TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pinang Morfologi Pinang Pinang (Areca catechu LINN) merupakan tanaman yang satu keluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palempaleman. Menurut Sihombing (2000), sistematika tata nama pinang diuraikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monokotil
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae
Genus
: Areca
Spesies
: Areca catechu Menurut Sihombing (2000), ciri-ciri pinang adalah sebagai berikut:
1. Pohon tumbuh satu-satu, tidak berumpun seperti jenis palem umumnya 2. Batang lurus agak licin dengan tinggi dapat mencapai 25 m 3. Diameter batang atau jarak antar-ruas batang sekitar 15 cm 4. Garis lingkaran batang tampak jelas 5. Bentuk buah bulat telur, mirip telur ayam, dengan ukuran sekitar 3,5-7 cm serta berwarna hijau waktu muda dan berubah merah jingga atau merah kekuningan saat masak atau tua.
Universitas Sumatera Utara
Kegunaan Pinang Daun pinang mengandung minyak atsiri yang dapat mengobati gangguan radang tenggorokan, pangkal tenggorokan, dan pembuluh broncial. Pucuk daun muda yang rasanya pahit pun dapat dijadikan obat nyeri otot. Selain obat, daun pinang dapat dijadikan sebagai pupuk hijau. Pelepah pinang dapat dipakai sebagai bahan baku pembungkus makanan, kantong tempat ikan, serta alat permainan anak-anak. Menurut Sihombing (2000), batang pinang berguna sebagai bahan bangunan, jembatan dan saluran air. Tanamannya sendiri dapat dipakai untuk mencegah terjadinya erosi atau tanah longsor pada tanah-tanah longsor. Buah pinang mengandung sabut yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kuas gambar atau kuas alis mata. Sementara bijinya berguna untuk bahan makanan, bahan baku industri sperti pewarna kain, dan obat.
Kandungan Kimia Pinang Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang et al., 1996). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Menurut Panjaitan (2008), biji pinang rasanya pahit, pedas dan hangat serta mengandung 0,3 - 0,6%, alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine. Selain itu juga mengandung red
Universitas Sumatera Utara
tannin 15%, lemak 14% (palmitic, oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic acid), kanji dan resin. Biji segar mengandung kira-kira 50% lebih banyak alkaloid dibandingkan biji yang telah mengalami perlakuan. Arekolin selain berfungsi sebagai obat cacing juga sebagai penenang, sehingga bersifat memabokkan bagi penggunanya. Mengingat kandungan kimia tanaman pinang (alkaloid arekolin) mengandung racun dan penenang sehingga tidak dianjurkan untuk pemakaian dalam jumlah besar. Uji analisis laboratorium menunjukkan bahwa sabut pinang mengandung kadar selulosa 70,2%, air 10,92%, abu 6,02%. Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi (Fine, 2000). Fraksi flavonoid (flavonol, antosianin, flavan-3-ol, dan proantosianidin) dari ekstrak cranberry mampu menghambat pertumbuhan sel melalui G1 dan G2/M arrest serta mampu menginduksi
apoptosis
pada
sel
kanker
payudara
MDA-MB-435
(Ferguson et al., 2004). Sedangkan proantosianidin pada biji anggur memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan sel kanker melalui downregulasi ekspresi Bcl-XL (death inhibitor) sehingga dapat menginduksi apoptosis (Leigh, 2003). Hal ini memungkinkan aktivitas sitotoksik proantosianidin pada pinang juga melalui mekanisme yang sama.
Perekat Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Forest Product Society, 1999 dalam Ruhendi et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Blomquist, et al., (1983) dalam Ruhendi et al., (2007), berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component) perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1.
Adhesive of Natural Origin a. Berasal dari tumbuhan, misalnya starches (pati), dextrins (turunan pati), vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan). b. Blood (albumin dan darah utuh/keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian). c. Berasal dari material lain, seperti aspal, lak, karet, sodium silikat, magnesium oksiklorida dan bahan organik lainnya.
2. Adhesive of Synthetic Origin a. Thermoplastic resin adalah resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan seperti polyvinyl alcohol (PVA), polyvinyl acetate (PVAc), kopolimers, ester selulosa dan eter, poliamida, polistiren, polivinil butiral serta polivinil formal b. Thermosetting resin adalah resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula, seperti urea, melamin, phenol, resorsinol, furfuril alkohol, epoksi, poliuretan, poliester tidak jenuh. Untuk perekat urea, melamin, phenol, dan resorsinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (CH2O). Menurut Tano (1997), keadaan suatu perekat ditentukan oleh metode aplikasinya. Perekat cair pada umumnya lebih mudah dipergunakan, secara
Universitas Sumatera Utara
mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan rata akan tercapai, sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai sapuan (kuas) atau semprot (spray). Perekat Likuida Salah
satu
teknologi
pembuatan
perekat
dengan
memanfaatkan
sumberdaya alam adalah teknologi yang telah dikembangkan oleh Pu et al., (1991), yaitu dengan mengkonversi serbuk kayu dengan proses kimia sederhana yang disebut dengan proses liquifikasi kayu. Perekat alternatif ini dapat mengatasi kebutuhan perekat yang akan semakin meningkat saat ini, selain juga dapat mengurangi biaya produksi, karena perekat sintetis yang ada saat ini relatif mahal. Menurut Yoshioka et al., (1992), maksud dari istilah liquefaction of lignocellulosic adalah suatu prosedur untuk memproduksi minyak dari biomassa dalam kondisi konversi tertentu. Likuifikasi lignoselulosa dapat dilakukan pada suhu 240-270oC dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (untuk kayu termodifikasi kimia). Likuifikasi kayu termodifikasi kimia dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu likuifikasi dari kayu teresterifikasi, penggunaan pelarut polihidrat alkohol (solvolisis) dan post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia. Menurut Yamada dan Ono (2003), penggunaan sumberdaya biomassa yang efektif akhir-akhir ini telah mendapatkan perhatian yang lebih dan merupakan poin yang penting dalam kegiatan perlindungan lingkungan. Namun demikian sejumlah besar limbah berlignoselulosa seperti serbuk gergaji, limbah kertas dan kulit masih banyak dijumpai tak termanfaatkan atau bermasalah terhadap lingkungan. Salah satu teknik untuk memanfaatkan limbah tersebut
Universitas Sumatera Utara
adalah dengan melakukan proses likuifikasi (liquefaction), yaitu teknik untuk mengkonversi bahan-bahan berlignoselulosa menjadi bahan-bahan cair (likuida) yang bermanfaat. Yamada dan Ono (2003) menyatakan bahwa likuifikasi untuk menghasilkan minyak bakar ini ternyata membutuhkan sejumlah energi yang besar namun produk likuida yang dihasilkannya tidak begitu banyak. Sedangkan yang menjadi masalah pada perekat likuida kayu adalah warna hitam yang dihasilkannya, karena warna perekat termasuk faktor yang dapat mempengaruhi penampilan kayu yang direkat. Warna perekat yang hitam menyebabkan timbulnya noda pada permukaan produk yang dihasilkan seperti noda pada permukaan kayu lapis sehingga akan terlihat sebagai cacat. Perekat likuida dari sabut pinang diuji dengan metoda SNI 06-4567-1998 dalam hal: kenampakan, pH, kekentalan, berat jenis dan waktu gelatinasi. Adapun karakteristik perekat likuida antara lain: 1. Kenampakan Warna perekat dari beberapa limbah non kayu adalah merah-coklat kehitaman yang disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya. Menurut Pu et al., (1991), perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna hitam. 2. Derajat keasaman Keasaman perekat likuida berkisar antara 8,04-8,40, yang berarti likuida non kayu bersifat basa. Sifat ini disebabkan adanya penambahan NaOH 40% ke dalam perekat setelah pemasakan dan pendinginan sesaat. Sifat yang demikian
Universitas Sumatera Utara
diperlukan untuk memperpanjang waktu simpan perekat likuida, karena pH tinggi akan memperlambat proses curing. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida dengan kayu akan lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat menjadi rusak (Ruhendi et al., 2007). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar antara 10-13. 3. Kekentalan (viskositas) Sifat kekentalan perekat merupakan sifat yang penting dalam perekatan. Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan kayu akan semakin sulit. Namun jika kekentalan perekat terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi perekat ke dalam permukaan kayu yang berlebihan dan menyebabkan miskinnya garis rekat yang terbentuk. Menurut SNI 06-4567-1998, viskositas perekat berkisar antara 130300 cps. 4. Berat jenis Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di dalam perekat. Berat jenis semua perekat likuida dari limbah non kayu lebih rendah dari berat jenis perekat phenol formaldehid menurut SNI 06-4567-1998, yaitu sebesar 1,165-1,200. Berat jenis perekat likuida sabut kelapa mengalami penurunan setelah diencerkan dengan air destilata. 5. Kadar padatan Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena
Universitas Sumatera Utara
semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu pada saat perekatan (Vick, 1999 dalam Ruhendi et al., 2007). 6. Waktu gelatinasi Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Menurut Ruhendi (2008), waktu gelatinasi perekat likuida kenaf dan bambu adalah >60 menit, sedangkan waktu gelatinasi perekat likuida sabut kelapa adalah >30 menit.
Waktu gelatinasi dari ketiga perekat
tersebut sesuai dengan SNI 06-4567-1998 yaitu 30 menit, dengan semakin lamanya waktu gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur simpan perekat akan semakin lama. Hasil penelitian Widiana (1998) melaporkan bahwa perekat likuida kayu sengon dibuat dengan metode Pu et al., (1991) memiliki ciri-ciri: pH (0,12); berat jenis (1,166); kadar padatan (52%); kekentalan (1,8 poise); warna hitam dan waktu gelatinasi (3,5 menit) mendekati sifat perekat phenol formaldehida. Penelitian Widiyanto (2002) menunjukkan bahwa likuida kayu karet dan bambu tali memiliki ciri-ciri: pH (< 1), kekentalan (2 poise), kadar padatan (91%), berat jenis (1,153) dan waktu gelatinasi pada 90oC (9 menit). Khusus mengenai likuida tandan kosong kelapa sawit (TKKS) secara berturut-turut telah dicoba dibuat oleh Setiawan (2004) dan Masri (2005) dalam Ruhendi et al., (2007), dan telah diuji coba penggunaanya untuk papan partikel TKKS oleh Setiawan (2004), Jatmiko (2005) dan Mulyani (2006) dalam Ruhendi et al., (2007). Sifat fisik dan mekanis papan partikel belum sepenuhnya memenuhi
Universitas Sumatera Utara
persyaratan SNI, tetapi dari tingkat emisi formaldehida sangat baik, karena jauh di bawah ambang batas yang diperkenankan. Pu et al., (1991) menyatakan bahwa tingginya kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan perekat yang terlalu tinggi ini dapat dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan. Kadar padatan perekat likuida kenaf, bambu dan sabut kelapa lebih rendah dari SNI 06-4567-1998 yaitu 40-45%. Ketiga bahan tersebut memiliki kerapatan yang rendah, sehingga akan menghasilkan likuida dengan kadar padatan yang rendah juga. Sedangkan perekat likuida lainnya kayu damar, meranti dan pinus dengan filler tepung sekam telah dicobakan untuk membuat kayu lapis meranti, tetapi lain halnya dengan perekat likuida kayu damar dan pinus dengan penambahan filler tepung sekam sampai 10% memadai untuk membuat kayu lapis meranti eksterior II (Sahriawati, 2000). Menurut Ruhendi et al., (2007), likuifikasi, kayu termodifikasi kimia, dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu: a. Likuifikasi dari kayu teresterifikasi Berikut adalah dua penelitian mengenai likuifikasi kayu teresterifikasi: 1. Kayu yang diesterifikasi dengan serangkaian asam alifatik, dapat dilikuifikasi dalam benzil eter, stiren oksida, phenol resorsinol, benzaldehida, larutan phenol, campuran kloroform-dioksan dan campuran benzene-aseton setelah perlakuan pada suhu 200-270oC selama 20-150 menit (Yoshioka et al., 1992, dalam Ruhendi et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
2. Carboxymethylated wood, allylated wood dan hydroxyethylated wood dapat dilikuifikasi dalam phenol (atau larutannya), resorsinol (atau larutannya) dan formalin, setelah perendaman atau pengadukan pada suhu 170oC selama 30-60 menit (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). b. Penggunaan pelarut polihidrat alkohol (solvolisis) Allylated wood, methylated wood, ethylated wood, hydroxyethylated wood dan acetylated wood dapat dilarutkan dalam polihidrat alkohol seperti 1,6 hexanediol, 1,4-butanediol, 1,2-ethanediol, 1,2,3-propantriol (glycerol), dengan adanya katalis yang sesuai pada suhu 80oC selama 30-150 menit. Tiap reaksi tersebut menyebabkan lepasnya fraksi alkohol (alkoholisis) dari makromolekul lignin (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007) c. Post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia Kayu termodifikasi kimia yang diklorinasi akan meningkat kelarutannya dalam pelarut. Pada suhu ruang, hanya 9,25% cyanoethylated wood dapat dilarutkan dalam o-cresol. Namun setelah reaksi klorinasi, hampir seluruh cyanoethylated wood tersebut dapat larut dalam o-cresol, pada suhu ruang (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007) Likuifikasi kayu tanpa perlakuan pendahuluan dapat terjadi dengan cara: a. Perlakuan pada suhu di atas 250oC selama 15-180 menit, dalam pelarut phenol, bisphenol, alkohol, polihidric alcohol, oxyethers, diethylene glycol, triethylene glycol, polyethylene glycol, 1,4-dioxane, cyclohexanone, diethyl ketone, ethyl n-propyl ketone (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
b. Perlakuan pada suhu 150oC, tekanan atmosfir, dengan katalis phenolsulfonic acid dan sulfuric acid (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut phenol, bisphenol dan polihidrik alkohol, serta dikombinasikan dengan penggunaan croos-linking agent atau hardeners, menghasilkan resin (phenol formaldehid resin, poliuretan resin, epoksi resin dan lain-lain) dengan daya rekat yang baik (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). Likuifikasi kayu tanpa perlakuan akan menghasilkan resol-type phenol resin. Penelitian yang telah dilakukan adalah: a. Kayu dilarutkan dalam phenol pada suhu 150oC dengan katalis phenolsulfonic acid (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). b. Lima bagian chips kayu dilarutkan dalam dua bagian phenol pada suhu 250oC tanpa katalis (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). Resol-tipe phenol resin yang dihasilkan dapat memberikan hasil perekatan tahan air yang memuaskan bila dilakukan pengempaan panas pada suhu 120oC dan kecepatan 0,5 menit per 1mm kayu lapis (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). Metode pembuatan perekat dari biomassa mengandung lignin (Russel dan Riemath, 1985 US Patent dalam Ruhendi et al., 2007). a. Mempersiapkan liquefaction oil dari material tanaman yang mengandung lignin, dengan memanaskannya pada suhu 290-350oC, selama 15-60 menit pada tekanan antara 1.500 psi, dengan keberadaan air sebanyak 60-80% berat dan katalis alkali.
Universitas Sumatera Utara
b. Mereaksikan liquefaction oil dengan dietil eter, sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut pertama. c. Fraksi terlarut pertama kemudian direaksikan dengan basa lemah (larutan NaHCO3) sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut kedua. d. Fraksi tidak terlarut kedua direaksikan dengan basa kuat (larutan NaOH) sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut ketiga. e. Fraksi terlarut ketiga direaksikan dengan asam (HCl) sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut keempat. f. Fraksi tidak terlarut keempat direaksikan dengan dietil eter sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut kelima. g. Fraksi terlarut kelima ditambahkan air sehingga menghasilkan fraksi terlarut yang disebut dengan fraksi fenolik dari liquefaction oil. h. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian fraksi fenolik, 1.330 bagian formaldehida 37%, 660 bagian air dan 460 bagian NaOH. i. Panaskan campuran tersebut pada suhu 70-80oC selama 6 jam sehingga diperoleh resin phenol formaldehida. j. Campurkan
(dengan
perbandingan
berat),
100
bagian
resin
phenol
formaldehida, 3 bagian tepung kulit kayu, 6 bagian NaOH 50% dan 3 bagian aqueous Na2CO3. Panaskan campuran tersebut pada suhu 60oC selama 0,5 jam sehingga diperoleh perekat.
Universitas Sumatera Utara