TINJAUAN PUSTAKA
Udang (Peneus monodon) Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya alam yang tidak ada habisnya. Belum semua potensi kelautan yang ada telah dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan udang untuk keperluan konsumsi menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara komersial. Cangkang hewan invertebrata laut, terutama Crustacea mengandung kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies sedangkan cangkang kepiting dapat mengandung kitin sampai 70%. Lebih dari 80.000 metrik ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun, sedangkan di Indonesia limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Udang dapat diklasisifikasikan sebagai berikut: Klas
: Crustacea (binatang berkulit keras)
Sub Kelas
: Malacrostraca (udang-udangan tingkat tinggi)
Super Ordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda (binatang berkaki sepuluh)
Sub Ordo
: Natantia (kaki digunakan untuk berenang)
Famili
: Palaemonidae, Penaidae
(Departemen Kelautan dan perikanan Republik Indonesia, 2003). Produksi udang tambak meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan ekspor. Udang yang diekspor diantaranya dalam bentuk beku (block frozen) yang terdiri dari produk head on (utuh) ,headless (tanpa kepala) dan
5 Universitas Sumatera Utara
6 peeled (tanpa kepala dan kulit).Usaha tersebut menghasilkan limbah udang dalam jumlah cukup besar yang terdiri dari bagian kepala, kulit dan ekor. Kepala udang merupakan salah satu hasil proses pengolahan produk perikanan yang dapat dibuat menjadi silase. Selain menghasilkan produk berupa filtrat, silase kepala udang juga menghasilkan limbah berupa ampas silase. yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kitosan (Zahiruddin, et al., 2008).J). Sekitar 35% dari cangkang kering udang mengandung kitin. Dari kitin udang dapat dihasilkan sekitar 80% kitosan. Harga kitosan di pasaran dunia adalah sekitar US$ 7.5/10g untuk kitosan dengan standar baik. Saat ini, 90% pasaran kitosan dunia dikuasai oleh Jepang dengan produksi lebih dari 100 juta ton setiap tahunnya. Indonesia dengan potensi laut lebih luas daripada Jepang mempunyai peluang untuk mengambil bagian dari pasaran kitosan dunia (No dan Meyer, 1997). Struktur tubuh udang dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur tubuh Udang (Murtihapsari, 2003).
Universitas Sumatera Utara
7 Pendayagunaan Limbah Udang Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa kitin, 21% protein dan 40-50% mineral. Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia poli(2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. (Muzzarelli, 1985). Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimanfaatkan, yaitu dibuat tepung kepala udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak. Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri (Mudjiman, 1982). Kandungan Kimia Limbah Udang Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994).
Universitas Sumatera Utara
8 Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein sebanyak (25 % - 40%), kalsium karbonat (CaCO3) (45% - 50%) dan kitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. (Focher et al., 1992). Komposisi Kimia Udang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Limbah Udang dan Kulit Udang. Komposisi
Limbah Udang
Protein kasar (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Abu (%) Ca (%) Astaxanthin (ppm)
35,8 9,9 13,20 38,1 12,3 78
Kulit Udang
16,9 0,6 0 63,6 24,8 108
Sumber: No et al, 1989.
Kitin dan Kitosan Kitin Kitin sebagai prekusor kitosan pertama sekali ditemukan pada tahun 1811 oleh Henri Braconnot yang diisolasi dari jamur, dan 10 tahun kemudian ditemukan kitin dari kulit serangga. Kitin merupakan polimer kedua terbesar dibumi setelah selulosa dan merupakan konstituen utama dari kulit luar binatang air crustacea (Kaban, 2009).
Universitas Sumatera Utara
9 Struktur kitin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kitin (poli-N-asetil-glukosamin) (Kaban , 2009). Kitin
memiliki
rumus
molekul
(C8H13NO5)n dengan
komposisi
perbandingan massa atom C : 47,29%, H : 6,45%, N : 6,89%, O : 39,37%. Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen (Hirano, 1986). Dalam cangkang udang, kitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) mendapatkan
danpemisahan kitosan
mineral
(demineralisasi).
dilanjutkan
dengan
Sedangkan
proses
untuk
deasetilasi
(Wardaniati dan Setyaningsih, 1999). Kandungan kitin dan protein pada limbah Crustaceae dapat dilihat pada tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
10 Tabel 2. Kandungan Kitin dan Protein Berdasarkan Berat Kering Pada Limbah Crustaceae Sumber Kitin Kepiting Collnectes sapidus Chinocetes opillo Udang Pandanus borealis Crangon crangon Penaeus monodon Udang karang Prtocamborus clarkii Krill Euphausia superba Udang biasa
Protein (%)
Kitin (%)
21,5 29,2 41,9 40,6 47,4 29,8 41,0 61,6
13,5 26,6 17,0 17,8 40,4 13,2 24,0 33,0
Sumber: Synowiecky dan Al-Khateeb (2003)
Sifat kitin adalah berbentuk hablur, berwarna putih, tidak larut dalam air, asam, basa alkohol dan pelarut organik tetapi larut dalam asam fosfat, asam sulfat pekat, asam klorida pekat dan asam format anhidrat. Campuran dimetil asetamida yang mengandung 5 % litium klorida merupakan sistem pelarut yang efektif melarutkan kitin (Gupta dan Kumar, 2000 ; Suhartono dan Lestari, 2000). Kitosan Kitosan ditemukan pertama sekali oleh C. Rouget pada tahun 1859 dengan cara merefluks kitin dengan kalium hidroksida pekat. Dalam tahun 1934, dua paten didapatkan oleh Rigby yaitu penemuan mengenai pengubahan kitin menjadi kitosan dan pembuatan film dari serat kitosan. Perkembangan penggunaan kitin dan kitosan meningkat pada tahun 1940-an, dan semakin berkembang pada tahun 1970-an seiring dengan diperlukannya bahan alami dalam berbagai bidang industri (Kaban, 2009). Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan fungi. Diperkirakan lebih dari 109-1010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat
Universitas Sumatera Utara
11 berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah. Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $ 600.000/ton (Sandford, 2003). Secara garis besar pembuatan kitosan meliputi : cangkang udang basah → dicuci dan dikeringkan → digrinding dan diayak sampai lolos ayakan dengan diameter rata-rata 0,356 mm→ penghilangan protein (deproteinasi) → dicuci dengan air→ penghilangan mineral (demineralisasi)→ dicuci dengan air → penghilangan warna→ dicuci dengan air dan dikeringkan (terbentuk kitin) → penghilangan gugus asetil (deasetilasi)→ dicuci dengan air dan dikeringkan → terbentuk produk biopolimer kitosan (Hargono, et al, 2008). Struktur kitosan dapat diliha pada Gambar 3.
Gambar 3. Kitosan (poli-glukosamin) (Kaban , 2009). Kitosan Larut Air Kitosan dari kulit udang mempunyai berat molekul yang cukup tinggi dan tergantung dari sumber bahan baku. Oleh karena itu, untuk memperluas aplikasi dari kitosan perlu dilakukan usaha untuk memperkecil berat molekul dari kitosan dengan melakukan proses hidrolisis dengan katalis asam untuk memecahkan
Universitas Sumatera Utara
12 ikatan β-glikosidik dari kitosan. Selain itu hasil dari penelitiannya Li et al (2005) menemukan bahwa nilai berat molekul kitosan yang semakin rendah karena proses hidrolisis enzimatis akan menurunkan nilai dari derajat deasetilasi juga karena enzim selektif dalam memutus ikatan glikosidiknya. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang berperan dalam pemecahan kitin. Kemampuannya dalam menghidrolisis kitin pada suhu tinggi merupakan hal yang menarik dalam pengisolasian bakteri kitinase termofilik. Pengaruh suhu terlihat pada reaksi – reaksi kimia, yang dikatalisis terhadap enzim. Hal ini disebabkan karena enzim merupakan struktur protein yang akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan (Girindra, 1993). Lehninger (1998) menyatakan bahwa aktifitas suatu enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, konsentrasi substrat dan enzim, suhu dan adanya aktivator dan inhibitor. Menurut Darwis dan Sunarti (1992) enzim mampu mempercepat reaksi paling sedikit 1 juta kali lebih cepat dari reaksi yang tidak dikatalis. Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis kitosan merupakan proses pemecahan molekul menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana monosakaridanya. Proses hidrolisis ini bisa dibagi menjadi 2 katagori yaitu kimiawi dan enzimatis. (Akiyama, et al., 1995). Faktor- faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis kimia antara lain konsentrasi katalis, ukuran partikel, temperatur hidrolisis, lama hidrolisis, dan pengadukan. Faktor lain yang berpengaruh adalah ukuran partikel dimana ukuranpartikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
13 kelarutannya dalam air. Temperatur hidrolisis akan mempengaruhi laju reaksi hidrolisis. Semakin tinggi temperatur hidrolisis, maka hidrolisis akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan konstanta laju reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur operasi, sedangkan semakin lama reaksi akan meningkatkan yield dan konversi yang dicapai. Pengadukan larutan sangat penting dalam proses hidrolisis karena akan meningkatkan transfer massa reaksi yang berakibat adanya peningkatan laju reaksi hidrolisis (Savitri, et al., 2009). Adanya gugus karboksil merupakan suatu indikasi kuat kitosan larut air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen kitosan larut air antara 118,0 - 129,4 % yang dihitung terhadap bobot kitosan. Dalam pembuatan kitosan larut air suhu sangat berpengaruh. Nilai rendemen meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Nilai rendemen tertinggi ditemukan pada suhu 90oC. Peningkatan rendemen melebihi 100 % (Basmal, et al., 2007). Menurut Bastaman (1989) suhu yang semakin tinggi pada pelarutan kitosan mengakibatkan konsentrasi kitosan yang larut pada asam semakin tinggi. Namun biasanya pelarutan kitosan pada suasana asam hanya menggunakan suhu kamar. Kenaikan viskositas lebih dipengaruhi oleh kenaikan suhu dari pada perpanjangan waktu. Peningkatan viskositas diduga karena masih tingginya kandungan asetil dalam kitosan sehingga dengan kenaikan suhu yang semakin tinggi, semakin banyak asetil terlarutkan, sehingga derajat deasetilasi meningkat dan viskositas meningkat (menjadi lebih kental seperti gel) dengan meningkatnya suhu. Pada proses hidrolisis kitosan di dalam asam monokloroasetat bahwa pemberian suhu pada pembentukan karboksimetil kitosan adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
14 memeprcepat
reaksi
antara
kitosan
dengan
asam
monokloroasetat
(Basmal, et al., 2007). Gel kitosan dan kitin terdeasetilasi (DAC 50) terdispersi dalam air dengan mudah dan dilarutkan oleh gelembung gas CO2 pada emulsi. Molekul CO2 terlarut bereaksi dengan molekul H2O membentuk H2CO3. Molekul H2CO3 terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. H2CO3 dikenal sebagai asam. Seperti asam asetat dan laktat yang memiliki kemampuan untuk melarutkan kitosan, CO2 juga dapat menghancurkan kitosan menjadi gel kitosan (Sakai et al., 2002). Dalam penggunaan kitosan CO2, bagaimanapun CO2 yang terlarut mudah terlepas ke udara sebagai gas selama penguapan air. Sehingga, molekul H2CO3 terurai kembali menjadi CO2, dan perubahan ini juga menyebabkan penurunan ion HCO3- yang berperan dalam melarutkan kitosan. Akibatnya, kitosan yang dilarutkan kehilangan stabilitas dan membentuk lapisan film tanpa asam (Sakai, et al., 2002). Menurut Juliantara (2009) larutan jenuh yaitu suatu larutan yang mengandung sejumlah solute yang larut dan mengadakan kesetimbangn dengan solut padatnya. Atau dengan kata lain, larutan yang partikel- partikelnya tepat habis bereaksi dengan pereaksi (zat dengan konsentrasi maksimal). Penampilan gel berubah tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan untuk menetralisasi pH. Ketika konsentrasi NaOH tinggi, tepung kitosan yang mengendap sangat sulit dilarutkan dengan CO2. Sebaliknya, gel menjadi lembut dan mudah larut saat konsentrasi rendah. Dalam hal ini, gel dengan mudah dilarutkan oleh gelembung gas CO2. Hasil ini berarti bahwa nilai pH sekitar molekul kitosan membuat partikel kitosan menjadi besar ketika
Universitas Sumatera Utara
15 konsentrasi NaOH yang digunakan tinggi. Namun, kitosan masih bisa dilarutkan ketika konsentrasi NaOH yang digunakan rendah dan hanya sebagian kecil dari kitosan tidak larut dan menggumpal, sehingga membentuk gel tidak larut. (Sakai et al., 2002). Kekuatan mekanik dari hidrogel dapat ditentukan dengan mengukur kekuatan gel, perpanjangan atau elongasi dan viskoelastisitas. Faktor – factor yang mempengaruhi sifat gel yaitu panas, pH, konsentrasi larutan, kekuatan ionok dan adanya unsure lain (Mulyani, 2001). Peningkatan konsentrasi asam akan memperbesar laju reaksi hidrolisis sehingga rantai utama kitosan yang dapat terpotong semakin banyak dan berat molekul kitosan menurun, sedangkan temperature hidrolisis juga memberikan pengaruh terhadap penurunan berat molekul pada kitosan. (Savitri, et al., 2009). Sifat – sifat Kimia Kitin dan Kitosan Sifat Kimia Kitin Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah
OH,
maka
pada
kitin
yang
terikat
adalah
gugus
asetamida.
(Muzzarelli, 1985). Sifat utama kitin sangat sulit larut dalam air dan beberapa pelarut organik. Rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik, menyebabkan penggunaan kitin relatif kurang berkembang dibandingkan dengan kitosan dan derivatnya. Reaksi pada kondisi heterogen menimbulkan beberapa permasalahan termasuk tingkat
reaksi
yang
rendah,
kesulitan
dalam
substitusi
regioselektif,
Universitas Sumatera Utara
16 ketidakseragaman struktur produk, dan degradasi parsil disebabkan kondisi reaksi yang kuat (Kaban, 2009). Sifat Kimia Kitosan Kitosan tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut asam dengan pH di bawah 6,0. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat 1%, dengan pH sekitar 4,0. Pada pH di atas 7,0 stabilitas kelarutan kitosan sangat terbatas. Pada pH tinggi, cenderung terjadi pengendapan dan larutan kitosan membentuk kompleks polielektrolit
dengan hidrokoloid anionik
menghasilkan gel (Kaban, 2009). Menurut Kaban (2009), karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Karena sifatnya yang basa ini, maka kitosan: a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan gel dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis, kapsul, serat dan spons. b. Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polielektrolit anion yang dapat digunakan untuk pembuatan butiran, gel, kapsul dan membran. c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat di mana gel-nya menyediakan sistim proteksi terhadap efek destruksi dari ion. Sedangkan sifat biologi kitosan antara lain: a. Bersifat biokompatibel (sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna serta mudah diuraikan oleh mikroba). b. Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.
Universitas Sumatera Utara
17 c. Mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan tulang. d. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol. e. Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Sugita et al (2009) menyatakan bahwa kitosan adalah salah satu polimer alami yang bersifat non – toksik, biokompatibel, biodegradabel dan bersifat polikationik dalam suasana asam serta dapat membentuk gel (hidrogel) karena adanya tautan silang ionik kitosan – kitosan. Spesifikasi Kitosan Niaga yang beredar di pasaran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi Kitosan Niaga Parameter
Ciri
Ukuran Partikel Serpihan sampai bubuk Warna Larutan Tidak berwarna Kadar air (%) ≤ 10 Kadar abu (%) ≤ 2,0 Derajat deasetilasi (%) ≥ 70,0 Kelas viskositas (cps) : - Rendah < 200 - Medium 200 – 799 - Tinggi pelarut organik 800 – 2000 - Sangat tinggi > 2000 Sumber: Purwatiningsih et al (2009).
Ekstraksi Kitin dan Kitosan Ekstraksi Kitin Deproteinasi Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa kitin, 21% protein dan 40-50% mineral. Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa)
Universitas Sumatera Utara
18 dengan ikatan
β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.
Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C-2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C-2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. (Muzzarelli, 1985). Proses ini dilakukan pada suhu 60-70°C dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:10 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 60 menit. Kemudian campuran dipisahkan dengan disaring untuk diambil endapannya. Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Selanjutnya disaring untuk diambil endapannya dan dikeringkan (Hargono et al,2008). Efesiensi deproteinasi tidak hanya bergantung pada konsentrasi basa dan suhu, tetapi juga spesies sumber kitin . Pada tahap deproteinasi. Protein diubah menjadi garam natrium proteinat yang larut air. Purwatiningsih (1992) melakukan penghilangan protein yang terkandung dalam limbah kulit udang windu (Peneus monodon) menggunakan larutan NaOH 3,5 % (b/b) selama 2 jam pada 65o C dengan pengadukan tetap dan nisbah padatan-pelarut 1 : 10 (b/v). Pengendapan protein dari larutan garam natrium proteinat dilakukan dengan menggunakan HCl pekat tetes demi tetes sampai tercapai titik isoelektriknya. Hasil analisis destruksi endapan protein tersebut dengan HCl 6 N telah menunjukkan adanya kurang lebih 15 jenis asam amino menggunakan metoda kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Demineralisasi Penghilangan mineral dilakukan pada suhu 25-30°C dengan menggunakan larutan HCl 1 N dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:1 (gr
Universitas Sumatera Utara
19 serbuk/ml HCl) sambil diaduk selama 120 menit. Kemudian disaring untuk diambil endapannya. Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Kemudian disaring, dan endapan dikeringkan (Hargono, et al., 2008). Kandungan mineral yang terbanyak dalam kulit udang adalah CaCO3 (kalsium karbonat). Menurut Knorr (1991) mineral CaCO3 lebih mudah dipisahkan dibandingkan protein karena garam anorganik ini dapat dihilangkan dari
senyawa
kitin
dengan
menggunakan
HCl.
Proses
demineralisasi
menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH dan HCOOH, umumnya menggunakan HCl dengan konsentrasi 10%, dengan suhu perendaman menggunakan suhu kamar (36oC). Perendaman pada suhu kamar lebih banyak dilakukan untuk meminimalkan hidrolisis pada rantai polimer. Proses ini bertujuan memisahkan kitin dari CaCO3. Asam klorida efektif untuk melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida, biasanya dapat dilakukan dengan HCl 3 – 10% selama 5 - 7 jam pada suhu kamar. Jika reaksi demineralisasi lama melebihi 24 jam maka akan merusak kitin
dimana
proses
deproteinasi
dan
desetilasi
tidak
sempurna
(Synoweiecky dan Al-Khateeb, 2003). Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan (Muzzarelli, 1985).
Universitas Sumatera Utara
20 Ekstraksi Kitosan Deasetilasi Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoretis ialah sebesar 21,2 % (No et al., 1989). Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH. Penggunaan KOH ini dapat memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antar rantai kitin (Hirano, 1986). Pada proses deasetilasi, degradasi oksidatif harus dicegah agar bobot molekul kitosan yang diperoleh tinggi. Cara yang dapat ditempuh untuk menghindari degradasi oksidatif ialah penapisan nitrogen atau penambahan larutan basa sebelum reaksi (Johnson dan Peniston, 1982). Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50 dan 60% (berat) pada suhu 90-100°C sambil diaduk kecepatan konstan selama 60 menit. Hasilnya berupa slurry disaring, endapan dicuci dengan aquadest lalu ditambah larutan HCl encer agar pH netral kemudian dikeringkan (Hargono, et al,. 2008). Proses deasetilasi bertuajuan untuk memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antar rantai kitin. Pada proses deasetilasi, degradasi oksidatif harus dicegah agar bobot molekul kitosan yang diperoleh tinggi. Waktu deasetilasi yang panjang dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peneurunan rendemen dan bobot molekul kitosan dan kemampuan mekanik film kitosan (Johnson dan Peniston, 1982). Beberapa variasi konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan pada proses deasetilasi kitin dapat dilihat pada tabel 4.
Universitas Sumatera Utara
21 Tabel 4. Variasi Deasetilasi Suhu (oC)
NaOH (%)
Lama Pemanasan (Jam)
5
150
24
40
100
18
50
100
3-6
Sumber : Roberts (1992).
Pemanfaatan Kitosan Sifat dan fungsi kitin dan kitosan sangat beragam kitin sangat menonjol dalam kemampuannya
sebagai
absorben,
sedangkan
kitosan
menonjol
dalam
kemampuannya sebagai pengikat atau pengkelat dalam proses koagulasi dan flokulasi, disamping itu juga berfungsi sebagai penstabil, pengental, pengisi, pen-jel, film pembungkus dan lain-lain, sehingga sangat dibutuhkan dalam industri obatobatan, kosmetik, pangan, cat, perekat, kertas, pengolahan limbah, pupuk dan lainlain (Knorr, 1991).
Semakin tinggi mutu kitosan atau kitin berarti semakin tinggi pula kemurniannya, salah satu parameter mutu kitin atau kitosan yang cukup penting adalah derajat deasetilasinya. Semakin tinggi derajat deasetilasinya semakin tinggi kemurniannya artinya kitin dan kitosan sudah murni dari pengotornya yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan yang disertai kelarutannya yang sempurna dalam asam asetat 1% (Suptijah, 2004). Menurut Suptijah (2004), sehubungan dengan kebutuhan setiap industri akan kitosan yang bermutu
tertentu maka perlu didesain kondisi proses
pembuatan kitosan yang akan menghasilkan produk dengan mutu beragam.
Universitas Sumatera Utara
22 Medis Kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri, antimetastatik, antiurikemik, antiosteoporotik dan immunoadjuvant (stimulator non spesifik respons imun), menunjukkan potensi yang besar dalam meredakan dan mencegah penyakit atau memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik. Material yang dapat terurai dan nontoksik dapat mengaktifkan pasien menahan mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Biokompatibilitas in vitro dari pembalut luka dalam term toksisitas untuk fibroblast telah dinilai dan dibandingkan dengan tiga pembalut luka komersial yang dibuat dari collagen, alginat dan gelatin. Kitosan metil pirrolidin dan collagen adalah bahan yang paling kompatibel (Kaban, 2009). Industri Tekstil Kitosan dan turunannya banyak digunakan sebagai coating material untuk serat selulosa, nilon, kapas, dan wool. Penggunaan sebagai serat termodifikasi antara lain meliputi bahan pembalut luka, tekstil, medikal, absorben yang sehat dan tidak alergenik, penghilangan bau dan pakaian dalam antimikroba, pakaian olahraga serta kaus kaki. Penambahan kitosan sebagai coating pada tekstil meningkatkan permeabilitas terhadap uap air. Serat wool yang mengandung kitosan turunannya meningkatkan daya celup (Kaban, 2009). Bidang Pangan Salah satu pemanfaatan kitosan di bidang pangan adalah sebagai film edibel (kemasan yang dapat dimakan). Film edibel ini diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti kemasan sintetik (plastik) yang sulit terurai. Dengan demikian, film edibel kitosan ini tidak hanya membantu mengatasi masalah
Universitas Sumatera Utara
23 limbah sebagai beban lingkungan, tetapi juga diharapkan dapat menghasilkan produk dengan nilai ekonomis yang tinggi (Sumarto, 2008). Pengurangan kekuatan sinar diakibatkan oleh interaksi antara cahaya dengan partikel penyerap yang ada di dalam larutan. Jadi dengan terjadinya interaksi maka kekuatan cahaya yang diteruskan semakin kecil karena sebagian cahayanya telah terserap. Semakin banyak cahaya yang diserap, maka cahaya yang diteruskan akan semakin sedikit (Filyanti, 2009). Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan, bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman. Selain itu, kitosan banyak diaplikasikan sebagai pangan fungsional karena dapat berfungsi sebagai serat makanan, penurun kadar kolesterol, antitumor serta prebiotik (Dunn et al., 1997; Shahidi et al., 1999). Anti Bakteri Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Kemampuan dalam menekan
pertumbuhan
bakteri
disebabkan
kitosan
memiliki
polikation
bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Wardaniati dan Setyaningsih, 1999). Menurut Tsai et al (2000) aktivitas antibakteri oligomer kitosan beragam tergantung jenis bakteri uji. Bakteri gram positif yaitu L.monocytogenes, B.cereus dan S.aureus lebih dihambat oleh kitosan dibandingkan oligomernya, sedangkan bakteri gram negatif seperti P.aeruginosa, S.typhimurium, dan E.coli lebih
Universitas Sumatera Utara
24 dihambat oleh bentuk oligomernya menghasilkan oligomer kitosan dengan DP 1-8 menggunakan selulase. Aktivitas antibakteri oligomer tersebut lebih besar jika dibandingkan kitosan terhadap Aeromonas hydrophila, E.coli, L.monocytogenes, P.aeruginosa, S.typhimurium, Shigella dysentriae, S.aureus, S.aureus, Vibrio cholerae, dan V.parahaemolyticus. kitosan berbobot molekul rendah (12 kDa) lebih efektif sebagai antibakteri dibandingkan oligomer kitosan dengan DP 1-8. Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, yang akan menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Simpson, 1997) . Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan)
yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami
kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel (Wardaniati dan Setyaningsih, 1999). Industri Kosmetika Kitosan dan turunannya dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, pasta gigi, krim badan dan tangan serta produk perawatan rambut. Biopolimer ini juga telah diteliti sebagai bahan formulasi kosmetik khususnya untuk kulit yang sensitif. Kitosan dapat mempengaruhi kelembaban kulit serta memberi perlindungan terhadap kerusakan mekanik serta efek anti elektrostatik pada
Universitas Sumatera Utara
25 rambut, tergantung pada berat molekul dan derajat deasetilasinya. Krim kosmetik yang ditambahkan 1,0% kitosan akan meningkatkan bioaktifasi unsur-unsur lipofilik seperti vitamin, sehingga dapat meresap lebih baik pada permukaan kulit. Kapasitas pembentukan film dan sifat antiseptik kitosan melindungi kulit dari kemungkinan infeksi mikroba. Lagipula, glukosamin dari kitosan, mempengaruhi perkembangan struktur glikosaminoglikan dan glukoprotein yang menguntungkan dalam matriks ekstraselular kulit (Kaban, 2009). Penelitian Sebelumnya Menurut Chung et al, (1992), kelarutan turunan kitosan modifikasi secara signifikan lebih besar dari kitosan asli. Kelarutan kitosan-glukosamin lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan-glukosa, dan turunan kitosan-glukosamin tetap larut pada pH 10. Tingkat deasetilasi derivatif menurun dengan waktu reaksi meningkat. Investigasi rheologi mengungkapkan bahwa viskositas nyata dari turunan kitosan yang larut dalam air dalam larutan air tergantung pada kondisi sistem seperti pH, kekuatan ion dan suhu larutan. Kitosan adalah produk deasetilasidari kitin. Telah digunakan untuk bahan berbagai fungsi, termasuk biomaterial. Namun, bila digunakan dalam bidang biologis aplikasi terbatas karena tidak larut dalam air dan hanya dapat dilarutkan dalam asam. Untuk meningkatkan kelarutan kitosan, banyak spesialis dan sarjana telah mempelajari metode persiapan. Namun, metode ini memiliki beberapa cacat, termasuk prosedur yang membosankan waktu reaksi yang lama, kebutuhan sejumlah besar pelarut atau reagen dan berat molekul rendah dari produk akhir (Lu et al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
26 Menurut Lu et al, (2003) sebuah
metode persiapan kitosan larut air
melalui proses oleh N-asetilasi dengan anhidrida asetat. Manfaatnya adalah teknik pengolahannya sederhana, waktu reaksi sangat singkat, reagen kecil, berat molekul produk tinggi dan kelarutan air yang baik. Menurut Sakai et al (2002) dalam penggunaan kitosan CO2, bagaimanapun CO2 yang terlarut mudah terlepas ke udara sebagai gas selama penguapan air. Sehingga, molekul H2CO3 terurai kembali menjadi CO2, dan perubahan ini juga menyebabkan penurunan ion HCO3- yang berperan dalam melarutkan kitosan. Akibatnya, kitosan yang dilarutkan kehilangan stabilitas dan membentuk lapisan film tanpa asam. Penampilan gel berubah tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan untuk menetralisasi pH. Ketika konsentrasi NaOH tinggi, tepung kitosan yang mengendap sangat sulit dilarutkan dengan CO2. Sebaliknya, gel menjadi lembut dan mudah larut saat konsentrasi rendah. Dalam hal ini, gel dengan mudah dilarutkan oleh gelembung gas CO2. Hasil ini berarti bahwa nilai pH sekitar molekul kitosan membuat partikel kitosan menjadi besar ketika konsentrasi NaOH yang digunakan tinggi. Namun, kitosan masih bisa dilarutkan ketika konsentrasi NaOH yang digunakan rendah dan hanya sebagian kecil dari kitosan tidak larut dan menggumpal, sehingga membentuk gel tidak larut. (Sakai et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
27 Pada penelitian Yunzian et al (2008) disebutkan bahwa penggunaan H2O2 menunjukkan potensi yang luar biasa dalam mendegradasi kitosan kasar yang tidak larut dalam air menjadi kitosan yang larut dalam air. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi H2O2, lama pemanasan dan suhu pemanasan menunjukkan efek yang signifikan terhadap pemulihan kitosan yang larut dalam air. Kondisi yang paling optimal terdapat pada konsentrasi 5,5% H2O2 dengan lama pemanasan 3,5 jam dan suhu yang digunakan adalah 42,8oC.
Universitas Sumatera Utara