II.
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002), Wuryanti (2002), Astuti (2002), Kobayashi (2004), Setyawan (2005), Diposaptono (2007), Sandora (2008), Marfai et al. (2008) dan Naryanto (2009). Berdasarkan penelitian-penelitian dan kajian tersebut, aspek-aspek yang dibahas dalam tinjauan pustaka adalah mengenai fenomena banjir pasang, penyebab terjadinya banjir pasang, dampak banjir pasang, kerugian-kerugian yang timbul akibat banjir pasang dan tindakan adaptasi terhadap banjir pasang (Lampiran 14). 2.1.
Fenomena Banjir Pasang Banjir merupakan bencana luar biasa ketika dapat merubah pola-pola
kehidupan dari kondisi normal, menimbulkan kerugian harta, benda maupun jiwa manusia, merusak struktur sosial komunitas serta memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi atau komunitas1. Menurut Setyawan (2005), Jakarta adalah kota
pesisir
yang
sangat
besar
(coastal
megacity)
yang
sejak
awal
perkembangannya mengalami permasalahan banjir. Berdasarkan penyebabnya, ada dua tipe banjir yang terjadi di Jakarta. Pertama, banjir yang disebabkan oleh curah hujan tinggi, yang terjadi di berbagai kawasan kota. Kedua, banjir karena pasang surut yang terjadi di kawasan dekat pantai. Banjir tipe pertama berkaitan
1
Bahan Diskusi “Seminar & Workshop Komunitas Sebagai Rangkaian Kegiatan Dalam Rangka Pekan Sadar Bencana” Tanggal 16-23 September 2005 oleh Satkorlak Pemprop DKI Jakarta. Retopik “Banjir Sudah Diurus, Tapi Belum Serius”, oleh ET Paripurno, Komunitas Peduli Bencana.
7
dengan aktifitas manusia di daerah aliran sungai, sedangkan banjir tipe kedua berkaitan dengan aktifitas manusia dan kondisi geologi di daerah dekat pantai. Menurut Sandora (2008), 40 persen dari wilayah Jakarta merupakan dataran rendah yang sangat rentan mengalami banjir yang periode waktunya dapat lebih lama jika tidak ada usaha untuk menyalurkan banjir tersebut. Dampak dari masalah banjir akan bertambah buruk ketika wilayah dataran rendah di Jakarta terletak di pesisir pantai. Hal ini disebabkan oleh peningkatan level muka air laut (permanen), fluktuasi pasang naik/surut, gelombang pasang dan gelombang badai (sewaktu-waktu). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandora (2008), kejadian banjir tahun 2007 yang terjadi di kawasan pesisir Jakarta khususnya di wilayah Penjaringan dan Pluit semakin besar dibandingkan dengan kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2002. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring bertambahnya waktu, dampak yang ditimbulkan banjir juga semakin besar. Semarang juga merupakan salah satu wilayah yang mengalami banjir pasang. Kota Semarang menghadapi masalah yang cukup rumit dan serius berupa penanggulangan banjir pasang yang durasi waktunya satu sampai tiga jam (Arbriyakto dan Kardyanto, 2002). 2.1.
Penyebab Terjadinya Banjir Pasang Salah satu dampak dari peningkatan efek rumah kaca adalah kenaikan
muka air laut. Kenaikan muka air laut akan mengakibatkan mundurnya garis pantai. Dampak lain dari kenaikan muka air laut adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Kondisi daratan yang tergenang banjir akan bertambah parah jika terjadi penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah oleh manusia (Naryanto, 2009).
8
Setyawan (2005) menyatakan bahwa persoalan banjir yang terjadi di kawasan dekat pantai disebabkan oleh pasang surut dan land subsidence. Belum ditemukan cara terpadu untuk mengatasi persoalan banjir tersebut sampai sekarang. Menurut Diposaptono (2007), banjir pasang yang terjadi di wilayah pesisir disebabkan oleh banyak hal. Pengembangan serta pembangunan wilayah pesisir tanpa memperhatikan kaidah tata ruang ramah bencana, konversi hutan mangrove, over-eksploitasi air tanah serta adanya pemanasan global merupakan beberapa penyebab terjadinya banjir pasang. Pasang surut juga mempunyai kontribusi terhadap bencana banjir pasang. Muka air laut pasang dapat mencapai level tertinggi (highest high water level) dalam kurun waktu 18.6 tahun. Kejadian ini semakin merugikan daerah pesisir pantai. Gelombang laut akibat angin juga mempengaruhi terjadinya banjir pasang di wilayah pesisir. Apabila terjadi badai pada saat pasang tertinggi, maka dapat menyebabkan timbulnya banjir rob yang besar (Diposaptono, 2007). 2.3.
Dampak Banjir Pasang Kenaikan muka air laut berdampak terhadap keamanan bangunan pantai
yang ada. Kenaikan muka air laut juga akan meningkatkan frekuensi overtopping bangunan pantai sehingga tingkat keamanan bangunan tersebut berkurang (Naryanto, 2009). Menurut Diposaptono (2007), secara umum dampak kenaikan muka air laut adalah terpaparnya pantai di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Akibatnya, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil seperti pantai berpasir pantai berbatu, tebing, dataran pasang surut, terumbu karang dan lahan basah termasuk mangrove mengalami kerusakan bahkan bisa lenyap.
9
Dampak kenaikan muka air laut adalah tergenangnya dataran rendah, meningkatnya erosi pantai dan menimbulkan intrusi air asin ke daratan. Untuk kawasan permukiman, dampak tidak langsung naiknya muka air laut adalah adanya perubahan kualitas air bersih, turunnya produktifitas pertanian dan perpindahan penduduk Wuryanti (2002). Sarana dan prasarana seperti pelabuhan, industri, pembangkit listrik, wisata dan lain-lain yang berada di wilayah pesisir juga akan tergenang dan rusak akibat meluapnya air laut. Dampak lain dari SLR (Sea Level Rise) atau kenaikan muka air laut adalah mundurnya garis pantai. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terendam air laut dapat mencapai 4 050 ha per tahun. Angka tersebut berdasarkan asumsi kelandaian pantai hanya dua persen. Dampak SLR lainnya adalah terjadinya abrasi pantai. Hal ini disebabkan energi gelombang yang semakin besar sehingga abrasi pantai semakin intensif (Diposaptono, 2007). Selain abrasi pantai, bangunan pantai dan fasilitas prasarana perikanan juga akan rusak karena gelombang yang semakin besar energinya. Akibat lain dari SLR adalah terjadinya sedimentasi di muara sungai. Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di Indonesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja, maka air laut akan masuk ke sungai sejauh puluhan kilometer. SLR juga mengakibatkan intrusi air laut. Hal ini disebabkan volume air laut yang masuk ke dalam sungai akan semakin besar. Kondisi ini merupakan masalah serius bagi penduduk di pulau-pulau kecil yang menggantungkan air tawar dari sungai (Diposaptono, 2007). Menurut Marfai et al. (2008), banjir pasang memberikan dampak terhadap aktifitas masyarakat sehari-hari seperti aktifitas domestik dan pekerjaan lainnya.
10
Masyarakat tidak dapat bekerja karena jalan di sekitar rumah mereka terendam banjir. Layanan publik untuk mendukung aktifitas domestik seperti suplai air dan listrik tidak dapat digunakan selama banjir pasang. Alasan masyarakat tidak bekerja selama terjadi banjir pasang adalah perjalanan yang terganggu dan tidak adanya akses menuju tempat kerja serta untuk menjaga keluarga dan peralatan rumah tangga. Soedarsono (1996) dalam Marfai et al. (2008) mengemukakan bahwa ketika terjadi banjir pasang, anak-anak mudah terserang penyakit. Penyakit yang sering diderita saat terjadi banjir yaitu diare, demam dan malaria. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak bersih pada saat banjir. Selain itu banjir pasang juga berdampak terhadap rusaknya bangunan. Kobayashi (2003) dalam Marfai et al. (2008) menunjukkan dampak banjir pasang terhadap rusaknya bangunan yang terjadi di Desa Tanjung Mas yang tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Dampak Banjir Pasang yang terjadi di Desa Tanjung Mas No Komponen Bahan yang Tingkat Tanda . Digunakan Kerusakan 1. Pondasi Batu Serius Kemiringan tanah yang tidak sama 2. Lantai Tanah padat Serius (halaman) Tiap 5 tahun Plester dari semen Serius harus (beranda/teras) ditinggikan. keramik (dalam Serius rumah) 3 Dinding Batu bata Sedang 4. Bingkai Pintu Kayu Serius Tiap 5 tahun sekali kayu diganti karena rusak Sumber: Kobayashi (2003) dalam Marfai et al. (2008)
11
Menurut Sandora (2008), dampak banjir pasang adalah timbulnya biaya kerusakan yang ditanggung oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir Jakarta. Biaya kerusakan dibagi dalam dua jenis yaitu biaya kerusakan langsung dan biaya kerusakan tidak langsung. Biaya kerusakan langsung terdiri dari biaya kerusakan properti dan biaya kesehatan, sedangkan biaya kerusakan tidak langsung terdiri dari pendapatan masyarakat yang hilang akibat banjir, biaya pencegahan terhadap banjir, biaya transportasi dan biaya untuk mendapatkan air bersih. Naiknya muka air laut (pasang) yang terjadi secara simultan berpengaruh terhadap bentuk-bentuk bangunan maupun kawasan, kondisi lingkungan sosial dan strata masyarakat. Dampak kenaikan muka air laut (pasang) dapat pula berupa perilaku penyesuaian serta antisipasi maupun penanganan fisik terhadap bangunan (Astuti, 2002). 2.4.
Kerugian-Kerugian yang Timbul Akibat Banjir Pasang Mengukur kerugian yang diakibatkan oleh suatu bencana menjadi hal
penting
karena
dapat
meminimalisasi
kerusakan
lingkungan,
hilangnya
penghidupan dan kerugian ekonomi sosial. Terdapat perbedaan dalam pengukuran kerugian bencana banjir yang disebabkan oleh air hujan dan pengukuran kerugian bencana banjir yang disebabkan kenaikan muka air laut (pasang). Bencana banjir yang disebabkan oleh air hujan, terjadi dalam jangka waktu pendek, sedangkan bencana banjir yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut (pasang) terjadi dalam jangka waktu panjang. Kerugian yang ditimbulkan oleh kedua banjir tersebut pun berbeda. Prinsip dasar yang dapat digunakan dalam menilai kerugian kedua bencana banjir tersebut terletak pada intensitas genangan air (Wuryanti, 2002).
12
Arbriyakto dan Kardyanto (2002) menyebutkan bahwa masyarakat pesisir khususnya di Semarang mengalami kerugian fisik dan sosial akibat banjir pasang. Kerugian fisik yang ditanggung masyarakat pesisir di Semarang meliputi pengurugan tanah secara rutin dengan tinggi rata-rata 15 cm per tahun, kehilangan bangunan rumah setelah jangka waktu 12 sampai 30 tahun dari masa awal pembangunan, dan pengediaan perabot rumahtangga setiap tiga tahun sekali. Kerugian sosial yang dialami masyarakat pesisir di Semarang berupa terbuangnya waktu atau peluang yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk suatu kegiatan yang produktif atau bernilai ekonomis. Selain itu, terdapat biaya tambahan sosial yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki rumah atau perabotan rumahtangga dalam waktu yang tidak terduga. Salah satu kerugian yang dialami oleh masyarakat pesisir yaitu kerugian bangunan akibat genangan banjir pasang. Klasifikasi serta perhitungan kerugian bangunan yang disebabkan oleh banjir pasang, dibagi dalam tiga tipe yaitu kerugian kehilangan rumah, kerugian rumah yang rusak berat, serta kerugian rumah yang rusak ringan. Biaya masing-masing rumah tersebut termasuk dengan perlengkapannya berturut-turut yaitu sebesar Rp 10 Milyar, Rp 20 Milyar dan Rp 5 Milyar. Selain kerusakan rumah, terdapat juga kerusakan infrastruktur yang ada di sekitar rumah. Nilai kerusakan infrastruktur tersebut diasumsikan sebagai representasi 15 persen dari jumlah total kerusakan sektor perumahan yaitu sebesar USD 141.3 million (Bappenas, 2007 dalam Sandora, 2008). Kobayashi (2004) menyebutkan bahwa banjir pasang menimbulkan kerusakan fisik rumah dan kerugian sosial masyarakat. Kerusakan fisik rumah meliputi
kerusakan
struktural,
kerusakan
astetikal,
kerusakan
peralatan
13
rumahtangga
dan
penyingkatan
umur
rumah.
Kerugian
sosial
berupa
terganggunya pekerjaan dan sekolah karena banjir.
2.5.
Tindakan Adaptasi Terhadap Banjir Pasang Menurut Diposaptono (2007), tiga pola atau strategi yang dapat dilakukan
dalam adaptasi terhadap banjir pasang di wilayah pesisir adalah: 1.
Pola protektif yaitu dengan membuat bangunan pantai yang mampu mencegah banjir pasang agar tidak masuk ke darat serta dengan melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan rehabilitasi mangrove.
2.
Pola adaptif yaitu menyesuaikan dengan banjir pasang. Rumah-rumah penduduk dibuat model panggung agar aman dari genangan air laut terutama pada waktu banjir pasang.
3.
Pola mundur (retreat). Pola ini bertujuan menghindari genangan dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat banjir pasang. Beberapa adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi
masalah banjir pasang diantaranya adalah meninggikan rumah, meninggikan lantai di atas level air banjir, meninggikan halaman sekitar rumah, dan membuat bendungan (dam) kecil untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah. Bentuk adaptasi ini biasanya dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan masyarakat. Masyarakat yang berpendapatan tinggi dapat membangun kembali tempat tinggal mereka dengan meninggikan lantai sekitar satu meter di atas tanah. Sebaliknya, masyarakat yang tidak dapat meninggikan lantai rumah, melakukan tindakan
14
adaptasi berupa membuat bendungan kecil di depan rumah mereka (Marfai et al. 2008). Astuti (2002) membagi tiga tindakan adaptasi masyarakat pesisir Jakarta dalam menghadapi banjir pasang yaitu tindakan adaptasi fisik, tindakan adaptasi nonfisik, reklamasi. Adaptasi fisik berupa penyesuaian bentuk rumah dengan cara meninggikan lantai rumah dan membuat tanggul. Adaptasi nonfisik berupa penyesuaian diri masing-masing anggota masyarakat dengan kondisi banjir dengan cara tetap melakukan pekerjaan dan aktifitas lainnya. Reklamasi merupakan tindakan adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu pada kajian mengenai kerugian fisik akibat banjir yang terjadi di salah satu kawasan pesisir Jakarta (Kamal Muara) dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kerugian fisik tersebut. Kerugian fisik dalam penelitian ini berkaitan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan akibat kerusakan fisik yang terjadi karena banjir. Selain itu, penelitian ini juga secara tidak langsung menggambarkan fenomena banjir pasang yang terjadi di kawasan pesisir Jakarta terkait dengan kenaikan level muka air laut, penurunan tanah dan berbagai isu lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir Jakarta.
15