. S.; O'Connor, M.F.; Hall, J.B. (2003) N. Engl. J. Med., 342, 1471-1477. 25. Linde-Zwirble WT, Angus DC, Carcillo J et al. Age-specific incidence and outcome of sepsis in the US. Crit Care Med 1999;27:A33. 26. Martin GS, Mannino DM, Moss M. Epidemiology shifts in sepsis in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002;(In press). 27. Muszkat, et.al. 2003. Local and systemic immune response in nursing-home elderly following intranasal or intramuscular immunization with inactivated influenza vaccine. Vaccine 21: 1180-1186. 28. Opal, S.O.; Girard, D.T.; Ely, E.W. 2005. Clin. Inf. Dis., 41, S504-S512. 29. Port, S.; Cobb, F.R.; Coleman, R.E.; Jones, R.H. (1980) N. Engl. J. Med., 303, 1133. 30. Rajagopalan S, Yoshikawa TT. Antimicrobial therapy in the elderly. Med Clin North Am 2001;85:133-47,vii. 31. Rangel-Frausto MS, Pittet D, Costigan M et al. The natural history of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). A prospective study. JAMA 1995;273:117-23. 32. Rivers, E.; Nguyen, B.; Havstad, S.; Ressler, J.; Muzzin, A.; Knoblich, B.; Peterson, E.; Tomlanovich, M. (2001) N. Engl. J. Med., 344, 699-709. 33. Sands KE, Bates DW, Lanken PN et al. Epidemiology of sepsis syndrome in 8 academic medical centers. Academic Medical Center Consortium Sepsis Project Working Group. JAMA 1997;278:234-40. 34. Stump TE, Callahan CM, Hendrie HC. Cognitive impairment and mortality in older primary care patients. J Am Geriatr Soc 2001;49:934-40. 35. U. Sharmila. et al. 2004.Oxidant-Antioxidant Status In Colorectal Cancer PatientsBefore And After Treatment. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 2004, 19 (2) 80-83 36. van den Berghe, G.; Wouters, P.; Weekers, F.; Verwaest, C.; Bruyninckx, F.; Schetz, M.; Vlasselaers, D.; Ferdinande, P.; Lauwers, P.; Bouillon, R. (2001) N. Engl. J. Med., 345, 1359-1367. 37. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. New Engl J Med 1999;340:207-14. 38. Wu, W.C.; Rathore, S.S.; Wang, Y.; Radford, M. J.; Krumholz, H. M. (2001) N. Engl. J. Med., 345, 1230-1236.
210
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Peranan Antioksidan pada Terapi Sepsis Lanjut Usia Rejeki Andayani Rahayu
Pendahuluan Oksigen sangat dibutuhkan untuk memproduksi energi mitokodria suatu rantai transport electron, menggunakan oksigen untuk mengoksidasi molekul-molekul lain dan menciptakan energi dari adenosine triphosphat. Dalam proses ini oksigen di reduksi menjadi air dan ROS (Reaktive Oxygen Spesies). Produksi ROS yang berlebihan merupakan penyebab reaksi toksik pada pasien-pasien kritis dan bertanggung jawab terhadap terjadinya proses menua.1,2 Superoxide Dismutase (SOD) adalah pengangkut radikal-radikal bebas (Free Radical Scavenger) yang sering disebut sebagai antioksidan (ditemukan tahun 1969 oleh McCord Fridovich). Ketidakseimbangan dalam produksi ROS dan produksi anti oksidan menimbulkan stres oksidatif.2,3,4 (Istilah-istilah yang dapat dilihat pada tabel I). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa stres oksidatif muncul pada penyakit -penyakit kritis khususnya pada sepsis, syok, disfungsi organ, ARDS dan DIC.1,2,5,6 Pada pasien ARDS tingginya kadar plasma nutrien yang mengandung anti oksidan merupakan bukti terjadinya stres oksidatif.4,5,5,7 Pankreatitis akut dan kelemahan otot diafragma juga merupakan keadaan-keadaan yang diakibatkan perusakan sel oleh ROS.8,9,10 Beberapa penyakit kritis yang berhubungan dengan perusakan oleh ROS dapat dilihat di tabel 2.
Tabel I ISTILAH Radikal Bebas
Reaktif oxygen Spesies ( ROS)
Oksidasi Reduksi Reduksi –oksidasi (redox)
Stres Oksidatif
DEFINISI Suatu substansi satu atau lebih elektron-elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya sehingga sangat mudah terjadi reaksi dengan substansi-substansi lain dan bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi kimiawi di dalam badan yang menyebabkan kerusakan-kerusakan sel. Substansi / molekul-molekul atau atom atom yang terbentuk dari reduksi oksigen. Dapat berbentuk radikal bebas atau non radikal, sebagaian besar sekarang dikenal sebagai super okside(O2), Hidrogen peroxide (H2O2) dan Hydroxyl radikal (OH-). Kehilangan elektron-elektron pada reaksi-reaksi kimia. Peningkatan elektron-elektron pada reaksi-reaksi kimia. Istilah yang dipakai untuk mengatakan keadaan keseimbangan dari reduksi dan oksidasi yang mengakibatkan kehilangan dan peningkatan elektron-elektron selama reaksi-reaksi kimia
211
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Stres Oksidatif
Antioksidan
Suatu kondisi di mana terjadi akumulasi radikal-radikal bebas atau ketidakmampuan antioksidan-antioksidan melawan akumulasi radikal-radikal bebas yang mengakibatkan ketidakseimbangan diantara produksi spesies oksigen reaktif dan perlindungan antioksidan-antioksidan. Substansi aktif yang dapat menurunkan akumulasi radikal-radikal bebas dengan menghilangkan mereka atau melawan efek perusakan mereka terhadap sel.
(Dikutip dari 1) Tabel 2 : Sindrom-sindrom dan penyakit-penyakit di ICU yang berhubungan dengan Perusakan oleh ROS
‘
Septic Shock Acute Respiratory Distrress Syndrome (ARDS). Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC). Multiple Organ Disfunction (MOF). Luka bakar Penyakit kardiovaskular Diabetes Melitus Trauma Reperfusion Injury Kanker
212
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Karena stres okidatif dihubungkan dengan beratnya penyakit, maka penatalaksanaan pasien-pasien penyakit kritis tergantung pada mencegah dan mengontrol produksi ROS.10,11,12 Perawat-perawat pasien kritis harus mengenal proses stres oksidatif, karena tindakan-tindakan keperawatan rutin bias menjadi pemicu terbentuknya ROS. Tindakan-tindakan tersebut antara lain pemasangan infus, suction dan perlukaan saat memandikan pasien atau mengubah posisi pasien.1,10
Formasi ROS Dalam proses kimiawi, molekul bisa mengalami reduksi atau oksidasi. Molekul dengan elektron bebas dapat berpasangan dengan molekul yang menjadi donasi elektron. Molekul yang menjadi donasi elektron mengalami oksidasi, sedang molekul yang menerima elektron mengalami reduksi. Proses reduksi dan oksidasi dapat menimbulkan banyak molekul yang tidak stabil dan bebas untuk berpasangan dengan molekul lain yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan pada membran sel, protein dan DNA. Molekul inilah yang disebut radikal bebas.1,12,13,14,15 Pada keadaan homeostasis, proses reduksi dan oksidasi ini seimbang. Keseimbangan reduksi-oksidasi (redox) dipertahankan oleh pertahanan fisiolosis seperti enzim-enzim spesialis dan antioksidan. Enzim-enzim dan antioksidan ini akan menghilangkan atau menonaktifkan radikal bebas.1,214,15 Beberapa enzim dan antioksidan dapat dilihat di tabel 3. Kemampuan enzim dan antioksidan dapat menurun pada peningkatan pembentukan radikal bebas atau penurunan daya tahan karena akumulasi radikal bebas.12,13,14,15,16 ROS adalah molekul-molekul atau atom-atom yang terbentuk oleh reduksi oksigen dan dapat berbentuk radikal bebas dan non radikal. Dalam sel radikal bebas dapat terbentuk oleh energi radiasi, metabolisme obat-obatan, metabolisme normal dan transmisi logam seperti cuprum (Cu++) dan ferum (Fe+).17,18,19 ROS yang paling sering adalah superoxide (O2 ), hydrogen peroxide (H2O2) dan hydroxil radical (OH+). Tabel 3: Sistem Pertahanan Oksidan Enzym dan Non Enzym. Sistem Enzym
Non Enzym
Komponen Superoxide Dismutases (SOD). Catalase (CAT). Peroksidases. Sistem Glutathion. Sistem Thioredoxin Reductase. Sistem Lipoamide. Thiol. Vit C. Urat. Vit E. Vit A dan Carotense Ubiquinones dan Ubiquinol.
213
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Superoxide (O2 ) berfungsi sebagai agen reduksi dan membentuk oksidanoksidan lain à membuat berbagai ROS lain seperti H2O2 dan OH+ sampai seluruh oksigen tereduksi. Beberapa molekul dalam badan seperti adrenalin, steroid dan folate dapat beraksi dengan oksigen dan membentuk O2 .1,19,20 Proses fotosintesis juga pembuat O2 yang besar, karena fotosintesis memakai O2 untuk melawan organism asing.1,19,20 Mekanisme pertahanan ini dapat merusak organ-organ dalam tubuh sendiri. Beberapa penyakit inflamasi karateristik ditandai dengan kerusakan organ yang disebabkan oleh ROS.21,22 Hydrogenferokxide (H2O2) dibentuk sebagian besar oleh mitokondria, merupakan ROS yang stabil. H2O2 dapat menonaktifkan enzim-enzim, menembus membran sel dan beraksi dengan logam-logam berat sepert Cu dan Fe untuk menembus OH+.19,20 OH+ merupakan radikal hydroxyl yang sangat merusak dan sangat reaktif dengan substansi lain. Kerusakan DNA terbesar disebabkan oleh OH+ ini sering berkontrubusi terjadinya kanker dan penyakit-penyakit lain.20,23,24,25,26 Ischemia reperfusion injury juga dihubungkan dengan terbentuknya ROS.27,28,29 Sel endothel merespon iskemik dan memproduksi xanthine oxidase. Xanthine oxidase bertanggungjawab terhadap terbentuknya O2 selama reperfusi, Endotoxin, Sitokin, Neutrophil adherence dan asidosis dapat memicu produksi Xanthine oxidase oleh endothel.28,29,30
ROS dan Kerusakan Radikal-radikal Hydroxyl dapat memulai reaksi peroksidasi lipid di membran sel. OH+ dapat mengambil hydrogen dari asam lemak unsaturated Æ menjadi radikal lipid yang mengambil hidrogen dari molekul lain Æ terjadi lipid peroxidasi Æ kematian sel dan menginduksi terjadinya proses inflamasi yang memunculkan neutrophil-neutrophil fagositose Æ menimbulkan O2+ lebih banyak Æterjadi siklus kerusakan yang semakin berat.30 Protein dan enzim-enzim badan seperti lysine, arginin, serin dan prolin sering dirusak oleh ROS. Enzim dan protein yang dirusak oleh ROS tersebut menjadi berubah inaktif, akibatnya sistem imun badan tidak mengenali mereka dan menyerang mereka, terjadilah penyakit-penyakit autoimun.31,32,33,35 Stres oksidatif juga merusak DNA dengan cara memutuskan rantai modifikasi basis dan membuat “Cross Linking”. Radikal hydroxyl dapat menyerang thymine, merubah struktur kimianya, memindahkan dari basisnya. Modifikasi thymin dan perubahan DNA tersebut dapat dideteksi melalui pemeriksaan urin dan ini merupakan indikasi adanya aktifitas oksidasi (stres oksidatif).31 Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh ROS dapat dilihat pada tabel 4.
214
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 4 Kerusakan yang disebabkan oleh ROS Kondisi General. Kerusakan DNA
Lipid Feroksidasi
Kerusakan Protein
Redox Signaling
Kerusakan Spesifik. Modifikasi basis putusnya “Stranol” dan “Cross Linking” radikal hydrosol dapat menyerang thymine, salah satu basis DNA. Thymine berubah menjadi thymine glycol dan pergi dari DNA. DNA mengalami mutase dan dapat menyebabkan sel berubah menjadi kanker. Suatu rantai reaksi dimana OH+ mulai mengambil hydrogen dari molekul lipid pada membran sel membuat radikal bebas lipid, kemudian bereaksi dengan radikal O2- membentuk peroxyradikal. Peroksiradikal memicu terjadinya rantai lipid peroksidasi yang menghasilkan banyak sekali peroksi radikal. ROS mengubah enzim dengan mengoksidasi asam amino seperti lysine, serine, arginine dan prolen yang membentuk bangunan enzim. Enzim yang termodiifikasi menjadi inaktif dan mengakibatkan proses seluler. Enzim inaktif mungkin juga menginduksi munculnya auto antibodi. Selama pinbalans redox, peningkatan seluler dalam ROS dapat menyebabkan perubahan proses signaling Æ perubahan pada aktifitas sel seperti proliferasi sel, apoptosis, regulasi gen dan nekrosis.
Pertahanan enzim dan non enzim melawan ROS Proses oksidasi akan diimbangi oleh aktifitas enzim dan non enzim yang disebut antioksidan sestem pertahanan ini sangat penting untuk dapat mengeliminasi ROS dan mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat stress oksidatif.37 Normalnya, produksi ROS selalu di imbangi oleh produksi antioksidan. Tetapi saat kondisi badan tidak baik / dalam stress,akan memproduksi ROS sangat banyak dan justru produksi anti oksidan menurun, sehingga menyebabkan kerusakan sel dan bahkan kematian.38,39,40 Proses patologi ini terjadi pada penyakit dan keadaankeadaan kritis. Antioksidan melawan ROS seperti pada tabel 3, diproduksi atau diberi dari luar tubuh manusia akan membuat keseimbangan dalam badan dengan mengeliminasi ROS dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh ROS.15,20,42,43,44 Antioksidan utama yang dibuat oleh tubuh adalah SOD, Catalase dan system glutathione. SOD membuat O2 Æ H2O2. H2O2 akan direduksi oleh catalase dan glutathin proksidase Æ air dan O2 didalam membran sel.19,20 Catalase mempunyai peran penting untuk menghilangkan H2O2 dari membran sel otot miokardium.28,30 Glutathine peroksidase adalah enzim antioksidan yang berisi selenium dan Glutathin.25 Keduanya ditemukan di Sitoplasma dan Mitokondria. Glutathin terbentuk dari Glutamine, cystem dan Glysine. N-acetylcysteine suatu zat kimia yang mirip glutathione dan telah diteliti menjadi antioksidan. Destruksi H2O2 oleh glutathione
215
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
peroksidase menghasilkan glutathione disulfide dan air. Dengan reaksi lain glutathione disulfide akan kembali dubah menjadi glutathione, system ini akan meregenerasi glutathione untuk seterusnya.6,7,8,9 Stres oksidatf dapat merusak generasi tersebut dan membentuk akumulasi H2O2 yang sangat toksik Kadar selenium juga dipakai untuk mendeteksi adanya stres oksidatf. Vitamin-vitamin juga merupakan antioksidan Vit C (1000mg/hari) menurunkan proses lipid peroksidasi dan menurunkan kadar H2O2, Jadi Vit C merupakan antioksidan yang sangat efektif.16 Vit E (Litocopherol) merupakan antioksidan terlarut lemak yang sangat penting untuk mencegah lipid peroksida. Vit E dapat melindungi poliunsaturated asam lemak dalam membran sel sehingga tidak dapat di autocatalisa oleh reaksi lipid peroksidase. Di luar membran sel, vit E merupakan anti oksidan yang jelek.28 Diluar sel, plasma dan sel darah merah memiliki antioksidan yang berkualitas. Saat O2 masuk dalam sel lekosit maka katalase akan menghancurkan radikal bebas. Sel Eritrosit dapat meningkatkan produksi glutatim peroksidase, jadi dapat mencegah kerusakan sel oleh ROS. Maka perbaikan Hb pada pasien-pasien krits sangat membantu penyembuhan.44
Stres Oksidatif Pada Pasien-Pasien Kritis. Penelitian-penelitian evidance based berhasil menunjukkan keterlibatan stres oksidatif pada kasus-kasus sindrom ICU. Penyakit-penyakit ini termasuk syok kardiogenik, sepsis, ARDS kelemahan diafragma dan luka bakar. Stres oksidatif menghasilkan lipid peroksidase, oksidasi protein dan mutasi mitokondria DNA, yang memproduksi kematian sel dan berkontribusi terhadap proses penyakit.1,2,54 Pasien-pasien kritis mungkin mengalami peningkatan pembentukan ROS dan penurunan antioksidan. Beberapa indilator biologis dari stres oksidatif mulai di teliti oleh para klinisi dan dapat dijadikan petanda adanya kerusakkan sel akibat ROS. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat di tabel 5. Pada pasien-pasien kritis terjadi peningkatan kadar ROS dan atau penurunan kemampuan pertahanan antioksidan. Dengan menggunakan indikator-indikator biologis pada tabel 5, dapat dipantau terjadinya stress oksidatif dengan memantau peningkatan ROS, kadar antioksidan (alpha tocoferol, bethacaroten, selenium) dan aktifitas enzim (SOD, Catalase, Glutathion). Masih terus diperlukan penelitian-penelitian klinis untuk menentukan mana indikator-indikator yang paling spesifik dan sensitif untuk mengetahui terjadinya stres oksidatif. Sistem antioksidan badan berubah menjadi bekerja berlebihan pada pasien-pasien dengan penyakit kritis. Kadar oksidan secara drastis meningkat dengan penurunan perfusi jaringan dan menginduksi respon umum. ROS dapat menstimulasi terjadinya inflamasi dengan cara meningkatkan kadar sitokin (Interleukin, TNF) dan adhesi sel. Sel endotel di stimulasi untuk meningkatkan
216
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 5: Indikator biologis untuk stres oksidatif. Yang Diperiksa Serum
Urine
Hembusan Nafas
Substansi Glutathion tereduksi dan total. Glutathion peroksidase. Superoksidase dismutase Lipid Peroksidase Protein Carbonycs Malon Dialdehyde. Catalase. Tocopherol Carotene Selenium Ascorbate F2-isoprostanes37 Thiobarbituric acid–reacting substances30 8-Oxo-7,8-dihydro-2-deoxyguanosine38 Hydrogen peroxide7 Alkane output: methylated alkane contour 39, pentane 33, and ethane 33 8-Isoprostane20 Thiobarbituric acid–reacting substances7
permeabilitas yang akhirnya mengakibatkan ‘Capillary Leakage’. Neutrophil dan makrofag keduanya memicu terjadinya lipid peroksidasiÆ hasil fagositosis lalu migran kejaringan dan melepaskan ROS lebihh banyak lagi. Pada Sepsis/ SIRS. ROS dapat masuk dalam sirkulasi darah dan menyebabkan respon inflamasi dari banyak organ. Secara klinis dapat dilihat dengan terjadinya berbagai kerusakan organ. Dalam penelitian-penelitian pada pasien sepsis dan ARDS ternyata kadar antioksidan sangat menurun dan kadar ROS meningkat tinggi. Peranan ROS dan aktifitas oksidasi xanthin dengan berat ringannya sepsis dan disfungsi organ telah diteliti.1,44 Galey et al mendapatkan, pada pasien yang meninggal karena sepsis memiliki kadari aktifitas oksidasi xanthin lebh rendah dan peningkatan hebat kadar radikal bebas dan laktat di banding pada pasien sepsis yang hidup.44 Penemuan ini menujukkan bahwa generasi ROS memegang peranan kunci pada tingkat kematian sepsis. Metnitz et al menemukan kejadian stress oksidatif meningkat dan kadar nutrien yang mengandung antioksidan menurun pada pasien ARDS.17 Lipid peroksidase meningkat secara continue pada pasien ARDS. Pada penelitian lain penambahan makanan formula baru (Oxepa) yang mengandung nutrient dengan antioksidan tinggi, memperbaiki fungsi paru secara signifikan dan menurunkan lama perawatan/LOS di ICU.45 Glutamin menurun pada pasien-pasien kritis. Pada pasien kritis peningkatan ROS disertai penurunan glutathion peroksidasi secara signifikan meningkatkan mortalitas. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan, terapi dengan perxinitite decomposisi catalise dan SOD mimetic dapat mencegah terjadinya kerusakan dan penurunan fungsi organ-organ pada pasien sepsis, syok dan ischemia reperfusion injury.54
217
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Fatigue diaphragma sering terjadi pada pasien-pasien kritis karena ketidakseimbangan kebutuhan dan pemakaian energi.48 Peningkatan aliran darah tinggi oksigen dapat mencegah terjadinya Fatigue diaphragma.49 Fatigue ini terjadi mungkin berhubungan dengan injuri pada sel-sel otot diafragma karena lipid peroksidase, lesi DNA dan kerusakan Protein akibat stres oksidatif. Anoeto dkk meneliti pada tikus dengan penyakit restriktif paru dan defisiensi vit E ternyata terjadi penurunan kontraktilitas diafragma saat terjadi peningkatan stres oksidatif dan penurunan Glutathion peroxidase. Fatigue berkurang bila diberi tambahan vit E, N asetilsistein dan ROS scavenger spesifik.41,42,43,44 Pada studi lain, lidocain ternyata bisa berfungsi sebagai antioksidan. Untuk terapi disfungsi diafragma yang menginduksi hiperoksia dan menginduksi sepsis pada hamster. Lidocain dapat menghentikan lipid peroksidase. Fatigue diafragma ternyata muncul pada tikus bila dilakukan resistif kronik; ini mungkin sama terjadi pada manusia bila memakai ventilatar dengan ‘weaning’ terlalu lama.50,51,52 Penyakit kardiovaskular sering menjadi pemberat pada pasien-pasien sepsis dan meningkatkan angka kematian. Kadar stres oksidatif yang tinggi, juga berperan pada terjadinya aterosklerosis dan hipertensi.28,30,33 ROS dihubungkan dengan peningkatan pertumbuhan sel-sel otot polos pembuluh darah dan peningkatan apoptosis. Inaktifasi NO2 menghasilkan disfungsi induktil, juga dihubungkan dengan peningkatan ROS.28 ROS dapat menarik monosit masuk dalam dinding pembuluh darah dan menyebabkan proses aterosklerosis. Vit E dipakai sebagai perlindungan membran sel pembuluh darah dengan mencegah terjadinya lipid peroksidase.46 Cloarec dkk, Pada penelitiannya membuktikan bahwa pemberian SOD dan Glyadin (glisodin) dapat mencegah dan mengurangi kekakuan pembuluh darah akibat proses aterosklerosis.55 Penyakit lain yang sering menjadi pemberat pada sepsis adalah diabetes melitus (DM). Petanda-petanda plasma lipid peroksidase jauh lebih tinggi kadarnya pada pasien -pasien DM dibanding yang tidak DM.29 Kerusakan DNA empat kali lebih banyak terjadi pada pasien DM.35 Hiperglikemi berperan terhadap terjadinya stres oksidatif dengan memproduksi ROS pada saat terjadi auto oksidasi glukosa. Peningkatan akut kadar gula darah dapt menekan produksi antioksidan dan natural seperti glutathione eritrositik. Penurunan glutathione eritrositik berkorelasi negatif terhadap pengontrolan gula darah (penurunan HbA1c). Dua Scavenger : SOD dan katalase, dapat mencegah terjadinya disfungsi endotel akibat hiperglikemia dan penurunan respon vasodilatasi terhadap NO. SOD mempotensiasi efek NO dan melawan efek negatif hiperglikemi pada fungsi endotel.29,35
Implikasi Dalam Praktek Sekarang ini dalam lingkungan ICU, perawat merawat pasien-pasien kritis yang mengalami berbagai kerusakan sel akibat ROS dan stres oksidatif yang berat. Saat
218
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ini belum ada data yang dipublikasikan mengenai efek potensiasi tindakan keperawatan terhadap terjadinya stres oksidatif.1 Dibutuhkan lebih banyak penelitian agar bisa menjadi panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan keperawatan, agar tidak memicu atau menambah stres oksidatif pada pasien-pasien kritis. Juga diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuat panduan pemberian nutrisi yang dapat membantu pasien kritis melawan stres oksidatif yang terjadi. Salah satu yang sangat penting dan kritis adalah pemakaian ventilator. Pemakaian ventilator yang lama menyebabkan fatigue diaphragma. Fatigue diaphragma dapat dicegah dan diperbaiki dengan memberikan vasodilator (Dopamin dosis rendah) untuk memperbaiki aliran darah ke diafragma.53 Pemberian suplemen vit E dapat mencegah terjadinya aterosklerosis; sehingga bisa juga dipakai mencegah dan memperbaiki fatigue diaphragma; terutama pada pasien-pasien defisiensi vit E (pemakai alkohol, malnutrisi, ikterik kronik).1,53 Diperlukan penelitian penelitian klinis lebih lanjut dan lebih banyak untuk dapat menentukan jenis suplementasi dan kombinasi suplemen apa yang dibutuhkan; berapa dosis yang tepat untuk membantu pasien-pasien kritis mencegah dan memperbaiki stres oksidatif; agar tidak terjadi terlalu banyak obat/suplemen yang akhirnya dapat memicu terjadinya stres oksidatif. Bila telah diteliti dan dipublikasikan dapat dijadikan standar antioksidan (berdasar evidence based) terapi antioksidan untuk pasien sepsis, syok, ARDS, luka bakar yang luas dlll penyakit kritis. Penelitian lain memberikan terapi SOD dan katalase pada tikus-tikus sepsis karena meningoencefalitis. Ternyata pemakaian SOD dan catalase dapat memperbaiki kondisi sepsis dan menurunkan angka kematian secara bermakna bila dibanding plasebo.54 Obat-obat lain seperti beta bloker, ACE inhibitor dan statin tenyata juga mempunyai efek antioksidan pada penyakit-penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan DM.1 Penelitian Bela dkk (2001) telah membuktikan pada pasien-pasien kritis yang masuk ICU mempunyai kadar oksidan yang sangat tinggi dan kadar SOD yang sangat rendah. Penelitian ini membuktikan pemberian SOD dapat menurunkan angka kematian dan mengurangi LOS (Long of Stay) di ICU.
Kesimpulan Konsep ROS menujukkan peran yang sangat penting pada patofisiologi pada pasien-pasien kritis. Pada pasien-pasien kritis stres oksidatif dapat menimbulkan respon inflamasi yang berat dan membuat kerusakan sel yang pada akhirnya meningkatkan angka kematian. Berbagai penelitian menujukan korelasi positif antara stres oksidatif dan terjadinya pemburukan/kematian pasien-pasien kritis di ICU. Scavenger-Scavenger seperti SOD, katalase, Glutathion peroxidase dan antioksidan alami (vit C, vit E, vit A) mempunyai peranan yang sangat penting untuk menghentikan proses stres oksidatif dan menurunkan angka kematian. Pengertian yang lebih dalam mengenai pembentukan ROS dan akibat dari stres oksidatif sangat dibutuhkan dan penting untuk para perawat/dokter yang berdinas di ICU; agar mencegah terjadinya stres oksidatif akibat tindakan-tindakan di ICU.
219
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pemeriksaan-pemeriksaan petanda (marker) biologis untuk stres oksidatif dan kerusakan sel perlu di-establish-kan dan dilakukan pada setiap pasien-pasien kritis di ICU. Terapi obat-obat baru seperti N asetil sistein, scavenger-scavenger (SOD, katalase dan glutathione) peroxidase serta penambahan antioksidan-antioksidan alami (vit C, vit E Dan vit A) mungkin dapat meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup pasien-pasien kritis dan usia lanjut.
220
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka 1.
Bruch CD, Pierce JD. Oxidative stress in critically patients. Am J Crit Care 2002;11 :543-61.
2.
Gutteridge J, Mitchell J. Redox imbalance in the critically ill. Br Med Bull. 1999;55:4975.
3.
Supinski G. Free radical induced respiratory muscle dysfunction. Mol Cell Biochem. 1998;179:99-110.
4.
Bernard GR, Wheeler AP, Arons MM, et al. A trial of antioxidants Nacetylcysteine and procysteine in ARDS. The Antioxidant in ARDS Study Group. Chest. 1997;112:164-72.
5.
Laurent T, Markert M, Feihl F, Schaller MD, Perret C. Oxidant-antioxidant balance in granulocytes during ARDS: effect of N-acetylcysteine. Chest. 1996;109:163-166.
6.
Ortolani O, Conti A, De Gaudio AR, Masoni M, Novelli G. Protective effects of Nacetylcysteine and rutin on the lipid peroxidation of the lung epithelium during the adult respiratory distress syndrome. Shock. 2000;
7.
De Rosa SC, Zaretsky MD, Dubs JG, et al. N-acetylcysteine replenishes glutathione in HIV infection. Eur J Clin Invest. 2000;30:915-929.
8.
Kasielski M, Nowak D. Long-term administration of N-acetylcysteine decreases hydrogen peroxide exhalation in subjects with chronic obstructive pulmonary disease. Respir Med. 2001;95:448-456.
9.
Heller A, Groth G, Heller S, et al. N-acetylcysteine reduces respiratory burst but augments neutrophil phagocytosis in intensive care patients. Crit Care Med. 2001;29:272-276.
10. Pugliese P. The skin, free radicals, and oxidative stress. Dermatol Nurs. 1995;7:316369. 11. Fuhrman MP, Herrmann VM, Smith GS. Reactive oxygen species and glutathione: potential for parenteral nutrition supplementation? Nutr Clin Pract. 1999;14:254-263. 12. Lawler JM, Powers SK. Oxidative stress, antioxidant status, and the contracting diaphragm. Can J Appl Physiol. 1998;23:23-55. 13. Halliwell B. Antioxidants in human health and disease. Annu Rev Nutr. 1996;16:3350. 14. Espat NJ, Helton, WS. Oxygen free radicals, oxidative stress, and antioxidants in critical illness. Support Line. April 2000;22:11-20. 15. Oldham KM, Bowen PE. Oxidative stress in critical care: is antioxidant supplementation beneficial? J Am Diet Assoc. 1998;98:1001-1008. 16. Schorah CJ, Downing C, Piripitsi A, et al. Total vitamin C, ascorbic acid, and dehydroascorbic acid concentrations in plasma of critically ill patients. Am J Clin Nutr. 1996;63:760-765.
221
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
17. Metnitz PGH, Bartens C, Fischer M, Fridrich P, Steltzer H, Druml W. Antioxidant status in patients with acute respiratory distress syndrome. Intensive Care Med. 1999;25:180185. 18. Ehlers R, Hernandez A, Bloemendal L, et al. Mitochrondrial DNA damage and altered membrane potential in pancreatic acinar cells induced by reactive oxygen species. Surgery. 1999;126:148-155. 19. Cotran R, Kumar V, Collins T. Pathologic Basis of Disease. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 1999:12-14. 20. Parkinson D. Oxygen free radicals: in search of a unifying theory of disease. Intensive Crit Care Nurs. 1995;11:336-340. 21. Montuschi P, Corradi M, Ciabattoni G, Nightingale J, Kharitonov SA, Barnes PJ. Increased 8-isoprostane, a marker of oxidative stress, in exhaled condensate of asthma patients. Am J Respir Crit Care Med. 1999;160:216-220. 22. Pugliese PT. The skin’s antioxidant systems. Dermatol Nurs. 1998;10:401-416. 23. Shindoh C, DiMarco A, Thomas P, Manubay P, Supinski G. Effect of Nacetylcysteine on diaphragm fatigue. J Appl Physiol. 1990;68:2107-2113. 24. Repine JE, Bast A, Lankhorst I. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. The Oxidative Stress Study Group. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:341357. 25. Fenech AG, Ellul-Mechallef R. Selenium, glutathione peroxidase and superoxide dismutase in Maltese asthmatic patients: effect of glucocorticoid administration. Pulm Pharmacol Ther. 1998;11:301-308. 26. Corbucci GG, Gasparetto A, Candiani A, et al. Shock-induced damage to mitochondrial function and some cellular antioxidant mechanisms in humans. Circ Shock. 1985;15:15-26. 27. Griendling K, Ushio-Fukai M. Redox control of vascular smooth muscle proliferation. J Lab Clin Med. 1998;132:9-15. 28. Schoonover LL. Oxidative stress and the role of antioxidants in cardiovascular risk reduction. Prog Cardiovasc Nurs. Winter 2001;16:30-32. 29. Giugliano D, Ceriello A, Paolisso G. Oxidative stress and diabetic vascular complications. Diabetes Care. 1996;19:257-267. 30. Hafez HM, Berwanger CS, McColl A, et al. Myocardial injury in major aortic surgery. J Vasc Surg. 2000;31:742-750. 31. Siciarz A, Weinberger B, Witz G, Hiatt M, Hegyi T. Urinary thiobarbituric acid-reacting substances as potential biomarkers of intrauterine hypoxia. Arch Pediatr Adolesc Med. 2001;155:718-722. 32. Weinstein T, Chagnac A, Korzets A, et al. Haemolysis in haemodialysis patients: evidence for impaired defence mechanisms against oxidative stress. Nephrol Dial Transplant. 2000;15:883-887.
222
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
33. Nishiyama Y, Ikeda H, Haramaki N, Yoshkida N, Imaizumi T. Oxidative stress is related to exercise intolerance in patients with heart failure. Am Heart J. 1998;135:115-120. 34. Allard J, Aghdassi E, Chau J, Salit I, Walmsley S. Oxidative stress and plasma antioxidant micronutrients in humans with HIV infection. Am J Clin Nutr. 1998;67:143-147. 35. Matata B, Galinanes M. Cardiopulmonary bypass exacerbates oxidative stress but does not increase proinflammatory cytokine release in patients with diabetes compared with patients without diabetes. J Thorac Cardiovasc Surg. 2000;120:1-11. 36. Boaz M, Matas Z, Biro A, et al. Serum malondialdehyde and prevalent cardiovascular disease in hemodialysis. Kidney Int. 1999;56:1078-1083. 37. Anup R, Aparna V, Pulimood A, Balasubramanian K. Surgical stress and the small intestine: role of oxygen free radicals. Surgery. 1999;125:560-569. 38. Pratico D, Basili S, Vieri M, Cordova C, Violi F, Fitzgerald GA. Chronic obstructive pulmonary disease is associated with an increase in urinary levels of isoprostane F2 -III, an index of oxidant stress. Am J Respir Crit Care Med. 1998;158:1709-1714. 39. Moller P, Loft S, Lundby C, Olsen N. Acute hypoxia and hypoxic exercise induce DNA strand breaks and oxidative DNA damage in humans. FASEB J. 2001;15:1181-1186. 40. Phillips M, Cataneo RN, Greenberg J, Gunawardena R, Naidu A, Rahbari-Oskoui F. Effect of age on the breath methylated alkane contour, a display of apparent new markers of oxidative stress. J Lab Clin Med. 2000;136:243-249. 41. Anzueto A, Andrade FH, Maxwell LC, Levine SM, Lawrence RA, Jenkinson SG. Diaphragmatic function after resistive breathing in vitamin E-deficient rats. J Appl Physiol. 1993;74:267-271. 42. Ciufo R, Nethery D, DiMarco A, Supinski G. Effect of varying load magnitude on diaphragmatic glutathione metabolism during loaded breathing. Am J Resp Crit Care Med. 1995;152:1641-1647. 43. Supinski G, Ciufo N, Renston J, DiMarco A. Effect of varying inspired oxygen concentration on diaphragm glutathione metabolism during loaded breathing. Am J Respir Crit Care Med. 1995;152:1633-1640. 44. Galley HF, Davies MJ, Webster NR. Xanthine oxidase activity and free radical generation in patients with sepsis syndrome. Crit Care Med. 1996;24:1649-1653. 45. Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD, et al. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid, ã-linolenic acid, and antioxidants in patients with acute respiratory distress syndrome. Enteral Nutrition in ARDS Study Group. Crit Care Med. 1999;27:1409-1420. 46. Cuzzocrea S, Riley DP, Caputi AP, Salvemini D. Antioxidant therapy: a new pharmacological approach in shock, inflammation, and ischemia/ reperfusion injury. Pharmacol Rev. 2001;53:135-159. 47. Anzueto A, Andrade FH, Maxwell L, et al. Resistive breathing activates the glutathione redox cycle and impairs performance of rat diaphragm. J Appl Physiol. 1992;72:529534.
223
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
48. Diaz PT, She ZW, Davis WB, Clanton TL. Hydroxylation of salicylate by the in vitro diaphragm: evidence for hydroxyl radical production during fatigue. J Appl Physiol. 1993;75:540-545. 49. Lawler JM, Cline CC, Hu Z, Coast JR. Effect of oxidative stress and acidosis on diaphragm contractile function. Am J Physiol. 1997;273 (2 pt 2): R630-R636. 50. Supinski G, Nethery D, Stofan D, Hirschfield W, DiMarco A. Diaphragmatic lipid peroxidation in chronically loaded rats. J Appl Physiol. 1999;86:651-658. 51. Nishina K, Mikawa K, Shiga M, et al. Attenuation of hyperoxia-induced diaphragmatic dysfunction with lidocaine in hamsters. Crit Care Med. 2000;28:1973-1978. 52. Kodama S, Mikawa K, Nishina K, Maekawa N, Kagawa T, Obara H. Lidocaine attenuates sepsis-induced diaphragmatic dysfunction in hamsters. Crit Care Med. 2000;28:2475-2479. 53. Pierce JD, Clancy RL, Smith-Blair N, Kraft R. Treatment and prevention of diaphragm fatigue using low-dose dopamine. Biol Res Nurs. 2002;3:140-149. 54. Warner A,Bedosne A,Healy D,Verme C. Prognostic role antioxidant in sepsis : Preliminary assessment.Clin Chem 1995 ;567-75. 55. Cloarec M, Caillard P et al. Glisodin, a vegetal SOD with gliadin,as preventive agent vs atherosclerosis, as comfirmed with carotd altrasound b-imaging. European Annals of Alergy, 2007 ;11 : 657-61.
224
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan dan Gangguan Motilitas Saluran Cerna pada Usia Lanjut Hery Djagat Purnomo
Perubahan-perubahan saluran cerna karena proses menua Perubahan pada esofagus Presbyesophagus adalah istilah yang paling sering digunakan untuk menggambarkan perubahan pada esofagus pada proses menua. Studi pada populasi usia lanjut (nonagenarian=90-100 th) sehat menunjukan perubahan pada fungsi motorik esofagus meliputi penurunan relaksasi sfingter esofagus bawah, perubahan posisi LES ke atas di dalam rongga thoraks dan gangguan pengosongan esofagus berkaitan dengan kontraksi esofagus nonperistaltik yang berulang (tertiary esofageal contraction). Studi terkini juga menunjukkan perubahan fungsi pada sfingter esofagus atas. Perubahan tersebut disebabkan oleh penurunan jumlah neuron pada pleksus mienterik pada usia lanjut. Pada usia lanjut umur 80-90 th (oktogenarian) didapatkan penurunan tekanan sfingter esofagus atas saat istirahat dan penurunan durasi dan kecepatan kontraksi esofagus. Perubahan antomi meliputi; penurunan jumlah sel ganglion mienterik, penebalan lapisan otot polos dan infiltrasi limfosit pada pleksus mienterik. Implikasi klinis dari perubahan ini menyebabkan seringnya gangguan; disfagia, esofagitis erosiva, choking spell dan aspirasi pada usia lanjut.
Perubahan pada gaster Tidak ada gastritis atrofi, sekresi asam lambung kondisi basal dan rangsangan tetap pada usia lanjut atau bahkan meningkat dibandingkan usia muda. Terdapat penurunan ketahanan mukosa pada usia lanjut, mungkin dihubungkan dengan penurunan sintesis prostaglandin, begitu pula; natrium, bikarbonat dan sekresi mukus. Perubahan motorik pada fungsi gaster meliputi; perlambatan pengosongan lambung makanan padat ataupun cair pada usia lanjut. Meskipun perubahan ini ringan, bisa menyebabkan anoreksia, dispepsia dan cepat kenyang.
Perubahan pada usus halus Perubahan pola motorik usus halus karena proses menua berefek ringan pada pola manometri usus halus dengan penurunan frekuensi kontraksi usus sesudah makan, penurunan frekuensi migrating motor complex (MMC) dan berkurangya frekuensi propagated clustered contractions. Konsekuensi klinik dan fisiologi perubahan
225
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ini tidak menentu. Perubahan serupa telah dikaitkan dengan gejala dispepsia dan nyeri kramp pada pasien irritable bowel syndrome dan juga berperan pada bacterial overgrowth syndrome yang lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut.
Perubahan motorik kolon dan anorektal Keluhan konstipasi dan prevalensi divertikulosis meningkat dan fungsi motorik kolon secara keseluruhan masih berfungsi baik pada lanjut usia sehat. Peningkatan motilitas sigmoid dan rektum terkait makanan tidak berubah. Transit kolon yang meningkat dapat diinduksi oleh imobilisasi, biasanya bersifat lokal di kolon distal dan rektum. Secara keseluruhan perubahan fisiologi utama yang berpengaruh pada konstipasi pasien lanjut usia disebabkan oleh perubahan transit kolon dan berhubungan dengan perubahan fungsi anorektal. Kesepakatan umum menyebutkan perubahan utama fisiologi anorektal yang terjadi pada proses menua adalah berkurangnya tekanan basal dan kontraksi dari sfingter anal. Compliace rektum yang berkurang dan sensasi rektum juga menurun. Sehingga pasien usia lanjut sering tidak mengenali rangsangan untuk buang air besar. Perubahanperubahan ini penting pada perkembangan konstipasi, impaksi fekal dan inkontinensia fekal.
Gangguan klinik motilitas saluran cerna pada usia lanjut Perdarahan saluran cerna dan keganasannya, serta gangguan motilitas dan fungsi pada saluran cerna merupakan problem yang sering pada pasien usia lanjut. Gangguan tersering masalah motilitas gastrointestinal pada usia lanjut adalah; disfagia, gastroesofageal refluks disease, dispepsia, dan gastroparesis, small intestine bacterial overgrowth syndrome (SIBO) dan konstipasi. Semua gangguan tersebut dapat datang dengan gejala yang tidak khas. Tambahan lagi berbagai macam efek komorbid dan obat-obatan yang diminum oleh lansia. Kewaspadaan yang tinggi akan adanya gangguan tersebut diperlukan untuk menemukan gangguan tersebut. Beberapa gangguan tersebut diabstraksikan dalam makalah ini.
Disfagia Disfagia adalah salah satu keluhan esofageal yang sering ditemukan pada usia lanjut dan terdiri dari 2 tipe yaitu; a.
Disfagia orofaringeal: kesulitan memulai menelan. Kelainan ini disebabkan oleh berbagai macam kondisi neuromuskular dan kelainan struktural lokal.
b.
Disfagia esofageal: adalah kelainan disebabkan oleh gangguan yang mengenai esofagus sendiri misalnya gangguan motilitas, obstruksi mekanis dan efek obatobatan.
Anamnesis yang baik tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk diagnosis. Konsul bagian THT untuk mencari penyebab di bidang tersebut
226
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dan pemeriksaan dengan Barium enema, endoskopi dan manometri dapat membantu menentukan penyebab yang mendasari keluhan tersebut. Terapi sesuai dengan penyebab yang ditemukan.
GERD Gerd adalah gangguan kronik pada usia lanjut dengan prevalensi sekitar 20%. Gejala-gejala atipik /tidak khas seperti muntah, nyeri dada, batuk kronik, sesak mengi (wheezing) dan disfagia bisa terjadi. Esofagitis terutama sekali memberat pada usia lanjut. Pemeriksaan untuk investigasi meliputi; barium swallow, endoskopi saluran cerna atas, pemeriksaan PH 24 jam ambulatoir dan manometri. Pengelolaan meliputi; modifikasi gaya hidup, farmakoterapi dengan antasida, H2 reseptor bloker, penghambat pompa proton dan obat prokinetik. Pembedahan dilakukan pada kasus yang tidak respon/intractable misalnya adanya striktura.
Dispepsia dan gastroparesis Dispepsia pada usia lanjut terutama disebabkan oleh penyebab fungsional (nonulcer dyspepsia). Penyebab kelainan organik utama adalah; ulkus peptikum, atipikal GERD dan kanker lambung. Gangguan motilitas yang berkaitan dengan dispepsia adalah; GERD atipik, gastroparesis, dismotilitas usus halus. Gastroparesis bisa disebabkan oleh diabetes melitus, kondisi neurologis, post operasi gastrektomi dan lain-lain, kelainan ini menyebabkan nyeri epigastrium dan kembung. Pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan penyakit sistemik, barium meal, endoskopi saluran cerna atas dan manometri gastro-duodenum diperlukan untuk diagnosis. Pengobatan dengan obat-obat prokinetik dan suportif.
SIBO (Small Instestine Bacterial Overgrowth) Small instestine bacterial overgrowth adalah kelainan yang disebabkan oleh diabetes melitus, lesi struktural dan penurunan keasamaan lambung. Gejala dan tandatanda malabsorption bisa terjadi. Evaluasi dapat dikerjakan dengan kultur dari cairan usus halus melalui pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas, tes nafas hidrogen (hydrogen breath test) dan manometri usus halus. Terapi dengan diet, obat prokinetik dan antibiotika. Pembedahan kadang bisa diperlukan.
Konstipasi Konstipasi adalah masalah yang umum terjadi dengan prevalensi 24-40% pada usia lanjut di populasi. Konstipasi fungsional bisa disebabkan oleh disfungsi kolon yang berkaitan dengan proses menua, transit time kolon yang memanjang, obatobatan dan lain-lain. Rectal outlet delay bisa disebabkan oleh hilangnya fungsi sfingter, kelemahan otot dasar panggul (pelvis) dan penyakit-penyakit saraf seperti parkinson dan penyakit mengenai korda sakralis. Anamnesis riwayat penyakit dengan baik sangat penting dalam mengevaluasi penyebab konstipasi pada usia lanjut, terutama
227
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
frail elderly. Pemeriksaan laboratorium meliputi foto polos abdomen, barium enema, kolonoskopi dan tes fungsi anorektal. Komplikasi konstipasi pada usia lanjut meliputi; inkontnesia fekal, impaksi fekal, stercoral ulcer dengan perforasi, tretensio urin, volvulus sigmoid, dan prolaps rektal. Pengelolaan dengan diet, edukasi, aktifitas fisik dan kebiasaan tidak menunda BAB. Farmakoterapi dengan bulk laksatif, senna, hiperosmoler laksatif seperti sorbitol, laktulosa mungkin diperlukan. Rektal outlet delay diobati dengan manual disimpaksi; supositoria, seperti gliserin dan enema juga bisa membantu. Inkontinence fekal di rawat dengan mengatasi impaksi fekal jika ada, training untuk kebiasaan BAB, enema dan supositoria.
Daftar pustaka 1.
Karen E Hall, John W Wiley. Age-associated changes in gastrointestinal function, Principles of geriatric medicine and gerontology, eds, William R Hazzard, et al, 4th edition, Mc Graw-Hill, 1999, 835-842.
2.
Michael firth, Charlene M Prather. Gastrointestinal motility problems in the elderly patient, Gastroenterology 2002; 122:1688-1700
3.
A L D’Souza. Ageing and the gut. Postgad Med J 2007;83:44-53.
4.
Christopher K Rayner and Michael Horowitz. Changes in gastrointestinal motor and sensory function associated with aging. Medicine in old age . Gastro disorders. Priciples and practice of geriatric medicine, 4th edition. Edited by MS John Pathy, Alan J Sinclair, John E Morley, 2006 John Wiley & Sons.LTD, 357-369.
5.
Kenneth Ingram, Philip O Katz, Richard H Davis. Geriatric GERD: Maximising outcomes for a unique patient population. A supplement to the journal of the american academy of physician assistants. Oktober 2007; 1-14.
228
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pengelolaan Gastroesophageal Reflux Disease Hirlan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah pengertian yang digunakan untuk mendiskripsikan keluhan-keluhan dan perubahan-perubahan pada mukosa esofagus sebagai akibat aliran balik isi lambung masuk ke lumen esofagus. Faktor risiko penting timbulnya GERD antara lain: obesitas, diabetes melitus, sindroma Zollinger Ellison, kehamilan, setelah miotomi pada Achalasia, sindroma Sicca, obat tertentu, makanan tertentu, nasogastric tube, trauma abdomen. Sedangkan infeksi Helicobacter pylori masih kontroversi. Sebagian menyebutkan infeksi HP mungkin protektif. Keluhan-keluhan GERD secara umum dapat berbentuk: sendawa, nyeri dada (non cardiac), regurgitasi, heart burn, disfagia, suara serak, nyeri tenggorokan dan batuk. Keluhan-keluhan tersebut dapat berlangsung setiap hari, hanya beberapa hari dalam seminggu, bahkan hanya beberapa hari dalam sebulan. GERD dapat bermanifestasi sebagai non erosive reflux disease (NERD), esofagitis erosi dan esofagus Barret. Masing-masing manifestasi tersebut akan berlanjut menjadi penyakit yang berbeda. NERD biasanya berkomplikasi sebagai manifestasi GERD pada organ ekstra esofagus misalnya asma bronkial, bronkitis kronik dan penyakit paru obstruksi kronik. Esofagitis erosi dapat berlanjut menjadi ulkus esofagitis, striktura esofagitis benigna, perdarahan esofagus dan bahkan perforasi. Esofagus Barret dapat berlanjut menjadi adenokarsinoma esofagus. Diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan pada: keluhan-keluhan yang sangat spesifik, tes proton pump inhibitor (PPI), pemeriksaan endoskopi gastroduodenum (EGD), monitor PH esofagus dan pemeriksaan lain yang tidak digunakan secara rutin. Keluhan-keluhan yang sangat spesifik adalah heart burn dan regurgitasi asam. Sebagai alat diagnosis heart burn dan regurgitasi asam mempunyai spesifitas yang tinggi, lebih dari 80%, tetapi sensitivitasnya rendah, hanya sekitar 50%. Oleh karena itu pasien yang mempunyai keluhan spesifik tanpa simtom alarm dapat dilakukan terapi empirik. Bila gagal dengan terapi empirik dapat dilakukan endoskopi gastroduodenum. Pemeriksaan EGD harus segera dilakukan bila di samping keluhan GERD juga dijumpai simtom alarm. Pada pemeriksaan EGD, biopsi dapat dilakukan bila dijumpai lesi yang memerlukan pemeriksaan histopatologi lebih lanjut. Untuk menilai stadium klinik esofagitis erosi secara endoskopi dapat digunakan kriteria Savary-Miller atau kriteria Los-Angeles. Tes PPI merupakan cara diagnosis dan sekaligus terapi dengan akurasi yang baik dan dengan prosedur yang sederhana. Pada pasien dengan keluhan GERD yang tidak khas, PPI dengan dosis standar selama 2-4 minggu dapat digunakan sebagai cara diagnosis. Tes PPI pada NERD mempunyai akurasi yang sebanding dengan pemeriksaan berdasar evaluasi PH esofagus.
229
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pengobatan GERD bertujuan untuk menghilangkan simtom dan mengembalikan kerusakan mukosa esofagus kembali seperti semula (mucosal healing). Tujuan menghilangkan simtom menjadi amat penting mengingat sebagian GERD berupa NERD dan sebagian lagi berupa esofagitis erosi ringan sampai sedang. Hanya sedikit yang berupa esofagitis erosi berat atau esofagus Barret. NERD dengan keluhan ringan dan tidak sering, sebagian amat besar hanya memerlukan evaluasi, edukasi dan modifikasi gaya hidup, tanpa terapi medik. Keluhan GERD pada dasarnya berhubungan dengan isi lambung yang bersifat asam dan menimbulkan iritasi pada mukosa esofagus. Berdasarkan pengertian tersebut, keluhan dan kerusakan mukosa esofagus dapat dicapai dengan menekan keasaman isi lambung yang mengalami refluks, walaupun refluks masih tetap terjadi. Antagonis reseptor H2 (ARH2) masih kadang-kadang digunakan untuk menekan keasaman lumen esofagitis erosi kriteria Savary-Miller derajat 1 atau kriteria LosAngeles A. Dari semua ARH2 famotidin setelah pengobatan. Efek toleransi menyebabkan ARH2 tidak mampu lagi menetralkan asam lambung. Efek toleransi itu pula yang menyebabkan ARH2 tidak lagi disukai karena pengobatan GERD memerlukan waktu lama dan kemampuan yang amat kuat untuk menaikkan PH lumen esofagus. Obat terpilih pada saat ini adalah PPI. Sebagai penghambat sekresi asam yang sangat kuat, PPI mampu menaikkan PH lambung mencapai PH netral. Oleh karena PPI bekerja paling efektif bila sel parietal terpacu untuk menghasilkan asam lambung setelah puasa yang lama dan dirangsang oleh makanan maka pemberian sebelum makan pagi merupakan cara pemberian yang terbaik. PPI hanya akan menghambat pompa proton yang aktif tetapi bertahan untuk jangka lama. Beberapa PPI bahkan dapat bertahan sampai 24 jam. Hambatan terhadap pompa proton pada sel parietal sering bersifat ireversibel. Bila PPI dihentikan dalam 3-7 hari pompa proton yang baru akan dibentuk lagi oleh sel parietal. Terapi initial dengan PPI, biasanya diberikan selama 8-12 minggu. Dosis terapi initial ditentukan oleh jenis GERD. Tindakan selanjutnya ditentukan oleh hasil terapi initial. Pilihannya adalah terapi penahan atau terapi on demand. Terapi penahan yang dianjurkan adalah PPI sampai 1-2 tahun. Banyak penelitian yang membandingkan antara ranitidin tunggal, ranitidin ditambah prokinetik dan PPI tunggal. Terbukti PPI tunggal memberikan hasil terbaik. Bahkan dibandingkan PPI ditambah prokinetik, PPI tunggal memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna. Kadang-kadang diperlukan terapi on demand yakni terapi yang dilakukan oleh pasien sendiri untuk menghilangkan keluhan GERD setelah terapi initial berhasil. Terapi on demand dapat menggunakan ARH2 atau PPI dan dihentikan oleh pasien sendiri bila tidak ada keluhan lagi. Terapi NERD dapat dimulai dengan PPI dosis standar 1 kali sehari. Evaluasi dilakukan 4-8 minggu setelah terapi dimulai. Bila pada evalusi terjadi perbaikan keluhan selanjutnya dapat diberikan terapi penahan. Dosis PPI dapat di-duakalikan bila evaluasi 8 minggu setelah terapi awal keluhan tidak membaik. Selanjutnya diberikan terapi
230
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
penahan bila bila terapi dengan dosis 2 kali sehari memberikan perbaikan. Kegagalan terapi dengan dosis 2 kali sehari mengharuskan dokter meninjau kembali diagnosis awal. Pilihan terakhir adalah menambahkan obat-obat analgetik pada terapi PPI, setelah pengulangan evaluasi terhadap diagnosis awal tetap memberikan kesimpulan NERD. EGD ulangan biasanya tidak dianjurkan. Esofagitis erosif ringan sampai sedang diperlakukan sama seperti NERD, hanya saja evaluasi dengan EGD dimungkinkan. Esofagitis erosif berat dan esofagus Barret biasanya menggunakan PPI dosis 2 kali sehari sebagai terapi initial, selama 12 minggu. Dilanjutkan dengan terapi penahan bila pada evaluasi 12 minggu terjadi perbaikan. Kadang-kadang diperlukan tindakan operatif bila tidak dijumpai perbaikan pada akhir terapi initial. Akhir-akhir ini dikembangkan terapi endoskopi tetapi belum banyak dilaksanakan di pusat-pusat pelayanan kesehatan karena terapi endoskopi tidak sesuai dengan tujuan dan patofisiologi GERD. Menurunkan kadar keasaman dan bila mungkin menghilangkan sensitivitas mukosa esofagus merupakan sesuatu yang amat penting. GERD pada orang tua mempunyai beberapa hal khusus yang agak berbeda dengan GERD pada dewasa muda. GERD merupakan kelainan mukosa esofagus yang paling sering terjadi pada orang tua dan kejadian GERD pada orang tua lebih tinggi bila dibandingkan populasi normal. Keluhan GERD pada orang tua biasanya tidak nyata. Selain itu GERD pada orang tua lebih sering diikuti dengan penyakit komorbid sehingga lebih sulit dikenali. Pada sisi yang lain, di antara populasi usia tua kejadian keganasan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan populasi dewasa muda. Berdasar pada pemikiran tersebut, sebaiknya diagnosis GERD pasien usia tua selalu berdasarkan pada hasil pemeriksaan EGD. Perbedaan lain antara GERD pada dewasa muda dan usia tua terdapat pada pengelolaan. PPI sebaiknya tidak diberikan untuk jangka lama pada setiap pasien tua. Terapi penahan dengan PPI jangka lama tidak dianjurkan.
Daftar pustaka 1.
Chan MS, Yeh RW, Triadafilopoulos G. GERD in the elderly. In. Fass R (edt). Hot topic GERD/dyspepsia: 2004: pp143-160
2.
Dekel R, Fass R. Non erosive reflux disease. In. Fass R (edt) Hot Topic. GERD/ Dyspepsia; 2004 pp 101-118
3.
Gross DP, Cruz-Correa M, Canto MI et al. The adoption of ablation therapy for Barrett’s esophagus: A cohort study of Gastroenterologist. Am J Gastroenterol. 2002; 97: 279-286
4.
Oviedo JA and wolfe MM. Erosive esophagitis. In Fass R. edt. Hot topic GERD/dyspepsia; 2004: pp83-100
5.
Sonnenberg A. Epidemiologic Aspects in the occurrence and natural History of Gastroesophageal Reflux disease. In Fass R edt. Hot Topic GERD/Dyspepsia; 2004: pp 1-22
6.
Joseph S and Hirano I. Gastroesophageal reflux disease: Diagnosis. In. Fass R edt. Hot Topic GERD/Dyspepsia; 2004: pp 41-54.
231
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
232
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Makalah Bebas
233
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
234
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sex Hormone-Binding Globulin (SHBG) and the Free Androgen Index (FAI) are Related to Cardiovascular Risk Factors in the Eldely Djoko Trihadi Department of Internal Medicine - Faculty of Medicine Semarang Islamic University (UNISSULA) Semarang
Background. Recent clinical trials have shifted attention away from estrogens and toward androgens and sex hormone-binding globulin (SHBG) as potential mediators of increasing cardiovascular (CV) risk in elderly and women at midlife. Methods. The correlation between reproductive hormones and CV risk factors was evaluated in Elderly >60 year old (Chinese, and Javanese) sample of 329 premenopausal and perimenopausal women. Testosterone and estradiol (E2) were evaluated along with SHBG and the free androgen index (FAI), the amount of testosterone not bound by SHBG. Results. Low SHBG and high FAI were strongly and consistently related to elevated CV risk factors (higher insulin, glucose, and hemostatic and inflammatory markers and adverse lipids) even after controlling for body mass index (P< 0.001 for all). Low levels of E2 were associated with elevated CV risk factors to alesser degree. These observations were consistent across the 5 previous studies. Compared with adults and perimenopausal women, the Elderly had higher levels of SHBG and higher levels of FAI (p <0,001). Conclusions. Low SHBG and high FAI are strongly associated with CV risk factors in man elderly diverse women and Adults, and thus, androgens likely play a role in the CV risk profile of perimenopausal women and elderly Key word: sex hormone, free androgen, elderly, cardiovascular risk.
235
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Factors That Influenced Elder’s People to Actively Visits the Elderly Community Health Care (Posyandu Lansia) (Case Study in the Village Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY) Puji Lestari1, Hadi Martono2, Kris Pranarka2 1 STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Geriatric Division of Internal Medicine Department , Medical Faculty Diponegoro University / Dr. Kariadi Hospital Semarang 2
Background. Elderly community health care (posyandu lansia) plays an important role as the basis of holistic and continuous care for the elderly. Visitations of the elderly to the elderly community health care are influenced by predisposing factors, enabling factors and reinforcing factors. Number of elderly at the Tamantirto Village’s many as 11.3%, but have not been accompanied by a high coverage of the utilizations, whereas 6 of 9 posyandu still have coverage below 50%. Purpose. This study aimed to prove that the predisposing factors (age, education, occupation, socio-economic conditions, knowledge, and attitudes), enabling factors (facilities, access, cadre and health workers services), reinforcing factors (social role of the elderly, family role) affected on elder people visitations to the elderly community health care. Methods. The study design is an analytic observational with case-control method. The cases are the elderly members of the elderly community health care (aged >60 years old) who actively visited the elderly community health care during the last 3 months. The controls are elderly members of the elderly community health care (aged >60 years old) who did not actively visit during the last 3 months. The research sample is 52 cases and 52 controls. The quantitative data was gathered by interviews, while the qualitative data was gathered by Focus Group Disscussion. Results. The result of research shows that factors influenced on elder people visitations to the elderly community health care are age of >71 years old, OR: 4.6 (95% CI 1.5 to 14.1), not working, OR: 8.1 (95% CI 2.1 to 31.1), good attitude, OR: 3 (95% CI 1.1 to 8.8), good facilities, OR: 5.4 (95% CI 1.4-21), good service of cadres and health workers, OR: 6.5 (95% CI 1.9 to 21.6), and a good family role, OR: 3.2 (95% CI 1.1 to 9, 6). Factors that did not affect on elder people visitations to the elderly community health care are the level of education, socio-economic conditions, knowledge, access, and social role of the elderly. Conclusions. The factors that have been proved influenced on elder people visitations to the elderly community health care are age of >71 years old, not working, good attitude, good facilities, good service of cadres and health workers, and a good family role. Key words: the elderly community health care, actively visit, factors influenced.
236