TINJAUAN PUSTAKA Dianthus chinensis L. Dianthus termasuk dalam tanaman dikotil dari family Caryophyllaceae (Bunt & Cockshull 1985). Famili Caryophyllaceae terdiri atas 80 genera dan 2000 spesies baik tanaman annual ataupun perennial, sebagian besar berbentuk herba yang tumbuh di belahan bumi bagian utara.
Genus Dianthus memiliki dua
kelompok yaitu carnation dan pinks. Di Indonesia carnation dikenal dengan nama anyelir, sedangkan pinks adalah nama lain dari species chinensis. Pada penelitian ini nama anyelir digunakan untuk memberi nama Dianthus chinensis agar lebih dikenal dibandingkan dengan nama pink. Anyelir komersial yang ada sekarang merupakan turunan dari spesies nenek moyang dari Dianthus caryophyllus, yang berasal dari Eropa bagian selatan dan Asia bagian barat (Mii et al. 1990). Berdasarkan informasi dari Germplasm Resources Information Network (GRIN), Dianthus chinensis berasal dari China (Gangsu, Henan, Qinghai, Shandong) dan India (Uttar Pradesh), dan Nepal. Daerah tumbuh anyelir adalah daerah subtropik yang terletak pada 30o LU atau LS yang beriklim sejuk. Di daerah tropik anyelir dapat ditanam di daerah pegunungan. Suhu optimum untuk pertumbuhan anyelir adalah 10–22oC. Suhu udara berperan penting dalam perkembangan masa generatif tanaman anyelir. Pada suhu tinggi bakal bunga akan berkembang lebih cepat, tetapi bunga yang dihasilkan kecil serta tangkainya kurus dan lemas (Hardjoko, 1999). Di Indonesia anyelir cocok ditanam di daerah dengan ketinggian di atas 1000 m dpl, yang pada malam hari suhu udara dapat mencapai di bawah 16 oC, sedangkan suhu pada siang hari dapat mencapai di bawah 30 oC. Suhu optimal untuk produksi serbuk sari yaitu 23 oC dan suhu di bawah 17
o
C akan
menghambat pembentukan stamen (Kho & Baer 1973). Sentra produksi bunga potong anyelir di Indonesia adalah Cipanas (Jawa Barat) dan Bandungan (Jawa Tengah) (Satsijati et al. 2004). Berdasarkan manfaatnya, Dianthus dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu annual carnations (bunga semusim yang biasanya digunakan sebagai bunga potong), border carnations (dikenal sebagai Dianthus liar atau clove pinks, biasanya berbentuk semak), dan perpetual flowering carnations (berbunga terusmenerus yang merupakan hasil persilangan interspesifik antara D. caryopillus dengan D. chinensis) (Anonim 2005). Berdasarkan pada periode tumbuh, tanaman
10 dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu semusim (6-12 months) dan dua musim/tahunan (2-4 tahun) (Crockett 1972). Pada umumnya anyelir tumbuh selama dua tahun dengan periode tanam 18-20 bulan (Salinger 1985). Dianthus chinensis atau lebih dikenal dengan nama Chinese pink, Indian pink, Japanese pink, Rainbow pink merupakan kerabat Dianthus caryophyllus yang telah digunakan sebagai materi pemuliaan untuk karakter-karakter unik seperti ketahanan terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang cepat, adaptasi luas, dan hasil yang tinggi (Tejaswini 2002). Dianthus chinensis termasuk tanaman biennial, bentuk tanaman semak, berasal dari Asia Timur. Bunga bervariasi dalam warna pink atau putih, dengan ujung zig-zag pada bagian tepi. Di Cina D. chinensis biasanya digunakan sebagai tanaman obat. Beberapa kultivar modern merupakan keturunan dari persilangan interspesifik antara D. caryophyllus dan D. chinensis atau kerabat lain (Mii et al. 1990). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van Putten (1990) spesies-spesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D. chienensis dan D. superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan untuk transfer karakter kegenjahan ke tanaman anyelir.
Dianthus chinensis
merupakan spesies yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang serta paling genjah di antara spesies yang lain. Persilangan antara D. caryophyllus dan D. chinensis menghasilkan varietas yang berbunga lebih awal dan terus menerus (Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990). Produksi Haploid dan Haploid Ganda Aspek yang penting dalam pemuliaan adalah induksi keragaman yang maksimum dari sumber plasma nutfah untuk efektifitas seleksi dan introduksi karakter yang lebih baik pada spesies tanaman yang ada. Sejak Bergener menemukan tanaman haploid pada Datura starmonium pada tahun 1921, pemulia tanaman mulai bekerja ekstensif untuk mendapatkan tanaman haploid baik secara in vivo maupun in vitro. Secara alami haploid muncul sebagai hasil dari parthenogenesis (Wedzony et al. 2009) Metode untuk mendapatkan tanaman haploid secara in vivo memiliki frekuensi keberhasilan yang rendah, sebaliknya menggunakan kultur antera atau polen secara in vitro dilaporkan telah menghasilkan tanaman haploid pada kirakira 250 spesies dan tanaman hibrid. Respon yang baik ditunjukkan pada tanaman terutama dari famili Solanaceae. Pada famili lain seperti Cruciferae, Graminae,
11 Ranunculaceae dan famili lainnya, memungkinkan untuk diinduksi juga melalui kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid . Teknik kultur antera pertama kali diperkenalkan oleh Guha dan Maheshwari (1964, 1966) pada Datura innoxia Mill, kemudian berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman (Maluszynski et al., 2003). Sifat totipotensi pada sel mikrospora berpengaruh terhadap diperolehnya tanaman haploid. Pada kondisi yang sesuai, perkembangan sel polen dapat diubah dari pembentukan polen (jalur gametofitik) ke pembentukan embrio (jalur sporofitik), tanaman haploid dan/atau haploid ganda (Supena, 2004). Tanaman haploid ganda terbentuk
akibat
terjadinya
penggandaan
spontan
atau
melalui
proses
penggandaan kromosom tanaman haploid.
Status Teknologi Haploid pada Anyelir Penelitian tentang haploidisasi tanaman anyelir (Dianthus caryophillus) masih jarang dilakukan. Penelitian androgenesis melalui kultur antera pada tanaman Dianthus sp sebagian besar melalui tahap kalus (Mosquera et al. 1999). Kultur antera pada anyelir pertama kali dilakukan oleh Mosquera et al. (1999), dan dihasilkan kalus embriogenik, tetapi hanya diperoleh satu planlet yang dapat diregenerasi dan tidak dijelaskan apakah diperoleh tanaman haploid atau haploid ganda. Perkembangan penelitian haploidisasi pada anyelir menjanjikan setelah Sato et al. (2000) mendapatkan tanaman haploid ganda melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar X sebagai sumber gamet jantan. Kemudian dengan metode yang sama Dolcet-Sanjuan et al. (2001) mendapatkan haploid ganda tanaman anyelir yang tahan terhadap Fusarium oxysporum f. sp. dianthi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar Gamma. Menurut Dolcet-Sanjuan et al. (2001), protokol untuk produksi tanaman haploid dan haploid ganda anyelir belum pernah dipublikasi. Hasil penelitian kultur antera Fu et al. (2008) menggunakan spesies dari Dianthus chinensis dikombinasikan dengan beberapa macam praperlakuan juga belum diperoleh hasil yang memuaskan. Hasil pengamatan sitologi dan histologi menunjukkan bahwa planlet yang diregenerasi berasal dari dinding antera. Dari perkembangan hasilhasil penelitian haploidisasi yang telah dilakukan ini, maka percobaan penelitian
12 yang akan dilakukan yaitu dengan mengkombinasikan prosedur-prosedur dari penelitian sebelumnya. Faktor yang mempengaruhi induksi haploid/haploid ganda Menurut Wedzony et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi induksi haploid/haploid ganda ialah (1) genotipe dari tanaman donor, (2) kondisi fisiologis tanaman donor (contoh pertumbuhan pada suhu lebih rendah dan pencahayaan yang tinggi), (3) tahap perkembangan serbuk sari dan ovul, (4) praperlakuan (contoh perlakuan suhu rendah pada bunga untuk dikultur, perlakuan panas pada kultur serbuk sari), (5) komposisi media kultur (termasuk perlakuan cekaman karbohidrat atau starvasi atau elemen makro diikuti dengan subkultur pada media regenerasi) dan (6) faktor fisik selama kultur (cahaya, suhu).
Induksi Haploid dan Haploid Ganda 1. Induksi in vitro haploid melalui Androgenesis Androgenesis ialah proses induksi dan regenerasi haploid dan haploid ganda yang berasal dari sel gamet jantan (Bohanec 2009, Wedzony et al. 2009). Metode ini banyak digunakan dan efektif pada beberapa spesies tanaman dan berpotensi untuk eksploitasi pada tanaman-tanaman komersial (Murovec & Bohanec 2012). Metode ini berdasar pada kemampuan serbuk sari dan serbuk sari yang belum masak mengubah lintasan perkembangannya dari gametofitik (pembentukan serbuk sari masak) ke sporofitik menghasilkan pembelahan sel pada level haploid diikuti pembentukan kalus atau embrio pada media kultur (Murovec & Bohanec 2012). Androgenesis dapat diinduksi dengan mengkultur antera yang belum masak secara in vitro. Metode yang digunakan sederhana dengan terdiri atas sterilisasi kuncup bunga diikuti dengan pemisahan antera pada kondisi aseptik. Antera diinokulasi pada media padat, semi padat atau media cair atau media dua lapis padat dan cair. Kultur antera merupakan teknik induksi haploid pertama yang ditemukan yang cukup efisien untuk tujuan pemuliaan tanaman (Maluszynski et al., 2003). Androgenesis dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik dan abiotik. Tahap perkembangan gamet jantan pada saat antera atau mikrospora diisolasi, dikombinasikan dengan perlakuan stress yang tepat merupakan faktor utama yang menentukan respon androgenetik (Murovec & Bohanec 2012).
13
2. Induksi in vitro haploid melalui Ginogenesis Induksi secara in vitro haploid maternal yang dikenal dengan ginogenesis merupakan lintasan lain untuk memproduksi embrio haploid dari gamet betina. Metode ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro bagian-bagian bunga yang tidak diserbuki, seperti ovul, plasenta di mana ovul melekat, ovari. Meskipun regeneran ginogenik menunjukkan stabilitas genetik yang lebih tinggi dan laju tanaman albino yang lebih rendah dibandingkan dengan regeneran androgenik, namun metode ginogenesis digunakan pada tanaman yang sulit diinduksi dengan metode lain seperti androgenesis dan metode penyerbukan lain (Bohanec 2009). Induksi ginogenesis menggunakan bagian bunga yang belum diserbuki telah berhasil pada beberapa tanaman seperti bawang, gula bit, mentimun, labu, gerbera, bunga matahari, gandum, barley dan lain-lain. Namun hanya bawang dan gula bit yang telah diaplikasikan dalam program pemuliaan (Murovec & Bohanec 2012). Kantong embrio yang masak berisi beberapa sel haploid seperti sel telur, sinergid, antipodal dan inti polar
yang tidak dibuahi,
secara teori mampu
membentuk embrio haploid. Pada kondisi optimal, sel telur di ovul pada spesies yang responsif mengalami perkembangan sporofitik dan dapat mengalami perkembangan menjadi tanaman haploid (Bohanec 2009). Pada tanaman bawang rata-rata frekuensi embrio yang dapat diinduksi bervariasi antara 0% (aksesi yang tidak respon) sampai 18,6-22% (aksesi yang sangat respon), di mana tanaman donor individu memproduksi lebih dari 51,7% embrio. Tingginya frekuensi produksi haploid diuji dalam dua tahun berturut-turut dan menunjukkan kestabilan dari tahun ke tahun (Bohanec & Jakse 1999). 3. Induksi in situ haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi Induksi haploid secara maternal dapat dilakukan dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi. Kemudian penyerbukan dapat diikuti dengan pembuahan sel telur dan perkembangan embrio, namun tahap selanjutnya inti paternal tereliminasi pada tahap awal embriogenesis atau permbuahan sel telur tidak terjadi (Murovec & Bohanec 2012).
14 Penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan metode lain untuk menginduksi haploid maternal menggunakan penyerbukan intraspesifik. Namun cara ini sangat rumit karena harus mengisolasi ovul yang telah distimulasi dengan polen yang dinonaktifkan dengan iradiasi sinar x atau sinar gamma, diikuti dengan penyelamatan embrio.
Perkembangan embrio distimulasi oleh
perkecambahan serbuk sari pada stigma dan pertumbuhan dari tabung serbuk sari di dalam stilus, meskipun serbuk sari yang telah diiradiasi tidak dapat membuahi sel telur. Metode ini telah berhasil dilakukan pada spesies-spesies tanaman buahbuahan, tanaman hias dan tanaman industri seperti kapas (Aslam 2000; Savaskan 2002; Murovec dan Bohanec 2012). Produksi haploid maternal dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi memerlukan pekerjaan emaskulasi, dan dalam kasus tertentu menunjukkan keterbatasan karena pengerjaannya yang memerlukan banyak tenaga. Selain itu dosis radiasi juga berpengaruh terhadap produksi tanaman haploid. Pada dosis yang rendah inti generatif hanya sebagian yang rusak sehingga masih mampu membuahi sel telur dan menghasilkan embrio yang banyak tetapi membawa karakter mutant. Peningkatan dosis iradiasi menyebabkan penurunan jumlah embrio, tetapi diperoleh regeneran yang sebagian besar haploid (Murovec dan Bohanec 2012). Fenomena yang muncul dalam kultur antera dan ovul secara in vitro Teknologi haploid dengan kultur antera dan kultur ovul (tanpa fertilisasi dan fertilisasi dengan serbuk sari yang dinonaktifkan) ditujukan untuk menghasilkan tanaman haploid. Mutasi mudah terjadi dalam kultur antera, dalam bentuk variasi somaklonal akibat dari aplikasi kultur jaringan secara in vitro. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro (Larkin & Scowcroft 1981) Dalam kultur antera sering timbul masalah seperti munculnya tanaman albino dan mutasi dengan frekuensi kejadian bervariasi tergantung tanaman donor dan kondisi kultur in vitro. Salah satu kejadian yang penting adalah metilasi yang tidak normal pada DNA tanaman hasil kultur jaringan. Metilasi merupakan proses penambahan group metil pada cincin sitosin oleh enzim methyltransferase (Antequera & Bird 1988). Studi pembungaan pada Arabidopsis melalui jalur vernalisasi melibatkan metilasi DNA yang mempengaruhi ekspresi gen. Gen FLC yang mengkode
15 protein MADS-box ialah gen yang berperan sebagai repressor pembungaan. Pada suhu dingin ekspresi gen sangat rendah dan terjadi demetilasi, sehingga proses pembungaan dapat berlangsung (Finnegan et al. 1998). Abormalitas juga terjadi pada penentuan identitas organ bunga yang terbentuk karena ketidakseimbangan dari kelompok gen identitas organ pembungaan yang terkait dengan model “ABC” dalam perkembangan bunga. Meristem pembungaan dibagi menjadi tiga kelompok aktivitas gen yang saling overlapping, yang setiap kelompok merupakan dua lingkaran (whorl) yang berdampingan. Kelompok gen A bekerja untuk perkembangan sepal dan petal. Ketidakhadiran APETALA1 (AP1) dan APETALA2 (AP2) menyebabkan sepal dan petal gagal berkembang, sehingga membentuk mutan ap1 dan ap2. Kelompok gen B bekerja untuk perkembangan petal dan stamen yang secara normal ditemukan pada lingkaran bunga ke 2 dan 3. Produk MADS-box gen APETALA3 (AP3), PISTILATA (PI) dan SEPALATA3 (SEP3) berinteraksi menentukan fungsi gen B dan mutan dari kedua gen ini ialah ap3, pi dan sep3. Sedangkan kelompok gen C untuk perkembangan stamen dan karpel yang ditemukan pada lingkaran bunga ke 3 dan 4. Aktivitas AGAMOUS (AG) dan SEPALATA3 (SEP3) berperan mencegah akumulasi dari RNA APETALA1 pada dua lingkaran bagian dalam (Goto 1996).