BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin. Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m2 per hari atau rasio protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan Mantan, 2005). Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian besar
proteinuria
berasal
dari
kebocoran
glomerulus
(proteinuria
glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel, membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier) akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis. Muatan
negatif
sangat
berkurang
pada
penderita
SN
sehingga
kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula. Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier) juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003;
Universitas Sumatera Utara
Jalanko, 2003). Sel ini diduga mengalami perubahan morfologi selama kejadian proteinuria. Berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.
Klasifikasi SN lebih
didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak 85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS (Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif. Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid sekunder
(Niaudet, 1999;
Fydryk dan Querfeld, 2002).
Persentase
kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993). Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali, keberadaan hematuria dan atau hipertensi. Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten steroid. Kejadian SN tidak biasa terjadi pada tahun pertama kehidupan
Universitas Sumatera Utara
dan sangat jarang terjadi di bawah 6 bulan (Haycock,2003). Puncak insidens SNSS maupun SNRS adalah umur prasekolah, sebanyak 80% berumur kurang dari 6 tahun dengan median umur 2,5 tahun untuk SNSS dan 6 tahun untuk SNRS (Niaudet,1999). Begitu juga faktor hematuria dan atau hipertensi dapat menjadi prediksi resisten steroid, masing-masing 30% dan 50%. Keadaan hipertensi ditemukan pada 13% hingga 20,7% pada SNSS dan meningkat menjadi 27% sampai 51,4% (masing masing untuk tekanan darah diastolik dan tekanan darah sistolik) pada SNRS (ISKDC.,1978). Hematuria mikroskopik ditemukan pada 22,7% kasus SNSS dan meningkat menjadi 67% pada SNRS (Niaudet,1999). Kadar rasio protein kreatinin urin menjadi dasar bagi klinisi dalam menentukan respon atau tidak terhadap terapi steroid. Penelitian Partini, (2007) menemukan pasien SNRS mengalami kadar rasio protein kreatinin urin
yang berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan anak
tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.
2.1.2 Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS Hipertensi merupakan salah satu karakteristik klinik sebagai prediksi resistensi steroid. Kemungkinan terjadinya resistensi steroid pada anak SN yang mengalami hipertensi adalah 50%-60% (ISKDC, 1981; ISKDC, 1978).
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan tekanan darah amat dipengaruhi oleh pengaturan volume cairan ekstrasel. Peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan volume darah dan tekanan darah sehingga pemantauan jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan pemantauan tekanan darah. Hipertensi pada SN ini diakibatkan perubahan aktivitas vasopresor atau volume intravaskular, sedangkan aktivitas plasma renin dapat menurun atau meningkat. Pada penurunan aktivitas plasma renin biasanya terjadi retensi natrium, peningkatan volume ekstraselular, penurunan laju filtrasi glomerulus dan normotensi. Pada penderita dengan peningkatan aktivitas plasma renin memunyai volume arteri plasma efektif yang rendah dan laju filtrasi
glomerulus
yang
normal.
Edema
intrarenal
menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan ekspansi volume plasma. Terapi kortikosteroid merupakan penyebab utama hipertensi kronik karena kortikosteroid dapat meningkatkan respon vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Penderita hipervolemia yang
mengalami penurunan
aktivitas
plasma
renin,
lebih
sering
mengalami hipertensi akibat terapi kortikosteroid (Gruskin et al., 1999). Sebaliknya pada penderita hipovolemia dapat juga terjadi hipertensi akibat respon vasokonstriksi yang diperantarai oleh angiotensin (Gambar 1). Respon peningkatan tekanan darah akibat angiotensin II ini dapat diukur dengan kadar angiotensin II di plasma. Penelitian Vollard, et al. (1999) menemukan bahwa solid phase immobilized epitope immunoassay merupakan cara yang sensitif dan spesifik dalam pengukuran angiotensin II plasma (r=0,9).
Universitas Sumatera Utara
Glomerulopati
Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app
Ekskresi air dan garam menurun
iskemia
Angiotensinogen
Angiotensin I
Angiotensin II
Aldosteron ADH
vasokonstriksi
Peningkatan tonus otot polos
Penghambatan Na K ATP ase peningkatan intrasel Na
Hipervolemia
Cardiac output meningkat
HIPERTENSI
Kerusakan arteriol
Peningkatan afterload
Kerusakan vaskular
Nefrosklerosis
Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia.
2.1.3 Genotip MIF dan Respon Terhadap Glukokortikoid Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah
Universitas Sumatera Utara
jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al., 1999) Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi terhadap glukokortikoid (Barnes,2010). Perubahan glukokortikoid
protein
atau
menyebabkan
perubahan
resisten
kuantitas
terhadap
reseptor
glukokortikoid.
Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1). Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN Gen
Peneliti
ACE insersi dan Sasongko, et al., 2005 delesi IL-4 Tripathi, et al., 2008
Jumlah peserta 85 kasus/ 68 kontrol 35 kasus/115 kontrol
Acharya, et al., 2005
84 kasus/ 61 kontrol
IL-12 B
Jan, et al., 2008
79 kasus/ 87 kontrol
IL-13
Wei, et al., 2005
72 kasus/78 kontrol
Paraoxonase-1
Biyikli, et al., 2006
55 kasus/ 30 kontrol
MIF
Berdelli, et al., 2005
214 kasus/103 kontrol
Vivarelli, et al., 2008
257 kasus/353 kontrol
Kim, et al., 2003
190 kasus/132 kontrol
Bruschi, et al.,2003
139 kasus/70 kontrol
Funaki, et al., 2008
14 pasien
Stachowski, et al., 2000
39 pasien
Cho, et al., 2009
190 kasus/100 kontrol
Apolipoprotein E
MDR-1
NR3C1
Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat. Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF) mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003; Calandra dan Roger, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).
Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008). Peningkatan kadar MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a). Hal ini memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan penurunan fungsi ginjal dalam beberapa tahun (Vivarelli et al., 2008). Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting
Universitas Sumatera Utara
dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain steroid (Vivarelli et al., 2008).
1
2
3
Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.
Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat mempengaruhi
ekspresi
dan
kegunaan
fungsional.
Glukokortikoid
endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian, menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005). Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama dengan aktivitas antiinflamasi glukokortikoid.
Universitas Sumatera Utara
Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap (OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G . Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml) (p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS. 2.1.4 Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah Pengaturan tekanan darah di dalam tubuh dapat dibagi tiga bagian, yaitu mekanisme cepat, jangka menengah, dan jangka panjang. Mekanisme kontrol tekanan darah secara cepat diatur oleh mekanisme
Universitas Sumatera Utara
umpan balik baroreseptor, respons iskemik SSP, dan kemoreseptor. Kombinasi ketiga mekanisme ini bekerja sangat kuat dan cepat dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya, terdapat mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat jangka menengah (dalam 30 menit sampai dengan beberapa jam setelah pengaturan akut) yang diperankan oleh mekanisme vasokonstriktor renin angiotensin; stres dan relaksasi pembuluh darah; dan pergeseran cairan melalui dinding kapiler untuk mengatur volume darah. Mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat jangka panjang diperankan ginjal melalui mekanisme pengaturan volume darah dan sistem renin angiotensin aldosteron (Guyton, 1991). Dua hal utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah jantung dan tahanan sistemik vaskular. Keduanya diatur oleh kombinasi mekanisme jangka pendek (termasuk intermediet) ataupun jangka panjang. Mekanisme jangka pendek mengatur tahanan sistemik vaskular, kapasitansi kardiovaskular, dan penampilan kardiak (frekuensi jantung dan kontraksi). Pada mekanisme jangka panjang curah jantung diatur oleh alir balik vena. Alir balik vena diatur oleh volume darah dan amat berkaitan dengan volume cairan ekstrasel serta keseimbangan sodium (Navar dan Hamm, 1999). Regulasi jangka panjang tekanan darah berhubungan erat dengan kemampuan ginjal dalam mengekskresikan sodium klorida
untuk
mempertahankan balans sodium yang normal, volume cairan ekstrasel, dan volume darah. Oleh karena itu, penyakit ginjal merupakan penyebab paling sering dari hipertensi sekunder. Apabila hipertensi tidak diobati,
Universitas Sumatera Utara
akan terjadi interaksi umpan balik positif yang menyebabkan terjadinya hipertensi progresif dan kerusakan ginjal lebih lanjut. Peningkatan
asupan
sodium
klorida
pada
orang
normal
menyebabkan pengaturan mekanisme humoral, neural, dan parakrin yang memengaruhi hemodinamik renal dan sistemik serta peningkatan ekskresi sodium tanpa peningkatan tekanan darah. Apabila terjadi penurunan ekskresi sodium, dapat menyebabkan peningkatan kronik volume cairan ekstrasel dan volume darah sehingga terjadi hipertensi (Navar dan Hamm,1999). Pengaturan ekskresi sodium dan air diperantarai secara langsung dan tidak langsung oleh angiotensin II. Pembentukan angiotensin II dimulai dari rangsangan terhadap aktivasi pengeluaran renin yaitu apabila terjadi penurunan asupan sodium, penurunan tekanan arterial, dan penurunan volume cairan ekstrasel (Navar
dan
Hamm,
angiotensinogen
1999).
menjadi
Enzim
bentuk
renin
ini
dekapeptida
akan
yang
memecah
inaktif
yaitu
angiotensin I selanjutnya diperantarai Angiotensin converting enzyme (ACE) akan memecah angiotensin I menjadi angiotensin II suatu oktapeptida yang aktif.
Semua komponen SRAA tersebut membentuk
sistem endokrin bersirkulasi yang mengatur keseimbangan sodium dan tekanan darah (Atlas et al., 2007; Carey et al., 2003). Aksi angiotensin II dalam pengaturan cepat tekanan darah diperankan oleh sifat vasokonstriksi langsung terhadap arteriol/vena ataupun melalui aktivitas saraf simpatis (Hildebrant, 2007). Angiotensin II menyebabkan penurunan ekskresi sodium dan air di tubulus ginjal dan
Universitas Sumatera Utara
menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal yang juga bekerja menurunkan ekskresi sodium dan air. Kedua efek ini cenderung meningkatkan volume darah dan berperan penting dalam pengaturan lambat tekanan darah (Victor, 2005). Angiotensin II juga memfasilitasi aksi simpatis, yaitu melalui peningkatan norepinefrin dan katekolamin. Hal ini menyebabkan peningkatan tahanan sistemik vaskular dan tekanan darah (Paradis dan Schiffrin, 2009). Efek peningkatan tekanan darah oleh angiotensin II ini, pada jangka pendek berguna untuk proteksi kapilar renal dari kerusakan. Sebaliknya,
pada
jangka
panjang,
keadaan
ini
menyebabkan
terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air, proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006). 2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai /bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2) melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan (paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui sirkulasi darah (endocrine hormone).
Universitas Sumatera Utara
Efek angiotensin II pada keadaan SNRS sering dihubungkan dengan keadaan hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu luaran klinis yang berhubungan secara
bermakna
dengan
PGK
(Kaplan
dan
Lieberman,1990), termasuk juga pada penderita SNRS (Otukesh et al.,2009).
Regulasi tekanan darah oleh angiotensin II sistemik
pada
penderita SN diatur bukan hanya di perifer (renal), tetapi juga di susunan saraf pusat (DiBona,2001;Camici,2007). Vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen (terutama arteriol eferen) menyebabkan
terjadi
peningkatan
tekanan
kapiler
glomerulus.
Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular menyebabkan kerusakan mekanis pada ketiga tipe sel glomerulus (podosit, sel endotel, dan sel mesangial),
yang akan meningkatkan ukuran radius pori membran
glomerulus. Hal ini mengganggu fungsi selektif membran glomerulus dan meningkatkan
protein
pada
filtrat
glomerulus.
Protein
ini
akan
diendositosis oleh sel epitel tubulus. Sebaliknya, peningkatan reabsorbsi albumin di tubulus akan mengaktivasi angiotensin, sehingga terjadi suatu vicious circle. Apabila hal ini berkepanjangan,akan terjadi kerusakan nefron bahkan terjadi kerusakan ginjal/ glomerulosklerosis (Kaplan,2006; Meer et al., 2010). Infus angiotensin II secara kronik pada binatang percobaan dengan nefrosis berat menunjukkan terjadi hipertensi, peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus, dan peningkatan albuminuria (Herizi et al., 1998). Reabsorbsi albumin menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi lekosit, dan hipertensi sistemik. Selain
sebagai
mediator
hemodinamik
yang
menyebabkan
hipertensi, angiotensin II juga menyebabkan pengambilan/rekrutmen dan proliferasi sel mononuklear. Pengambilan dan proliferasi sel monosit bersirkulasi menyebabkan penumpukan makrofag di jaringan. Pengaturan akumulasi makrofag di jaringan ini diperankan oleh sitokin MIF (Lan, 2008). Hal ini menstimulasi migrasi sel sel imunokompeten (limfosit dan makrofag) ke dalam interstisial ginjal (Ruster dan Wolf, 2006). Penarikan sel-sel inflamasi ke glomerulus dan tubulointerstisium berperan penting dalam proteinuria persisten dan hipertensi. Peningkatan level angiotensin II dapat menyebabkan hipertensi dan berkontribusi terhadap progresivitas penyakit ginjal dengan cara menstimulasi inflamasi dan fibrosis ginjal (Wolf et al., 2003). Angiotensin II memperantarai akumulasi makrofag dan sel T melalui MIF (Rice et al., 2003). Model tikus percobaan dengan hipertensi menunjukkan peningkatan ekspresi MIF (44,9% ± 22,6%) dan sebaliknya, blokade angiotensin II dengan antagonis AT 1 R (Irbesartan) menunjukkan penurunan ekspresi MIF pada glomerulus dan tubulus (2,8% ± 2,4%). Efek angiotensin II pada AT 2 R umumnya bekerja kontradiksi dibandingkan efek pada AT 1 R (Carey dan Siragy, 2003). Peningkatan ekspresi MIF berkorelasi dengan peningkatan makrofag atau sel T. Hal ini mendukung peran angiotensin II dalam menstimulasi kerusakan ginjal melalui MIF.
Universitas Sumatera Utara
Produksi sistemik ataupun lokal angiotensin II dan MIF penting dalam perkembangan kerusakan ginjal. Pembentukan lokal angiotensin II oleh sel mesangial ataupun makrofag setelah suatu kerusakan ginjal menyebabkan sekresi MIF dari sel epitel tubulus kemudian meningkatkan aktivasi makrofag dan sel T yang akan meningkatkan kerusakan ginjal lebih lanjut, sedangkan, angiotensin II sistemik lebih berperan dalam hal kerusakan ginjal melalui efek hipertensi seperti yang ditunjukkan dalam binatang coba dengan hipertensi (one clip Goldblatt hypertension). Hal ini menyebabkan ekspresi MIF meningkat pada ginjal (Rice et al., 2003). Walaupun studi genetik belum menemukan kaitan kausalitas antara plasma angiotensin II dan sekuens asam amino pada model tikus hipertensi (Hubner et al., 1999), namun angiotensin II berkaitan dengan peningkatan aktivasi NFkB dan AP-1(Ruiz-Ortega et al., 2001). Kedua kompleks protein yang merupakan faktor transkripsi ini, menjadi dasar bagi para ilmuwan menerangkan peranan angiotensin II pada ekspresi gen sitokin. Ekspresi gen MIF pada manusia diatur oleh angiotensin II melalui regio promoter. Lokasi ini mempunyai sekuensial ikatan DNA untuk faktor transkripsi seperti NFkB dan AP-1. Induksi angiotensin II terhadap faktor transkripsi menyebabkan peningkatan ekspresi MIF (Sun et al., 2004) dan berperan
pada
perkembangan
hipertensi
(Busche
et
al.,2001).
Konsekuensi klinis hal ini adalah peningkatan angiotensin II memengaruhi peningkatan tekanan darah dan memengaruhi peningkatan MIF.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast) dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan keratinosit). Pada tahun 1989,
MIF untuk pertama kalinya berhasil
dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin. Efek biologis utama MIF adalah immobilisasi sel sel fagosit mononuklear (makrofag) sehingga
makrofag menetap
di jaringan
(Arenberg dan Bucala, 2003) dan memicu makrofag untuk pengaturan sitokin pada sel-sel endotel (Cvetkovic dan Stosic, 2006). Selain memiliki aktivitas sitokin (Rosengren et al.,1996;Aeberli, Leech dan Morand, 2006), MIF juga memiliki aktivitas enzim yaitu tautomerase dan oksidoreduktase (Gambar 4).
Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul: 15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua rantai α yang dipisahkan oleh tiga rantai β. Terminal monomer terdiri dari terminal NH 3 (satu rantai β) dan terminal COOH (dua rantai β). Jadi konfigurasi setiap monomer adalah βαβββαββ (Arenberg dan Bucala,2003)
Universitas Sumatera Utara
Efek
lain
MIF
adalah
mengatur
kesensitivan
terhadap
glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakitpenyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al., 2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi MIF
pada dosis rendah/fisiologis. Sebaliknya, pada dosis tinggi
(konsentrasi glukokortikoid > 10-8 M) sekresi MIF dihambat sehingga mengikuti kurva bell shaped dose response (Lan, 2008). Peranan
glukokortikoid
terhadap
respons
imun
selular
menyebabkan penghambatan efek MIF sehingga makrofag dilepaskan dari jeratan di sekitar tempat pelepasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Sebaliknya, apabila telah dilepaskan dari sitoplasma makrofag/monosit atau sel-sel intrinsik
nonimun
maka
MIF
bekerja
antagonis
terhadap
efek
glukokortikoid dalam menekan pembentukan sitokin makrofag in vitro, misal TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 (Oppenheim, Ruscetti, dan Faltynek,2001). Keseluruhan sitokin ini akan memperantarai aktivasi dan pengambilan lekosit dari sirkulasi ke jaringan sehingga terjadi kerusakan ginjal (Lan, 2008). Respons inflamasi dan pengaturan sitokin diatur bersama MIF dan glukokortikoid (Calandra dan Roger, 2003; Aeberli et al., 2006). Glukokortikoid mampu menghambat sitokin pro-inflamasi, kemokin, molekul adhesi, dan enzim-enzim (Longui, 2007) melalui dua mekanisme utama yaitu genomik dan nongenomik (Elie et al., 2012). Efek intrasel glukokortikoid
dimulai ketika
glukokortikoid
berdifusi pasif
melalui
membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid intrasel.
Universitas Sumatera Utara
Kompleks
glukokortikoid-reseptor
bertranslokasi
ke
intisel
dalam
membentuk interaksi dengan sekuens DNA spesifik. Apabila MIF menghambat
ikatan
kompleks
glukokortikoid
dengan
reseptor
glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di intisel, kerja glukokortikoid akan terhambat pula. Sitokin MIF berperan dalam regulasi aktivitas imunosupresif dan antiinflamasi glukokortikoid melalui inhibisi jalur NF-kB. Pada ketiadaan MIF, glukokortikoid mencegah aktivasi NF-κB dengan cara meningkatkan ekspresi IκB yang mempertahankan NF-κB agar tetap inaktif di dalam sitosol (Ito,Chung dan Adcock,2006; Elly et al.,2012). Ekspresi berbagai gen respon inflamasi diatur oleh NF-κB sehingga menyebabkan respon abnormal sel T (Zhao et al., 2005). Penggunaan glukokortikoid menekan aktivasi NF-κB sehingga terjadi keseimbangan respon sel T (Grimbert et al., 2003). Selanjutnya, aksi antagonis MIF terhadap efek antiinflamasi glukokortikoid diperantarai dengan cara menghambat enzim mitogen activated protein kinase (MAPK) phosphatase (Aeberli & Yang et al., 2006). Enzim ini berperan dalam inaktivasi MAPK yang bertanggungjawab dalam proliferasi sel dan merupakan target kerja dari glukokortikoid. Mitogen activated protein kinase (MAPK) memunyai dua isoenzym, yaitu ERK (extracelluler signal regulated kinase) 1 / 2 dan aktivitas biologis pengaturan resistensi terhadap kortikosteroid (Aeberli et al., 2006; Lan, 2008; Cvetcovic & Stosic, 2006; Flaster et al., 2007). Defosforilasi dan inaktivasi MAPK diatur oleh angiotensin II. Studi in vitro menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa stimulasi terhadap angiotensin II akan menekan inaktivasi MAPK (Gasparo
et
al.,
2000).
Mekanisme
ini memengaruhi sensitifitas
glukokortikoid pada penderita resisten steroid. Aksi MIF sebagai antagonis aktivitas imunosupresif glukokortikoid secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini. Keseluruhan mekanisme MIF dalam efek antagonis terhadap glukokortikoid merupakan mekanisme utama MIF memperantarai kerusakan ginjal (Lan, 2008). MIF
Glukokortikoid
MIF
Ikatan reseptor glukokortikoid Sitosol
MAPK cPLA2
Inti sel
AP-1
NF-kB
IkB
Glukokortikoid respon elemen Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.
Peranan MIF mengatur produksi glukokortikoid ditunjukkan dengan pemberian antibodi anti-MIF pada hewan percobaan. Antibodi anti-MIF merupakan antibodi yang menetralkan efek MIF secara imunologis. Pada model tikus percobaan yang diberikan pengobatan dengan antibodi anti-
Universitas Sumatera Utara
MIF menunjukkan peningkatan kadar serum kortikosteron endogen yang lebih tinggi (sekitar 75 ng/mL) bila dibandingkan dengan kontrol (25 ng/mL) (p<0,05). Hal ini berkorelasi pula dengan perbaikan proteinuria, serum kreatinin, dan perbaikan kerusakan histologis (Yang et al., 1998). Konsentrasi basal serum MIF pada manusia berkisar antara 2-6 ng/mL. Hubungan sirkadian antara MIF dan kortisol pada subjek yang normal menunjukkan bahwa level MIF mencapai puncak sewaktu pagi (sekitar jam 08.00), sedangkan sitokin lain mencapai puncak sewaktu malam hari. Apabila diberikan oral kortison asetat (25 mg), akan terjadi peningkatan plasma MIF dalam jangka waktu 1-2 jam. Hal ini menunjukkan glukokortikoid menginduksi sekresi MIF pada dosis rendah. Sebaliknya, pada kondisi pemberian glukokortikoid dosis tinggi (injeksi deksametason 1 mg/jam selama 4 jam) maka level plasma MIF rendah dan bertahan tetap rendah selama 24 jam (Petrovsky et al., 2003). Penelitian lain membandingkan level
MIF serum pada pasien
penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol). Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [1188275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009). Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan, walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro / in vivo untuk memperoleh strategi target MIF (Morand,Leech dan
Universitas Sumatera Utara
Bernhagen,2006). Hal ini menunjukkan masih sulit memperoleh anti-MIF yang murni. Antibodi monoklonal maupun protein reseptor permukaan terhadap MIF telah dibuat secara biokimiawi sebagai anti-MIF (Leng et al.,2003). Oleh karena pendekatan metode untuk membuat anti MIF ini berbiaya tinggi dan hanya dapat diberi secara parenteral maka dikembangkan juga fungsi enzimatik MIF. Metode
penghambatan
enzim
tautomerase
dan
enzim
oksidoreduktase sebagai fungsi katalis MIF merupakan pilihan target terapi antiinflamasi MIF (Dios et al., 2002;Philo et al., 2004). Struktur homotrimer MIF memiliki kemiripan dengan enzim tautomerase yang mengubah dopachrome (2 carboxy 2,3 dihydroindole 5,6 quinone) menjadi 5,6 dihydroxyindole 2 carboxylic acid (Rosengren et al., 1996). Enzim ini dihambat
menggunakan
isothiocyanat
(sulforaphane),
yang
juga
menyebabkan penghambatan aktivitas MIF. Selain itu, MIF juga menunjukkan aktivitas enzim thiol-protein oksidoreduktase (Kleemann et al., 1998). Struktur molekul sebagai inhibitor enzim redoks ini juga menjadi alternatif terapi inhibisi MIF. Penemuan obat dengan menghambat enzim tersebut, memiliki harga yang lebih murah, antigenisitas rendah dan dapat diberi secara enteral maupun parenteral. 2.1.7 Hubungan Peningkatan MIF dan Kerusakan Ginjal.
Angiotensin II dengan
Peningkatan kadar MIF memunyai efek antagonis terhadap respons glukokortikoid. Selanjutnya, MIF memicu sitokin sitokin proinflamasi lain
Universitas Sumatera Utara
seperti TNF-α dan IL-1 sehingga terjadi penarikan dan aktivasi leukosit ke sel-sel intrinsik ginjal (Lan, 2008).Keseluruhan keadaan ini menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal (Gambar 6). Pada individu dengan resisten steroid belum terdapat data mengenai kadar serum MIF. Namun, penelitian yang menggunakan sel kultur diperkirakan berhubungan dengan peningkatan angiotensin II. Lebih 50% protein MIF
dilepas
sel kultur apabila terdapat peningkatan
angiotensin II (Rice et al., 2003).
Kerusakan awal di ginjal
Steroid
Peningkatan MIF
TNF-α
IL-1
Penarikan dan aktifasi lekosit
Kerusakan ginjal lebih lanjut
Gambar 6. Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal. Peningkatan MIF mempunyai efek antagonis terhadap respons glukokortikoid. Selanjutnya MIF memicu sitokin lain dan penarikan/aktivasi leukosit/makrofag ke sel-sel intrinsik ginjal.
Universitas Sumatera Utara
Hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita resisten steroid berperan penting dalam progresivitas kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et al.,2004;Meer et al,2010). Penderita SNRS memunyai risiko lebih besar mengalami PGK tahap akhir. Kebanyakan penyakit ginjal ditandai dengan adanya kerusakan awal, diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju kerusakan parenkim ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal ginjal (Djau et al., 2006). Hal ini mirip dengan penyakit kardiovaskular pada umumnya (Gambar 7). Remodelling
Infark myocard
Mikroalbu minuria
LVH
Dilatasi ventrikel
Makroalbu minuria
Disfungsi endotel Hipertensi
ANGIOTENSIN II
Payah jantung
Nefrotik proteinuria
Peny.jantung tahap akhir
PGK
Gambar 7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal. Angiotensin II memperantarai setiap tahap kerusakan ginjal yaitu peningkatan tekanan darah, disfungsi endotel, mikro-makroalbuminuria dan PGK tahap akhir. Keadaan ini juga mirip dengan kejadian pada penyakit kardiovaskular umumnya.
2.2
Kerangka Pemikiran dan Premis Hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan kadar
angiotensin II plasma dan MIF serum pada penderita SN resisten steroid belum pernah diteliti. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan penelitian tersebut dengan kerangka pemikiran di bawah ini. Gen MIF yang dikode untuk memproses protein MIF berperan penting dalam mengatur respon terhadap terapi steroid. Hubungan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan kadar MIF serum dengan polimorfisme gen MIF tidak dipengaruhi oleh kadar CRP (De Benedetti et al.,2003). Hal ini menunjukkan hubungan peningkatan kadar MIF dan polimorfisme gen MIF tidak dipengaruhi aktivitas inflamasi penyakit. Konsekuensi klinisnya adalah terjadi luaran klinis penyakit tersebut menjadi lebih jelek (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008). Pada anak penderita SN yang memiliki alel C gen MIF berisiko terjadinya hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap glukokortikoid eksogen oleh MIF (Aeberli et al., 2006;.Vivarelli et al.,2008). Respon ini diatur oleh angiotensin II yang menyebabkan peningkatan MIF (Sun et al., 2004). Peningkatan angiotensin II secara kronik pada keadaan nefrotik menyebabkan hipertensi, peningkatan permeabilitas glomerulus, dan peningkatan
albuminuria
(Herizi et
al.,1998).
Reabsorbsi albumin
menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik. Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi leukosit, dan hipertensi sistemik (Ruster dan Wolf, 2006). MIF berperan sebagai sitokin proinflamasi dan sekaligus bekerja sebagai kontraregulasi steroid. Sitokin-sitokin proinflamasi biasanya dihambat oleh glukokortikoid, sedangkan MIF dipicu oleh glukokortikoid dan bekerja sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sistem imun. Induksi kerusakan ginjal oleh MIF berkaitan dengan aksi antagonistik glukokortikoid (Morand, 2005; Flaster et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan kadar angiotensin II akan memicu peningkatan MIF (Rice et al., 2003) dan hal ini menimbulkan risiko hipertensi. Peningkatan MIF menyebabkan terapi steroid tidak bekerja maksimal sehingga menimbulkan risiko proteinuria menetap (Lan, 2008). Hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita resisten steroid berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita sensitif steroid. Pada penderita resisten steroid, hipertensi,dan proteinuria persisten berperan penting di dalam kerusakan ginjal lebih lanjut (Zandi-Nejad et al., 2004; Meer et al., 2010). Keduanya menyebabkan terjadi sklerosis pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan awal dari sel-sel intrinsik ginjal akan diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju kerusakan parenkim ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal ginjal. Penelusuran kerangka pemikiran di atas dapat dideduksi dalam rangkuman premis sebagai berikut: Premis 1. Polimorfisme -173 G ke C gen MIF berhubungan dengan faktor risiko terjadi SNRS (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008). Premis 2. Ekspresi gen MIF pada manusia dapat dikontrol oleh angiotensin II (Sun et al., 2004). Premis 3. Angiotensin II memicu peningkatan tekanan kapilar glomerulus dan peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus sehingga terjadi hipertensi dan proteinuria (Herizi et al.,1998; Ruster dan Wolf,2006)
Universitas Sumatera Utara
Premis 4. MIF merupakan sitokin proinflamasi yang bekerja paling atas pada kaskade inflamasi dan sekaligus bersifat antagonis steroid (Morand, 2005; Flaster et al., 2007). Premis 5. Peningkatan kadar angiotensin II dan MIF menyebabkan terjadi hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Lan, 2008). Premis 6. Hipertensi dan proteinuria menetap merupakan penyebab terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada penderita SNRS (Zandi-Nejad et al., 2004; Djau et al., 2006; Meer et al., 2010) sehingga luaran klinis lebih jelek daripada SNSS..
Universitas Sumatera Utara
2.3
Kerangka Konsep Penelitian Risiko seorang anak penderita SN menjadi resistan steroid
dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya faktor genetik, keberadaan infeksi/inflamasi gambaran patologi anatomi, usia, ada/tidaknya hematuria, dan keberadaan hipertensi. Faktor faktor tersebut saling berhubungan sehingga tata laksana SNRS yang adekuat agar anak terhindar dari PGK stadium akhir, masih terus dikembangkan. Glukokortikoid
masih
menjadi
pengobatan
utama
SN
dan
keberadaan resistensi terhadap obat ini telah lama dikenal. Subjek penderita SN yang memiliki alel C gen -173 MIF berisiko menjadi resisten steroid dibandingkan dengan alel G homozigot. Hal ini dikaitkan dengan efek MIF sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sel. Walaupun jumlah dosis steroid cukup besar, manfaat untuk mengatasi proteinuria terbatas. Individu dengan alel C gen MIF menghasilkan kadar sitokin MIF yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu alel G homozigot. Sepanjang pengetahuan peneliti, pada penderita SNRS belum ada data mengenai kadar sitokin MIF serum. Padahal, kadar ini penting karena konsentrasi yang tinggi dapat menghambat kerja glukokortikoid di dalam sel. Keberadaan MIF menurunkan sensitivitas glukokortikoid, sedangkan ketiadaan MIF meningkatkan sensitivitas terhadap glukokortikoid. Hal ini terjadi pada binatang percobaan, tetapi pada manusia belum diketahui. Secara in vitro lebih dari 50% protein MIF akan dilepas pada sel kultur apabila terdapat peningkatan kadar angiotensin II. Artinya, angiotensin II berhubungan terhadap pengeluaran sitokin MIF dari dalam
Universitas Sumatera Utara
sel ke luar sel. Pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat ekspresi gen) angiotensin II mengatur regulasi gen MIF dan perkembangan hipertensi. Penderita
SNRS
yang
mengalami
hipertensi
akan
terjadi
peningkatan tekanan filtrasi kapiler glomerulus dan proteinuria menetap. Proteinuria menetap dan hipertensi memengaruhi perjalanan penderita SNRS (tubuloglomerular sklerosis) hingga menuju tahap akhir PGK (Gambar 8). Keberadaan plasma angiotensin II dan serum MIF di sirkulasi berkorelasi dengan hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita SNRS. Kejadian ini telah dibuktikan pada hewan percobaan, tetapi pada subjek manusia belum ada dilakukan penelitian. 2.4
Hipotesis Penelitian
2.4.1
Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS daripada SNSS dan anak sehat (Premis 1,2).
2.4.2
Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak SNSS dan anak sehat (Premis 3,4,5).
2.4.3
Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak SNSS dan anak sehat (Premis 5,6).
2.4.4
Terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin II plasma (Premis 5,6).
2.4.5
Polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma, dan peningkatan kadar MIF serum secara bersamasama dengan hipertensi merupakan faktor risiko SNRS (premis 1,2,5,6).
Universitas Sumatera Utara
Polimorfisme alel C -173 gen MIF
Faktor genetik
Kadar MIF meningkat
Angiotensin II meningkat
Infeksi/inflamasi
Kontrol syaraf
Mekanisme pressure – diuresis natriuresis
Norepinefrin Vasopressin Peningkatan tekanan filtrasi kapilar
Efek antagonis glukokortikoid Gambaran patologi anatomi
Hipertensi SN RESISTEN STEROID
Usia
Proteinuria menetap Hematuria Gangguan struktur dan fungsi ginjal
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian. Alel C merupakan faktor genetik pada individu yang dihubungkan dengan peningkatan kadar sitokin MIF di sirkulasi dan reaksi antagonis pada glukokortikoid. Hal ini berkorelasi dengan kadar angiotensin II sistemik dan persistensinya menimbulkan hiperfiltrasi/hipertensi glomerular serta peningkatan tekanan filtrasi kapilar. Peranan angiotensin II sistemik terhadap mekanisme pressure-diuresis-natriuresis dan peningkatan tekanan filtrasi kapilar di samping kontrol saraf, merupakan faktor risiko resisten steroid sehingga terjadi proteinuria menetap. Faktor lain yang perlu diwaspadai juga adalah infeksi/inflamasi, gambaran patologi anatomi, usia, dan keberadaan hematuria. Hipertensi dan proteinuria menetap menimbulkan gangguan struktur dan fungsi ginjal (tubuloglomerular sklerosis) dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan setelah awitan proteinuria. Keterangan: = kerangka kerja penelitian; = hubungan langsung; = hubungan tidak langsung
Universitas Sumatera Utara