BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Orientasi Dominasi Sosial
2.1.1 Teori Dominansi Sosial Manusia memiliki predisposisi dasar untuk membentuk hirarki dalam masyarakat (Sidanius & Pratto, 2001). Setiap individu dari suatu anggota masyarakat diatur sedemikian rupa agar memiliki kedudukan yang berbeda di dalam hirarki. Hirarki tersebut dapat berdasarkan kelompok sosial atau berdasarkan karakteristik individu. Teori dominansi sosial menjelaskan bahwa setiap kelompok sosial yang luas selalu terbentuk struktur hirarki sosial (Sidanius & Pratto, 2001). Hal ini berarti, terdapat sejumlah kelompok atau individu yang memiliki kedudukan berbeda, yaitu kelompok atau individu dominan yang berada pada bagian atas hirarki dan kelompok atau individu subordinat yang berada di bawah hirarki. Kelompok atau individu dominan dikarakteristikan dengan nilai-nilai positif yang mereka miliki atau berdasarkan hal-hal yang bersifat materi atau simbolik (Sidanius & Pratto, 2001). Kelompok atau individu dominan biasanya memiliki kekuasaan politik atau otoritas, memiliki sumber daya yang baik dan banyak, memiliki kekayaan atau status sosial yang tinggi. Bertolak belakang dengan kelompok atau individu dominan, kelompok atau individu subordinat adalah kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kekuasaan rendah (Sidanius & Pratto, 2001).
1
Teori dominasi sosial mengidentifikasi beberapa mekanisme hirarki telah dikembangkan dan dipertahankan (Sidanius & Pratto, 1999). Orang dengan dominasi sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif. Kelompok atau individu dominan dan kelompok atau individu subordinat terbentuk melalui tiga sistem stratifikasi berdasarkan hal berikut ini : a. Umur (age system), yaitu anggota kelompok atau individu yang memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan anggota kelompok atau individu lain memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lain (yang lebih muda). b. Jenis kelamin (gender system), laki-laki dilihat memiliki kekuasaan lebih apabila dibandingkan dengan perempuan. c. Arbitrary system, terbentuknya konstruksi sosial yang membuat suatu kelompok atau individu menonjol dikarenakan suatu karakteristik tertentu, contohnya ras, suku, kelas sosial, agama, dan lain sebagainya (Sidanius & Pratto, 2001). Berdasarkan teori Sidanius dan Pratto (1999), konsep terbesar dari kerangka berpikir orientasi dominasi sosial terdiri atas tiga asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun berdasarkan kelompokkelompok hirarki, dimana paling tidak terdapat satu kelompok atau individu yang berada di atas dan satu kelompok atau individu lain yang berada di bawahnya. Asumsi kedua, hirarki atau tingkatan dapat didasarkan pada usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kebangsaan, agama, dan karakteristik lainnya yang mungkin dapat digunakan sebagai pembeda di antara kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi
2
terakhir, masyarakat secara individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, yaitu diantara satu hirarki kelompok atau individu menuju kelompok hirarki atau individu lain yang memiliki keseimbangan (Zander, 2008). Teori orientasi dominasi sosial dirumuskan oleh Sidanius dan Pratto pada tahun 1991, dirancang untuk menjelaskan asal-usul dan konsekuensi dari hirarki sosial serta penindasan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Secara khusus teori dominasi sosial mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya didukung oleh suatu hirarki. Teori dominasi sosial mendalilkan bahwa faktor signifikan adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul (Pratto, Sidanius, &Levin, 2006). 2.1.2 Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial Menurut teori dominansi sosial, hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari diskriminasi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). 1. Legitimising myths Teori dominansi sosial mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan berbasis kelompok bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan, intimidasi, dan diskriminasi pada bagian yang dominan atau menonjol terhadap bawahan. Teori dominansi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan lembaga dibentuk oleh legitiming myths (Johnson, 1994 dalam Prato, Sidanius, & Levin, 2006). Legitimising myths merupakan consensually dari nilai yang dipegang, sikap, kepercayaan, stereotip, dan ideologi budaya. 3
Teori dominansi sosial membedakan antara dua jenis fungsional dari legitimizing myths yaitu legitimising myths yang meningkatkan hirarki (Hierarchy-enhancing legitimising myths / HE-LMs) dan legitimizing myths yang melemahkan hirarki (Hierarchy-attenuating legitimizing myths / HA-LMs). HE-LMs memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Contohnya seperti berbagai bentuk rasisme, seksisme, stereotip, nasionalisme
atau
kebangsaan,
classism,
dan
atribusi
internal
untuk
kemiskinan.Mitos telah digunakan untuk menyatakan bahwa ketidaksetaraan adalah sesuatu yang adil, sah, dan alamiah (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Sementara itu, HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominansi. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hirarki diantaranya: doktrin politik seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan komunisme, doktrin keagamaan, doktrin budayawan seperti hak-hak universal manusia, dan hak asasi manusia (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).
2. Diskriminasi institusional (lembaga) Pada diskriminasi institusional, terdapat dua macam klasifikasi hirarki yaitu meningkatkan hirarki (Hierarchy Enhancing / HE) dan melemahkan hirarki (Hierarchy Attenuating / HA). Lembaga yang meningkatkan hirarki (HE) mendukung dan mempertahankan ketidaksetaraan dengan mengalokasikan nilai sosial yang lebih positif kepada kelompok atu individu dominan. Lembaga yang meningkatkan hirarki (HE) memiliki kekuasaan atas keuntungan lembaga, perusahaan antar negara (perusahaan internasional), organisasi keamanan dalam negeri, dan sistem peradilan pidana (Sidanius, Pratto, & Levin, 2006). Sementara itu, lembaga yang melemahkan hirarki (HA) merupakan kelompok atau individu
4
subordinat (kelompok bawah) seperti orang-orang tidak mampu, suku dan agama minoritas. Lembaga yang melemahkan hirarki (HA) meliputi hak asasi manusia, hak penduduk, organisasi kebebasan, organisasi keagamaan yang dikhususkan menjaga orang-orang lemah, rentan, dan tertindas (Pratto, Sidanius, Levin, 2006). Institusi sosial dapat melakukan systematic terror untuk tetap menjaga hirarki sosial. Systematic error merupakan suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang lebih banyak ditujukan kepada kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah). Systematic error ini berfungsi untuk menjaga hubungan yang bersifat penaklukan kelompok atau individu subordinat oleh kelompok dominan serta memelihara rasa hormat kelompok atau individu subordinat terhadap kelompok atau individu dominan (Sidanius & Pratto, 1999).
3. Diskriminasi Individu Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu (Sidanius & Pratto, 1999). Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang merugikan. Diskriminasi atau perbedaan juga dilakukan oleh individu di dalam banyak bidang (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Diskriminasi oleh individu terjadi ketika seorang atasan memutuskan untuk tidak memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada klien yang potensial, atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan kepada terdakwa, semua dikarenakan adanya perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender (dalam Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). 5
Individu yang berada pada hirarki yang memiliki kekuatan tinggi biasanya memiliki lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai positif dimana mereka dapat menyalurkan nilai-nilai tersebut kepada individu lain di dalam hirarkinya, dan kekuatan lain untuk memastikan bahwa nilai-nilai sosial yang negatif disalurkan ke individu lain di luar tingkatan hirarki mereka (dalam Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Struktur hirarki menyiratkan bahwa kemudahan melakukan tindakan yang menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan lebih besar dari kemudahan melakukan tindakan yang melemahkan hirarki (dalam Pratto, Sidanius, & Pratto, 2006). Bukti empiris dari banyak negara dan mengenai berbagai konteks perbedaan individu telah menunjukan bahwa skala orientasi dominansi sosial merupakan indeks yang kuat dalam prasangka umum, preferensi kebijakan sosial politik, dan pilihan karir individu di masa depan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). 2.1.3 Orientasi Dominansi Sosial Orientasi dominasi sosial mengacu pada sejauh mana seorang individu menerima suatu hirarki. Orientasi dominasi sosial adalah bagaimana individu menganut suatu mitos atau ideologi yang mempertahankan atau memperkuat hirarki di
dalam
suatu
masyarakat.
Pada
awalnya,
orientasi
dominasi
sosial
dikonseptualisasikan dengan sejauh mana individu menginginkan kelompok atau diri mereka sendiri untuk menjadi dominan atas kelompok atau individu lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).
6
Felicia dan Pratto memperkenalkan konsep orientasi dominasi sosial dalam sebuah studi pada tahun 1994, dimana dia menunjukan bahwa orientasi dominasi sosial berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa individu memilih tetap berada di tingkatan hirarkinya untuk mendominasi orang lain dan menganggap orientasi superior-inferior hirarki dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok atau individu lainnya. Individu lain tanpa suatu orientasi dominasi sosial lebih cenderung untuk memilih hubungan mereka dengan orang lain untuk berada di tingkatan yang sama. Sebuah sifat yang khas dari individu dengan orientasi dominasi sosial yang lebih rendah adalah bahwa mereka cenderung lebih empatik terhadap orang lain. Individu yang memiliki orientasi dominasi sosial tinggi cenderung lebih tertarik dalam mendapatkan dan menggunakan kekuatan, sedangnya individu dengan orientasi dominasi sosial rendah lebih cenderung untuk mencari cara-cara koperatif dalam menangani konflik. Selain itu, individu dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi juga sangat termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan mereka terhadap individu di kelompok lain. Robert Altemeyer (2006) mengatakan bahwa orang dengan orientasi dominansi sosial tinggi menginginkan kekuasaan yang lebih (setuju pada item seperti “menang lebih penting daripada bagaimana kamu memainkan permainan”) dan lebih tidak jujur (manipulasi dan tidak sopan) setuju pada item seperti “tidak benar-benar ada
hal
seperti
benar
dan
salah”.
Orientasi
dominansi
sosial
sering
dikonseptualisasikan sebagai suatu fenomena yang berbasis kelompok, namun orientasi dominansi sosial tidak hanya merupakan dominansi berbasis kelompok tetapi juga merefleksikan dominansi antarpribadi. Hal ini didukung oleh Sidanius dan Pratto (dalam Zander, 2008).
7
Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial juga telah menunjukan dapat memprediksi masa depan sikap antarkelompok masyarakat dan perilaku di waktu yang lama (Thomsen et al., 2010 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial merupakan preferensi untuk ketidaksetaraan hubungan antara kategori-kategori yang ada dari individu, secara konseptual dibedakan dari konsep kepribadian yang umum dari dominasi antar pribadi, dimana fokus pada individu (Pratto, Sidanius, Stallworth,& Malle, 1994). Orientasi dominansi sosial bukan sekedar untuk menunjukan keunikan masing-masing dari perbedaan individu, bukan juga untuk mengklasifikasikan individu ke dalam taksonomi. Sebaliknya, orientasi dominansi sosial merupakan suatu model penekanan yang dinamis dimana berbagai jenis individu memainkan peran yang berbeda dan memiliki efek yang berbeda satu sama lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, Malle, 1994). 2.2
Persepsi Kelangkaan Lawan Jenis (Operational Sex Ratio)
2.2.1 Definisi Persepsi Persepsi secara etimologi berasal dari kata percipare dimana memiliki arti menerima atau mengambil (Sobur, 2003). Menurut Moskowitz & Orgel (1969 dalam Walgito, 2003) persepsi merupakan proses yang terintergasi dalam diri individu
8
terhadap stimulus yang diterimanya. Selain itu, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera (Walgito, 2003). Dalam kamus besar psikologi persepsi diartikan ke dalam 5 bentuk (Chaplin, 2006), yaitu: 1. Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera, 2. Kesadaran dari proses-proses organis, 3. (Titchener) satu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di masa lalu, 4. variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan individu untuk melakukan pembedaan diantara perangsangperangsang, 5. kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu Sementara itu, persepsi menurut Epstein dan Rogers (dalam Stenberg, 2008) adalah serangkaian proses yang membantu kita untuk mengenali, mengorganisasikan dan memahami berbagai hal-hal inderawi yang kita terima dari stimulus lingkungan. Leavit mendefinikan persepsi (dalam Sobur, 2003) dalam arti sempit merupakan suatu penglihatan, yaitu bagaimana seseorang melihat sesuatu. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2003). Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2002 dalam Sobur 2003) merupakan suatu proses dalam melakukan pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan
9
(penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi itu merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Persepsi juga dapat dikatakan sebagai suatu proses pengolahan informasi yang berupa stimulus, dimana stimulus tersebut diterima oleh alat indera dan kemudian diteruskan ke otak untuk diseleksi dan diorganisasikan sehingga menghasilkan suatu interpretasi yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi bersifat individual (Davidoff, 1981 ; Rogers, 1965 dalam Walgito, 2003). Oleh karena itu, persepsi setiap individu pasti berbeda-beda meskipun objek yang dipersepsikan sama. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman individu tidaklah sama. 2.2.2 Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Menurut Walgito (2003) terdapat beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu : 1. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu.
10
2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris. 3. Perhatian Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. 2.2.3 Kelangkaan Lawan Jenis (Operational Sex Ratio) Dalam biologi evolusi reproduksi seksual, Operasional Sex Ratio (OSR) adalah rasio antara laki-laki yang siap bersaing secara seksual (siap kawin) dengan perempuan yang juga siap bersaing secara seksual (Clutton-Brock, 2007). Konsep ini sangat berguna dalam studi seleksi seksual karena merupakan ukuran bagaimana persaingan seksual yang intens dalam suatu spesies, dan juga dalam studi tentang hubungan seleksi seksual (Mitani, Gros-louis, & Richards, 1996). Operational Sex Ratio (OSR) ini berhubungan erat dengan "tingkat potensi reproduksi" dari dua jenis kelamin, yaitu, seberapa cepat mereka masing-masing bisa mereproduksi dalam kondisi ideal (Clutton-Brock, 2007). Menurut teori seleksi seksual, seks atau jenis kelamin yang lebih banyak jumlahnya diharapkan dapat bersaing lebih kuat dari seks atau jenis kelamin yang kurang melimpah jumlahnya, dimana jenis kelamin yang 11
kurang berlimpah jumlahnya dapat memilih dengan siapa mereka memutuskan untuk menikah. Teori operational sex ratio atau kelangkaan lawan jenis berfokus pada ketidakseimbangan antara usia reproduksi pria dan wanita, yang dikatakan sebagai operational sex ratio (Emlen & Oring, 1977; Fossett&Kiecolt, 1991 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Operational sex ratio mempengaruhi perilaku hewan dengan mengubah alam ketika masa kawin, dimana dapat mempengaruhi dinamika dalam berhubungan atau masa perkenalan dan kompetisi intraseksual (Taylor & Bulmer, 1980; Weir, Grant, & Hutchings, 2010 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Emlen dan Oring (1977) mengidentifikasikan operational sex ratio sebagai suatu faktor ekologis penting yang dapat memberikan pengaruh terhadap struktur sistem perkawinan (Emlen, 1976 ; Bradburry & Vehrencamp, 1977 ; Thornhill & Alcock, 1983 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Kompetisi untuk mendapatkan pasangan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme perbedaan yaitu secara pengacakan, persaingan daya tahan, kontes, pilihan pasangan, dan kompetisi sperma yang unggul (Anderson, 1994 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010) Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa perubahan pada sex ratio memiliki dampak pada kedua jenis kelamin (Kvarnemo & Ahnesjo, 1996; Taylor & Bulmer, 1980 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Efek tersebut ada karena adanya perubahan pada ratio jenis kelamin (sex ratio) yang mengubah masa kawin melalui masa perkenalan dasar berdasarkan ekonomi, jenis kelamin yang langka lebih mungkin untuk mendapatkan pasangan yang diinginkan. Ketika jumlah wanita lebih sedikit, akan sangat mudah bagi para wanita untuk menarik perhatian para pria. Sebaliknya, jenis kelamin yang lebih banyak jumlahnya 12
kurang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang diinginkan (Clutton-Brock, Harvey, & Ruder, 1977; Rohr et al., 2005 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Pertimbangan dari ratio jenis kelamin (sex ratio) menunjukkan bahwa wanita memiliki waktu yang lebih sulit dalam menjaga pasangan yang diinginkan ketika terdapat banyak wanita lain. Dilema ini sangat mengerikan pada spesies yang menggunakan sistem perkawinan dimana melibatkan investasi biparental, seperti contohnya adalah manusia (Johnstone, Reynolds, & Deutsch, 1996; Langmore, 1998 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Apabila dibandingkan dengan mamalia lain, keturunan manusia dilahirkan cenderung tidak berdaya dan mengalami masa remaja yang panjang dimana membutuhkan investasi yang cukup besar dari orang tua (Kaplan, Hill, Lancaster, & Hurtado, 2000 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Oleh karena itu, banyak wanita tidak hanya mencari pasangan dalam berhubungan seks tapi juga pasangan yang dapat memberikan kontribusi untuk masa depan mereka serta dapat memberikan keturunan yang baik (Gangestad & Simpson, 2000 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Ketika terjadi kelangkaan pada jenis kelamin laki-laki, para wanita akan mengalami kesulitan dalam menjaga pasangannya yang bersedia dan mampu untuk berinvestasi pada keturunannya di masa depan. Laki-laki dianggap lebih dapat mengisi pekerjaan dengan bayaran yang cukup tinggi, namun begitu tidak menutup kemungkinan bahwa para wanita juga mengejar karir yang menawarkan gaji tinggi dan jabatan. Peran gender dalam budaya mungkin dapat membuat para wanita lebih mudah atau bisa juga lebih sulit untuk mengejar karir yang diinginkan (Bem, 1999; Diekman & Eagly, 2000; Eagly, Wood, & 13
Diekman, 2000; Eccles, Barber, & Jozefowicz, 1999 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Sex ratio dengan jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita mengakibatkan perubahan pada mating market. Karena sebagian besar wanita tidak mampu menjaga pasangan mereka untuk jangka waktu yang panjang, maka lebih banyak wanita yang akan tetap melajang dan tidak menikah sebelum mencapai kematangan seksual (Kruger, 2009 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Banyak dari wanita lajang harus mencari pekerjaan yang dapat memberikan bayaran dengan gaji besar untuk dapat menghidupi diri mereka serta membuat mereka dapat menjaga pasangan dalam jangka waktu yang panjang. 2.2.3.1 Persaingan Langsung 1. Kompetisi atau kontes Kompetisi tidak hanya dapat terjadi pada laki-laki, tetapi juga dapat terjadi antara perempuan. Kompetisi melibatkan perkelahian, pengejaran, dan ancaman antara para pesaing (Trivers, 1972 ; Clutton-Brock & Parker, 1992 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin yang biasanya lebih agresif. Namun, perempuan dapat menjadi agresif jika jenis kelamin yang mengalami kelangkaan adalah laki-laki (Clutton-Brock, 2009 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Emlen dan Oring (1977) memperkirakan bahwa tingginya ketidakseimbangan pada operational sex ratio menghasilkan penurunan dalam pertahanan, dimana yang lain memprediksikan terus meningkatnya agresifitas atau perilaku menjaga daerah kekuasaan seiring dengan meningkatnya ketidakseimbangan operational sex ratio (Tejedo, 1988 ; Kvarnemo & Ahnesjo, 1996 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). 14
Sementara Emlen dan Oring (1977) menggunakan operational sex ratio sebagai sarana untuk memprediksi intensitas persaingan dan struktur sistem perkawinan, mereka juga menekankan bahwa tingkat intensitas persaingan harus dipertimbangkan dalam konteks "economic defendability "(Brown, 1964;. Klug Huet, 2010 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). 2.3.3.2 Kompetisi Tidak Langsung 1. Pacaran Individu dari beragam spesies berinvestasi dalam mewarnai upacara perkawinan dan ornamennya (Andersson, 1994 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010 ), tetapi perilaku pacaran merupakan suatu mekanisme yang lebih fleksibel untuk memberikan daya tarik terhadap pasangan. Pada operational sex ratio atau kelangkaan lawan jenis, kecenderungan laki-laki terhadap pasangan perempuan kemungkinan akan meningkat. Namun, berdasarkan observasi tingkat frekuensi dari perilaku berpacaran juga dipengaruhi dalam menghadapi banyaknya jumlah perempuan, dimana akan menurun jika jumlah perempuan lebih sedikit (Grant, 2000 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Terlepas dari banyaknya jumlah perempuan, tingkat pacaran individu juga dapat menurun karena jumlah laki-laki yang meningkat karena peningkatan kompetisi yang mungkin mengakibatkan banyaknya perselisihan dengan laki-laki lain (Jirotkul 1999 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010) atau jika laki-laki mempunyai cara lain yang berbeda dari pacaran. Namun, jika pacaran merupakan hal yang mahal dalam artian banyaknya energi yang dikeluarkan atau risiko saling menjatuhkan (Reynolds, 1993 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010 ), laki-laki mungkin lebih memilih jalan lain karena banyaknya jumlah pesaing dalam berpacaran.
15
2. Menjaga pasangan dan lamanya hubungan intim Durasi menjaga pasangan pasca senggama untuk jaminan paternitas diprediksikan dapat meningkatkan angka populasi laki-laki . Durasi pengamanan (guarding) akan sangat mengurangi bias (ketidakseimbangan) operational sex ratio pada laki-laki, karena laki-laki yang telah menjaga (menetapkan) pasangan akan sulit melepaskan dan tidak akan meninggalkan pasangannya untuk mencari pasangan yang lain, namun hal tersebut terjadi jika jumlah wanita sangat langka (Thornhill and Alcock 1983 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Jika menjaga pasangan pasca senggama terkait pada optimalisasi investasi waktu pria, maka pria harus berusaha untuk berpasangan dengan banyak wanita berbeda dan menaruh sedikit waktu dalam penjagaan (guarding) apabila jumlah wanita sangat berlimpah. Namun,apabila jumlah wanita langka, pria dapat menjaga wanita hingga mereka berpasangan untuk memastikan kesuksesan derajat reproduksi (Parker, 1974 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010)
2.4
Sikap Terhadap Risiko
2.4.1 Sikap Terhadap Risiko (Risk Attitude) Menurut Robbins (2007) sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Risiko adalah situasi dimana terdapat hal negatif atau hasil yang tidak menguntungkan, seperti kehilangan, kecelakaan, luka pada tubuh, atau kematian yang tidak dapat diketahui. Seseorang tidak mengetahui kapan hal itu dapat terjadi, tetapi seseorang juga tidak bisa memastikan bahwa hal tersebut akan terjadi (Crozier & Svenson, 2002).
16
Banyak arti mengenai risiko, namun pada dasarnya risiko merupakan sesuatu, dalam hal ini yang akan diterima atau ditanggung oleh seseorang sebagai konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan (Hasan, 2002). Ini adalah arti lain dari risiko : a. Risiko adalah kesempatan timbulnya kerugian. b. Risiko adalah kemungkinan timbulnya kerugian. c. Risiko adalah ketidakpastian. d. Risiko adalah penyimpangan hasil actual dari hasil yang diharapkan. e. Risiko adalah suatu hasil yang berbeda dari hasil yang diharapkan. Terinspirasi dari analisa risiko dan model pengambilan keputusan, seseorang kadang berpikiran terlalu jauh dan memperkirakan kemungkinan dari hal yang tidak diinginkan itu muncul. Beberapa teori keputusan membedakan antara kemungkinan risiko, dimana kemungkinan tersebut berhubungan dengan hasil yang akan keluar seperti apa yang telah dipikirkan sebelumnya dan situasi yang tidak pasti, dimana probabilitas tidak ditetapkan (Tversky & Fox, 1995 dalam Crozier & Svenson, 2002). Derajat hubungan dari sifat berisiko terhadap tingkat kemungkinan akan kehilangan memiliki dua alasan : 1. Ada hubungan antara konsep risiko terhadap konsep matematika mengenai kemungkinan, 2. Merefleksikan komponen psikologi yang penting mengenai konsep risiko (Yates & Stone, 1992 dalam Crozier & Svenson, 2002). Sikap terhadap risiko mempunyai pertimbangan yang melibatkan antara kerugian dan keuntungan (Jhonson, 2009). Sikap terhadap risiko memiliki dua kemungkinan yaitu sangat baik atau menguntungkan (gain frame) dan tidak baik
17
atau merugikan (loss frame). Tiap versi mempunyai dua pilihan dimana hasil yang keluar dapat diprediksi dan satu kemungkinan dimana hasilnya tidak pasti. Nilai dari setiap risiko adalah sama, meskipun pada akhirnya bisa menunjukkan hasil yang pasti dan hasil yang tidak pasti. Perbedaan antara gain frame dan loss frame adalah pengertian yang dihasilkan dari tiap pengambilan risiko mengenai teori gain frame atau loss frame (Jhonson, 2009). Tversky dan Kahneman (1981 dalam Jhonson, 2009) mengatakan bahwa ketika individu dihadapkan dengan suatu hal yang menguntungkan, mereka biasanya cenderung mencari jalan yang aman dibandingkan mengambil risiko dimana hasilnya tidak pasti (Jhonson, 2009).
Tversky dan Kahneman mendefinisikan perilaku
menolak risiko sebagai sebuah perilaku dimana individu lebih memilih hal-hal yang tidak berisiko besar atau aman dibandingan dengan pilihan yang berisiko besar. Namun, ketika dihadapkan dengan suatu masalah dimana akan terjadi kerugian apabila individu tidak mengambil risiko tersebut maka akan lebih cenderung mengambil risiko dalam tindakannya. Individu yang cenderung pengambil risiko lebih suka mencari hal-hal yang membutuhkan risiko besar dimana harapan mereka lebih rendah atau setara dari sebelumnya. (Johnson, 2009). Mengambil risiko yang menguntungkan (gain frame) dan mengambil risiko yang tidak menguntungkan (loss frame) memiliki karakteristik sebagai pencari risiko dan penolak risiko (Tversky & Kahneman, 1981 dalam Johnson, 2009). Sebagai contoh penelitian dari Tversky dan Kahneman menunjukkan bahwa banyak individu yang lebih memilih untuk mengambil risiko yang aman ketika dihadapkan pada berapa banyak nyawa manusia yang dapat diselamatkan (gain frame), meskipun demikian individu cenderung mengambil risiko dari keputusannya ketika dihadapkan dengan orang yang hampir meninggal. 18
2.4.3 Prospect Theory Kahneman dan Tversky (1979 dalam Yusniani, 2006) menjelaskan pembingkaian informasi dalam teori prospek (prospect theory). Teori prospek menyatakan bahwa frame yang diadopsi oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakannya. Dalam teori prospek, hasil tindakan digambarkan sebagai hal yang positif atau negatif (keuntungan atau kerugian). Efek
pembingkaian
adalah
pilihan
untuk
menolak
risiko
dengan
mempertimbangkan keuntungan (memilih keuntungan tanpa risiko) dan mencari risiko dengan kerugian (memilih kerugian risiko atau kerugian tanpa risiko). Secara umum dalam proses pengambilan keputusan, seseorang akan berusaha untuk mengidentifikasi risiko yang akan dihadapi sehingga tindakan yang diambil akan sesuai dengan preferensi risiko seseorang apakah risk averse atau risk seeking (Bazerman, 1994 dalam Yusnaini, 2006). Dengan memahami risiko yang akan dihadapi, diharapkan seseorang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat dan mengevaluasi pilihan mereka pada kondisi yang tidak pasti. Hal ini dapat mengakibatkan suatu tindakan lebih ditekankan pada prosesnya dibandingkan pada outcome dari tindakan tersebut. Sehingga perspektif ini memandang bahwa seseorang akan mengambil tindakan dengan lebih baik melalui penerimaan terhadap adanya kondisi tidak pasti tersebut dan dengan mempelajari bagaimana berpikir secara sistematis dalam lingkungan yang berisiko (Bazerman, 1994 dalam Yusnaini, 2006). Dalam Prospect theory terdapat expected utility theory, yang menjelaskan bahwa seseorang yang mengambil risiko adalah seorang yang rasional (Rutledge dan Harrell, 1994 dalam Morgan, 1986 dalam Yusniani, 2006), sementara Gudono dan 19
Hartadi (1998 dalam Yusniani, 2006), menyatakan bahwa seseorang dianggap mampu memproses informasi dengan sempurna agar dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Rasionalitas sering kali dilanggar oleh para pembuat keputusan. Salah satu faktor yang sering dianggap menyebabkan pelanggaran tersebut adalah jenis frame yang diadopsi oleh seseorang (Tversky dan Kahneman, 1981). Framing yang diadopsi dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil suatu tindakan. Frame yang digunakan oleh Tversky dan Kahneman (1981 dalam Yusniani, 2006) adalah positive and negative frame. Dalam kondisi rugi atau negative framing, seseorang akan cenderung lebih berani untuk menanggung risiko, karena kegagalan lebih lanjut akan menghasilkan nilai subyektif lebih rendah dibandingkan pada kondisi berhasil atau positive framing. 2.4.3.1 Cumulative Prospect Theory Teori
prospek kumulatif atau cumulative prospect theory (CPT) oleh
Tversky and Kahneman (1992 dalam Harbaugh, Krause, dan Vesterlund 2010) mengasumsikan bahwa individu merupakan seseorang yang menghindari risiko atas apa yang akan didapatkannya dan mencari risiko atas kehilangan yang mungkin akan didapatkannya, dan mereka biasanya lebih berat dalam mencari hal-hal yang memiliki probabilitas yang rendah sedangkan lebih ringan pada hal-hal yang memiliki probabilitas yang tinggi. Kombinasi dari dua asumsi ini akan menghasilkan pola yang unik dari perilaku risiko. Seperti yang dikemukakan oleh Tversky dan Kahneman (1992 dalam Harbaugh, Krause, dan Vesterlund 2010) “ Yang paling terlihat jelas dari maksud teori prospek adalah 4 pola perilaku risiko, yaitu :
20
1. Mencari risiko atas sesuatu yang berkemungkinan rendah 2. Menghindari risiko atas sesuatu yang berkemungkinan besar 3. Menghindari risiko atas suatu hal yang berhubungan dengan kehilangan yang berkemungkinan rendah 4. Mencari risiko atas suatu hal yang berhubungan dengan kehilangan yang berkemungkinan tinggi. 2.4
Tenaga Kerja Wanita (TKW) Pengertian Tenaga Kerja menurut Undang-undang dalam pasal 1 angka
2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus dijamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan. Wanita pekerja adalah wanita yang dapat menghasilkan suatu karya yang kemudian akan mendapatkan imbalan berupa uang, meskipun imbalan tersebut tidak langsung diterima (Ihromi, 1990). Sedangkan wanita yang biasa disebut dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Adapun ciri dari wanita yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah kemampuan melakukan pekerjaan untuk menghasilkan jasa atau barang, berpenghasilan lebih tinggi bahkan memiliki 21
kedudukan yang tinggi dan berpenghasilan besar serta tidak hanya identik dengan pekerjaan sebagai buruh atau pembantu rumah tangga, melainkan termasuk para ahli wanita (Ihromi, 1990). 2.4.1 Tenaga Kerja Wanita ke Manca Negara Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Sambutan yang baik ini memunculkan kecenderungan baru, yaitu semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita Indonesia yang mencoba peruntungan di manca negara. Faktor-faktor yang menyebabkan wanita Indonesia memilih manca negara sebagai lahan pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik (Supriyoko, 1990). Supriyoko (1990) mengatakan bahwa kemajuan negara yang diikuti dengan kemajuan dari kaum wanitanya diiringi dengan meningkatnya kemandirian kaum wanita tersebut. Meningkatnya kemandirian kaum wanita di Indonesia secara instriksik memunculkan dorongan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya untuk mengangkat harkat dan martabat diri beserta keluarga. Bekerja di manca negara dinilai sebagai salah satu cara untuk dapat mengekspresikan diri dengan tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat diri beserta keluarga. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Supriyoko (1990) faktor ekstrinsik yang mendorong wanita Indonesia memilih manca negara sebagai tempat untuk bekerja diantaranya, yaitu : • relatif tingginya tingkat pengangguran di Indonesia dimana
hal ini
menyebabkan kauh wanita ingin membuat terobosan baru dengan bekerja di manca negara.
22
• Relatif rendahnya pendapatan atau penghasilan keluarga di satu pihal dan belum idealnya jumlah anggota keluarga pada pihal yang lain telah menyebabkan kauh wanita ingin memanfaatkan kemampuan profesinya secara maksimal. • Rasio jenis kelamin (RJK) yang masih relatif rendah pada beberapa daerah di Indonesia secara tidak langsung menantang kaum wanita untuk menunjukkan eksistensi serta mengembangkan potensi dan prestasinya dengan bekerja pada berbagai sektor kerja, khususnya di manca negara. • Standar upah di dalam negeri yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan tarif upah yang dapat diterima kaum wanita apabila bekerja di manca negara.
Tabel 2.1 Rekapitulasi Penerbitan KTKLN PPTKIS BP2TKI Jakarta Berdasarkan Kawasan Negara Penempatan Periode Bulan Januari – Desember 2012 No
Negara Penempatan
Formal
Informal
Jumlah
L
P
Jumlah
L
P
Jumlah
A
Asia Pasific
1
Hongkong
4
1
5
-
4.199
4.199
4.204
2
Singapura
6
2
8
-
7.532
7.532
7.540
3
Korea Selatan
-
-
-
-
-
-
-
4
Malaysia
1.606
1.113
2.719
-
135
135
2.854
5
Macau
-
-
-
-
-
-
-
6
Taiwan
3827
684
4.511
14
14.539
14.553
19.064
7
Brunei
2178
1.357
3.535
8
358
366
3.901
7.621
3.157
10.778
22
26.763
26.785
37.563
Darussalam Jumlah
23
B
Timur Tengah
1
Kuwait
5
-
5
-
-
-
5
2
Oman
11
2
13
4
5.036
5.040
5.053
3
Qatar
446
39
485
6
11.394
11.400
11.885
4
Saudi Arabia
8633
998
9.631
-
-
-
9.631
5
Uae
252
42
294
1
18.326
18.327
18.621
6
Bahrain
17
8
25
2
4.231
4.233
4.258
7
Aljazair
626
-
626
-
-
-
626
8
Yordania
8
-
8
-
-
-
8
9
Perbaikan Kartu
-
-
-
-
4
4
4
9.998
1.089
11.087
13
38.991
39.004
50.091
Jumlah C
Lain-lain
1
Kanada
-
4
4
-
-
-
4
2
Papua Nugini
22
-
22
-
-
-
22
3
New Zealand
26
-
26
-
-
-
26
Jumlah
48
4
52
-
-
-
52
21.917
35
65.789
65.789
87.706
Jumlah Total
17.667 4.250
Sumber : BP2TKI
24
2.5
Kerangka Berpikir dan Hipotesis Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Persepsi Kelangkaan Lawan Jenis Sikap Terhadap Risiko Pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) Orientasi Dominasi Sosial
Sumber : Olahan peneliti Teori orientasi dominansi sosial mengasumsikan bahwa masyarakat yang terbentuk dari individu cenderung terstruktur sebagai sistem yang didasarkan pada hirarki sosial. Orang yang memiliki orientasi dominansi sosial tinggi percaya bahwa segala macam kekuatan, nilai positif, sumber daya, otoritas, dan segala hal yang baik adalah milik mereka. Sementara orang dengan orientasi dominansi rendah, cenderung lebih menyukai kesetaraan antar manusia. Hirarki dalam orientasi dominansi sosial tersusun berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas sosial, jabatan, suku, dan lain sebagainya. Orientasi dominansi sosial tidak hanya mengukur kelompok dominan dan kelompok subordinat, tetapi juga individu yang mungkin merupakan anggota dari salah satu kelompok. Tenaga kerja wanita merupakan masyarakat yang tergolong ke dalam kelompok subordinat, mereka lebih banyak berasal dari daerah kurang mampu dan berada pada kelas sosial bawah. Tidak dianggap di daerahnya membuat para wanita ini bekerja menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri meskipun dengan ancaman risiko yang akan dihadapi. Menjadi tenaga kerja di luar negeri merupakan pekerjaan 25
yang bergengsi, dimana para tetangga dan teman akan memberikan selamat ketika mereka berhasil bekerja di luar negeri. Sidanus dan Pratto menyatakan bahwa orang dengan orientasi dominansi sosial tinggi akan berpengaruh dalam kehidupan seharihari, contohnya bidang pekerjaan yang akan diambil. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan penghasilan yang besar dan tergiur akan kesuksesan tenaga kerja lain yang telah pulang ke tanah air, mendorong para wanita ini semakin tertarik untuk bekerja di luar negeri. Dorongan yang kuat untuk bisa lebih dipandang di daerahnya serta meningkatkan harkat dan martabat keluarga menjadi salah satu pemicu wanita Indonesia memutuskan untuk mengambil keputusan berisiko menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Uang yang akan mereka terima selama bekerja di luar negeri diharapkan dapat menjadi modal ketika kembali ke daerahnya, sehingga mereka bila lebih dipandang dan menjadi anggota dari kelas sosial menengah di daerahnya. Berada di kelas sosial bawah tentunya membuat para wanita tidak memiliki banyak peluang untuk bisa mendapatkan laki-laki yang diinginkannya. Para lelaki berkualitas biasanya menetapkan kriteria untuk pasangan yang akan dipilihnya. Banyak dari para tenaga kerja merasa tidak percaya diri untuk dapat bersaing dengan wanita lainnya. Sehingga mereka memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita agar bisa mendapatkan penghasilan yang besar yang nantinya dapat digunakan sebagai modal untuk mempercantik diri dan dapat menarik perhatian laki-laki. Persepsi kelangkaan lawan jenis atau operational sex ratio merupakan kondisi dimana terjadi ketimpangan atau ketidaksamaan jumlah antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingnya jenis
26
kelaminnya. Persepsi kelangkaan lawan jenis ingin melihat bagaimana persepsi para tenaga kerja wanita dalam mepersepsikan jumlah laki-laki yang ada di daerahnya. Semakin sedikit jumlah laki-laki yang berkualitas yang ada di daerahnya, akan mendesak para wanita untuk bisa lebih menonjol di bandingkan dengan wanita lainnya sehingga mereka dapat dijadikan pilihan oleh laki-laki yang diinginkan. Para wanita tidak hanya menginginkan pasangan dalam hubungan seksual tetapi juga yang mampu berkontribusi dalam kehidupan dan keturunan mereka kelak. Oleh karena itu banyak wanita Indonesia memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri dengan harapan ketika kembali ke tanah air penghasilan yang mereka terima dapat digunakan sebagai modal untuk menarik perhatian laki-laki. Menjadi tenaga kerja wanita merupakan contoh dari sikap yang positif terhadap risiko berdasarkan uraian pada latar belakang. Berbagai macam risiko mulai dari sebelum keberangkatan, masa bekerja di luar negeri, dan ketika pulang ke tanah air.
Risiko
tersebut
bermacam-macam,
contohnya
pelecehan,
penipuan,
pemerkosaan, perampokan, dan lain sebagainya. Ancaman risiko yang mungkin akan dihadapi para tenaga kerja wanita ini tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap menjadi tenaga kerja wanita. Hal ini didasarkan pada keuntungan yang akan mereka peroleh ketika kembali ke tanah air, dan lebih sedikit kerugian yang akan mereka terima. Hal ini sesuai dengan teori sikap terhadap risiko atau teori prospek, dimana teori tersebut menyatakan bahwa tindakan seseorang terhadap risiko didasarkan pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima. Selain itu, orang yang tergolong sebagai pencari risiko biasanya lebih tertarik untuk mengambil hal-hal yang mengandung risiko.
27
Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah orientasi dominasi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW).
28