TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Botanis Tanaman Mahoni Mahoni merupakan tanaman yang berasal dari Hindia Barat dan Afrika. Mahoni dikelompokkan menjadi dua, mahoni berdaun kecil (Swietenia mahagoni Jacg.) dan mahoni berdaun besar (Swietenia macrophylla King). Mahoni termasuk dalam keluarga Meliaceae.Mahoni berdaun besar dapat tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian bervariasi antara 0-1.000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.600-4.000 mm per tahun dan tipe iklim A sampai D. Pada umumnya mahoni senang pada tanah yang bersolum dalam. Jenis ini juga masih bisa bertahan pada tanah yang sewaktu-waktu tergenang air (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Mahoni merupakan pohon tahunan, tinggi 5-25 m, berakar tunggang, batangnya bulat, banyak bercabang dan kayunya bergetah. Daunnya daun majemuk menyirip genap, helaian daun berbentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, tulang menyirip, panjang 3-15 cm. Daun muda berwarna merah, setelah tua warnanya hijau. Bunga majemuk tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Ibu tangkai bunga silindris, berwarna coklat muda. Kelopak bunga lepas satu sama lain, bentuknya seperti sendok, berwarna hijau. Mahkota silindris, kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, berwarna coklat. Biji pipih, berwarna hitam atau coklat. Mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras dan digunakan untuk perabot rumah tangga serta barang ukiran, perbanyakan dengan biji (Iptek, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa Inggris antara lain disebut peat, bog moor, mire, dan fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan perbedaan jenis atau sifat gambut antara satu tempat dan tempat lainnya. Istilah gambut diambil alih dari kosa kata bahasa daerah Kalimantan Selatan (suku Banjar). Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan atau hanya sedikit mengalami perombakan (Noor, 2001). Gambut terbentuk dari serasah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan serasah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari serasah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya
rendah
dan
mempunyai
kandungan
kayu
yang
tinggi
(Radjagukguk, 1990 dalam Noor, 2001). Tanah gambut di Indonesia tersebar di empat pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Luas tanah gambut di Indonesia diperkirakan 15,96 juta ha termasuk yang berasosiasi dengan rawa lebak dan lahan sulfat masam, dan salin. Tanah gambut menempati 47,8 % dari luas lahan rawa di Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan sehingga tanah gambut sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi tanah pertanian (Widjaja et al., 1992).
Universitas Sumatera Utara
Sifat-sifat Tanah Gambut Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan penurunan permukaan gambut karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah (Andriesse, 1988 dalam Noor, 2001). Sifat Fisik Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan. Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Ambak dan Meiling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar (Subagyo et al., 1996 dalam Chotimah, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sifat-Sifat Kimia Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah yang sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah relatif lebih subur. Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal memiliki pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam memiliki (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al., 1996 dalam Chotimah, 2007). Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Chotimah (2007), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asamasam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas. Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (pH 4-5) dibandingkan dengan gambut iklim sedang yang mempunyai kandungan
Universitas Sumatera Utara
mineral kapur yang cukup tinggi sehingga tingkat keasaman rendah (pH 6-7). Bahan penyusun pada gambut iklim sedang atau iklim dingin umumnya berupa tumbuhan lumut atau sphagnum. Hal lain yang membedakan antara gambut tropik dan gambut iklim sedang atau dingin adalah curah hujan yang tinggi, evapotranspirasi yang tinggi, suhu rata-rata tahunan yang tinggi, dan bahan asal sebagian besar terdiri atas vegetasi kayu-kayuan. Tingginya kandungan kayukayuan pada gambut tropik memerlukan pengelolaan khusus selama reklamasi awal (Andriesse, 1988 dalam Noor, 2001). Tingkat keasaman tanah gambut mempunyai kisaran sangat lebar. Umumnya tanah gambut tropik terutama gambut ombrogen (oligotropik) mempunyai kisaran pH 3,0-4,5, kecuali mendapatkan pengaruh penyusupan air laut atau payau. Keasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal (Noor, 2001). Susunan dan kandungan senyawa organik dan hara mineral di tanah gambut sangat beragam, tergantung pada jenis jaringan penyusun gambut, lingkungan pembentukan, dan kesudahan reklamasi. Senyawa organik utama yang terdapat dalam gambut antara lain hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Selain senyawa-senyawa tersebut, juga terdapat senyawa tannin dan resin dalam jumlah kecil. Kadar senyawa polisakarida, hemiselulosa, dan tannin menurun relatif cepat jika gambut makin dalam sampai jeluk 40 cm dan selanjutnya menurun sangat kecil, kecuali hemiselulosa dari hutan alami. Selulosa meningkat secara pelanpelan jika gambut makin dalam, kecuali pada hutan alami. Kadar N pada tanah gambut relatif tinggi sedangkan kadar P beragam, namun sebagian N dan P dalam bentuk organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
tanaman. Kadar N pada tanah gambut kayu-kayuan berkisar 0,3%-4,0% dan untuk tanah gambut Indonesia berkisar 1%-2% dan hanya sekitar separuh yang dapat diserap oleh tanaman ( Lucas, 1982 dalam Noor, 2001). Hara mikro tanah gambut tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa organo-metal yang menyemat (fixation) ion-ion Cu dan Zn menjadi bentuk kurang tersedia bagi tanaman. Kekahatan Cu berhubungan erat dengan kadar asam fenolat pada tanah gambut. Tingginya kadar asam fenolat menekan ketersedian Cu karena terjadinya ikatan senyawa organometal (Sabihan et al., 1997 dalam Noor, 2001). Di samping itu, tingginya produksi CO2 yang membentuk senyawa bikarbonat juga dapat menghambat ketersediaan hara mikro, terutama Zn (Moormann dan Breemen, 1978 dalam Noor, 2001). Dilaporkan juga kekahatan hara mikro seperti Cu dan Zn pada tanah gambut karena pH yang rendah juga berhubungan dengan kadar asam fenolat. Hanya saja kadar hara mikro dalam tanah gambut umumnya tidak nyata dipengaruhi oleh bahan organik sampai kadar > 38% C-organik. Kadar Cu umumnya lebih rendah dibandingkan dengan Zn dan Mn, terlebih pada kadar bahan organik yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Komariah et al., (1993) dalam Noor (2001), penggunaan mikroorganisme perombak selulosa dapat meningkatkan ketersediaan hara dan pH gambut, tetapi belum mampu menurunkan nisbah C/N. Potensi redoks gambut (pH = 4) sekitar 52 mv, padahal untuk mereduksi Fe diperlukan kapasitas reduksi yang lebih kuat. Nisbah C/N sejumlah lahan gambut yang belum dimanfaatkan antara 25-35. Hal ini menunjukkan bahwa perombakan belum sempurna sehingga terjadi immobilisasi N. Perombakan dikatakan lebih sempurna
Universitas Sumatera Utara
jika nisbah C/N < 20. kondisi asam (pH) rendah juga menjadi penghambat aktivitas mikroorganisme. Menurut Waksman (1988) dalam Noor (2001), mikroorganisme di tanah gambut dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu: (1) mikroorganisme yang terlibat dalam tahap perombakan awal dari keadaan asli, yang termasuk di dalamnya golongan jamur dan bakteri yang berperan dalam menghancurkan selulosa, hemiselulosa, dan beberapa protein. (2) mikroorganisme yang terlibat dalam perkembangan (penebalan) gambut yang hampir sepanjang tahun terendam. Miroorganisme yang bersifat aerob yang memperoleh oksigen dari oksidasi dan perombakan bahan organik. (3) mikroorganisme yang terlibat setelah gambut mengalami pengatusan atau terbuka. Mikroorganisme yang berperan umumnya golongan jamur, bakteri, dan mikroorganisme yang berada pada tahap awal perombakan. Sisa perombakan adalah bahan-bahan yang lebih tahan seperti lignin. Berdasarkan hasil penelitian Suryanto (1997), ternyata tanaman melati gambir dan tanaman kopi rata-rata memiliki pertumbuhan yang baik pada media gambut yang diberi campuran pasir, meskipun masih menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan stek tanaman masih diperlukan obat perangsang pembentukan akar agar pertumbuhannya meningkat. Gambut baik untuk media tumbuh karena sifat fisik yang baik, rongga pori yang cukup, serta kemampuan menahan air yang tinggi juga kompak dengan akar bibit yang ditanam. Suryanto (1994) dalam Suryanto (1997), menyimpulkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata tanah gambut dapat dimanfaatkan untuk media tumbuhan tanaman stek lebih baik dibandingkan tanah regosol biasa.
Universitas Sumatera Utara
Mikoriza Mikoriza adalah suatu struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai manifestasi adanya simbiosis mutualistis cendawan (myces) dan perakaran (rhyza) tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksinya pada sistem perakaran inang (host), mikoriza dikelompokkan ke dalam 2 golongan besar yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Di dalam kelompok endomikoriza terdapat enam sub tipe yaitu: mikoriza arbuscula, ectendo arbutoid, monotropod, ericoid dan orchid. (Setiadi, 2001). Perbaikan hasil tanaman dengan inokulasi FMA juga berkaitan dengan perbaikan mikoriza itu sendiri, meski pada beberapa kasus inokulasi cendawan ini meningkatkan hasil tanaman tapi gagal memperbaiki status mikoriza. Pada saat yang sama pada beberapa kasus inokulasi gagal memperbaiki hasil tanaman, walaupun mampu meningkatkan kondisi mikoriza (Kehri dan Chandra, 1990). Dari beberapa pengamatan bahwa jenis tanaman yang sistem perakarannya tanpa akar-akar halus dan kurang rambut akarnya ternyata lebih sering terkena infeksi dan lebih tergantung terhadap adanya mikoriza. Menurut Suhardi (1989), infeksi mikoriza terdapat dalam epidermis dan pada kotikal parenkim akar. Infeksinya tidak masuk dalam lapisan endodermis dan juga tidak terdapat dalam bagian meristematik. Infeksi berkembang melalui beberapa stadia yaitu: 1. fase ekstramatrikal dengan extra metrical hypae (hifa yang menjulur keluar dari akar) dan eksternal vesicles atau spora yang tersebar di sekitar tanah
Universitas Sumatera Utara
2. fase intraradical dengan inter dan intracellular hyphae (hifa di antara dan di dalam sel) yang tidak bercabang, intracellular hyphae yang bercabangcabang (arbuscules) dan internal vesicles
Mikoriza, Hubungannya dengan Gambut dan Tanaman Setiadi (2001) mengklasifikasikan tanaman kehutanan berdasarkan tingkat responnya terhadap pemberian mikoriza yakni jenis-jenis yang responsif tinggi diantaranya adalah turi (Sesbania grandiflora), angsana (Pterocarpus sp), akasia (acacia mangium), sengon (Paraserianthes falcataria), dan johar (Casia simea). Tingkat rensponsif sedang adalah mahoni (Swietenia macrophylla), gmelina (Gmelina arborea), juga terdapat tanaman hutan yang menunjukkan responsif rendah yaitu balsa (Ochroma bicolor), dan matoa (Pomena pinnata) Pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman yang bermikoriza dinyatakan bahwa tanaman yang bermikoriza lebih baik daripada tanaman yang tidak bermikoriza karena akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman. Sifat kimia tanah gambut (terutama gambut mentah) dapat diperbaiki jika perbaikan secara fisik sudah memadai. Tanpa perbaikan fisik maka perbaikan kimia (melalui pemupukan) sulit diharapkan. Pemberian unsur hara yang normal pada tanah gambut tidak cukup merangsang aktivitas mikroorganisme tanah karena mikroorganisme juga memerlukan lingkungan yang sesuai yang biasanya mengarah kepada reaksi netral (Adiwiganda, 1996). Mikoriza berperan dalam penyerapan nutrient dengan cara difusi. Akar mikoriza ternyata meningkatkan penyerapan Zn dan S dari larutan lebih cepat
Universitas Sumatera Utara
daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Fungi mikoriza merangsang pertumbuhan lebih pada proses fisiologisnya dibandingkan dengan perluasan penyerapan nutrien. Mikoriza juga berperan dalam peningkatan serapan air, dan juga ketahanan terhadap penyakit (Suhardi, 1989). Simbiosis antara tanaman dan FMA bersifat mutualistik dan perlu bagi fungi untuk bertahan hidup karena memperoleh fotosintat dari tanaman. Aliran karbohidrat ini tergantung pada spesies tanaman inang dan spesies FMA, namun ditaksir sekitar 1-17% dari total karbohidrat yang digunakan untuk membentuk biomassa akar digunakan FMA untuk perkembangan dan aktifitasnya. Pada awal perkembangan mikoriza bersifat parasit bagi tanaman dan jika kondisi tidak optimum, sering menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan. Fotosintat diserap FMA dalam akar khususnya melalui arbuskula, yang merupakan area kontak permukaan terbesar antara tanaman dan fungi (Hanafiah, 2005). Secara fisik perananan FMA bagi tanaman inangnya adalah memperbesar areal serapan bulu-bulu akar melalui pembentukan miselium di sekeliling akar oleh karena itu tingkat ketergantungan tanaman terhadap asosiasi FMA ini berkorelasi negatif dengan kerapatan akar halus atau bulu-bulu akar tanaman. Volume tanah yang dijelajah oleh akar tanaman tanpa FMA hanya sekitar 1-2 cm, sedangkan 1 cm akar tanaman ber FMA dapat menjelajahi 12-15 cm3 (6-15 kali). Pada tanah gambut hutan tropika ditemukan 5-39 hifa/ml tanah dan 0,03-0,089 biomas fungi/ g akar kering.
Universitas Sumatera Utara
Akibat perbesaran volume jelajah akar serap bermikoriza, keuntungan yang diperoleh tanaman menurut ikhtisar Hanafiah (2003)
dalam Hanafiah
(2005) meliputi: 1. Peningkatan daya serap air dan hara yang terutama yang relatif immobil seperti P, Cu, dan Zn juga yang relatif mobil seperti K, S, NH4+, dan Mo 2. Penurunan stress tanaman akibat infeksi patogen akar, kondisi tanah salin, kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta faktorfaktor yang merugikan lainnya 3. Peningkatan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah tidak subur, dan terhadap kemasaman tanah dan toksisitas Al, fe, dan Mn pada tanah masam 4. Peningkatan nodulasi dan daya fiksasi N2 oleh rhizobium pada simbiosis legum 5. Meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn 6. Merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi hormon seperti IAA (Indole acetit acid), sitokinin auksin dan giberelin, dan eksudasi asama-asam organik dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara 7. Mempercepat fase fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen dipercepat, serta meningkatkan daya survival tanaman pada awal penanaman 8. Berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah dalam agregasi tanah dan mengurangi erosi/ pelindian hara tanah
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan serapan P tanaman akibat adanya asosiasi tanaman oleh FMA terutama ada kaitannya dengan peningkatan volume jelajah akar serap tanaman sedangkan peningkatan kelarutan bentuk P tidak atau kurang larut (rock fosfat atau apatit atau ALPOA) menurut Mosse (1981) dalam Hanafiah (2005), diduga akibat adanya induksi FMA yang: 1. Mengubah pH rhizosfer ke 6,3 2. Meningkatkan eksudasi akar seperti anion poligalakturonat sitrat dan okasalat 3. Meningkatkan induksi aktifitas enzim fitase. Di samping itu FMA (Glomus mossea) 4. Merangsang aktifitas enzim akar fosfatase-alkalin dan asam pada tanaman gandum,
papaya, dan
kacang french
yang berkorelasi erat dengan
panjang hifa FMA Berdasarkan hasil penelitian Irwan et al., (2000), mikoriza arbuskula memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit manggis yang berumur 19 bulan. Bibit manggis yang mempunyai tinggi, jumlah daun, bobot kering yang lebih besar, ternyata memiliki serapan N dan P lebih tinggi. Peningkatan serapan hara akan menyebabkan peningkatan biomassa tanaman. Meskipun derajat infeksi yang terjadi pada akar cukup tinggi ternyata tidak dapat menjamin dapat memberikan hasil yang tinggi terhadap pertumbuhan serapan hara dan bobot kering. Hal ini disebabkan reaksi kompatibilitas, reaksi inkompatibiltas, serta keefektifan FMA sangat ditentukan oleh kombinasi cendawan dengan inang. Keefektifan suatu jenis FMA terhadap suatu jenis tanaman ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
kemampuannya menginfeksi akar dan membentuk hifa ekternal, serta dapat membantu meningkatkan absorbsi hara dan pertumbuhan tanaman. Menurut Mosse (1981) dalam Hanafiah (1995), pada tanaman padi pemberian FMA meskipun menurunkan 6,4 % bobot biomassa dari 31 g/ tanaman, tetapi meningkatkan 41,6 % bobot gabah (dari 8,9 g/tanaman) dan 288,9 % serapan P (dari 0,1%). Secara umum pada beberapa tanaman semusim terlihat bahwa pemberian FMA meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman 1,4-99 kali dan serapan P 1,4-3,9 kali dibanding tanpa FMA.
Universitas Sumatera Utara