10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskriptif Teori 2.1.1 Nyeri Sindroma Miofasial M Supraspinatus 2.1.1.1 Definisi Nyeri Sindroma Miofasial M Suprapinatus Banyak istilah yang sering dipakai dalam praktek klinis sehari-hari untuk menggambarkan kondisi sindroma nyeri miofasial atau myofascial pain syndrome seperti myofascial trigger point syndrome, myofascitis, fibrositis,
tension
myalgia,
muscular
rheumatism,
nonarticular
rheumatism, overuse syndrome dengan pengertian yang sama ataupun jelas jauh berbeda. Sedangkan sindroma nyeri miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger point) (Shea, 2007). Sindroma miofasial otot supraspinatus adalah suatu kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif yang disebut sebagai trigger area pada otot atau jaringan ikat longgar pada bahu yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri yang spesifik pada daerah-daerah yang berhubungan dengan titik picu pada saat trigger area diberi suatu rangsangan. Sindroma tadi dicirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stiffness (kekuatan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi yang
10
11
umumnya gejala yang timbul cukup jauh dari trigger area pada kasus ini ciri-ciri tadi ditemukan khusus pada bahu (Shea, 2007). 2.1.1.2 Penyebab Sindroma Miofasial Otot Supraspinatus Penyebab terjadinya nyeri miofasial otot supraspinatus disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Trauma makro pada struktur miofasial Cedera akut pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger area ini dapat diartikan sebagai daerah yang kecil terbatas tegas dan hipersensitif pada otot atau jaringan ikat (connective tissue) dimana bila daerah tersebut diberi rangsangan atau penekanan akan menimbulkan nyeri lokal dan juga menyerang sistem saraf pusat yang menimbulkan nyeri yang menjalar (reffered pain). Disebut trigger area karena perangsangannya (Sugijanto, 2008). 2. Trauma Mikro Akibat tambahan dari trauma makro yang hebat menimbulkan serangan gejala yang jelas dan timbul dengan cepat, trauma dari cidera yang ringan juga dapat memainkan peranan yang sama pentingnya. Trauma yang ringan terdapat hubungan antara cidera dengan sindroma nyeri tidak begitu jelas terlihat dan hubungan tersebut dapat diabaikan karena gejala yang timbul secara bertahap. Walaupun frekuensinya jarang diakui tetapi hal ini sama pentingnya sebagai penyebab nyeri miofasial adalah trauma mikro yang berulang-ulang (Repetitive Injury) akibat aktifitas sehari-hari dan strains otot khususnya pada individu
12
dengan kegiatan yang sama dan menetap setiap harinya pada usia di atas 35 tahun (Sugijanto, 2008). 3. Hal yang lain a. Tonus otot meningkat dalam waktu lama sehingga terjadi iskemik dan menimbulkan nyeri miofasial yang ditimbulkan akibat kelelahan otot yang berat, kondisi-kondisi arthrosis, cidera saraf, postur yang berat dan masalah neuromuskuloskelatal yang lain seperti adanya pada daerah servikal dan upper thorakal b. Guardian spain akibat patologi jaringan sekitarnya seperti scoliosis, kifosis, lordosis dan juga akibat adanya disfungsi organ-organ dalam tubuh. Kelelahan yang umum dan rendahnya tingkat metabolisme dengan ketidakseimbangan kimiawi, infeksi kronis dan stress psikogenik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya trigger area (Sugijanto, 2008). 2.1.1.3 Tanda dan Gejala Sindroma Miofasial Otot Supraspinatus 1. Nyeri yang terlokalisir pada otot supraspinatus. 2. Terdapat taut band pada otot dan fasia serta jaringan ikat longgar (connective tissue). 3. Reffered pain, adanya inflamasi yang menurunkan ambang rangsang nosisensorik sehingga bila diprovokasi ringan akan menimbulkan nyeri lokal. Pada inflamasi yang kronis atau inflamasi yang aktualitas tinggi ambang rangsang nosi sensorik mencapai maksimal sehingga dengan stimulasi nosi sensorik akan terjadi nyeri yang hebat.
13
4. Titik tenderness pada satu tempat sepanjang taut band yang disebut sebagai trigger point/jump sign. 5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendiri. 6. Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit. 7. Gangguan gerak dan fungsi pada bahu 2.1.1.4 Proses Patologi 1. Cedera langsung pada otot supraspinatus akan terjadi inflamasi pada jaringan fasia dan myofibril akan terjadi proses inflamasi yang diikuti proses regenerasi dengan perlengketan (adhesive) antara jaringan fasia dan myofibril sehingga terjadi gejala adanya taut band. 2. Mikro nyeri cedera yang kecil saraf komulatif akan menimbulkan inflamasi yang kronis meningkat dan bisa mendekati cedera makro. 3. Tonus otot yang meningkat akan menimbulkan iskemik pada pembuluh darah dalam otot tersebut akibatnya akan terjadi nekrosis jaringan secara mikrosirkulasi yang selanjutnya akan terjadi proses inflamasi. 4. Inflamasi akan merangsang saraf nosisensorik terutama nodul (C) sehingga terjadi penurunan ambang rangsang. 5. Kasus kronis diatas akan terjadi peningkatan aktifitas simpatis lokal yang berakibat penururnan mikrosirkulasi dan sensitasi mengakibatkan tambah kronis dan tambah nyeri (Sugijanto, 2008).
14
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Otot Supraspinatus 2.1.2.1 Shoulder Complex Merupakan ball and socket joint dibentuk oleh glenoid cavity yang konkaf menghadap ke lateral serong ke ventrocranical dengan caput humeri yang berbentuk konfeks. Memiliki 3 derajat kebebasan gerak dalam 3 bidang gerak dan 3 sumbu utama: sumbu transversal mengontrol gerak fleksi-ekstensi dalam bidang sagital, sumbu antero-posterior mengontrol gerak adduksi dalam bidang frontal, sumbu vertikal mengontrol gerak fleksi-ektensi dalam bidang horizontal pada posisi lengan abduksi 90°, pada sumbu longitudinal humerus terjadi gerak rotasi (Sugijanto, 2008). Gerak fisiologis flexion-extension ROM. Fleksi = 180° bersamaan rotasi internal, external: 30°-45° stretched end feel (elastik) dan gerak osteokinematiknya
yang
utama
berupa
rotasi
spin.
Gerak
artrokinematiknya yang utama spin (Sugijanto, 2008). Gerak fisiologis abduksi dalam bidang frontal dengan ROM 90° dan end feel elastic harder. Gerak arthrokinematiknya berupa caudal translation. Gerak fisiologis internal rotation dalam bidang transversal dengan ROM 90° dan elastic end feel. Gerak arthrokinematiknya berupa dorsal translation.
15
Gerak fisiologis internal rotation dalam bidang transversal dengan ROM 80° dan elastic end feel serta dengan gerak arthrokinematiknya berupa ventral translation. Gerak fisiologis horizontal abduction dan horisontal adduction dalam bidang transversal ROM 120° dan 30° dengan elastic end feel gerak arthrokinematiknya berupa ventral translation dan dorsal translation (Sugijanto, 2008). Seluruh komponen di atas memiliki gerak arthrokinematik traction dengan arah lateral serong ventrokranical. Maximally lose pack station adalah: posisi dimana kekenduran capsulo ligamentairnya maksimal, yaitu fexion, abduction ± 30° dan sedikit internal rotation (Sugijanto, 2008). Close pack position adalah: posisi sendi dimana terjadi penguncian permukaan sendi atau koaptasi maksimal yaitu posisi abduction flexion penuh (Sugijanto, 2008). Capsular pattern adalah: keterbatasan gerak sendi sebagai akibat pemendekan seluruh kapsulo ligamentair, yaitu dengan pola ROM : rotasi eksternal < abduksi < rotasi internal. 2.1.2.2 Suprahumeral Joint Bukan merupakan sendi yang sebenarnya tetapi merupakan celah antara acromion pada bagian atas dan head of humeri bagian bawah.
16
Terdapat bursa subdeltoidea atau subakromialis dan rotator cuff yang terdiri atas otot subscapularis, otot supraspinatus dan otot infraspinatus serta tendon long head biceps. Elevation terjadi benturan antara head of humerus dengan rotasi dengan humerus eksternal rotasi dan atau scapular (Sugijanto, 2008). 2.1.2.3 Scapulohumeral Rhythm Merupakan gerakan shoulder abduction – elevation dan juga selama fleksi terjadi gerakan osteokenematik yang proporsional antara humerus dan scapula. Gerakan abduksi 0-30° terjadi gerak humerus 30° sementara skapula pada posisi tetap atau bahkan sedikit adduksi. Pada 30°-60° terjadi gerakan yang proporsional antara abduksi humerus: scapula sebesar 2:1. Selanjutnya pada abduksi 60°-120° juga terjadi humerus eksternal rotasi secara bertahap sebesar 90° karena menghindari benturan akromion dengan kaput humeri. Sementara gerak proporsional antara humerus dengan scapula 2:1. Pada abduksi 120°-180° gerak proporsional tersebut tetap berlanjut. Pada ring ini mulai terjadi gerakan intervertebral dan kosta bermakna pada akhir gerakan. 2.1.2.4 Painful Arc pada scapula humeral rhythm Painful Arc adalah nyeri atau perubahan pola gerakan akibat nyeri yang terjadi pada abduksi–elevasi 60°-120°, hal ini karena rangsangan nyeri pada jaringan suprahumeral, termasuk tendon otot supraspinatus
17
yang sensitif akibat miofasial sindrom otot supraspinatus. (Sugijanto, 2008)
2.1.2.5 Otot-Otot Rotator Cuff 1. Musculus Supraspinatus Dimulainya dari fossa supraspinata dan otot ini melewati kapsula artikularis dan bersatu untuk mencapai fasies superior tuberculum mayus. Otot ini memperkuat humerus pada lekuk sendi, menegangkan kapsula artikularis dan abduksi lengan. Kadang-kadang terdapat bursa sinovial dekat cavitas glenoidalis. Persyaratan: n. supraskapularis (C4-C6). Kepentingan klinik: tendonopati m. supraspinatus disebabkan regangan berlebihan atau trauma yang sering terjadi. Tendonopati ini berhubungan dengan klasifikasi pada tendon dekat tuberkulus mayus dan menimbulkan rasa nyeri hebat pada abduksi setelah usia 40 tahun ruptur tendon juga sering terjadi. 2. Musculus Infraspinatus Dimulai dari fossa intraspinata, spina scapula dan fasia infraspinata dan berjalan menuju tuberculum majus : permukaan tengah, m infrasipantus memperkuat kapsula artikularis sendi bahu, fungsi utamanya adalah rotasi eksterna lengan. Dekat dengan lekuk sendi sering terdapat bursa subtendinea m. infraspinatus. Persyaratan: n. suprascapularis (C4C6) variasi : seringkali bergabung dengan m. teres minor.
18
3. Musculus Subskapularis Berasal dari fossa subskapularis dan berinsertio pada tuberculum minor dan pada bagian proximal krista tubercoli minoris. Dekat perlekatan antara m. subskapularis dan kapsula artikularis terdapat bursa subtendinea m. subskapularis dan diantara bursa tendinea dan basis processus coracoideus terletak bursa sub coracoidea. Kedua bursa berhubungan dengan cavum articularis. Otot ini bekerja untuk rotasi medialis lengan atas. Persyaratan – persyaratan n. subskapularis ( C5-C8). Kepentingan klinik : paralis m subskapularis mengakibatkan maksimal rotasi lateralis (eksternalis) anggota badan atas, yang menunjukkan bahwa otot ini adalah rotator medialis kuat lengan atas.
4. Musculus Teres Minor Dimulai dari pinggir lateral skapula superior terhadap origo m. teres major dan berinsertio pada permukaan bawah tuberkulum mayus. Otot ini bekerja sebagai rotasi lateral lengan yang lemah persarafan: n. aksillaris (sirkumfleksa) (C5-C6) variasi: otot ini dapat bersatu dengan m intraspinatis.
19
Gambar 2.1 : otot-otot rotator cuff Sumber : (Sobotta, 2002) 2.1.2.6 Histologi Muskuler Penyebab terjadinya sindroma miofasial maka terlebih dahulu seorang fisioterapis harus memahami dengan benar-benar dari anatomi fisiologi otot, sehingga mengetahui dimana letak dan penyebab terjadinya sindroma miofasial. Tubuh manusia terdiri dari beberapa otot dibagi menjadi tiga bagian terdiri dari otot polos, otot jantung dan otot rangka. Maka yang akan dibahas lebih dalam 11-20 lagi yang berhubungan dengan kondisi sindroma miofasial ini adalah otot rangka dan selubung otot yaitu fasia. 2.1.2.6.1 Otot Rangka Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan “balok penyusun” (building blocks) sistem otot dalam arti yang sama dengan neuron merupakan balok penyusun sistem saraf. Hampir seluruh otot
20
rangka berawal dan berkahir ditendo dan serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendo, sehingga daya kontraksi setiap unit akan saling menguatkan. Setiap serta otot merupakan satu sel otot yang berinti banyak, memanjang, silinder dan diliputi oleh membran sel yang dianamakn sarkolema. Antara sel-selnya tidak terdapat jembatan sinsition. Serat-serat otot tersusun atas miofibril yang terbagi menjadi filamenfilamen. Filamen-filamen ini tersusun dari protein-protein kontraktil. Mekanisme kontraktil otot rangka tergantung dari protein miosin (berat molekul 460.000), aktin (berat molekul 43.000), tropomiosin berat molekul 70.000 dan troponin dengan berat molekul 18.000 – 35.000 dan terdiri dari troponin I,T,C. Filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua jenis yaitu filamen tipis (yang tersusun dari aktin, tropomiosin dan troponin) dan filamen tebal yang tersusun dari miosin yang berkaitan dengan aktin. Jenis miosin yang terdapat pada otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk globular serta ekor yang panjang. Serabut otot dikelilingi oleh struktur yang terbentuk dari membran yang tampak sebagai vesikel dan tubulis. Struktur ini membentuk sistem sarkotubuler yang terdiri atas sistem I dan retikulum sarkoplasmik. Sistem T merupakan kalanjutan dari membran serat otot yang membentuk jaringan berlubang pada tiap fibril yang berfungsi menghantar potensial aksi dengan kecepatan tinggi dari membran sel ke seluruh fibril otot. Retikulum sorkoplasmik membentuk substansi secara acak mengelilingi
21
fibril dengan bentuk tak beraturan dan melebar pada bagian ujung yang disebut sebagai sisterna terminal dan berfungsi dalam proses perpindahan ion C²+ dan metabolisme otot. Tipe Serabut Otot Serabut otot memiliki dua tipe otot yang berbeda, dimana kedua tipe serabut otot tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda pula dengan mengetahui dan memahami dari kedua tipe serabut otot yaitu: 1) Tipe I (slow twitch) Disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, yang banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria (tahan lama terhadap tahanan). Yang berfungsi untuk mempertahankan sikap, kelainan tipe otot ini cenderung tegang dan memendek diantaranya adalah otot-otot postural seperti m. Quadratus lumborum, group ekstensor trunk yang terdiri diantaranya adalah m.erector spine, m.Longisimus thoraksis, m. Rotatores, m. Multifidus, group fleksor panggul yang meliputi : m. Illopsoas, m. Tensor fascia latae, m. Rektus femoris, group ekssorotasi panggul yang meliputi m. Piriformis, m. Adduktur panggul, group hamstring dan m. Gastrocnemius dan soleus. 2) Tipe II (fast twitch) atau botot pashik Disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat, yang banyak mengandung myofibril (tidak tahan lama terhadap tekanan), durasi kontraksi lebih pendek dan menghasilkan gerakan-gerakan halus dengan keterampilan gerak, yang berfungsi untuk gerakan cepat
22
dan kuat, yang berasal dari dua macam serabut yaitu serabut otot tipe 2A yang kelelahannya rata-rata intermediate (sedang) dan serabut tipe 2B yang kelelahannya sangat cepat. Kelainan tipe otot ini cenderung lemah
dan
lembek
diantaranya
adalah
otot-otot
perut,
otot
gasroknemius, otot gluteus maksimus dan minimus, otot peroneal, otot tibialis anterior, otot extra ocular dan otot-otot tangan. Tabel.2.1. Klasifikasi serabut otot skelet No
Karakteristik
Tipe I (Red)
1.
Myosin AT Pase activity
Low
2.
Contraction and relaxation Slow
Tipe II (White) High Fast
rate/tension 3.
Type contraction
Tonik
Phasic
4.
Muscle function
Stabilizer/postural
Mobilizer
5.
Fatique
Resistent
Fast
6.
Myoglobin and capillary
High/Red
Low/Red
7.
Mitochondria
Many
Few
8.
Metabolism
Aerobic/oxidative
Anaerob/glicolitic
9.
Diameter
27 mcm
44 mcm
10. Blood Supplay
Extensive
Less extensive
11. Motor and plate
Smaller
Larger
12. Nerve fiber diameter
Smaller
Larger
13. Motor unit size
Smaller
Larger
14. Contraction time
85 ml second
15. Nerve conduction velocity
Low
16. Endurance
Long
sustained Fatique easly
contraction 17. Function
Jalan,maraton,ADL
Rapid, high power suddent contraction
Sumber : (Guyton, 2007)
23
Guyton (2007) telah mengidentifikasi perbedaan serabut fast twith dan slow twitch sebagai berikut : -
Serabut otot fast twitch : serabut-serabut lebih besar untuk kekuatan konstraksi yang besar, retikulum sarkoplasma yang luas sehingga cepat melepaskan ion-ion kalsium untuk memulai kontraksi otot, enzim glikolitik yang banyak untuk pengeluaran energi yang cepat melalui proses glikolitik. Persediaan darah yang tidak terlalu luas karena metabolisme oksidatif tidak begitu penting.
-
Serabut otot slow twitch: serabut-serabutnya lebih kecil, juga disarafi oleh serabut saraf yang lebih kecil, sistem pembuluh darah lebih
luas
untuk
menyediakan
oksigen
ekstra,
besarnya
mitokondria, juga sangat membantu metabolisme oksidatif, serabut-serabut mengandung sejumlah besar mioglobin sel-sel darah
merah.
Mioglobin
bergabung
dengan
oksigen
dan
menyimpannya di dalam sel otot sampai oksigen tersebut diperlukan oleh mitokondria. -
Adapun type dari pada otot supraspinatus tersebut adalah otot dengan tipe tonik/ otot tipe I yang berfungsi sebagai stabilisator / mempertahankan sikap tubuh dengan mekanisme kerja otot dan respon yang lambat, masa laten yang panjang sehingga dapat beradaptasi pada konstarksi yang panjang/lama. Kemampuan tipe otot ini dalam pemompaan Ca2+ retikulum sarkoplasmiknya juga
24
sedang dan kapasitas oksidasi yang tinggi berhubung otot tipe I ini mempunyai kandungan mitokondria, kepadatan kapiler dan kandungan mioglobin yang besar dibanding dengan otot tipe II. Secara mikroskopis otot ini mempunyai warna merah. Dalam hal ini otot yang ingin ditangani yang mengalami kondisi sindroma miofasial antara lain adalah otot supraspinatus. b. Jaringan Miofasial Sehatnya
jaringan
miofasial
memungkinkan
adanya
keseimbangan antara kompresi dan ketegangan rileksasi. Di dalam jaringan miofasial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar (ground substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai alat transportasi yang memindahkan zat nutrient dari daerah dimana makanan dipecahkan ke daerah dimana zat gizi tersebut diperlukan, juga berfungsi untuk mengangkut zat-zat metabolisme, merubah konsistensi gelatin bebas ke gel form (busa gel) sehingga apabila terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan mengeras dan kegilangan elastisitas sehingga pada akhirnya miofasial akan mengalami ketegangan untuk mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga dari pembentukan perlengkapan (microadhession) serta menjaga jaringan agar tetap fleksibel. c. Fascia Fascia merupakan jaringan ikat longgar (connective tissue) dan tersebar di sepanjang tubuh. Fascia membungkus setiap otot,
25
tulang,saraf, pembuluh darah dan organ tubuh. Fascia terdiri atas substansi dasar dan dua serabut dasar protein. Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai pelumas yang mengijinkan serabut mudah bergeser satu sama lain dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam satu ikatan. Dua macam serabut dasar protein yaitu jaringan ikat kolagen dan jaringan ikat elastik. Jaringan ikat kolagen terdiri atas sebagian besar kolagen ikat elastik terdiri atas sebagian besar elastin yang mengijinkan adanya elastisitas. Berdasarkan tempat dimana fasia ditemukan dalam otot, maka fascia dibedakan menjadi : -
Epymisium merupakan jaringan fascia yang terluas yang mengikat seluruh fascikel.
-
Perimysium merupakan jaringan fascia
yang membungkus
sekelompok serabut otot ke dalam individual fasikuli. -
Endomysium
merupakan
jaringan
fasial
terdalam
yang
membungkus individual otot. Fascia akan lebih tebal dan padat pada beberapa daerah dibandingkan dengan daerah lain. Kepadatan dan ketebalan fascial sangat mudah dikenali dan terlihat seperti membran putih yang kuat seperti yang sering kita lihat pada potongan daging. Sehatnya jaringan miofasial memungkinkan adanya keseimbangan antara kompresi dan ketegangan dengan relaksasi.
26
Jaringan miofasial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar (ground substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai alat transport yang memindahkan nutrisi atau zat gizi dari daerah dimana makanan dipecahkan ke darah dimana zat gizi ini dibutuhkan, mengangkut zat-zat metabolisme, merubah konsistensi gelatin bebas ke gel-foam (busa-gel) sehingga apabila terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan menjadi mengeras dan kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya miofascial akan mengalami ketegangan mempertahankan jarak antar serabut ikat sehingga terjadi dari pembentukan perlengkapan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap fleksibel.
Gambar 2.2. : Struktural Skeletal Muscle Sumber : (Guyton, 1997)
27
2.1.2.7.
Fisiologi Muskular Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial
pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga tercetusnya suatu potensial aksi pada serat otot. Penyebaran depolarisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan pelepasan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses tadi menyebabkan terbentuknya ikatan silang (cross link) antara aktin dan miosin dan terjadi pergeseran filamen tipis pada filemen tebal (pemendekan atau kontraksi). Ada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin sehingga interaksi antara aktin dan misin berhenti.
Gambar 2.3 : Mekanisme Kontraksi Otot Sumber : (Meyers, 2001)
28
2.1.2.8 Pathofisiologi Nyeri Sindroma Miofasial Otot Supraspinatus Otot supraspinatus merupakan otot postural atau otot tonik yang bekerja melakukan gerakan abduksi bahu. Kerja otot ini akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan makro trauma. Trauma makro akibat kontraksi otot yang cepat dan kuat akan menimbulkan kerobekan jaringan otot demikian pula trauma repelitip secara komulatif akan menimbulkan kerobekan jaringan otot. Penyebab ini akan terjadi proses inflamasi dan regenerasi sebagai berikut: cedera jaringan akan mengeluarkan zat kimia algogen seperti serotonin, prostaglandin, istamin, bradikinin.Zat algogen akan menimbulkan reaksi delatasi kapiler, sensitasi saraf nosi sensoris sehingga timbul sensasi nyeri lokal. Akibat sensitasi tersebut akan dibawa ke ganglion spinalis dan merangsang produksi “ P “ substance yang kemudian di transport ke perifer dan menimbulkan delatasi kapiler yang lebih luas, sementara di area ke medulla spinalis akan menimbulkan sensitasi dan ketraktus spirotalaminikus untuk selanjutnya ke pusat nyeri di otak. Proses inflamasi, diikuti proses regenerasi jaringan kolagen. Posisi bahu rendah menyebabkan kontraksi otot supraspinatus terus-menerus sehingga menimbulkan iskemik jaringan otot sehingga menimbulkan mikrosis jaringan dan terjadi inflamasi selanjutnya inflamasi terjadi proses vicous cicle.
29
Proses penyembuhan jaringan terjadi mekanisme penumpukkan kolagen ( jaringan fibrous ) yang akan menimbulkan perlengketan antara myofibril dan fasia. Ambang rangsang nosi sensoris rendah akan menimbulkan tender point yaitu pada jaringan tersebut di provokasi akan terjadi nyeri lokal. Bila ambang rangsang nosi sensorik menjadi nol akan terjadi trigger point dan taut band. Rasa nyeri umumnya pasien enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga berada pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur. Terbentuk taut band dan trigger point. Pada serabut saraf terjadi peningkatan mekanisme refleks segmental dan supra segmental seperti adanya spasme otot, hiperaktivitas vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan tenderness lokal dan nyeri rujukan. Jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka akan terjadi perubahan pada substansi dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal sebagai glikoaminoglikan. Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling berdempetan, ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah
30
molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomik kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen secara fisiologis timbul perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Akibatnya menurunkan jarak kritis pada area ini. Disamping itu aliran darah pada area ini juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia sehingga mencetuskan timbulnya nyeri.
Gambar 2.4 : kondisi sprain/strain miofasial Sumber : (Myers,2001)
31
2.1.2.9 Difisit Gerakan dan Fungsional Sindroma miofasial m. supraspinatus dapat terjadi defisit gerak dan fungsi sebagai berikut: Sensasi nyeri yang menyebar berupa terjadi bila otak kontraksi akan dirasakan nyeri menjalar dengan pola tertentu. Lengan cenderung ke atas sehingga ruang suprahumeral sempit, sehingga gerak sendi bahu menjadi terbatas dan timbul gejala kaku sendi, ketegangan otot, muscle taut band dan muscle twist m. supraspinatus
2.1.3 Nyeri 2.1.3.1 Pengertian Menurut Internasional For The Study Of Pain, nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan atau menggambarkan adanya kerusakan jaringan. Nyeri juga merupakan suatu refleks untuk menghindari rangsangan dari luar badan, atau melindungi dari semacam bahaya, tetapi perasaan nyeri itu terlalu keras atau berlangsung terlalu lama akan berakibat tidak baik bagi badan. Kerusakan jaringan sebagai sumber stimulasi nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologi
yang
(Satya Negara, 1978).
secara
kolektif
disebut
nocisepsi
32
2.1.3.2 Proses yang terjadi pada nocisepsi yaitu : 1. Proses transduksi (transduction) Merupakan proses dimana stimulasi nyeri diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimulus ini bisa berupa stimulasi fisik mekanik (tekanan), termis (panas dan dingin) atau kimiawi (substansi nyeri). 2. Proses transmisi (transmission) Penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut saraf C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis dimana bimpuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensorik dikortek serebri melalui neuron ketiga dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri
Gambar 2.5 : Proses pengiriman impuls rasa nyeri Sumber : (Chaitow, 2003).
33
3. Proses modulasi (modulation) Proses dimana terjadi interaksi antara system analgesic endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesic endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin dan adrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri. Proses perjalanan nyeri sampai terjadi sensasi melalui modulasi dalam 4 tingkat yaitu: a.
Level sensorik Terjadi
kerusakan
jaringan,
maka
sel-sel
yang
rusak
melepaskan zat-zat kimiawi seperti prostaglandin, histamine dan bradikinin. Zat-zat iritan yang meningkatkan sensitivitas nosiseptor sehingga timbul nyeri hebat atau hiperalgesia. Selama proses peradangan, juga terjadi ketidak seimbangan ion pada membran sel saraf dimana ion Na+ cenderung terakumulasi didalam sel sehingga terbentuk aksi potensial yang terus menerus pada serabut aferen Adelta dan C. Semakin besar aktivitas serabut aferent A-delta dan C maka semakin cepat konduksinya. Modulasi nyeri melalui level sensorik dapat dicapai dengan mengangkut zat-zat algogen, mengaktifkan kembali sodium potassium pump sehingga tercipta keseimbangan ion secara normal, dengan demikian terjadi penurunan aksi potensial serabut afferent A-delta dan
34
C serta menghambat atau memperlambat konduktivitas serabut afferent tersebut. b.
Level Spinal Stimulus fisik-mekanik, thermis dan kimiawi yang dapat menimbulkan nyeri menyebabkan aksi potensial dari ujung-ujung saraf sensoris. Stimulus nyeri tersebut menjadi aktivitas listrik yang disebut dengan impuls nyeri. Impuls tersebut dibawa ke kornu posterior medulla spinalis melalui serabut afferen A-delta dan C. Serabut saraf afferen A-delta dan C merupakan serabut saraf nyeri yang berdiameter kecil. Serabut saraf A-delta memiliki myelin tipis, sedangkan serabut saraf C tidak bermyelin sehingga konduksi serabut saraf afferen Adelta lebih besar dari serabut saraf afferent C. Nyeri akut, nyeri pertama dibawa oleh serabut afferent A-delta dengan sifat nyeri yang terlokalisir dan lebih khas, sedangkan nyeri kedua dibawa oleh serabut afferent C dengan sifat nyeri yang menyebar (difusi) dan kurang khas. Modulasi nyeri pada level spinal diarahkan pada stimulasi terhadap serabut saraf afferent A-beta dan propiosepsi yang berdiameter besar untuk memblokade impuls-impuls nyeri yang dibawa oleh serabut afferent A-delta dan C di kornu posterior medulla spinalis. Menurut gate control teori bahwa T-cell dan substansia gelatinosa yang terdapat pada lamina II kornu posterior medulla spinalis disebut dengan neuron kedua (second order neuron),
35
sedangkan serabut afferent A-beta dan propiosepsi serta A-delta dan C disebut sebagai neuron pertama (first order neuron).
Gambar 2.6: Gate Control Theory Sumber : (Prentice, 2003) Mekanisme neurofisiologinya adalah ketika subtansia gelatinos aktif akibat adanya aktifitas di serabut afferent A-beta dan propiosepsi akan menutup pintu gerbang (gate) sehingga sejumlah impuls nyeri menurun terhambat ke T-cell. Aktivitas T-cell akan meningkat jika serabut afferent A-delta dan C aktif dan subtansia geltinosa menurun aktifitsnya sehingga pintu gerbang. c.
Level Supra Spinal Modulasi nyeri pada level supraspinal melibatkan sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin dan adrenalin dimana memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu
36
posterior medulla spinalis. Pelepasan sistem analgesik endogen oleh tubuh dipengaruhi oleh stimulasi pada serabut saraf afferen yang berdiameter kecil (serabut A-delta dan C). Adanya serabut saraf afferen A-delta dan C dapat merangsang pelepasan sistem analgesik endogen dan analgesik endogen tersebut dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis sehingga menutup pintu gerbang pada kornu posterior. Modulasi nyeri pada level supraspinalis dapat dihasilkan oleh modalitas fisioterapi, yaitu Ultrasonik dan transfer friction dengan efek mekaniknya dapat merangsang serabut afferen A-delta dan C sehingga memicu pelepasan system analgesic endogen oleh tubuh. d.
Level Sentral Modulasi nyeri pada level sentral melibatkan sistem limbik sebagai pusat emosional. Proses terakhir dari rangkaian proses nosisepsi adalah persepsi. Persepsi merupakan cara seseorang memperlakukan secara aktual nyeri yang diraskaannya, yang mencakupsifat/tingkah laku yang kompleks, psikis dan faktor emosional. Keadaan emosional yang tinggi mencakup rasa takut yang berlebihan atau gembira, kadang-kadang secara temporer dapat memblokade impuls nyeri di kornu posterior medula spinalis. Sebagai contoh nyeri kepala dapat terabaikan jika seseorang melakukan aktivitas olahraga dengan semangat yang tinggi.
37
Perseption atau persepsi, salah satu hasil akhir dari proses interaksi yang komplek dimulai dari proses tranduksi, transisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri. 2.1.3.3
Mekanisme
Timbulnya
Nyeri
Sindroma
Miofasial
otot
supraspinatus Otot suprapsinatus merupakan otot tipe tonik. Dengan demikian otot ini mudah terjadi lelah bila digunakan secara berlebihan terutama pada gerakan abduksi bahu. Sebagaimana diketahui pada jaringan miofasial yang sehat terdapat keseimbangan antara kompresi atau ketegangan dan rileksasi yang dipelihara oleh adanya substansi dasar (ground substances) dari jaringan miofasial itu sendiri. Substansi dasar ini mempertahankan keseimbangan kompresi atau ketegangan dengan rileksasi melalui cara mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat, dan juga berperan sebagai alat transport gizi dan alat transportasi zat-zat sisa metabolisme. Kerja konstan dari otot tonik ini ditambah dengan adanya faktorfaktor yang memperberat kerjanya seperti yang telah disebutkan diatas maka keseimbangan antara kompresi dan rileksasi pada jaringan miofasial tidak dapat dipertahankan lagi oleh ground substance. Sehingga jaringan miofasial ini akan mengalami ketegangan atau kontraksi terus-menerus yang kemudian menimbulkan stress mekanis pada jaringan miofasial
38
dalam waktu yang lama sehingga akan menstimulasi nosiseptor yang ada di di dalam otot dan tendon. Semakin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat aktifitas refleks ketegangan otot tersebut. hal ini akan meningkatkan nyeri sehingga menimbulkan keadaan viscous circle. Keadaan viscous circle akan mengakibatkan adanya daerah pada jaringan miofasial yang mengalami iskemi lokal sehingga akibat dari kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sehingga jaringan ini akan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen serta menumpuknya zat-zat sisa metabolisme. Keadaan ini akan merangsang ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C untuk melepaskan suatui neuropeptida yaitu substansi P. karena adanya pelepasan substansi P akan membebaskan prostaglandin dan diikuti juga dengan pembebasan bradikinin, potassium ion, serotonin, yang merupakan noxius atau chemical simuli yang dapat menimbulkan nyeri. Jaringan miofasial yang mengalami lesi tadi timbul suatu aktivitas nosisensorik polimodal yang mengisyratkan adanya kerusakan jaringan. Ujung-ujung saraf pada daerah ini mengeluarkan takikinin yang mengakibatkan sensibilitas timbul dari mekanosensoris. Bersamaan dengan hal itu juga timbul sensibilitas neuron-neuron kornu posterior (PHC). Adanya pelepasan substansi P akan meningkatkan mikrosirkulasi lokal dan ekstravasasi plasma memacu aktivitas sel Mast dan histamin
39
sehingga terjadi proses peradangan yang dikenal dengan neurogenic inflamation. Peradangan diaktifkan dengan tujuan untuk menyembuhkan jaringan yang mengalami kerusakan. Pada keadaan klinis proses ini akan ditandai dengan adanya nyeri, bengkak, dan adanya peningkatan suhu tubuh. Nyeri pada keadaan ini sebenarnya hanya memberikan informasi bahwa terjadi penyesuaian emosional dengan lesi. Karena terjadinya sensibilitas pada mekanosensorik akibat terlepasnya takikinin maka dengan dipalpasi pada daerah tersebut akan timbul reaksi nosisensorik yang cepat, rangsangan ini seringkali menimbulkan nyeri yang bisa dikenali. Keadaan ini disebut dengan hiperalgesia primer. Nosisensorik juga menghasilkan sensibilitas dari kornuposterior medulla spinalis (PHC). Sensibilitas ini tidak hanya terbatas pada neuronneuron yang berada di sekitar lesi tetapi juga pada neuron-neuron yang terletak di sekitarnya. Potensial aksi dari serabut saraf dan struktur jaringan lain yang termasuk dalam segmen inervasi yang sama akan cepat terdepolarisasi juga. Fasilitasi ini pada akhirnya menghasilkan kepekaan terhadap
tekanan-tekanan
pada
tempat
dimana
banyak
terdapat
mekanosensorik. Nosisensorik polimodal mempunyai daerah peka rangsangan yang luas. Daerah sekitar lesi akan timbul subtansi P dimana pada rangsangan yang cukup kuat akan timbul triple responses sehingga akan timbul daerah sekunder hyperalgesia.
40
Sensibilitas daerah kornu posterior juga akan mengakibatkan kemampuan diferensiasi serabut saraf terhadap rangsangan menurun. Rangsangan pada daerah lesi melalui saraf akan dapat menimbulkan sensibilitas pada struktur jaringan lain yang mempunyai segmen persarafan yang sama meskipun jaringan tersebut tidak kelihatan gejala klinisnya. Secara klinis secara ini ini disebut dengan referred pain yang berarti timbulnya suatu penyebaran aktivitas refleks nosisensorik. Mengaktifkan neuron-neuron pada kornu posterior medulla spinalis, nosiseptor juga mengaktifkan neuron-neuron pada kornu lateralis medulla spinalis. Akibatnya akan terjadi vasokonstriksi pada otot dan vasodilatasi pada kulit. Oleh pengaruh yang singkat saja dari norisensorik dan adanya proses fisiologis maka akan mengakibatkan aktifnya saraf simpatis. Jika pengaruh nosisensorik berlangsung lama sampai bermingguminggu atau bahkan berbulan-bulan akan mengakibatkan perubahan patologis pada kulit diantaranya adalah menurunya ambang rangsang nyeri sehingg akan terjadi allodynia yaitu nyeri yang ditimbulkan oleh stimulus non noxius terhadap kulit normal. Allodynia akan menimbulkan nyeri sentuhan pada daerah lesi (Sugijanto,2008) . Nyeri menimbulkan spasme otot, spasme menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri, nyeri menimbulkan spasme otot (viscous circle). Nyeri yang dihasilkan dari beberapa proses di atas mengakibatkan pasien akan cenderung membatasi gerakan yang dapat menambah nyeri
41
sehingg pasien melakukan imobilisasi pada daerah yang mengalami lesi. Akibat imobilisasi jaringan ini adalah subtansi interseluler yang berisi air menurun 3-4% dan jaringan ikat tampak seperti kayu. Penurunan yang sangat menyolok sebesar 20% terjadi pada glikosaminoglikans dari substansi interseluler. Kebalikannya sisa-sisa kolagen seluruhnya tidak berubah. Hilangnya air dan glikoaminoglikans ini di samping menyisakan jumlah kolagen juga menurunkan jarak antar serabut kolagen dalam jaringan ikat yang kemudian akan menghilangkan gerakan bebas antar serabut. Hilangnya gerakan-gerakan bebas ini cendeurng membuat jaringan kurang elastis dan kurang lentur. Selanjutnya dengan tidak adanya tekanan normal selama masa imobilisasi serabut kolagen akan membentuk pita dengan pola yang tidak beraturan dan cross links dapat terbentuk pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menghambat pergeseran normal. Karena menghilangnya subtansi interseluler akan membuat serabut menutup secara bersama-sama sehingg cross links akan lebih mudah terbentuk. Dengan adanya abnormal cross links apabila terdapat regangan makan akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga menimbulkan nyeri dan perlengketan menimbulkan taut band. 2.1.4 Interferential Current (IFC) 2.1.4.1 Pengertian Interferential current merupakan suatu jenis arus frekuensi menengah (middle frecuency current) yang merupakan penggabungan dua
42
buah arus dengan frekuensi berbeda. Sifat pulsa dari arus interferential adalah sinusoidal biphasic simetris sehingga arus interferential tidak menimbulkan reaksi elektrokimiawi pada jaringan dibawah elektroda. Dalam aplikasi klinis sering digunakan frekeunsi 2000 dan 10.000 Hz tergantung pada tujuan yang diinginkan.
2.1.4.2 Efek Fisiologis arus Interferensial Perbedaan arus menghasilkan amplitudo modulasi. Besarnya frekuensi amplitudo modulasi (AMF) ditentukan oleh selisih antara kedua arus dan merupakan frekuensi interferensi. Modifikasi amplitudo modulasi dilakukan melalui pengaturan spektrum sehingga pulsa arus dapat diatur sempit atau lebar dan melonjak tajam atau datar. Ini sangat penting karena berkaitan dengan aplikasi pada kondisi yang diterapi. Perbedaan AMF akan membedakan sensasi yang dirasakan pasien. Frekuensi yang cukup tinggi pada IFC memiliki penetrasi yang lebih dalamn sehingga mampu merangsang kontraksi otot secara langsung. Interferential current sangat sering digunakan dalam aplikasi klinis. Hal ini disebabkan oleh kemampuan penetrasi lebih dalam karena capasitive reactance yang meningkat, induktive reactance menurun terhadap interferential current akibatnya resisten jaringan terhadap IFC rendah dan arus bolak – balik simetris maka aplikasi dengan intensitas tinggi tidak menyebabkan iritasi kulit dibawah elektrode karena tidak
43
terdapat arus galvanik sehingga lebih nyaman di rasakan pasien. Hal ini karena tidak terjadi proses kimiawi pada jaringan. Efek fisiologis penggunaan interferential adalah stimulasi afferent serabut saraf bermyelin tebal yang menyebabkan pengurangan nyeri dan normalisasi keseimbangan neuro – vegetative berupa rilexsasi dan peningkatan sirkulasi stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal akan menghambat atau memberikan efek blocking sinaps di kornu posterior medulla spinalis yang berasal dari afferent serabut saraf bermyelin tipis (Aδ) dan tidak bermyelin (C) sehingga persepsi nyeri berkurang atau dihilangkan sesuai dengan “gerbang control teori” Melzack dan Wall menjelaskan efek stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal sebagai “gate control” theory yang intinya adalah stimulasi secara selektif afferent II dan III untuk inhibisi afferent IV (nocicencoric) di lamina V. Pengurangan nyeri melalui stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal akan menormalisasi keseimbangan neurovegetative yang akan mendumping symphathetic system sehingga terjadi rileksasi dan peningkatan sirkulasi yang menghasilkan pengurangan nyeri melalui afferent Aβ dan Aδ. Stimulasi serabut saraf bermyelin pada jaringan otot dan kulit menyebabkan symphatetic reflex berkurang yang diikuti postexcitatory depression pada aktifitas symphatetic reflex. Secara subjektif pasien akan merasakan stimulasi yang diberikan akan berkurang dengan bertambahnya waktu hal ini dikenal sebagai
44
akomodasi yang timbul karena sensor stimulasi berupa informasi mengalami penurunan. Stimulasi tanpa perubahan stimulus akan menurunkan efek stimulasi. Untuk mencegah akomodasi dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas atau variasi frekuensi dan berkaitan dengan akut dan kronis kondisi adalah intensitas relatif rendah, AMF relatif tinggi, spectrum relatif lebar dan program spectrum relatif “mild (lembut” untuk kondisi akut, dan intensitas relatif tinggi, AMF relatif lebih rendah, spectrum relatif sempit dan program spectrum relatif “abrupt (kasar)” untuk kondisi kronis. Arus interprensial juga terjadi stimulasi serabut saraf aferen Aα secara langsung sehingga terjadi kontraksi otot. Kontraksi otot lebih nyata bila AMF lebih rendah (50 – 100) dan frekuensi lebih rendah (± 2000 Hz). Kontraksi otot yang terjadi dapat diperoleh efek “PUMPING ACTION“ yang membantu pengembalian venous dan limpatik. Disamping itu kontraksi otot lokal juga berpengaruh pada pelepasan perlengketan antara fasia dan miofebril.
2.1.4.3 Aplikasi Interferential Current Aplikasi interferential current beberapa hal yang sangat penting yaitu: Pemilihan AMF atau frekuensi treatmen. Pemilihan AMF didasarkan pada keadaan atau tahap kondisi.
45
AMF tinggi (75-150 Hz) lebih tepat diaplikasikan pada kondisi akut, nyeri hebat atau keadaan hipersensitif. Dapat juga digunakan sebagai treatment awal. AMF rendah (< 50 Hz) akan menyebabkan kontraksi tetanik. Pada kondisi kronik atau sub lebih tepat dengan AMF rendah. Pemilihan frekuensi-sweep program Berkaitan dengan program frekuensi modulasi (sweep). Model spektrum Program spectrum 1/1 untuk kondisi kronik atau sub akut. Program spectrum 6/6 untuk kondisi akut. 1/30/1/30s untuk kondisi akut. Dosis a) Intensitas Didasarkan pada sensasi pasien yang terdiri dari mitis, normal dan fortis. b) Waktu Umumnya 10 menit dan menurut Prof Liliana Nikolova Troeva dapat sampai 30 menit. c) Pemilihan Frekuensi Frekuensi 2000 Hz lebih efektif untuk stimulasi otot. Frekuensi 4000 Hz lebih efektif untuk mengurangi nyeri.
46
2.1.4.4 Indikasi Nyeri (otot, tendon, kapsul atau saraf) Hipertonia Kelemahan otot Penyakit-penyakit
dengan
gejala
berupa
gangguan
keseimbangan
neurovegetative yang mengarah kepada gangguan sirkulasi dan fungsio organ. Post traumatic (kontusio, sprain, luksasi, ruptur dan kontraktur). Arhrosis, spondylosis. Periarthritis, bursitis, tendinitis. Myalgia. Atrophy. 2.1.4.5 Kontraindikasi Demam Tumor Tb Relatif kontraindikasi Inflamasi lokal Thrombosis. Kehamilan Pacemaker Implant metal.
47
2.1.4.6 Teknik aplikasi Teknik aplikasi interferential current diklasifikasikan berdasarkan titik aplikasi yang terdiri dari : 1) Pain-point atau trigger poin application. Kondisi yang terdapat titik nyeri atau trigger point terutama pada otot, tendon, ligamen, kapsul sendi dan bursa. Penggunaan two-pole technique dan point electrode merupakan metode yang sangat tepat. 2) Nerve aplication Aplikasi ini dilakukan sepanjang perjalanan saraf, misalnya pada sciatica. 3) (Para) vertebral application Posisi elektroda dekat atau pada columna vertebra pada gejala-gejala nyeri lokal, cervical pain, hipertonia otot erector trunk dan gangguan keseimbangan neuro vegetative. 4) Muscular application Muscular application dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi memperkuat otot dan rileksasi. 5) Transregional application Suatu kondisi tidak terdapat titik aplikasi yang jelas maka digunakan teknik ini dengan penggunaan four-pole electrode. Terutama pada nyeri menyebar teknik automatic vector scan sangat tepat.
48
2.1.4.7
Mekanisme
Penurunan
Nyeri
Sindroma
Miofasial
Otot
Supraspinatus terhadap Intervensi Interferential Current. Sifat pulsa dari arus interferential adalah sinusoidal biphasic simetris
sehingga
arus
interferential
tidak
menimbulkan
reaksi
elektrokimiawi pada jaringan dibawah elektroda. Interferential current sangat sering digunakan dalam aplikasi klinis. Hal ini disebabkan oleh kemampuan penetrasi lebih dalam karena capasitive reactance yang meningkat, terhadap IFC, sehingga induktive reactance menurun akibatnya resisten jaringan terhadap IFC rendah. Selain itu aplikasi dengan intensitas tinggi tidak menyebabkan iritasi kulit di bawah elektrode karena tidak terdapat arus galvanis sehingga lebih nyaman dirasakan pasien. Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaksasi setelah kontraksi maksimal dari otot tersebut. Dengan demikian maka pengangkutan sisasisa metabolisme (P subtance) yang di produksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang. Penurunan nyeri oleh efek sedatif akan menginhibisi saraf afferent tipe Aδ dan tipe C di ganglion spinalis (PHC) terutama pada lamina I, III, V, dan sebagian lamina II yaitu dengan adanya pelepasan enkephaline sehingga terjadi penurunan sensibilitas ujung-ujung serabut saraf sensoris terutama nosiseptor. Pada level spinal ini terjadi mekanisme buka tutupnya pintu gerbang rangsangan nyeri yang dibawah oleh serabut afferen
49
berpenampung tebal dan halus (Melzack and Wall Theory). Dengan adanya stimulasi akan menginhibisi aktifnya serabut saraf afferan berpenampang kecil/halus (afferen tipe IV) sehingga impuls nyeri menjadi berkurang atau hilang.
Gambar 2.7 Penerapan Interfential Current 2.1.4.8 Efek Kontraksi Otot Terhadap Perlengketan Kontraksi yang kuat pada stimulasi IFC dengan intensitas tinggi dapat melepaskan perlengketan antara miofibril dan fasia pembungkusnya akibatnya dapat menurunkan nyeri yang disebabkan perlengketan miofasial. Efek lain juga terjadi perenggangan tendon otot yang bersangkutan (Sugijanto, 2008). 2.1.4.9
Prosedur Aplikasi Interferencial Current Sebelum pemberian terapi, pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai cara kerja alat, indikasi serta kontra indikasinya. Posisi pasien duduk.
50
Daerah yang akan diberi terapi dibebaskan dari pakaian atau logam. Kemudian persiapkan alat. 1. Semua saklar dalam keadaan nol setelah sebelumnya kabel utama disambungkan ke sumber listrik. 2. Merapihkan kabel jangan sampai ada yang bersilangan. 3. Tempatkan elektroda dengan spons yang telah dibasahi terlebih dahulu pada daerah tuberculum mayor dan fossa supraspinatus. 4. Dosis a. Frekuensi: 4000 Hz b. AMF: 100 Hz c. Modulasi program : 1/1 d. Waktu: 15 menit 5. Setelah waktu habis a. Tekan kembali tombol power ke posisi off. b. Rapikan kabel yang telah dipergunakan. c. Kemudian memberitahu pasien bahwa pelaksanaan terapi sudah selesai dan anjurkan pasien datang lagi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
51
2.1.5 Ultrasonik (Ultrasound / US) 2.1.5.1. Pengertian Ultra Sonik Bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekuensi yang beraraisi
Gambar 2.8 Ultrasound Sumber: (Enraf, 2010) 2.1.5.2. Fenomena Fisik yang terjadi pada Ultra Sonik 1. Bentuk gelombang ultra sonic Jenis gelombang ultra sonik merupakan gelombang longitudinal yang memerlukan medium yang elastis sebagai media perambatan. Setiap medium elastis kecuali yang hampa udara. Gelombang mekanik longitudinal menyebabkan kompresi dan ekspansi medium pada jarak separoh gelombang yang menyebabkan variasi tekanan pada medium. 2. Tahanan akustik spesifik Tahanan akustik spesifik adalah nilai perambatan gelombang suara pada media tertentu dengan media lainnya. Dimana gelombang suara lebih mudah merambat pada media yang tahanan akustiknya
52
tinggi. Tahanan akustik merupakan sifat dari suatu medium yang mana suara masih dapat lewat. Besarnya tahanan akustik tergantung pada kerapatan media (Q) dan kecepatan gelombang suara (C). Adapun nilai sifat medium adalah dari hasil kerapatan massa dengan kecepatan gelombang suara. Bila gelombang suara melewati suatu media maka kemungkinan sebagian akan dipantulkan, diserap atau merambat terus sampai medis berikutnya. 3. Refleksi (Pemantulan) Refleksi atau pemantulan terjadi bila gelombang ultra sonik melalui dua media yang berbeda. Banyak energi yang dipantulkan tergantung besarnya perbedaan impedance acustik spesifik dari suatu media ke media lainnya. Karena adanya refeleksi tersebut, maka energi US lebih besar diserap pada jaringan interface. Jaringan antar permukaan jaringan dengan nilai tahanan akustik berbeda akan dipantulkan, sehingga pada daerah tersebut memperoleh energi ultra sonik lebih besar dari daerah lain. 4. Penyerapan dan Penetrasi Ultra Sonik Gelombang ultra sonic masuk ke dalam jaringan maka efek yang diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut maka semakin dalam gelombang ultra sonik masuk dan intensitasnya semakin berkurang. Gelombang ultra sonik diserap oleh jaringan dalam berbagai ukuran tergantung pada frekuensi, frekuensi rendah penyerapannya lebih sedikit dibanding dengan frekuensi tinggi.
53
Jadi ada ketergantungan antara frekuensi, penyerapan dan kedalaman efek dari gelumbung ultra sonic. Disamping itu refleksi, koefisien penyerapan menentukan penyebarluasan ultra sonic didalam jaringan tubuh Tabel 2.2 : Half Value Depth (HVD) Jaringan
Ter Har (1978, 1996)
Hoogland (1986)
Ward (1986)
Mc Diarmid dan Burns (1987)
a. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), frekuensi 1 MHz Kulit 40 11.1 Lemak 50 50 153 Otot 10-20 9* 28** Tendon 6.2 Kartilago 6 Tulang 15 2.1 0.4 b. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), frekuensi 3 MHz Kulit 25 4 Lemak 16 16.5 26.4 Otot 30-60 3* 7.7** Tendon 2 Kartilago 2 Tulang 5 0.04 Keterangan : *
48 9 16 3 -
: tegak lurus
** : memanjang Tabel 2.3: Penetration Depth dari tiap-tiap media Media Tulang Kulit Tulang Rawan Udara Tendo Otot Lemak Air
Keterangan : * : tegak lurus ** : sejajar
1 MHz 7 mm 37 mm 20 mm 20 mm 21 mm 30 mm* 82 mm** 165 mm 38330 mm
3 MHz 12 mm 3 mm 3 mm 7 mm 10 mm* 27 mm** 55 mm 12770 mm
54
5. Pembiasan Pembiasan gelombang ultra sonic ditentukan oleh nilai indeks bias tiap-tiap media pada jaringan, dimana indeks bias ditentukan oleh kecepatan bgelombang ultra sonic pada tiap-tiap medium. Nilai indeks bias (n) = 1 berarti tanpa pembiasan sedangkan nilai indeks bias lebih darui 1 berarti pembiasan mendekati normal dan jika indeks bias kurang 1 berarti ditentukan oleh sudut dating dan kecepatan gelombang suara pada media yang dilaluinya. 6. Coupling Media Untuk dapat meneruskan gelombang ultra sonik ke dalam jaringan tubuh maka dibutuhkan suatu medium yang berada transduser dan permukaan tubuh yang akan di ultra sonic. Adapun cirri-ciri coupling media yang baik adalah: a. Bersih dan steril, b. Tidak terlalu cair (kecuali metode under water), c. Tidak terlalu cepat diserap oleh kulit, d. Transparasi, e. Mudah dibersihkan. 2.1.5.3. Efek Biofisik Ultrasonik 1. Efek Mekanik Gelombang ultra sonik masuk kedalam tubuh maka akan menimbulkan pemampatan dan peregangan dalam jaringan sama dengan frekuensi dari tranduser ultra sonik sehingga terjadi varisasi
55
tekanan dalam jaringan. Dengan adanya variasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah micro massage yang merupakan efek terapeutik yang sangat penting karena hamper semua efek yang timbul oleh ultra sonic disebabkan oleh micro massage. Pemampatan dan peregangan oleh selubung longitudinal dari ultra sonic mampu menimbulkan micro tissue damage dan menimbulkan reaksi inflamasi primer. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation” (Wadworth, 1998) 2. Efek Thermal Micro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai acustik impedance, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan durasi pengobatan. Area yang paling banyak mendapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang yang diserap dan dipantulkan. Agar efek panas tidak terlalu dominan digunakan intermitten ultra sonic yang efek terapeutiknya lebih dominan dibandingkan efek panas. Perubahan konsentrasi ion sehingga mempengaruhi nilai ambang rangsang dari sel-sel.
56
Efek thermal ultrasonic pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh jaringan hanya selama 1 (satu) menit. Tetapi bila terkonsentrasi pada satu jaringan dapat menimbulkan “heat burn”, yaitu bila pada tempat menonjol atau transduser static. 3. Efek Piezoelectrik Efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelektrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconatetitanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan piezoelectric tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan protein tubuh juga merupakan bahan-bahan piezoelectric.
Oleh
karena
itu
apabila
jaringan-jaringan
tadi
mendapatkan suatu tekanan atau perubahan ketegangan akibat mendapatkan aliran listrik dari ultrasonic akan menyebabkan perubahan muatan elektrostatik pada membrane sel yang dapat mengikat ion-ion. Efek piezoelektrik antara lain dapat meningkatkan metabolisme dan dapat dimanfaatkan untuk penyambungan tulang. Secara umum ultrasonic akan mempengaruhi proses electrode dan kejenuhan dari elektrolit tubuh sehingga mengganggu ion-ion yang berada pada lapisan yang tipis di daerah perbatasan antara zat padat dengan larutan elektrolit
57
2.1.5.4. Indikasi Ultrasonik 1) Adhesi, tendinitis, sinovitis, sindroma miofasial. 2) Nyeri, spasme otot dan nyeri akibat disfungsi simpatis, neuroma. 3) Neuralgia prepatelar traumatik, efusi akut lutut akibat trauma. 4) Haematoma, bengkak (swelling). 5) Fraktur, proses penyembuhan luka dan kondisi bakteria. 6) Penyakit sirkulasi darah seperti penyakit raynud dan buerger, suddeck dystrhopie. 7) Kelainan pada kulit seperti jaringan parut karena operasi, luka bakar, trauma. 8) Kelainan / penyakit saraf seperti neuropati, phantom pain, HNP. 9) Rheumatoid arthritis pada stadium tidak aktif 10) Dupuytren kontraktur. 2.1.5.5. Kontra Indikasi 1) Absolut : mata, jantung, uterus wanita hamil, testis, epiphyseal plate tulang anak yang belum matang, kanker / pasien dengan pengobatan rediotherapi dan penyakit kelainan darah seperti haemophilia. 2)
Relatif
:
post
laminektomi,
hilangnya
sensibilitas,
tumor,
tromboplebitis, varises, diabetes melitus, sepsis, inflamasi / infeksi akut, tuberkulosa tulang.
58
2.1.5.6 Mekanisme Penurunan Nyeri Sindroma Miofasial Melalui Ultrasonik. Pemberian modalitas ultra sonic dapat terjadi iritan jaringan yang menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, hal ini disebabkan oleh efek mekanik dan thermal ultra sonik. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation”. Namun dengan terangsangnya “P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu dengan adanya pengaruh gosokan membantu “venous dan lymphatic”, peningkatan kelenturan jaringan lemak sehingga menurunnya nyeri regang dan proses percepatan regenerasi jaringan. US menimbulkan inflamasi neurogenik sehingga mempercepat proses regenerasi jaringan sehingga menimbulkan nyeri menurun 2.1.5.7 Prosedur Penerapan US 1) Persiapan alat a) Siapkan alat US dan jelly sebagai media poenghantar, pastikan tidak ada kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang,
59
b) Atur jarak alat dengan tempat terapi pasien, ushakan agar alat tidak terjangkau oleh pasien. 2) Persiapan pasien a) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur dan tujuan dari pemberian US. b) Daerah lutut yang akan diterapi harus bebas dari pakain dan bahan metal. Perhatikan sensasi dan temperature kulit. c) Posisi pasien sesuai dengan daerah tubuh yang akan diterapi. Yaitu dengan duduk diatas kursi, Pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi tersebut.
Gambar 2.9 Area pemberian Ultrasound Sumber : (Faizah, 2011) 3) Teknik aplikasi a) Nyalakan alat, siapkan tranduser ultra sonic lalu diberi jelly sesuai dengan area yang akan diobati. b) Atur waktu terapi selama 5 menit c) Berikan intensitas sesuai toleransi pasien
60
d) Gerakan transduser kearah sirkuler ataupun longitudinal pada area yang diterapi, jangan biarkan transduser dalam keadaan statis karena dapat menimbulkan luka bakar. 4) Penentuan dosis a) Intesitas : 2 watt/cm² b) Gelombang : continues c) Waktu : 5 menit d) Pengulangan : 6 kali terapi dengan 3 kali / minggu
2.1.6. Contract Relax Stretching 2.1.6.1. Pengertian Contract Relax Stretching Kondisi sindroma miofasial otot supraspinatus masalah utama yang dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri dan tegang pada otot-otot di daerah bahu. Akibatnya pasien seringkali mengurangi gerakan otot pada daerah tersebut bahkan mengistirahatkan otot yang nyeri tadi agar tidak menimbulkan nyeri yang lebih berat. Akibatnya timbul suatu mata rantai nyeri yang tidak terputus yaitu nyeri akan mengakibatkan spasme otot menyebabkan keterbatasan gerak sendi dan menyebabkan nyeri begitu seterusnya. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan segera maka akan mempengaruhi kekuatan otot, berkurangnya fleksibilitas otot yang normal, perubahan hubungan panjang dan tegangan otot yang menyebabkan kelemahan otot, pemendekan otot dan keterbatasan gerak sendi yang pada akhirnya akan menimbulkan nyeri dengan
61
intensitas yang lebh hebat lagi. Keterbatasan gerak sendi akibat pemendekan pada jaringan lunak dan nyeri akibat spasme otot ataupun sebaliknya dapat ditangani dengan teknik contract relax stretching. 2.1.6.2.
Jenis Stretching Stretching dibagi dalam dua kelompok yaitu stretching dinamis
dan statis. Pada stretching dinamis ditemukan fleksibilitas dinamis sedangkan pada stretching statis ditemukan fleksibilitas statis dan juga dinamis pada derajat tertentu. Ada beberapa tipe stretching yaitu : stretching balistik, stretching dinamis, stretching aktif, stretching pasif, stretching statis, stretching isometrik, stretching PNF. Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax streaching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan dilanjutkan dengan rileksasi dan stretching pada otot tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract
relax streching yaitu untuk
memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot / akibat fibrosis. Sebelum menerapkan teknik contract relax stretching ada beberapa konsep yang harus dipahami yaitu konsep dasar dan konsep neurofisiologi yang berperan sangat penting saat terjadi stretching otot.
62
Beberapa konsep dasar stretching telah dijelaskan pada materi yang membahas tentang otot seperti konsep sistem muskuloskeletal, komposisi otot, proses terjadinya suatu kontraksi otot, jenis serabut otot dan jaringan penghubung, kerja kelompok otot, tipe kontraksi otot. Selanjutnya akan dibahas tentang konsep dasar dan konsep neurofisiologis lain yang berperan penting saat terjadi stretching otot seperti propioseptor, stretch refleks dan komponennya, rekasi pemanjangan otot dan juga resiprokal inhibisi. 1) Propioseptor Akhir suatu serabut saraf yang menerima seluruh informasi tentang sistem muskuloskeletal dan menyampaikannya kepada sistem saraf pusat dikenal dengan nama propioseptor. Propioseptor juga disebut
dengan
propiosepsi
yaitu
mekanoreseptor persepsi
adalah
tentang
sumber
gerak
dan
dari
seluruh
posisi
tubuh.
Propioseptor mentedetksi setiap perubahan gerak dan posisi tubuh, tegangan atau usaha yang terjadi di dalam tubuh. Propioseptor dapat ditemukan di seluruh akhir serabut saraf pada sendi,otot dan tendon. Propioseptor yang berhubungan dengan stretching otot terletak di tendon dan serabut otot. Dua jenis serabut otot yaitu serabut otot intrafusal dan serabut otot ekstrafusal. Serabut ekstrafusal merupakan satu-satunya yang mengandung miofibril sehingga sering disamakan artinya dengan serabut otot. Sedangkan serabut intrafusal disebut sebagai spindel otot
63
dan terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal. Pada saat serabut ekstrafusal suatu otot memanjang maka serabut intrafusal juga memanjang (spindel otot). Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor utama di dalam otot. Propioseptor yang lain yang ikut berperan selama proses stretching terjadi berlokasi di tendon dekat dengan akhir suatu serabut saraf otot dan disebut dengan golgi tendo organ dan tipe ketiga dari propioseptor disebut dengan pacinin corpuscle. Beberapa struktur propioseptor yang berperan sangat penting saat melakukan contract relax stretching yaitu : a) Spindel Otot Adalah organ sensoris utama pada otot yang terdiri dari serabut kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal. Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor utama di dalam otot. Spindel otot terdiri dari dua tipe serabut (reseptor stretch) yang sensitif terhadap perubahan panjang otot dan menilai rata-rata perubahan panjang otot. Spindel otot berfungsi memonitor kecepatan dan durasi penguluran sehingga pada saat otot terulur maka serabut intrafusal dan ekstrafusal akan terulur. b) Golgi Tendo Organ Adalah suatu mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot dan memiliki treshold yang sangat lambat untuk
64
melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai treshold yang tinggi saat dilakukan penguluran secara pasif. Golgi tendon organ dikelilingi oleh serabut ekstrafusal yang peka terhadap tegangan otot yang disebabkan oleh pemberian pasif stretching. Pada saat otot berkontraksi akan mengakibatkan peningkatan tegangan pada tendon dimana golgi tendo organ terletak. Golgi tendo organ sensitif terhadap perubahan tegangan dan menilai rata-rata tegangan dalam otot. Bila penyebaran tegangan meluas maka golgi tendo organ melaju dan menimbulkan rileksasi otot. c) Pacinin Compuscle Merupakan tipe ketiga dari propioseptor yang terletak dekat dengan golgi tendon organ dan bertanggung jawab untuk mendeteksi perubahan gerak dan tekanan di dalam tubuh. 2) Stetch Refleks dan Komponennya Saat otot terulur maka spindel otot juga terulur. Spindel otot akan melaporkan perubahan panjang dan seberapa cepat perubahan panjang itu terjadi dan memberikan sinyal ke medula spinalis untuk meneruskan informasi ini. Spindel otot ini akan memicu dari stretch refleks yang juga disebut dengan refleks miotatis untuk mencoba menahan perubahan panjang otot dengan cara otot yang diulur berkontraksi. Semakin tiba-tiba terjadi perubahan panjang otot maka akan menyebabkan otot berkontraksi
65
semakin kuat. Fungsi dasar spindel otot ini membantu memelihara tonus otot dan menjaga tubuh dari cidera. Alasan untuk mempertahankan suatu penguluran dalam jangka waktu yang lama adalah pada saat otot dipertahankan pada posisi terulur maka spindel otot akan terbiasa dengan panjang otot yang baru dan akan mengurangi sinyal yang tadi. Secara bertahap reseptor stretch akan terlatih untuk memberikan panjang yang lebih lagi. Sumber menyarankan dengan latihan yang ekstensif stretch refleks otot dapat dikontrol sehingga pada saat terjadi penguluran yang tiba-tiba tidak ditemukan atau sangat kecil ditemukan respon refleks kontraksi. Pada saat terjadi kontrol seperti ini akan memberikan keuntungan yang besar dalam mencapai fleksibilitas terapi juga mempunyai resiko yang sangat besar untuk terjadi suatu cidera. Oleh karena itu metode ini sangat dianjurkan hanya dipergunakan oleh atlet profesional dan penari yang mempunyai kontrol muskular yang sangat baik. Stretch refleks mempunyai dua komponen yaitu komponen dinamis dan statis. Komponen statis ditemukan sepanjang pada saat otot diulur. Komponen dinamis stretch refleks ditemukan hanya pada akhir dan responnya menyebabkan penambahan panjang otot yang segera. Alasan yang mendasari stretch refleks mempunyai dua komponen adalah karena terdapat dua serabut otot intrafusal yaitu serabut rantai
66
nuklear (nuclear chain fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen statis dan serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen dinamis. Serabut rantai nuclear (nuclear chain fibers) panjang dan tipis dan segera memanjang pada saat diulur. Pada saat serabut ini diulur saraf stretch refleks akan meningkatkan tingkat sinyalnya yang diikuti dengan segera peningkatan panjang otot. Hal ini merupakan komponen statis strecth refleks. Serabut tas nuclear (nuclear bag fibers) berkumpul di tengah otot sehingga mereka lebih elastis. Nerve ending stretching pada serabut ini terbungkus di daerah tengah yang memanjang dengan cepat saat serabut terulur. Daerah tengah bagian luar adalah kebalikannya beraksi seperti
terisi
cairan
kental
yang
menghambat
kecepatan
penguluran dan kemudian memanjang di bawah pengaruh tegangan otot yang panjang. Jadi ketika menginginkan penguluran yang cepat pada serabut ini daerah tengah luar memanjang dan daerah tengah menjadi sangat memendek. 3) Respon Neurofisiologis Otot terhadap Contract Relax Stretching Contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek rileksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek rileksasi. Efek contract relax stretching jangka
67
panjang
pada
manusia
didapatkan
bahwa
individu
yang
mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 15 – 45 detik menunjukkan panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke-7 dan contract relax stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke10 sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh. Otot terulur dengan sangat cepat maka spindel otot berkontraksi untuk menghantarkan rangsangan serabut afferen primer yang menimbulkan ekstrafusal melaju dan tegangan otot meningkat. Peristiwa ini disebut monosinaptik refleks stretch. Contract relax stretching yang dilakukan dengan kecepatan tinggi dapat meningkatkan tegangan dalam otot. Sedangkan jika otot diulur dengan kekuatan yang sedang dan perlahan-lahan maka laju golgi tendon organ dan inhibisi dalam otot menyebabkan sarkomer
memanjang.
Penerapan
prosedur
contract
relax
stretching pasien menunjukkan suatu kontraksi isometrik dari otot yang
mengalami
ketegangan
sebelum
secara
pasif
otot
dipanjangkan. Penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isometrik yang diberikan sebelum stretching dari otot yang mengalami ketegangan akan menghasilkan rileksasi sebagai hasil
68
dari autogenic inhibition. Kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot yang maksimal. Golgi tendon organ dapat terlibat dan menhambat ketegangan otot sehingga otot dapat dengan mudah dipanjangkan. 2.1.6.3 Klasifikasi dan Metode Contract relax stretching : 1) Contract Relax Stretching pasif : merupakan tindakan contract relax stretching yang dilakukan dengan kekuatan dari luar tubuh yaitu dengan bantuan fisioterapis yang diaplikasikan secara manual atau dengan alat bantu mekanik. 2) Contract Relax Stretching aktif : merupakan metode contract relax stretching yang dilakukan secara aktif dengan kekuatan pasien sendiri yang bertujuan untuk menginhibisi otot yang spasme dan memendek.
2.1.6.4 Tujuan Contract relax stretching 1) Meningkatkan lingkup gerak sendi. 2) Menghilangkan spasme otot. 3) Meningkatkan panjang jaringan lunak (soft tissue). 4) Meningkatkan komplians jaringan (Vujnovich dan Dawson, 1994). 2.1.6.5 Respon Otot Terhadap Contract Relax Stretching Contract relax stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching pertama terjadi pada komponen elastrik (aktin dan miosin)
69
dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kischner & Colby, 1990). Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi penguluran (stretch) area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat serabut otot berada pada posisi memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada di sekitarnya. Sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut / scarred untuk kembali normal.
70
Saat otot diulur beberapa dari serabutnya akan memanjang tetapi beberapa serabut otot yang lain mungkin berada pada posisi yang diam. Panjang yang dihasilkan di dalam otot tergantung kepada jumlah serabut otot yang terulur. Sesuai dengan Syner Stretch yaitu kantong-kantong kecil yang menahan serabut otot menyebar di sepanjang otot tubuh yang terulur dan serabut otot yang lainnya. Kekuatan total dari sebuah otot yang berkontraksi adalah merupakan hasil dari sejumlah serabut otot yang berkontraksi, sehingga panjang total yang dihasilkan oleh otot yang diulur juga merupakan hasil dari penguluran sejumlah serabut otot sehingga semakin banyak serabut otot yang terulur akan menyebabkan semakin besar panjang otot yang dihasilkan penguluran yang diberikan pada otot tersebut. 2.1.6.6 Indikasi dan Kontraindikasi 1) Miostatik kontraktur : merupakan kasus yang paling sering tejadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius. 2) Scar Tissue Contracture Adhession : paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoaminoglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang.
71
3) Fibrotic Adhession : kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik seperti pada kondisi tortikolis. 4) Ireversibel Kontraktur : biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik. 5) Pseudomiostatik
Kontraktur
:
Pada
umumnya
diakibatkan
gangguan pada susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan sistem muskuloskeletal. 6) Kontraindikasi dilakukan suatu intervensi contract relax stretching antara lain adalah apabila terdapat faktur yang masih baru pada daerah shoulder girdle, post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength, dan ditemukan adanya tandatanda inflamsi akut. 2.1.6.7 Mekanisme penurunan Nyeri sindroma Miofasial Melalui Intervensi Contract Relax Stretching Mekanisme penurunan nyeri akibat sindroma miofasial otot supraspinatus dengan intervensi Contracrt Relax Stretching dengan adanya komponen Stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rilexsasi dapat dicapai dengan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai Viscous Circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi Contract Relax Stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C
72
yang menimbulkan nyeri akibat adanya Abnormal Cross Link dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi Contract Relax Stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau Abnorma Cross Link pada ketegangan akibat sindroma miofasial (Sugijanto, 2008). Kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (Reverse Innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon (Sugijanto, 2008). Metode contract relax stretching rilexsasi setelah kontraksi isometrik maksimal dilakukan 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi Reverse Innervation. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat rilexsasi dan ekspresi maksimal maka diperoleh pencapaian panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada maksimal range of motion (ROM) akan merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot antegonis (Sugijanto, 2008).
73
Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaxsasi setelah kontraksi maksimal dari otot tersebut. Dengan demikian maka pengangkutan sisa-sisa metabolisme (P substance) dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Sugijanto, 2008). 2.1.6.6. Prosedur Aplikasi Contract relax stretching 1. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan daerah yang menjadi target terapi terlihat jelas tanpa terhalang baju dan rambut. 2. Jelaskan prosedur, tujuan dan efek contract relax stretching yang dirasakan. 3. Fisioterapis berada disamping pasien, posisi bahu pasien adduksi dan internal rotasi penuh (posisi borgol) dengan lengan dibelakang pinggang.telapak tangan fisioterapis memfiksasi distal humerus pasien pada posisi yang sakit. . 4. Pasien melakukan inspirasi maksimal kemudian melakukan gerakan abduksi melawan dorongan tangan fisioterapis yang diberikan dengan arah berlawanan (ke medial) dan ditahan selama 6 detik, kemudian relaksasi diikuti ekspirasi dan fisioterapis melakukan stretching kearah adduksi dan internal rotasi selama 9 detik, lakukan 6 kali pengulangan 5. Pasien dianjurkan untuk datang seminggu 3 kali.
74
Gambar 2.10 Streching otot supra spinatus Sumber : (Faizah, 2011)
Gambar 2.11 Kontraksi otot supra spinatus Sumber : (Faizah, 2011)