TINJAUAN PUSTAKA
Arti dan Tujuan Pembanguuan
Pembangunan bak sebagai proses maupun sebagai cara perwujudan mengemban tugas kemanusiaan dan tugas keludupan. Padanya tergantung harapan-harapan masyarakat untuk mencapai taraf keludupan yang lebih baik (Winoto,1998). Bagimana menterjemahkan taraf hidup yang lebih baik mempakan pertanyaan yang sangat sulit, Todaro (1990) sependapat dengan Prof Goulet dan tokoh ekonomi lainnya menyatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) komponen dasar yang dijadikan basis konseph~aldan pedoman praktis untuk memahami pembangunan yang hakiki, yaitu : 1) Kecukupan (sustainance) yang berarti kemampuan unhk mencukupi
kebutuhan dasar yang meliputi pangan, sandang, papan,kesehatan dan keamanan.
2) Jati diri (self esteem): dorongan untuk menjadi manusia seutuhnya, berupa dorongan untuk maju, menghargai diri sendiri dan merasa pantas untuk mengejar sesuatu.
5 ) Kebebasan dari sikap menghamba (freedom): yang diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehmgga tidak diperbudak. bleskipun ketiga komponen tersebut berlaku untuk semua tnasyarakat atau negara dari waktu ke waktu, tetapi pada dasarnya ada perbedaan dalam mengartikan pembangunan. Menurut Winoto (1998), perbedaan arti pembangunan pada dasarnya ditentukan oleh :
(I) nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat dan bangsa;
(1 ) nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat dan bangsa;
(2) asumsi-asumsi dasar tentang telaah dan praktis pembangunan; (3) tingkat akumulasi pengetahuan masyarakat mengenai kaitan antara alam dan
kehidupan yang terwujud dalam sistem teknologi dan kelembagaan masyarakat;
(4) perubahan persepsi masyarakat tentang sesuatu yang dipandang ideal dalam kehidupan bangsa dan negara baik untuk generasi kini maupun generasi mendatang. Keselumhan atau sebagian faktor penentu tersebut melahirkan pergeseran arti dan atau praksis pembangunan yang pada suatu tingkat tertentu juga akan melahirkan paradigma-paradigma pembangunan untuk masa dan atau untuk suatu negara atau wilayah . Meskipun pandangan terhadap pembangunan dapat berubah dari waktu ke waktu, tapi proses pembangunan menurut Winoto (1998) bukanlah suatu proses yang terputus ,melainkan suatu proses yang berkesinambungan, karena : (1) Pada dasamya tidak ada perbedaan mendasar antara generasi dalam ha1 aspirasi kehidupannya.
(2) Dampak generasi sebelurnnya terasakan oleh generasi kita dan generasi yang akan datang. (3) Lahirnya generasi baru merupakan kejadian alami yang hams diterima
generasi yang bersangkutan beserta social mindscope (struktur dan hubungan individu-individu
dalam
pemihran,
konsep,
perencanaan dan perancangan pembangunan).
pembuatan
keputusan,
(4) Keterkaitan historis antar generasi merupakan proses alamiah karena adanya proses pembelajaran (sociul learning process) yang dilakukan oleh masyarakat.
Adanya pergeseran paradigma pembangunan menurut pengertian tersebut dapat dipandang sebagai suatu proses akumulasi pengetahuan manusia tentang pembangunan. Dalam sejarah pembangunan teori pembangunan, kita mengenal dua teori pembangunan yang memperlihatkan fenomena proses pembelajaran tersebut, yaitu teori modernisasi (mendasari paradigma lama, lahir sebagai respon perubahan sistem
ke~nasyarakatan akibat revolusi
industri) dan
teori
pembangunan berkelanjutan sebagai paradigma pembangunan yang dianut akhirakhir ini.
Perubahan Paradigma Pembangunan Paradigma pembangunan lama yang lahir dari teori modernisasi, dilandasi oleh "T/ze
F ~ r s t Fundamental Theorem of
Welfare Economics" yang
menbwtamakan efesiensi dalam ekonomi (Anwar, 2000). Menurut pemikiran tersebut, untuk dapat mencapai kemajuan, diperlukan pemacuan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya dapat mencapai tujuan pemerataan sosial melalui pengaruh penetasan ke bawah (trrckle down efect). Paradigma pembangunan tersebut mengimplikasikan lahirnya kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan pemusatan pembangunan pada sektor-sektor, wilayah-wilayah dan kelompok
-
keloinpok sosial yang berpotensi untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam kerangka pembangunan spasial/wilayah kebijakan-kebijakan
tersebut menciptakan terjadinya polarisasi sumberdaya
melalui aglomerasi
industri pada tempat-tempat yang kompetitif pada kawasan-kawasan kota-kota besal- yang dari sudut swasta menguntungkan, tapi dari sudut kepentingan publik banyak menimbulkan biaya-biaya sosial.
Dampak penvujudan pelaksanaan kebijakan yang bias kota (urhun bius) mengarah pada terciptanya ketimpangan pembangunan antara desa-kota, juga antar kelompok masyarakat. Prioritas pertumbuhan yang menguntungkan kelompok masyarakat tertentu, merugikan kelompok masyarakat banyak yang pada umumnya adalah masyarakat kecil yang lemah. Pengaruh penetesan ke bawe.h, pada kenyataannya tidak tejadi dari pusat pertumbuhan kota ke wilayah belakangnya (hinterland) atau dari kelompok masyarakat tertentu yang diuntungkan ke masyarakat banyak. Sebagai akibamya adalah pengurasan besarbesaran (massive backwash effect) dari wilayah pedesaan ke perkotaan atau dari kelornpok masyarakat kecil yang miskin ke kelompok masyarakat kaya yang jumliihnya hanya beberapa gelintir saja. Dampak pembangunan seperti ini tentu saja tidak sesuaiitelah melenceng dari tujuan pembangunan yang diharapkan. Men~lrutAnwar (1999) kegagalan konsepsi pemikiran pembangunan yang lama ini tt:rletak pada asumsi-asumsi yang diteorikan tidak realistik dengan keadaan dunia nyata (real world situution) .
Merespon kegagalan-kegagalan dalam implementasi konsepsi pemikiran pemt~angunanmengarahkan pada terjadinya pergeseran pemikiran pembangunan secara mendasar kepada paradigma pembangunan yang baru. Menurut Anwar dan
Rust iadi (2000),Evolusi perubahan konsep dan strategi pembanbwnan dari konsep yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi kepada: 1 . Fertumbuhan, kese~npatan kerja dan pertumbuhan,
pertumbuhan dan
pemerataan 2. Strategi kepada penekanan kepada pemenuhan kebutuhan dasar (basic need
upprouch)
3. Ztrategi yang rne~nperhatiklanpertumbuhan dan lingkungan hidup 4. Strategi pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep
pemikiran
pembanynan ini
yang
adalah dari
melandasi
teori ekonomi
evolusi
kepada
paradigma
"The Second Eirndamenlul
Tt7eorem r!f' TVeIfure Economics" yang menyatakan bahwa alokasi sumber daya yang efisien @reto
eficiency) yang mengarah pada keseiinbangan dapat
dilakukan oleh tindakan pemerintah h a n g diinginkan) melalui sistem perpajakan yang transparan
(subsidi atau grant); sedangkan hal-ha1 lain dalam ekonomi
dapat diarahkan kepada bekerjanya mekanisme pasar yang kompetitif (Anwar,
1999). Dalil
ini mempunyai implikasi yang penting dalam memberi justifikasi
tentang pentingnya pemerataan ekonomi untuk dapat menyumbangkan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan landasan pemikiran ini, pe1nt:rintah dapat bertindak untuk mencapai tingkat pemerataan tertentu yang diinginkan: dengan melakukan redistribusi alokasi sumber
daya (kapital,
lahari, dan sumber daya alarn lainnya) secara spasial, selebihnya yang menyangkut efisiensi sebaiknya pemerintah
membiarkan untuk dapat lnemungkinkan
bekerjanya sistem pasar yang kompetitif, sehingga keseimbangan ekonomi yang efisicn dapat tercapai.
Kon~epPembangunan Berkelanjutan Definisi pembangunan berkelanjutan (Pitono, 1998), menurut Komisi Brundland , adalah pernhungunun yung mencukupi kebu/zilian sekaro~~g runpu berkampromi
(kemumpuun) generusi yang akuiz dutung unruk tnetne~zulii
kebutuliu~z tnereku. Definisi tambahan pembangunan berkelanjutan dari Bank
Dunia, WCS (World Conservation Society) dan UNEP serta WWF adalah penekunun pudu pperbuikun sosiul ekonomi, pelesturiun suli2berdu.v~alum dun perlll?/ian pudu duyu dukung surnberduyu alanz dun keunekurugutnunnyu dulurrr jwzgicu punjung.
Dalam UU No. 2311997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai
'upuyu sudur clan
teretlcunu, yung rnemudukun [ingkungun hidup, tertnusuk sumberdaya, kedulam proses pembungunun untuk menjamin
kemumpuun, kesejuhteruan dun mutu
hidup generusi musu kini dun generu.~imusu depun '.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, pembangunan berkelanjutan tidak hanyi3 memperhatikan aspek akonomi saja, tetapi juga memperhatikan aspek non ekon,3mi dan mengintegrasikan 3 tujuan yang berbeda, yaitu :
(1)
Tujuan ekonomi , yaitu pertunbuhan dan efisiensi kapital
(2)
Tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataaan
(3)
Tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan
Ketiga tujuan yang akan dicapai tersebut digambarkan Seragaldin (1991) dalam hubungan seperti yang digambarkan pada Gambar 3. dibawah ini:
Tujuan Ekonomi Pertunthuhan berkelanjulan. Iipsiensi Kupital Q
Distribusi Pendapatan
Penilaian Sumberdaya
Kesempatan Kerja
Penilaian Lingkungan
Bantuan kepada
Internalisasi
Kelompok sasaran
-
Gambar 2
a
Tujuan Sosial
Partisipasi
Tujuan Ekosistem
l'engerz/usun kemrskman.
Konsultasi
Pengelolaan SllA
Pen7erutuan,
Pluralisme
Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Pedesaaan yang Berkelanjutan (SzrstainahleRural Developmenl)
Dalarn pelaksanaannya, mengintegrasikan ketiga tujuan tersebut tidaklah mudah, karena dalam jangka pendek akan dihadapkan dengan adanya trade off diantara tujuan-tujuan tersebut (Munasinghe, 1993).
Oleh karena itu, pelaksanaan
pembangunan ekonomi, para ahli ekonomi memiliki pendekatan tersendiri dalam mencapai pembangunan yang berjkelanjutan. Tntisari dari pendekatan tersebut adalan bahwa selain penilaian ekonomi, telah ada upaya penilaian terhadap nilainilai lingkungan maupun sosial yang tidak ditransaksikan di pasar.
Selain itu,
untuk memfasilitasi trade off antara ketiga tujuan tersebut digunakan analisis multiaiteria dengan indikator ekonomi, sosial dan lingkungan.
Potertsi Wilayah dalam Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan Menurut definisi terdahulu, pembangunan berkelanjutan pada dasamya adalah mengupayakan kesempatan
pada saat ini, sehingga tidak merugikan
kesenlpatan generasi yang akan datang.
Kesempatan yang dimaksud adalah
kesempatan memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Seragaldin dan Steer (1993) mengemukakan bahwa ada 4 tipe kapital, yaitu: 1 ) hi'ar7-/,7utle (?q~~tul(Modal buatan manusia), seperti mesin, pabrik,
infrastrukrtur dan teknologi yang lain 2 ) A'irrtrn~i C.'upi/ul (Surnberdaya alam), yaitu seluruh cadangan aset yang
disediakan oleh lingkungan, seperti SDA (sumberdaya alam) dan lingkungan hidup. 3) H L I ~ ~ Cupitul IUI~
(Sumbedaya Manusia), manusia dalam ha1 ini adalah
kuantitas dan kualitas penduduk 4 ) Socrul Cupilul (Modal sosial), yang berbentuk antara lain sebagai fungsi
k~:lembagaandan budaya yang berbasis lokal.
Keerr~pattipe kapital ini mempunyai karakteristik yang tersendiri, sehingga perlu pengaturan komposisi kapital dalam pembangunan yang berkelanjutan. Nuturul krrpltul tlui2 nzu17-mude cupltul mempunyai karakteristik yang sama dalam ha1
mengalami degradasi melalui depresiasi yang dapat berlangsung dengan cepat atau lambat. Kapasitasnya akan mengalami penurunan, karena akan mengikuti Hukum Entropy. Oleh karena itu, penurunan kapasitas kedua kapital tersebut
harus
diimbangi
dengan
peningkatan
kedua type kapital lainnya, yaitu
h ~ ~ m r cupilul m dun social cupital yang menyangkut sasaran yang dituju agar
mampu memanfaatkan dan memelihara kelangsungan peningkatan sumberdaya sehir~gga mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok guna mengatasi persoalan kerniskinan, baik kawasan perkotaan maupun pedesaan. Dengan kata lain lcedua tipe kapital ini (surnberdaya manusia dan su~nberdayasosial) tersebut harur; mengalami apresiasi, untuk mengkompensasi depresiasi dua kapital lainnya (sumberdaya alam
dan
sumberdaya buatan
manusia)
(Anwar,
1987).
Keberlanjutan dapat dicapai jika peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan sumtlerdaya sosial lebih tinggi dari penurunan kapasitas sumberdaya alam dan sumt~erdayabutan manusia, sehinggga secara total terjadi peningkatan kapasitas kapital. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 3 berikut:
Gaml~ar 4.
Keberlanjutan dalam arti peningkatan kapital per kapita dan Pentingnya Peranan Perubahan Komposisi dari keempat Jenis Kapital dengan memperhatikan Hukuin E:ntropy
(4) K-eterkaitan historis antar generasi merupakan proses alamiah karena adanya
proses pembelajaran (soc~ul leurnrng process) yang dilakukan oleh masyarakat.
Adanya pergeseran paradigma pembangunan menurut pengertian tersebut dapti: dipandang sebagai suatu proses akumulasi pengetahuan manusia tentang pembangunan. Dalam sejarah pembangunan teori pembangunan, kita il~engenal dua teori pembangunan yang rnemperlihatkan fenomena proses pembelajaran tersebut, yaitu teori modernisasi (mendasari paradigma lama, lahir sebagai respon perut~ahan sistem
keinasyarakatan
akibat revolusi
industri)
dan
teori
pernbangunan berkelanjutan sebagai paradigma pembangunan yang dianut akhirakhir ini.
Peritbahan Paradigma Pembangunan
Paradigma pembangunan lama yang lahir dari teori modernisasi, dilandasi oleh "Tl?e I.'irs/ Fundamentul
Tlzeorem of Welfare Economics"
yang
mengutamakan efesiensi dalam ekonomi (Anwar, 2000). Menurut pemikiran tersel~ut,untuk dapat mencapai kemajuan, diperlukan pemacuan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya dapat mencapai tujuan pemerataan sosial melalui peng,aruh penetasan ke bawah (trickle down efecr). Paradigma pembangunan tersel~utmengimplikasikan lahimya kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan pemusatan pembangunan pada sektor-sektor, wilayah-wilayah dan kelompok
-
kelornpok sosial yang berpotensi untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam kerangka pembangunan spasial/wilayah kebijakan-kebijakan
Peranan Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan Berkelanjutan
Sumberdaya manusia merupakan faktor penentu utama keberhasilan pernbangunan, karena keberhasilan permbangunan tidak terlepas dari peran serta, partiijipasi dan produktivitas manusia itu sendiri. Harbison dalam Todaro (1999) mengatakan bahwa sumberdaya manusia merupakan modal dasar dari kekayaan suatu bangsa. Modal fisik dan sumberdaya alam hanyalah faktor produksi yang pada dasarnya bersifat pasif, manusialah yang merupakan agen-agen aktif yang akan mengmpulkan modal, mengekploitasikan sumber- sumber daya alam, membangun berbagai macam organissasi sosial, ekonomi dan politik , serta melaksanakan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, untuk mencapai
keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan perlu keahl ian dan pengetahuan
adanya pengembangan
sumberdaya manusia dan memanfaatkan potensi
mereka secara efektif dalam pembangunan nasional.
Menurut Anwar (1997), persoalan investasi
kepada human capital
disamping menyangkut pengeluaran untuk pelatihan dan pendidikan juga akan menqangkut aspek lingkungan dan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk meningkatkan produktivitasnya, termasuk pengeluaran untuk gizi dan :resehatan, kesempatan bermigrasi dari desa ke kota, memperoleh akses kepatfa fasilitas lingkungan dan sumberdaya iainnya. Dalam rangka kaitannya dengan pengembangan sumberdaya manusia sebagai modal dasar pembangunan yang berkelanjutan, mekanisme mobilisasi sumberdaya manusia yang disarankan oleh .4nwar (2000) adalah :
1. F'emberdayaan petani-petani dan nelayan kecil serta pengusaha kecil dalam
bentuk kelompok-kelompok tani Cfurmer's a.s.~ociution)yang tangguh yang dijamin oleh Undang-undang; 2. hlengembangkan
dan
mendorong
terbentuknya
penyuluh
konsultan
profesional 3. Penyesuaian sistem pendidikan melalui kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan pembanynan; 4. Rleningkatkan partisipasi swasta
5. Peningkatan persamaan dan pemberdayaan gender dalam memperoleh akses
terhadap sumberdaya modal dan lahan
6. hlendorong inovasi dan peningkatan kewiraswastaan pemberdayaan dan aktivitas swasta besar ke pengusaha kecil agibisnis yang menyerap tenaga kej a pedesaan
Peml~erdayaanWanita Pedesaan dalam rangka Penyetaraan Gender dalam Upaya Pembangunan Persamaan gender dapat diartikan dalam berbagai jalan. Dalam konteks pemtlangunan menurut Word Bank (2001), persamaan gender adalah persamaan dalan~hukum, kesentpatan (untuk memperoleh bayaran dalam pekerjaannya dan memperoleh akses terhadap human capital dan sumberdaya lainnya), dan pilihan (kemampuan
untuk
mernpengaruhi
dan
berperan
serta
dalam
proses
pemt'angunan). Persamaan gender ini merupakan inti dari issue pembangunan pada saat ini, karena bukti-bukti empiris yang ditemukan menunjukkan bahwa persamaan gender dalam pembangunan dapat memperbaiki kemampuan negara untuk tumbuh,
mengurangi kemiskinan dan terciptanya pemerintahan yang
efektif Dan sebaliknya, adanya diskriininasi gender dalam pembanbxnan dapat menilhambat pembangunan.
H u I ? c(1p1tu1 ~ ~ wanita dianggap penting, menurut Anwar (1997) karena didasari oleh pertimbangan bahwa wanita selain bertugas dalam reproduksi keluarga juga
memproduksi
komoditas dan mengolah pangan, bahkan
diperkirakan wanita terlibat dalam setengah dari total produksi. Disamping itu, wani-:a bertangung jawab terhadap ketahanan pangan keluarga, dimana wanita merupakan seperempat dari angkatan kerja industri rumah tangga dan industri man~lfakturserta sepertiga dari angkatan kerja di sektor jasa. Wanita rnempunyai aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan tunai (cuslz) maupun dalam bentuk barar g-barang ( 111 kmds). Dalam keluarga, aktivitas wanita meliputi merawat dan mencidik anal; dan anggota keluarga lainnya, memelihara orang sakit, mencari ka!u
bakar; mengangkut air dari sumbemya dan lain-lain.
Hal tersebut
mencnjukkan bah\va sebenamya wanita mempunyai peran ganda, sebagai pengurus rumah tangga dalam keluarga dan sebagai pencari nafkah.
Pada sekor pertanian di wilayah pedesaaan Indonesia, keterlibatan wanita ditun.iukkan dalam kegiatan produksi dan pemasaran hasil produk pertanian. Dalarn pemasaran mempun!-ai
produk
pertanian
secara tradisional, wanita bahkan
keterlibatan yang lebih besar dibandingkan pria.
Keterlibatan
terset)ut dapat berbentuk : (1) sebagai pedagang swasta dimana sumber pendapatannya berasal dari jual beli hasil pertanian atau hasil olahannya; (2) sebagai pengusaha warung; (3) dalam penyeleksian hasil pertanian sehingga dapat
memperoleh harga yang lebih baik; (4) sebagai pengolah hasil pertanian sebelum dijual atau dikonsumsi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada beberapa daerah terdapat disknminasi gender. Adanya disknminasi ini cenderung semakin besar pada masyarakat yang miskin (World Bank, 2001), seperti di wilayah pedesaan. Perbedaan gender menyangkut berbagai dimensi kehidupan, yaitu: I . Hak (Right)
Perbedaan hak antara wanita dan pria menyangkut hak di bidang sosial, elconomi dan hukum, seperti hak untuk memiliki lahan sendiri, terlibat dalam bisnis dan sebagainya. 2 . Sumberdaya (Resource)
C8alam ha1 ini wanita mempunyai penguasaan yang terbatas terhadap sumberdaya produlitif seperti fasilitas pendidikan, lahan, informasi, dan sumberdaya finansial. 3. Pilihan (Voice)
Keterbatasan wanita terhadap akses sumberdaya produktif dan lemahnya k1:mampuan untuk mendapat income dalam pekerjaannya, menyebabkan k,:terbatasan kekuatan wanita dalam mempengaruhi alokasi sumberdaya dan kt:putusan investasi dalam rurnah tangga. Dan pada lingkungan masyarakat d,3n tingkat nasional, wanita juga mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang lc:mah sehingga kekuatan untuk mempengaruhi keputusan dalam masyarakat d,an tingkat nasional pun menjadi lemah.
Menurut Anwar (1996), keadaan nasib wanita tersebut ini disebabkan salah satunya karena tekanan-tekanan
kultural, baik yang berasal dari masyarakat
maupun dalam setiap keluarga sendiri dalarn memandang peranan wanita yang sedenlikian rendah, seperti dalam pengembangan
human capital
melalui
pendidikan (formal) keluarga, yang cenderung mendahulukan pendidikan anak laki-l;~kidari anak perempuan. Dalam pasar kerja, wanita juga sering mengalami diskriminasi
seperti
menerima penghasilan (upah) yang lebih rendah.
Hubungan-hubungan yang mempengaruhi diskriminasi gender dalam keluarga dan n~asyarakattersebut dapat digambarkan dalam Gambar 4. berikut:
Diskriminasi dalam upah
dalam Alokasi Sumberdaya
(bargaining)
dan Sosial
t
Masyarakat
t
Ketidakadilan Dalam akses kepada jasa-jasa dan sumberdaya
Gambar 4. Hubungan-hubungan yang Mempengaruhi Ketidakmerataan Gender
Adanya kesenjangan gender, menurut World Bank (2001) membahayakan kesejahteraan. Kesimpulan ini didukung dengan adanya kenyataan bahwa pada
nega::a dengan kesenjangan gender yang persisten,
ditemui
lebih banyak
kemiskinan, kekurangan gizi, keadaan sakit dan kerusakan lainnya. Selain itu, kesenjangan gender juga merupakan
hambatan bagi pembangunan, karena
menimbulkan biaya pada produktivitas, efisiensi dan kemajuan ekonomi. Terjadinya hambatan ini karena diskriminasi gender menyebabkan hambatan akurr,ulasi human capital dalam rumah tangga dan dalam pasar tenaga kerja mela ui penyisihan wanita dari akses sumberdaya pelayanan publik atau aMivitas produktif mengakibatkan menurunnya kapasitas ekonomi.
Oleh karena itu,
dengm perbaikan kesenjangan gender, produktivitas wanita akan meningkat sehingga dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, peningkatan partiripasi wanita dalam bisnis dan kepemerintahan, ternyata dapat menciptakan sister? bisnis dan pemerintah yang lebih bersih dan efisien. Penemuan empiris menunjukan bahwa pada tingkat partisipasi wanita
yang
semakin besar
berkorelasi dengan tingkat korupsi menjadi menurun (World Bank, 2001)
Dalam rangka upaya penyetaraan gender dalam pembangunan, ada tiga bagian strategi, yaitu:
1. R-fomasi kelembagaan yang melandaskan pada persamaan hak dan kt:sempatan baik di bidang sosial, ekonomi dan hukum antara pria dan wanita.
2. Membantu perkembangan perhmbuhan ekonomi untuk memperkuat insentif pcrsamaan gender dalam akses terhadap sumberdaya dan meningkatkan partisipasi wanita dalam pembangunan. Hal ini didasari karena peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan ternyata sangat efektif dalam
~nengurangikesenjangan gender dalam pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi. 3. M.emprioritaskan kebijakan yang aktif memperbaiki persamaan gender yang
persisten dalam penguasaan sumberdaya dan pilihan politik.
Stmtegi ini
diperlukan karena reformasi kelembagaan tidak cukup untuk mengurangi kesenjangan gender dalam jangka pendek. Dalam ha1 ini penentu kebijakan perlu selektif dan berfokus pada strategi yang memberikan manfmt sosial tertinggi.
Karakteristik Masyarakat Pedesaan :Kendala dalam Pernbangunan Wilayah pedesaan di Indonesia secara mayoritas dihuni oleh para petani kecil yang berpendapatan rendah sampai dengan miskin. Dengan adanya krisis ekonc'mi, kemiskinan di pedesaan semakin parah. Seluruh penghasilan petani hanya mampu digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Hal ini
dikarenakan selain karena adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, juga dikarmakan kepemilikan lahan petani yang relatif sempit.
Dalam kondisi
finansial yang pas-pasan, petani tidak marnpu untuk menabung, sehingga tidak dapat melakukan investasi terhadap usahataninya. Secara teoritis, tanpa adanya investasi, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dapat diartikan bahwa petani tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya (Anwar dan Rustiadi,
2000)
Adanya konsentrasi kerniskinan di wilayah pedesaan yang semakin meluas, dikarenakan perhatian utama sebagian besar pemerintah di dunia ketiga
justru tercurah ke daerah-daerah perkotaan dan beberapa sektor industri dan komt:rsial, sementara investasi petnerintah di bidang pendidikan, kesehatan, perurnahan dan pelayanan masyarakat di pedesaan justru kurang memadai (Todi~ro,1999). Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), kebijakan yang 'urhon hius'' ini merupakan implikasi penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pemt~angnan,yang hanya menguntungkan wilayah-wilayah, sektor-sekor dan individukelompok tertentu yang berpotensi menyumbangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan mayoritas penduduk
pedesaan yang
Indonesia, prioritas kebijakan pembangunan
perlu diarahkan pada upaya pengentasan kemiskinan dan upaya pencapaian kemajuan di sektor pertanian yang menjadi sektor basis di wilayah pedesaan (Todaro, 1999).
Dalam GBHN tahun 1993, pembangunan sektor pertanian
didamkan pada strategi penerapan sistem agribisnis secara terpadu.
Pola
pertanian ditujukan untuk mewujudkan pertanian yang modem, efisien dan tangguh, sehingga mampu
meningkatkan dan menganekaragamkan hasil
pertanian. Tujuan ini dapat dicapai melalui pengembangan komoditas spesifik lokas:. dengan metnpergunakan keunggulan komparatif dan kompetitif semua potensi sumberdaya pertanian di setiap wilayah, meningkatkan mutu clan menunjang pembangunan wilayah.
Namun disadari, dalam pelaksanaan pembanynan pertanian di wilayah pedesaan ditemui banyak kendala. Dalam ha1 ini Bunch (1991) berpendapat
bahwa kendala pembangunan pertanian di negara berkembang bukan semata-mata karena ketidak siapan petani menerima teknologi dan organisasi pertanian, melainkan karena ketidakmampuan perencana program-program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program dengan kondisi dari petani.
Petani di wilayah pedesaan khususnya di Benua Asia, juga termasuk di wilayah pedesaan Indonesia mempunyai kepemilikan lahan yang sempit-sempit bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali (Todaro, 1999). Rendahnya atau tanpa penguasaan terhadap lahan, petani sulit memperoleh akses terhadap sumberdaya modal yang akan digunakan untuk mengusahakan usahataninya. Hal ini clikarenakan permohonan kredit pada kelambagaan keuangan formal pada umumnya memerlukan persyaratan adanya agunan (collateral). Kenyataan menlinjukkan bahwa program-program pemerintah berupa fasilitas kredit yang disubsidi dan penyuluhan pertanian hanya menjangkau petani menengah yang maju. dan kaya, sementara masyarakat petani yang miskin tidak terjamah. Untuk itu, ~dalamrangka pembangunan pertanian di wilayah pedesaan, perlu kiranya memperhatikan adanya perbaikan akses masyarakat kecil terhadap sumberdaya modil; sehingga masyarakat kecil yang miskin dapat memperbaiki taraf hidupnya.
Selain mengupayakan kemajuan di sektor pertanian, pengembangan wilayah pedesaan perlu disertai dengan
mengembangkan kesempatan k e j a
komplementer, sehingga dapat menampung surplus tenaga kerja yang disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk dihadapkan dengan lahan pertanian yang
terbatas. Disamping itu, kegiatan komplementer ini diperlukan oleh petani yang pada umumnya bukan merupakan fill-time far~ners(Anwar dan Rustiadi, 2000)
Kele~nbagaanKeuangan Pedesaan dan Permasalahannya Salah satu faktor pembatas penting masyarakat kecil pedesaan dalam pemkangunan seperti yang telah dibahas diatas adalah karena kurangnya akses rnerelta terhadap sumberdaya modal. Sulitnya masyarakat kecil dan miskin rnemperoleh akses terhadap sumberdaya modal tersebut, dapat disebabkan antara lain karena masih adanya peraturan dan perundang-undangan dari perbankan yang mensyaratkan adanya jaminan agunan
(colEateral) yang hams dipenuhi bagi
setiap peminjam (borrowers). Sedangkan petani miskin dengan penyasaan lahan yang kecil (seperti petani gurem) atau buruh tani yang tidak mempunyai asset menjiidi terhalang untuk memperoleh modal dengan biaya yang tejangkau.
Adanya halangan masyarakat kecil terhadap sumberdaya modal dari kelembagaan formal pada satu sisi, dan masih adanya dominasi elit lokal seperti petani kaya (tuan tanah ) dan pedagang atau pelepas uang (rentenir) pada sisi yang lain
menyebabkan masyarakat kecil jatuh dan sangat bergantung pada
rentenir.
Sebagai akibatnya masyarakat miskin lnenjadi semakin menderita,
karena hams menanggung biaya bunga yang tinggi. Adanya bunga yang tinggi dari rentenir bisa dipahami, karena pelepas uang tersebut menghadapi resiko yang tinggi apabila peminjam (masyakat kecil) tidak dapat mengembalikan hutangnya.
Di wilayah pedesaan Indonesia saat ini terdapat tiga jenis sumber kredit mikro yang disediakan untuk bantuan modal
masyarakat pedesaan (Anwar,
20001, yaitu kredit mikro yang berasal dari 1. Kelembagaan Keuangan Formal ,seperti BRI Unit Desa, Koperasi Unit Desa
termasuk kredit mikro yang disebut Program Peningkatan Pendapatan Petani .-
dim Nelayan Kecil (P4K) 2. L'zmbaga Keuangan Semi Formal, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi menggunakan tata nilai masyarakat pedesaan, Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA) yang dalam prakteknya mendekati rentenir, dan kmbaga Perkreditan Golongan Miskin lainnya 3. Lembaga Keuangan Non Formal, yaitu yang berasal dari pelepas uang atau
Kebutuhan terhadap kredit mikro di wilayah pedesaan sangat dirasakan, terutzma untuk dipergunakan sebagai modal kej a . Kredit ini sangat membantu ekonomi pedesaan, untuk mengatasi kebutuhan, seperti: ( I ) dalam masa paceklilk, misalnya petani membutuhkan untuk tujuan usahataninya ; (2) bagi nelayan , untuk kebutuhan konsumsi selama tidak melaut; (3) pengrajin Iindustri kecil untuk modal k e j a ;(4) pedagang kecil; dan (5) golongan ekonomi lemah lainnya
Untuk membantu masyarakat miskin, pemerintah pernah mencoba dengan cara memberikan kredit yang disubsidi, baik melalui, BIMAS maupun KUT. Tetapi dalam prakteknya menghadapi beberapa permasalahan-pennasalahan,yaitu banyaknya kesulitan pengembalian hutang
yang berakhir dengan jumlah
tunggakan
adanya
yang
semalun
membengkak,
penyelewengan
atau
meriunjukkan kesanggupan nasabah dalam pengembalian kredit. fornlal
sangat
menyadari
adanya
biaya
transaksi
Bank-bank
ini,
sehingga
merlgkompensasinya dengan memberikan persyaratan agunan.
Informasi asimetrik mempunyai dua macam dampak, yaitu
adanya
kemungkinan salah pilih (adverse selection of risk) dan penyakit moral (moral huxrrd). Pola kredit mikro Grameen Bank telah membuktikan keberhasilannya
karena mempergunakan kriteria-kriteria'ketentuanketentuan tertentu yang sesuai dengan teori ekonomi kelembagaan sehingga dapat mereduksi kedua dampak tersctbut.
Pola Kredit Grameen Bank dan Penerapannya di Indonesia Grameen Bank (Bank Desa) didirikan di Bangladesh oleh Profesor
Muhammad Yunus, dosen ekonomi Universitas Chittagong. Pendirian Bank ini terdorong oleh adanya kenyataan perbankan yang ada di Bangladesh tidak mela yani kaum wanita, orang buta huruf dan orang miskin, karena alasan: 1. Orang mislun tidak mempunyai barang atau kekayaaan yang dapat digunakan sebagai agunan; 2. Orang miskin buta huruf sehmgga tidak bisa mengisi formulir-fomulir yang rumit
3. Ferbankan lebih suka kredit yang besar dalam jumlah sedikit dibandingkan kredit kecil-kecil dalam jumlah yang banyak karena merepotkan dan nlengandung resiko yang tinggi
4. I'erbankan khawatir bunga pinjaman yang diterima tidak dapat menutup biaya
pelayanan kredit kecil-kecil yang berjumlah banyak.
Kenyataan ini membuat masyarakat miskin banyak yang jatuh dan tergantung pa&~pelepas uang (rentenir) yang menetapkan bunga yang tinggi. mengusik
Hal ini
Profesor Muhammad Yunus untuk mendirikan Bank yang dapat
menjangkau masyarakat miskin. Pemberian bantuan pemberian kredit ini sangat penting agar mereka dapat meningkatkan pendapatannya, dan ternyata merekapun manipu untuk mengembalikan kredit tersebut (Suharto dan Hafid, 1997)
Dalam pelaksanaanya, pola kre&t Grameen Bank menggunakan ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mereduksi dampak dari informasi asirietris dengan cara sebagai berikut: 1. IJntuk menghindari dampak
salah pilih, pada tahap awal penseleksian,
dilakukan identifikasi individual untuk menentukan bahwa calon nasabah t~enar-benar dari golongan termiskin dari yang miskin dengan menggunakan kiteria yang telah dltentukan dalam proses seleksi. 2. I'embentukan kelompok nasabah, yang bertujuan untuk menghindari moral Izarard.
Setiap Kelompok terdiri dari 5 orang. Dalam kelompok dipilih
s,eorang ketua dan sekretaris secara aklamasi. Seminggu sekali dilakukan pertemuan yang diawali dengan pembacaan ikrar yang menyatakan janji untuk mempergunakan dan membayar kelnbali pinjaman derngan baik.
3. hlenghimpun simpanan wajib yang merupakan cadangan keuangan anggota
yang dapat dimanfaatkan anggota (dengan persetujuan kelompok ) apabila ada kebutuhan yang mendesak.
Pada perkembangannya, nasabah Grameen Bank didominasi oleh nasabah waNta (90% dari nasabah).
Hal iN dkarenakan untuk memajukan kondisi sosial
ekonomi keluarga miskin akan lebih cepat dicapai apabila dilakukan melalui ibu runah tangga. Kenyatan pun menunjukkan nasabah wanita lebih baik dalam ha1 kedisiplinan pengembalian kredit dan meningkatkan pendapatan keluarganya.
Di Lndonesia, pola kredit Grameen Bank telah direplikasi dalam bentuk progam "Karya Usaha Mandiri (KUM)" yang telah dimplementasikan di tiga Kecamatan Kabupaten Bogor. Tiga prinsip KUM adalah: (1) tidak memerlukan jaminan dan penjamin; (2) peminjam dikenakan biaya administrasi, dan (3) apab~lapeminjam me~nggal,ahli waris tidak diwajibkan membayar sisa kredit (Rasrthan dan Mat Syukur, 1997). Meskipun nasabah adalah golongan termiskin, tetapl dengan delrvery system
yang jelas dan tegas, mereka mampu
mengembalikan pinjaman dengan teratur dan dlsiplin. Selain itu, mereka juga mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung (Rasahan dan Mat Svukur, 1997).