TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar, 2001). Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya. Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila kontruksi terebut akan berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997). Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan
Universitas Sumatera Utara
kayu dapat dilihat pada Tabel 1. dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan 1 Sangat awet 2 Awet 3 agak awet 4 tidak awet 5 sangat tidak awet
Umur Pemakaian Rata-rata (tahun) >8 5–8 3–5 1.5 – 3 < 1.5
Sumber : Suranto (2002)
Tabel 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai Kayu pada Setiap Kelas Keawetan Kayu No Kondisi Umur Pakai (Tahun) Pada Kelas Keawetan Pemakaian I II III IV V 1 Terbuka 8 5 3 Pendek Sangat pendek 2 Dinaungi saja 20 15 10 Beberapa Pendek 3 Dinaungi dan Tidak Tidak Sangat Beberapa Pendek dicat terbatas terbatas panjang 4 Dinaungi dan Tidak Tidak Sangat 20 20 dipelihara terbatas terbatas panjang Sumber : Suranto (2002)
Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat dilihat juga selain faktor biologis, terdapat faktor lain yang mempengaruhi keawetan kayu. Terlihat jelas pada tempat kayu tersebut dipakai. Kayu yang awet jika dipakai di bawah atap belum tentu akan awet bila dipakai di luar dan berhubungan dengan tanah lembab. Kayu yang dipakai di daerah pegunungan tinggi keawetannya akan berkurang jika dipakai di dataran rendah. Demikian juga kayu yang diawetkan di Amerika Utara belum tentu akan tahan lama jika dipakai di daerah tropis. Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor lain seperti, kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997). Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dan Bowyer (1996), apabila kayu secara alami dapat tahan
Universitas Sumatera Utara
terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.
Aspek Pengawetan Kayu Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia ke dalam kayu dengan tujuan melindungi kayu atau memperpanjang umur pakai kayu. Suranto (2002) mengemukakan bahwa pengawetan kayu adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang. Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu: 1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya. 2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk kayu, gubal/teras dan sebagainya. 3. Metode pengawetan yang digunakan. 4. Sifat bahan pengawet yang dipakai.
Universitas Sumatera Utara
Bahan Pengawet Kayu Bahan pengawet kayu menurut Hunt dan Garrat (1986), adalah bahanbahan kimia yang apabila diterapkan secara baik pada kayu, akan membuat kayu itu tahan terhadap serangan cendawan, serangga, atau cacing-cacing kapal. Efek perlindungannya itu tercapai dengan menjadikan kayu itu beracun atau kalis terhadap organisme yang menyerangnya. Bahan-bahan pengawet ini sangat berbeda dalam sifat, harga, keefektifan, dan kecocokan penggunaannya di bawah kondisi-kondisi pemakaian yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Suranto (2002), bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga dan perusak-perusak kayu lainnya. Menurut Duljapar (2001), untuk digunakan secara komersial, bahan pengawet kayu yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Memiliki daya penetrasi yang cukup tinggi 2. Memiliki daya racun ampuh 3. Bersifat permanen 4. Aman dipakai 5. Tidak bersifat korosif terhadap logam 6. Bersih dalam pemakaian 7. Tidak mengurangi sifat baik kayu 8. Tidak mudah terbakar 9. Mudah diperoleh dengan harga murah
Universitas Sumatera Utara
Nicholas
(1988)
mengemukakan
secara
umum
bahan
pengawet
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang sifat, kandungan bahan aktif dan harga yang beredar di pasaran sangat beragam yaitu: 1. Bahan pengawet berupa minyak 2. Bahan pengawet yang larut dalam minyak 3. Bahan pengawet larut air.
Bahan Pengawet Asam Borat Asam borat dan boraks dapat digunakan secara terpisah maupun bersamasama (dicampur) untuk mengawetkan kayu agar terhindar dari cendawan dan serangga perusak kayu. Harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi sebagai bahan pengawet kayu. Meskipun demikian, bahan pengawet asam borat ini mudah mengalami pelunturan. Oleh karena itu, bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi rumah (misal rangka atap) dan tidak dianjurkan untuk kayu yang dalam penggunaannya berhubungan dengan tanah atau kondisi lembab (misalnya pagar). Sifat yang alkalis membuat boraks dan asam borat sangat korosif terhadap paku atau besi lain yang bersinggungan dengannya. Sebagai bahan pengawet, asam borat digunakan dalam konsentrasi 6%-10% (Suranto, 2002). Menurut Duljapar (2001), bahan pengawet larut air mempunyai kelebihan antara lain: 1. Harganya murah 2. Mudah diperoleh 3. Tidak berbau
Universitas Sumatera Utara
4. Tidak berwarna (bersih dalam pemakaian) 5. Tidak mudah terbakar Menurut Hunt dan Garrat (1986), bahan pengawet larut air ini juga mengandung kelemahan sebagai berikut: 1. Kayu yang diawetkan akan memuai ukuran dimensi pajang, lebar dan tebalnya. 2. Air sebagai bahan pelarut akan membasahi kayu sehingga untuk penggunaan tertentu kayu harus dikeringkan lagi, sementara itu proses pengeringan ini akan menyusutkan kembali ukuran kayu. 3. Bahan pengawet ini tidak memberi perlindungan kayu terhadap pelapukan dan keausan mekanis. 4. Bahan pengawet ini lebih mudah luntur, terurai dan semakin lama akan berkurang kadarnya pada kayu yang diawetkan apabila kayu ini digunakan dalam kondisi yang berhubungan dengan air atau tanah basah.
Metode Pengawetan Kayu (Perendaman) Metode pengawetan kayu dengan cara perendaman ini dilakukan dengan merendam kayu di dalam bahan pengawet larut air pada suhu kamar. Pemanasan bahan pengawet sedikit di atas suhu kamar akan membuat proses pengawetan lebih efektif. Apabila cara ini diterapkan pada kayu kering, baik air maupun bahan pengawetnya akan masuk ke dalam kayu (Suranto, 2002). Menurut Duljapar (2001), metode pengawetan kayu dengan cara perendaman dapat dibagi dua, yaitu perendaman dingin dan perendaman panasdingin. Perendaman dingin dilakukan dengan cara merendam kayu ke dalam
Universitas Sumatera Utara
bahan pengawet selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini biasanya dilakukan dalam suhu kamar. Larutan bahan pengawet yang digunakan dapat berupa bahan pengawet yang larut dalam air atau larut dalam minyak. Larutan yang digunakan harus cukup cair agar dapat meresap cukup dalam. Sedangkan pada proses perendaman panas-dingin, bak perendam kayu dipanaskan kemudian kayu dimasukkan dan dibiarkan dalam bak sampai larutan menjadi dingin. Kayu yang akan diawetkan dengan cara ini harus berkadar air maksimal 45%. Absorbsi bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman. Tetapi akan terus berlangsung terus dengan lebih lambat selama waktu yang tak tertentu. Oleh karena itu makin lama bahan pengawet dapat tetap dalam kayu makin baik pengawetan yang diperoleh. Apabila perendaman ini berlangsung cukup lama, absorbsi dan peresapannya akan sama, atau bahkan melebihi yang diperoleh pada proses bertekanan. Tetapi ini memerlukan perendaman bulanan, atau bahkan dalam tahunan (Hunt dan Garrat, 1986). Di dalam bak pengawet, kayu tidak boleh terapung, tetapi harus tenggelam, bahan kayu gergajian harus disusun secara baik dan jarak antar (tumpukan) kayu yang berdampingan harus cukup lebar. Susunan demikian dimaksudkan untuk memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu (Suranto, 2002).
Keberhasilan Pengawetan Kayu Menurut Tim Elsppat (1997), agar hasil pengawetan kayu sesuai dengan yang diharapkan, pertama-tama haruslah diketahui dulu jenis kayunya dan
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan penyebab kerusakannya. Meskipun keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988). Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang
juga
ikut
menentukan
keberhasilan
pengawetan.
Suranto
(2002)
mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet.
a. Retensi Menurut Duljapar (2001), kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu disebut retensi. Retensi dihitung berdasarkan selisih berat masing-masing contoh kayu sebelum dan sesudah diawetkan dengan rumus sebagai berikut: R=
Ba − Bo xK V
Keterangan: Ba
= berat kayu sesudah diawetkan (kg)
Bo
= berat kayu sebelum diawetkan (kg)
R
= retensi bahan pengawet (kg/m3)
K
= konsentrasi larutan (%)
V
= volume kayu yang diawetkan (m3) Menurut Suranto (2002), Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni
yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga
Universitas Sumatera Utara
semakin besar. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3 atau kg/m3. Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedang pada absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).
b. Penetrasi Menurut Suranto (2002), penetrasi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Semakin dalam suatu bahan pengawet dapat memasuki kayu, penetrasi pengawetannya dikatakan semakin dalam. Sebaliknya semakin dangkal bahan pengawet memasuki bagian dalam kayu, penetrasi bahan pengawet ini juga dikatakan semakin dangkal. Apabila penetrasi ini sangat dalam, derajat pengawetan kayu dikatakan sebagai sangat tinggi. Penetrasi adalah kemampuan tembus bahan pengawet ke dalam sel-sel kayu yang diawetkan. Penetrasi sangat dipengaruhi oleh kadar air kayu, cara pengawetan yang digunakan, ukuran dan keadaan kayu, serta perbandingan antara kayu gubal dan kayu teras (Duljapar, 2001). Menurut Duljapar (2001), tingkat penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu di kategorikan atas lima kelas sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Penetrasi total (kelas A) Pada penetrasi ini, bahan pengawet dapat memasuki seluruh sel-sel kayu secara sempurna. Penetrasi ini memang sulit dicapai. 2. Penetrasi mendekati sempurna (kelas B) Bahan pengawet dalam penetrasi ini dapat menembus kedalaman 30 mm pada permukaan kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 100 mm pada bagian ujung-ujungnya. 3. Penetrasi dalam (kelas C) Bahan pengawet dapat terpenetrasi sampai kedalaman 10 mm pada bagian tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 50 mm pada bagian ujungujungnya. 4. Penetrasi sedang (kelas D) Pada penetrasi sedang, sekurang-kurangnya mencapai kedalaman 1 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 10 mm pada bagian ujung-ujung kayu. 5. Penetrasi permukaan Sekurang-kurangnya bahan pengawet dapat menembus kedalaman 0,5 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 2 mm pada bagian ujung-ujungnya.
Keterawetan Kayu Keterawetan kayu adalah suatu sifat yang dimiliki kayu terhadap mudah tidaknya suatu kayu tersebut ditembus oleh bahan pengawet. Keterawetan kayu juga dipengaruhi oleh faktor anatomi kayu berupa rapat tidaknya susunan sel, ada
Universitas Sumatera Utara
tidaknya timbunan bahan dalam isi sel, besar kecilnya lubang pori dan adanya getah atau saluran damar serta noktah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Menurut Suranto (2002), keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Kayu yang semakin mudah dimasuki bahan pengawet, dikatakan bahwa kayu itu mempunyai keterawetan tinggi. Sebaliknya kayu yang semakin sukar dimasuki bahan pengawet, disebut sebagai kayu yang mempunyai keterawetan rendah. Dengan demikian, keterawetan kayu menyangkut masalah ketahanan kayu terhadap masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Pada umumnya, keterawetan kayu berbeda-beda antara jenis kayu yang satu terhadap jenis kayu yang lain. Keterawetan kayu ditentukan oleh empat hal, yaitu jenis kayu, kondisi kayu yang diawetkan, metode pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan. Jenis-jenis kayu yang mempunyai keterawetan hampir sama dapat diawetkan secara bersama-sama dengan menggunakan metode dan skema pengawetan yang sama pula. Namun sayang, kita sulit mendapatkan kayu-kayu yang mempunyai keterawetan sama, apalagi bila kayu itu berasal dari jenis berbeda (Suranto, 2002). Kayu yang mempunyai derajat keterawetan tinggi berarti kayu itu mudah diawetkan sehingga kayu itu dapat diawetkan dengan hasil memuaskan, meskipun dengan metode sederhana atau pengawetan tanpa tekan. Sebaliknya, kayu yang mempunyai keterawetan rendah, maka kayu tersebut sangat sukar untuk diawetkan dengan proses pengawetan sederhana. Oleh karena itu, kayu demikian
Universitas Sumatera Utara
harus diawetkan dengan metode pengawetan yang
menerapkan proses
penghampaan yang kemudian diikuti dengan proses penekanan (Suranto, 2002).
Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu utama. Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang berukuran besar dan dan menyebabkan kerugian yang besar pula (Tambunan dan Nandika, 1989). Prasetiyo dan Yusuf (2005), menyatakan bahwa dalam siklus hidupnya, rayap mengalami metamorfosis bertahap atau gradual (hemimetabola), dari telur kemudian nimfa sampai menjadi dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa melalui beberapa instar (bentuk diantara dua tahap perubahan). Perubahan yang gradual ini berakibat terhadap kesamaan bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan antara nimfa dan dewasa. Namun, nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat dewasa. Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masingmasing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif suplementer) (Tambunan dan Nandika, 1989). Dalam penggolongan ini, bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
•
Kasta pekerja Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk
seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet. Mandibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. •
Kasta prajurit Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dan
dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari pada kasta ini mempunyai mandible atau restrum yang besar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. •
Kasta reproduktif Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang
bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Bila masa perkawinan telah tiba, imago-imago ini terbang keluar dari sarang dalam jumlah yang besar. Saat seperti ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu) bertugas menghasilkan telur,sedangkan makanannya dilayani oleh para pekerja. Borror et al (1996) menambahkan apabila terjadi bahwa raja dan ratu mati atau
Universitas Sumatera Utara
bagian dari koloni dipisahkan dari koloni induk, kasta reproduktif tambahan terbentuk di dalam sarang dan mengambil alih fungsi raja dan ratu. Berdasarkan habitatnya, rayap dibagi ke dalam beberapa golongan diantaranya: •
Rayap kayu basah (dampwood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu busuk atau pohon yang akan mati. Sarangnya terletak di dalam kayu tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini adalah Glyprotermes spp. (famili Kalotermitidae)
•
Rayap kayu kering (drywood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain. Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12 % atau lebih rendah. Contoh dari golongan ini misalnya Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae).
•
Rayap pohon (tree termite) adalah golongan rayap yang menyerang pohon-pohon hidup. Mereka bersarang di dalam pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini misalnya Neotermes spp. (famili Kalotermtidae).
•
Rayap subteran (subteranean termite) adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah tetapi dapat juga menyerang bahan-bahan di atas tanah karena selalu mempunyai terowongan pipih terbuat dari tanah yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya. Untuk hidupnya mereka selalu membutuhkan kelembaban yang tinggi, serta bersifat
Universitas Sumatera Utara
Cryptobiotic (menjauhi sinar). Yang termasuk ke dalam rayap subteran adalah dari famili Rhinotermitidae serta sebagian dari famili Termitidae (Hunt and Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989). Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan yaitu: 1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan perukaran bahan makanan. 2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang). 3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan. 4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.
Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) Eucalyptus urophylla termasuk famili Myrtaceae yang terdiri dari 500 jenis dan 138 varietas dan merupakan tumbuhan yang endemik di Australia dan kepulauan sebelah utara Timor, Irian, dan Philipina. Nama eucalyptus urophylla diberi oleh Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari Yunani, yaitu auro yang berarti ekor, dan phylla berarti daun (Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Sistematika Eucalyptus urophylla dalam dunia tumbuhan sebagai berikut : Divisio
: Spermathophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledon
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Spesies
: Eucalyptus urophylla
(Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999). Eucalyptus urophylla pada umumnya terdapat pada zona iklim basah sampai kering yaitu tipe hutan C, D, dan E pada klasifikasi Shmidt dan Ferguson. Eucalyptus urophylla mampu tumbuh pada tanah yang kurang subur, berbatu dan tanah rawa. Untuk pertumbuhannya, Eucalyptus urophylla menghendaki cahaya sepanjang tahun (jenis intoleran), dan juga merupakan pohon yang tetap hijau sepanjang tahun (Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999). Pertumbuhan riap maupun diameter Eucalyptus urophylla sangat tinggi. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 meter. Diameternya bisa mencapai 100 cm atau lebih dan tidak berbanir, kulit luar biasanya coklat muda sampai coklat tua, keadaan kulit licin dan mengelupas memanjang tidak teratur (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 1980). Eucalyptus urophylla mempunyai tekstur yang keras merata dan licin karena serat-seratnya terpadu. Eucalyptus urophylla mempunyai bunga yang memanjang dan tidak memiliki tangkai bunga. Warna benang sari putih dan banyak (Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Daun Eucalyptus urophylla berbentuk bulat telur, memanjang dan lanset, dimana pada pangkal mengecil hingga ke ujung meruncing. Pada tingkat anakan bentuk duduk daun berhadapan dan pada tingkat pohon bentuk duduk daun tersebar (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 1980). Eucalyptus urophylla digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas (pulp) dan kayu lapis (vinir) serta kayu gergajian lainnya. Eucalyptus urophylla juga tergolong kayu kuat dan awet yang dapat digunakan untuk bahan penopang beban berat seperti bantalan kereta api serta bahan bangunan lainnya (Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999).
Universitas Sumatera Utara