TINJAUAN PUSTAKA Kersen (Muntingia calabura) Kersen berasal dari Amerika tropis dan banyak ditanam di kebun sebagai pohon peneduh. Kersen memiliki pohon yang kecil dengan tinggi 2-10 m. Rantingnya diselimuti rapat oleh rambut biasa yang halus dan oleh rambut kelenjar. Daunnya berseling, helaian daun tidak sama sisi, bulat telur bentuk lanset dengan ujung runcing bergerigi, berambut rapat terutama di bawah daun, lebarnya 4,5-14 kali 1,5-4 cm, tangkai daun pendek dan berambut seperti wol. Bunga berjumlah 1-3 menjadi satu di ketiak daun, berbilangan 5 dan berkelamin 2. Mahkota bunganya berbentuk bulat telur terbalik dan berwarna putih. Buahnya buni berwarna merah (Steenis, 2006). Taksonomi tumbuhan Muntingia calabura adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Superdivisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (Dikotil/berkeping dua)
Ordo
: Malvales
Famili
: Muntingiaceae
Genus
: Muntingia L.
Spesies
: M. calabura
Pohon kersen termasuk pohon yang tumbuh cepat dan dapat tumbuh subur di lahan marginal. Tumbuhan ini mampu melakukan penyerbukan sendiri secara spontan, mampu memproduksi buah dan biji dalam jumlah besar sepanjang tahun serta memiliki laju perkecambahan biji yang tinggi (Figueiredo et al., 2008). Daun kersen mengandung flavonoid, tanin, dan saponin (Zakaria et al., 2010).
Gambar 1. Daun Kersen (Muntingia calabura) Sumber : Smithsonian Tropical Research Institute (2003)
3
Saponin Saponin termasuk ke dalam golongan glikosida yang terdapat pada tanaman tinggi dan dapat menimbulkan buih bila dikocok. Glikosida adalah suatu senyawa yang bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Saponin memiliki rasa pahit atau getir dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Saponin berdasarkan struktur aglikonnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu saponin sterol (steroid) dan saponin triterpen (triterpenoid). Saponin sterol bila dihidrolisis akan membentuk senyawa sterol, sedangkan saponin triperten bila dihidrolisis akan membentuk senyawa triterpen (Sirait, 2007). Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan kesehatan ternak dengan kemampuannya sebagai agen defaunasi. Kemampuan saponin sebagai agen defaunasi dapat menyebabkan penurunan total populasi protozoa rumen (Suparjo, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa senyawa saponin asal tanaman yaitu teh (Hu et al., 2005) dan lerak (Suharti et al., 2010) dapat menekan pertumbuhan protozoa. CH3 H3C 17
17
CH3
3
3 HO
HO Gambar 2. Struktur Saponin Steroid
Gambar 3. Struktur Saponin Triterpenoid
Sumber: Sirait (2007)
Sumber: Sirait (2007)
Tanin Tanin disebut juga zat samak yang memiliki sifat dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait, 2007). Tanin merupakan polimer polifenolik yang dapat larut dalam air dengan berat molekuler yang relatif tinggi dan memiliki kemampuan untuk 4
membentuk senyawa kompleks dengan protein membentuk kelompok fenolik hidroksil yang besar. Tanin banyak terdapat pada hijauan pohon yang memiliki nutrisi baik, semak belukar, dan kacang-kacangan, buah-buahan serta biji-bijian. Tanin dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tanin terhidrolisa dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisa merupakan molekul kompleks dengan polyol sebagai intinya seperti glukosa, glusitol, asam quinic, quersitol, dan asam shikimic yang sebagian atau seluruhnya teresterifikasi dengan kelompok fenolik. Tanin terkondensasi merupakan sebagian besar dari polimer flavan-3-ol unit (epi)catechin dan (epi)gallocatechin yang berikatan dengan hubungan C4-C8 dan C4-C6 interflavoniod (Patra dan Saxena, 2010).
Catechin
Asam Gallic
Gallocatechin
Asam Ellagic
Gambar 4. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan Terhidrolisis (Asam Gallic dan Ellagic) Sumber: Patra dan Saxena (2010)
Pengaruh umum tanin terhadap ruminansia yaitu dapat menurunkan pemanfaatan nutrien secara in vivo terutama dalam pemanfaatan protein oleh ternak, menurunkan tingkat pertumbuhan ternak, menurunkan palatabilitas dan konsumsi atau menurunkan berbagai aktivitas enzim. Tanin dapat bersifat racun dan dapat mengakibatkan kematian jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (Makkar, 2003). 5
Mikroba Rumen Perut ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Rumen merupakan saluran fermentasi terbesar pada ruminansia yang di dalamnya terdapat beberapa jenis mikroba. Mikroba tersebut memiliki hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan tubuh inangnya (ruminansia). Mikroba rumen mendapatkan makanan dari pakan yang masuk ke saluran pencernaan inangnya, sementara mikroba tersebut membantu dalam mencerna pakan inangnya (Dehority, 2004). Mikroba rumen dibagi menjadi 4 kelompok utama yaitu bakteri, protozoa, jamur, dan bakteriophage atau virus. Disamping itu terdapat amoeba yang populasinya belum diketahui secara pasti (Soetanto, 2004). Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering, dan potensial oksidasi reduksi. Temperatur di dalam rumen relatif konstan yaitu 3840oC sedangkan pH normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan komposisisi rasio pakan normal (Dehority, 2004). Bakteri merupakan biomasa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen serta sekitar 30%-40% menempel pada partikel makanan. Bakteri rumen punya peran yang besar dalam membantu mencerna pakan (Soetanto, 2004). Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi di dalam rumen melalui hubungan simbiosis dan menghasilkan produk-produk yang khas seperti selulosa, hemiselulosa, dan pati melalui pencernaan polimer tumbuhan. Bakteri-bakteri tertentu yang bertanggung jawab terhadap proses fermentasi pregastric membentuk asetat, propionat, butirat, CO2, dan H2. Metanogen mempergunakan CO2, H2, dan format untuk membentuk metana. Beberapa spesies memproduksi amonia dan asam lemak terbang berantai cabang dari asam-asam amino tertentu. Beberapa organisme mengeluarkan urease untuk memecah urea sehingga menjadi amonia dan CO. Bakteri juga mensintesis vitamin-vitamin golongan B kompleks (Arora, 1989). Protozoa bersifat anaerob. Apabila kadar oksigen maupun nilai pH isi rumen tinggi, maka protozoa tidak dapat membentuk cyste untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang jelek, sehingga dengan cepat akan mati (Arora, 1989). Protozoa memiliki jumlah yang lebih sedikit daripada bakteri. Protozoa memiliki ukuran tubuh 6
lebih besar sehingga total biomasanya hampir sama dengan bakteri (McDonald et al., 2002). Jumlah protozoa dalam rumen sangat beragam menurut jenis makanan, umur, dan jenis hewan yang menjadi inangnya. Biasanya jumlah protozoa ciliata adalah 105 per ml pada makanan berserat kasar tinggi, namun jumlah ini meningkat menjadi 106 per ml pada adaptasi terhadap gula-gula terlarut (Arora, 1989). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa interaksi antara bakteri dan protozoa di dalam rumen lebih bersifat kompetitif. Protozoa memangsa bakteri yang terdapat pada cairan rumen dan mencernanya sebagai sumber asam amino bagi pertumbuhannya. Akibatnya populasi bakteri akan berkurang sehingga laju kolonisasi partikel makanan di dalam rumen akan berkurang juga (Soetanto, 2004). Setiap individu protozoa dapat memangsa bakteri dengan kecepatan antara 60-700 bakteri/protozoa/jam pada kondisi kepadatan bakteri 109 sel/ml (Arora, 1989). Pencernaan
bakteri
dalam
sel
protozoa
berkisar
antara
345–1200
bakteri/protozoa/jam. Populasi jamur rumen (zoospores) telah dilaporkan meningkat setelah defaunasi (menghilangkan protozoa dari rumen) yang dapat meningkatkan daya cerna serat kasar secara nyata 6-10 unit/24 jam. Disamping itu jumlah bakteri juga meningkat apabila protozoa dihilangkan dari rumen (Soetanto, 2004). Amonia (NH3) Seluruh protein yang terkandung dalam pakan akan dihidrolisa oleh mikroba rumen menjadi asam amino. Hidrolisa protein menjadi asam amino tersebut diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia. Sumber lain amonia adalah dari hidrolisa urea atau garam-garam amonium lain yang dapat berasal dari saliva maupun pakan (Arora, 1989). Proses metabolisme protein pada rumen ruminansia dapat dilihat pada Gambar 5. Amonia merupakan sumber nitrogen utama yang penting untuk sintesis protein mikroba. Bakteri yang mampu memanfaatkan amonia sebagai sumber energi disebut bakteri penitrifikasi (Dehorty, 2004). Menurut Arora (1989), amonia yang dibebaskan dari urea atau garam-garam amonium tersebut dapat menggantikan protein makanan sampai 50%. Amonia dibebaskan di dalam rumen selama proses fermentasi dalam bentuk ion NH4 maupun dalam bentuk tak terion sebagai NH3. Sebanyak 82% mikroba rumen dapat tumbuh dengan NH4+ sebagai sumber N dan 25% memerlukan NH4+ sebagai satu-satunya sumber N. Secara kuantitatif kadar 7
amonia dalam cairan rumen adalah penting karena pemakaian amonia oleh mikroba terus meningkat mencapai 5 mM (8,5mg/100 ml). Rumen Pakan
Protein
Protein tidak terdegradasi
Kelenjar Saliva
Non-protein N
Protein terdegradasi
Non-protein N
Peptida
Asam Amino
NH3
Hati NH3 Urea
Protein mikroba Ginjal Digesti di dalam usus halus Diekskresi melalui urin Gambar 5. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002)
Amonia yang dihasilkan dari proses hidrolisa protein tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, namun sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai akan dibawa ke hati yang diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin serta yang lain dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi amonia yang optimum dalam menunjang proses sintesis mikroba sangat bervariasi berkisar antara 6-21 mM. Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan amonia yaitu ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai energi untuk pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan sintesis protein oleh mikroba di dalam rumen. Pakan yang defisien akan protein atau 8
proteinnya tahan degradasi memiliki konsentrasi amonia yang rendah dalam rumen serta pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Volatile Fatty Acid (VFA) Karbohidrat yang terkandung dalam ransum pakan akan dipecah di dalam rumen ruminansia. Karbohidrat yang berbentuk polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Monosakarida tersebut seperti glukosa, difermentasi menjadi VFA (asam lemak terbang) berupa asetat, propionat dan butirat, serta gas CH4, dan CO2. Pati
Selulosa Maltosa
Selubiosa Glukosa-1-phosphat
Glukosa Glukosa-1-phosphat
Pektin
Isomaltosa
Sukrosa
Asam Uronat
Hemiselulosa
Pentosa
Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktan-1,6-diphosphat Asam Piruvat Format
CO2
Asetil CoA
H2
Laktan
Malonil
Asetoasetil
Laktil
CoA
CoA
CoA
β-Hidroksibutiril Akrilil
Metan
Asetil Phosphat
Oksaloasetat Metilmalonil CoA Malat
Fumarat
CoA
CoA
Propionil
Krotonil
Suksinat
Suksinil CoA
CoA
CoA Butiril CoA Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 6. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002)
9
VFA akan diserap melalui dinding rumen, sementara gas CH 4 dan CO2 akan hilang melalui proses eruktasi. Sekitar 75% dari produksi total VFA yang akan diserap langsung oleh retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% VFA diserap di abomasum dan omasum serta sekitar 5% diserap oleh usus halus (McDonald et al., 2002). Arora (1989) menyatakan bahwa VFA merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Glukosa pada ruminansia diabsorpsi dari saluran pencernaan dalam jumlah kecil, dan kadarnya di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous untuk keperluan fungsi-fungsi esensial jaringan tubuh. Produksi VFA cairan rumen berkisar antara 70-150 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi ternak (McDonald et al., 2002). Proses fermentasi karbohidrat pada rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 6. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh ternak. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Tingkat pencernaan merupakan fungsi waktu pencernaan dan waktu yang tersedia bagi pakan untuk dicerna. Absorpsi total neto pakan ditentukan oleh selisih antara yang masuk (inflow) dan yang keluar (outflow) pada setiap seksi saluran pencernaan. Kecernaan dapat dihitung dengan berbagai teknik. Salah satunya adalah teknik in vitro yang harus mirip dengan in vivo agar sedapat mungkin menghasilkan pola yang sama. Kadar substrat harus berkisar antara 0,5-0,15 gram per pakan hijauan sehingga cukup untuk menjalankan kecepatan fermentasi yang normal di dalam sistem pencernaan. Media harus mengandung sumber energi, namun di dalam evaluasi makanan hijauan sumber energi tersebut dihindari dan tidak ditambahkan ke dalam sistem. Substrat penting lainnya yang diperlukan dalam sistem in vitro ini adalah sumber nitrogen (Arora, 1989). Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage yang paling banyak digunakan untuk mengukur kecernaan secara in vitro. Tahap pertama dari metode ini adalah inkubasi dalam larutan buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob. Tahap kedua adalah pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam.
10