Dua
TINJAUAN TEORITIS
Pengambilan Keputusan Dalam proses pengambilan keputusan unsur yang utama dan penting yaitu adanya sebuah masalah atau problem yang harus dihadapi, sehingga membutuhkan sebuah keputusan dari pihak yang sedang menghadapi masalah tersebut. Dari sisi pengambilan keputusan, masalah barulah dikatakan sebuah masalah apabila terjadi penyimpangan yang tidak terduga dari apa yang telah kita perhitungkan, kita kehendaki atau kita rencanakan semula, sehingga untuk mengatasainya kita memerlukan sebuah keputusan (Atmosudirjo 1982:14&67). Konsep atau definisi pengambilan keputusan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Hasan (2002) dalam Muda (2005:13) mengatakan bahwa keputusan adalah pemilihan di antara beberapa alternatif. Terdapat tiga pengertian yang terkandung dalam definisi ini: pertama, pilihan didasarkan pada logika dan pertimbangan. Kedua, terdapat beberapa alternatif dan harus dipilih salah satu yang terbaik. Ketiga, ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan yang diambil akan semakin mendekatkan pada tujuan tersebut. Keputusan adalah suatu akhir dari proses pemikiran tentang suatu masalah atau problem untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut dengan menjatuhkan pilihan pada satu alternatif. Tidak berbeda jauh dari pengertian sebelumnya, Suryadi dan Ramdhani (2002) dalam Muda (2005:14), mengartikan keputusan sebagai suatu pilihan dari dua atau lebih kemungkinan. Pada umumnya keputusan yang diambil tersebut didasarkan pada pertimbangan situasional, bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang terbaik. 13
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
Nancy Williams (1985:242) dalam Purwanto (1991:2), menjelaskan pengambilan keputusan sebagai sebuah proses yang paling tidak meliputi pengenalan dan penentuan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif tertentu, penetapan kriteria pemilihan, dan penilaian mengenai hal tersebut. Terdapat beberapa syarat yang membuat proses tersebut bisa disebut sebagai suatu hal yang rasional. Syarat-syarat tersebut adalah keinginan yang kuat untuk menentukan satu pilihan diantara “ini” dan “itu”, informasi yang cukup mengenai pilihan tersebut, waktu untuk mempertimbangkannya dan kepercayaan diri yang tinggi untuk memilihnya. Menurut Atmosudirjo (1982:68-69) Pengambilan keputusan merupakan sebuah akhir dari proses berpikir. Jadi proses pengambilan keputusan tersebut memerlukan sebuah pemikiran. Menurut dia, ada beberapa cara berpikir orang yang bertindak sebagai pengambil keputusan seperti: Berpikir jangka panjang melihat jauh kedepan, berpikir mengenai hasil jangka pendek saja dan tidak mau berpikir terlalu jauh kedepan (bersikap pragmatis), berpikir secara tradisional (pola berpikir yang umum dipakai di sekitarnya atau juga yang asalnya dari nenek moyang), berpikir secara emosional, sentimentil implusif (mengikuti suara hati mendadak). Seorang pengambil keputusan dapat juga berpikir secara intuisi atau ituitif yang berarti mengikuti feeling yang diperoleh dari menjalani praktek dengan skema sistematis selama bertahun-tahun. Cara ini hanya dapat dikembangkan oleh orang yang bekerja secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama. Walaupun menurut para ahli pengambilan keputusan dengan intuisi paling baik, namun karena untuk mengembangkannya memerlukan waktu yang lama sekali, maka akan menghambat dalam menghadapi keadaan atau perkembangan yang semakin cepat seperti sekarang ini. Selain cara-cara berpikir sebelumnya, seorang pengambil keputusan di jaman moderen berusaha berpikir secara rasional dan sistematis. Berpikir rasional dan sistematis berarti bisa membedakan antara berpikir unit dengan unit, satuan demi satuan, berpikir secara utuh, kompleks dan runtut.
14
Tinjauan Teoritis
Hampir sama dengan Atmosudirjo (1982:68-69), dasar pengambilan keputusan Menurut George Terry dalam Arief A (2010) yaitu sebagai berikut: a.
Intuisi, yaitu keputusan berdasarkan perasaan subjektif dari pengambil keputusan, sehingga sangat dipengaruhi oleh sugesti dan faktor kejiwaan.
b.
Pengalaman, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman seorang pemimpin atau menejer. Pengambil keputusan dapat memperkirakan suatu keadaan, dapat memperhitungkan untung ruginya, dan baik-buruknya keputusan yang akan dihasilkan.
c.
Fakta, adalah pengambilan keputusan berdasarkan fakta atau kenyataan objektif sehingga dapat memberikan keputusan yang lebih sehat, solid, dan baik.
d.
Wewenang, pengambilan keputusan berdasarkan wewenang umumnya terjadi antara pimpinan terhadap bawahan atau orang yang lebih tinggi jabatannya terhadap orang yang lebih rendah jabatannya.
e.
Rasional, Keputusan yang dihasilkan bersifat obyektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan.
Jika disimpulkan secara sederhana, pengambilan keputusan merupakan proses berpikir dan memilih beberpa alternatif atau pilihan yang berangkat dari sebuah masalah, kemudian mengambil keputusan untuk memilih satu yang terbaik dari alternatif atau pilihan-pilihan tersebut dan menggunakannya untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi. Ada beberapa pandangan para ahli mengenai sikap petani dalam menentukan pilihan untuk memenuhi kebutuhan melalui usaha pertanian dan bagaimana mereka bertahan hidup dari usaha tersebut. James C. Scott dan para penganut aliran ekonomi moral berpendapat 15
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
bahwa, umumnya petani yang merupakan petani subsisten memiliki sikap yang tidak rasional. Hal ini dikarenakan para petani tersebut lebih mementingkan atau mendahulukan keselamatan dari pada memaksimalkan usahanya untuk memperoleh laba yang lebih besar. Oleh karena sifat pertanian mereka yang subsisten, mereka enggan untuk terlibat di dalam perkembangan ekonomi kapitalisme, yang lebih berdasarkan rasionalitas, kepentingan pribadi, inovasi, berani mengambil resiko dan bermotif keuntungan maksimum. Sebagai contoh, petani takut untuk menggunakan bibit baru karena takut gagal panen, lebih suka pendapatan sedikit tetapi pasti dari pada hasil yang tinggi namun resikonya juga tinggi, dan lebih suka mempertahankan pola subsisten daripada komersialisasi (Deliarnov 2006:154). Scott juga memberi penjelasan bahwa fungsi lahan itu penting karena digunakan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat petani yang dilandaskan moralitas. Dalam kehidupan petani subsisten, moralitas adalah ukuran baik atau buruk dan benar atau salah perilaku petani. Adanya komersialisasi pertanian akan menyebabkan perubahan hubungan sosial pada kelompok petani tersebut (Singgih 1999:3-4). Petani dikatakan lebih bermoral karena sesama petani saling tolong-menolong yang tercermin lewat gotong-royong. Tuan tanah yang dianggap lebih beruntung dapat memberikan bantuan kepada mereka yang tidak beruntung atau sedang susah dengan memberikan sebagian tanahnya untuk digarap, atau membagikan hasil panen, dan lain-lain (Deliarnov 2006:154). Berbeda pendapat dan juga mengkritik pandangan Scott, Samuel L. Pokin mengatakan bahwa untuk membantu petani yang relatif tertinggal, bukan dengan nilai-nilai moral yang mengajarkan sikap kompak senasib sepenanggungan, tetapi harus memperkenalkan mereka pada pilihan individual sehingga dapat memilih alternatif yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri. Para individu juga waspada atas ancaman subsistensinya, misalnya mereka berpikir rasional dengan memperhitungkan untung rugi, atau berhati-hati dalam menerapkan satu inovasi baru seperti menggunakan bibit unggul sebagai pengganti bibit lokal. Dari hasil penelitiannya, Pokin menemukan premis bahwa petani di Vietnam adalah a rational 16
Tinjauan Teoritis
problem solver dan sekaligus homo economicus rusticus yang mengetahui kepentingannya, selalu memperhitungkan untung rugi, dan mengevaluasi kemungkinan hasil terbaik yang akan dicapai, yang berkaitan dengan pilihan sesuai preferensi dan nilai yang dia anut (Deliarnov 2006:156). Menurut Pokin petani dapat bertindak rasional dengan cara, berani memainkan lahan sebagai sumber daya yang produktif dan berani menanggung resiko untuk melakukan investasi, merubah kelembagaan sosial yang tidak menguntungkan, serta melakukan perhitungan untung dan rugi di tengah kehidupan bersama petani lain (Singgih 1999:4). Bertani merupakan salah satu pekerjaan andalan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pedesaan. Dalam percakapan seharihari yang dimaksud dengan pertanian adalah bercocok tanam. Namun pengertian tersebut sangat sempit. Dalam ilmu pertanian, istilah tersebut tidak saja meliputi pertanian dalam arti yang sempit, tetapi meliputi cabang-cabang produksi seperti peternakan, perikanan, kehutanan, perkebunan dan sebagainya (Tohir,1969:2). Sedangkan menurut Adiwilaga (1975:2) pertanian adalah: “kegiatan manusia mengusahakan tanah dengan maksud untuk memperoleh hasil tanaman atau pun hasil hewan, tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk mendatangkan hasil selanjutnya”.
Penjelasan Mosher (1968) yang diacu oleh Mubyarto (1987:66) mengatakan bahwa usaha tani merupakan pertanian rakyat. Mosher mendefinisikan farm sebagai suatu tempat atau sebagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu, apakah ia seorang pemilik, penggarap atau menejer yang digaji. Usaha tani juga merupakan himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat pada tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah itu dan sebagainya. Dari beberapa definisi pertanian, dapat disimpulkan bahwa usaha pertanian atau sederhananya peneliti sebut dengan bertani, adalah 17
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
kegiatan manusia untuk mengusahakan atau mengolah berbagai sumber daya pertanian (air, udara, tanah, hewan, matahari dan lainlain) yang disediakan oleh alam, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sekarang) dan dimasa yang akan datang. Usaha pertanian yang dimaksud dalam tulisan ini akan peneliti batasi pada sektor perkebunan saja. Dalam usaha pertanian, petani selalu dihadapkan kepada berbagai pilihan disepanjang proses pengolahan usaha pertaniannya. Pilihan tersebut dapat berupa pemilihan lokasi pertanian yang cocok, jenis komoditi yang akan diusahakan, pupuk dan obat hama yang akan digunakan, tempat pemasaran komoditi pertaniannya, cara atau strategi pengolahan, dan lain-lain. Dari begitu banyak pilihan-pilihan yang mengiringi petani dalam usahanya, tentunya sebagai pelaku usaha akan memilih salah satu dari beberapa pilihan tersebut dan proses tersebut dapat dikatakan sebagai proses pengambilan keputusan. Akhir-akhir ini, berbagai isu dimana petani mungkin karena merasa tidak puas, atau tidak mendapat keuntungan dari satu komoditi pertanian, mereka kemudian beralih, mengganti atau menukar komoditi pertaniannya dengan komoditi lainnya di lahan pertanian yang sama dan kegiatan ini peneliti sebut dengan alih komoditi.
Penelitian Terdahulu Sebagaimana telah peneliti katakan sebelumnya bahwa penelitian mengenai alih komoditi dan pengambilan keputusan oleh petani memang sudah banyak dilakukan. Untuk itu, beberapa penelitian berikut ini peneliti gunakan sebagai pendukung dalam melakukan penelitian yang mengkaji tentang keputusan petani dalam mempertahankan atau beralih ke komoditi pertanian lainnya.
Keputusan Petani Dalam Pengolahan Pertanian Berikut akan peneliti paparkan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan pengambilan keputusan oleh petani: 18
Tinjauan Teoritis
Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2008) mengenai “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Wortel Memilih Sistem Pertanian Organik di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor” dengan menggunakan pendekatan kuantitatif model analisis regresi logistik, memberikan kesimpulan bahwa terdapat beberapa variabel yang digunakan untuk menganalisis persepsi petani terhadap pertanian organik, dan kondisi petani dalam mempengaruhi keputusannya untuk berani mengambil resiko mengganti sistem pertanian, terutama mengganti sistem pertanian dari anorganik menjadi organik. Variabel tersebut adalah lama pendidikan, luas lahan, lembaga pemasaran, penerimaan per ha per musim, intensitas terserang hama per tahun, lama bekerja, usia, harga, tanggungan. Namun demikian dari beberapa variabel yang signifikan mempengaruhi keputusan petani memilih sistem pertanian organik adalah harga. Semakin tinggi harga komoditi pertanian organik yang diterima petani, maka petani bersedia atau berpeluang untuk memutuskan mengusahakan pertanian secara organik. Sebelum Santoso (2008), Muda (2005) terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Petani Dalam Memilih Pola Agroforest "Napu" (Kasus di Daerah Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur), dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan studi pustaka. Keduanya sama-sama melihat keputusan petani namun pada kasus atau objek yang berbeda. Muda yang meneliti Agroforest “napu”1 berkesimpulan bahwa keputusan petani dalam memilih pola agroforest "napu" dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, tenaga kerja, luas penguasaan lahan, pendapatan, jarak ke lokasi agroforest, dan topografi. Faktor yang paling mempengaruhi keputusan petani dalam memilih “Struktur yang dibangun oleh masyarakat setempat dalam rangka diversifikasi produksi, melengkapi produksi bahan pangan yang dihasilkan untuk kepentingan sendiri, namun dalam perkembangannya menjadi satu bentuk pengelolahan yang menguntungka secara teknologi, ekonomi dan sosial. Selanjutnya, Agroforest “napu” merupakan hasil konsepsi keputusan, investasi dan perencanaan jangka panjang petani yang dibentuk berdasarkan sistem pengetahuan, pengalaman dan tradisi masyarakat setempat dan dikelolah dengan menggunakan tehnik serta praktek terpadu yang sederhana (Muda 2005:9) 1
19
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
pola agroforest "napu" adalah faktor topografi (tingkat kemiringan lahan). Dari kedua penelitian tersebut terdapat beberapa persamaan menyangkut faktor atau variabel yang mempengaruhi keputusan petani. Faktor tersebut diantaranya pendidikan, luas lahan, pendapatan atau penerimaan, dan usia. Namun demikian terdapat juga perbedaan terutama pada faktor atau variabel yang paling mempengaruhi keputusan petani. Dalam penelitian Muda, faktor yang mempengaruhi keputusan petani adalah faktor topografi, sedangkan penelitian Santoso menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani dalam memilih sistem pertanian adalah harga komoditi hasil pertanian. Penelitian yang hasilnya sedikit berbeda dari penelitian sebelumnya, terutama dari segi faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani yaitu penelitian Hasibuan (2003) mengenai “Proses Pengambilan Keputusan Untuk Mengadopsi Inovasi Intensifikasi Tambah Pada Masyarakat Pesisir (Kasus Masyarakat Petani Tambak di Desa Karanganyar, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei, dan memberikan kesimpulan bahwa: keputusan petani tambak untuk menerima dan menerapkan inovasi itam2 terjadi setelah petani melihat keberhasilan petambak lain (seing is beliving), di mana kepercayaan petani terbangun dari realitas empiris kehidupan sekitarnya. Faktor-faktor internal yang berhubungan nyata dan positif adalah tingkat kepercayaan. sedangkan faktor-faktor eksternal yang berhubungan nyata pada tingkat pengambilan keputusan adalah tingkat ketersediaan sarana produksi pertanian (saprotan), keterlibatan dengan kelembagaan dan hubungan patron klien. Tingkat pengambilan keputusan berhubungan nyata dengan penerapan inovasi itam sedangkan konsistensi penerapan komponen-
Itam merupakan program pemerintah tahun 1984/1985 yang bertujuan untukmeningkatkan peningkatan pendapatan petani tambak, meningkatkan produktivitas tambak serta menunjang industri maupun ekspor udang secara nasional (Hasibuan 2003:5). 2
20
Tinjauan Teoritis
komponen sarana produksi U2 (teknologi madya)3 tidak berhubungan nyata. Penelitian yang hampir sama dengan yang peneliti lakukan yaitu penelitian yang dilakukan Arief (2003) mengenai “Konversi Kebun Damar Mata Kucing (Shorea Javanica) (Studi Kasus Pengambilan Keputusan Oleh Petani di Desa Lubuk Baru, Kecamatan Sosoh Buaya Rayap, Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan)”. Penelitian Arief menggunakan metode kuantitatif deskriptif memberikan kesimpulan-kesimpulan penelitian: pertama, kondisi kebun damar di desa ini hampir mengalami kepunahan karena semakin sedikit petani damar yang mempertahankan kebun damarnya. Kedua, pengelolaan yang dilakukan tidak intensif. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani untuk meninggalkan atau mempertahankan kebun damarnya adalah sebagai berikut: a) Tingkat keamanan; tingkat keamanan berhubungan dengan lokasi kebun damar itu sendiri. Semakin jauh lokasi kebun maka tingkat keamanan semakin rendah dan kemungkinan untuk meninggalkan akan usaha perkebunan tersebut semakin besar. b) Pendapatan rumah tangga; faktor ini erat kaitannya dengan produktivitas kebun damar, luas total lahan garapan dan jumlah mata pencaharian petani. c) Waktu panen pertama dan kemudahan mendapatkan bibit. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani untuk mengganti damar dengan jeruk adalah: 1) Faktor waktu panen pertama; Semakin cepat menghasilkan maka jenis tersebut kemungkinan besar untuk dipilih. 2) Faktor kemudahan menjual; Semakin mudah dalam penjualan maka kemungkinan jenis komoditi itu dipilih akan semakin besar. 3) Pendapatan; pendapatan bersih yang didapatkan dari jeruk lebih besar dari pada damar. 4) Kemudahan mendapatkan bibit; Bibit jeruk sangat mudah didapatkan sedangkan bibit damar sekarang sedang mengalami kelangkaan bibit alam maupun bibit buatan. Suharjito (2002) dalam penelitiannya mengenai “Pemilihan Jenis Tanaman Kebun-Talun: Suatu Kajian Pengambilan Keputusan Oleh 3
Salah satu paket teknologi itam yang dianjurkan berdasarkan petunjuk intensifikasi pembudidayaan ikan Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian Tahun 1997 (Hasibuan 2003:5)
21
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
Petani” menggunakan metode pendekatan emik, dan penjelasan tentang pilihan didasarkan perspektif petani, dengan metode studi kasus. Penelitian menunjukkan bahwa petani memilih satu jenis tanaman untuk dibudidayakan karena mempunyai beberapa alasan. Alasan yang utama adalah supaya mendapatkan hasil yang banyak atau maksimal, dan juga agar hasilnya beragam. Alasan-alasan lainnya adalah kemudahan dalam memelihara, mudah dalam pemasarannya, harga stabil atau bahkan naik. Beberapa alasan tersebut menunjukkan orientasi pada tingkatan produktivitas, kegunaan untuk konsumsi keluarga, komoditi pasar, dan kontinuitas (harian, bulanan, tahunan). Petani memilih jenis tanaman yang pada satu sisi dapat menghasilkan produk yang dapat langsung dikonsumsi keluarga (kebutuhan subsistensi), dan pada sisi yang lain dapat dipasarkan untuk memperoleh pendapatan berupa uang (cash income). Hal ini menunjukkan bahwa petani berada pada dua pijakan, satu kaki pada tradisi dan kaki yang lain pada modernisasi. Oleh karena itu, komposisi jenis tanaman kebun talun sebagian tidak berubah (petai, jengkol, durian, kelapa) dan sebagian lain mengalami perubahan (cengkeh, sengon) sebagai upaya penyesuaian terhadap perubahan kebutuhan petani. Jenis tanaman yang baru diusahakan berorientasi untuk dijual (komersial) sedangkan jenis tanaman lama diorientasikan untuk dikonsumsi sendiri dan juga dijual.
Alih Komoditi Pertanian Beserta Faktor Yang Mempengaruhinya Hasibuan (2011) dengan penelitian “Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem” dengan menggunakan metode analisis pendapatan dan analisis finansial memperoleh hasil penelitian bahwa tingkat pendapatan usaha tani kelapa sawit lebih menguntungkan dari pada usaha tani tebu. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu ke kelapa sawit adalah tingkat pendapatan usaha tebu mengalami kerugian sebesar Rp. 5.029.220 per ha per musim tanam sedangkan usaha tani kelapa sawit menguntungkan sebesar Rp. 13.24.267 per ha per tahun.
22
Tinjauan Teoritis
Dari penelitian Purba (2009) mengenai “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun” dan mengambilan data pada yaitu pada PT. Perkebunan Nusantara IV dengan menggunakan pendekatan analisis ordinary least square (OLS) menyimpulkan bahwa: pertama, harga teh dan jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga tandan buah segar (TBS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit. Kedua, TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan teh ke kelapa sawit. Ketiga, Menurunya tenaga kerja perkebunan teh setelah ada konvesi lahan selama periode tahun 2000-2005 dengan rata-rata 725,67 HOK per tahun. Keempat, produktivitas tenaga kerja perkebunan teh menurun setelah ada konversi lahan selama periode tahun 2002-2005 dengan rata-rata 1,09 ton per ha per tahun. Kelima, Produktivitas teh menurun selama periode tahun 2000-2005 dengan rata-rata 61,55 ton per ha per tahun. Asni (2005) dalam penelitiannya “Analisis Produksi, Pendapatan dan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Labuan Batu” dengan menggunakan Ordinary Least Square sebagai analisis data pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan modal terhadap produksi pada sawah dan kelapa sawit rakyat, serta menganalisis pengaruh faktor sosial, ekonomi dan fisik lahan terhadap alih fungsi lahan padi sawah menjadi kelapa sawit rakyat di Kabupaten Labuan Batu. Asni berkesimpulan bahwa: pertama luas lahan dan produksi sawah di Kabupaten Lebuan Batu mengalami perubahan setiap tahun, sedangkan luas dan produksi kelapa sawit rakyat mengalami peningkatan. Disebabkan sebagian petani mengalih fungsikan lahan padi sawah menjadi perkebunan kelapa sawit. Kedua faktor yang signifikan mempengaruhi alih fungsi lahan padi sawah menjadi kelapa sawit rakyat adalah pendidikan, pendapatan dan kesempatan menabung. Kecenderungan lahan sawah yang dialih fungsikan adalah lahan sawah bukan irigasi teknis. Ketiga usaha tani kelapa sawit lebih efisien dibandingkan dengan usaha tani padi sawah. 23
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian Beserta Faktor Yang Mempengaruhinya Beberapa penelitian yang telah ditunjukkan sebelumnya merupakan penelitian pengambilan keputusan dan alih komoditi pada sektor pertanian. Pada bagian ini peneliti ingin menunjukkan beberapa penelitian lain yaitu penelitian mengenai alih fungsi lahan (konversi lahan) yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Penelitian konversi dari lahan pertanian menjadi non pertanian lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan penelitian alih komoditi. Penelitian tersebut diantaranya oleh Munir (2008) mengenai “Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)” yang menggunakan metode penelitian survei dengan deskriptif korelasional menunjukkan bahwa, konversi lahan pertanian menjadi pertambangan pasir dan batu diawali oleh jatuhnya harga komoditi pertanian masyarakat dan juga karena kelangkaan sarana produksi pertanian (SAPROTAN). Tiap tahun lahan pertanian desa Candimulyo digali pasir dan batunya sehingga kini tampak seperti bukit berongga. Dari penelitian ini faktor pendorong terjadinya konversi lahan di Candimulyo berawal dari keinginan para petani untuk mempertahankan kehidupannya karena penghasilan dari bercocok tanam dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ada juga hal lain seperti faktor internal yang meliputi umur petani (30-40 tahun), tingkat pendidikan (tidak sekolah atau berpendidikan rendah), jumlah tanggungan keluarga (lebih dari empat orang), luas kepemilikan lahan (lahan sempit di bawah 0.25 ha). Sedangkan faktor eksternalnya meliputi pengaruh tetangga, pengaruh investor dan pengaruh kebijakan pemerintah (konversi lahan yang terjadi adalah kebijakan pemerintah daerah). Dari perhitungan statistik, konversi lahan pada kasus ini berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga petani karena hasil pertambangan lebih dapat dinikmati setiap hari, sedangkan untuk hasil pertanian harus menunggu sampai musim panen tiba (tiga sampai empat bulan). Dampak positif dari konversi lahan yang kini dirasakan masyarakat adalah tingkat kesejahteraan yang meningkat serta berkurangnya 24
Tinjauan Teoritis
tingkat pengangguran karena kebanyakan masyarakat yang awalnya menganggur kini ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan adalah perubahan sikap masyarakat yang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain dan juga dampak lingkungan seperti kerusakan lahan pertanian yang menyebabkan rawannya bencana banjir dan longsor. Akhmad (2011) dengan penelitiannya mengenai “Dampak Pengembangan Lokasi Perumahan Sederhana Sehat Terhadap Ekonomi Petani di Pinggiran Kota Palu” menunjukkan bahwa pendapatan petani berbeda antara sebelum dan sesudah melepaskan tanah pertaniannya untuk dijadikan perumahan. Yang terjadi adalah berkurangnya bahkan hilangnya mata pencaharian dan pendapatan petani juga dari lahan pertanian hilang. Penelitian Sihaloho et al (2004) mengenai “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agrarian (Studi Kasus di Kelurahan Mulyaharaja, Kecamatan Bogor Selatan, kota Bogor, Jawa Barat)” dengan metode kualitatif, mengemukakan beberapa hal yang merupakan kesimpulan dari penelitiannya. Pertama, faktor–faktor yang menyebabkan konversi dibagi manjadi dua, yaitu aras makro, meliputi kebijakan pemerintah yang memberikan iklim kondusif bagi transformasi peruntukan suatu kawasan dan perubahan penduduk alamiah dan non alamiah (migrasi masuk lebih besar dari migrasi keluar). Di aras makro, terdiri dari “keterdesakan ekonomi”, investasi pihak “pemodal”, proses alih fungsi hak milik atas tanah, dan proses pengadaan tanah. Kedua, berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan serta dilengkapi pihak pelaku, pemanfaatan konversi dan proses konversi dilakukan, maka tipologi konversi yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja terdiri dari 7 tipologi yaitu: 1.
Konversi gradual-berpola sporadis; diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak atau kurang produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. Sebagai petani, warga membutuhkan lahan yang lebih produktif. Setelah menjual tanah pertama yang dimiliki, petani membeli tanah lain. Namun demikian ada juga petani yang tidak dapat membeli 25
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
tanah pengganti karena uang hasil penjualan digunakan keluarga petani untuk kebutuhan yang mendesak. 2.
Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3.
Konversi sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); di mana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Pertumbuhan penduduk tersebut yaitu baik secara alami (natural) maupun karena migrasi.
4.
Konversi disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); Konversi ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu keterdesakan ekonomi (menjual lahan kepada pendatang) dan perubahan kesejahteraan (menjual lahan karena ekonomi semakin baik dan juga karena ingin menikmati fasilitas seperti listrik, air, akses ke jalan, sekolah dekat ke tmpat pekerjaan dan lain-lain).
5.
Konversi “tanpa beban”; Konversi yang disebabkan satu faktor penggerak utama yaitu keinginan untuk mengubah nasib hidup yang lebih baik dari keadaan sebelumnya dan ingin keluar dari kampung dan atau kelurahan. Pola ini berhubungan dengan pola konversi masalah sosial dalam hal ingin mengubah nasib. Hal lain yang menyebabkannya adalah kondisi sarana dan prasarana di wilayah perkampungan.
6.
Konversi adaptasi agraris; adalah konversi karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah. Hal ini dilakukan dengan menjual lahan yang kurang produktif dan kemudian membeli lahan pertanian yang produktif dengan tujuan dapat meningkatkan hasil pertanian.
7.
Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk atau tanpa pola; konversi ini diakibatkan oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan,
26
Tinjauan Teoritis
termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan secara spesifik dalam konversi adaptasi demografi. Masih menurut penelitian Sihaloho et al (2004), pola konversi yang umum terjadi pada daerah penelitian mereka adalah konversi sistemik berpola “enclave”, dan pola konversi yang unik atau spesifik lokal adalah konversi masalah sosial dan konversi adaptasi agraris. Ketiga, konversi lahan pertanian berimplikasi pada perubahan atau struktur agraria yang menghasilkan ketimpangan struktur agraria lahan terhadap kehidupan masyarakat, menyangkut pola penguasaan lahan, pola nafkah dan hubungan pola produksi. Konversi lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja umumnya merupakan kehendak PT yang ingin menguasai lahan yang akan digunakan untuk berbagai kepentingan. Pola nafkah, khususnya pada generasi yang muda sudah beralih ke sektor industri dalam hal ini usaha “bengkel”. Ketimpangan struktur agraria berimplikasi terhadap kehidupan atau kesejahteraan masyarakat. Melalui konversi lahan, perubahan hak atas tanah jelas telah berubah dan juga secara perlahan merubah budaya bertani khususnya pada generasi muda yang lebih senang bekerja di luar sektor pertanian seperti “bengkel” sandal dan sepatu. Beberapa penelitian sebelumnya, baik pengambilan keputusan petani, alih komoditi dan konversi lahan sudah cukup baik. Namun demikian, penelitian yang telah dilakukan khususnya alih komoditi masih lebih banyak pada perkebunan besar milik swasta (PT) dan belum banyak peneliti yang berfokus pada alih komoditi petani perkebunan rakyat. Untuk penelitian pengambilan keputusan petani, penelitian sebelumnya telah menentukan variabel atau faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani kemudian dilakukan pengujian dari sampel yang diambil dengan cara kuantitatif. Namun pada penelitian yang dilakukan peneliti, penentuan variabel atau faktorfaktor tersebut tidak akan ditentukan dari awal, melainkan setelah melihat fakta dan hasil penelitian di lapangan. Secara keseluruhan, penelitian sebelumnya lebih banyak melakukan penelitian mengenai alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Untuk itu, penelitian ini akan berusaha untuk mengkaji lebih mendalam masalah keputusan petani dalam mempertahankan atau beralih menjadi petani komoditi 27
Dinamika Usaha Tani Perkebunan
lain. Penelitian ini juga akan menggunakan metode yang berbeda dari beberapa peneliti sebelumnya dan akan dilakukan pada objek petani perkebunan yang belum banyak diteliti oleh penelitian sebelumnya. Selain tempat dan waktu yang berbeda, masalah kompleks pada keputusan dan usaha pertanian yang terus terjadi dibeberapa wilayah, mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini.
Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Secara sederhana, lingkup kajian yang peneliti maksud dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. yang akan menggambarkan bagaimana perjalanan keputusan yang diambil oleh dua kelompok petani. Dimulai dari awal petani tersebut memilih untuk bertani kakao kemudian bagaimana mereka sekarang ini dihadapkan terhadap pilihan-pilihan yang baru. Terdapat dua pilihan yang tersedia bagi petani, yaitu pilihan untuk mempertahankan lahan dan usaha 28
Tinjauan Teoritis
perkebunan kakao, atau pilihan kedua yaitu beralih mengusahakan komoditi perkebunan lain (alih komoditi). Sebagai fokus utama, peneliti akan mengkaji secara mendalam keputusan petani untuk memilih satu diantara kedua pilihan tersebut melalui alasan atau faktor yang mempengaruhinya. Setelah mengetahui alasan atau faktor tersebut, peneliti merasa perlu untuk melihat berapa sumbangan pendapatan usaha pertanian kakao terhadap ekonomi rumah tangga petani. Gambaran ekonomi rumah tangga petani secara umum juga perlu dilihat melalui pendapatan dan konsumsinya sebagai pendukung bagi permasalahan utama tulisan ini. Sebagai tambahan, peneliti akan melihat bagaimana sistem pengolahan dan hasil atau pendapatan petani komoditi lain (bukan kakao) yang komoditinya dijadikan petani kakao sebagai tanaman perkebunannya yang baru.
29