TINJAUAN PUSTAKA
Serangga Hama Kutu Putih B. tabaci Genn. B. tabaci pertama kali ditemukan sebagai hama tanaman tembakau pada tahun 1889, di Yunani (Hirano et al., 2007). B. tabaci juga mampu membentuk biotip baru dan menyebarkan virus (Henneberry & Castel, 2001). Saat ini telah tercatat 24 biotip B. tabaci yang tersebar di dunia (Carabali et al., 2007). B. tabaci memiliki penyebaran yang luas, di Asia tercatat B. tabaci tersebar di 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara (Deptan, 2007b). Serangga hama ini memiliki berbagai sebutan, di Inggris disebut tobacco whitefly, sweet potato whitefly, cassava whitefly, di Prancis disebut Aleurode du cottonnier, Aleurode de la patate douce, di Jerman disebut weisse fleige, baumwoll-mottenchildlaus, dan di Italia disebut Aleirode delle solanacee (Malumphy, 2007).
Gambar 1. Imago B. tabaci Sumber:http://images.google.co.id/imgres?=http://ditlin.hortikultura.deptan
Universitas Sumatera Utara
Biologi B. tabaci Genn. Hama kutu putih (Bemisia tabaci Genn.) termasuk serangga ordo Homoptera, famili Aleyrodidae dan genus Bemisia (Kalshoven, 1981). Biologi dari serangga ini adalah sebagai berikut: Stadia Telur Telur yang baru diletakkan berwarna putih mutiara dan berubah kecoklatan menjelang menetas. Telur akan menetas setelah 5 hari diletakkan dengan kisaran suhu 32,5 0C, sedangkan pada suhu 17 0C telur menetas setelah 23 hari. Telur diletakkan di bawah permukaan daun pucuk pada pukul 08.00 - 12.00 (Henneberry and Castle, 2001). Imago dapat meletakkan telur sebanyak 28 - 300 butir telur, tergantung inang dan suhu (Mau and Kessing, 2007). Pada tanaman kapas dengan kisaran suhu 9,4 - 42 0C imago menghasilkan 28 - 160 butir telur, pada tembakau dengan suhu 9,4 - 34,4 0C menghasilkan 44 - 47 butir telur, sedangkan pada tanaman kentang dengan suhu 31,9 - 38,0 0C mampu menghasilkan 38 - 394 butir telur (Henneberry and Castle, 2001).
Gambar 2.Telur B. tabaci Sumber:http://images.google.co.id/imgres?=http://ditlin.hortikultura.deptan
Universitas Sumatera Utara
Stadia Nimfa Nimfa yang baru menetas berukuran 0,3 mm, nimfa instar ke - 1 berbentuk bulat telur dan pipih, berwarna kuning kehijauan, dan bertungkai yang berfungsi untuk merangkak. Nimfa instar ke - 2 sampai ke - 4 tidak bertungkai dan berukuran 0,4 - 0,8 mm (Hirano et al., 2007). Nimfa terdiri dari 4 instar, masa instar pertama 3 - 5 hari, instar ke - II 2 - 6 hari, instar ke - III 2 - 4 hari dan stadia terakhir 2 - 5 hari (Henneberry & Castle, 2001). Total masa nimfa 2 - 4 minggu (Mau & Kessing, 2004). Selama masa pertumbuhan nimfa hanya berada di daun (Hirano et al., 1993). Setelah menusuk daun, nimfa akan berpindah tempat. Nimfa aktif makan pada instar 1 - 3 (Bohmflak et al., 2007).
Gambar 3. Nimfa B. tabaci Sumber:http://images.google.co.id/imgres?=http://ditlin.hortikultura.deptan Stadia Imago Imago berukuran ± 1 mm dengan sayap berwarna putih dan ditutupi tepung seperti lilin (Hirano et al., 2007). Imago yang berumur 1 - 4 hari dapat langsung menghasilkan telur tanpa melakukan perkawinan (Sanderson, 2007). Serangga ini bersifat parthenogenesis, telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan turunan jantan (Henneberry and Castle, 2001). Imago betina mampu menghasilkan 7 butir telur/ hari (Bohmflak et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Umur imago betina lebih panjang daripada imago jantan. Betina berumur 13 - 62 hari dan jantan 4 - 12 hari, pada suhu 14 - 32
0
C
(Henneberry and Castle, 2001).
Gambar 4.Imago B. tabaci Sumber:http://images.google.co.id/imgres?=http://ditlin.hortikultura.deptan Imago aktif antara pukul 06.00 - 10.00. Waktu terbang maksimum pada pukul 06.00 - 10.00. Imago jantan mampu terbang lebih lama dibandingkan betina (Henneberry and Castle, 2001). Imago akan berpindah setiap 48 jam sekali. Perilaku terbang B. tabaci terbagi dua, yaitu terbang jarak jauh (long flight distance) dan terbang jarak dekat (short flight distance). Terbang jarak dekat imago hanya terbang di bawah kanopi tanaman sedangkan terbang jarak jauh bila terbang dari satu tanaman ke tanaman lain (Carabali et al., 2007). Kemampuan terbang imago kurang dari 4,6 m (Mau and Kessing, 2004) dengan ketinggian kurang dari 4 m. Angin dapat membantu penyebaran B. tabaci secara pasif (Deptan, 2007b). Gejala Serangan Serangan yang disebabkan oleh B. tabaci dibagi atas 3 tipe: (1) kerusakan langsung, (2) kerusakan tidak langsung, dan (3) penularan virus (Berlinger, 1986). Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang
Universitas Sumatera Utara
menghisap cairan daun (Deptan, 2007a) mengakibatkan daun tanaman mengalami klorosis, layu, gugur daun dan mati (Mau and Kessing, 2007). Helai daun yang mengalami vein clearing mulai dari daun pucuk berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut mengakibatkan daun mengecil dan berwarna kuning terang tanaman kerdil dan tidak berubah (Deptan, 2007a). Bemisia tabaci menghasilkan ekskresi berupa madu yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan embun jelaga yang berwarna hitam (Cladosporium sp. dan Alternaria sp.) menyebabkan proses fotosintesis tidak berjalan dengan normal. Imago betina B. tabaci menghasilkan embun jelaga yang lebih banyak selama siklus hidup mereka (Sanderson, 2007). Proses makan imago dan nimfa B. tabaci sangat berbahaya pada tanaman karena dapat bertindak sebagai vektor virus. B. tabaci menularkan Geminivirus secara persisten yaitu sekali makan pada tanaman yang mengandung virus, selamanya sampai mati dapat ditularkan (Deptan, 2007a).
Gambar 5.Gejala Serangan B. tabaci Genn. Sumber: Foto Langsung
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang mengisap cairan daun, berupa gejala becak nekrotik pada daun akibat rusaknya sel - sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu putih menghasilkan madu yang merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya embun jelaga yang berwarna hitam. Hal ini menyebabkan proses fotosintesa tidak berlangsung normal (Ditlin Hortikultura, 2007). Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu putih sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Yang dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20 - 100 %. Sampai saat ini tercatat 60 jenis virus yang ditularkan oleh kutu putih antara lain : Geminivirus, Closterovirus, Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus (Ditlin Hortikultura, 2007). Pengendalian Hama Berbagai teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi, seperti pergiliran tanaman penggunaan varietas tahan, pengendalian hayati, pengendalian secara mekanik dan fisik, pemanfaatan insektisida botani dan terakhir menggunakan insektisida kimia dengan dosis, jenis dan waktu aplikasi yang tepat. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan virus, terutama tanaman yang bukan famili Solanaceae seperti tomat, cabai, kentang dan Cucurbitaceae seperti mentimun. Sanitasi lingkungan terutama mengendalikan gulma berdaun lebar seperti babadotan dan ciplukan
yang
berpotensi menjadi inang
virus
(Deptan, 2007a). Penggunaan tanaman yang resisten merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu untuk menekan populasi kutu putih. Namun saat ini
Universitas Sumatera Utara
belum ditemukan varietas tembakau yang resisten terhadap B. tabaci (Berlinger, 1986). Secara mekanik dengan menggunakan alat perangkap (Oka, 1995). Perangkap sintesis dapat digunakan sebagai alat untuk memerangkap hama dan data yang diperoleh dapat menjadi pedoman untuk ketepatan waktu aplikasi insektisida (Chu et al., 2007). Serangga hama di perangkap dengan berbagai jenis alat perangkap yang dibuat sesuai dengan jenis hama dan fase hama yanga akan ditangkap. Alat perangkap diletakkan pada tempat atau bagian tanaman yang sering dilewati oleh hama. Sering juga pada alat perangkap diberi zat - zat kimia yang dapat menarik meletakkan atau yang membunuh hama (Untung, 2006). Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan parasit, predator, dan entomopatogen. Kumbang predator Menochilus sp. merupakan predator yang mampu memangsa 200 - 400 Bemisia tabaci per hari. Parasit Encarsia, Eretmocerus californus, Eretmocerus mondus, Eretmocerus eremicus. Namun Encarsia yang lebih umum digunakan untuk mengendalikan B. tabaci di rumah kaca maupun di lapangan. Pengendalain secara hayati sebaiknya dilakukan bila populasi B. tabaci tidak terlalu tinggi (Hirano et al., 2007). Pengendalian secara kimia dapat menggunakan insektisida diafenthiuron, acetamiprid dan neonicotionouid yang dilakukan pada sore atau pagi sebelum matahari terbit dan mampu menjangkau permukaan bawah daun (Untung, 2006). Penggunaan Perangkap Sintetis Umumnya serangga tertarik dengan cahaya, warna, aroma makanan, atau bau tertentu. Serangga hama tertentu juga lebih tertarik terhadap warna. Warna
Universitas Sumatera Utara
yang disukai serangga biasanya warna - warna kontras seperti kuning cerah. Metode
penggunaan
perangkap
dikembangkan
dengan
memanfaatkan
kelemahannya. Caranya adalah dengan merangsang agar serangga berkumpul pada perangkap yang disesuaikan dengan kesukaannya sehingga nantinya serangga yang terperangkap tersebut tidak dapat terbang dan akhirnya mati. Pengendalian metode ini cukup efektif bila digunakan secara meluas dan tepat waktu sebelum terjadi ledakan hama (Firmansyah, 2008). Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap adalah sebagai berikut: ukuran atau jenis serangga yang akan ditangkap, kebiasaan serangga keluar: siang atau malam hari, stadium perkembangan serangga, makanan kesukaannya, warna kesukaannya, kekuatan atau kemampuan hama untuk berinteraksi terhadap jerat dan cara terbang hama (Firmansyah, 2008). Salah satu teknik untuk menekan populasi dari serangga hama kutu putih adalah melalui penggunaan perangkap sintetis dengan menggunakan chery glue. Penggunaan perangkap sintetis untuk melakukan pemantauan populasi hama. Perangkap ini berguna untuk menentukan sebaran dan aktivitas harian serangga. Perangkap sintetis cukup efisien menjebak kutu putih untuk memantau populasi dan keberadaan kutu putih di lapangan (Hartanto, 2008). Perangkap sintetis cukup aman digunakan dan tidak membunuh predator dan parasitoid dari hama. Perangkap ini telah digunakan untuk monitoring hama di lapangan dan di rumah kaca. Penggunaan perangkap sintetis tidak menyebabkan kerusakan tanaman namun dapat mengurangi populasi hama. Hal
ini
sesuai
dengan
program Pengendalian
Hama
Terpadu
(PHT)
(Sastrosiswoyo, dkk, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan perangkap sintetis merupakan suatu metode sederhana untuk mengetahui ukuran relatif serangga dan untuk mendeteksi awal munculnya serangga. Metode ini lebih efisien dibandingkan dengan metode satuan unit contoh, karena perangkap langsung mengumpulkan serangga yang berada di sekitar tanaman (Heinz et al., 1982). Perangkap sintetis dapat menarik dan menangkap serangga hama seperti aphids, kutu putih, thrips, penggorok daun. Namun, penggunaan perangkap sintetis tidak menyebabkan musnahnya populasi B. tabaci, namun dapat mengurangi populasinya di lapangan. Perangkap sintetis dan warna sangat efektif dalam mengendalikan hama kutu putih dan juga untuk memonitor efek perangkap yang dibuat di lapangan (Pasian and Lindquis, 2007). Pada daun bawah kandungan air dan protein tanaman lebih tinggi daripada daun atas, sehingga imago memilih daun bawah untuk aktivitas makan dan peneluran. Bila daun bawah sudah habis terserang, imago memilih daun tengah yang lebih muda untuk mendapatkan kandungan air. Semakin tua umur tanaman semakin kurang disukai kutu putih sebagai tempat untuk meletakkan telurnya. Populasi B. tabaci melimpah pada saat fase vegetatif (linier) dan menurun pada fase generatif (logaritmatik) yang diduga karena faktor kualitas dan kuantitas tanaman. Kuantitas tanaman dapat diukur dari semakin bertambahnya biomasa tanaman, sedangkan kualitas tanaman dipengaruhi oleh kandungan berbagai nutrisi yang terdapat dalam tanaman (Heinz et al., 1982). Pemasangan perangkap sintetis berpengaruh nyata terhadap efisiensi penangkapan hama, yakni semakin jauh kanopi tanaman semakin sedikit jumlah hama yang terperangkap. Perangkap yang paling efisien menangkap hama adalah
Universitas Sumatera Utara
dipasang disekitar kanopi tanaman. Hal ini memberi indikasi bahwa aktivitas terbang hama kutu putih hanya sekitar kanopi tanaman, dikarenakan ukuran tubuh kutu putih yang relatif kecil, migrasinya sangat tergantung pada bantuan angin (Supriadi, dkk, 2008). Manfaat lain dari penggunaan chery glue ini petani bisa mendeteksi hama yang menyerang. Chery glue ini dapat digunakan untuk mengendalikan hama kutu putih dan capsid. Ada tiga cara yaitu: mendeteksi atau memonitor hama, menarik hama kutu putih dan capsid dan membunuh dengan perangkap sintetis, mengacaukan hama dengan melakukan pengenceran yang baik dan terbukti bersifat netral (Kardinan, 2007). Perangkap sintetis ini yaitu chery glue hanya bisa digunakan pada hama siang hari saja. Prinsip kerjanya pun tidak jauh berbeda dengan perangkap cahaya dimana serangga yang datang pada tanaman dialihkan perhatiannya pada perangkap warna yang dipasang. Bila pada obyek tersebut telah dilapisi atau diolesi semacam lem, perekat atau getah maka serangga tersebut akan menempel dan mati (Firmansyah, 2008). Chery glue juga dapat mengeluarkan wangi sedap bagi si pengganggu (hama) aromanya bak magnet. Tak hanya aromanya yang menjadi daya tarik, warna lemnya juga menjadi daya tarik. Umumnya serangga tertarik dengan warna kuning. Selain murah chery glue dapat mengurangi penggunaan insektisida kimiawi bagi petani (Trubus, 2006). Cara penggunaan chery glue relatif mudah. Cukup oleskan lem ke botol atau media lain berwarna kuning, transparan, atau putih. Pemasangan media
Universitas Sumatera Utara
di sela - sela tanaman. Tempatkan chery glue dengan jarak pemasangan 10 - 20 m (Trubus, 2006). Aroma chery glue mengandung rempah - rempah seperti cengkeh dan jahe yang sudah tercium oleh serangga dari jarak 20 - 30 m (Trubus, 2006). Kandungan aktif dari cengkeh adalah minyak atsiri yang merupakan kandungan terbanyak pada tanaman cengkeh. Minyak atsiri ini dihasilkan dari penyulingan serbuk kuntum cengkeh kering (clove oil), serbuk tangkai kuntum cengkeh (clove stem oil) dan daun cengkeh kering (clove leaf oil), minyak atsiri mengandung metil eugenol 70 - 85 % dan bahan lainnya (Kardinan, 2004). Daun, buah mengandung minyak atsiri metil eugenol (BPTPH, 2000). Jahe (Zingiber officinale) memiliki kandungan gingerol, geraniol, minyak jahe
(zingeron),
zingeberon,
borneol,
cineol,
dextro
-
kamfena
dan
beta - phelandrena. Jahe juga mengandung minyak atsiri, berupa cairan kuning kehijauan dengan rasa pedas dan bau yang khas. Jahe juga mengandung atsiri sebanyak 48 - 60 %, serat 7 - 11%, lemak 3 - 10 %, air 12 - 18 % dan kadar abu 8 - 9 % (Anonimus, 2009).
Universitas Sumatera Utara