TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai yang lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pakainya (Nugroho, 2007) Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila konstruksi tersebut akan dipakai beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Febrianto, dkk, 2000). Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor perusak kayu. Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktorfaktor perusak dari luar kayu itu. Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
keawetannya, karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah (Dumanauw, 1990). Tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada kayu oleh faktor-faktor perusak dapat dilihat dari adanya cacat-cacat berupa lubang gerek (bore holes), pewarnaan (staining), pelapukan (decay), rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan lainlain perubahan yang semuanya merupakan penurunan kualitas dan bahkan kuantitas karena ada juga yang benar-benar memakan habis kayu. Setiap tandatanda kerusakan yang terlihat merupakan gejala spesifik dari salah satu faktor penyebab. Sedangkan adanya tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan kriteria bahwa kayu atau hasil hutan bersangkutan telah terserang hama, penyakit atau penyebab lainnya (Martawijaya dan Iding, 1990). Pengetahuan
tentang
keawetan
kayu
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya merupakan hal yang sangat penting diketahui, mengingat kaitannya dengan pengawetan. Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), dan kecepatan pertumbuhan. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat dimana kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, kelembaban udara dan lain-lainnya (Martawijaya dan Iding, 1990). Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu,
Universitas Sumatera Utara
sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut (Hunt dan Garrat, 1986).
Organisme Perusak Kayu di Laut Organisme perusak kayu di laut sering disebut dengan marine borer. Organisme ini dapat menyebabkan kerusakan yang luas pada bagian-bagian tiangtiang dan kayu-kayu dermaga yang bersentuhan dengan air asin atau setengah asin dan perahu-perahu yang terbuat dari kayu. Binatang ini tersebar luas di sebagian besar perairan asin di dunia dan lebih banyak merusak di daerah-daerah tropis daripada di daerah sub tropis (Hunt dan Garrrat, 1986). Di daerah tropis organisme ini dapat berkembang dengan cepat dan dijumpai sepanjang tahun. Pada umumnya organisme ini hidup pada perairan yang mempunyai salinitas sekitar 10 – 40 per mil. Aktifitas perkembangan penggerek kayu di laut dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, arus, pasang surut, gerakan ombak dan lain sebagainya (Muslich dan Sumarni, 2004). Adapun penggerek kayu di laut yang sering dijumpai dan banyak menimbulkan kerusakan pada kayu terdiri dari dua golongan yaitu Crustaceae dan Mollusca. Kedua golongan ini masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda, demikian pula cara menyerangnya. Dua tipe serangan yang dikenal adalah shipworn dan gribble (Muslich dan Sumarni, 1988). Beberapa genera terpenting dari kelas Mollusca yaitu Bankia, Teredo, Martesia dan Xylophaga. Bankia dan Teredo termasuk dalam famili Teredinidae sedangkan Martesia dan Xylophaga termasuk dalam famili Pholadidae. Teredo dan Bankia sering disebut teredine borer atau shipworn. Binatang ini dapat hidup dan berkembang normal di air yang mempunyai salinitas 10 – 30 per mil. Jenis
Universitas Sumatera Utara
lain dari Mollusca adalah Martesia dan Xylophaga. Martesia striata Linne merupakan salah satu species yang dijumpai di perairan pantai yang mempunyai bentuk seperti buah pear. Kerusakan yang ditimbulkan dapat mudah diketahui, berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-lubang yang dangkal. Sedangkan Xylophaga dorsalis selain merusak kayu juga merusak kabel kawat yang ada di laut. Jenis ini mempunyai panjang tidak lebih dari 40 mm (Muslich dan Sumarni, 1987). Kelas Crustaceae memiliki tiga genera yang penting yaitu Limnoria, Chelura dan Shpaeroma. Ketiga genera ini memperbanyak diri dengan bertelur. Limnoria disebut juga gribble merusak kayu dengan cara mengebor dan membuat serambi kecil untuk tempat tinggalnya. Serangan Limnoria terlihat seperti bunga karang. Besar kecilnya gerakan air laut dapat mempengaruhi aktifitas dari Limnoria, semakin besar gerakan air laut akan semakin besar dorongan Limnoria membuat lubang untuk tempat berlindungnya, sehingga akan memperluas kerusakan kayu. Jenis lain dari kelas Crustaceae adalah Chelura dan Sphaeroma. Chelura mempunyai ukuran sedikit lebih besar dari Limnoria. Biasanya hidup bersama-sama dalam satu sarang dengan Limnoria dan hidup bersimbiosis. Sedangkan Sphaeroma mempunyai ukuran lebih panjang dan lebih gemuk. Sphaeroma ini terdapat di berbagai perairan dan berkembang dengan baik di perairan tropis dan dapat membuat lubang kurang lebih dengan diameter 10 mm dan kedalaman 7 – 10 mm (Muslich dan Sumarni, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Tinjauan Jenis Kayu Penelitian Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq) Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq), merupakan tanaman yang berasal dari keluarga Meliaceae, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan jati dan tempattempat lain yang dekat dengan pantai. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai pohon perindang. Tanaman asal India Barat ini dapat tumbuh subur di pasir payau (Perum Perhutani Unit II Jatim, 2005). Pohon yang tingginya antara 5-25 meter ini berakar tunggang, batang bulat, banyak cabang dan kayunya bergetah. Daunnya majemuk menyirip genap dengan helaiannya berbentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, bagian tepi rata, tulang menyirip, dan panjangnya 3-15 cm. Daun muda berwarna merah dan setelah tua warnanya hijau. Bunganya majemuk tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Tangkai bunga silindris dan warnanya coklat muda (Abdurahman dan Hadjib, 2006) Kelopak bunga pohon yang nama daerahnya Mahagoni, Maoni atau Moni ini lepas satu sama lain, bentuknya seperti sendok, dan warnanya hijau. Mahkota silindris, kuning kecoklatan dengan benang sari melekat pada mahkota dan kepala sari putih atau kuning kecoklatan. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun. Bentuk buahnya bulat telur, berlekuk lima, warnanya coklat. Biji pipih, warnanya coklat atau hitam (Paimin, dkk, 2003) Kayu mahoni memiliki serat yang padat dan jarang mata kayunya. Sifat kayu ini sedang dalam pengerjaanya, kembang susutnya sedang, tekstur dan daya retaknya sedang. Kayu mahoni (Swietenia mahagoni Jacq) umumnya digunakan
Universitas Sumatera Utara
sebagai perabot rumah tangga, kayu lapis, barang kerajinan dan perpatungan, panel pintu, komponen alat musik. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Sengon dalam bahasa latin disebut (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), termasuk famili Mimosaceae, keluarga petai – petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut : Jeunjing (Sunda), Kalbi, Sengon landi, Sengon laut, atau Sengon sabrang (Jawa), Seja (Ambon), Sikat (Banda), Tawa (Ternate), dan Gosui (Tidore) (Iskandar, 2006). Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur (Barly, 2006). Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan diameter batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) warna kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya
Universitas Sumatera Utara
agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayu agak licin atau licin dan agak mengkilap (Atmosuseno, 1999). Kayu yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun hilang jika kayunya menjadi kering. Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V dengan berat jenis 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2,5 persen dan 5,2 persen (basah sampai kering tanur). Kayunya mudah digergaji, tetapi tidak semudah kayu meranti merah dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah kayunya melengkung atau memilin. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lain (Martawijaya dan Kartasujana, 1973).
Karet (Hevea brasiliensis) Kayu
karet
(Hevea
brasiliensis
Muell.
Arg)
termasuk
famili
Euphorbiaceae dan sering disebut para atau balam (Heyne dalam Martawijaya, 1972). Penyebaran kayu karet ini meliputi pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa dalam perkebunan milik pemerintah atau perkebunan rakyat. Sedangkan Rachman (1989) menyatakan bahwa kayu karet setelah berumur 25-30 tahun, pohon tidak lagi menghasilkan lateks secara produktif sehingga perlu diremajakan. Tanaman karet adalah tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon dengan tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 20 meter. Modal utama dalam pengusahaan tanaman ini adalah batang setinggi 2,5 sampai 3 meter dimana terdapat pembuluh latek. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu fokus pengelolaan tanaman karet ini adalah bagaimana mengelola batang tanaman ini seefisien mungkin (Safitri, 2003) Tanaman karet memiliki sifat gugur daun sebagai respon tanaman terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kekurangan air/kemarau). Pada saat ini sebaiknya penggunaan stimulan dihindarkan. Daun ini akan tumbuh kembali pada awal musim hujan.Tanaman karet juga memiliki sistem perakaran yang ekstensif menyebar cukup luas sehingga tanaman karet dapat tumbuh pada kondisi lahan yang kurang menguntungkan. Akar ini juga digunakan untuk menyeleksi klon-klon yang dapat digunakan sebagai batang bawah pada perbanyakan tanaman karet (Sutigno dan Mas’ud, 1989).
Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Pinus mempunyai nama ilmiah Pinus merkusii Jungh. et de Vriese yang diklasifikasikan ke dalam famili Pinaceae. Pinus memiliki nama lokal : Tusam (Indonesia.); Son song bai (Thai); Merkus pine (perdagangan); Mindoro pine (Philipina); Tenasserim pine (Inggris). Berdasarkan habitatnya, jenis pinus ini tersebar antara 23o LU – 2o LS dan tumbuh pada ketinggian 200-1.700 meter dari permukaan laut (mdpl). Namun demikian, jenis pinus ini kadang-kadang ditemui pada daerah dengan ketinggian tempat kurang dari 200 m dan pada daerah dekat pantai. Pinus tersebut tumbuh pada daerah dengan curah hujan tahunan rata-rata 3.800 mm (di Filipina) hingga 1.000-1.200 mm (Thailand dan Burma). Pada umumnya, pinus tumbuh dengan baik pada daerah dengan tipe iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A sampai C dan suhu tahunan rata-rata 19oC – 28oC. Secara alami persebaran P.
Universitas Sumatera Utara
merkusii adalah Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan Indonesia (Muhtar dan Santoso, 1987) Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Suhaendi, 2006). Kayunya untuk berbagai keperluan, konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api dan sumpit. Tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) sering disadap getahnya. Pohon tua dapat menghasilkan 30-60 kg getah, 20-40 kg resin murni dan 7-14 kg terpentin per tahun. Cocok untuk rehabilitasi lahan kritis, tahan kebakaran dan tanah tidak subur (Departemen Kehutanan, 2001).
Ekaliptus (Eucalyptus urophylla ST. Blake) Marga ekaliptus terdiri atas 500 jenis yang kebanyakan endemik di Australia. Hanya 2 jenis tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Filiphina) yaitu Eucalyptus urophyllla dan Eucalyptus deglupta. Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian utara menuju Malesia bagian timur. Keragaman terbesar di daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian Baratdaya. Pada saat ini beberapa jenis ditanam di luar daerah penyebaran alami, misalnya di kawasan Malesia, Benua Asia, Afrika Eropa bagian Selatan, Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Sutisna dkk, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Hampir semua jenis ekaliptus berdaptasi dengan iklim muson. Beberapa jenis bahkan dapat bertahan hidup di musim yang sangat kering, misalnya jenisjenis yang telah dibudidayakan yaitu Eucalyptus alba, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus citriodora, Eucalyptus deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan hujan
dataran rendah
dan
hutan pegunungan rendah, pada
ketinggian hingga 1800 meter dari permukaan laut, dengan curah hujan tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 230 dan maksimum 310 di dataran rendah, dan suhu minimum rata-rata 130 dan maksimum 29 0 di pegunungan. Tanaman ekaliptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar, tingginya 60-87 m. Batang utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga 200 cm. Permukaan pepagan licin, berserat berbentuk papan catur. Daun muda dan daun dewasa sifatnya berbeda, daun dewasa umumnya berseling kadangkadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat kadang-kadang berupa malai rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis. Biji berwarna coklat atau hitam. Marga ekaliptus termasuk kelompok yang berbuah kapsul dalam suku Myrtaceae dan dibagi menjadi 7-10 anak marga, setiap anak dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri (Nuryawan, 2007). Kayu ekaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek apai, bubur kayu (pulp), kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi. Daun dan cabang dari beberapa jenis ekaliptus menghasilkan minyak
yang merupakan
produk penting untuk farmasi, misalnya untuk obat gosok atau obat batuk,
Universitas Sumatera Utara
parfum, sabun, ditergen, disinfektan dan pestisida. Bunga beberapa jenis lainnya menghasilkan serbuk sari dan nektar yang baik untuk madu. Beberapa jenis ditanam sebagai tanaman hias (Sitepu, 2008).
Selulosa dan Silika pada Kayu Kayu terbentuk dari tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin serta unsur tambahan yaitu zat ekstraktif dan zat silika. Selulosa merupakan zat utama pembentuk dinding sel kayu yang merupakan makanan utama bagi rayap. Lignin berfungsi sebagai pengikat antar dinding sel kayu. Hemiselulosa berfungsi sebagai pendukung selulosa untuk membentuk matrik dinding sel. Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi. Daun kering mengandung 10-20% selulosa, kayu 50% dan kapas 90%. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantai-rantai atau mikrofibril yang terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006) Zat ekstraktif merupakan faktor yang menentukan tingkat keawetan alami kayu, sedangkan zat silika menentukan tingkat kekerasan alami kayu. Zat ekstraktif yang semakin beracun akan mengakibatkan tingkat keawetan alami kayu semakin tinggi. Kandungan silika yang tinggi mengakibatkan kekerasan pada kayu. Kualitas kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, berat jenis kayu, umur, posisi kayu di dalam batang, dan musim penebangan kayu. Intensitas serangan penggerek kayu di laut tergantung dari keawetan jenis kayu yang diserang. Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak kayu seperti jamur, serangga dan penggerek di laut. Keawetan kayu dipengaruhi oleh umur pohon, kandungan zat ekstraktif, letak kayu dalam batang (teras dan
Universitas Sumatera Utara
gubal), kecepatan tumbuh dan lainnya. Selain itu, keawetan kayu dipengaruhi juga tempat dimana kayu itu digunakan, asal pohon, varietas, jenis pohon, perlakuan silvikultur, demikian juga faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban (Nugroho, 2007) Menurut Martawidjaya (1971) dalam Rohadi (1992), keawetan kayu tidak berhubungan dengan berat jenis, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kandungan zat ekstraktifnya, seperti : phenol, tanin, alkaloid, saponine, chinon dan damar yang kesemuanya dapat bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu. Tobing (1977) menyatakan bahwa keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan faktor perusak kayu dari golongan biologis. Southwell dan Bultman (1971) dalam Muslich dan Sumarni (1988) menambahkan bahwa, kandungan silika, kerapatan atau kekerasan tinggi dan kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat mendukung ketahanan terhadap serangan Teredinidae, tetapi tidak menghalangi serangan Pholadidae.
Universitas Sumatera Utara