TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Ternak Sapi Potong Untuk pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan untuk pengembangbiakan sapi potong. Keuntungan yang diharapkan adalah pedet hasil keturunan. Dalam usaha pengembangbiakan sapi potong untuk tujuan komersial, perencanaan yang matang merupakan suatu hal yang perlu mendapat prioritas perhatian, tidak hanya perencanaan fisik, namun juga perencanaan non fisik (Anggorodi, 1990). Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya mencapai swasembada daging antara lain adalah: 1) subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian, 2) rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus bertambah, 3) tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional, dan 4) mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Whiteman, 1980).
Karakteristik Sapi Bali Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson and Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata, Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae, Genus : Bos, Species : Bos indicus. Sapi bali yang depelihara secara tradisional dengan pakan hijauan berupa rumput-rumputan dan hijauan konvensional memberikan pertambahan bobot
Universitas Sumatera Utara
badan yang rendah, yaitu 100-200 g/ekor/hari. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa sapi bali cukup responsif dalam upaya perbaikan pakan. Pemberian hasil samping kelapa sawit yang diamoniasi terbukti dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum dari 3,9 kg menjadi 4,3 kg dan meningkatkan pertambahan bobot badan dari 0,3 kg menjadi 0,4 kg/ekor/hari (Gunawan et al., 1998). Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai kegiatan bisnis di hilir dan semua kegiatan bisnis pendukungnya. Kita memimpikan mempunyai suatu industri peternakan sapi potong yang tangguh dalam arti sebagai suatu industri peternakan yang mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu secara mandiri terus tumbuh berkembang di era persaingan dalam ekonomi pasar global (Boediyana, 2008). Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di wilayah Indonesia. Melalui ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi Bali paling tahan terhadap cekaman panas, di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas tinggi (56 persen), dan kualitas daging baik. Dengan tata laksana pemeliharaan yang baik, sapi potong dapat tumbuh-kembang dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g, sementara pada kondisi pedesaan kecepatan pertumbuhan hanya mencapai ratarata 250 g/ekor/hari (Bamualim dan Wirdahayati, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Plasma nutfah satu-satunya di dunia ini, mempunyai banyak keunggulan. Sapi Bali mempunyai daya adaptasi baik terhadap berbagai kondisi lingkungan baik kering maupun hujan. Bisa hidup liar dengan mencari makanan sendiri, di areal pembuangan sampah sekalipun. Sapi Bali dikenal sangat responsif terhadap perlakuan baik serta memiliki tingkat kesuburan reproduksi tinggi yaitu antara 8082 persen. Sapi induk (betina) mampu melahirkan setahun sekali. Selain itu, kualitas dagingnya sangat baik dengan persentase karkas (daging dan tulang dalam, tanpa kepala, kaki dan jeroan) mencapai 60 persen (Suryana, 2007). Sapi Bali Sejak lama sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dan mendominasi spesies sapi di Indonesia Timur. Peternak menyukai sapi Bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai fertilitas tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali berkisar 83 - 86 persen, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 persen. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kebuntingan 280-294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56 persen, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 persen, persentase kelahiran 83,4 persen, dan interval penyapihan antara 15,48-16,28 bulan (Wahyuni, 2000).
Pertumbuhan Sapi Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak), serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut
Universitas Sumatera Utara
dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein dan zatzat
mineral,
sedangkan
pertambahan
akibat
penimbunan
air
bukanlah
pertumbuhan murni (Anggorodi, 1984). Siklus reproduksi sapi lokal dapat terjadi setiap saat sepanjang tahun dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangbiakan sapi potong dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim. Oleh karena itu, perkembangbiakannya dapat disesuaikan dengan pakan dan pasar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur (2005) memaparkan pertambahan bobot badan sapi Madura, sapi Bali dan Ongole pada umur sebelum lepas sapih, setelah di sapih hingga umur 6 bulan pada pertambahan berat badan maksimal yang pernah dicapai dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Pertambahan bobot badan beberapa jenis sapi lokal Indonesia (kg/ekor/hari). Kondisi umur
Pakan
Madura
Bali
Ongole
Pra sapih Lepas sapih sampai 12 bulan
Rumput
0,22
-
0,52
Rumput
0,22
0,22
0,22
Konsentrat
0,65
0,66
0,75
Maksimal
Sumber : Dinas peternakan propinsi Dati I Jawa Timur.
Sistem Pencernaan Sapi Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, hidrolisis dan fermentatif. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Tillman et al., 1993).
Universitas Sumatera Utara
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan–gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksikontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang berupa getah-getah pencernaan. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan
secara
enzimatik
yang
enzimnya
dihasilkan
oleh
sel-sel
mikroorganisme (Tillman et al., 1991).
Pakan Sapi Kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi pakan sapi Tujuan Produksi Uraian bahan Pembibitan
Penggemukan
12 88 10.4 2.6 19.61 6.8 64.2
12 88 12.7 3 18.4 8.7 64.4
Kadar air Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Kadar abu TDN Sumber : Wahyono dan Hardianto (2004)
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan air (Parakkasi, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Teknologi pengolahan limbah pertanian dan limbah agroindustri menjadi pakan lengkap metode processing yang terdiri dari :
perlakuan
pencacahan
(chopping) untuk merubah ukuran partikel dan melunakkan tekstur bahan agar konsumsi ternak lebih efisien. Perlakuan pengeringan (drying) dengan panas matahari atau dengan alat pengering untuk menurunkan kadar air bahan. Proses pencampuran (mixing) dengan menggunakan alat pencampuran (mixer) dan perlakuan penggilingan dengan alat giling hammer mill dan terakhir proses pengemasan (Wahyono dan Hardianto, 2004).
Konsentrat Konsentrat adalah pakan yang memiliki nilai protein dan energi yang tinggi dengan PK 18. Pada ternak yang digemukkan, semakin banyak konsentrat dalam pakannya akan semakin baik asalkan konsumsi serat kasar tidak kurang dari 15 % BK pakan. Oleh karena itu banyaknya pemberian konsentrat dalam formula pakan harus terbatas agar ternak tidak terlau gemuk (Siregar, 1994). Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, bulgar, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul, bungkil kelapa dan berbagai umbi (Sugeng, 2000).
Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,
Universitas Sumatera Utara
diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat
dan
pembuatan
beberapa
enzim
seperti
amilase,
pektinase,
amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC37ºC (optimum), 6ºC-8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat (Suharto, 2003).
Potensi Hasil Samping Kelapa Sawit Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an, dan saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan perekonomian rakyat dan daerah. Pada tahun 2002 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 4,1 juta ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih dari 9 juta ton (Elisabeth dan Ginting, 2003). Produk samping industri kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit, dan bungkil inti kelapa sawit, khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia. Melalui pola integrasi atau diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan. Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit (pelepah) pada wilayah perkebunan sebagai pengadaan bahan pakan ternak,
Universitas Sumatera Utara
khususnya ruminansia diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (Jalaludin et al., 1991).
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Pelepah dapat diberikan dalam keadaan segar hingga 30 persen dari konsumsi bahan kering ransum. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan penambahan produk ikutan lainnya dari kelapa sawit. Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun demikian, dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya. Hal ini disebabkan adanya lidi daun yang dapat menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan digiling, dapat diberikan dalam bentuk pakan komplit (Wan Zahari et al., 2003). Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus (1-2 cm3) cukup menjanjikan. Namun, pemberian tepung pelepah dalam bentuk pelet tidak disarankan karena ukurannya terlalu kecil sehingga mempersingkat waktu tinggal partikel tersebut dalam saluran pencernaan. Pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam jangka
panjang
menghasilkan
karkas
yang
berkualitas
baik
(Balai Penelitian Ternak, 2003). Daun kelapa sawit menghasilkan hijauan segar yang dapat diberikan langsung ke ternak baik yang berbentuk segar maupun yang telah diawetkan
Universitas Sumatera Utara
seperti dengan melakukan silase maupun amoniasi. Perlakuan dengan silase memberi keuntungan, karena lebih aman dan dapat memberi nilai nutrisi yang lebih baik dan sekaligus memanfaatkan limbah pertanian. Keuntungan lain dengan perlakuan silase ini adalah pengerjaannya mudah dan dapat meningkatkan kualitas dari bahan yang disilase (Hassan dan Ishida, 1992). Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70% serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003). Tabel 3. Proporsi pelepah dan daun kelapa sawit Keterangan
Umur Tanaman Sawit (Tahun) 4
8
12
16
Daun (% total pelepah)
26.1
28.0
25.6
23.7
Pelepah
73.9
72.0
74.4
76.3
Isi pelepah
68.6
68.0
76.5
73.0
Kulit pelepah
31.5
32.0
23.5
27.1
Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak menunjukkan bahwa pelepah dan daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat kasar, 4,47% lemak kasar, 93,4 bahan kering dan 56,00% TDN. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar pelepah dan daun kelapa sawit cukup rendah yaitu sebesar 6,5 % dengan serat kasar yang cukup tinggi sebesar 32,55 % Kandungan serat kasar yang cukup tinggi akan mempengaruhi kecernaan bahan pakan pada ternak (Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan gizi pelepah dan daun sawit berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 4. Komposisi zat makanan pelepah dan daun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman Zat makanan
Kandungan
Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN TDN GE (kkal/Kg) Ca P
26,70 5,02 1,07 50,94 39,82 45,00 56,00 0,96 0,08
Sumber : Balai Penelitian Bioteknolologi Tanaman Pangan (2000)
Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit (BIS) mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik daripada solid sawit (Tabel 4). Produksi rata-rata sekitar
40 ton/hari/pabrik.
Bahan pakan ini sangat cocok terutama untuk pakan konsentrat ternak ruminansia, namun penggunaannya sebagai pakan tunggal dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, oleh karenanya perlu diberikan secara bersama-sama dengan bahan pakan lainnya (Mathius, 2003). Menurut Davendra (1997), Bungkil Inti Sawit (BIS) adalah limbah hasil ikutan dari ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan proses kimiawi atau cara mekanik. Walaupun kandungan proteinnya agak baik tetapi karena serat kasarnya tinggi dan palatabilitasnya rendah sehingga menyebabkan kurang cocok bagi ternak monogastrik dan lebih cocok pada ternak ruminansia
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5. Kandungan nutrisi BIS Kandungan Zat Bahan Kering Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar TDN Ca P
Nilai Gizi 92,60 a 21,51 b 10,50 b 2,40 a 72,00 a 0,53 a 0,19 a
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan. b. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
Dedak Padi Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Dedak merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tidak tebal, tetapi tercampur dengan penutup beras. Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Parakkasi, 1995) Tabel 6. Kandungan nilai gizi dedak padi Kandungan zat Bahan kering Protein kasar Serat kasar Lemak kasar TDN Sumber : Tillman et al., (1991).
Nilai Gizi 89,1 13,8 11,2 8,2 64,3
Garam Garam yang dimaksud disini adalah garam dapur (NaCl), dimana selain berfungsi sebagai mineral juga berfungsi meningkatkan palatabilitas (Pardede dan Asmira, 1997)
Universitas Sumatera Utara
Na dan Cl untuk memenuhi kebutuhan produksi optimum (Termasuk untuk unggas). Hampir semua bahan makanan nabati (khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani (Parakkasi, 1995).
Urea Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi. Urea dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terdapat peningkatan konsumsi protein kasar dan daya cerna urea bila diberikan pada ruminansia dirubah menjadi protein oleh mikroba dalam rumen (Anggorodi, 1984).
Molasses Tabel 7. Kandungan nilai gizi molasses Kandungan zat Bahan kering Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Calsium Phospor TDN
Nilai Gizi 67,5 3,4 0,38 0,08 1,5 0,02 56,7
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP-USU, Medan (2005).
Molasses dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan disukai ternak. Tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, dan seng, sedangkan kelemahannya ialah
Universitas Sumatera Utara
kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Thalib, 2001).
Onggok Dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah yang disebut onggok. Ketersediaan onggok sangat bergantung pada jumlah varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati dan penanganannya. Jumlah onggok yang dihasilkan sebesar 50% dari ubi kayu yang diolah. Moertinah (1984) menyatakan bahwa dalam pengolahan ubi kayu menghsilkan 15-20% pati, 5-20 % onggok kering sedangkan onggok basah yang dihasilkan 70-79%. Kandungan nutrisi onggok dapat dilihat pada tabel. Tabel 8. Kandungan Nutrisi onggok kering Zat nutrisi Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN
Kandungan 90.17 2.893 0.676 8.264 77.249
Bungkil kelapa Bungkil kelapa adalah pakan ternak yang berasal dari sisa pembuatan minyak kelapa. Bahan pakan ini mengandung protein nabati dan sangat potensial untuk meningkatkan kualitas karkas (Parakkasi, 1995). Kandungan nilai gizi bungkil kelapa antara lain, BK ; 84,40% PK ; 21,00% TDN ; 81,00% SK ; 15% LK ; 1,80% Konsumsi Pakan Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta
Universitas Sumatera Utara
kualitas bahan pakan. Ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia pakan (Parakkasi, 1995).
Konversi Pakan Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin efisien (Anggorodi, 1984).
Universitas Sumatera Utara