TINJAUAN PUSTAKA Restoran Cepat Saji Perkembangan bisnis yang dioperasikan secara waralaba (franchise) di Indonesia saat ini mengalami perkernbangan yang sangat pesat. Tingkat pertumbuhan bisnis waralaba iokal dalam tiga tahun terakhir (1996 - 1999) meningkat hi~lgga12,5 Oh,
sedang untuk waralaba asing mengalami penunmn sebesar 10 % (Tabel 1).
Pertumbuhan ini disebabkan tuntutan pasar dan kesadaran pengusaha untuk memanfaatkan
waralaba
sebagai
metode
yang
menguntungkan
dalam
mengembangkan usahanya (Ruslina, 2000; Lamb, Hair and Daniel, 1994), karena tingkat kegagalan yang rendah (Syahrnuharnis, 1994) yaitu 30 % dibanding non waralaba (Karamoy, 1998). Tabel 1. Pertumbuhan waralaba di Indonesia 1991
Tahun
21
Waralaba Lokal 1
WaralabaAsing
f
1
I
119
1998
1
1
I
114
1999
43
36
32 I
6
1997
1996
48
1
12,5 % 1
I
73
Pertumbuhan rata-rata (1996 - 1999)
69
1
- 10,5 %
Sumber : AK & Partners yang dikutip Ruslina (2000).
,
Jerus usaha waralaba h i n m tahun 1999, dari 48 waralaba yang ada, jenis
usaha restoran menempati urntan tertinggi yaitu sebesar 25 %, diikuti oleh retail Vood dan non food) sebesar 22.9 %, traininglkonsultanflcomputer sebesar 14.8 %, percet&an/foto/fumiture &n produk masing-masing sebesar 8.3 %, binatuljasa perbaikan dan salon rambutlkecantikan masing-masing sebesar 6.2 %,
dan
kebugaranhiburan serta sewa k e n d a r d r e a l estate masing-masing sebesar 4.1 % (Ruslina, 2000). Menurut Kararnoy (1998),
terdapat dua jenis u-a
tipe fiamhise, yaitu
pertama : Product and Trade Name Franchising ( P T N F ) yaitu pemberian merk dagang kepada pihak lain dan franchisor bertindak sebagai produsen/pemasok, dan kedua : Business Format Franchise ( B F F ) , dimana pewaralaba memperoleh merk dagang sistem, prosedur, teknologi operasi, bantuan teknis dan manajemen selama kontrak. Bisnis waralaba pada dasarnya merupakan bentuk simbiose mutualisme bisnis dimana franchisor memberikan lisensi bisnis kepada franchisee untuk menjuaI prodddjasa milihya pada lokasi tertentu (Siegel, 1983), atau untuk mengynakan merek dagang, produk, atau cara dan metoda tertentu dalam proses produksi (Sapuan, 1998). Selain itu, waralaba merupakan suatu konsep bisnis yang menyeluruh, sebuah proses permulaan clan pelatihan aspek pengelolaztn bisnis sesuai konsep franchisor dan proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus (Mendelsohn, 1997). Jadi hubungan antara pemilik waralaba dengan pewaralaba merupakan hubungan yang berkelanjutan (Lamb, er al, 1994), bersifat jangka panjang (Syahmuharnis, 1994). Sistem waralaba merupakan alternatif yang menjembatani kesenjangan berusaha antara pemilik modal kuat dengan pemilik modal kecil (Anonim, 1992), atau cara yang tepat untuk membangun kelas pengusaha kecil clan menengah yang tangguh dan mendorong terciptanya keterkaitan usaha dengan sektor ekonomi kuat. (Syahmuharnis, 1994)
Keuntungan sistem waralaba bagi pemilik waralaba (franchisor) adalah memperoleh jaringan yang lebih luas (Syahmuhamis, 1994), memasuki atau menghentikan usahanya secara cepat dengan risiko yang lebih kecil, biaya investasi tidak besar, keq a dan biaya impor kecil, memasuki pasar yang sudah siap (Paliwoda, 19931, Pewaralaba Vi.anchisee) rnerniliki keuntungan untuk tidak perlu membangun citra dan kontrol manajemen, karena sudah terbentuk (Syahrnuharnis, 1994), struktur bisnis yang fleksibel, tanggung jawab finansial bersama, aturan yang bebas, ide yang sudah dicoba dan temji, ekonornis dalam distribusi, motivasi (Paliwoda, 1993), teknologi yang tersedia, peralatan dan manajemen yang siap pakai, jaminan mutu produk dan merek yang telah dikenal, akses pasar dan keseragaman sistem sehingga .tidak hams mulai dari no1 (Karamoy, 1998), training dan bantuan sebelurn dan pada saat restoran dibuka, mendapatkan metode operasi bisnis, penggunaan nama yang telah terkenai dan keuntungan dari pemasangan iklan oleh pemilik waralaba (Smith, 1991).
Keuntungan waralaba bagi konsumen adalah produk yang standar, harga yang pasti, teknologi baru yang cepat, manajer yang temotivasiilnterested. Sedang bagi negara yang bersangkutan, keuntungan diperoleh dari adanya transfer teknologi, penciptakan tenaga kej a dan peluang bisnis, serta royalti (Paliwoda, 1993). Bisnis waralaba umurnnya menesapkan keseragaman di &lam fmnchisenya, franchisor menawarkan produkflayanan standar dan tidak boleh diubah oleh franchisee, &lam rangka mernudahkan pengendalian mutu (Sigel, 1983). Disarnping itu karena mutunya telah teruji, khususnya citarasa dari resep masakan.
Menurut
Wirakusurnah (1996), keunggulan resep yang standard akan rasa clan penampilan makanan. disain interior dan pencahayaan yang sama antara outlet yang satu dengan yang lain juga merupakan snlah satu alasan yang mendorong bisnis waralaba berkembang dengan pesat. Kesepakatan mewajibkan pewaralaba menggunakan prosedur operasi standar (standard operating procedures)
yang dikembangkan pemilik
waralaba dan
menawarkan menu yang disetujui pemilik waralaba. Pewaralaba juga diharuskan membeli bahan yang dipasok oleh waralaba untuk semua bahan digunakan dalam restorannya (Smith, 1991). Saat ini franchise yang banyak berkembang adalah waralaba format bisnis, dan bisnis jasa boga (Mc D, KFC, dll) menggunakan sistem ini (Syahmuharnis, 1994). Industri jasa boga waralaba yang banyak berkembang di Indonesia adalah bentuk indusri pangan khususnya restoran. Menurut Wirakusumah (1996), restoran waralaba menjadi begitu disukai konsumen adalah karena mampu menjawab tantangan trend makanan masa kini dengan memenuhi kebutuhan akan pangan yang sehat dan higienis. Penyajian makanan dilakukan dengan cepat dengan menu yang sederhana, sehingga dianggap cooolc dan sesuai memenuhi kebutuhan masyarakat kalangan kelas menengah yang sib&. Selain itu Lingkungan usaha rurnah makannya juga bersih, ditata sedemikian rupa sesuai dengan trend minat konsumen. Restoran merupakan industri pngan yang bergerak dalarn pengolahan dan penyajian makanan siap santap (Fardiaz, 1994), menempati sebagian atau seluruh bangunan permanen yang dilengkapi peralatan dan perlengkapan proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan penjualan makanan bagi urnurn (Depkes, 1995).
Restoran diorganisasi secara komersial untuk menyelenggarakan pelayanan dengsn baik kepada semua tamunya baik berupa makan maupun rninum (Marsum, 1994). Perkembangan industri jasa boga menjadi sangat cepat berkembang karena didasari beberapa faktor, yaitu : (1) potensi pasar yang besar d m selalu bertambah,
(2) peralatan rnakanat~,sistem, kontrol serta perlengkapan fisik lain yang telah berkembang, (3) meningkatnya traveling, waktu luang, serta berbagai alasan keadaan untuk makan di luar, (4) harga makanan yang menjadi lebih tinggi memberikam kesernpatan yang baik untuk mendapalkan banyak uang (Matsum, 1999). (5) perubahan status wanita yang mempengaruhi angkatan kerja, (6) meningkatnya single-person home hold.^ dan potensi untuk makan diluar rumah, (7) perhatian
rnasyarakat terhadap kesehatan dan kesejahteraan (Palacio and Theis, 1997). Klasifikasi restoran berdasarkan pengelolaan dan sistern penyajian dibagi menjadi tiga yaitu : (1). Restoran formal, yaitu restoran yang dikelola secara komersial dan profesional dengan pelayanan yang ekskiusif. (2). Restoran informal, seperti halnya restoran formal hanya iebih rnengutarnakan kecepatan pelayanan dan umurnnya dengan harga yang lebih murah, (3). Specialties restaurant, yaitu restoran yang menyediakan makanan dengan sistem penyajian yang khas dari suatu negara tertentu (Soekresno, 2000). Restoran sering diklasifikasikan menurut tingkat layanan yang diberikan kepada konsumen. Menurut The National Restaurant Association, restoran terbagi menjadi : ( I ) menu lengkap dengan meja layanan, (2) menu terbatas dengan meja layanan, (3) menu terbatas tanpa meja layanan, clan (4) layanan kafetaria (Smith, 1991).
Istilah fasr jbod menurut Corinthian Infofarma Corpora (1993) diartikan sebagai : (1) makanan yang disajikan dengan cepa, memiliki standar mu*
pelayanan
dan harga tertenty (2) dljual pada outlet-outlet tertentu dengan ruangan bersantap di tempat, baik selfservlce maupun dengan pesanan, (3) makanan yang serba cepat dan unik serta sudah terkenal, (4) dioperasikan dengan skala usaha tertentu dan dapat diproduksi secara masal. Satu istilah yang sering digunakan sebagai pengganti istilah fast food adalah cepat saji, namun keduanya mengacu pada menu yang terbatas,
sudah dimasak, kadang sudah dikemas sebelum disajikan, waiters/waitresses diganti dengan counter servrce dalarn melayani konsumen (Smith, 1991). Restoran yang berkembang di Indonesia berasal dari mancanegara (Cina, Italia, Jepang, Thailan, Korea, dan Arnerika) (Tabei 2) dan merupakan pesaing industri jasa boga iokal. Tingginya tingkat persaingan menuntut industri restoran untuk tidak hanya memberikan mutu produk pada tingkat harga yang sesuai tetapi juga memberikan mutu layanan berdasarkan pa& kebutuhan konsumen. Tabel 2. Beberapa Nama Restoran fast food Asing dan Lokal di Indonesia
Tabel 2. Lanjutan.
Sumber : Sapuan (1998), * SWA (2000). Kebutuhan Konsumen akan Mutu Produk dan Layanan
Konsumen adalah pembeli dalam jurnlah kecil untuk penggunaan pribadi dan mempakan sumber daya beli yang menopang industri (Juran, 1995), yang berkunjung ditempat usaha kita atau yang kita datangi untuk membeli produk kita (Soekresno,
2000). Dengan kata lain bahwa lionsumen merupakan orang yang tidak tergantung pada kita tetapi kita tergantung pada mereka, sehingga amat penting untuk dipuaskan. Konsumen akan menuntut perusahaan untuk rnemenuhi standar mutu tertentu (Gasperz, 1997). Disisi lain konsumen merupakan sekelompok orang yang memiliki suatu selera, kebiasaan, nilai-nilai budaya tertentu (Anonim, 1991). Setiap orang yang melakukan pembelian memiliki harapan tertentu yang akan diperoleh dari produk atau jasa yang digunakan clan menghasilkan kepuasan. Kepuasan yang diperoleh merupakan hasil evaluasi pasca konsumsi, bahwa sesuatu
yang dipilih memenuhi atau melebihi b-rapannya (Engel, Blackwell, dan Mniard, 1994). Kepuasan konsumen pada dasarnya merupakan keadaan dimana kebutuhan, keinginan, dan harapan dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi (Gasperz, 1997; Juran, 1995). Kebutuhan merupakan perbedaan yang disadari antara keadaan ideal dart keadaan faktual yang akan menirnbulkan dorongan dan penyaluran ke suatu tujuan tertentu (Engel et al, 1994). Kebutuhan yang tidak terpuaskan mendorong manusia untuk mengendalikannya. Dorongan merupakan rangsangan kuat melakukan tindakan untuk rnenurunkan kebutuhan, bersifat internal yang merupakan alasan dibalik pola perilaku tertentu. Pembelian produk merupakan hasii dari dorongan untuk kepuasan beberapa kebutuhan ( McCarthy and Perreault, 1990). Kebutuhan yang cukup kuat untuk mendesak seseorang untuk mencari pemenuhan dan kepuasan disebut sebagai rnotivasi (Kotler, 1994). Setiap orang dimotivasi oleh kebutuhan dan keinginan, yang merupakan tekanan dasar yang mendorong manusia melakukan sesuatu. Motivasi dalam memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan industri jasa boga atau pangan, dapat berupa : (1) kebutuhan biologis/fisik (biogenic need), (2) kebutuhan psikogenik @sychogenic need) dan kebutuhan sosial (sosiogenic need) (Minor, 1983; Solomon, 1992). Motivasi yang mendorong seseorang rnelakukan kunjungan rnakan di luar rumah yaitu kebutuhan akan : kenyamanan (pelmconglpekeja/pelajar), variasi (kebutuhan perubahan), status (business iunchlmenjamu teman), budaya (pernikahd ulang tahun), dorongan (promosi, lapar), keperluan tertentu (pasiednarapidanal pekerja) (Waller, 1996).
Produsen yang ingin memuaskan konswnen hams berusaha memahami apa kemauan dan kebutuhan konsumen (what customer need and what customer wants) (Anonim, 1991), sedangkan kebutuhan dan keinginan manusia selalu berubah dan tidak ada batasnya. Usaha jasa pelayanan makanan dan minuman dapat berkembang apabila produk yang dihasilkan rnampu memberi kepuasan atas keinginan yang diharapkan konsumen dan memberikan keuntungan materi kepada manajemen sesuai dengan yang diharapkan (Soekresno, 2000). Kebutuhan konsumen terhadap industri jasa boga tidak hanya pada produk, akan tetapi mencakup pula harga diri, menghargai orang lain, kelangsungan pola kebiasaan (Juran, 1995), cepat saji, cepat santap, dan harga tejangkau (Hadad, 1997). Konsumen remaja membutuhkan restoran cepat saji untuk memenuhi keinginan untuk bergaya modem bagi remaja, prestise, kebanggaan dan simbol status sosial. Sedang bagi
konsumen
dibandingkan
anak-anak,
mainanlhadiah
makanannya sendiri (Sapuan,
yang diperolehnya
lebih
disukai
1998). Banyak konsumen yang
rnengunjungi restoran bukan untuk kenyang, tetapi untuk menunjukkan bahwa mereka sudah menjadi bagian gaya hidup modem (Jatiman, 1997). Melalui penggunaan produk, konsumen mengetahui persis mengenai mutu produk, tidak ada yang lebih berkualifikasi melebihi konsumen &lam membuat keputusan disukai atau tidak disukai terhadap suatu produk (Juran, 1995). Salah satu kelemahan industri jasa boga adalah tidak sepenuhnya memahami kebutuhan konsumen akan mutu produk dan layanan. Menurut Soin (1 993), bahwa ddam situasi kompetisi yang semakin meningkat, maka faktor utama yang harus diphami adalah mutu, baik produk atau jasa. Produk hams bermutu tinggi d m diberikan melalui
pelayanan yang memuaskan, dan jika konsumen tidak merasakanya, maka akan kehilangan konsumen. Definisi mengenai mutu sangat beragam dan tidak ada yang pasti atau seragam. Menurut
Waller
(1996), mutu
adalah
tingkat
atau
standar dari
produknayanan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan harapan konsurnen. Mutu tidak berarti produk hams yang terbaik atau termahal, namun secara umum mutu dapat dikarakteristikan sebagai tingkat kepuasan konsumen akan produk. Beberapa restoran mengembangkan sistem yang digunakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen, seperti Mc Donalds menggunakan sistem QSCV : Quality food product, quick andfiiendly Service, Clean restaurant, and Value (fdvarez (1994). Sedangkan KFC mengembangkan sistem yang bertujuan "
Delivering I O I
% customer satisfication"
dalarn arti mengejakan apa yang
diharapkan konsumen ditambah sedikit, yaitu QSC (Quality, Service, and Cleanliness ) dan OFR (Operation Facilities Review )( Plichta , 1994).
Kebutuhan dan harapan konsumen merupakan ha1 yang unik pada setiap operasi sehingga interpretasi terhadap mutu operasi tertentu menjadi unik pula (Wdler, 1996 ). Persepsi yang mendasari kebutuhan yang dirasakan konsumen dapat berkaitan atau dapat pula tidak berkaitan dengan produk, sperti yang dikemukaan Juran (1995), bahwa pada industri fist food yang tumbuh dengan pesat diakibatkan oleh cepatnya pelayanan dibanding persepsi orang tehadap mutu makanan yang dijual.
Mutu Produk
Industri jasa boga menyajikan dua aspek utama yaitu aspek produk dan layanan yang keduanya mempunyai proporsi yang seimbang. Produk merupakan sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai, atau dikonsurnsi sehingga dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan konsumen (Kotler, 1994). Produk merupakan penilaian akhir oleh konsumen dalam arti keuntungan yang diperoleh akibat kewajiban yang dibebankan. Keuntungan dan kewajiban dalam ha1 ini berupa fisik, ekonomi, waktu, clan performa layanan konsumen (Kolarik, 1999). Produk mencakup dua hal, yaitu produk tangible dan intangible. Produk tangible yaitu produk yang secara fisik disebut barang, dapat dirasakan dengan
sentuhan, diiihat, dibaui, dan seterusnya. Produk intangible adalah sesuatu yang perlu dilakukan untuk konsumen, misal layanan pesta ulang tahun atau ruang pertemuan, dimana denganya dikenakan beberapa harga (Smith, 1991). Terdapat tiga tingkatan produk yaitu (1) inti produk yang merupakan inti atau manfaat produk tersebut, (2) wujud produk yaitu kemasan, corak, gaya, dan mutu, (3) produk yang disernpumakan yang terdiri dari instalasi, pelayanan puma jual, jaminan
dan pengiriman serta kredit (Kotler, 1994). Dengan kata lain produk mencakup aspek tangible yang dibeli konsumen ditarnbah layanan (pengiriman, instalasi, dst),
jarninan, kernasan, brosur, dan yang lainya yang dibayar konsumen. Produk jasa boga mencakup seluruh bagian menu, sesuai dengan jenis pilihan layanan (kafetaria, mesin penjual, katering), dim atribut lain yang diinginkan ( atmosfir yang menyenangkan) (Palacio and Theis, 1997). Produk mungkin juga
termasuk "doggze bag", layanan pemesanan, tempat parkir, dan lainya yang secara normal restoran menyediakan tanpa tambahan biaya. (Smith, 1991). Produk jasa boga yang dapat memuaskan konsumen adalah (1) makanan dan minuman yang berkualitas (keragaman pilihan, bentuk, warna, rasa, aroma yang lezat dan menarik, bersih, sehat, komposisi gizi yang seimbang), (2) suasana indah, sejuk, bersih, dan menyenangkan (3) pelayanan profesional penuh keramah tarnahan dan memiliki ciri pelayanan yang khas (4) memiliki reputasi yang baik akan makanan, nama baik restoran, sumber daya manusia, (5) harga yang pantas (Soekresno, 2000). Sedang atribut makanan dan minuman itu sendiri mencakup pilihan, mutu, jumlah porsi, konsistensi, range, performance (kompetensi/kesesuaian penyajian), penyajian, dan harga (Waller, 1996). Menurut Gasperz (1997), keinginan konsurnen terhadap produk mencakup dimensi waktu Cfaster), dimensi harga (cheaper), dan dimensi mutu (better). Dimensi mutu produk berkaitan dengan karaktersitik mutu prod& pangan beserta atribut yang dimilikinya. Karakteristik mutu produk pangan diklasifikasikan menjadi dua yaitu karakteristik fisik dan karakteristik tersembunyi. Karakteristik fisik berkaitan dengan sensoly quairty
mencakup : apperreance, kinesthetic, flavour ( kombinasi sensasi
aroma dan rasa). Karaktristik mutu tersembunyi merupakan karakteristik yang tidak dapat dilihat atau dirasakan dan pengukuranya melalui prosedur standar kimia atau mikrobiologi seperti kandungan nutrisi atau keamanan mikrobiologi (ITC, 1991).
Mutu Layansn Pelayanan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang) yang tingkat
pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yarlg melayanan dan yang dilayani. (Sugiarto, 2000). Terdapat beberapa jenis pelayanan atau gaya penyajian dari operasi jasa boga yang berbeda-beda, namun semuanya bertujuan sama yaitu memberikan kepuasan konsumen dengan menyajikan makanan yang bermutu, suhu yang tepat untuk meningkatkan selera dan keamanan mikrobial, dan penyajian yang menarik. Terdapat empat jenis pelayanan yaitu : self-service (cafetaria, b e e t , vending- machine, dl), fray-sevice, waiter-waitress service, dan portable meal (Palacio and Theis, 1997).
Menu buflet merupakan hidangan secara prasmanan, dirnana tamu mengambil sendiri makanan di meja prasmanan dengin bebas (Marsum, 1999). Mutu layanan mencakup tangibles (fasilitas fisik, peralatan, personalia, dan alat komunikasi), reliability (kemampuan kineja untuk melayani secara a k w t ) , responsiveness (kernauan untuk rnembantu konsumen dan memberikan pertolongan), assurance (keahlian dan pengetahuan karyawan, kemampuan untuk memberikan
kepercayaan dan keyakinan), dan emphaq (perhatian dan pemahaman terhadap konsumen) (Zeithaml er at, 1990). Sistem Produksi Sistem produksi jasa boga sangat tergantung pada perhatian personal terhadap kebutuhan konsumen. Sistem produksi merupakan kumpulan yang terpadu dari orang dan proses yang secara bersama-sama (tidak bekerja sendiri secara terpisah) mentransformasikan sumberdaya kedalam produk dan by-product. Sistem produksi yang meliputi orang, produk, dan proses, secara terikat bersama membentuk rantai
yang terpadu dari organisasi (Kolarik, 1999).
Industri pangan dituntut untuk dapat memuaskan kebutuhan konsumen melalui kemampuannya dalam menerapkan sistem jaminan mutu dan jaminan keamanan pangan. Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman diperlukan adanya jaminan
mutu dengan
menerapkan sistem GMP (Good
Manufacturing Practise) dan HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) (Bambang, 1998). GMP (Good Manufacturing Practise)
GMP merupakan standar pabrikasi untuk keamanan dan kebersihan serta kesehatan pangan. Peraturan mencakup semua aspek pengolahan pangan termasuk pelatihan karyawan, rancangan dan konstruksi fasilitas, pemeliharaan, sanitasi, operasi, prosedur pengujian, dan pemeliharaan pencatatan. Secara prinsip lagi adalah rnenyesuaikan toieransi untuk kontarninasi (Stauffer, 1988)
GMP diterapkan di seluruh mata rantai produksi makanan mulai dari pengadaan bahan mentah hingga makanan siap untuk dikonsumsi. GMP menjelaskan persyaratan minimal dan sangat umum tentang sanitasi pabrik (Bambang, 1998), menekankan pada kebersihan dan kesehatan, dan keamanan daxi pengolahan produk. Langkah kritis &lam operasi pengolahan ditujukan pada detil khusus termasuk hubungan temperatur dan waktu, kondisi penyimpanan, penggunaan bahan tambahan makanan, prosedur uji, dan pelatihan khusus karyawan (Marriott, 1094). T u j m diberlakukannya GMP adalah untuk menjamin agar makanan yang diproduksi untuk konsurnsi rnanusia harus aman, dan disiapkan, dikemas, serta ditangani dalam kondsi yang bersih dan higienis (Bambang, 1998)
Aspek-aspek penting dalam GMP yang berkaitan dengan sanitasi menurut Bambang (1998), mencakup : (1). Persyaratan lokasi dan bangunan, (2). Peralatan produksi, (3). Sarana dan pengolahan sanitasi, (4). Kigiene karyawan, (5). Pengadaan bahan baku, (6). Pengendalian proses, (7). Mutu produk akhir, (8). Penyimpanan, (9). Transportasi. Lokasi rumah makan atau restoran terletak pada lokasi yang terhindar dari pencemaran (debu, asap, serangga, dan tikus) dan tidak berdekatan dengan sumber pencemaran (tempat pembuangan sampah, WC umum, dan pengolahan limbah) (Soekresno, 2000), dan hams ada pengendalian pencemamn, hama, d m penyakit hewan dan tanarnan untuk meningkatkan keamanan makanan (Bambang, 1998). Bangunan dirancang d m dibangun sesuai perturan perundang-undangan yang berlaku. Pembagian ruang dapur, gudang, ruang makan, toilet, ruang karyawan, dan ruang admirllstrasi yang masing-masing dibatasi dinding dan saling berhubungan,
ditata sesuai fungsinya. Konstruksi lantai dan dinding dibuat dari bahan kedap air rata, tidak licin, dan mudah dibersihkan, tiap sudut tidak mati, dinding tidak rangkap (Soekresno, 2000). Bangunan hams dtrancang dan dibangun sedemikian rupa untuk menjarnin
hat-ha1 sebagai berikut : (a) mencegah kon+&nasi,
(b) memudahkan
pemeliharaan, pembersihan, dan disinfeksi, serta mengurangi kontaminasi dari udara, (c) permukaan dan bahan khususnya yang mengalami kontak langsung dengan makanan bersifat tidak beracun, kuat clan tahan lama, serta mudah dipelihara dan dibersihkan, (d) bila diperlukan tersedia fasilitas yang sesuai untuk mengendaliakn suhy kelembaban, dan pengendalian lainnya, (e) terdapat perlindungan yang efektif terhadap hama (Bambang, 1998).
Ventilasi hams cukup menjamin peredaran udara dengan baik dan dapat menghilangkan uap, gas, asap, b a y dan debu (Soekresno, 2000). Ventilasi udara diatur sedemikian mpa dan diberi kawat kasa untuk menghindari kontarninai udara, menghindari masuknya hama, mengontrol suhu udara, dan mengontrol bau yang dapat mempengarufii citarasa makanan (Bambang, 1998). Peralatan produksi didesain dan dikonstruksi untuk menjamin : (a) mudah dibersihkan, didisinfeksi dan dipelihara untuk mencegah kontaminasi maknanan, dan (b) tahan lama, mudah dipindah atau dilepas sehingga memudahkan pemeliharaan, pembersihan, didisinfeksi, pemanhuan, dan pemeriksaan terhadap hama. Peralatan untuk memasak, memanaskan, mendinginkan, menyimpan, atau membekukan makanan harus didesain sehingga suhu yang diinginkan tercapai, mudah dipantau, .dan dikendalikan suhunya (Bambang, 1998). Sarana pengolahan dan sanitasi, yaitu sumber air bersih harus cukup dan dilengkapi
dengan
fasilitas
penyimpanadpenarnpungan
dan distribusi
untuk
menjamin keamanan. Air yang mengalami kontak langsung dengan makanan hams memenuhi persyaratan standar air minurn. Sumber dan saluran air untuk keperluan lainnya terpisah dari sumber dan saluran air untuk pengolahan. Pabrik harus difengkapi dengan sistem pembuangan clan penanganan air dan limbah yang didisain dan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mencemari makanan atau sumber air bersih (Bambang, 1998). Fasilitas dan prosedur yang tepat harus dilakukan untuk menjamin bahwa tingkat higienis karyawan dijaga dan dipertahankan dengan baik. Fasilitas higiene karyawan harm disediakan untuk menjamin kebersihan karyawan dan menghindari
pencemaran makanan (Bambang, 1998). Karyawan yang bekeja hams sehat dan tidak menderita atau menjadi sumber penyebatan penyakit berdasarkan keterangan dokter, dan setiap karyawan diperiksa kesehatannya secara berkala minimal dua kaIi setahun (Soekresno, 2000). Beberapa ptogen yang dapat ditimbulkan oIeh pengolah makanan yang terinfeksi oleh hepatitis A, norwalk dan norwalk-like viruses. Salrnonela typhi. spesies Shigella, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes (Palacio and Theis, 1997).
Bahan baku yang benar-benar bebas dari kontaminasi sangat sulit didapatkan
clan kemunglunan membawa beberapa organisme patogen. Praktek sanitasi diawali
dari penerimaan bahan baku ini. Kebersihan t e m p t untuk bahan baku memungkinkan mencegah kontaminasi dari luar dan kemasan. Aktivitas penerimaan mencakup pemeriksaan, sortasi, membuang yang rusak, dekomposisi, bahan yang terinfeksi hama, pembahan produk akibat transportasi, desinfeksi wadah (Guthrie, 1989). Selama pengolahan, penyimpanan, dan transportasi perlu diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut : (1) bahan makanan harus ditempatkan terpisah dari bahan-bahan berbahaya untuk menghindari kontaminasi oleh hama, bahan fisik, kimia, dan mikroba yang membahayakan kesehatan, (2) bahan yang tidak terpakai harus dibuang dengan cara yang higienis dan (3) perhatian harus diberikan mtuk mencegah tejadinya kerusakan atau kebusukan makanan, termasuk pengendalian lainnya (Bambang 1998). Pengendalian proses bertujuan untuk mernproduksi makanan yang aman dm bermutu, yaitu dengan cara menetapkan persyaratan (bahan mentah, komposisi, pengolahan, distribusi dan cam mengkonsumsi) yang hams dipenuhi pada saat
.
memproduksi rnakanan, medisain, menerapkan, memantau, dan memeriksa kembali sistem
pengendalian
proses
yang
efektif.
Industri
rnakanan
hams
dapat
mengendalikan bahaya yang mungkin timbul pada makanan melalui penerapan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) (Bambang, 1998). Produk akhir industri rnakanan harus memenuhi spesifikasi mutu atau persyaratan yang diterapkan berdasarkan mutu mikrobiologi, kimia, dan fisik. Bila dimunglunkan spesifikasi produk diuji melalui analisis laboratorim. Spesifikasi produk dicantumkan pada label (Bambang, 1998). H A C C P (Hazard Analysis Critical Control Points) Keamanan pangan dan tingkat penerimaan pangan dipengaruhi oleh kontaminasi bahan mentah, ketidakcukupan pengendalian suhu (rime-temperature abuse) selama pengolahan clan penyimpanan, ketidakcukupan pendinginan pa& refrigerator dalam 2
- 4 jam,
penanganan yang tidak mernadai setelah pengolahan,
kontaminasi silang (antar produk, antara bahan mentah dan pengolahan pangan), kebersihan peralatan yang tidak memadai, bahan mentah tidak terpisah dengan produk yang telah dimasak, dan kesehatan serta praktek sanitasi karyawan yang kurang baik (Marriott,I994). Teknik penanganan pangan yang sesuai hams diterapkan untuk rnenghasilkan pangan yang aman dengan mencegah perturnbuhan rnikroba dan kontaminasi silang. HACCP m e ~ p a k a nsistem keamanan pangan yang terbaik untuk operasi jasa boga
saat ini (Palacio and Theis, 1997). Sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting &lam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan : (a). Keamanan
pangan (food safety),
yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian, yang umumnya berkaitan dengan rnasalah biologi, kimia, dan fisik, jb). Kesehatan dan kebersihan (wholesomeness) merupakan karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higene, (c). Kecurangan ekonomi (economicfraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang rnemgikan pembeli, meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahn yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label, overglazing dan jurnlah yang kurang dalam kemasan (Barnbang, 1998). Keuntungan utarna HACCP adalah penekanannya pa& pencegahan bahaya pangan pada s e l d tahapan pengolahan secara kontinyu (Palaciao, 1997). WACCP mempakan suaiu sistem yang mengidentifikasi kemungkinan tejadinya bahaya (hazard) tertentu dan tindakan pencegahamya untuk dapat mengendalikan agar menjamin keamanan pangan. Sistem jaminan mutu yang didasarkan pada kesadaran atau perhatian bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan proses produksi yang pengendaliannya dapat dilakukan dengan mengendalikan bahayabahaya tersebut (Bambang, 1998). Konsep HACCP dibagi kedalam d~litbagian : ( I ) analisis hazard, potensi yang dapat menimbulkan penyakit kepada konsurnen (2) menentukan titik kendali kritis (CCP), operasi atau langkah yang mencegah atau pengukuran pengendalian yang
akan mengeliminasi, mencegah, atau minimalisasi hazard yang dapat tejadi pada titik
ini
(Marriott,l994).
HACCP
merupakan
sistem
pengendalian
pangan
berdasarkan tindakan pencegahm. Pada identifikasi dimana bahaya &pat tejadi
&lam proses, rnaka terbuka peluang untuk melakukan tindakan yang dibutuhkan
untuk pencegahan bahaya yang &pat terjadi (Mortimore and Wallace, 1994). Dengan menggunakan sistem HACCP, pengendalian dipindahkan dari pengujian akhir pada produk akhir saja (pengujian untuk kegagalan) ke desain dan produksi makanan (yaitu pengujian atas kesesuaian). Namun masih diperlukan pula adanya pegujian produk akhir untuk maksud-maksud verifikasi (Bambang, 1998). Menurut NAMCF (1992) &lam Pierson dan Corlett (1992), 7 prinsip &sar yang merupakan pendekatan sistematis terhadap keamanan pangan dari HACCP, adalah (1) mengidentifikasi bahaya ( d a m dari tahap-tahap proses yang dapat menimbulkan bahaya dan menyiapkan tindakan pencegahannya), (2) menetapkan titik kendali kritis, (3) menstapkan batas kritis terhadap tindakan pencegahan Titik Kendali Kritis, (4) menetapkan kontrol terhadap titik kendali kritis, (5) menetapkan tindakan koreksi bila ditemukan penyimpangan, (6) menyususn penyimpanan data dan sistem HACCP tersebut, dan (7) verifrkasi sistem HACCP. Penerapan HACCP umumnya dilakukan pada tahap pendahuluan guna menunjang validitas HACCP yang dihasilkan. Fardiaz (1996) menyebutkan tahap tahap tersebut berupa (1) menyusun tim HACCP, (2) membuat keterangan mengenai
produk makanan dan cara distribusinya, (3) identifikasi mengenai cara penggunaan dan konsurnennya (menyusun diagram alir mengenai proses), dan (5) verifikasi
diagram alir. HACCP harus diterapkan pada kombinasi prosedproduk tertentu, dan memerlukan komitmen penuh dari manajemen senior dan staf teknis untuk memberikan sumber daya yang
diperlukan
untuk berhasilnya analisis dan
penerapannya. Keefektifan HACCP dapat dicapai dengan menggunakan tirn multidisiplin. Tim sebaiknya beranggotakan berbagai bidang ilmu yang relevan (mikrobiologi, kimia, produksi, jaminan mutu, teknologi makanan dan kerekayasaan makanan) (Bambang, 1998). Kunci utarna HACCP adalah : (1). HACCP menyakan sistem jaminan mutu yang mendasarkan pada kesadaran atau perhatian bahaya akan dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan proses produksi yang pengendaliannya dapat diiakukan dengan rnengendalikan bahaya-bahaya tersebut, (2). HACCP adalah antisipasi bahaya dengan rnenentukan titik pengendalian dengan mengutamakan tindakan pencegahan daripada mengandalkan pengujian akhir produk, (3). HACCP dapat diterapkan pada rantai produksi pangan rnulai dari produsen bahan baku (pertanian), penangan,
pengolahan, hingga sarnpai pada pengguna terakhir, (4). Dalam menerapkan HACCP membutuhkan tanggungjawab penuh clan keterlibatan manajemen serta tenaga kej a dan membutuhkan pula pendekatan tim (Bambang, 1998). Masalah yang sering rnuncul khuswnya pada operasi jasa boga adalah hambatan dalam mengimplementasikan EIACCP secara efektif adalah : (1) kurangnya
sumber daya mencakup waktu dan personel, (2) operasi jasa boga yang kornplek, (3) perputaran personel yang tinggi, (4) beban dan kebutuhan prosedur dokumentasi (Palaciao. 1997).
Lokasi Penelitian Penelitian dlaksanakan pada restoran PRONTO yang memilib tiga outlet. yaitu Pronto Taman Anggrek Mall di Jakarta Barat, Pronto Pondok Indah Mall di Jakarta Selatan, dan Pronto Kelapa Gading Mall di Jakarta Utara. Ketiga restoran tersebut berada pada "Malln yang merupakan pusat perbelanjaan, perkantoran, dan rekreasi yang sudah berkembang di Jakarta sebagai kota metropolitan. Pertimbangan pemilihan lokasi didasarkan pada asumsi bahwa lokasi tersebut memiliki keragaman profil konsumen dan konsumen yang sangat potensial. Banyaknya restoran clan food court yang membuka usahannya di lokasi tersebut mengindikasikan tingkat persain&m yang tinggi. Konsumen merniliki kebebasan mernilih restoran yang &pat memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan. Kondisi tersebut sesual digunakan untuk mengkaji mutu produk dan layanan yang ditawarkan terutama &lam memberikan kepuasan kepada konsumen.
Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus hingga Nopember
2000 dan
pengambilan data dilakukan mulai dari saat restoran buka, yaitu pukul 10.00 hingga 21.00 UrIB, setiap hari k e j a kecuali hari Sabtu dan Mnggu. Hal ini sesuai kebijaksanaan
perusahaim untuk
tidak
mengurangi
kenyamman
mengingat pada hari Sabtu dm Minggu pengunjung restoran sangat padat.
konsumen,
Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus (case study), dengan kasus yang diteliti adalah industri jasa boga waralaba yaitu Restoran "Pronto". Pendekatan penelitian dilakukan dengan metode survai, dengan teknik pengambilan sarnpel secara purposive sampling atau acidental sampling yaitu konsumen yang kebetulan rnakan
direstoran tersebut sebagai responden secara acak. Survai pendahuluan dilakukan untuk memperoleh informasi dan mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap mutu dan layanan, sebagai bahan dasar penyusunan kuesioner. Daftar pertanyaan dijabarkan dalam bentuk pertanyaan tertutup untuk menghindari terlalu lamanya waktu pengisian sehingga diharapkan tidak mengganggu kenyamanan responden dan untuk memudahkan responden dalam mengisi. Disediakan pula pertanyaan terbuka unNc mengkaji keluhan yang munglun dirasakan oleh konsumen. Dalam mengkaji karakteristik responden maka kuesioner dilengkapi dengan pertanyaan mengenai urnur, jenis pekejaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan pengeluaran, frekuensi melakukan kunjungan makan & luar nimah, serta frekuensi kunjungan ke Pronto. Kuesioner juga dilengkapi dengan pertanyaan mengenai alasan atau pertimbangan konsumen dalarn melakukan kunjungan untuk rnengetahui motivasi sebagai kebutuhan dasar konsumen dalarn melakukan kunjungan ke restoran Pronto. Atribut mutu yang diamati meliputi kesesuaian mutu produk dan mutu layanan melalui penilaian terhadap atribut mutu dan layanan. Untuk kesesuaian mutu produk, atribut mutu yang diukur berdasarkan Palacio and Theis (1997), yaitu :
keragaman menu, citarasa masakan, penampilan masakan, meja saji, kondisi masakan, jumlah masakan yang disajikam Sedang untuk atribut mutu layanan berdasarkan Ziethad et al (1990) yang disesuaikan, mencakup kecepatan layanan, keramahan, kesopanan, perhatian, penampilan, kenyamamq
desain interior,
kecepatan pembayaran, pencahayaan ruangan, kebersihan, dan keleluasaan ruangan. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dapat dilihat pula Gambar 2.
a Mulai
I Survai Pendahuluan Penyusunan Kuesioner
Uji validasi kuesioner
h Analisis Data
Penyusunan Laporan I
Gambar 2. tangkah-iangkahpenelitian
Teknik pengumpulan data Data yang diperlukan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner (Lampiran 8) langsung kepada responden yang makan di restoran tersebut. Kusioner diberikan pada saat konsumen memasuki restoran untuk d i s i pa& saat atau setelah selesai mengkonsumsi makanan dan kemudian diserahkanfdikumpullianpada saat selesai kunjuugan. Kuesioner berisi daftar pertanyaan mengenai profil konsumen, atribut mutu produk dan layanan. Pengumpulan data sekunder berupa catatan dan laporan perusahaan mencakup company profile,serta wawancara dengan beberapa karyawan yang berkaitan.
Untuk mengetahui penilaian konsumen terhadap produk dan layanan restoran maka kuesioner disusun berdasarkan parameter mengenai atribut mutu dan layanan. Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup dan pada masing-masing atribut diberi pembobotan berdasarkan skala Likert (Likert-type scale) dengan lima kategori untuk masing-masing ambut mutu produk dan layanan, yaitu : (a)
Pada atribut keragarnadvariasi menu, yaitu : tidak beragam, kurang beragam, biasa, beragam, dan sangat beragam.
(b)
Pada atribut jumlah masakar,, yaitu : sangat sedikit, sedikit, biasa, banyak, dan
sangat banyak. (c)
Pada atribut kondisi masakan, yaitu : sangat dingin, dingin, netral, panas, dan sangat panas.
(d)
Pada atribut penampilan masakan, yaitu : tidak menarik, kurang men&, menarik, dan sangat menarik.
netral,
(e)
Pada atribut meja penyajian, yaitu : sangat sempit, sempit, biasa, luas, clan sangat
luas. (0 Pada atribut citarasa masakan, yaitu : tidak enak, h a n g enak, biasa, enak, d m
sangat enak. (g)
Pada atribut kecepatan layanan, yaitu : sangat lambat, lambat, biasa, cepat, dan sangat cepat.
(h)
Pada atribut keramahan karyawan, yaitu : tidak ramah, kurang ramah, biasa, ramah, dan sangat ramah.
(i)
Pada atribut kesopanan karyawan, yaitu : tidak sopan, kurang sopan, biasa, sopan, dan sangat sopan.
0 ) Pada atribut penarnpilan karyawan, yaitu : tidak menarik, kurang menarik, biasa,
menarik, dan sangat menarik. &)
Pada atribut perhatian terhadap konsurnen individu, yaitu : tidak ada, kurang, netral, tinggi, dan sangat tinggi.
(1)
Pa& atribut kenyamanan ternpat, yaitu : tidak nyaman, kurang nyaman, biasa, nyaman, dan sangat nyaman.
(m)
Pada atribut disain interior ruangan, yaitu : tidak rnenarik, kurang menarik, biasa,
menarik, dan sangat menarik. (n)
Pada atribut cahaya ruangan, yaitu : sangat gelap, gelap, biasa, terang, clan sangat terang.
(0)
Pada atribut kebersihan ruangan, yaitu : sangat kotor, kotor, biasa, bersih, dan sangat bersrh.
@)
Pada atribut luas ruangan, yaitu : sangat sempit, sempit, biasa, luas, dan sangat luas.
(s) Pada
atribut kecepatan pelayanan pembayaran, yaitu : sangat lambat, bmbat,
biasa, cepat, dan sangat cepat. Validitas dan Reliabilitas
Untuk mengetahui kelayakan kuesioner dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap 45 kuesioner secara acak sebagai sampel. Uji validitas digunakan untuk mengetahui adanya konsistensi komponen konstruk yang ditunjukkan dengan adanya korelasi antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk mengukur korelasi antar pernyataan dengan skor total digunakan rumus teknik korelasi product moment (Umar, 2000),yaitu .
dengan X = skor pernyataan atribut mutu keragaman menu, .. . citarasa. Y = skor total pernyataan atribut layanan kecepatan, ... kecepatan layanan pembayaran. n = banyaknya butir pertanyaan. Untuk mengetahui tingkat signifikansi nilai korelasi yang diperoleh dilakukan
uji t, dengan rumus sebagai berikut :
t= dengan :
n-2 rf l ldengan derajat bebas = n - 2
Jr-l.-
r = nilai korelasi n = jumlah responden
Bila diperoleh thh, lebih besar dari maka pernyataan pa&
pada tingkat signifikansi (a)= 0.05,
kuesioner mempunyai validitas konstruk atau terdapat
konsistensi internal dalam pemyataan tersebut clan layak digunakan. Uji reliabilitas dilakukan terhadap pernyataan atribut mutu dan layaman untuk mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama atau untuk mengetahui tingkat kesalahan pengukwan. Pengukuran reliabilitas menggunakan rurnus alpha
karena pernyataan
instrumen memiliki skornya yang
merupakan rentanganfskala, dengan rumus sebagai berikut (Umar, 2000) :
dengan r = reliabilitas instrumen. k = banyaknya butir pertanyaan a : = keragamam total. a,?= jumlah keragarnam butir pertanyaan. Jumlah responden yang akan diteliti ditentukan seluruhnya sebanyak 120 responden yang diperoleh dari tiga outlet h g a n rincian responden outlet Pondok Indah sebanyak 40 responden, outlet Taman Anggrek sebanyak 40 responden, dan outlet Kelapa Gading sebanyak 40 responden.
1. Untuk mengetahui hubungan keragarnan konsumen dari ketiga outlet terhadap profil konsumen dan pengukwan nilai atribut mutu serta mum layanan dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif yaitu uji Chi-square (Xzkhikuadrat). Uji
ini digunakan sebagai teknik elaborasi untuk menggambarkan hubungan antar variabel dan outlet.
Kriteria uji Chi-square dipilih karena data yang akan
dianalisis merupakan data diskret, yaitu mempunyai ciri kualitatif dan bukan kuantitatif atau data yang bersifat kategori (Steel and Tonie, 1993). Dalam tabulasi silang digunakan distribusi persentase untuk mempennudah interpretasi penelitian.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Umar, 2000) :
=C
-
(Jumlab pengamatan dalam sel nilai rata-rata)*/nilai rata-rata
dimana :
Y , = frekuensi yang teramati ke i i 01 = keragaman nilai pengamatan
pi = frekuensi harapan ke
Dari hasil analisis tabulasi silang jika diperoleh nilai Chi-square (XZ) lebih kecil atau sama dengan
X2,bl,
maka tidak terdapat perbedaan yang nyata dari
konsumen pada ketiga outlet restoran terhadap nilai yang diukur pada taraf slgnifikansi (a)0,05. 2. Untuk mengetahui hubungan antara profil konsumen (urnur, jenis pekejaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat pengeluaran) dengan frekuensi konsumen dalarn kunjungan konsumen makan di luar rumah dan frekuensi kunjungan ke restoran Pronto, dan fiekuensi kunjungan makan di luar rumah dan ke restoran Pronto dilakukan dengan m e n v a n uji t.
3. Untuk memperkirakan nilai masing-masing atribut mutu produk dan layanan
dalam hubungannya dengan kebutuhan konsumen akan mutu produk dan layanan digunakan analisis regresi berganda, dengan asurnsi tidak terdapat ofokorelasi dan multikolinieritas diantara nilai atibut tersebut. Model matematis yang digunakan adalah persamaan regresi (Umar, 2000) yaitu sebagai berikut :
dimana Y
X a b
= kebutuhan
konsumen layanan
= atribut mutu atau = nilai intercept = koefisien
arah regresi
4. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat
komputer dengan program SPSS versi 10 for Windows