BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat Tumbuhan jintan hitam (Nigella sativa L.) merupakan salah satu spesies dari genus Nigella yang memiliki kurang lebih 14 spesies tanaman yang termasuk dalam famili Ranunculaceae (Widyaningrum, 2012). Jintan hitam juga dikenal dengan nama daerah jinten hitam pahit, sedangkan nama asingnya black cumin (Inggris), habbatussauda (Arab), kalonji (India) (Mahendra, 2008). 2.1.2 Morfologi Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak belukar dengan ketinggian 50 cm. Tanaman ini memiliki batang tegak dan berusuk, daunnya berbentuk lanset dan bergaris dengan panjang 1,5 sampai 2 mm. Ujungnya runcing serta memiliki tiga tulang daun yang berbulu (Rahmi, 2011). Bunga jintan hitam memiliki lima buah kelopak bunga yang berbentuk bulat telur, pangkalnya mengecil membentuk sudut yang pendek (Widyaningrum, 2012), ujungnya agak runcing sampai agak tumpul serta memiliki benang sari yang tergolong banyak (Depkes, 1979). Buah jintan hitam berbentuk bulat panjang dan berwarna coklat kehitaman, biji kecil bersudut tiga sampai empat tidak beraturan, panjangnya 1,5 sampai 2,5 mm dan lebar lebih kurang 1 mm, permukaan luar berwarna
Universitas Sumatera Utara
hitam kecoklatan, hitam kelabu sampai hitam, kasar dan berkerut (Widyaningrum, 2012; Depkes, 1979). 2.1.3 Sistematika tumbuhan Menurut Widyaningrum (2012) tanaman jintan hitam (Nigella sativa L.) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ranunculales
Famili
: Ranunculaceae
Genus
: Nigella
Spesies
: Nigella sativa L.
2.1.3 Kandungan kimia Kandungan kimia biji Nigella sativa L. adalah saponin, polifenol (Hutapea, 1994), alkaloida, steroida dan flavonoida (Liu, et al., 2011). Kandungan kimia lainnya adalah protein, karbohidrat dan asam lemak esensial. Disamping itu terdiri dari asam linoleat, asam oleat, kalsium, kalium, besi, seng, magnesium, selenium, natrium, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, niasin, vitamin C . Argin (untuk pertumbuhan bayi), 15 asam amino termasuk delapan dari sembilan asam amino utama dan serat (Mahendra, 2008), karoten yang akan diubah oleh hati menjadi vitamin A yang dikenal berfungsi sebagai antikanker (Ahmad, et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Alkaloida Alkaloida adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan dialam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuhtumbuhan yang tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan pada sebagian besar alkaloid atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006). Menurut Harborne, alkaloida adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik. Disamping itu alkaloida dapat didefinisikan sebagai suatu senyawa yang mengandung nitrogen, bersifat basa, terdapat pada tanaman dalam jumlah yang relatif kecil dan mempunyai aktivitas farmakologi. Pengertian ini terlalu luas, karena tidak semua senyawa yang mengandung nitrogen merupakan alkaloida. Protein, klorofil, asam amino misalnya bukanlah alkaloida walaupun mengandung nitrogen. Hegnauer memberikan batasan bahwa alkaloida adalah senyawa bersifat toksik yang bekerja terhadap sistem syaraf pusat, bersifat basa, mengandung nitrogen heterosiklik, disintesa dalam tumbuhan dari asam amino atau turunannya dan umumnya tersebar pada tumbuh-tumbuhan (Farnsworth, 1966). Klasifikassi alkaloida menurut Hegnauer (Farnsworth, 1966) adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Alkaloida Sejati Alkaloida ini dibentuk atau berasal dari asam amino yang umumnya mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan kebanyakan bersifat basa seperti vinkristina dan reserpina, kecuali kolkisina yang tidak mempunyai cincin heterosiklik dan tidak bersifat basa.
O
O
O N O
N O
O
OH
O HN
N
Gambar 2.1 Struktur alkaloida vinkristina
O
N H
H3CO N H
H
OCH3
O
OCH3
H COOCH3
OCH3
OCH3
Gambar 2.2 Struktur alkaloida reserpina
Universitas Sumatera Utara
O
N
H3C
CH3 C
H3C O
H3C
O O O H3C
Gambar 2.3 Struktur alkaloida kolkisina 2. Protoalkaloida Alkaloida ini dibentuk dari asam amino, tetapi unsur nitrogennya tidak terikat pada cincin heterosiklik dan bersifat basa. Contohnya meskalina dan efedrin. NH2
O CH3 CH3 O O CH3
Gambar 2.4 Struktur alkaloida meskalina OH CH3
HN CH3
Gambar 2.5 Struktur alkaloida efedrin
Universitas Sumatera Utara
3.
Pseudoalkaloida Alkaloid ini merupakan alkaloida bukan turunan asam amino, pada umumnya mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan biasanya bersifat basa. Alkaloida yang penting dari golongan ini adalah alkaloida golongan purina seperti kafeina. N
H N
N N
Gambar 2.6 Struktur alkaloida golongan purin O
N
N
O
N
N
Gambar 2.7 Struktur alkaloida kafeina Menurut Evans (2009), pembagian alkaloida berdasarkan letak atom nitrogen adalah: A. Non heterosiklik atau atipikal alkaloida, disebut juga protoalkaloida atau amin biologis misalnya efedrina yang terdapat dalam Ephedra distachya. B. Heterosiklik atau tipikal alkaloida yang dibagi kedalam 12 grup berdasarkan struktur cincinnya, yaitu: 1. Alkaloida golongan pirol dan pirolidina, contohnya higrina pada tumbuhan Erythroxylon coca.
Universitas Sumatera Utara
H N
Gambar 2.8 Struktur alkaloida golongan pirol H N
Gambar 2.9 Struktur alkaloida golongan pirolidin CH3 N
H2 C
C
CH3
O
Gambar 2.10 Struktur alkaloida higrina 2. Alkaloida golongan pirolizidina, contohnya retronesina pada Crotalaria retusa. N
Gambar 2.11 Struktur alkaloida golongan pirolizidina HO OH N
H
Gambar 2.12 Struktur alkaloida retronesina
Universitas Sumatera Utara
3. Alkaloida
golongan piridina dan piperidina, contohnya nikotin
pada tumbuhan Nicotiana tabaccum dan koniin pada tumbuhan Conium maculatum. N
Gambar 2.13 Struktur alkaloida golongan piridina
N N
CH3
Gambar 2.14 Struktur alkaloida nikotina H N
Gambar 2.15 Struktur alkaloida golongan piperidina
H2 C N H
C H2
CH3
Gambar 2.16 Struktur alkaloida koniin 4.
Alkaloida golongan tropan, contohnya atropin pada tumbuhan Atropa belladonna.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 Struktur alkaloida tropan O HO
H3C
OCCH
CH3 N
Gambar 2.18 Struktur alkaloida atropin 5. Alkaloida isokuinolina, contohnya papaverina pada tumbuhan Papaver somniferum. N
Gambar 2.19 Struktur alkaloida golongan isokuinolina H3CO
N H3CO OCH3
OCH3
Gambar 2.20 Struktur alkaloida papaverina
Universitas Sumatera Utara
6. Alkaloida
golongan
kuinolizidina,
contohnya
sitisina
pada
tumbuhan Cytisus scoparius. N
Gambar 2.21 Struktur alkaloida golongan kuinolizidina H NH
N H O
Gambar 2.22 Struktur alkaloida sitisina 7. Alkaloida golongan kuinolina, contohnya kuinina pada tumbuhan Cinchona ledgeriana. N
Gambar 2.23 Struktur alkaloida golongan kuinolina
HO
CH
CH2
CH N OH3C
Gambar 2.24 Struktur alkaloida kuinina
Universitas Sumatera Utara
8. Alkaloida golongan indol, contohnya reserpina pada tumbuhan Rauwolfia serpentina. H N
Gambar 2.25 Struktur alkaloida golongan indol
O
N
OCH3
H
H3CO N H
H
O
OCH3
H COOCH3
OCH3
OCH3
Gambar 2.26 Struktur alkaloida reserpina 9. Alkaloida golongan aporfina, contohnya morfina pada tumbuhan Papaver somniferum.
N
Gambar 2.27 Struktur alkaloida golongan aporfina
Universitas Sumatera Utara
10. Alkaloida
golongan
imidazol,
contohnya
pilokarpina
pada
tumbuhan Pilocarpus jaborandi. H N
N
Gambar 2.28 Struktur alkaloida golongan imidazol CH3 N CH3 N
O O
Gambar 2.29 Struktur alkaloida pilokarpina 11. Alkaloida golongan purina, contohnya kafeina pada tumbuhan Coffea arabica. N
H N
N N
Gambar 2.30 Struktur alkaloida golongan purina O
N
N
O
N
N
Gambar 2.31 Struktur alkaloida kafeina
Universitas Sumatera Utara
12. Alkaloida golongan steroida, contohnya solanidina pada tumbuhan Solanum tuberosum.
Gambar 2.32 Struktur alkaloida golongan steroida H3C CH3
CH3
N CH3
HO
Gambar 2.33 Struktur alkaloida solanidina Fungsi alkaloida dalam tumbuhan belum diketahui secara pasti, kemungkinan berfungsi sebagai penarik atau penghalau serangga, ataupun dapat bersifat sebagai zat pengatur tumbuh. Namun dari hasil pengamatan ternyata sebagian besar tumbuhan dapat melangsungkan kehidupan tanpa melibatkan alkaloida. Hal ini menunjukkan bahwa alkaloida dalam tumbuhan tidak begitu penting peranannya dan belum dapat dimengerti jelas (Harborne, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Alkaloida yang telah diisolasi berbentuk kristal dengan titik lebur tertentu. Beberapa diantaranya berbentuk amorf dan sebagian kecil berbentuk cair seperti nikotina dan koniina. Kebanyakan alkaloida tidak berwarna, tetapi alkaloida yang berstruktur kompleks dan mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi kebanyakan berwarna, misalnya: berberina berwarna kuning, betanina berwarna merah. Alkaloida dalam bentuk basa bebas umumnya larut dalam pelarut organik (Cordell, 1981). Sifat alkaloida yang paling umum adalah basa lemah, kebasaan dari alkaloida ini bergantung pada ketersediaan pasangan elektron sunyi dari nitrogen (Cordell, 1981). Bila gugus fungsi yang berdekatan dengan nitrogen bersifat sebagai penolak elektron, seperti gugus alkali, maka ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan bertambah, mengakibatkan alkaloida bersifat lebih basa. Sebaliknya bila gugus fungsi yang melekat pada nitrogen bersifat sebagai penarik elektron, seperti gugus karbonil maka ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan berkurang, mengakibatkan alkaloida bersifat netral bahkan sedikit bersifat asam (Lenny, 2006). Sifat kebasaan alkaloida sangat berpengaruh terhadap kestabilannya. Alkaloida dapat terurai oleh pengaruh oksigen, panas dan cahaya. Penguraian alkaloida selama atau setelah isolasi dapat menjadi masalah yang serius jika disimpan dalam waktu lama. Pembentukan garam dengan asam organik seperti tartrat, sitrat atau asam anorganik seperti asam klorida, asam sulfat dapat mengurangi penguraian alkaloida (Cordell, 1981).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Glikosida Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Glikosida dihidrolisis dengan cara pendidihan dalam asam encer. Secara kimia dan fisiologi, glikosida alam cendrung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995). Berdasarkan hubungan ikatan antara glikon dan aglikonnya, glikosida dapat dibagi menjadi empat (Farnsworth, 1966) yaitu: 1. O-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom O, contohnya: salisin CH2OH O C6H11O5
Gambar 2.34 Struktur salisin 2. S-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom S, contohnya: sinigrin
NOSO3K CH2
CHCH2C
S
C6H11O5
Gambar 2.35 Struktur sinigrin
Universitas Sumatera Utara
3. N-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom N, contohnya: krotonosida NH2 N
N
OH
N
N
C5H9O4
Gambar 2.36 Struktur kronotosida 4. C-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom C, contohnya: barbaloin OH
O
OH
CH2OH H
C6H11O5
Gambar 2.37 Struktur barbaloin 2.2.3 Saponin Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat, dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air, pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1995). Uji saponin yang sederhana ialah dengan mengocok ekstrak alkohol air dari tumbuhan dalam tabung reaksi, maka akan terbentuk busa yang bertahan lama pada permukaan cairan (Harborne, 1987). Saponin juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan kemampuannya menghemolisis sel darah dan memberikan reaksi warna yang karakteristik pada uji Liebermann-Burchard (Farnsworth, 1966). Berdasarkan bagian glikonnya dikenal dua jenis saponin, yaitu saponin steroida dan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966). H3C
O CH3
CH3
CH3
O
HO
Gambar 2.38 Struktur sapogenin steroida
COOH
HO
Gambar 2.39 Struktur sapogenin triterpenoida 2.2.4 Triterpenoida/steroida Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isopren dan secara biosintesis dibuat dari senyawa hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.40 Struktur skualena Steroida merupakan triterpen yang mempunyai inti siklopentano perhidrofenantren (Harborne, 1987). Inti steroida dasar sama dengan inti kolesterol, tetapi pada posisi 10 dan 13 terdapat gugus metal yang terikat pada sistem cincin. Pada umumnya steroida tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3 sehingga steroida sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). 22
21 18 12
20
23
17
24
11 19 1
9
2
13
16
14
15
26 25 27
8
10
7
3
5 4
6
Gambar 2.41 Struktur inti steroida
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Flavonoida Flavonoida merupakan salah satu metabolit sekunder. Keberadaannya dalam daun kemungkinan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoida (Markham, 1988). Senyawa flavonoida mempunyai struktur C6-C3-C6. Tiap bagian C6 merupakan cincin benzena yang dihubungkan oleh atom C3 yang merupakan rantai alifatik (Sastrohamidjojo, 1996; Markham, 1988). Flavonoida umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosida. Flavonoida terdapat dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai glikosida. Glikosidanya larut dalam air dan etanol tapi tidak larut dalam pelarut organik, sedangkan geninnya (aglikon) tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut-pelarut organik. Klasifikasi flavonoida dalam tumbuhan berdasarkan sifat kelarutannya dan reaksi-reaksi warnanya, kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kertas satu dimensi dari ekstrak terhidrolisis dan dua dimensi dari ekstrak alkohol langsung. Kerangka dan skema pemberian nomor dan tipe-tipe flavonoiida adalah sebagai berikut: 8
2
1 O
3
2
7
3
6
4 6
5
4
5 O
Gambar 2.42 Struktur flavonoida golongan flavon
Universitas Sumatera Utara
O
OH O
Gambar 2.43 Struktur flavonoida golongan flavonol O
O
Gambar 2.44 Struktur flavonoida golongan isoflavon
O
O
Gambar 2.45 Struktur flavonoida golongan flavonon O
OH O
Gambar 2.46 Struktur flavonoida golongan flavononol
Universitas Sumatera Utara
O CH
O
Gambar 2.47 Struktur flavonoida golongan auron
O
Gambar 2.48 Struktur flavonoida golongan khalkon OH OH
HO
O
OH OH
Gambar 2.49 Struktur flavonoida golongan katekin O
OH HO
OH
Gambar 2.50 Struktur flavonoida golongan leukoantosianidin
Universitas Sumatera Utara
O+
OH
Gambar 2.51 Struktur flavonoida golongan antosianidin 2.2.6 Tanin Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein (Harbone, 1987). Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1987) yaitu : 1. Tanin terkondensasi Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. 2. Tanin terhidrolisis Terdiri dari dua kelas yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Depsida galoil glukosa Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. b. Dimer asam galat Inti
molekul
berupa
senyawa
dimer
asam
galat,
yaitu
asam
heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Tanin terhidrolisis disebut juga elagitanin yang pada hidrolisis menghasilkan asam galat.
2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkann ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut ada beberapa cara, yaitu (Depkes, 2000): 1. Cara dingin a. Maserasi Maserasi
adalah
proses
pengekstrakan
simplisia
dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat akhir yang tidak larut, karena
Universitas Sumatera Utara
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan diluar sel maka larutan terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Maserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna pada suhu kamar. Proses perkolasi terdiri tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya, terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 2. Cara panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur yang mencapai titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. b. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
Universitas Sumatera Utara
ekstraksi berulang-ulang dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. c. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan yang berulang-ulang pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. d. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air, dilakukan pada suhu 96-98°C selama 15 - 20 menit. e. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air.
2.4 Kromatografi Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan proses migrasi dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Depkes, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan; jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Karena fase gerak dapat berupa zat cair atau gas maka terdapat empat macam sistem kromatografi, yaitu: 1. Fase gerak cair-fase diam padat (kromatografi serapan): − kromatografi lapis tipis − kromatografi kolom 2. Fase gerak gas-fase diam padat: − kromatografi gas padat 3. Fase gerak cair-fase diam cair (kromatografi partisi): − kromatografi kertas 4. Fase gerak gas –fase diam cair: − kromatografi gas-cair Pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1991). 2.4.1 Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi adsorpsi (serapan), dimana sebagai fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut dengan larutan pengembang (Gritter, dkk., 1991).
Universitas Sumatera Utara
Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan (Gritter, dkk., 1991) yaitu: 1. Sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif (analitik) dan kuantitatif (preparatif). 2. Untuk mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom. Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang terbuat dari kaca atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat. Beberapa contoh fase diam yang digunakan untuk pemisahan dalam kromatografi lapis tipis yaitu silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa (Gritter, dkk., 1991). Pada kromatografi lapis tipis lapisan fase diam harus sesedikit mungkin mengandung air, karena air akan menempati semua titik penyerapan sehingga tidak akan ada senyawa yang melekat. Oleh karena itu, sebelum digunakan plat kromatografi lapis tipis perlu diaktifkan dengan pemanasan pada 1100C selama 30 menit (Gritter, dkk., 1991; Stahl, 1985) Fase gerak terdiri dari satu atau beberapa pelarut dan bila diperlukan dapat menggunakan sistem pelarut multi komponen, berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen. Pada pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campuran, tujuannya untuk memperoleh polaritasnya yang tepat sehingga diperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut berdasarkan atas polaritas masing-
Universitas Sumatera Utara
masing pelarut sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok (Stahl, 1985). Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf (Stahl, 1985). Rf =
jarak titik pusat bercak dari titik awal
jarak garis depan fase gerak dari titik awal
Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Harga Rf berada antara 0,00 – 1,00. Harga Rf ini sangat berguna untuk mengindentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 1991): 1. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan 2. Sifat penyerap 3. Tebal dan kerataan lapisan penyerap 4. Pelarut dan derajat kemurniannya 5. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana 6. Teknik percobaan 7. Jumlah cuplikan yang digunakan 8. Suhu 2.4.2 KLT Preparatif Salah satu metode pemisahan senyawa bahan alam yang memakai peralatan yang paling dasar ialah kromatografi lapis tipis preparatif. KLT preparatif dapat memisahkan bahan alam dalam jumlah gram, sebagian besar
Universitas Sumatera Utara
pemakaian hanya dalam jumlah milligram. Ukuran pelat yang biasa digunakan yaitu 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm. Penjerap yang paling umum ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil. Cuplikan sampel dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada pelat KLTP dimana konsentrasinya sekitar 5-10%. Penotolan dapat dilakukan
dengan
tangan
(pipet)
ataupun
dengan
penotol
otomatis
(Hostettmann, 1995). Pilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemeriksaan pendahuluan memakai KLT analitik. Karena ukuran partikel penjerap kira-kira sama, pelarut yang dipakai pada KLT analitik dapat dipakai langsung pada KLTP. Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluoresensi yang membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan menyerap sinar UV. Untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV, ada beberapa pilihan : a. Menyemprot dengan air (misalnya saponin) b. Menutup pelat dengan sepotong kaca kemudian menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi semprot c. Menambahkan senyawa pembanding (Hostettmann, 1995).
2.5 Spektrofotometri Sinar Ultraviolet Spektrofotometer UV pada umumnya digunakan untuk:
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.
Universitas Sumatera Utara
2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa. 3. Mampu menganalisis senyawa organic secara kuantitatif dengan menggunakan hokum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004). Serapan molekul di dalam daerah ultraviolet bergantung pada struktur elektronik dari molekul. Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan pada orbital molekul paling luar dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang paling tinggi (Noerdin, 1985). Spektrum ultraviolet dari suatu senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (cahaya monokromati) melalui larutan encer senyawa tersebut. Sistem (gugus atom) yang menyebabkan terjadinya absorpsi cahaya disebut kromofor. Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi→σ* σ ialah senyawa yang mempunyai elektron pada orbital molekul σ, yaitu molekul organik jenuh yang tidak mempunyai atom dengan pasangan elektron sunyi. Senyawa yang mempunyai transisi σ→σ* mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 150 nm (Creswell, et al., 1982). Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi n→σ* ialah senyawa yang hanya mempunyai orbital molekul n dan σ, yaitu molekul organik jenuh yang mempunyai satu atau lebih atom dengan pasangan elektron sunyi. Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi→π* π ialah senyawa yang mempunyai elektron pada orbital molekul π. Senyawa yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
transisi n→σ* dan π→π* mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 20 nm (Creswell, et al., 1982). Kromofor yang menyebabkan transisi →π* n ialah senyawa yang mempunyai orbital molekul n maupun π yaitu senyawa yang mengandung atom yang mempunyai pasangan elektron sunyi dan orbital π. Senyawa yang mempunyai transisi n→π* mengabsorpsi cahaya yang panjang gelombang 200400 nm (Creswell, et al., 1982). Istilah-istilah yang sering digunakan di dalam membicarakan spektra elektronik yaitu: Kromofor : Suatu gugus kovalen tidak jenuh yang bertanggung jawab untuk serapan elektronik. Auksokrom : Suatu gugus jenuh dengan elektron tidak terikat dimana bila menempel kepada suatu kromofor dapat mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan. Pergeseran batokromik : Pergeseran serapan ke panjang gelombang yang lebih panjang karena sisipan atau pengaruh pelarut (geseran merah). Pergeseran hipsokromik : Pergeseran serapan ke panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut (geseran biru). Efek hiperkromik : Kenaikan dalam intensitas serapan. Efek hipokromik : Penurunan dalam intensitas serapan (Silverstein, 1986).
2.6 Spektrofotometri Sinar Inframerah Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk:
Universitas Sumatera Utara
1.
Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik
2.
Mengetahui
informasi
struktur
suatu
senyawa
organik
dengan
membandingkan daerah sidik jarinya. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5-50 μm atau bilangan gelombang 4000-200 cmˉ1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metoda ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik. Jika suatu frekuensi tertentu dari radiasi inframerah dilewatkan pada sampel suatu senyawa organik maka akan terjadi penyerapan frekuensi oleh senyawa tersebut. Detektor yang ditempatkan pada sisi lain dar senyawa akan mendeteksi frekuensi yang dilewatkan pada sampel yang tidak diserap oleh senyawa. Banyaknya frekkuensi yang melewati senyawa (yang tidak diserap) akan diukur sebagai persen transmitan (Dachriyanus, 2004). Daerah inframerah terletak antara spektrum elektromagnetik cahaya tampak dan spektrum radio, yakni antara 4000-400 cm-1. Penggunaan spektrofotometri inframerah yang dimaksudkan untuk analisa lebih banyak ditujukan untuk identifikasi suatu senyawa melalui gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula (Noerdin, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui haruslah ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama seperti C=O, O-H, N-H, C-O, C=C, C≡C, C=N, C≡N, dan NO2. Langkah-langkah yang umum dilakukan untuk memeriksa pita-pita yang penting pada hasil spektrum inframerah (Pavia, et al., 1988): 1. Gugus karbonil Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah 1820-1660 cm-1. 2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut (jika C=O tidak ada langsung ke nomor 3). Asam
: periksalah gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3300-2500 cm-1
Amida
: periksalah gugus N-H, merupakan serapan medium didaerah 3500 cm-1, kadang-kadang dengan puncak rangkap.
Ester
: periksalah gugus C-O, merupakan serapan medium didaerah 1300-1000 cm-1.
Anhidrida
: mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1.
Aldehida
: periksalah gugus C-H, merupakan dua serapan lemah didaerah 2850 dan 2750 cm-1 yaitu disebelah kanan serapan C-H.
Keton
: kemungkinan bila kelima senyawa di atas tidak ada.
3. Bila gugus C=O tidak ada
Universitas Sumatera Utara
Alkohol atau fenol
: periksalah gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3600-3300 cm-1 yang diikuti adanya serapan C-O di daerah 1300-1000 cm-1.
Amina
: periksalah gugus N-H, yaitu serapan medium di daerah 3500 cm-1.
Eter
: periksalah gugus C-O (dan tidak adanya O-H), yaitu serapan medium di daerah 1300-1000 cm-1.
4. Ikatan rangkap dua atau cincin aromatik − Serapan lemah C=C di daerah 1650 cm-1. − Serapan medium sampai kuat pada daerah 1650-1450 cm-1sering menunjukkan adanya cincin aromatik. − Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah C-H aromatik di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di sebelah kanan daerah tersebut. 5. Ikatan rangkap tiga − Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah 2250 cm-1. − Serapan medium dan tajam dari C≡C di daerah 2150 cm-1. 6. Gugus nitro − Dua serapan yang kuat di daerah 1600-1500 cm-1 dan 1390-1300 cm-1. 7. Hidrokarbon − Apabila keenam serapan di atas tidak ada. − Serapan C-H alifatis di daerah 3000 cm-1.
Universitas Sumatera Utara
− Serapan yang sangat sederhana di daerah 1450 cm-1 (CH2) dan 1375 cm-1 (CH3).
Universitas Sumatera Utara