TINJAUAN PUSTAKA Kayu Eucalyptus urophylla Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla termasuk dalam famili Myrtaceae, terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas. Pohon ekaliptus pada umumnya mempunyai batang yang lurus, tinggi dan tidak banyak cabangnya. Menurut Anonymous (1980) dalam Utomo (2008) E. urophylla adalah jenis asli Indonesia dengan penyebaran alami di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Sekitar tahun 1890 ahli-ahli kehutanan Belanda telah mengumpulkan biji ekaliptus dari Nusa Tenggara (Pulau Flores, Timor dan lain-lain), kemudian ditanam di beberapa tempat di Pulau Jawa. Sisa tanaman E. urophylla (diberi label "E. Alba") yang terdapat di Kebun Raya Bogor. Sistematika E. urophylla dalam dunia tumbuhan sebagai berikut : Divisio
: Spermathophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledon
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Spesies
: Eucalyptus urophylla (Mashari, 1994). Hampir semua jenis ekaliptus beradaptasi dengan iklim musim. E.
urophylla secara alami tumbuh di lereng-lereng gunung dan lembah. Perkembangan paling baik bila tumbuh pada tanah-tanah yang dalam dan lembab, drainase tanah yang baik yaitu tanah-tanah yang berasal dari batuan vulkanik dan
Universitas Sumatera Utara
metamorf, tetapi jarang tumbuh pada batuan kapur (Fakultas Kehutanan IPB, 1980 dalam Mashari, 1994). Pertumbuhan riap E. urophylla sangat tinggi. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 meter. Diameternya bisa mencapai 100 cm atau lebih dan tidak berbanir, kulit luar biasanya coklat muda sampai coklat, keadaan kulit licin dan mengelupas memanjang tidak teratur (Departemen Pertanian RI,1980 dalam Sihite, 2008). E. urophylla digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kayu lapis serta kayu gergajian lainnya. E. urophylla juga tergolong kayu yang awet dan kuat yang dapat digunakan untuk penopang bahan yang berat seperti bantalan kereta api dan bahan bangunan lainnya (Departemen Kehutanan RI, 1992 dalam Sihite, 2008). Sifat Umum Kayu a. Warna kayu Ada beraneka macam, antara lain warna kuning, keputih-putihan, coklat muda, coklat tua, kehitam-hitaman, kemerah-merahan dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan oleh zat-zat pengisi warna dalam kayu yang berbeda-beda. Warna dari suatu jenis kayu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: tempat di dalam batang, umur pohon, kelembaban udara. Kayu teras umumnya memiliki warna yang lebih jelas atau lebih gelap daripada warna bagian kayu yang ada di sebelah luar kayu teras, yaitu kayu gubal. Kayu pohon yang lebih tua dapat lebih gelap dari kayu pohon yang lebih muda dari jenis yang sama. Kayu yang kering berbeda pula warnanya dengan dari kayu yang basah. Kayu yang lama berada di luar dapat
Universitas Sumatera Utara
lebih gelap, dapat juga lebih pucat daripada kayu yang segar dan kering udara (Dumanauw, 1990). b. Kilap kayu Suatu jenis kayu dikatakan mengkilap jika permukaannya dapat memantulkan cahaya. Ada jenis-jenis kayu yang kusam, ada yang agak mengkilap dan ada pula yang sangat mengkilap tanpa dipolitur. Kilap pada kayu tidak ada hubungannya dengan tekstur. Kayu yang mempunyai tekstur halus belum tentu mengkilap (Mandang dan Pandit, 1997). c.
Arah serat Pengertian arah serat pada kayu sebenarnya adalah arah seluruh sel-sel
aksial pada suatu lapisan kayu terhadap sumbu batang pohon atau terhadap arah sel-sel aksial dari lapisan kayu di sebelah luar dan sebelah dalam lapisan kayu yang bersangkutan. Arah serat pada sepotong kayu mudah ditetapkan berdasarkan arah sel-sel pembuluh yang pada permukaan kayu tampak seperti goresangoresan. Kayu dikatakan berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial lainnya membentang searah dengan sumbu batang. Kayu dikatakan berserat melintang jika arah bentangan pembuluh membentuk sudut terhadap sumbu batang pohon. Serat melintang dapat digolongkan lagi atas: a. Serat berpadu bila arah letak sel-sel aksial pada suatu lapisan kayu berbeda dengan arah sel-sel serupa pada lapisan kayu berikutnya. b. Serat terpilin jika sel-sel aksial mengelilingi sumbu batang pohon seperti spiral. c. Serat berombak atau serat bergelombang jika sel-sel aksial tersusun berbelok-belok ke arah longitudinal.
Universitas Sumatera Utara
d. Serat miring jika sel-sel aksial pada sebilah papan atau balok membentuk sudut terhadap salah satu sisinya (Mandang dan Pandit, 1997). Casey (1960)
dalam Panggabean (2008)
mengklasifikasikan serat
berdasarkan panjang serat (Tabel 1) dan berdasarkan diameter serat (Tabel 2). Tabel 1. Klasifikasi Panjang Serat No Golongan 1 Pendek 2 Sedang 3 Panjang Sumber Casey (1960) dalam Panggabean (2008) Tabel 2. Klasifikasi Diameter Serat No Golongan 1 Tipis 2 Sedang 3 Lebar Sumber Casey (1960) dalam Panggabean (2008)
Panjang serat (µ) <900 900 – 1600 >1600
Diameter serat (mm) 0,002 – 0,010 0,010 – 0,025 0,025 – 0,040
d. Kesan raba Kesan raba dinilai dari licin atau kesat dengan menggosok-gosokkan jari ke permukaan kayu. Beberapa jenis kayu terasa licin jika diraba. Biasanya kayu yang mempunyai tekstur halus serta berat jenis tinggi menimbulkan kesan raba yang licin. Kesan licin dapat pula bertambah jika kayunya memang mengandung minyak (Mandang dan Pandit, 1997). e. Bau dan rasa Bau dan rasa kayu mudah hilang bila kayu itu lama tersimpan di udara luar. Untuk mengetahui bau dan rasa kayu perlu dilakukan pemotongan atau sayatan baru pada kayu atau dengan membasahi kayu tersebut. Sebab ada jenisjenis kayu mempunyai bau yang cepat hilang, atau memiliki bau yang cukup merangsang. Sifat bau dari kayu dapat digambarkan sesuai dengan bau yang
Universitas Sumatera Utara
umum dikenal. Adanya persamaan di antara kesan bau dan rasa disebabkan oleh adanya hubungan erat yang terdapat pada indera pembau dan indera perasa kita (Dumanauw, 1990). f. Kekerasan Kekerasan kayu merupakan salah satu sifat kayu yang berguna dalam identifikasi jenis kayu. Tingkat kekerasan dapat digolongkan dari sangat lunak, lunak, agak lunak, agak keras, keras dan sangat keras. Penetapannya dengan cara menyayat contoh pada arah tegak lurus serat. Makin keras makin sulit disayat. Bekas sayatan pun mengkilap. Kekerasan kayu erat hubungannya dengan tebal relatif dinding serat. Makin tebal dinding serat makin keras kayu yang bersangkutan. Kekerasan kayu dapat bertambah oleh kandungan mineral, terutama silika dalam sel-sel kayu (Mandang dan Pandit, 1997). Sifat Anatomis a. Pembuluh/pori-pori Sel-sel pembuluh tampak jelas dengan bantuan lup berkekuatan pembesaran sepuluh kali, bentuknya seperti pori-pori pada penampang lintang batang kayu. Kalau diameter cukup besar, pembuluh dapat juga dengan mata telanjang pada penampang radial dan tangensial seperti goresan-goresan kearah longitudinal. Kebanyakan kayu di Indonesia memiliki pembuluh/pori-pori yang tersebar atau baur. Hanya beberapa jenis saja yang diketahui mempunyai pembuluh/pori-pori yang tersebar menurut pola tatalingkar. Ciri dari pori tatalingkar adalah pembuluh yang berdiameter besar tersusun dalam deret konsentrik pada awal lingkar tumbuh sedangkan pembuluh yang kecil tersusun dalam deret konsentrik pada akhir lingkar tumbuh (Mandang dan Pandit, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Susunan pembuluh/pori-pori dapat dibagi 2 yaitu soliter dan berganda. Pembuluh yang dikatakan soliter jika berdiri sendiri, dan dikatakan berganda jika dua atau lebih pembuluh bersinggungan sedemikian rupa, sehingga dinding singgung tampak datar. Gandaan dua buah pembuluh sering juga disebut pasangan (Mandang dan Pandit, 1997). b. Parenkim Ciri parenkima yang penting untuk identifikasi adalah susunannya sebagai mana yang terlihat pada penampang lintang kayu. Pada bidang ini, dengan bantuan lup, parenkim biasanya dapat dilihat berupa jaringan yang berwarna lebih cerah daripada jaringan serat: umumnya hampir putih dan lainnya agak coklat atau coklat merah. Secara garis besar parenkim dapat dibagi atas dua tipe berdasarkan hubungan dengan pembuluh. Tipe pertama dinamakan parenkim apotrakea dan tipe kedua dinamakan parenkim paratrakea. Parenkima apotrakea adalah semua bentuk parenkima yang tidak berhubungan langsung dengan pembuluh. Parenkim paratrakea meliputi semua bentuk parenkima yang berhubungan dengan pembuluh (Mandang dan Pandit, 1997). c. Jari-jari Jari-jari tampak dengan lup pada penampang lintang kayu seperti garisgaris yang hampir sejajar satu sama lain. Jika ukuranya cukup lebar, jari-jari dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi dengan kebanyakan jenis kayu, jari-jari hanya dapat dilihat jelas dengan bantuan lup. Pada bidang radial, jari-jari tampak seperti pita putus-putus kearah horisontal. Jika tingginya cukup maka jari-jari akan tampak seperti sapuan-sapuan kuas ke arah horisontal (Mandang dan Pandit, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Sifat Fisis Sifat fisis kayu merupakan faktor dalam dari struktur kayu yang sangat menentukan, disamping peran lingkungan dimana kayu tersebut tumbuh. Beberapa sifat fisis kayu yang dianggap penting antara lain: kadar air, berat jenis kayu, dan kembang susut kayu (Dumanauw, 1990). a. Kadar air Kayu bersifat higroskopis, artinya kayu memiliki daya tarik terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kemampuan kayu untuk mengisap atau mengeluarkan air tergantung pada suhu dan kelembaban udara sekelilingnya. Sehingga banyaknya air dalam kayu selalu berubah-ubah menurut keadaan udara/ atmosfer sekelilingnya. Banyaknya air yang dikandung pada sepotong kayu disebut kadar air kayu. Banyaknya kandungan kadar air pada kayu bervariasi. Tergantung jenis kayunya, kandungan tersebut berkisar sekitar 40-300%, dinyatakan dengan persentase dari berat kayu kering tanur (Dumanauw, 1990). Menurut Budianto (1996) ada beberapa tahapan pengabsorsian air di dalam kayu
(proses evaporasi) :
1. Kayu basah (Green Wood), semua rongga pori dan dinding sel kayu penuh kandungan air. Kadar air dapat mencapai 200%. 2.
Kayu setelah penebangan, setelah pohon ditebang zat air tidak dapat masuk dengan bebas lagi. Dinding sel kayu tetap penuh kandungan air, sedangkan rongga sel sebagian berkurang kandungan air. Besar kandungan air masih di atas 35 %-70%.
Universitas Sumatera Utara
3. Titik jenuh serat (Fibre Saturation Point), air bebas pada rongga pori-pori kayu telah keluar semuanya. Kandungan air dalam dinding sel tetap. Kadar air kayunya 25%-30%. 4. Kering udara atau titik keseimbangan kadar air kayu (Equilibrium Moisture Content), pada saat ini, kayu menyesuaikan diri dengan udara sekitarnya, sehingga kandungan air dalam dinding sel yang berlebihan mulai terevaporasi keluar. Bentuk dimensi kayu mulai berubah (menyusut). Kadar air kayu antara 12%-20 %. 5.
Kering tanur, rongga pori dan dinding sel tidak mengandung air lagi. Berat kayu tidak dapat turun lebih lanjut
b.
Kerapatan Kayu adalah bahan yang terdiri atas sel-sel. Struktur yang terdiri dari sel-
sel yang memberikan kayu banyak sifat-sifat dan ciri-ciri yang unik yang membedakan kayu satu dengan kayu lainnya. Berat jenis (BJ) kayu merupakan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada suhu 4°C (Haygreen dan Bowyer, 1989). Kerapatan kayu adalah perbandingan antara berat kayu terhadap volume kayu tersebut. Berat jenis di dalam suatu spesies telah ditemukan bervariasi dengan sejumlah faktor yang meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies tersebut, kondisi tempat tumbuh, dan sumber-sumber genetik (Haygreen dan Bowyer, 1989). c. Kembang susut Jika kayu kehilangan air di bawah titik jenuh serat (TJS), yaitu kehilangan air terikat, kayu menyusut. Sebaliknya, jika air memasuki struktur dinding sel,
Universitas Sumatera Utara
kayu mengembang. Penyusutan dan pengembangan adalah suatu proses yang benar-benar terbalikkan dalam potongan-potongan kecil kayu bebas tengahan internal. Besarnya penyusutan umumnya sebanding dengan banyaknya air yang dikeluarkan dari dinding sel. Hal ini berarti bahwa spesies dengan kerapatan tinggi harus menyusut lebih banyak per persen perubahan kandungan air daripada spesies dengan kerapatan rendah (Haygreen dan Bowyer, 1989). Penambahan air pada zat dinding sel akan menyebabkan jaringan mikrofibril mengembang, keadaan ini berlangsung sampai titik jenuh serat tercapai. Dalam proses ini dikatakan bahwa kayu mengembang atau memuai. Penambahan air seterusnya tidak akan mempengaruhi perubahan volume dinding sel. Sebaliknya jika air dalam kayu dengan kadar air maksimum dikurangi, maka pengurangan ini pertama-tama akan terjadi pada air bebas dalam rongga sel sampai mencapai titik jenuh serat. Pengurangan air selanjutnya di bawah titik jenuh serat akan menyebabkan dinding sel kayu itu menyusut atau mengerut. Dalam hal ini dikatakan kayu itu mengalami penyusutan atau pengerutan (Dumanauw, 1990). Menurut Budianto (1996) terdapat 3 arah penyusutan pada kayu : 1. Tangensial, merupakan arah penyusutan searah lingkaran tahun. Besar penyusutan pada arah ini adalah 4,3% - 14% atau rata-rata 10%. 2. Radial, merupakan arah penyusutan searah dengan jari-jari kayu atau memotong tegak lurus lingkaran tahun. Penyusutan pada arah ini berkisar 2,1% - 8,5% atau rata-rata 5%.
Universitas Sumatera Utara
3. Longitudinal (Aksial), merupakan arah penyusutan searah dengan panjang kayu atau serat batang kayu. penyusutan arah ini berkisar antara 0,1% 0,3% atau biasa diperhitungkan 0,3%. Salah satu usaha untuk mencegah dan membatasi penyusutan kayu adalah dengan membuat kadar air kayu sekecil mungkin, atau pada keadaan kadar air keseimbangan dengan cara sebagai berikut: 1. Kayu dikeringkan sampai mencapai kadar air yang stabil (tetap), sehingga penyusutan yang terjadi relatif kecil atau dapat diabaikan. 2. Setelah itu kayu tersebut disimpan dalam ruangan yang tidak lembab dan memiliki sirkulasi udara yang baik. (Sistem penimbunan yang sempurna). 3. Memberi lapisan pada kayu dengan bahan-bahan penutup finishing untuk menghambat perubahan kadar air atau untuk mempertahankan kestabilan kadar air, selain berfungsi sebagai keindahan (Dumanauw, 1990).
Sifat Mekanis Sifat mekanis merupakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan, sedangkan kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang bekerja padanya. Sifat mekanis biasanya merupakan ciri terpenting dari produk kayu yang akan digunakan untuk bahan bangunan gedung. Penggunaan struktural adalah setiap penggunaan di mana sifat mekanis merupakan kriteria pertama untuk pemilihan bahan. Penggunaan struktural produk kayu antara lain meliputi palang lantai, kasau, penyanggang atap berlapis, tiang listrik, anak tangga dan rangka perabot rumah tangga (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Perbandingan antara tegangan dan regangan di bawah batas proporsi yaitu, kemiringan garis, adalah suatu nilai yang konstan yang disebut elastisitas (MOE). Dalam uji tekan dan tarik perbandingan ini kadang-kadang dinamakan Modulus Young untuk membedakannya dari MOE yang ditentukan uji keteguhan lengkung. Semakin besar tegangan yang diperlukan untuk menghasilkan regangan tertentu semakin besar ketahananya terhadap perubahan bentuk, semakin tinggi MOE bahan. Hubungan antara MOE dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi elastisitas suatu balok, semakin berkurangnya defleksi dengan ukuran tertentu pada beban tertentu (Haygreen dan Bowyer, 1989). Modulus patah (MOR) merupakan sifat mekanis yang berhubungan dengan kekuatan kayu yaitu ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya sampai maksimal dan cenderung merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut, dengan kata lain kekuatan letur patah merupakan sifat kekuatan kayu dalam menentukan beban yang dapat dipikul oleh suatu balok atau gelagar (Kollman dan Cote, 1968 dalam Iswanto, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mekanis kayu dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor luar (eksternal) berupa pengawetan kayu, kelembaban lingkungan, pembebanan, dan cacat-cacat yang disebabakan oleh jamur serta serangga perusak kayu. Faktor kedua yaitu faktor dalam kayu (internal) antara lain berat jenis kayu, cacat-cacat berupa mata kayu, dan lain sebangainya (Dumanauw, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Kelas Kekuatan Kayu Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI, 1961) dalam Frick dan Moediartianto (2004) menyatakan kelas kuat kayu didasarkan pada berat jenis (BJ), modulus elastisitas (MOE), dan modulus patah (MOR), dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kelas Kekuatan Kayu Kelas Kuat Berat Jenis MOE (Kg/cm2) MOR (kg/cm2) I ≥ 0,90 125000 ≥ 1100 II 0,90 – 0,60 100000 1100 – 725 III 0,60 – 0,40 80000 725 – 500 IV 0,40 – 0,30 60000 500 – 360 V < 0,30 < 360 Sumber :PKKI (1961) dalam Frick dan Moediartianto (2004)
Universitas Sumatera Utara