II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Tahu Menurut Sarwono dan Saragih (2003), tahu merupakan makanan yang
berasal dari Cina yang diperkenalkan oleh Liu An pada tahun 164 SM. Istilah tahu yaitu tao-hu atau teu-hu terdiri dari dua kata tao atau teu berarti kedelai sedangkan hu berarti lumat atau hancur menjadi bubur, sehingga menjadi tahu atau tofu yang berarti makanan dengan bahan baku kedelai yang dilumatkan menjadi bubur. Menurut Muchtadi (2010), tahu merupakan bahan pangan yang telah dikonsumsi masyarakat Asia sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut catatan sejarah, tahu pertama kali diproduksi dan dikonsumsi sejak 2000 tahun yang lalu di Cina dan catatan tertua mengenai tahu juga ditemukan di Cina sekitar 1500 tahun sebelum masehi dalam suatu puisi “Ode to Tofu” yang ditulis oleh Su Ping. Tahu dikenal juga sebagai “soybean curd”, yang berarti suatu bahan pangan bertekstur lunak mirip keju, yang diproduksi dengan cara mengendapkan susu kedelai menggunakan suatu koagulan. 2.2
Industri Tahu Industri menurut Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2009 adalah kegiatan
ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Perkembangan industri dewasa ini telah memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah pabrik tahu yang cukup besar. Menurut Sadzali (2010), pada tahun 2010
7
sampai bulan Mei tercatat jumlah industri tahu di indonesia mencapai 84.000 unit usaha, dengan produksi lebih dari 2,56 juta ton per hari. Penyebaran industri tahu, sekitar 80% terdapat di pulau Jawa, sehingga limbah yang dihasilkan diperkirakan lebih tinggi dibandingkan industri tahu di luar pulau Jawa. 2.3
Limbah Menurut Peraturan Pemerintah No.74 tahun 2001, limbah adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Menurut Astuti et al (2007), air limbah tahu mengandung bahan organik dan bila langsung dibuang ke badan air penerima tanpa ada nya proses pengolahan akan menimbulkan pencemaran, seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air sehingga mengakibatkan organisme yang hidup didalam air terganggu karena kehidupannya tergantung pada lingkungan sekitarnya. Pencemaran yang dilakukan terus menerus akan mengakibatkan matinya organisme yang ada dalam air, dan air berubah kondisinya menjadi anaerob. Agung dan Winata (2011), limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses industri tahu dan saat pencucian kedelai sebelum proses produksinya. Limbah yang dihasilkan yaitu berupa limbah padat dan cair. Limbah padat industri tahu tidak dirasakan dampaknya oleh masyarakat karena limbah padat industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemakaian air banyak
8
digunakan dalam proses produksi tahu diantaranya saat proses pencucian dan perebusan sehingga dihasilkan limbah cair yang cukup besar. Limbah cair industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi. Pencemaran limbah cair industri tahu berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu. 2.4
Pengolahan Limbah Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.3 tahun
1998, bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke media lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian. Menurut Peraturan Pemerintah No.74 tahun 2001, pengelolaan limbah adalah dengan rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan dan penimbunan limbah. 2.5
Eksternalitas Menurut Fauzi (2006), eksternalitas didefinisikan sebagai dampak (positif
atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Ekternalitas merupakan fenomena yang kita hadapi sehari-hari, yang tidak hanya
9
terbatas pada pengelolaan sumberdaya alam, contohnya jalan yang macet, asap rokok yang dihirup dari orang lain yang merokok. Menurut Sadzali (2010), aktivitas ekonomi masyarakat yang berlebihan akan menimbulkan eksternalitas negatif yang dapat merugikan pihak/negara lain dalam konteks pembangunan regional. Menurutnya juga eksternalitas akan menimbulkan masalah yakni bila produsen maupun konsumen menyebabkan pengaruh
eksternal,
yakni
bila
aktivitas
produsen
maupun
konsumen
menyebabkan biaya atau manfaat pada orang lain (pihak ketiga). Masalah ini akan muncul karena biaya ataupun manfaat eksternal tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan oleh konsumen maupun produsen dalam aktivitasnya. Sehingga yang terjadi adalah baik konsumen maupun produsen dalam melakukan aktivitasnya akan bersikap underestimate. Menurut Harmoni dan Juarna (2005), eksternalitas menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tidak efisien. Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak terhadap pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayarkan oleh pihak penyebab atau kompensasi yang diterima oleh pihak terkena dampak atau efek aktifitas ekonomi dari satu pihak terhadap pihak lain, yang tidak diperhitungkan dalam sistem harga. Hal ini menekankan pada dampak non pasar yang secara langsung berpengaruh pada satu pelaku pada pelaku lainnya. Jadi ada dua syarat terjadinya eksternalitas, yaitu 1) adanya pengaruh dari satu tindakan dan 2) tidak adanya kompensasi yang dibayarkan atau diterima. Eksternalitas terutama ditinjau untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat (sosial walfare) manakala yang terjadi adalah eksternalitas negatif, dan menciptakan pasar yang sehat dengan mempertahankan nilai surplus wajar bagi
10
produsen manakala yang terjadi adalah eksternalitas positif. Eksternalitas dapat diatasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tetapi pada umumnya memerlukan campur tangan pemerintah untuk menyelesaikan. 2.6
Internalisasi Biaya eksternal Sumberdaya alam dalam beberapa hal tidak ditransaksikan dalam
mekanisme pasar atau mekanisme pasar tidak berjalan sepurna. Dalam hal ini contohnya barang lingkungan seperti kualitas air sungai yang merupakan barang yang tidak memiliki harga pasar sehingga sulit untuk melakukan penilaian. Oleh karena tidak adanya nilai dari kualitas sungai maka masyarakat merasa bebas untuk memanfaatkan tanpa terikat kewajiban untuk melestarikan sungai (Fauzi, 2006). Pemanfaatan air sungai yang dilakukan secara berlebihan dapat menyebabkan dampak negatif bagi pengguna lainnya, sehingga pengguna lain harus mengeluarkan biaya eksternal karena telah memanfaatkan air sungai yang tercemar Menurut Fauzi (2006), di dalam pasar bebas tidak mengenal adanya eksternalitas. Segala bentuk transaksi dalam hal ini permintaan dan penawaran berjalan sempurna, artinya pasar dapat memenuhi permintaan yang ada. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan barang lingkungan seperti kualitas air, permintaan akan air yang bersih sesuai baku mutu tidak dapat disediakan oleh pasar karena ketiadaan pasar bagi kualitas air sungai yang bersih, dalam hal ini pasar tidak berjalan atau dapat dikatakan telah terjadi kegagalan pasar (market failure). Market failure disebabkan oleh kegagalan pasar dapar dikurangi dengan beberapa kebijakan diantaranya :
11
1. Pengaturan property right dengan cara pemerintah memberikan hak tersebut kepada suatu pihak yang menggunakan barang public 2. Internalisasi biaya eksternal 3. Distribusi right 4. Optimalisasi produksi dan konsumsi 5. Aturan insentif dan kompensasi 6. Penilaian lingkungan 7. Penyusunan neraca sumberdaya alam 8. Penentapan otoritas sumberdaya alam Dari kebijakan yang telah diuraikan di atas salah satu yang dapat dilakukan untuk mengatasi eskternalitas yang menyebabkan penurunan kualitas air sungai yaitu dengan melakukan internalisasi biaya eksternal. Internalisasi biaya eksternal merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha (Fauzi, 2006) 2.7
Analisis Finansial Menurut Affianto et al. (2005), analisis finansial adalah suatu analisis
yang ditujukan untuk mengetahui tingkat pendapatan suatu proses produksi dilihat dari sudut pandang individu. Tingkat pendapatan disini adalah selisih antara penerimaan dengan biaya. Menurut Soekartawi (2006) rumus sederhana dari pendapatan sebagai berikut: I = TR - TC dimana: I : Income (pendapatan) TR : Total Revenue (total penerimaan) TC : Total Cost (total biaya)
12
Keterangan: TR>TC : Usaha menguntungkan TR
Penyusutan Menurut
Suratiyah
(2009),
ada
empat
macam
cara
untuk
memperhitungkan nilai penyusutan salah satunya adalah metode garis lurus atau straight-line method. Dalam metode garis lurus lebih melihat aspek waktu daripada aspek kegunaan. Metode ini paling banyak diterapkan karena paling mudah diaplikasikan. Dalam metode garis lurus, beban penyusutan untuk tiap tahun nilainya sama besar dan tidak dipengaruhi dengan hasil/output yang diproduksi. Perhitungan penyusutan untuk metode garis lurus adalah sebagai berikut: Penyusutan per tahun = biaya yang dikeluarkan – nilai sisa Umur ekonomis 2.9
Persepsi Menurut
Fieldman
(2012)
persepsi
adalah
proses
menyortir,
menginterpretasi, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsangan yang dibawa oleh organ indra dan otak. Menurut Sarwono (2002) persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebaginya). Sebaliknya alat untuk memehaminya adalah kesadaran atau kognisi. Persepsi terjadi dipengaruhi oleh pengamatan lampau dan sikap individu di masa sekarang. Persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman. Oleh karena itu persepsi merupakan 13
proses pengamatan seseorang yang berasal dari kemampuas kognisi dan dipengaruhi factor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Sehingga persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya (Akramudin, 2000). 2.10
Penelitian Terdahulu Penelitian Romli dan Suprihatin (2009) mengenai beban pencemaran
limbah industri tahu dan analisis alternatif strategi pengelolaanya bertujuan untuk mengetahui proses produksi dan pemanfaatan yang dapat dilakukan dimana limbah diolah secara anaerobik untuk menghasilkan biogas. Berdasarkan tahapan proses pembuatan tahu dihasilkan tahu putih dengan berbabgai ukuran. Pengolahan dengan 1 kg kedele dihasilkan tahu sejumlah 3.3±0.7 kg dan ampas tahu sejumlah 2.0±2.2 kg. Jumlah limbah cair per kg kedele didapat 17±3 L. limbah cair industri tahu didapat nilai rata-rata (± standar deviasi BOD5, COD total dan COD terlarut, TSS dan Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) secara berturutturut adalah 3.500±900, 7.300±1.700, 5.600±1.800, 500±250, dan 280±140 mg/L atau setara dengan beban 50±8, 110±20, 80±20, 9±3, 4±2 gr/kg dengan kedele yang diolah. Bahan organik dalam limbah cair industri tahu berpotensi menjadi biogas. Pengolahan limbah cair dengan bioreaktor anaerobik dapat digunakan sebagai solusi masalah lingkungan karena tidak membutuhkan biaya investasi dan operasional yang tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan bakar. Hasil penelitian Shaffitri (2011) mengenai limbah cair tahu yang diteliti untuk mendeskripsikan profil industri tahu yang dikaji dari aspek proses produksi tahu, identifikasi jenis limbah yang dihasilkan industri, pengolahan limbah tahu dan mengidentifikasi dampak negatif dari limbah tahu, mengestimasi biaya
14
produksi tahu sebelum dan sesudah internalisasi biaya eksternal, mengestimasi biaya eksternal yang timbul akibat pembuangan limbah tahu, mengestimasi nilai ekonomi manfaat internalisasi biaya eksternal, dan mengestimasi nilai kesediaan membayar (willingness to pay) pengrajin tahu untuk membayar iuran pengolahan limbah tahu. Hasilnya untuk limbah padat tahu diolah kembali menjadi pakan ternak dan sebagai bahan baku pembuatan keripik ampas tahu, sedangkan limbah cair tahu diolah kembali menjadi biogas yaitu sekitar 12 % dan selebihnya masih dibuang ke sungai tanpa melalui pengolahan Penelitian Natalia (2008)
pertama bertujuan untuk
menganalisis
internalisasi biaya pengolahan limbah dengan menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup dalam melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL yaitu sebesar Rp 167.999.000. Kedua bertujuan untuk menganalisis perubahan biaya produksi dengan adanya internalisasi biaya eksternal, dengan hasil yaitu biaya produksi mengalami kenaikan sebesar 1,02%. Ketiga bertujuan untuk mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe dalam melakukan pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe, dengan hasil total WTP pengrajin sebesar Rp 78.000.000/tahun Penelitian selanjutnya, Harmoni dan Juarna (2005) mengenai pengaruh internalisasi biaya eksternal melalui pajak pigau terhadap sejumlah parameter pasar, yaitu sejumlah barang, harga, surplus konsumen, dan surplus produsen. Perhitungan dengan menggunakan data ilustratif menunjukkan bahwa internalisasi biaya eksternal memperngaruhi surplus konsumen dan produsen dan menciptakan pasar baru. Internalisasai biaya eksternalitas negatif menurunkan jumlah barang
15
yang beredar di masyarakat sekaligus menaikkan harga satuan barang tersebut. Kenaikan surplus produsen dikurangi dengan pajak pigou. Internalisasi ini tidak menghilangkan biaya sosial tetapi hanya mengurangi sesuai baku ambang yang ditetapkan pemerintah. Internalisasi biaya eksternalitas positif meningkatkan jumlah barang yang beredar dimasyarakat sekaligus menaikkan harga satuan barang tersebut. Kenaikkan produksi oleh produsen dibantu oleh subsidi sesuai skema Pigou. Surplus konsumen maupun produsen meningkat. Keempat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya melakukan perhitungan biaya eksternal yang timbul akibat pencemaran lingkungan, hanya saja penelitian ini sebatas pegukuran terhadap biaya eksternal kemudian menginternalisasikannya ke dalam struktur biaya produksi yang berimplikasi pada penurunan kuantitas jumlah barang yang diproduksi. Kelebihan dalam penelitian ini
adalah
selain
melakukan
estimasi
biaya
eksternal
kemudian
menginternalisasikannya ke dalam struktur biaya produksi yang hanya melihat dari segi pemilik industri juga meneliti bagaimana persepsi masyarakat akibat adanya limbah yang dihasilkan dari industri tahu.
16