TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang,2002). Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya baik segi ekonomi maupun segi sosial yang sangat penting bagi kehidupan yaitu berupa manfaat langsung yang di rasakan dan manfaat tidak langsung. Manfaat hutan tersebut dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan social dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan. (Zain, 1998).
Konsepsi kehutanan masyarakat di Indonesia Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry) sebenarnya relatif baru karena community forestry (CF) muncul sebagai tanggapan dari kegagalan konsep indusrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena
Universitas Sumatera Utara
terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta : Forest for People. Kristalisasi pikiran-pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai : “konsep radikal kehutanan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki”. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola dan melindungi sumber daya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari sumber daya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada masyarakat pedesaan yang miskin (Awang, dkk, 2001). Beberapa tahun terakhir ini, konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di Indonesia Perum Perhutani sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia mendefinisikan bahwa SF adalah : “Suatu sistem dimana masyarakat lokal berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan tanaman”. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan kesejahteraan sosial (Awang, dkk, 2001).
Hutan Rakyat Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas lahan milik. Pengertian semacam itu kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat’ kiranya lebuh ditujukan kepada pengelola yaitu ‘rakyat kebanyakan’, bukan pada status pemilik tanhnya. Dengan menekankan pada kata ‘rakyat’ membuka peluang bagi rakyat sekitar hutan untuk mengelola hutan di lahan negara. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dibakukan, maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (menengah dan dasar) menguasai tanah milik untuk mengusahakan hutan (Suharjito dan Darusman, 1998). Hardjosoediro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, hutan yang dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis. Jadi hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat, dengan jenis tanaman kayu-kayuan, yang pengelolaanya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha, dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengenal dan mengerti hutan rakyat. Sudut pandang yang sering digunakan adalah sudut pragmatisme,
geografis,
dan
sistem
tenurial
(kepemilikan).
Pandangan
pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan kepentingan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut, berbeda satu sama lain tergantung letak geografis, ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi, dan jenis penyusunnya berbeda menurut tempat tumbuh, dan sesuai dengan keadaan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain (Awang, dkk, 2001). Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) tahun 1967 dengan terminologi ‘hutan milik”. Di Jawa, hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Di dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara lain kemiri, durian, kelapa dan bambu (Suharjito dan Darusman, 1998). Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alamlingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Menurut statusnya (sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan), hutan dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu: 1. Hutan Negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah 2. Hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat (Koesmono S, 2000). Dari materi dan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Pokok Kehutanan, unsurunsur hutan rakyat dicirikan antara lain: a. Hutan yang diusahakan sendiri, bersam orang lain atau badan hukum. b. Berada diatas tanah milik atau hak lain berdasarkan aturan perundangundangan. c. Dapat dimiliki berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan.
Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga
Universitas Sumatera Utara
lingkungan. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam. Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah antara lain : hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi (disebut Parak), dan hutan adat campuran (Awang, 2001). Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria : (Jaffar, 1993) : 1. areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30%; 2. areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim; 3. areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan; 4. lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim. Sedangkan tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Jaffar, 1993) : 1. meningkatkan poduktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestarai; 2. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; 3. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri serta kayu bakar;
Universitas Sumatera Utara
4. menigkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaigus meningkatkan kesejahteraannya; 5. memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Pengelompkan jenis-jenis tanaman di suatu hamparan lahan ditentukn oleh kemampuan jenis tersebut untuk berasosiasi dengan jenis lainnya. Perubahan komposisi jenis dalam suatu hamparan lahan tergantung pada kompetisi diantara jenis-jenis
yang ada perbedaan kemampuan jenis-jenis untuk berkembang
menjadi pohon yang masak pada keadaan tertentu (Brower dan Zar, 1977).
Hutan Kemasyarakatan
Istilah hutan kemasyarakatan mulai diperbincangkan dalam seminar PERSAKI pada tahun 1985 dan pola pengembangannya dijabarkan oleh Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan tahun 1986. Hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita Kelima (1989/1990 s/d 1993/1994). Dalam dokumen Repelita Kelima disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahkan agar kawasan hutan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya dalam jumlah yang lebih banyak dan mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau hutan sosial yang dikembangkan di sekitar desa-desa dan dikelola oleh organisasi sosial masyarakat secara mandiri (Awang dkk, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Perhutanan sosial
Istilah perhutanan sosial pertama kali digunakan dalam penyelenggaraan program oleh Perum Pehutani di Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di Belangian, Kalaan dan Selaru Kalimantan Selatan; Enggelam dan Karya Baru Kalimantan Timur, Dormena, Ormu, dan Parieri Irian Jaya. Semua kegiatan tersebut memperoleh dukungan dari The Ford Foundation. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan program-program prosperity approach, yaitu intensifikasi tumpangsari dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Pada awal perkembangannya oleh Perhutani kegiatan Perhutanan Sosial meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan diluar kawasan hutan yaitu kegiatan pengembangan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan berbagai usaha produktif seperti perdagangan, industri rumah tangga dan peternakan. Pengembangan agroforestry merupakan pengembangan pola-pola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat bisa memperoleh manfaat lebih besar. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melebarkan jarak tanam dan mengembangkan tanaman buah-buahan tahunan seperti srikaya, mangga, jambu, apokat, di samping tanaman pangan yang sudah biasa ditanam dalam program tumpangsari (Awang dkk, 2001).
Konsepsi Hutan Rakyat dan Penyebaran Hutan Rakyat Istilah ‘Hutan Rakyat’ merupakan fenomena yang relative baru untuk Indonesia. Oleh karena itu dalam UUPK No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, perihal istilah hutan rakyat juga belum dimasukkan secara
Universitas Sumatera Utara
proporsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digunakan adalah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan (Simon, 1998). Sementara itu Departemen Kehutanan mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah
Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh pohon-
pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya (Dephutbun, 1998). Definisi ini sesungguhnya hanyalah untuk membedakan hutan yang tumbuh di lahan negara dan lahan milik rakyat. Sedangkan menurut Kamus Kehutanan (1990), hutan rakyat adalah Lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman.
Pola Hutan Rakyat
Berdasarkan kepemilikan jenis lahan, usahatani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Akan tetapi sebagian besar hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yatu campuran tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan. Menurut Munawar (1986 dalam Awang, 2001), Berdasarkan pola tanam, hutan rakyat diklasifikasikam menjadi 3 macam yaitu :
a. penanaman di sepanjang batas milik b. penanaman pohon di teras bangku c. penanaman pohon di seluruh lahan milik
Universitas Sumatera Utara
Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan tingkat kesuburan lahan dan ketersedian tenaga kerja. Tujuan pengembangan pola seperti yang telah di sebutkan diatas adalah dalam rangka meningkatkan produksi lahan secara optimal, baik di lihat dari nilai ekologi maupun ekonomi. Sementara itu berdasarkan Rencana Pengembangan Hutan Rakyat yang disusun oleh Kanwil Daerah Istimewa Yogyakarta, pla-pola hutan rakyat meliputi kayu-kayuan, buahbuahan, HMT (Hijauan Makanan Ternak) dan campuran, kebun, pangan, dan hortikultura sert Tegalan (Awang, 2001).
Universitas Sumatera Utara