7
TINJAUAN PUSTAKA Televisi Swasta Indonesia Informasi yang ditayangkan televisi sebagai media massa sampai diterima pemirsa terjadi melalui sebuah proses. Littleljohn (1996) mengulas model transmisi dasar yang dikembangkan Shannon dan Weaver bahwa sumber memformulasi atau menyeleksi suatu pesan dalam bentuk tanda-tanda yang akan dikirim. Transmiter mengkonversi pesan tersebut ke dalam suatu perangkat sinyal yang dikirim melalui saluran ke suatu penerima yang kemudian mengkonversi sinyal-sinyal tersebut ke dalam suatu pesan. Dalam arena elektronik, suatu pesan televisi adalah suatu contoh yang baik mengenai proses transmisi pesan. Sebagai contoh, produser, sutradara (pengarah acara) dan penyiar adalah sumber pesan yang kemudian mengirim pesan tersebut melalui gelombang udara (saluran) ke pesawat televisi. Gelombang-gelombang elektro magnetik dikonversikan kembali ke dalam suatu impresi visual (kesan gambar) kepada pemirsa dalam bentuk motion picture. Menurut Gilang (2005), televisi mempunyai pengaruh yang cukup ampuh dibanding media massa lainnya seperti suratkabar, majalah, tabloid dalam mempengaruhi perilaku pemirsa. Motion picture di televisi dapat membuat informasi yang disampaikan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga penonton dapat terlena dengan tayangan-tayangan yang disajikan. Sadar atau tidak setiap hari pemirsa diterpa dengan pesan-pesan yang belum tentu sesuai dengan konsumsi mereka. Menurut Nitibaskara (1994) dalam Gilang (2005), televisi berpotensi mempengaruhi 75% pemirsa, radio tidak lebih dari 25% dan suratkabar hanya mempengaruhi 13% pembaca. Kuatnya pesan televisi mempengaruhi pemirsa dimungkinkan oleh adanya daya tarik dari suatu tayangan program acara yang terkait dengan informasi yang dibutuhkan pemirsa. Departemen Komunikasi dan Informatika 2006 menyatakan, televisi sebagai media massa memiliki empat fungsi, yaitu menyampaikan informasi, pendidikan, hiburan dan mempengaruhi. Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai kewajiban membantu pemerintah dalam pengaturan infrastruktur tentang penggunaan frekuensi seperti televisi untuk mengatur iklim persaingan yang sehat antara lembaga penyiaran dan
8
industri terkait (Depkominfo, 2006). Dewan Pers dalam makalah seminarnya tentang Standar Perusahaan Pers (2008), antara lain menyebutkan bahwa untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional maka disusunlah Standar Pedoman Perusahaan Pers agar pers mampu menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Departemen komunikasi dan Informatika (2006) dalam kaitan itu pula menjelaskan bahwa sebagai pilar demokrasi maka televisi memiliki fungsi: pertama, sebagai penyambung lidah dan penyampai informasi bagi masyarakat. Kedua, menjadi dinamisator bagi Indonesia. Ketiga, dituntut untuk menyajikan informasi
yang
benar,
akurat,
valid
dan
kebenarannya
dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Keempat, sebagai pengawasan terhadap kritik, koreksi. Kelima, menjadi kontrol bagi tiap usaha-usaha pengaburan kebenaran dan praktik-praktik “pandang bulu”. Pernyataan ini mengasumsikan bahwa fungsi televisi adalah harus sesuai dengan
koridor
kebebasan
yang
bertanggungjawab
sehingga
dalam
menyampaikan informasi dapat menjadi saluran komunikasi timbal-balik antara sumber dan penerima. Berbagai ide maupun gagasan dari sumber termasuk dari pihak media di dalam mengungkap peristiwa-peristiwa sosial yang perlu diketahui oleh publik dilakukan secara timbal-balik. Fungsi televisi sebagai media pendidikan, diharapkan dapat menanamkan pesan informasi yang memberi pencerahan bagi pemirsa. Pemirsa dimotivasi untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sebagai warga negara maupun peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. Televisi layaknya menyajikan informasi yang benar, akurat, valid antara pernyataan atau pesan yang diinformasikan dengan bukti atau keadaan yang sebenarnya, sekaligus terbuka terhadap setiap kritik dan koreksi yang dapat dipertangungjawabkan pada kepentingan publik. Fungsi televisi sebagai media penghibur, pada dasarnya merupakan faktor penting sebagai pendukung fungsi utama, yaitu menyampaikan informasi dan fungsi pendidikan. Dengan nilai hiburan, diharapkan televisi memiliki nilai tambah bagi kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin pemirsa, dalam memenuhi kebutuhan hidup dari suatu informasi. Pada tahap tertentu, televisi diharapkan pula memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pemirsa kalangan tertentu yang perlu didorong dan
9
diarahkan pada suatu kepentingan, antara lain bagaimana mengadopsi suatu temuan yang bermanfaat bagi kepentingannya. Infotainment Televisi Infotainment di televisi swasta cenderung merupakan bisnis yang menjanjikan. Tayangan ini ada yang diproduksi oleh Production House, di luar kelembagaan pers. Hasil penelitian Nielsen Media Research, menyatakan dari jumlah belanja iklan di televisi sebesar 70% atau Rp. 16,22 Triliun, sebagian dari jumlah itu diperoleh dari infotainment. Program infotainment tetap dinilai kompetitif dengan program lain dalam hal meraih penonton, meskipun ditaruh pada pukul 07.00, 09.00, 15.00 dan 16.00. Harga jual bervariasi, dari Rp. 15 juta hingga Rp. 60 juta per episode. Rata-rata sekitar Rp 25 juta per episode. Nahwi Rasul diacu dalam Fajar 2006 menjelaskan, Fatwa NU tentang pengharaman infotainment merupakan penguatan gerakan Civil Society yang resisten terhadap kebijakan publik yang distorsi akibat kepentingan ekonomi dan politik di industri media. Hal ini merupakan wujud kejengkelan masyarakat terhadap kebijakan di bidang penyiaran yang berpihak kepada industri dan mengorbankan hak-hak publik. Tayangan infotainment tidak semuanya dipandang negatif, karena masih banyak ditemukan pihak media yang masih memegang teguh nilai moral atau nilai-nilai jurnalistik infotainment, sebagai kategori produk pemberitaan atau informasi. Pemaparan pesan tersebut disajikan secara faktual dan objektif. Pemirsa dapat memperoleh gambaran bahkan sekaligus pelajaran lewat tayangan infotainment tersebut (Depkominfo 2006). Sebagai contoh, ada acara infotainment yang mengungkap sisi positif artis dalam hal mengajak berbuat kebaikan demi kemaslahatan rakyat secara luas yang patut ditiru oleh pemirsa televisi berupa publikasi dari artis yang rajin beribadah, menolong orang kesusahan, menyelenggarakan buka puasa bersama anak yatim dan mengadakan pengajian akbar di rumahnya. Departemen Komunikasi dan Informatika (2006) menjelaskan bahwa acara infotainment hampir seluruhnya bernuansa hiburan dan menceritakan aib selebritas. Unsur pendidikan hampir tidak ada. Pihak televisi tidak melakukan fungsi media secara proporsional, yaitu fungsi informasi, pendidikan dan hiburan.
10
Infotainment lazim disajikan di
berbagai negara yang dilindungi oleh
prinsip kemerdekaan berekspresi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyatakan bahwa acara infotainment berisi tontonan dan tuntutan. Jadi suatu lembaga penyiaran dapat menyajikan suatu acara infotainment selama tunduk pada Undang-Undang penyiaran, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan oleh KPI dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). McQuail (1992) dalam Depkominfo (2006), menjelaskan bahwa suatu informasi,
pertama,
mengandung
factualness
untuk
mengukur
tingkat
korespondensi antara informasi dan fakta. Indikatornya main point, nilai informasi, readability dan checkability. Kedua, accuracy sebagai kualitas informasi yang juga penting bagi reputasi sumber informasi. Dimensi akurasi meliputi verifikasi terhadap fakta, relevansi sumber informasi dan akurasi sumber penyajian, seperti konfirmasi terhadap sumber informasi, pencantuman sumber informasi dan tidak ada kesalahan pengutipan data, nara sumber, tanggal, nama dan alamat. Ketiga, completeness seperti memenuhi unsur 5W+1H. Keempat, balance dan kelima, netrality atau ketidakberpihakan dalam keinformasian. Nilai informasi yang diharapkan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (pemirsa), bahwa suatu informasi selayaknya mengandung kebenaran antara yang disampaikan dengan kejadian atau peristiwa yang sebenarnya. Hal tersebut menyangkut relevansi sumber, apakah informasi tersebut disampaikan oleh seseorang yang sesuai bidangnya. Informasi bersifat akurat. Informasi yang disajikan mencantumkan sumber informasi. Informasi sebagai hasil konfirmasi dengan sumber beserta alamat dan tanggal kejadian. Informasi pun selayaknya bersifat komplit, memenuhi berbagai unsur, antara lain memenuhi harapan pemirsa terkait dengan jawaban apa dan siapa, dimana dan kapan, mengapa dan bagaimana sesuatu hal yang diinformasikan, serta seimbang dan netral. Mengacu pada pendapat McQuail tentang unsur suatu berita atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, maka dapat diasumsikan bahwa dalam kategori infotainment, isi tayangan diharapkan memberikan solusi terhadap suatu persoalan sebagai berikut:
11
1. Sumbernya relevan, sesuai bidangnya, sehingga informasi akurat dengan mencantumkan sumbernya. 2. Informasi merupakan hasil konfirmasi dengan sumber beserta alamat dan tanggal kejadian. 3. Infotainment komplit, mengandung hal penting yang perlu diketahui oleh pemirsa, terkait dengan jawaban mengenai apa dan siapa, dimana dan kapan, serta mengapa dan bagaimana sesuatu hal yang diinformasikan. 4. Infotainment bersifat seimbang, antara lain mengungkap sesuatu hal yang terkait dengan sumber “A dan B’ (yang menjadi topik informasi). Sehingga diharapkan informasi netral, tidak timpang atau berat sebelah (memihak kepada salah satu sumber informasi). Format Tayangan Infotainment Televisi Acara infotainment televisi menggambarkan suatu proses komunikasi berupa rangkaian informasi
tertentu yang disajikan dalam bentuk bincang-
bincang “gosip” yang menggambarkan dialog antara beberapa orang atau sumber pembicara. Selain itu, bisa dalam bentuk liputan khusus (investigasi). Hal ini menggambarkan adanya proses wawancara antara sumber atau pewawancara (investigator) dan pihak yang diwawancarai, terkait dengan isu tertentu yang menjadi topik informasi. Bentuk lainnya, berupa kompilasi informasi dari beberapa periode waktu tertentu (penggabungan informasi) yang menggambarkan adanya penyampaian informasi dari beberapa topik yang diungkap dan dipandu oleh dua orang penyiar. Indosiar (2008), memaparkan salah satu “Rundown” program REALITY # 103 (terlampir). “Rundown program Reality Indosiar” salah satu contoh proses komunikasi dalam format tayangan infotainment, sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan permasalahan penelitian. Karena dimungkinkan ada kemiripan dengan format tayangan infotainment televisi lain, dengan asumsi, pada dasarnya keragaman tayangan infotainment televisi merujuk pada aturan umum yang menjadi dasar dari suatu program acara televisi. Dalam hal ini seperti yang telah disebutkan dalam latar belakang, patokan program acara televisi adalah selayaknya utuh, mulai dari pengantar, permasalahan, pembahasan
12
dan penyelesaian masalah
secara sistematis,
sehingga
sistematika
dan
kesinambungan terjaga. (Gumilar 2008). Berdasarkan gambaran rundown tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga kategori dalam format tayangan infotainment televisi yang dimungkinkan cenderung terkait dengan nilai informasi dan bobot muatan pesan infotainment, yaitu dialog, narasi dan wawancara. Runtut format tayangan infotainment yang berisi dialog interaktif, narasi dan wawancara sebagai satu proses komunikasi memperlihatkan, apakah nilai keutuhan suatu acara sebagai patokan suatu program televisi sudah terpenuhi atau belum. Penjelasan tiga kategori format penayangan infotainment yaitu dialog, narasi dan wawancara sebagai berikut: 1) Dialog (Interaktif) merupakan input manusia dan tanggapan langsung yang membentuk percakapan antara komputer interaktif dan orang yang memakainya (Febrian, 2004). Input manusia, terkait dengan komunikasi timbal-balik, antara lain berupa dialog antara sumber yang terlibat (sumber yang diinformasikan, saling mendukung atau membantah), atau saat pihak tertentu saling berdialog mengomentari sumber yang diinformasikan, secara langsung tatap muka atau tidak langsung (menggunakan media/tanpa tatap muka), tersaji dalam tayangan tersebut. 2) Narasi, terkait dengan penyajian infotainment tv dalam bentuk/tipe narasi. Fisher diacuh dalam Littlejohn (1996) menyimpulkan bahwa narasi adalah proses komunikasi. Hal ini berupa penyampaian pesan dari sumber kepada sasaran. Pesan tersebut disampaikan dalam hal ini lewat media massa. Isi cerita bersifat fiksi maupun non fiksi, berupa segala kejadian yang disampaikan secara verbal dan non verbal, yang memiliki sederet peristiwa yang diberi arti oleh khalayak sasarannya. Sisi penyampaiannya memerlukan keutuhan dan ketepatan. Keutuhan dan ketepatan, dengan demikian minimal merupakan dua unsur yang terarah ada dalam suatu narasi. Keutuhan bisa terkait dengan ulasan narasi oleh narator yang disertai dengan ungkapan selebritis atau tokoh yang
13
diberitakan, sedangkan ketepatan dapat terkait dengan konsistensi atau objektivitas antara ulasan narator dan ungkapan tohoh atau selebritis. 3) Wawancara
adalah tanya-jawab dengan seseorang Interviewee untuk
mendapatkan keterangan atau pendapatnya tentang sesuatu hal atau masalah. Wawancara dapat dilakukan oleh pihak (interviewer) untuk keperluan, misalnya penelitian atau penerimaan pegawai, maupun pekerjaan jurnalis. Perbedaan penting antara wawancara dengan percakapan biasa, wawancara bertujuan pasti (sehingga terstruktur atau terencana), menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak pemirsa (televisi), namun berbeda dengan penyidik perkara atau interogator. Sehingga wartawan atau interviewer tidak memaksa, tetapi membujuk orang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukan, sehingga perlu meredam emosi. (Arismunandar, 2006). Persepsi Pemirsa tentang Acara Infotainment Menurut Desiderato (1976), dalam Rachmat (1985), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah pemberian makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walau demikian, menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Secara sederhana, persepsi pemirsa infotainment tv dapat disebut sebagai suatu penafsiran seseorang tentang sesuatu hal, setelah memaknai sesuatu stimuli atau rangsangan tentang sesuatu objek yang diperolehnya melalui panca indera. Sesuatu objek tadi dapat berupa informasi yang diperoleh dari media massa seperti televisi. Informasi yang dimaksudkan disebut sensasi. Tetapi, seseorang menafsirkan makna suatu informasi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga melibatkan faktor lain, seperti atensi (perhatian), motivasi (dorongan) dan memori (ingatan atau pengalaman). Dalam hal tayangan infotainment di televisi, pemirsa melakukan selektivitas (pemilihan) informasi sesuai yang dikehendakinya dan memungkinkannya untuk mendekatkan diri (proximity) dengan informasi yang dimaksud. Caranya adalah dengan melakukan perhatian penuh pada informasi
14
tersebut dan mengabaikan perhatian pada informasi yang lain. Semakin dekat pemirsa dengan informasi yang dikehendakinya maka
semakin cermat atau
sempurna pemirsa menafsirkan (mempersepsi) makna pesan infotainment dari televisi tersebut. Faktor fakta, selektivitas, motivasi, memori atau pengalaman, kedekatan dan kecermatan atau kesempurnaan pemaknaan pesan atau informasi, merupakan unsur
dalam
proses
pemirsa
menafsirkan
atau
mempersepsi
tayangan
infotainment. Faktor awal yang sangat berpengaruh dalam proses tersebut dimulai dari unsur perhatian pemirsa terhadap stimuli pesan pada acara infotainment. Andersen (1972), dalam Rachmat 1985) mempertegas apa yang dimaksud dengan perhatian, sebagai faktor yang sangat mempengaruhi persepsi. Perhatian (attention) adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya merendah. Perhatian terjadi bila mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indra dan menyampingkan masukan-masukan melalui indra yang lain. Persepsi merupakan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu dan penafsiran pada stimuli indrawi yang dimulai dari perhatian pemirsa pada stimuli berupa acara infotainment televisi. Pemirsa memperhatikan infotainment karena memiliki motivasi atau dorongan untuk mengetahui sesuatu hal dan masuk ke dalam memori (ingatan atau pengalamannya) sehingga memungkinkan pemirsa melakukan selektivitas pada tayangan infotainment terkait, sesuai apa yang diharapkannya. Pengalaman pemirsa sebelumnya tentang pesan pada acara infotainment akan menentukan proximity (kedekatan) pemirsa pada informasi yang lebih mendalam tentang hal tersebut. Pemirsa bisa mengabaikan pesan infotainment dari saluran televisi yang lain. Semakin dekat pemirsa dengan acara infotainment televisi tertentu, dimungkinkan pemirsa akan semakin cermat memaknai informasi tersebut. Andersen dalam Rakhmat (1985), mengemukakan bahwa sesuatu yang diperhatikan pemirsa akan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter) dan faktor personal sebagai determinan internal.
15
Empat sifat stimuli yang mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain adalah gerakan, intensitas, kebaruan dan perulangan. Uraian ringkas dari sifat stimuli adalah sebagai berikut: 1) Gerakan; manusia tertarik pada objek-objek yang bergerak. 2) Intensitas; manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dibanding stimuli yang lain. Dengan demikian, menguatkan pemahaman pemirsa terhadap isi pesan dalam tayangan infotainment dan sekaligus memperkuat perhatiannya tentang sesuatu hal. 3) Kebaruan, (novelty); manusia akan tertarik perhatiannya pada hal-hal yang baru, yang luar biasa dan yang berbeda dari sebelumnya, tidak hanya pada isi pesan tetapi juga dari metode atau cara penyampaian tokoh atau sumber pesan dalam tayangan infotainment. 4) Perulangan; hal-hal yang disajikan berkali-kali disertai dengan sedikit variasi atau hal yang sudah dikenal sebelumnya, berpadu dengan unsur yang baru, termasuk unsur sugesti (mempengaruhi bawah sadar pemirsa), akan dapat menarik perhatian pemirsa terhadap acara infotainment yang ditayangkan televisi. Pemirsa menjadi mungkin untuk melakukan seleksi di dalam menonton tayangan infotainment sesuai dengan yang diharapkannya. Menurut Rakhmat (1985), faktor internal penaruh perhatian adalah menjelaskan kemampuan indera manusia untuk menunjukkan perhatian yang selektif (selective attention), yang bisa lolos dari perhatian orang lain. Faktor tersebut terkait dengan faktor biologis, meliputi kebutuhan terpenting seseorang dalam memenuhi pencapaian tujuan atau keinginan yang diharapkan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan, pengalaman dan pendidikannya. Persepsi pemirsa terhadap tayangan infotainment televisi, dengan demikian diasumsikan dapat dilihat dari; apakah isi pesannya memiliki nilai informasi yang mendidik dan menghibur (nilai pencerahan bagi pemirsa) dan apakah format tayangan infotainment memiliki daya tarik bagi pemirsa. Faktor selektivitas penaruh perhatian yang membentuk persepsi pemirsa terhadap nilai pencerahan suatu informasi (infotainment), terkait dengan daya tarik kemasan pesan dalam format tayangan infotainment, sebagai berikut.
16
1. Nilai Pencerahan Munthe dalam Gumilar 2008 menggambarkan tentang patokan program acara televisi, antara lain adalah acara harus disajikan dengan kualitas baik. Menurut Munthe dalam Gumilar (2008), penonton televisi selalu menuntut hasil yang prima tanpa gangguan, karena mereka sangat mendambakan kenyamanan pada saat menonton acara. Penyelenggara program acara televisi dengan demikian memiliki kewajiban untuk memberikan yang terbaik kepada penonton, sehingga acara disajikan dengan kualitas baik. Seseorang dapat mencapai pencerahan (kesempurnaa pemikiran dan perbaikan tindakan yang terarah dan transparan) antara lain dapat dicapai melalui
arena
dialog atau pertukaran pendapat.
Biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki jiwa moderen. “Modern dalam berpikir dan bertingkahlaku ke arah yang lebih baik”, antara lain karena memiliki pengalaman atau tingkat pendidikan yang memadai dalam memandang sesuatu hal (pesan komunikasi). Hal tersebut sebagaimana disinggung Salim (2002), dinamika sosial dalam masyarakat moderen bisa membimbing orang mencapai pencerahan (kesempurnaan pikiran dan perbaikan tindakan secara sistematis dan transparan) melalui arena debat-transformasi pernyataan. Pengalaman
atau
tingkat
pendidikan
seseorang
dengan
demikian
memungkinkannya untuk dapat membedakan persepsinya terhadap nilai dari suatu informasi (media massa televisi) yang memberi nilai pendidikan dan atau nilai hiburan (nilai pencerahan). Terkait dengan infotainment televisi, Effendy (1993) dalam Desti (2004), menyinggung fungsi media massa televisi sebagai berikut: a) Fungsi Penerangan (The Information function) media yang mampu menyiarkan informasi yang amat memuaskan yang disebabkan dua faktor yang terdapat pada media massa audio visual. Dua faktor tersebut adalah (a) immediacy (langsung, dekat); peristiwa yang disiarkan oleh stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh para pemirsa pada saat peristiwa itu berlangsung, dan (b) realism (fakta, nyata); stasiun televisi menyiarkan informasinya secara audio visual dengan perantaraan mikrofon dan kamera sesuai dengan kenyataan. Jadi para pemirsa melihat dan mendengar sendiri. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana penerangan, selain menyiarkan informasi dalam bentuk siaran
17
pandangan mata atau berita yang dibacakan maka seorang penyiar juga dilengkapi dengan gambar-gambar yang faktual. b) Fungsi pendidikan (The Educational Function); televisi merupakan sarana yang ampuh untuk menyiarkan acara pendidikan kepada khalayak yang jumlahnya begitu banyak secara simultan. Televisi juga dapat meningkatkan
pengetahuan
dan
penalaran
masyarakat
dengan
menyiarkan acara-acara tertentu secara teratur. c) Fungsi hiburan; fungsi hiburan yang melekat pada televisi siaran tampak dominan, karena pada layar televisi dapat ditampilkan gambar hidup beserta suaranya, sehingga dapat dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat termasuk khalayak yang tidak mengerti bahasa asing, bahkan yang tuna aksara. Hasil penelitian Desti (2004) menjelaskan bahwa sebanyak 51% penonton berita kriminal televisi menganggap tidak hanya sebagai informasi semata, tetapi juga sebagai salah satu acara yang dapat menghibur dalam upaya melepaskan diri dari permasalahan, melepas kelelahan dan kepenatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendy (1993) yang menyatakan bahwa fungsi hiburan yang melekat pada televisi siaran tampak dominan karena pada layar televisi dapat ditampilkan gambar hidup beserta suaranya sehingga dapat dinikmati secara utuh. Dengan demikian, infotainment sebagai informasi yang dikemas dalam bentuk berita, merupakan tuntutan bagi pemirsa dalam memberi nuansa hiburan, pendidikan dan penerangan. 2. Daya Tarik Format tayangan Hanafiah (2007) menjelaskan bahwa daya tarik televisi di mata pemirsa bukan pada kotak (bentuk) fisiknya, tetapi pada menu program yang telah disuguhkan oleh televisi secara beragam. Atas alasan itu, televisi menjadi magnet yang menyeret siapa saja sampai menjadi kebutuhan akan kehadirannya. Begitu besar daya pikat televisi sehingga mampu mempengaruhi watak dan karakter bahkan pola hidup (waktu) seseorang (pemirsa). Sains dan Televisi diacu dalam Hanafiah (2007), menggambarkan televisi sebagai medium yang sangat bagus untuk membagi informasi dan prinsip-prinsip ilmu kepada masyarakat secara luas.
18
Melalui program-program televisi yang mendidik sambil menghibur kita dapat meningkatkan daya tarik masyarakat untuk belajar ilmu atau pengetahuan. Dayatarik bobot muatan pesan infotainment dalam bentuk dialog, narasi dan wawancara, dengan demikian merupakan daya tarik dari format tayangan infotainment. Keseluruhan bobot muatan ini dapat membentuk persepsi pemirsa tentang tayangan infotainment televisi swasta tertentu, sehingga dimungkinkan pula akan membentuk daya pikat terhadap pemirsa untuk selalu menonton atau menerima
pesan infotainment televisi tertentu atau bahkan sebaliknya
mengabaikannya karena terdedah tayangan infotainment dari media infotainment lainnya seperti dari radio, media cetak atau media elektronik lainnya. Karakteristik Pemirsa Setiadi ( 2003) menjelaskan, variabel utama yang dapat digunakan sebagai dasar pengelompokkan sasaran, yaitu demografi, geografi, psikografi dan perilaku. Segmentasi geografi terkait dengan beberapa unit, seperti negara, kota atau komplek perumahan. Segmentasi demografi antara lain terkait dengan umur, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan dan pendidikan. Segmentasi psikografi terkait dengan cara-cara atau kebiasaan seseorang dalam bertingkahlaku. Segmentasi perilaku terkait dengan tindakan atau tingkah laku seseorang sebagai realisasi dari suatu keputusan. Sampson dalam Rakhmat (1985) menggambarkan karakteristik individu sebagai sifat atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis mencakup genetik, sistem syaraf dan sistem hormonal. Sedangkan faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kognitif (intelektual) yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (faktor emosional). Krech and Crutchfield dalam Rakhmat (1985) antara lain menjelaskan bahwa faktor yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang, seperti umur, pendidikan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu. Faktor-faktor inilah yang memberi respons pada suatu stimuli dan berhubungan nyata dengan persepsi seseorang tentang suatu stimuli.
19
Berkaitan dengan
pengalaman masa lalu seseorang (pemirsa) tentang
sesuatu informasi (infotainment) yang terdedah dari media infotainment dan frekuensi menonton atau menerima infotainment tersebut, bisa memperkuat kedekatannya dengan informasi tersebut. Dengan demikian dimungkinkan dapat memperkuat pemaknaan pemirsa pada informasi (infotainment) tersebut sehingga dapat menentukan aktivitasnya di masa yang akan datang antara lain bagaimana mempersepsi infotainment dalam usaha memenuhi kebutuhan suatu informasi. Menurut Setiadi (2003), pengalaman masa lalu mempengaruhi sikap seseorang terhadap sesuatu hal. Pengalaman pengguna suatu produk pada masa lalu misalnya, akan memberikan evaluasi atas hal tersebut tergantung apakah hal tersebut menyenangkan atau tidak. Jika menyenangkan, maka sikapnya di masa mendatang akan positif, jika tidak menyenangkan maka sikapnya di masa mendatang pun akan negatif. Cara-cara atau kebiasaan seseorang dalam bertingkahlaku sebagai segmentasi psikografi sebagaimana disinggung setiadi tersebut diasumsikan karena adanya faktor keterdedahan atau terpaan infotainment pada seseorang dari media infotainment yang membuka ingatannya sebagai pengalaman masa lalu pemirsa menonton atau menerima infotainment. Frekuensi seseorang menonton atau menerima infotainment, akan memperlihatkan persepsinya tentang tayangan infotainment. Khairil (1994) menjelaskan bahwa keterdedahan pada siaran melalui radio dan televisi dipakai sebagai panduan kata “media exposure” yang merupakan perilaku penggunaan media komunikasi. Keterdedahan media massa tersebut merupakan aktivitas dalam mendengarkan radio dan menonton televisi. Menyadur pendapat Blumer dalam Rakhmat (1985) yang mengemukakan beberapa jenis kebutuhan akan informasi dan eksplorasi, yaitu kebutuhan untuk melepaskan ketegangan dan untuk mencari hiburan serta kebutuhan akan identitas diri. Keterdedahan seseorang terhadap sesuatu informasi dari media massa radio dan televisi, memungkinkan pula seseorang akan terdedah infotainment dari beberapa media selain televisi dan radio yaitu seperti suratkabar, majalah atau bulletin, internet, Handphone atau media lainnya. Menurut Jahi (1988) bahwa akibat media exposure, dalam keadaan normal orang akan berperilaku atau
20
berpartisipasi
setelah memahami dan bersikap setuju terhadap isi pesan dari
media tersebut. Asmira (2006), menjelaskan bahwa frekuensi keterdedahan adalah jumlah intensitas responden menonton informasi setiap hari dalam rentang waktu seminggu, dikategorikan dengan jumlah frekuensi jarang, kurang sering dan sering. Frekuensi keterdedahan diasumsikan sebagai frekuensi seseorang menonton atau menerima infotainment yang terdedah dari media tertentu seperti televisi swasta, radio, suratkabar, majalah atau bulletin, Handphone maupun media lainnya. Frekuensi tersebut dihitung berdasarkan jumlah intensitas seseorang menerima informasi tersebut setiap hari dalam seminggu. Berdasarkan tinjauan di atas, karakteristik individu (pemirsa) infotainment merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang. Hal ini terkait dengan bagaimana pemirsa terstimuli infotainment dari televisi swasta tertentu yang berisi dialog interaktif, narasi dan wawancara. Proses ini akan membentuk persepsi pemirsa tentang tayangan suatu infotainment, mencakup kategori nilai informasi yang mendidik dan menghibur (nilai pencerahan yang bermanfaat bagi kepentingan publik) dan kategori dayatarik format tayangannya. Penelitian ini menetapkan beberapa karakteristik dalam dimensi demografi yang diamati, yakni meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan. Pada dimensi psikografi yang diamati terkait dengan keterdedahan pemirsa pada infotainment dari media infotainment seperti televisi swasta,
pengalaman masa lalu pemirsa atau
seseorang menonton atau menerima infotainment dan frekuensi menonton atau menerima infotainment. Masing-masing dimensi demografi dapat dijelaskan, sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin Jenis kelamin (laki dan perempuan) seseorang (pemirsa infotainment) yang berbeda, dimungkinkan akan mempersepsi infotainment yang berbeda pula. Banyak didapat bukti pria dan wanita berbeda untuk
beberapa hal penting
tertentu, misalnya wanita dapat memproses informasi secara berbeda-beda daripada pria, dan tampaknya lebih sabar, telaten dan kurang begitu dominan seperti pria. Atau wanita sebaliknya, cenderung menilai tinggi barang milik yang dapat memperkuat hubungan personal dan sosial.
21
Departemen Komunikasi dan Informatika (2006) menjelaskan bahwa tidak hanya wanita yang cenderung menonton tayangan infotainment, akan tetapi sebanyak 42,86% menunjukkan bahwa pemirsa infotainment adalah laki-laki. Laki-laki dan perempuan dengan demikian memiliki kecenderungan perbedaan secara emosional, mental dan fisik yang dimungkinkan akan bisa memperkuat persepsinya terhadap sesuatu hal termasuk infotainment. Yuniati (2008), menjelaskan bahwa wanita dan pria memiliki kondisi yang berbeda secara fisik biologis maupun psikologis sebagai sumber dari perbedaan fungsi dan peran yang diemban oleh pria dan wanita, sehingga mempengaruhi pola hubungan sosial yang terbentuk di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, wanita dihadapkan pada kewajiban untuk melaksanakan dan menyelenggarakan tiga fungsi atau peran (Bamberger diacu dalam Yuniati 2008) yaitu: a) Fungsi reproduksi, seperti mengurus anak dan mengatur atau mengelola urusan rumah tangga. b) Fungsi produksi, terkait dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh wanita dalam rangka membantu perekonomian keluarga. c) Fungsi manajemen kemasyarakatan, terkait dengan pengaruh pola dan tata cara wanita dalam pengelolaan lingkungan dan pemeliharaan infrastruktur komunitas. Sonny (2008) menjelaskan tentang perbedaan secara mental atau emosional bahwa wanita cenderung lebih bersifat pribadi dibandingkan pria. Wanita memiliki minat yang lebih dalam terhadap orang dan perasaan, sementara pria lebih berminat terhadap hal-hal praktis yang dapat dipahami dengan logika. Osborne dalam Sonny 2008 menyatakan bahwa wanita cenderung menjadi “bagian intim” dari orang-orang yang mereka kenal dalam hal-hal di sekelilingnya dan menyatu dengan lingkungannya. Seorang pria berhubungan dengan orang dan situasi, namun biasanya tidak membiarkan identitasnya dijalin bersama orang lain. Emosi wanita berkaitan erat dengan orang dan tempat disekelilingnya, maka wanita membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dibandingkan pria. Seorang pria dapat menyimpulkan manfaat dari suatu perubahan dengan logis dan menjiwainya dalam beberapa menit. Wanita memusatkan perhatian pada akibat yang bisa muncul dari perubahan tersebut dan
22
kesulitan-kesulitan yang mungkin akan melibatkan dirinya dan keluarganya. Ia memerlukan waktu untuk melakukan penyesuaian awal sebelum dapat mulai melihat keuntungan-keuntungan dari perubahan yang terjadi. 2. Umur Umur atau usia dapat dihitung sejak awal kelahiran seseorang hingga batas kehidupan atau kematian. Usia seseorang dapat pula dikategorikan sebagai masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa dan masa tua (manula). Tiap kelompok usia memiliki nilai dan perilaku yang berbeda. Setiadi (2003) menjelaskan bahwa terkadang seseorang yang dewasa mengaku usianya masih muda atau sebaliknya remaja menganggap dirinya sudah dewasa. Usia subjektif atau usia kognitif adalah usia yang sebenarnya dapat dianggap sebagai usia yang tepat bagi diri pribadi seseorang. Namun realita di masyarakat lebih mengutamakan usia kronologis atau usia nyata. Kategori responden penelitian dalam hal ini dibatasi yaitu individu yang sudah dewasa berusia 17 tahun ke atas. 3. Pendidikan Pendidikan merupakan proses pengetahuan, yang dapat diperoleh seseorang melalui jenjang formal resmi seperti SD, SLTP, SLTA atau Perguruan Tinggi. Sedangkan non formal atau jenjang tidak resmi, seperti penataran atau pelatihan secara langsung atau tatap muka atau tidak langsung lewat media seperti televisi. Setiadi (2003) menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan unsur dari kepribadian orang yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki, seseorang semakin mantap serta lebih berhatihati dalam menentukan keputusan. Badan Pusat Statistik (2008), menjelaskan bahwa pendidikan yang dicapai merupakan salah satu indikator kualitas hidup manusia serta menunjukkan status sosial dan status kesejahteraan seseorang. Semakin tinggi pendidikan yang dicapai oleh seseorang maka dapat diharapkan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan maupun anggota rumah tangganya. Jenjang pendidikan yang dicapai oleh kepala rumah tangga dapat digunakan untuk melihat gambaran kasar kualitas sosial maupun tingkat ekonomi dari rumah tangga yang bersangkutan. 4. Pekerjaan
23
Pekerjaan merupakan indikator aktivitas seseorang yang bisa menentukan status sosial dan gengsi seseorang dalam keluarga yang berorientasi pada status ekonomi atau sumber keuangan. Menurut Desti (2004), aktivitas yaitu kegiatan khalayak penonton yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri atau keluarganya, antara lain ditandai dengan mendapatkan imbalan, dengan kategori pelajar atau mahasiswa, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (Polri), ibu rumah tangga, wiraswasta, dan tidak bekerja. Setiadi (2003) menjelaskan, pekerjaan merupakan status seseorang sebagai indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial dan merupakan satu-satunya basis terpenting untuk menyampaikan prestise dan kehormatan. Status seseorang dapat pula dipengaruhi oleh keberhasilan yang berhubungan dengan status orang lain di dalam pekerjaan. Asmira (2006) menjelaskan bahwa jenis pekerjaan adalah kegiatan ekonomis yang dilakukan oleh responden setiap hari.