SKRIPSI
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
Oleh EVA H. DIREJA F 24102097
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Eva H. Direja. F24102097. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.) terhadap bakteri patogen dan perusak pangan. Dibawah bimbingan : Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. dan Ir. Elvira Syamsir, MSi. ABSTRAK Seiring dengan banyaknya kasus keracunan pangan oleh mikroba yang menyebabkan penyakit dan kematian serta kerugian ekonomi, perlu dilakukan usaha-usaha untuk menguranginya. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mengaplikasikan bahan yang berpotensi sebagai antimikroba pada proses pengolahan pangan. Jintan hitam yang umumnya digunakan sebagai obat-obatan diduga memiliki aktivitas antimikroba dan berpeluang untuk digunakan sebagai pengawet bahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba beberapa jenis ekstrak jintan hitam terhadap bakteri patogen dan bakteri perusak makanan. Tahapan penelitian ini meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Tahapan penelitian pendahuluan mencakup persiapan kultur mikroba, ekstraksi tunggal biji jintan hitam dengan metode refluks menggunakan air dan etanol, serta penyulingan minyak atsiri. Penelitian lanjutan mencakup ekstraksi bertingkat pada ampas penyulingan minyak atsiri jintan hitam, dengan metode refluks menggunakan beberapa pelarut organik dengan polaritas yang berbeda, yaitu heksan, etil asetat dan metanol secara berurutan. Dari keseluruhan proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Efektivitas senyawa antimikroba dari masing-masing ekstrak jintan hitam diuji menggunakan metode difusi agar. Pada minyak atsiri, ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol selanjutnya dilakukan pengujian nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) terhadap satu jenis bakteri. Selain itu, dilakukan juga identifikasi kualitatif komponen fitokimia terhadap ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, yaitu minyak atsiri, ekstrak etanol, dan ekstrak etil asetat jintan hitam. Minyak atsiri, ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat dapat menghambat semua bakteri uji sehingga dianggap memiliki spektrum yang luas. Ekstrak air dan ekstrak heksan kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak metanol tidak dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Salmonella Typhimurium adalah 0.084 % (w/w), nilai MIC minyak atsiri terhadap Bacillus cereus adalah 1.72% (w/w), nilai MIC ekstrak etil asetat terhadap Staphylococcus aureus adalah 1.88 % (w/w), dan nilai MIC ekstrak metanol terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah 1.88 % (w/w). Pada minyak atsiri menunjukkan adanya komponen fenol dan terpenoid. Identifikasi komponen fitokimia pada ekstrak etanol menunjukkan adanya komponen fenol dan steroid dan pada ekstrak etil asetat menunjukkan adanya fenol dan flavonoid.
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh EVA H. DIREJA F 24102097
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh EVA H. DIREJA F 24102097
Dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1984 Di Bandung, Jawa Barat
Tanggal lulus : 19 Desember 2006 Menyetujui,
Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. Dosen Pembimbing I
Ir. Elvira Syamsir, MSi. Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 28 Oktober 1984, sebagai anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Bapak Sortamin Purba dan Ibu Tiaman Manik. Masa kecil penulis hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) dilalui di Kota Bandung. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak Harapan Ibu (1989-1990), Sekolah Dasar ST Melania (1990-1996), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Providentia (1996-1999) dan penulis merupakan alumni Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bandung (1999-2002). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi, di antaranya Pemuda Gereja Kristen Protestan Simalungun (Pemuda GKPS) Bogor, Parsadaan Mahasiswa Simalungun (Parmasi) IPB, Komisi Pelayanan Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, Koran Kampus IPB (reporter), serta pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan. Selain itu, penulis aktif mengikuti berbagai seminar yang memperluas wawasan, di antaranya Seminar Anak Bermasalah : Apa itu autis? (2003), Seminar Pemantapan Road Map Penganekaragaman Pangan dan Bogasari Nugraha VII (2004), IDF International Conference of fgW Student Forum for Milk and Milk Product (2005) serta Seminar dan Pelatihan HACCP (2005). Pada pertengahan tahun 2005, penulis melakukan Praktek Lapangan di PT Indomilk Jakarta dengan topik “Mempelajari proses pengolahan dan pengawasan mutu susu bubuk di PT Indomilk”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian tersebut sebagai skripsi dengan judul “Kajian aktivitas antimikroba ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.) terhadap bakteri patogen dan perusak pangan”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan anugerahNya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kajian aktivitas antimikroba ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.) terhadap bakteri patogen dan perusak pangan”. Skripsi ini berisi hasil penelitian tentang aktivitas antimikroba dari beberapa ekstrak jintan hitam. Dari penelitian ini, dapat diketahui ekstrak biji jintan hitam yang memiliki spektrum luas dalam menghambat bakteri uji serta nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari beberapa ekstrak jintan hitam terhadap bakteri tertentu. Selain itu, diketahui juga komponen fitokimia yang terdapat dalam beberapa ekstrak jintan hitam. Banyak pihak telah terlibat dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Sedarnawati. Yasni, M. Agr. selaku Dosen Pembimbing Akademik I dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik II yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan sejak awal perencanaan penelitian, penyelesaian penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Ir. Budi Nurtama, M. Agr. selaku Dosen Penguji yang juga turut membantu dalam pengolahan data hasil penelitian ini. 3. “DEIDENG CENTER” yang telah memberikan bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian ini. 4. Bapatua Sudiman Purba, Bapaanggi Pandapotan Purba, Tulang Sabarman Damanik, Oppung Dj. F. Sinaga dan Bapatua Mulia Purba atas dukungan moril dan materiil. 5. Mama, Papa, Daus “Uus”, Ledi “Dodot”, Tante Rus dan Uda Butar, Tante Loisi dan Uda Pea, atas kasih sayang dan dukungan moril serta materiil. 6. Dora-ku dan Deddy, untuk kerjasama kita yang menyenangkan. 7. Mba Ari, Pak Taufik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiyah, Bi Entin, Bi Sari, Pa Udin, Pak Karna/Abah, Pak Mulyono/Pak Mul, Pak Rojak, Pak Koko, Teh Ida dan Mas Edi, atas bantuan selama penulis bekerja di laboratorium.
i
8. Bu Yuspi, atas bantuan selama penulis bekerja di laboratorium dan atas peminjaman jurnal-jurnal yang terkait dengan penelitian ini. Mba Tri, Mba Lala, Mba Hon, dan Mba Era, atas bantuan sebagai rekan kerja di laboratorium serta Mba Santy dan Bu Asriani, atas diskusi “2 sks” kita. 9. Inda, untuk peminjaman inkubatornya. Manginar, Olga, Christ, Icha, Mumust, Novi, Tina untuk kebersamaan di TPG. 10. Kenot, Prasna, Samsul, buat kebersamaan sebagai kelompok C6 yang sangat berkesan. 11. Meilina, yang setia mendengar ceritaku dan anak mie lainnya..(Tukep dll). 12. Hana Bona yang baik dan Mba Agnani Marlis. 13. Eko-TPG 39 dan Yanty-Statistik 39, atas bantuan dalam pengolahan data. 14. Elma, Evrin, Fiona, Melissa, buat persahabatan yang sehat sejak kita SMA 15. Bang Apri Girsang, Bang Pirma Girsang, Bang Bruly Tarigan, Bang Jubel Girsang, dan Bang Kristiansen Purba, atas dukungan dan bantuan selama kuliah dan penelitian, yang juga sudah seperti abang sendiri bagi penulis. 16. Warga Wisma Jo, Mba Lia-LP, dan anak-anak Parmasi. Simalungun Jaya! 17. Pemuda GKPS Bogor, terima kasih untuk akhir yang menyenangkan di Pesparawi Pemuda walaupun kita kalah. 18. Teman-teman Golongan C, terima kasih untuk kebersamaan yang ceria. 19. Semua yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah dan bersedia untuk diganggu saat menerima sms berisi keluhan penulis selama penelitian. 20. Someone who ever loved me so deep and spent time just for supported me in my hard times. 21. Semua pihak yang belum tersebut tetapi turut membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membaca.
Bogor, Desember 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1 B. TUJUAN DAN SASARAN .................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 A. JINTAN HITAM ................................................................................... 3 B. EKSTRAKSI ......................................................................................... 6 C. KARAKTERISTIK BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK ............ 12 D. SENYAWA ANTIMIKROBA ............................................................. 16 E. UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA ..................................................... 19 F. SENYAWA FITOKIMIA ..................................................................... 21 III. BAHAN DAN METODE ........................................................................... 25 A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 25 B. TEMPAT DAN WAKTU ..................................................................... 25 C. METODE PENELITIAN ...................................................................... 26 D. METODE ANALISIS ........................................................................... 32 E. RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................ 37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 38 A. PENGHITUNGAN JUMLAH MIKROBA UMUR 24 JAM ............... 38 B. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU .................................................... 39 C. KARAKTERISTIK EKSTRAK ........................................................... 39 D. AKTIVITAS ANTIMIKROBA ............................................................ 44 E. IDENTIFIKASI KUALITATIF SENYAWA FITOKIMIA ................. 58 F. MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC) ......................... 60 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 63 A. KESIMPULAN ..................................................................................... 63 B. SARAN ................................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 65
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Biji jintan hitam ............................................................................. 3 Gambar 2. Bunga jintan hitam ........................................................................ 3 Gambar 3. Tanaman jintan hitam .................................................................... 3 Gambar 4. Susunan alat penyulingan uap ........................................................ 8 Gambar 5. Susunan alat ekstraksi refluks ....................................................... 12 Gambar 6. Struktur DMSO [(CH3)2SO] ......................................................... 20 Gambar 7. Penggolongan senyawa terpenoid ................................................. 23 Gambar 8. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air ......... 29 Gambar 9. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol ... 29 Gambar 10. Diagram proses ekstraksi bertingkat dengan metode refluks ........ 31 Gambar 11. Pengaruh berbagai ekstrak jintan hitam terhadap bakteri uji ........ 46 Gambar 12. Pengaruh ekstrak air terhadap bakteri uji ...................................... 47 Gambar 13. Pengaruh ekstrak metanol terhadap bakteri uji .............................. 49 Gambar 14. Pengaruh ekstrak etanol terhadap bakteri uji ................................. 50 Gambar 15. Zona penghambatan ekstrak etanol jintan hitam terhadap Staphylococcus aureus .................................................................. 50 Gambar 16. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap bakteri uji ........................... 51 Gambar 17. Pengaruh minyak atsiri terhadap bakteri uji .................................. 52 Gambar 18. Pengaruh ekstrak heksan terhadap bakteri uji ............................... 54 Gambar 19. Pengaruh masing-masing ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif ........................................ 56
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi minyak atsiri jintan hitam ................................................ 5 Tabel 2. Komposisi asam amino biji jintan hitam .......................................... 6 Tabel 3. Komposisi asam lemak biji jintan hitam ........................................... 6 Tabel 4. Pelarut yang umum digunakan untuk ektraksi .................................. 10 Tabel 5. Nilai polaritas beberapa pelarut ......................................................... 11 Tabel 6. Mekanisme aksi antibiotik ................................................................ 18 Tabel 7. Jumlah sel mikroba pada umur 24 jam .............................................. 39 Tabel 8. Hasil analisis proksimat biji jintan hitam .......................................... 39 Tabel 9. Hasil penyulingan minyak atsiri biji jintan hitam ............................. 41 Tabel 10. Karakteristik ekstrak jintan hitam ..................................................... 43 Tabel 11. Hasil analisis ragam .......................................................................... 45 Tabel 12. Jenis senyawa fitokimia yang terekstrak pada berbagai pelarut ........ 58 Tabel 13. Hasil identifikasi kualitatif senyawa fitokimia ................................. 59 Tabel 14. Nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam .......................................... 61
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara keseluruhan ............................. 70 Lampiran 2. Diagram alir persiapan kultur bakteri dan uji konfirmasi jumlah mikroba ...................................................................................... 71 Lampiran 3. Diagram alir uji difusi sumur ....................................................... 72 Lampiran 4. Contoh perhitungan penentuan jumlah mikroba ......................... 73 Lampiran 5. Hasil uji konfirmasi jumlah sel bakteri dengan metode hitungan cawan ......................................................................................... 74 Lampiran 6. Hasil analisis minyak atsiri tanpa penghalusan bahan ................. 75 Lampiran 7. Hasil analisis minyak atsiri dengan penghalusan bahan .............. 76 Lampiran 8. Contoh perhitungan rendemen ..................................................... 77 Lampiran 9. Hasil perhitungan standar eror ..................................................... 78 Lampiran 10. Hasil analisis ragam ..................................................................... 79 Lampiran 11. Hasil uji lanjut Duncan ................................................................ 80 Lampiran 12. Zona penghambatan ekstrak-ekstrak jintan hitam terhadap bakteri uji (Mean ± SE) ........................................................................... 81 Lampiran 13. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri Salmonella Typhimurium .......................................................... 82 Lampiran 14. Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri Bacillus cereus ........................................................................... 83 Lampiran 15. Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap bakteri Staphylococcus aureus ................................................... 84 Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak metanol jintan hitam terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa .......................................................... 85
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Penyakit infeksi yang disebabkan oleh makanan dan air merupakan penyebab utama penyakit dan kematian di negara berkembang (Roller, 2003). Menurut WHO (2005), diperkirakan 2.1 juta orang meninggal sepanjang tahun 2000 yang disebabkan oleh penyakit diare karena kontaminasi pada makanan dan air minum. Di Indonesia, terdapat 7343 kasus keracunan pangan yang dilaporkan sepanjang tahun 2004, termasuk di dalamnya 45 kasus yang menyebabkan kematian (Badan POM, 2005). Penyakit infeksi yang disebabkan oleh keracunan bahan pangan menyebabkan kerugian ekonomi, berupa biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas. Kerusakan pangan juga memegang peranan penting terhadap kerugian ekonomi, tetapi sulit untuk diketahui jumlahnya (Roller, 2003). Di USA, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bakteri patogen diperkirakan mencapai $ 35 milyar pada tahun 1997 (WHO, 2005). Kasus penyakit infeksi oleh bakteri patogen dan kasus kerusakan pangan, keduanya diakibatkan oleh pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dalam bahan pangan. Oleh karena itu, penting dilakukan pengendalian terhadap pertumbuhan mikroba dalam pangan. Menurut Thongson et. al. (2004), salah satu strategi untuk mengurangi jumlah kasus food-borne illnesses dapat dilakukan dengan mengaplikasikan antimikroba pada saat proses pengolahan pangan untuk menginaktifkan ataupun untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Penggunaan rempah-rempah dalam makanan, tidak hanya memberi karakteristik rasa, kepedasan, dan warna, melainkan juga memberikan aktivitas antioksidan dan antimikroba, farmaseutikal, dan nilai gizi. Aktivitas
antimikroba
adalah
kemampuan
untuk
menghambat
pertumbuhan mikroba, baik berupa bakteriostatik maupun fungistatik (Hirasa et. al., 1998). Sifat antimikroba dari rempah-rempah sudah diketahui dan digunakan sejak berabad-abad yang lalu, misalnya penggunaan kayu manis dan jintan untuk mengawetkan mumi di Mesir. Saat ini aplikasi aktivitas
1
antimikroba sudah mengalami perkembangan yang pesat karena negaranegara industri mulai menghidupkan kembali pendekatan secara tradisional untuk melindungi ternak dan makanannya dari penyakit, binatang perusak, dan kebusukan (Dorman et. al., 2000). Menurut Singh et. al. (2004), sifat antimikroba pada bahan yang ditambahkan pada makanan sangat penting untuk meningkatkan umur simpan makanan dan untuk memberikan rasa aman pada konsumen. Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama black cumin (Nigella sativa L.) merupakan tanaman yang umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia. Di Indonesia, biji jintan hitam digunakan untuk mengobati sakit perut (Heyne, 1987). Sakit perut merupakan salah satu gejala yang disebabkan oleh keracunan akibat mikroba, seperti Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, diduga biji jintan hitam memiliki aktivitas antimikroba dan perlu dilakukan analisis untuk mengetahui aktivitas antimikroba jintan hitam terhadap beberapa bakteri patogen ataupun bakteri perusak pangan.
B. TUJUAN DAN SASARAN Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba beberapa jenis ekstrak jintan hitam terhadap bakteri patogen dan bakteri perusak makanan. Sasaran penelitian ini adalah pengembangan pemanfaatan jintan hitam sebagai bahan pengawet pangan alami dan atau sebagai bahan pangan fungsional.
2
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama black cumin (Nigella sativa L.) merupakan tanaman asli dari Eropa Selatan dan banyak ditemukan di India. Jintan hitam yang ada di Indonesia berasal dari Bombay (Heyne, 1987). Tanaman penghasil jintan hitam merupakan tanaman yang tumbuh liar sampai pada ketinggian 1100 m dari permukaan laut. Biasanya ditanam di daerah pegunungan ataupun sengaja ditanam di halaman atau ladang sebagai tanaman rempah-rempah (Achyad et. al., 2000). Berikut ini adalah gambar biji, bunga dan tanaman jintan hitam.
Gambar 1. Biji jintan hitam
Gambar 2. Bunga jintan hitam
Gambar 3. Tanaman jintan hitam
a
(Sumber : Anonim, 2006 )
Jintan hitam merupakan tanaman herba berbunga tahunan, tingginya 20 cm hingga 30 cm. Daunnya berwarna hijau muda. Bagian yang digunakan sebagai obat maupun bumbu adalah biji jintan hitam. Biji jintan hitam berada dalam buah. Jika telah matang buah tersebut akan terbuka dan bijinya akan terkena udara sehingga warnanya berubah menjadi hitam. Biji jintan hitam berbentuk kerucut, berwarna kehitaman yang dihasilkan oleh tanaman berbatang lembut, berbunga biru muda atau putih, jumlah kelopak bunganya
3
lima (Anonim, 2006a). Taksonomi jintan hitam menurut Hutapea (1994) yang dikutip oleh Syamani (2001) : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Ranunculales
Suku
: Ranunculaceae
Marga
: Nigella
Spesies
: Nigella sativa L.
Selain jintan hitam, dikenal juga jintan putih (Cuminum cyminum L. dari suku Apiaceae) yang lebih sering dipakai dalam masakan walaupun dipakai juga untuk jamu-jamu tertentu, dan dalam bahasa lnggris disebut cummin. Jintan hitam juga berbeda dengan jintan manis (Pimpinella anisum L. dari suku Apiaceae) yang lebih dikenal sebagai adas manis (Inggris : anise ; Belanda : anijs). Bahkan juga berbeda dengan jintan (Carum carvi L. dari suku Apiaceae) yang dalam bahasa Inggris disebut caraway dan dalam bahasa Belanda disebut karwijzaad (Achyad, et. al., 2000). Beberapa nama daerah untuk jintan hitam adalah zwarte komijn, nigelle cultivee, schwarzkummel, black cumin (Heyne, 1987). Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et. al., 2006). Biji jintan hitam biasanya ditambahkan pada makanan tradisional dan dicampur dengan roti ataupun madu sebagai pemberi citarasa (Al-Saleh et. al., 2006 dan Al-Jabre et. al., 2003). Menurut Baytop yang dikutip oleh Donmez (2004), biji jintan hitam biasanya digunakan sebagai bumbu dan umumnya dibudidayakan di Afyon, Burdur, Isparta, dan Denizli wilayah Turki. Di India, biji jintan hitam digunakan sebagai obat dan bumbu. Jintan hitam yang ada di Indonesia didatangkan dari Bombay, setelah dicampur dengan bahan lain digunakan sebagai obat sakit perut (Heyne, 1987).
4
Komposisi kimia jintan hitam sangat beragam. Menurut El-Alfy yang dikutip oleh Al-Saleh et. al. (2006), berdasarkan berat keringnya, jintan hitam mengandung 0,4 % minyak atsiri yang terdiri dari carvon, limonene, pcymene, trans-anethole. Jintan hitan juga mengandung selenium, tokoferol,
DL-γ-tokoferol,
DL-α-
all-trans-retinol, thymoquinone, dan thymol (Al-
Saleh, 2006). Berikut ini adalah komposisi minyak atsiri jintan hitam. Tabel 1. Komposisi minyak atsiri jintan hitam Komposisi
Persentase
Carvone Alfa-Pinene Sabinene beta-pinene p-cymene Lain-lain
21.1% 7.4% 5.5% 7.7% 46.8% 11.5%
(Sumber : Anonim, 2006b)
Menurut Achyad et. al. (2000), kandungan biji jintan hitam antara lain minyak atsiri, minyak lemak, dan saponin melantin, zat pahit nigelin, nigelon, dan timokuinon. Minyak atsiri pada umumnya bersifat anti-bakteri, antiperadangan dan dapat menghangatkan perut. Menurut Achyad et. al. (2000), buah dan biji jintan hitam memiliki kegunaan untuk mengatasi radang pada selaput lendir mata penyebab penglihatan berkabut, batuk rejan, keputihan pada gadis remaja, lepra, radang hidung, sembelit, encok, digigit serangga/ular, dan influensa. Saat ini, beberapa komponen aktif jintan hitam yang telah berhasil diisolasi adalah thymoquinone, thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine, nigellimine-Noxide and alpha-hedrin (Al-Jabre et. al., 2003). Selain komposisi kimia dan kandungan komponen aktif yang beragam, kandungan gizi jintan hitam cukup tinggi. Hal tersebut dilihat berdasarkan kandungan asam amino dan asam lemaknya. Jintan hitam mengandung 8 jenis dari 10 asam amino esensial dan 7 jenis dari 10 asam amino non-esensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Komposisi asam amino biji jintan hitam Asam amino
Persentase
Alanin Valin Glisin Isoleusin Leusin Prolin Treonin
3.77 3.06 4.17 4.03 10.88 5.34 1.23
Asam amino
Persentase
Serin Asam aspartat Metionin Fenilalanin Asam glutamat Tirosin Lisin arginin
1.98 5.02 6.16 7.93 13.21 6.08 7.62 19.52
(Sumber : Babayan et. al., 1978)
Komposisi asam lemak biji jintan hitam juga cukup beragam. Selain itu mengandung juga asam lemak esensial (essential fatty acid) yaitu asam linoleat dan asam linolenat. Komposisi asam lemak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Komposisi asam lemak biji jintan hitam Asam lemak
Persentase (%)
Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2)(Omega-6) Linolenat (18:3n-3) (Omega-3) Arakidonat (C20:0)
0.5 13.7 12.6 23.7 57.9 2.0 1.3
(Sumber : Anonim, 2006b)
Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan jintan hitam cepat rusak pada kadar air yang cukup tinggi. Kerusakan umumnya disebabkan oleh kapang karena kapang dapat memanfaatkan berbagai komponen makanan yang kompleks seperti lipida (Fardiaz, 1992). Oleh karena itu, jintan hitam harus ditangani secepat mungkin agar tidak mengalami kerusakan.
B. EKSTRAKSI Ekstraksi adalah proses memisahkan komponen tertentu dari dalam suatu bahan atau campuran baik dengan cara kimia, fisika, ataupun mekanis (WordNet, 2006). Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memilih
6
metode ekstraksi adalah tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak, serta penggunaan ulang pelarut (Houghton dan Raman, 1998). Jika telah diketahui sifat senyawa yang akan diekstrak, ekstraksi dilakukan mengikuti prosedur yang sudah ada dengan modifikasi seperlunya. Namun, jika bahan yang akan diekstrak belum diketahui sifatnya, ekstraksi dilakukan untuk memperoleh senyawa kimia pada kisaran yang luas. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pelarut yang berbeda-beda. Pemilihan metode ekstraksi harus mempertimbangkan sifat komponen yang akan diekstrak. Sifat komponen yang akan diekstrak meliputi polaritas, termostabilitas, dan pengaruh pH (Houghton dan Raman, 1998). Polaritas pelarut yang akan digunakan harus disesuaikan dengan polaritas komponen yang akan diekstrak. Termostabilitas komponen berkaitan dengan kestabilan komponen terhadap pengaruh panas. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah pH. Jika komponen yang akan diekstrak bersifat asam seperti asam lemak, pelarut yang bersifat basa dapat digunakan untuk mengekstraknya. Sifat pelarut berkaitan dengan polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan dan harga. Polaritas pelarut berkaitan dengan senyawa yang diharapkan terekstrak bersama pelarut. Toksisitas pelarut berkaitan dengan penggunaan ekstrak lebih lanjut, jika akan diaplikasikan pada manusia, keamanan residu pelarut yang tertinggal terhadap kesehatan manusia harus diperhitungkan. Kemudahan pelarut untuk terbakar berkaitan dengan suhu dan sumber panas yang akan digunakan saat ekstraksi. Reaktivitas pelarut berkaitan dengan terjadinya pembentukan senyawa baru selama ekstraksi berlangsung. Penggunaan kembali pelarut dan harga pelarut berkaitan dengan nilai ekonomis pelarut. Metode ekstraksi yang paling umum dilakukan adalah ekstraksi menggunakan pelarut pada tekanan atmosfer dan dapat disertai aplikasi panas (Houghton dan Raman, 1998). Namun, ada beberapa metode ekstraksi lain yang dapat dilakukan seperti distilasi uap, Supercritical Fluid Extraction (SFE), dan ekstraksi menggunakan gas cair.
7
1. Distilasi uap (penyulingan uap) Penyulingan uap adalah metode paling umum digunakan untuk memperoleh minyak atsiri. Selain dengan penyulingan, minyak atsiri dapat juga diperoleh dengan enflurasi, maserasi dan dengan pelarut menguap. Penyulingan merupakan cara untuk memurnikan cairan (Koster, 2001). Pada saat penyulingan akan terjadi pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis campuran atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Ada 3 metode penyulingan yang dikenal dalam industri minyak atsiri, yaitu penyulingan dengan air, penyulingan dengan air dan uap, serta penyulingan dengan uap langsung. Perbedaan ketiga metode tersebut hanya pada cara penanganan bahan olahannya. Sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan uap. Pada proses penyulingan dengan uap langsung, bahan yang akan disuling diletakkan di dalam rak-rak atau saringan berlubang. Uap lewat panas bertekanan lebih dari 1 atmosfir dilewatkan melalui pipa uap melingkar yang berpori, yang terletak di bawah bahan dan uap bergerak ke atas melalui bahan yang terletak di atas saringan. Susunan alat penyulingan uap dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Susunan alat penyulingan uap (Sumber : Coconut Coast Handmade Soap Co., 2006)
8
Sebelum disuling, bahan dirajang terlebih dahulu. Bila bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi jika uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Hal ini terjadi secara difusi. Jika bahan dirajang, ukuran ketebalan untuk terjadinya proses difusi akan berkurang sehingga saat penyulingan, laju penguapan minyak atsiri dari bahan menjadi lebih cepat. Namun, perajangan memiliki kelemahan, yaitu jumlah rendemen minyak atsiri akan berkurang seimbang dengan laju penguapan yang terjadi selama perajangan dan setelah perajangan serta komposisi minyak akan berubah dan akan mempengaruhi baunya (Ketaren, 1987). Minyak atsiri adalah konsentrat berupa cairan bersifat hidrofobik yang mengandung komponen volatil dari tanaman (Anonim, 2006c). Minyak atsiri dikenal juga sebagai minyak eteris. Minyak atsiri terutama terdiri dari persenyawaan kimia mudah menguap, termasuk golongan hidrokarbon asiklik dan hidrokarbon isosiklik serta turunan hidrokarbon yang telah mengikat oksigen. Beberapa persenyawaan mengandung nitrogen dan belerang. Senyawa-senyawa dalam minyak atsiri tersebut dapat digolongkan ke dalam 4 kelompok besar yang dominan menentukan sifat minyak atsiri, yaitu terpen, persenyawaan berantai lurus, tidak mengandung rantai cabang, turunan benzena, dan bermacam-macam persenyawaan lainnya (Ketaren, 1987). Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid, biasanya terpenoid terdapat pada fraksi atsiri yang tersuling uap. Zat inilah yang menyebabkan timbulnya wangi, harum, atau bau yang khas pada banyak tumbuhan (Harborne, 1996). Beberapa komponen terpenoid yang terdapat dalam minyak atsiri jintan hitam adalah carvone, alfa-pinene, sabinene, betapinene, p-cymene (Anonim, 2006b). Secara kimia, terpene minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua golongan yaitu monoterpene dan seskuiterpena. Monoterpene dan seskuiterpen adalah isoprenoid, perbedaannya terletak pada titik didihnya. Monoterpena memiliki titik didih 140-180 oC, sedangkan seskuiterpena memiliki titik didih lebih tinggi dari 200 oC.
9
2. Ekstraksi dengan pelarut Ekstraksi menggunakan pelarut dilakukan dengan mengkontakkan bahan baku pada pelarut selama periode waktu tertentu, kemudian dilanjutkan dengan pemisahan larutan dari ampas. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi disesuaikan dengan sifat komponen yang ingin diekstrak. Hal ini berdasarkan prinsip like dissolve like. Oleh karena itu, komponen yang terekstrak akan memiliki kepolaran yang mirip dengan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi. Jika telah diketahui kepolaran senyawa yang akan diekstrak, akan lebih mudah menentukan metode ekstraksi dan pelarut yang digunakan. Namun, jika belum diketahui kepolaran senyawa yang akan diekstrak, umumnya dilakukan ekstraksi bertingkat dengan beberapa pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda-beda. Beberapa pelarut yang umum digunakan untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pelarut yang umum digunakan untuk ekstraksi Heksan Benzen, toluene Dietileter Kloroform, diklorometan Etil asetat Butanon Aseton Butanol Etanol Metanol Air Larutan asam, larutan basa
semakin ke bawah kepolaran semakin meningkat
(Sumber : Houghton dan Raman, 1998)
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah heksan, etil asetat, etanol, metanol, dan air. Berdasarkan perbandingan nilai polaritasnya, dalam penelitian ini heksan digolongkan sebagai pelarut yang bersifat non polar, etil asetat dan etanol digolongkan sebagai pelarut yang bersifat semi polar, serta air dan metanol digolongkan sebagai pelarut yang bersifat polar. Nilai polaritas beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 5.
10
Tabel 5. Nilai polaritas beberapa pelarut Pelarut Karbondioksida Pentana Heksan Toluen Benzen
Polaritas (ε) 0.00 0.00 0.00 0.29 0.32
Pelarut Etil asetat Aseton Etanol Metanol Air
Polaritas (ε) 0.38 0.47 0.68 0.73 0.90
(Sumber : Moyler, 1995 dalam Ardiansyah, 2001)
Metode yang sederhana dari ekstraksi dengan pelarut adalah perkolasi. Pada perkolasi, bahan dikontakkan langsung dengan pelarut pada suhu ruang ataupun di atas suhu ruang. Bahan yang akan diekstrak dimasukkan ke dalam tabung yang memiliki keran dan saringan di bagian bawahnya, kemudian pelarut dituang di atas bahan tersebut. Pada saat keran dibuka, pelarut akan mengalir melewati bahan dan menetes sedikit demi sedikit. Oleh karena adanya saringan, bahan tidak ikut terbawa oleh pelarut, tetapi senyawa kimia yang diinginkan akan ikut terbawa dalam pelarut. Hal yang menjadi kelebihan metode perkolasi adalah tidak perlu dilakukan proses penyaringan. Kelemahan metode perkolasi adalah waktu kontak antara bahan dan pelarut terbatas serta suhu yang digunakan rendah sehingga komponen tidak terekstrak sempurna. Selain itu, suhu pelarut yang digunakan kemungkinan sudah berkurang sehingga kurang efektif dalam mengekstrak komponen. Selain dengan cara perkolasi, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara refluks. Pada ekstraksi refluks, bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut, yaitu dengan direndam selama waktu tertentu. Refluks digunakan jika ekstraksi dilakukan dengan aplikasi panas secara kontinyu. Pada beberapa proses ekstraksi diperlukan aplikasi panas secara kontinyu untuk meningkatkan ekstraksi ataupun agar terjadi reaksi kimia tertentu, misalnya hidrolisis glikosida (Houghton dan Raman, 1998). Pemberian panas secara kontinyu dan waktu ekstraksi yang cukup lama akan menyebabkan
pelarut
berkurang
karena
terjadi
penguapan.
Untuk
menghindari hal ini, digunakan kondensor yang akan mendinginkan uap pelarut sehingga pelarut kembali ke dalam tabung ekstraksi. Susunan alat ekstraksi metode refluks dapat dilihat pada Gambar 5.
11
Kondens
Tetesan Pelarut dan Sumber Gambar 5. Susunan alat ekstraksi refluks Jika pelarut yang digunakan adalah air, asam, ataupun basa, sumber panas dapat berasal dari nyala api. Namun, jika digunakan pelarut yang memiliki titik didih kurang dari 100 oC, digunakan penangas air (water bath) sebagai sumber panas.
C. KARAKTERISTIK BAKTERI PATOGEN DAN BAKTERI PERUSAK PANGAN Bahan pangan mengandung bakteri dengan jumlah dan jenis yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis bakteri yang terdapat dalam bahan pangan akan menentukan umur simpan dan keamanan bahan pangan tersebut jika dikonsumsi. Umur simpan bahan pangan cenderung dipengaruhi oleh keberadaan
bakteri
pembusuk,
sedangkan
keamanan
bahan
pangan
dipengaruhi oleh keberadaan bakteri patogen. Bakteri pembusuk/perusak pangan adalah bakteri yang dapat memecah komponen-komponen yang ada dalam bahan pangan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menyebabkan perubahan citarasa, penampakan, rasa ataupun aroma yang tidak dapat diterima oleh konsumen. Bakteri patogen adalah bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, baik secara infeksi ataupun intoksikasi. Berdasarkan susunan dinding sel-nya, bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Perbedaan susunan dinding sel tersebut paling menyolok terlihat pada komposisi lapisan peptidoglikan. Dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari 90% lapisan peptidoglikan dan lapisan tipisnya adalah asam teikoat, sedangkan dinding
12
bakteri Gram negatif, hanya 5-20% terdiri dari lapisan peptidoglikan dan lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein (Fardiaz, 1992). Perbedaan susunan dinding sel ini akan menyebabkan perbedaan kesensitifan bakteri terhadap senyawa tertentu, seperti antibiotik penisilin. Penisilin adalah senyawa antimikroba/antibiotik yang yang bekerja dengan mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh. Oleh karena bagian yang dipengaruhi adalah peptidoglikan, bakteri Gram positif akan menjadi lebih sensitif terhadap penisilin daripada bakteri Gram negatif karena kandungan peptidoglikannya lebih banyak. 1. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerobik fakultatif, dan bersifat motil karena memiliki flagela peritrik. Secara mikroskopik, Bacillus cereus berbentuk batang, mempunyai ukuran sel yang besar, sekitar 1.0-1.2 µm dengan panjang 3.0-5.0 µm. Sebagian besar strain Bacillus cereus bersifat mesofilik dan mampu tumbuh pada pangan berasam rendah pada suhu 15 oC hingga 55 oC. Bacillus cereus bersifat patogen meskipun sebagian besar golongan Bacillus bersifat non-patogen. Bacillus cereus dapat membentuk spora yang tahan terhadap pemanasan sehingga pemanasan tidak dapat menghilangkan Bacillus cereus secara maksimum. Bacillus cereus ditemukan pada susu pasteurisasi, daging beku, dan sayur-sayuran (Granum et. al., 2000). Selain itu, Bacillus cereus sering menyebabkan masalah pada nasi dan nasi goreng dan menyebabkan keracunan pangan. Keracunan pangan oleh Bacillus cereus terjadi secara intoksikasi, yaitu masuknya enterotoksin yang diproduksi oleh Bacillus cereus ke dalam tubuh manusia. Gejala yang muncul adalah diare atau muntah dalam jangka waktu 2-16 jam setelah makanan dikonsumsi (Brooks et. al. dalam Prescott et. al., 2003). 2. Staphylococus aureus Staphylococus aureus merupakan bakteri Gram positif, non-motil, tidak membentuk spora dan bersifat katalase positif. Sebagian besar galur Staphylococus aureus tumbuh secara aerobik pada suhu antara 7-48 oC,
13
dengan suhu optimum 35-40
o
C. Dinding sel Staphylococus aureus
mengandung 3 komponen utama, yaitu peptidoglikan, asam teikoat, dan protein A yang berikatan secara kovalen dengan peptidoglikan (BairdParker, 2000). Staphylococus aureus ditemukan pada kulit dan membran mukous hewan berdarah panas. Selain itu ditemukan juga pada permukaan kulit manusia (Baird-Parker, 2000). Staphylococus aureus bersifat patogen, yaitu dengan memproduksi enterotoksin yang akan menyebabkan penyakit jika dikonsumsi manusia. Enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10-46 oC, optimum pada 40-45 oC (Jay, 2005). Gejala keracunan enterotoksin meliputi mual, muntah-muntah, keram perut, dan diare. Gejala tersebut muncul 1 hingga 8 jam setelah enterotoksin masuk ke dalam tubuh (Brooks et. al. dalam Prescott et. al., 2003). Staphylococus aureus ditemukan pada daging sapi mentah, daging ayam mentah, seafood, dan produk bakery (Baird-Parker, 2000). Staphylococus aureus dapat bertahan dalam debu sehingga dapat ditemukan pada siklon ataupun ventilasi. Secara umum, Staphylococus aureus tidak mampu berkompetisi dengan biota normal yang banyak terdapat pada pangan. Staphylococus aureus tidak kuat bersaing dengan bakteri lainnya, sehingga tidak memberikan efek yang cukup berarti pada makanan yang telah dimasak. Sel Staphylococus aureus lebih sensitif terhadap panas dibandingkan dengan toksinnya. Bakteri yang diketahui antagonis terhadap Staphylococus aureus adalah Acinetobacter, Aeromonas, Baccili, Enterobacteriaceae, Pseudomonas, dan Lactobaccilaceae (Jay, 2005). 3. Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, termasuk famili Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae merupakan bagian dari flora usus manusia dan Escherichia coli merupakan predominannya. Panjang sel Escherichia coli adalah sekitar 2.0-6.0 µm dan lebarnya 1.1-1.5 µm, bersifat motil atau non motil dengan flagela peritrikat bersifat fakultatif anaerob. Kisaran suhu untuk pertumbuhannya adalah 1040 oC, dengan suhu optimum pertumbuhannya adalah 37 oC.
14
Keberadaan Escherichia coli dalam bahan pangan mengindikasikan bahwa telah terjadi kontaminasi dari feses/kotoran manusia atau hewan karena Escherichia coli secara normal ditemukan sebagai bagian dari flora usus manusia segera setelah manusia dilahirkan (Willshaw et. al., 2000). Kontaminasi bakteri Escherichia coli pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Tidak semua Escherichia coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, hanya galur Enteropatogenik Escherichia coli (EEC) saja yang dapat menyebabkan penyakit. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi Escherichia coli berkisar antara 108-109 sel. Berdasarkan karakteristik penyakitnya, Escherichia coli dapat dibedakan menjadi Enteropatogenik Escherichia coli, Enteroinvasive Escherichia coli, Enterotoxigenic Escherichia coli, Vero Cytotoxin-Producing (Shiga Toxin producing) Escherichia coli (VTEC) (STEC), Enteroaggregative and Diffusely Adherent Escherichia coli (Willshaw et. al., 2000). Gejala yang terjadi umumnya adalah diare yang kadang-kadang disertai muntah dalam jangka waktu 24-72 jam setelah makanan dikonsumsi (Brooks et. al. dalam Prescott et. al., 2003). 4. Salmonella enterica serovar Typhimurium Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, berbentuk batang, berukuran kecil, dan tidak membentuk spora. Salmonella sulit dibedakan dengan Esherichia coli di bawah mikroskop ataupun pada media pertumbuhan yang tidak selektif (umum). Salmonella digolongkan menjadi dua spesies, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori (D’Aoust, 2000). Kedua spesies tersebut dikelompokkan lagi menjadi subspecies-subspesies dan subspesies dikelompokkan lagi menjadi serovar. Salmonella Typhimurium tergolong dalam spesies enterica serovar Typhimurium.
Suhu
minimum
Typhimurium adalah 6-20
o
untuk
pertumbuhan
Salmonella
C, sedangkan suhu maksimum untuk
pertumbuhan Salmonella Typhimurium adalah 45oC. Suhu pertumbuhan optimum Salmonella Typhimurium adalah pada 35-37 oC (D’Aoust, 2000).
15
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi yang jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonellosis yang paling sering terjadi adalah gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella Typhimurium. Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan hasil olahannya. Keracunan pangan oleh Salmonella disebabkan karena makanan mengandung jumlah Salmonella dalam jumlah yang signifikan yaitu 107 sel. 5. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas
merupakan
bakteri
Gram
negatif
dari
famili
Pseudomonadaceae. Pseudomonas secara alami terdapat pada tanah dan air. Menurut Madigan et. al. (2000), secara ekologi Pseudomonas penting untuk mendegradasi
sisa-sisa
komponen
dari
hewan
ataupun
tanaman.
Pseudomonas banyak ditemukan pada bahan pangan segar seperti sayuran, daging, unggas, dan seafood (Jay, 2005) dan sering menimbulkan kebusukan makanan (Fardiaz, 1992). Bakteri ini bersifat motil dengan flagela polar. Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37
o
C.
Pseudomonas aeruginosa ditemukan pada telur dan memproduksi senyawasenyawa yang menimbulkan bau busuk dan pigmen piosianin yang berwarna biru (Fardiaz, 1992). Pseudomonas spp. menyebabkan perubahan warna pada keju dan ditemukan juga pada susu.
D. SENYAWA ANTIMIKROBA Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Mekanisme kerja senyawa yang bersifat antimikroba ada beberapa macam, yaitu merusak dinding sel mikroorganisme hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat, bersifat sebagai antimetabolit, menghambat sintesa asam nukleat (Fardiaz, 1987).
16
Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan citarasa dan aroma pada makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba serta memiliki spektrum yang luas karena jenis mikroba dalam pangan umumnya beragam jenis. Menurut Branen dan Davidson (1993), senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat, sorbat, asam organik, sulfit, sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik, asam lemak rantai sedang/medium, ester, dimetil dikarbonat, dietil dikarbonat, nisin, natamisin, bakteriosin, halogen, senyawa surfaktan dan peroksida. Selain itu, senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan fenolik, alkaloid, dan terpenoid juga memiliki aktivitas antimikroba. Masing-masing senyawa antimikroba memiliki mekanisme yang berbeda-beda.
Sebagian
besar
mekanisme
senyawa
fenolik
sebagai
antimikroba adalah dengan mempengaruhi membran sel (Branen dan Davidson, 1993). Hal ini didukung juga oleh pernyataan Sikkema dalam Lambert
(2001)
yang
menyebutkan
bahwa
komponen
fenol
dapat
mempengaruhi membran sel bakteri. Menurut Vas dalam Branen dan Davidson (1993), komponen fenol dapat merusak membran sitoplasma mikroba dan menyebabkan kehilangan komponen sitoplasma. Judi dalam Branen dan Davidson (1993) juga menyebutkan bahwa komponen fenolik dapat menyebabkan kerusakan fisik pada membran sel ataupun pada penahan permeabilitas. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi (Nychas dalam Ardiansyah, 2001). Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Mekanisme antimikroba golongan aldehid, seperti formaldehid dan glutaraldehid, adalah ikatan rangkap pada rantai karbon dapat meningkatkan elektronegativitas yang akan mempengaruhi transfer elektron dan bereaksi
17
dengan komponen nitrogen seperti asam amino dan protein, sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel. Menurut Knobloch et. al. dalam Dorman et. al. (2000), komponen terpenoid dapat mempengaruhi mekanisme biokimia, seperti penghambatan transpor elektron, penghambatan translokasi protein, penghambatan fosforilasi ataupun penghambatan reaksi yang terkait dengan enzim. Menurut Helander dalam Lambert (2001), senyawa thymol dan carvacrol dapat menghancurkan plasma membran sel. Selain itu, senyawa thymol dan carvacrol dapat memecahkan membran luar Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium pada konsentrasi mendekati nilai MIC. Menurut Tranter et. al., Gonzalez et. al., Ultee et. al., dan Tassou et. al. dalam Lambert et. al., (2001), minyak atsiri, komponen fenol, dan bakteriosin dapat menyebabkan kebocoran sel sehingga akan kehilangan berbagai komponen seperti ion, ATP, asam nukleat, dan asam amino. Antibiotik adalah senyawa yang diproduksi oleh mikroba dan mempunyai kemampuan untuk menghambat atau membunuh bakteri dan mikroba lainnya, digunakan terutama untuk mengobati penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Antibiotik adalah suatu senyawa kimia yang diturunkan dari atau diproduksi oleh organisme hidup, yang dalam kadar kecil mampu menghambat proses hidup mikroorganisme. Suatu senyawa dapat digolongkan sebagai antibiotik jika merupakan produk metabolisme (walaupun dapat dibuat secara sintetis), suatu produk sintetik dengan struktur serupa dengan antibiotik yang terdapat di alam, mengantagoniskan pertumbuhan
dan
atau
kelangsungan
hidup
satu
atau
lebih
jenis
mikroorganisme, serta efektif dalam kadar rendah. Beberapa mekanisme aksi antibiotik yang umum dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Mekanisme aksi beberapa antibiotik Tempat aksi
Antibiotik
Proses yang diganggu
Tipe aktivitas
Dinding sel
Basitrasin Sikloserin Penisilin Polimiksin
Sintesis mukopeptida Sintesis peptid dinding sel Ikatan silang dinding sel Integritas membran
Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal
Membran sel
18
Antibiotik yang mengganggu sistem metabolik mikroorganisme dan tidak pada sel mamalia merupakan zat antiinfeksi yang paling berhasil, misalnya zat yang mengganggu sintesis dinding sel bakteri akan berpotensi tinggi untuk toksisitas selektif. Sifat sidal dan statik penting untuk pengobatan infeksi yang serius, terutama jika mekanisme pertahanan penderita menjadi berkurang atau meluap-luap oleh infeksi. Antibiotik beta-laktam merupakan antibiotik yang mengandung cincin beta-laktam dalam strukturnya. Antibiotik beta-laktam terbagi menjadi dua golongan yaitu penisilin dan sefalosforin. Antibiotik beta-laktam memiliki spektrum antimikroba yang luas, memiliki aksi sidal yang kuat dan cepat melawan bakteri dalam fase pertumbuhan serta sangat rendah kejadian toksik dan reaksi buruk lainnya pada inang. Mekanisme aksi letal zat ini adalah dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Hambatan terhadap biosintesis peptidoglikan, yang dibutuhkan untuk membuat dinding sel bakteri menjadi tegar, merupakan mekanisme dasar. Dengan tidak terbentuknya peptidoglikan, ketegaran dinding sel tidak terbentuk penuh dan terjadi lisis karena naiknya tekanan osmosis internal yang merupakan efek perkembangan sel bakteri.
E. UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA Aktivitas
antimikroba
adalah
kemampuan
untuk
menghambat
pertumbuhan mikroba, termasuk bakteriostatik maupun fungistatik (Hirasa et. al., 1998). Metode untuk menganalisis aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh media
analisis,
senyawa
antimikroba,
prosedur
analisis.
Komponen
antimikroba dapat saja berhasil pada kondisi pengujian, tetapi tidak menunjukkan aktivitas yang cukup baik saat diaplikasikan pada produk pangan. Sel vegetatif yang sedang tumbuh lebih sensitif daripada spora terhadap tekanan lingkungan dari senyawa antimikroba. Metode untuk menganalisis aktivitas antimikroba dapat dibedakan menjadi dua, yaitu in vitro dan aplikasi pada produk pangan (Branen dan Davidson, 1993). Metode in vitro tidak mengaplikasikan senyawa antimikroba pada produk pangan, hanya menunjukkan adanya potensi antimikroba pada
19
bahan. Metode in vitro dapat dibedakan lagi menjadi 3, yaitu metode pengenceran (dilution methods), metode difusi agar, dan metode turbidimetri. Masing-masing metode tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Metode difusi agar memiliki kelebihan yaitu sederhana untuk dilakukan, kekurangannya adalah senyawa antimikroba yang akan diuji harus bersifat hidrofilik agar dapat berdifusi dengan baik ke dalam agar. Metode pengenceran
memiliki
keunggulan,
yaitu
dapat
diketahui
terjadinya
kontaminasi, dan dapat dilakukan untuk bahan yang warnanya keruh (Barry dalam Branen dan Davidson, 1993). Metode turbidimetri memiliki kelebihan, yaitu cepat, tidak destruktif dan tidak mahal, sedangkan kekurangannya, yaitu sensitivitasnya rendah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode in vitro, yaitu dengan difusi agar. Metode difusi agar dilakukan dengan memasukkan komponen antimikroba ke dalam agar baik dengan kertas saring ataupun dalam sumur. Komponen akan berdifusi ke dalam agar dan akan menghambat pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam agar. Namun, untuk komponen antimikroba yang hidrofobik, akan sulit berdifusi ke dalam agar karena agar bersifat polar / hidrofilik. Oleh karena itu digunakan DMSO yang bersifat seperti emulsifier, memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik agar senyawa yang bersifat hidrofobik dapat larut dalam agar. Sruktur DMSO dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini. CH3 CH3
Gambar 6. Struktur DMSO [(CH3)2SO] Hasil analisis menggunakan metode difusi agar bersifat kualitatif. Menurut Branen dan Davidson (1993), jika diameter penghambatan lebih besar dari 30 mm, aktivitas antimikroba digolongkan besar. Jika diameter penghambatan antara 20 mm-30 mm, aktivitas antimikroba digolongkan sedang dan jika diameter penghambatan kurang dari 20 mm, aktivitas antimikrobanya digolongkan kecil. Namun, menurut Harris et. al. dan Lewus&Montville seperti dikutip oleh Branen dan Davidson (1993), uji
20
dengan difusi agar biasanya banyak memberikan kesalahan negatif. Selain untuk uji bersifat kualitatif, metode difusi agar dapat dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif, misalnya untuk menentukan nilai konsentrasi minimum dari senyawa antimikroba.
F. SENYAWA FITOKIMIA Fitokimia merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari struktur kimia, biosintesis, perubahan dan metabolisme, penyebaran secara ilmiah dan fungsi dari ragam senyawa organik yang dibentuk oleh tumbuhan. Berdasarkan biogenesisnya, yaitu sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya, senyawa kimia dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa yang merupakan penyusun utama makhluk hidup, seperti polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder adalah senyawa yang tidak berperan sebagai penyusun utama makhluk hidup, tetapi memiliki peranan lain misalnya untuk pertahanan diri. Croteau et. al. (2000) dalam Still (2002) mendefinisikan senyawa fitokimia
sebagai
metabolit
sekunder
dari
tumbuhan.
Berdasarkan
biosintesisnya, Still (2002) mengelompokkan metabolit sekunder menjadi 3 golongan, yaitu golongan terpen dan terpenoid, golongan alkaloid dan golongan fenilpropanoid. 1. Fenol Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (Harborne, 1996). Senyawa fenol cenderung larut dalam air, banyak yang berikatan dengan gula sebagai glikosida. Senyawa fenolik sangat luas, mulai dari senyawa fenol dengan struktur yang sederhana hingga polifenol. Beberapa senyawa fenol juga ada yang bersifat lipofilik. Kelompok fenolik terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen flavonoid, antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, dan stilbena, tanin, serta pigmen kuinon (Harborne, 1996).
21
Senyawa fenol tumbuhan dapat menimbulkan gangguan besar karena mampu membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Akibatnya kerja enzim dapat terganggu (Harborne, 1996). Jika dikelilingi oleh oksidator, komponen fenolik umumnya bertindak sebagai ligan untuk ion logam. Dengan demikian, saat ditambahkan ion feri pada larutan yang mengandung fenol akan terbentuk kompleks berwarna hijau tua, biru atau biru kehitaman (Houghton dan Raman, 1998). Komponen fenolik dapat melignifikasi dinding sel bakteri sehingga keberadaan komponen fenolik dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Dalam satu tumbuhan mungkin terdapat dalam beberapa kombinasi glikosida (Harborne, 1996). Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran. Jarang ditemukan flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Tanin
terdapat
luas
dalam
tumbuhan
berpembuluh,
dalam
angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air (Harborne, 1996). Dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma tetapi jika jaringan rusak, misalnya dimakan oleh hewan, terjadi reaksi penyamakan. 2. Terpenoid Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap, diterpena yang lebih sukar menguap serta senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol serta pigmen karotenoid. Kebanyakan ’terpenoid’ alam memiliki struktur siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil, karbonil, dll). Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstrak menggunakan eter minyak bumi, eter atau kloroform.
22
Terpenoid merupakan bagian utama minyak atsiri. Secara kimia, terpena minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu monoterpena dan seskuiterpena. Monoterpena dapat dipilah lagi menjadi tiga golongan yaitu asiklik (misalnya geraniol), monosiklik (misalnya limonena) dan bisiklik (misalnya alfa pinena dan beta pinena). Monoterpena sederhana tersebar luas dan cenderung merupakan bagian dari kebanyakan minyak atsiri. Secara lebih sederhana, penggolongan senyawa terpenoid dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini. Monoterpen (C10) Mudah menguap Seskuiterpen (C15) Terpenoid
Sulit menguap
Diterpenoid
Tidak menguap
Triterpenoid & steroid
Minyak atsiri
Gambar 7. Penggolongan senyawa terpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid merupakan senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik didih tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dipilah menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpena atau steroid yang terdapat sebagai glikosida. Sterol adalah triterpena
yang
kerangka
dasarnya
sistem
cincin
siklopentana
penhidrofenantrena. Tiga senyawa yang umum disebut sebagai fitosterol mungkin terdapat di setiap tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol, merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah. Pembentukan busa yang mantap (tahan lama) sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau
23
sewaktu memekatkan tumbuhan. Saponin, baik triterpen maupun steroidal, memiliki sifat antimikroba (Naidu, 2000). Menurut Zablotowicz et. al. dan Hoagland et. al. seperti dikutip oleh Naidu (2000), efek yang umum dari aktivitas saponin pada bakteri adalah kebocoran sel sehingga terjadi kehilangan protein dan enzim dari sel. 3. Alkaloid Alkaloid merupakan golongan terbesar dari metabolit sekunder tanaman. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan memiliki banyak kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1996). Semua alkaloid mengandung setidaknya 1 buah atom nitrogen. Banyak alkaloid yang bersifat terpenoid (misalnya solanin, alkaloid-steroid kentang) sehingga dari segi biosintesis sebaiknya ditinjau sebagai terpenoid termodifikasi. Pada kebanyakan kasus, komponen alkaloid bersifat basa sehingga jika ditambahkan asam akan membentuk garam. Untuk membuat bahan benar-benar basa, dilakukan penambahan amonia. Setelah itu, ditambahkan asam. Setelah penambahan asam, alkaloid akan membentuk garam yang akan mengion dan larut dalam air.
24
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku berupa biji jintan hitam kering diperoleh dari Pasar Tanah Abang, Jakarta. Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi meliputi aquades, heksana teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis 96 % diperoleh dari CV. Panca Pratama Bogor. Kultur bakteri Staphylococus aureus,
Escherichia
coli,
Salmonella
Typhimurium,
Pseudomonas
aeruginosa, dan Bacillus cereus diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antimikroba dan uji fitokimia meliputi media Nutrient Broth (NB), media Nutrient Agar (NA), antibiotik amoxycillin, NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), HgCl2, Kalium Iodida, asam sulfat pekat, larutan FeCl3, kloroform, amoniak, gelatin, aquades, eter, asam asetat glasial. Bahanbahan lain yang dibutuhkan adalah parafilm, spiritus, alkohol 70 %, kertas saring Whatman No 1, aluminium foil, kapas, korek api, kertas label, gas N2, es batu, tissue, aluminium foil, dan plastik tahan panas (High Density Polietilen / HDPE). Peralatan yang digunakan meliputi alat refluks (tabung refluks, penangas air dan kondensor), alat penyaring vakum, alat rotavapor, oven vakum, oven, otoklaf, inkubator, refrigerator, hot plate, blender kering, neraca analitik, alat vorteks, gelas ukur, gelas piala, labu erlenmeyer, labu lemak, cawan petri, tabung reaksi tanpa tutup, tabung reaksi bertutup, botol berwarna gelap ukuran 150 ml, botol kecil berwarna gelap ukuran 10-25 ml, pipet mikron, pipet Mohr, pipet tetes, jangka sorong, sudip, sendok, bunsen, bulb, ose, mangkok, baskom, keranjang, loyang, dan spidol waterproof.
B. TEMPAT DAN WAKTU Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2006 hingga bulan Agustus 2006 di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Kimia Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
25
C. METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Tahapan penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1. Penelitian pendahuluan a. Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam (Metode Hitungan Cawan) Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam bertujuan untuk mengetahui jumlah sel dari satu ose kultur mikroba, setelah ditumbuhkan selama 24 jam dalam 10 ml Nutrient Broth. Setelah diketahui jumlah sel mikroba dalam 10 ml Nutrien Broth, dapat ditentukan pengenceran yang perlu dilakukan untuk memperoleh sekitar 105 sel per ml media agar. Kultur dari agar miring digores sebanyak satu ose dan dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam 9 ml NB steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam 9 ml larutan pengencer steril. Seri pengenceran dibuat dari 1:101, 1:102, 1:103 hingga 1 : 108. Pada pengenceran ke-5, pengenceran ke-6, pengenceran ke-7 dan pengenceran ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril kemudian dituang agar. Agar digoyang pelan supaya sel mikroba menyebar rata di dalam agar. Setelah agar membeku, diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi tercapai, dilakukan penghitungan jumlah mikroba. Proses persiapan kultur mikroba secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Ekstraksi komponen antimikroba secara ekstraksi tunggal Tahap ini bertujuan untuk mengekstrak komponen antimikroba yang terdapat dalam biji jintan hitam. Ekstrak yang ingin diperoleh dari proses ekstraksi tunggal adalah ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak air dan ekstrak etanol akan diperoleh dari proses ekstraksi
26
menggunakan pelarut dengan metode refluks, sedangkan minyak atsiri akan diperoleh dari proses distilasi uap. Proses ekstraksi menggunakan pelarut air dan pelarut etanol dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, sedangkan destilasi uap dilakukan di Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor. Setelah diperoleh ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri, masing-masing ekstrak akan diuji aktivitas antimikrobanya dengan metode difusi agar terhadap bakteri Staphylococus aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus cereus. Ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, yaitu memiliki spektrum yang luas dan nilai diameter penghambatan yang besar, akan
diuji
lanjut
dengan
penentuan
nilai
Minimum
Inhibitory
Concentration (MIC) dan diidentifikasi komponen fitokimianya. Metode refluks dilakukan dengan mengkontakkan bahan secara langsung dengan pelarut, yaitu dengan memasukkan bahan dan pelarut ke dalam tabung refluks. Sebelum tabung refluks yang berisi bahan dan pelarut dipasang pada alat refluks, alat refluks dipanaskan mendekati suhu titik didih pelarut. Untuk pelarut air, alat refluks dipanaskan hingga mendekati suhu 100 oC (98-99 oC), sedangkan untuk pelarut etanol alat refluks dipanaskan hingga mendekati suhu 70 oC (68-69 oC). Pada saat suhu yang diinginkan sudah tercapai, tabung refluks yang berisi bahan dan pelarut dipasang pada alat refluks. Pelarut akan mengekstrak komponen antimikroba dari bahan. Pada saat titik didih pelarut tercapai, pelarut akan menguap. Untuk mengurangi kehilangan pelarut, kondensor dipasang di atas tabung refluks. Dengan demikian, saat pelarut yang menguap melewati kondensor yang dingin, pelarut tersebut akan jatuh kembali ke dalam tabung refluks. Ekstraksi dengan metode refluks ini dilakukan dua kali. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam, sedangkan ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Setelah waktu ekstraksi pertama tercapai (3 jam), tabung refluks diangkat dan cairan yang diperoleh disaring dengan kertas saring dan dituang ke dalam botol. Ampas dimasukkan kembali ke dalam tabung
27
refluks untuk diekstrak kedua kalinya. Ampas ditambah pelarut dengan jumlah yang sama seperti pada ekstraksi pertama. Tabung refluks dipasang kembali pada alat refluks dan dioperasikan selama 2 jam. Setelah waktu refluks tercapai, cairan yang diperoleh disaring dan digabungkan dengan filtrat pertama. Bahan yang digunakan dalam ekstraksi pertama dalam keadaan kering, sedangkan bahan yang digunakan pada ekstraksi kedua masih mengandung sebagian pelarut yang tersisa setelah ekstraksi pertama. Ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama adalah 1:3. Jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi kedua sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi kedua tidak tepat 1:3. Setelah proses refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang diperoleh
dikurangi
jumlah
pelarutnya
dengan
cara
diuapkan
menggunakan rotavapor. Untuk filtrat air, penguapan pelarut dilakukan pada suhu 50 oC, sedangkan untuk filtrat etanol, penguapan pelarut dilakukan pada suhu 40-45 oC. Setelah di-rotavapor, sebagian pelarut masih tertinggal dalam ekstrak sehingga dilakukan penghembusan gas N2 untuk menguapkan seluruh pelarut. Penghembusan gas N2 dilakukan hingga ekstrak mencapai berat stabil, yaitu pengurangan bobot ekstrak kurang dari 0,001 g. Ekstrak yang diperoleh kemudian disimpan pada suhu kurang dari 4 oC (suhu refrigerator). Air sangat sulit diuapkan seluruhnya dari ekstrak. Walaupun telah dirotavapor pada suhu 50 oC dan dihembus gas N2, belum semua kandungan air dalam ekstrak menguap. Setelah dihembus gas N2 selama kurang lebih 3 jam, tidak diperoleh pengurangan bobot ekstrak yang cukup berarti. Oleh karena itu, khusus untuk ekstrak air, ekstrak yang digunakan tidak benarbenar pekat. Untuk mengetahui kepekatan ekstrak air secara kuantitatif, dilakukan pengukuran kadar air. Bagan proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan bagan proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol dapat dilihat pada Gambar 9.
28
Bubuk jintan hitam Ulangan
Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam)
(100 ºC, 2 jam)
Ampas
`
Filtrat Dipekatkan (50 oC) Ekstrak air Dihembus N2 Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC) hingga proses analisis
Gambar 8. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air
Bubuk jintan hitam Ulangan
Direfluks dengan etanol (70 oC, 3 jam)
(70 ºC, 2 jam)
Ampas
`
Filtrat Dipekatkan (40-45 oC) Ekstrak etanol Dihembus N2 Ekstrak etanol pekat Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC) hingga proses analisis
Gambar 9. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol
29
2. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan dilakukan dengan mengekstraksi komponen antimikroba secara ekstraksi bertingkat. Ekstraksi bertingkat dengan pelarut organik akan memisahkan komponen antimikroba dalam jintan hitam secara lebih spesifik dan komponen antimikroba akan lebih terkonsentrasi. Dengan ekstraksi secara bertingkat, diharapkan diperoleh konsentrasi komponen antimikroba yang lebih tinggi lagi pada masing-masing ekstrak. Proses ekstraksi bertingkat dilakukan terhadap biji jintan hitam yang telah dihilangkan/diambil minyak atsirinya. Ampas hasil destilasi uap minyak atsiri diekstrak bertingkat secara refluks menggunakan tiga pelarut yang kepolarannya berbeda yaitu heksan, etil asetat dan metanol secara berurutan sehingga diperoleh ekstrak heksan, ekstrak heksan-etil asetat, dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol. Selanjutnya, ekstrak heksan-etil asetat akan disebut sebagai ekstrak etil asetat dan ekstrak heksan-etil asetatmetanol akan disebut ekstrak metanol. Teknik refluks secara ekstraksi bertingkat pada dasarnya sama dengan teknik refluks yang dilakukan secara ekstraksi tunggal. Untuk setiap pelarut, ekstraksi dilakukan dua kali. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam dan ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Bahan yang digunakan dalam ekstraksi pertama dalam keadaan kering, sedangkan bahan yang digunakan pada ekstraksi kedua masih mengandung sebagian pelarut yang tersisa setelah ekstraksi pertama. Ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama adalah 1:3. Jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi kedua sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi kedua tidak tepat 1:3. Setelah proses refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang diperoleh di-rotavapor untuk mengurangi jumlah pelarutnya. Setelah di-rotavapor, filtrat dihembus gas N2 untuk menguapkan seluruh pelarut. Ekstrak disimpan pada suhu 4 oC (suhu refrigerator) sampai proses analisis. Ekstrak siap diuji aktivitas antimikrobanya secara difusi agar. Selain itu, beberapa ekstrak terpilih akan diuji nilai MIC dan diuji secara kualitatif komponen fitokimianya.
30
Perbedaan antara proses refluks secara tunggal dan proses refluks secara bertingkat terletak pada suhu yang digunakan saat refluks, suhu yang digunakan saat rotavapor dan perlakuan terhadap bahan. Suhu yang digunakan saat refluks adalah 60
o
C dan suhu yang digunakan saat
o
rotavapor adalah 40 C. Perbedaan perlakuan pada ekstraksi bertingkat adalah ampas bahan setelah ekstraksi tidak dibuang melainkan digunakan kembali untuk ekstraksi menggunakan pelarut yang lain. Setelah ekstraksi kedua, ampas dikering-anginkan minimal selama satu malam dan di-oven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut yang berbeda. Gambaran lebih sederhana mengenai proses ekstraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 10. Ampas hasil destilasi uap Ulangan
Direfluks dengan pelarut heksan (60 oC, 3 jam)
(60 ºC, 2 jam)
Ampas Ulangan
`
Filtrat
Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam)
(60 ºC, 2 jam)
Ampas Ulangan
Filtrat
(60 ºC, 2 jam)Direfluks o
dengan metanol (60 C, 3 jam)
Ampas
Dipekatkan (40-45 oC)
Filtrat
Ekstrak etil asetat
Dipekatkan
Dihembus gas N2
Ekstrak metanol Dihembus gas N2
Dipekatkan (40-45 oC) Ekstrak heksan
Dihembus gas N2 Ekstrak heksan pekat
Ekstrak etil asetat pekat
Ekstrak metanol pekat Gambar 10. Diagram proses ekstraksi bertingkat dengan metode refluks
31
Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan heksan adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan dioven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut etil asetat. Ampas dikering-anginkan untuk menguapkan heksan dari ampas. Ampas di-oven vakum untuk benar-benar memastikan bahwa seluruh heksan sudah menguap dari ampas. Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan etil asetat adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan dioven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut metanol. Tujuan ampas dikering-anginkan dan dioven vakum adalah untuk menguapkan etil asetat dari ampas. Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan metanol adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC.
D. METODE ANALISIS 1. Analisis kadar air pada ekstrak air jintan hitam (Metode distilasi azeotropik) (Apriantono et. al., 1989) Analisis kadar air dilakukan dengan metode azeotropik karena sampel mengandung senyawa yang mudah menguap. Air akan dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu menggunakan pelarut immicible. Air akan terkumpul dalam labu Bidwel-Sterling dan akan selalu berada pada bagian bawah karena berat jenisnya lebih berat dari berat jenis pelarut. Pemanas berjaket, tabung penerima “Bidwel Sterling”, kondensor tipe “cold finger” dirangkai. Setelah alat selesai dirangkai, sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam labu didih ataupun erlenmeyer yang sudah dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC. Kemudian ditambahkan pelarut
32
(toluena, silena ataupun pelarut lain). Labu didih ataupun erlenmeyer dirangkaikan pada alat distilasi azeotropik. Campuran bahan dan pelarut tersebut dipanaskan dengan pemanas listrik dan refluks perlahan-lahan dengan suhu rendah selama 45 menit. Setelah itu, dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi selama 1-1.5 jam. Setelah waktu distilsi tercapai, baca volume air yang terdistilasi pada Labu Bidwel-Sterling. Kadar air adalah perbandingan volume air yang diperoleh dengan jumlah sampel yang diambil, kemudian dikalikan 100. 2. Pengujian
aktivitas
antimikroba
(Garriga
et.
al.,
1993
yang
dimodifikasi) Sebelum diuji aktivitas antimikrobanya, ekstrak pekat diencerkan terlebih dahulu menggunakan DMSO hingga konsentrasinya sebesar 28 % (w/w). Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam NB selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat pada persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran antara media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2 sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 2 sumur diisi kontrol positif (Amoxycillin 0.01% w/v) dan 2 sumur lagi diisi ekstrak rempah, masingmasing sebanyak 50 µl. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih satu jam untuk memberi kesempatan agar ekstrak meresap terlebih dahulu ke dalam agar. Setelah itu, diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam. Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan sebanyak dua kali ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian ekstrak yang sama diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang berbeda, sedangkan duplo dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2 lubang yang berisi sampel yang sama. Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur zona/diameter penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur. Diameter penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan diameter sumur. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada
33
satu lubang yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Tahapan difusi agar secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada saat melakukan difusi agar, dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba seperti pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi untuk mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam media agar. 3. Penentuan nilai Minimum Inhibitory Concentration (modifikasi metode Bloomfield, 1991) Penentuan nilai MIC dengan metode Bloomfield (1991) dilakukan seperti uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar. Jumlah mikroba yang
harus
berada
dalam
agar,
penghitungan
zona
bening/zona
penghambatan dan cara pengerjaannya sama dengan ketentuan pada metode difusi agar. Perbedaannya hanya terletak pada konsentrasi ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur. Jika hanya ingin mengetahui aktivitas antimikroba, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari satu konsentrasi. Jika ingin mengetahui nilai MIC, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari beberapa konsentrasi. Pada penelitian ini dibuat konsentrasi, yaitu 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, dan 50 %. Pengecualian untuk ekstrak metanol, hanya dibuat 3 konsentrasi yaitu 10 %, 20 % dan 28 %. Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam NB selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat pada persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran antara media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2 sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 4 sumur diisi ekstrak, masing-masing sebanyak 50 µl. Keempat sumur yang diisi ekstrak, setiap dua sumur diisi dengan konsentrasi yang sama. Setelah semua sumur terisi, cawan dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih satu jam untuk memberi kesempatan agar ekstrak meresap terlebih dahulu ke dalam agar. Setelah itu, diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam.
34
Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan sebanyak dua kali ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian ekstrak yang sama diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang berbeda, sedangkan duplo dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2 lubang yang berisi sampel yang sama. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada sumur yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Pada saat penentuan nilai MIC, tetap dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba seperti pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi untuk mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam media agar. Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur zona/diameter penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur. Diameter penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan diameter sumur. Setelah diukur diameter penghambatannya, ditentukan nilai MIC-nya. Penentuan nilai MIC dilakukan secara regresi linier. Dihitung nilai Ln dari masing-masing konsentrasi yang digunakan. Nilai Ln dari masingmasing konsentrasi akan dianggap sebagai nilai pada sumbu X. Besar diameter penghambatan yang diperoleh, dikuadratkan dan akan dianggap sebagai nilai pada sumbu Y. Setelah nilai pada sumbu X dan nilai pada sumbu Y diketahui (sumbu X dari Ln konsentrasi dan sumbu Y dari kuadrat besar diameter penghambatan), ditentukan persamaan regresinya. Setelah diketahui persamaan regresinya, dicari nilai X pada saat nilai Y=0. Setelah diketahui nilai X saat nilai Y=0, dilakukan ekponensial pada nilai X tersebut. Nilai X yang telah dieksponensialkan akan disebut sebagai nilai Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x nilai Mt. Untuk lebih jelas, dapat dilihat contoh perhitungan pada Lampiran 7 hingga Lampiran 10. 4. Identifikasi komponen fitokimia secara kualitatif a. Uji golongan fenolik (Houghton dan Raman, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan FeCl3 1%. Terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya komponen fenol.
35
b. Uji golongan tanin (Houghton dan Raman, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan gelatin 10%. Jika ekstrak menggumpal, berarti ekstrak mengandung tanin. c. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak ditetesi Pb-asetat. Hasil uji positif untuk flavon bila terbentuk warna jingga atau krem. d. Uji golongan alkaloid (Houghton and Raman yang dimodifikasi, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak, kemudian diasamkan dengan beberapa tetes asam sulfat 2 M. Akan terbentuk 2 fase, fase asam diambil dan dibagi ke dalam 3 buah tabung reaksi. Ke dalam tabung pertama ditambahkan 3 tetes pereaksi Dragendorf, ke dalam tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer, dan ke dalam tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Wagner. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Dragendorf jika terdapat endapan berwarna jingga. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Mayer jika terdapat endapan berwarna putih. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Wagner jika terdapat endapan berwarna merah kecoklatan. e. Uji golongan terpenoid dan steroid (Uji Lie-Bermann-Burchard) (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak dilarutkan dalam 2 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 tetes asam asetat glasial dan 3 tetes asam sulfat pekat. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Hasil uji positif untuk terpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Hasil uji positif untuk steroid bila terbentuk warna merah yang kemudian berubah menjadi biru atau hijau. f. Uji golongan saponin (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml air panas lalu didinginkan. Selanjutnya di-vorteks selama 10 detik. Bila ekstrak mengandung senyawa saponin, akan terbentuk buih yang mantap selama sekitar 10 menit. Buih dikatakan mantap jika tingginya 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambah HCl 2 N.
36
E. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan percobaan faktorial dua faktor. Faktor yang digunakan adalah jenis ekstrak dan jenis mikroba. Faktor ekstrak terdiri dari enam taraf, sedangkan faktor mikroba terdiri dari lima taraf. Dalam percobaan faktorial ini, perlakuan yang ada merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari taraf. Dengan rancangan faktorial dapat diketahui respon dari taraf masing-masing faktor (pengaruh utama) serta interaksi antar dua faktor (pengaruh sederhana). Jika diplotkan pada diagram, dapat dilihat respon setiap faktor pada berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pada berbagai kondisi tertentu ke kondisi yang lain, faktor tersebut dapat dikatakan berinteraksi. Sedangkan jika tidak ada perubahan pola, dapat dikatakan tidak ada interaksi. Jika jenis ekstrak dianggap sebagai faktor A dan jenis bakteri sebagai faktor B, model linier aditif dari rancangan ini secara umum adalah sebagai berikut. Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Yijk adalah nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k; µ, αi, βj merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B; (αβ)ij merupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B; εijk merupakan pengaruh acak yang menyebar normal (0,σ2). Untuk mengetahui efektivitas setiap ekstrak dan juga untuk mengetahui ketahanan setiap bakteri uji, dilakukan analisis statistik dengan analisis ragam (ANOVA). Namun, karena ulangan yang digunakan pada setiap ekstrak tidak sama maka digunakan menggunakan metode General Linear Model (GLM) pada taraf nyata 0.05. Metode GLM merupakan suatu prosedur SAS yang didesain untuk keperluan yang lebih global. Metode GLM dapat digunakan untuk mengerjakan data yang tidak seimbang atau jumlah ulangan yang tidak sama (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Jika setelah diolah dengan metode GLM hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 0.05. Analisis statistik dilakukan menggunakan program SAS (Statistical Analysis System).
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan uji aktivitas antimikroba, dilakukan penghitungan jumlah sel mikroba pada umur 24 jam agar terdapat jumlah sel mikroba yang sama pada setiap cawan. Senyawa antimikroba yang terdapat di dalam ekstrak biji jintan hitam diperoleh dengan cara distilasi uap, ekstraksi tunggal menggunakan air dan etanol serta ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut organik dengan tingkat kepolaran berbeda. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi bertingkat adalah heksan teknis, etil asetat teknis, dan metanol teknis. Bahan yang diekstrak secara bertingkat menggunakan pelarut organik adalah biji jintan hitam yang telah dihilangkan minyak atsirinya. Ekstrak yang diperoleh dari proses distilasi uap adalah minyak atsiri, sedangkan ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi tunggal menggunakan pelarut adalah ekstrak air dan ekstrak etanol. Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut adalah ekstrak heksan, ekstrak heksan-etil asetat, dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol. Ekstrak heksan-etil asetat selanjutnya disebut sebagai ekstrak etil asetat dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol selanjutnya disebut sebagai ekstrak metanol. Pada masing-masing ekstrak tersebut dilakukan uji aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi agar. Ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba dengan spektrum luas, akan diuji nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) terhadap bakteri tertentu dan diidentifikasi secara kualitatif komponen fitokimia-nya.
A. PENGHITUNGAN JUMLAH MIKROBA PADA UMUR 24 JAM Penghitungan jumlah mikroba dilakukan terhadap semua kultur mikroba yang digunakan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah metode hitungan cawan. Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikroba yang masih hidup pada medium agar, sel tersebut akan berkembang biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992). Dengan menggunakan metode hitungan cawan, jumlah sel mikroba yang digunakan dapat diketahui dengan lebih pasti karena yang dihitung adalah sel yang
38
memang benar-benar masih hidup. Berikut ini adalah hasil penghitungan jumlah sel bakteri uji pada umur 24 jam. Tabel 7. Jumlah sel mikroba pada umur 24 jam Jenis mikroba
Jumlah mikroba umur 24 jam
Bacillus cereus Staphylococcus aureus Esherichia coli Salmonella Typhimurium Pseudomonas aeruginosa
5.3 x 108 1.2 x 108 4.5 x 108 5.4 x 108 1.2 x 108
Dari Tabel 7, dapat diketahui bahwa jumlah sel masing-masing mikroba pada umur 24 jam adalah sekitar 108 sel/ml NB. Jumlah mikroba yang diinginkan untuk dimasukkan ke dalam agar (NA) adalah 105 sel/ml agar sehingga perlu dilakukan pengenceran hingga 1/1000 kali. Cara penentuan jumlah mikroba yang dimasukkan ke dalam agar (NA) dapat dilihat pada Lampiran 4.
B. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU Biji jintan hitam yang digunakan berwarna hitam, berbentuk bulat lonjong, dengan panjang sekitar 2 mm dan tebal sekitar 1 mm. Biji jintan hitam memiliki aroma yang khas jintan hitam dan rasanya pahit. Biji jintan hitam mengandung kadar karbohidrat dan lemak yang tinggi seperti terlihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Hasil analisis proksimat biji jintan hitam Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Persentase (%) 5.52 19.69 31.68 4.28 38.83
C. KARAKTERISTIK EKSTRAK JINTAN HITAM Proses ekstraksi senyawa antimikroba dilakukan dengan metode ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal untuk memperoleh senyawa antimikroba dari jintan hitam dilakukan dengan distilasi
39
uap dan ekstraksi menggunakan pelarut air dan etanol. Distilasi uap dilakukan untuk memperoleh hanya komponen volatil biji jintan hitam, yaitu dalam bentuk minyak atsiri. Ekstraksi tunggal dengan air dan etanol dimaksudkan untuk mengekstrak komponen volatil dan komponen non-volatil yang terdapat dalam biji jintan hitam. Ekstraksi bertingkat dilakukan terhadap biji jintan hitam yang telah diambil minyak atsirinya, menggunakan heksan, etil asetat, dan metanol secara berurutan. Proses ekstraksi dengan pelarut, baik ekstraksi tunggal maupun ekstraksi bertingkat dilakukan dengan metode refluks, yaitu dengan mengkontakkan langsung bahan dan pelarut. Dalam metode refluks, campuran bahan dan pelarut diberi panas mendekati titik didih pelarut. Proses ekstraksi dilakukan dua kali agar jumlah yang rendemen diperoleh dapat optimal. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam, sedangkan ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Filtrat dari masing-masing proses digabungkan kemudian dipekatkan dan dihembus gas N2 untuk menghilangkan pelarut yang terbawa dalam filtrat sehingga diperoleh ekstrak pekat tanpa residu pelarut. Pengecualian untuk ekstrak air, pelarut air tidak diuapkan seluruhnya. Proses ekstraksi secara bertingkat dilakukan untuk memisahkan senyawa antimikroba secara lebih spesifik berdasarkan polaritasnya. Menurut Adawiyah (1998), ekstrak yang diperoleh dengan ekstraksi secara bertingkat memberikan aktivitas antimikroba yang lebih baik dibandingkan dengan ekstraksi tunggal. Ekstrak hasil ekstraksi bertingkat memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik karena senyawa antimikroba akan terpisah sesuai dengan polaritas pelarutnya sehingga konsentrasi senyawa antimikroba pada masing-masing pelarut akan lebih tinggi. Penyulingan minyak atsiri (distilasi uap) dilakukan dua kali dengan menggunakan biji jintan hitam yang berbeda dan ulangan yang berbeda juga. Pada penyulingan pertama dilakukan tanpa penghalusan biji jintan hitam karena dianggap sudah cukup halus, sedangkan pada penyulingan yang kedua dilakukan dengan penghalusan biji jintan hitam. Dari penyulingan pertama diperoleh minyak atsiri dengan rendemen sebesar 0.16 % (v/w), sedangkan dari penyulingan kedua diperoleh minyak atsiri dengan rendemen sebesar
40
0.34% (v/w). Rendemen yang diperoleh pada penyulingan minyak atsiri bahan bakunya dihaluskan terlebih dahulu ternyata lebih tinggi daripada rendemen penyulingan minyak atsiri yang bahan bakunya tidak dihaluskan. Terjadi perubahan besar rendemen yang cukup besar, yaitu dua kali lipat dari rendemen yang pertama. Hasil penyulingan minyak atsiri secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil penyulingan minyak atsiri biji jintan hitam
1
Bobot bahan yang disuling (kg)* 1.90
2
0.92
Sampel
Kadar air (%)*
Ukuran (mesh)
Rendemen (% v/w)*
12.97
10
0.16
2.50
20
0.34
Keterangan : *) Laporan hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
Peningkatan rendemen pada minyak atsiri jintan hitam yang telah dihaluskan disebabkan oleh proses penghalusan akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga minyak atsiri akan lebih mudah terekstrak. Bila bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi jika uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Hal ini terjadi secara difusi. Jika bahan dihaluskan, ukuran ketebalan untuk terjadinya proses difusi akan berkurang sehingga saat penyulingan, laju penguapan minyak atsiri dari bahan menjadi lebih cepat (Ketaren, 1987). Selain disebabkan oleh perbedaan perlakuan, peningkatan rendemen minyak atsiri dapat juga disebabkan oleh kadar air jintan hitam yang disuling. Jintan hitam yang dihaluskan terlebih dulu sebelum disuling memiliki kadar air (2.50 %) lebih rendah daripada kadar air jintan hitam yang disuling tanpa dilakukan penghalusan (12.97 %). Menurut Ketaren (1987), penyulingan minyak atsiri tidak sempurna jika bahan mengandung kadar air tinggi. Pada penelitian ini, minyak atsiri yang diuji aktivitas antimikrobanya adalah minyak atsiri yang diperoleh dari biji jintan hitam yang dihaluskan terlebih dulu. Komponen antimikroba yang akan diekstrak dari biji jintan hitam belum diketahui sifatnya. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi kembali secara bertingkat pada ampas hasil penyulingan minyak atsiri. Ekstraksi bertingkat
41
dilakukan menggunakan berbagai pelarut organik dengan polaritas yang berbeda-beda. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bertingkat adalah heksan, etil asetat, dan metanol. Heksan sebagai pelarut yang bersifat non polar, etil asetat sebagai pelarut yang bersifat semi polar dan metanol sebagai pelarut yang bersifat polar. Senyawa antimikroba akan terekstrak sesuai polaritas pelarutnya sehingga senyawa antimikroba yang terdapat dalam jintan hitam akan terpisah berdasarkan kepolarannya. Ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut, dilakukan dengan metode refluks pada suhu mendekati titik didih pelarutmya dalam keadaan murni (bukan titik didih pelarut teknis). Titik didih air, etanol murni, heksan murni, etil asetat murni dan metanol murni pada tekanan 1 atmosfir secara berturut-turut adalah 100 oC, 78 oC, 69 oC, 77-78 oC, dan 65 o
C. Penggunaan suhu tinggi dalam ekstraksi akan meningkatkan kelarutan
komponen karena suhu tinggi akan mempermudah penetrasi pelarut ke dalam struktur selular bahan (Houghton dan Raman, 1998). Komponen yang terekstrak dengan metode refluks merupakan komponen yang tahan panas. Hal ini terkait dengan termostabilitas komponen, komponen yang tidak tahan panas akan hilang selama proses refluks. Pelarut etanol, heksan, etil asetat dan metanol yang digunakan dalam ekstraksi merupakan pelarut bersifat teknis. Pemilihan pelarut teknis ini terkait dengan pertimbangan ekonomis jika akan diaplikasikan dalam industri. Pelarut yang paling mudah diperoleh dan paling murah adalah air karena air tersedia melimpah di muka bumi. Selain itu, air merupakan pelarut bagi semua sistem kehidupan, digunakan oleh manusia dalam memasak dan menyiapkan makanan sehingga residunya tidak memiliki pengaruh toksik terhadap tubuh manusia. Ekstrak air sangat sulit dipekatkan jika dibandingkan dengan ekstrak etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Pemekatan ekstrak air dilakukan menggunakan rotavapor pada suhu 50 oC, sedangkan ekstrak yang lain dipekatkan pada suhu 40-45 oC. Pemekatan ekstrak air tidak dilakukan pada suhu yang lebih tinggi lagi dengan tujuan untuk menghindari kerusakan komponen dalam ekstrak. Walaupun dipekatkan pada suhu yang
42
lebih tinggi daripada ekstrak lainnya, pemekatan tetap masih sulit dilakukan. Hal ini diduga disebabkan oleh ke-vakum-an alat yang digunakan kurang baik. Semakin rendah tekanan udara alat (semakin vakum) maka titik didih pelarut akan semakin rendah. Tekanan vakum alat yang digunakan cukup untuk mencapai titik didih etanol, heksan, etil asetat dan metanol pada suhu 40oC, tetapi tidak cukup vakum untuk mencapai titik didih air. Ekstrak air berwarna coklat susu dan masih ada aroma jintan hitam. Rendemen ekstrak air adalah 82.73 %, tetapi tidak berupa ekstrak pekat. Kadar air dari ekstrak air adalah 86.85 %. Karakteristik ekstrak yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik berbagai ekstrak jintan hitam Rendemen (%)*
Penampakan/ Warna
Aroma
Ekstraksi tunggal : • Minyak atsiri
0.34
Coklat jernih
•
Ekstrak air
82.73
Coklat susu
•
Ekstrak etanol
8.39
Coklat kehitaman
Menyengat, khas jintan hitam Ada aroma jintan hitam Ada aroma jintan hitam
Ekstraksi bertingkat** : • Ekstrak heksan
25.55
•
Ekstrak heksanetil asetat
8.60
Coklat kehijauan, agak keruh Coklat tua
Tidak ada aroma jintan hitam Tidak ada aroma jintan hitam
•
Ekstrak heksanmetanol
5. 08
Coklat tua
Tidak ada aroma jintan hitam
Ekstrak
Keterangan : *) Rendemen = (Bobot ekstrak / Bobot bahan awal) x 100; contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8 **) Sampel telah dihilangkan minyak atsirinya dan dalam penghitungan rendemen yang dijadikan bobot bahan awal adalah bobot bahan (ampas) yang digunakan
Heksan bersifat non polar sehingga akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non polar juga. Senyawa yang umumnya terekstrak oleh heksan adalah lilin, lemak, minyak, dan minyak atsiri. Ekstrak heksan dalam penelitian ini sudah tidak mengandung minyak atsiri karena sudah dipisahkan terlebih dulu. Ekstrak heksan memiliki rendemen tertinggi. Tingginya
43
rendemen ekstrak heksan menunjukkan kandungan lemak biji jintan hitam cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis proksimat yang dilakukan, kadar lemak biji jintan hitam adalah sebesar 31.68 %. Etanol dan etil asetat tergolong bersifat semi polar. Berdasarkan asas like dissolve like, senyawa yang akan larut dalam etanol dan etil asetat adalah senyawa yang bersifat semi polar juga. Walaupun ekstrak etanol diperoleh secara ekstraksi tunggal dan ekstrak etil asetat diperoleh secara ekstraksi bertingkat, rendemen ekstrak etanol (8.39 %) tidak berbeda jauh dengan rendemen ekstrak etil asetat (8.60 %). Senyawa yang umum larut dalam etanol adalah glikosida, sedangkan senyawa yang umum larut dalam etil asetat adalah alkaloid, aglikon, dan glikosida. Minyak atsiri memiliki aroma yang menyengat, khas jintan hitam. Ekstrak air dan etanol masih memberikan aroma jintan hitam karena sebelum proses ekstraksi tidak dilakukan pemisahan komponen volatil (seperti penyulingan minyak atsiri). Ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol sudah tidak memberikan aroma jintan hitam. Hal tersebut disebabkan komponen yang memberikan aroma jintan hitam sudah terekstrak pada minyak atsiri. Menurut Belitz et. al. (1999), komponen aroma dalam rempahrempah umumnya terdapat dalam minyak atsiri.
D. AKTIVITAS ANTIMIKROBA Uji aktivitas antimikroba dilakukan menggunakan metode difusi agar. Metode difusi agar dilakukan dengan memasukkan komponen antimikroba ke dalam lubang pada agar. Komponen akan berdifusi ke dalam agar dan akan menghambat pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam agar. Namun, untuk komponen antimikroba yang hidrofobik, akan sulit berdifusi ke dalam agar karena agar bersifat polar / hidrofilik. Oleh karena itu digunakan DMSO yang bersifat seperti emulsifier, memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik agar senyawa yang
bersifat
hidrofobik
dapat
larut
dalam agar.
Untuk
menghilangkan pengaruh DMSO terhadap ekstrak, DMSO digunakan sebagai kontrol negatif pada saat dilakukan uji difusi agar. Berdasarkan hasil penelitian ini, DMSO tidak menunjukkan adanya aktivitas antimikroba.
44
Ekstrak yang menjadi hasil ekstraksi tunggal adalah ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak yang menjadi hasil ekstraksi bertingkat adalah ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Untuk mengetahui pengaruh jenis ekstrak dan jenis mikroba terhadap besar diameter penghambatan (aktivitas antimikroba), dilakukan pengolahan statistik dengan analisis ragam dengan rancangan faktorial pada taraf nyata 0.05. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis ragam Sumber keragaman Ekstrak Mikroba Interaksi Galat Total
Derajat bebas 5 4 20 53 82
Jumlah kuadrat 152.720 158.829 105.653 21.419 459.294
Kuadrat tengah 30.544 39.707 5.283 0.404
Nilai F
Nilai p
75.58 98.25 13.07
0.0001 0.0001 0.0001
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa baik ekstrak maupun mikroba memiliki nilai peluang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini (p<0.05). Dengan demikian jenis ekstrak dan jenis mikroba akan berpengaruh secara nyata terhadap besar diameter penghambatan (aktivitas antimikroba). Untuk mengetahui jenis ekstrak dan jenis mikroba yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap diameter penghambatan, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 11. Nilai peluang terjadinya interaksi antara jenis ekstrak dan jenis mikroba lebih kecil dari 0.05 sehingga ada interaksi antara jenis ekstrak dan jenis mikroba dalam mempengaruhi besar diameter penghambatan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05, yang dapat dilihat pada Lampiran 11, diketahui bahwa ekstrak biji jintan hitam yang paling baik dalam menghambat semua bakteri uji adalah ekstrak etanol. Aktivitas antimikroba minyak atsiri lebih rendah jika dibandingkan dengan aktivitas antimikroba ekstrak etanol, tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstrak biji jintan hitam yang lainnya. Ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol memberikan pengaruh yang tidak berbeda dalam menghambat
45
pertumbuhan bakteri uji, sedangkan ekstrak air dan ekstrak heksan adalah ekstrak biji jintan hitam yang paling tidak efektif dalam menghambat bakteri uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan memberikan pengaruh yang tidak berbeda dalam menghambat semua mikroba uji. Hasil uji lanjut Duncan terhadap jenis bakteri pada taraf nyata 0.05 menunjukkan bahwa setiap bakteri uji memberikan
pengaruh
yang
berbeda-beda
terhadap
besar
diameter
penghambatan. Bakteri uji yang paling dihambat oleh semua ekstrak jintan hitam adalah Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri uji yang paling tahan (paling tidak dihambat) terhadap semua ekstrak jintan hitam adalah Escherichia coli. 1. Aktivitas antimikroba berbagai ekstrak jintan hitam Berdasarkan hasil penelitian ini, biji jintan hitam mengandung senyawa antimikroba yang bersifat polar, semi polar dan non polar. Pada Gambar 11 terlihat bahwa semua jenis ekstrak baik yang bersifat polar, semi polar dan tidak polar menunjukkan adanya aktivitas antimikroba walaupun tidak semua ekstrak tersebut dapat menghambat semua bakteri uji. Ekstrak yang bersifat polar adalah ekstrak air dan ekstrak metanol. Ekstrak yang bersifat semi polar adalah ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat. Ekstrak yang bersifat non polar dari ekstrak adalah ekstrak heksan. Keefektifan masingmasing ekstrak tersebut tergantung pada jenis bakteri yang dihambat.
Gambar 11. Pengaruh berbagai ekstrak jintan hitam terhadap bakteri uji.
46
Ekstrak air tidak begitu efektif dibandingkan dengan ekstrak metanol dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Hal ini dapat dilihat dari nilai diameter
penghambatan
yang
kecil,
bahkan
tidak
menunjukkan
penghambatan terhadap Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Diameter
penghambatan
ekstrak
air
terhadap
Bacillus
cereus,
Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa secara berturut-turut adalah 1.65±0.150 mm, 3.37±0.190 mm, dan 2.93±0.025 mm. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak air terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Pengaruh ekstrak air terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=2.
Ketidakefektifan ekstrak air dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji dapat disebabkan oleh keadaan ekstrak air yang tidak pekat sehingga konsentrasi ekstrak yang dimasukkan ke dalam agar belum efektif menghambat pertumbuhan bakteri uji. Kadar air ekstrak air adalah 86.85 % sehingga sebenarnya konsentrasi ekstrak air hanya sekitar satu per tujuh dari konsentrasi ekstrak jintan hitam yang lainnya. Jika ekstrak air digunakan dalam bentuk pekat, mungkin aktivitas antimikrobanya akan lebih baik lagi. Selain disebabkan oleh keadaan yang tidak pekat, ketidakefektifan ekstrak air dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji dapat disebabkan oleh sifat air yang terlalu polar, sedangkan sifat komponen antimikroba yang
47
terdapat dalam biji jintan hitam hanya sedikit yang bersifat polar. Menurut Ahmad et. al. (1998) dalam Ahmad et. al. (2001), etanol merupakan pelarut yang lebih baik dibandingkan air dan heksan jika akan mengekstrak komponen antimikroba. Hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak etanol lebih baik daripada ekstrak air adalah hasil penelitian Nair et. al. (2006). Menurut Nair, et. al. (2006), aktivitas antimikroba ekstrak air yang lebih rendah dibandingkan aktivitas ekstrak etanol diduga karena konsentrasi komponen aktif yang jenisnya sama, yang terdapat pada ekstrak air dan ekstrak etanol, terdapat lebih rendah dalam ekstrak air atau karena komponen aktif bahan lebih larut dalam pelarut organik sehingga tidak terdapat dalam ekstrak air. Penelitian yang menggunakan air untuk mengekstrak senyawa antimikroba adalah penelitian Al-hebshi et. al. (2005) yang menyatakan bahwa ekstrak air dari khat memiliki aktivitas antimikroba pada bakteri tertentu. Adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak air khat menunjukkan bahwa dalam khat terdapat komponen antimikroba yang larut dalam air, seperti tanin. Leelapornpisid et. al (2006) juga menyatakan bahwa ekstrak air dari Excoecaria cochinchinensis Lour dan Salvia officinalis Lour memiliki aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus dengan nilai MIC 1.56 mg/ml untuk Excoecaria cochinchinensis Lour dan 3.13 mg/ml untuk Salvia officinalis Lour. Ekstrak
metanol
tidak
menunjukkan
penghambatan
terhadap
pertumbuhan terhadap Escherichia coli. Diameter penghambatan ekstrak metanol
terhadap
Pseudomonas
aeruginosa,
Bacillus
cereus,
Staphylococcus aureus, dan Salmonella Typhimurium secara berturut-turut adalah 5.56±0.432 mm, 4.33±0.494 mm, 4.18±0.710 mm, dan 3.08±0.245 mm. Walaupun tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05, ekstrak metanol tidak berbeda dengan ekstrak etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji secara keseluruhan. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak metanol terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 13.
48
Diameter penghambatan (mm)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B. cereus
S.aureus
E coli
S.Typhimurium
P.aeruginosa
Jenis bakteri
Gambar 13. Pengaruh ekstrak metanol terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
Metanol tergolong pelarut bersifat polar jika dibandingkan dengan heksan, etanol, dan etil asetat. Berdasarkan asas like dissolve like, senyawa yang larut dalam metanol akan cenderung bersifat polar juga. Menurut Houghton dan Raman (1998), senyawa yang umumnya larut dalam metanol sama dengan senyawa yang umumnya larut dalam air, yaitu gula, asam amino, dan glikosida. Biji jintan hitam mengandung saponin melantin (Achyad et. al., 2000) sehingga kemungkinan aktivitas antimikroba ekstrak air dan ekstrak metanol jintan hitam disebabkan oleh adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Saponin memiliki aktivitas antimikroba yang dalam mekanismenya akan menyebabkan kebocoran protein dan enzim-enzim dari sel bakteri (Naidu, 1998). Selain glikosida, tanin juga larut dalam air dan metanol. Mekanisme tanin sebagai antimikroba adalah dengan mengkelat ion-ion logam yang penting dalam metabolisme, yang terdapat di permukaan sel bakteri (Scalbert, 1991). Ekstrak etanol dapat menghambat seluruh bakteri uji sehingga merupakan ekstrak yang memiliki spektrum yang luas. Diameter penghambatan ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, dan Pseudomonas aeruginosa secara berturut-turut adalah 5.32±0.135 mm, 9.34±0.308 mm, 1.67±0.020 mm, 5.20±0.190 mm, dan 7.05±0.217 mm. Hasil uji aktivitas
49
antimikroba ekstrak etanol terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar
Diameter penghambatan (mm)
14.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B. cereus
S.aureus
E coli
S.Typhimurium
P.aeruginosa
Jenis bakteri
Gambar 14. Pengaruh ekstrak etanol terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE
Dari kecenderungan data yang diperoleh, seperti terlihat pada Gambar 14, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sensitif dihambat oleh ekstrak etanol. Hasil penelitian yang dilakukan Ahmad et. al. (2001) mendukung bahwa Staphylococcus aureus merupakan mikroba yang paling sensitif dihambat oleh ekstrak etanol jintan hitam. Gambar zona penghambatan bakteri Staphylococcus aureus oleh ekstrak etanol jintan hitam dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
Ekstrak etanol
Kontrol
Kontrol
50
Gambar 15. Zona penghambatan ekstrak etanol jintan hitam terhadap Staphylococcus aureus Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antimikroba ekstrak etanol biji jintan hitam disebabkan oleh adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Selain glikosida, tanin juga larut dalam etanol dan memiliki aktivitas antimikroba. Etil asetat tergolong sebagai pelarut yang bersifat semi polar. Menurut Adawiyah (1998), sifat etil asetat yang semi polar menyebabkan ekstrak etil asetat akan memiliki dua sifat kelarutan, yaitu hidrofilik dan lipofilik. Gugus lipofilik dan hidrofilik, keduanya diperlukan untuk kerja senyawa antimikroba. Gugus hidrofilik dibutuhkan agar zat antimikroba dapat larut dalam air yang menjadi tempat tumbuh mikroba, sedangkan sifat lipofolik diperlukan agar zat tersebut bereaksi dengan membran dari mikroba (Branen dan Davidson, 1993). Ekstrak etil asetat memiliki spektrum luas karena dapat menghambat semua bakteri uji. Besar diameter penghambatan ekstrak etil asetat terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, dan Pseudomonas aeruginosa secara berturutturut adalah 3.17±0.215 mm, 3.04±0.703 mm, 2.15±0.189 mm, 5.07±0.477 mm, dan 4.19±0.365 mm. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat
Diameter penghambatan (mm)
terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 16.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B. cereus
S.aureus
E coli
S.Typhimurium
P.aeruginosa
Jenis bakteri
51
Gambar 16. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
Senyawa fitokimia yang umum larut dalam etil asetat adalah alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton dan Raman, 1998). Aktivitas antimikroba pada ekstrak etil asetat jintan hitam diduga disebabkan oleh adanya komponen alkaloid dan glikosida karena menurut Al-Saleh (2006), biji jintan hitam mengandung alkaloid dan menurut Achyad et. al. (2000), biji jintan hitam mengandung glikosida yaitu saponin melantin. Alkaloid dan glikosida merupakan senyawa yang sudah diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Minyak atsiri biji jintan hitam menunjukkan efektifitas yang cukup baik dalam menghambat semua bakteri uji. Diameter penghambatan minyak atsiri terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium dan Pseudomonas aeruginosa secara berturutturut adalah 6.07±0.175 mm, 7.36±0.334 mm, 3.25±0.225 mm, 4.23±0.406 mm, dan 2.29±0.227 mm. Hasil uji aktivitas antimikroba minyak atsiri
Diameter penghambatan (mm)
terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 17.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B. cereus
S.aureus
E coli
S.Typhimurium
P.aeruginosa
Jenis bakteri
Gambar 17. Pengaruh minyak atsiri terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
52
Berdasarkan
Gambar
17,
bakteri
yang
paling
dihambat
pertumbuhannya oleh minyak atsiri adalah Staphylococcus aureus. Hasil penelitian lain yang menyebutkan tentang sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap minyak atsiri adalah hasil penelitian Rota et. al. (2004) yang menyebutkan bahwa Staphylococcus aureus lebih sensitif terhadap minyak atsiri dibandingkan dengan Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri bersifat volatil, umumnya dari golongan terpenoid (monoterpen dan seskuiterpen) dan golongan fenolik (Houhgton dan Raman, 1998). Terpenoid merupakan komponen yang memiliki aktivitas antimikroba (Dorman, 2000). Salah satu komponen yang termasuk golongan terpenoid adalah thymol. Thymol merupakan salah satu komponen dalam minyak atsiri yang sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan
bakteri
Escherichia
coli,
Staphylococus
aureus,
dan
Pseudomonas aeruginosa (Hirasa, 1998). Menurut Al-Saleh (2006), biji jintan hitam mengandung thymol. Oleh karena itu, efektivitas minyak atsiri biji jintan hitam dalam menghambat semua bakteri uji dapat disebabkan oleh adanya thymol dalam minyak atsiri biji jintan hitam. Menurut Dorman dan Deans (2000), thymol merupakan senyawa antimikroba berspektrum luas. Berdasarkan Gambar 17, bakteri yang paling sulit dihambat pertumbuhannya oleh minyak atsiri jintan hitam adalah Pseudomonas aeruginosa. Jika dikaitkan dengan keberadaan thymol dalam minyak atsiri, tidak sensitifnya Pseudomonas aeruginosa terhadap minyak atsiri didukung oleh hasil penelitian Lambert et. al. (2001) yang menyatakan bahwa Pseudomonas
aeruginosa
tidak
terlalu
sensitif
terhadap
thymol
dibandingkan dengan Staphylococus aureus. Besar diameter penghambatan ekstrak heksan terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus cereus secara berturut-turut adalah 4.02±0.361 mm, 3.72±0.826 mm dan 2.08±0.460 mm. Ekstrak heksan tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Esherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Hasil serupa diperoleh Thongson et. al. (2004) yang menunjukkan bahwa ekstrak heksan dari Zingiber officinale
53
Rose (jahe), Boesenbergia pandurata Holtt (fingerroot), dan Curcuma longa Linn. (kunyit) tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Salmonella Typhimurium. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak heksan terhadap
Diameter penghambatan (mm)
bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 18. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B. cereus
S.aureus
E coli
S.Typhimurium
P.aeruginosa
Jenis bakteri
Gambar 18. Pengaruh ekstrak heksan terhadap bakteri uji Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3
Heksan merupakan pelarut yang bersifat paling tidak polar jika dibandingkan dengan pelarut lain yang digunakan dalam penelitian ini sehingga ekstrak heksan bersifat non polar. Ketidakefektifan ekstrak heksan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji diduga disebabkan oleh sifat heksan yang sangat tidak polar sehingga hanya sedikit komponen antimikroba yang dapat larut di dalamnya. Komponen antimikroba dalam ekstrak bahan alami umumnya adalah golongan fenolik yang bersifat polar. Komponen yang umumnya larut dalam heksan adalah lilin, lemak, komponen terpenoid. Sampel yang diekstrak menggunakan heksan sudah dihilangkan minyak atsiri-nya (komponen volatil) sehingga senyawa antimikroba yang larut dalam heksan adalah senyawa antimikroba yang tidak volatil. Diduga komponen antimikroba yang terdapat dalam ekstrak heksan adalah golongan terpenoid yang tidak volatil, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya aktivitas antimikroba pada minyak atsiri dan ekstrak heksan menunjukkan bahwa
54
komponen antimikroba yang terdapat dalam jintan hitam ada yang tergolong terpenoid mudah menguap dan terpenoid yang tidak menguap. Selain disebabkan oleh adanya komponen steroid dan triterpenoid, adanya aktivitas antimikroba ekstrak heksan terhadap beberapa bakteri uji dapat juga disebabkan adanya asam-asam lemak. Menurut Hinton et. al. (2000) dalam Ji et. al. (2002), aktivitas antimikroba asam lemak disebabkan oleh kemampuan asam lemak untuk menghancurkan membran sel bakteri dan menyebabkan lisis sel. Menurut Ji et. al. (2002), asam linoleat memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus. Asam linolenat diduga menyebabkan abnormalitas permukaan sel ataupun pada bagian intraselular (Ji et. al., 2002). Kemampuan senyawa non polar untuk menghambat pertumbuhan mikroba diduga karena senyawa non polar dapat menyebabkan perubahan komposisi membran sel, sehingga membran sel mengalami kerusakan. Selain itu, komponen non polar juga dapat bereaksi dengan protein membran yang menyebabkan kebocoran isi sel (Sikkema dalam Ardiansyah, 2001). Ekstrak heksan maupun minyak atsiri merupakan ekstrak yang bersifat non polar. Namun, minyak atsiri memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada ekstrak heksan. Hal ini terkait dengan jenis asam lemak yang terkandung
dalam
masing-masing
ekstrak
tersebut.
Minyak
atsiri
mengandung asam lemak-asam lemak rantai pendek, sedangkan ekstrak heksan cenderung mengandung asam lemak dengan rantai yang lebih panjang. Dalam menghambat pertumbuhan bakteri, asam lemak rantai pendek lebih efektif daripada asam lemak rantai panjang karena strukturnya yang pendek menyebabkan asam lemak rantai pendek lebih mudah masuk ke dalam sel bakteri. 2. Ketahanan bakteri terhadap berbagai ekstrak jintan hitam Berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05, setiap bakteri uji memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besar diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling dihambat oleh semua ekstrak jintan hitam adalah Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri uji yang paling tahan (paling tidak dihambat) terhadap semua ekstrak jintan hitam adalah
55
Escherichia coli. Ketahanan Escherichia coli terhadap semua ekstrak jintan hitam dapat disebabkan Escherichia coli tahan hidup dan berkembang baik pada kondisi tidak baik dan kekurangan gizi (Pelczar et. al. dalam Ardiansyah, 2001). Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Dapat dilihat pada Gambar 19 bahwa pertumbuhan bakteri Gram positif cenderung lebih dihambat daripada pertumbuhan bakteri Gram negatif, kecuali pada ekstrak etil asetat. Pola penghambatan terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif dari ekstrak-ekstrak jintan hitam ini mirip dengan pola penghambatan antibiotik penisin G. Menurut Prescott et. al. (2003), penisilin G lebih aktif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif.
Gambar 19. Pengaruh masing-masing ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Keterangan : Batang menunjukkan nilai rata-rata dari diameter penghambatan bakteri uji yang telah dikelompokkan berdasarkan jenis Gram.
Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan bakteri Gram negatif karena struktur dinding sel bakteri
Gram
negatif
yang
berlapis-lapis,
yaitu
lipopolisakarida,
peptidoglikan dan lipoprotein. Pada lapisan lipopolisakarida tersebut Gram negatif memiliki sistem seleksi (screening) terhadap zat-zat asing (Branen dan Davidson, 1993). Bakteri Gram negatif umumnya lebih sensitif terhadap
56
senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antimikroba yang bersifat polar. Sebaliknya dari bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non polar. Kesensitifan bakteri Gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non polar disebabkan komponen terbesar penyusun dinding sel bakteri Gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino alanin yang bersifat hidrofobik/non polar. Hal inilah yang menyebabkan dinding sel bakteri Gram positif menjadi lebih mudah dilewati dan diserang oleh senyawa antimikroba yang bersifat non polar. 3. Efektivitas senyawa antimikroba ekstrak biji jintan hitam Ekstrak biji jintan hitam yang menunjukkan spektrum antimikroba yang luas adalah ekstrak etanol, minyak atsiri dan ekstrak etil asetat karena dapat menghambat semua bakteri uji. Ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat mengandung komponen antimikroba yang cenderung bersifat semi polar, sedangkan minyak atsiri mengandung komponen antimikroba yang cenderung bersifat non polar. Hal ini menunjukkan bahwa kepolaran tidak menentukan adanya aktivitas antimikroba. Namun, dalam mengekstrak senyawa antimikroba penting untuk mengetahui polaritas komponen antimikroba yang terdapat dalam bahan agar dapat ditentukan metode yang tepat untuk mengekstraknya. Jika dilakukan perbandingan antara ekstrak-ekstrak yang memiliki spektrum luas, ekstrak etanol dapat dianggap sebagai ekstrak terbaik untuk menghambat semua bakteri uji. Ekstrak etanol mengandung komponen volatil dan non-volatil dari biji jintan hitam, minyak atsiri hanya mengandung komponen volatil, dan ekstrak etil asetat hanya mengandung komponen non-volatil. Efektivitas ekstrak etanol disebabkan ekstrak etanol mengandung senyawa antimikroba yang bersifat volatil dan non-volatil. Dengan demikian, jumlah dan jenis senyawa antimikroba yang terkandung dalam ekstrak etanol akan lebih banyak dan lebih lengkap daripada jumlah dan jenis senyawa antimikroba yang terdapat pada minyak atsiri (hanya
57
mengandung komponen volatil) ataupun pada ekstrak etil asetat (hanya mengandung komponen non-volatil). Menurut Houghton dan Raman (1998), etil asetat memiliki kepolaran sedang (medium) sehingga senyawa antimikroba yang terdapat dalam ekstrak etil asetat jintan hitam akan cenderung memiliki kepolaran sedang. Dengan demikian, senyawa antimikroba dalam jintan hitam yang bersifat non-volatil dan memiliki spektrum luas adalah senyawa yang bersifat semi polar. Berdasarkan
efektivitas
dalam
menghambat
bakteri
uji
dan
kesederhanaan melakukan ekstraksi, ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol dapat dianggap sebagai cara terbaik untuk mengekstrak komponen antimikroba dari biji jintan hitam. Namun, jika ingin dilihat dari segi ekonomis, distilasi uap yang dilanjutkan dengan ekstraksi bertingkat akan menjadi cara yang lebih menguntungkan. Distilasi uap akan menghasilkan minyak atsiri yang bernilai ekonomis tinggi dan ekstraksi bertingkat akan meningkatkan nilai ekonomis ampas penyulingan minyak atsiri tersebut. Ampas penyulingan minyak atsiri tersebut masih bisa dimanfaatkan lebih lanjut, yaitu dengan diekstrak komponen antimikrobanya.
E. IDENTIFIKASI KUALITATIF SENYAWA FITOKIMIA Komponen fitokimia merupakan senyawa metabolit sekunder yang telah banyak
diketahui
memiliki
aktivitas
antimikroba.
Proses
ekstraksi
menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda akan mengekstrak senyawa yang berbeda juga. Kelarutan komponen aktif dalam bahan/sampel akan menentukan komposisi ekstrak yang diperoleh (Thongson et. al., 2004). Penggolongan senyawa kimia yang terekstrak pada beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jenis senyawa fitokimia yang terekstrak pada berbagai pelarut Polaritas Rendah Sedang/medium
Pelarut Heksan Kloroform Etil asetat Aseton
Senyawa kimia yang terekstrak Lilin, lipid, minyak atsiri Alkaloid, aglikon, minyak atsiri Alkaloid, aglikon, glikosida Alkaloid, aglikon, glikosida
58
Etanol Metanol Air Cairan asam Cairan basa
Tinggi
Glikosida Gula, asam amino, glikosida Gula, asam amino, glikosida Gula, asam amino, glikosida basa Gula, asam amino, glikosida asam
(Sumber : Houghton dan Raman, 1998)
Uji kualitatif komponen fitokimia hanya dilakukan terhadap ekstrak yang dianggap memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum luas dan nilai yang cukup besar. Ekstrak-ekstrak tersebut adalah ekstrak etanol, minyak atsiri, dan ekstrak etil asetat. Hasil uji kualitatif komponen fitokimia dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil identifikasi kualitatif senyawa fitokimia Ekstrak Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak etil asetat
Fenol
Tanin
Flavonoid Terpenoid Steroi d
Saponin
Alkaloid
+
-
-
-
+
-
-
+
-
-
+
-
-
-
+
-
+
TD*
TD*
TD*
TD*
Keterangan : *)TD artinya tidak diujikan karena keterbatasan jumlah sampel
Uji kualitatif komponen fitokimia terhadap ekstrak etanol menunjukkan pada ekstrak etanol terdeteksi adanya komponen fenol dan steroid. Tanin dan flavonoid termasuk dalam golongan fenolik. Walaupun uji fitokimia menunjukkan adanya komponen fenolik dalam ekstrak etanol, uji fitokimia menunjukkan bahwa tanin dan flavonoid tidak terdeteksi dalam ekstrak etanol, padahal menurut Leelapornpisid et. al. (2006), tanin dan komponen fenol akan ditemukan pada ekstrak air dan ekstrak etanol. Hasil uji yang menunjukkan tidak terdeteksinya senyawa tanin dalam ekstrak etanol jintan hitam, bertentangan dengan hasil yang diperoleh Ahmad et. al. (2001), menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC). Ahmad et. al (2001), menyebutkan bahwa ekstrak etanol jintan hitam mengandung tanin. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan sampel yang diuji pada penelitian ini terlalu sedikit sehingga keberadaan tanin tidak terdeteksi.
59
Pada minyak atsiri terdeteksi adanya komponen fenol dan komponen terpenoid. Komponen fenol dan komponen terpenoid sudah diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Beberapa senyawa terpenoid merupakan komponen fenol, seperti eugenol dan thymol, sehingga mekanisme aktivitas antimikroba senyawa terpenoid tersebut diduga mirip dengan mekanisme antimikroba senyawa fenol. Mekanisme senyawa fenolik sebagai antimikroba sebagian besar adalah dengan mempengaruhi membran sel (Branen dan Davidson, 1993). Senyawa fenol tumbuhan dapat menimbulkan gangguan besar karena mampu membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Akibatnya kerja enzim dapat terganggu (Harborne, 1996). Komponen fenolik dapat melignifikasi dinding sel bakteri sehingga keberadaan komponen fenolik dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Ekstrak etanol jintan hitam tidak menunjukkan adanya komponen flavonoid. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Ahmad et. al. (2001). Uji fitokimia menunjukkan bahwa flavonoid terdeteksi hanya pada ekstrak etil asetat. Menurut Houghton dan Raman (1998), etanol dan etil asetat sama-sama bersifat semi polar, tetapi etanol lebih polar dibandingkan etil asetat. Oleh karena itu, flavonoid yang terdapat dalam biji jintan hitam memiliki sifat kepolaran yang mirip dengan etil asetat sehingga tidak larut dalam etanol. Ekstrak etil asetat menunjukkan hasil positif pada uji fenol dan uji flavonoid. Biji jintan hitam mengandung alkaloid (Al-Saleh, 2006). Menurut Hu, et. al. (2000) dan Faizi, et. al. (2003) dalam Al-hebshi (2005), senyawa alkaloid memiliki aktivitas antimikroba. Hasil uji fitokimia menunjukkan alkaloid tidak terdeteksi pada semua ekstrak yang diuji. Hal ini dapat disebabkan komponen alkaloid terdapat pada ekstrak lain yang tidak dianalisis komponen fitokimianya atau dapat juga disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit. Uji fitokimia ekstrak etanol jintan hitam menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC) menunjukkan tidak adanya alkaloid (Ahmad et. al., 2001).
F. MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC)
60
Minimum Inhibitory Concentration adalah konsentrasi terendah ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pada penelitian ini, pemilihan ekstrak dan bakteri yang akan diuji dalam penentuan nilai MIC tidak hanya didasarkan pada ukuran diameter terbesar melainkan juga berdasarkan pertimbangan ukuran diameter, jumlah ekstrak dan variasi ekstrak yang akan diuji. Penentuan nilai MIC dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar (Bloomfield, 1991). Hasil penentuan nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14. Nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam Ekstrak
Bakteri Salmonella
Ekstrak etanol
Typhimurium Bacillus
Minyak atsiri
cereus
Ekstrak etil asetat
Staphylococcus aureus Pseudomonas
Ekstrak metanol
aeruginosa
Nilai MIC (% w/w)
Nilai MIC (ppm)
0.084
840
1.72
1720
1.88
1880
1.88
1880
Semakin kecil nilai MIC maka semakin baik ekstrak tersebut, terutama berkaitan dengan ambang batas jumlah komponen antimikroba yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh dan nilai ekonomisnya jika akan diaplikasikan dalam industri. Nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam (0.084 % w/w) terhadap Salmonella Typhimurium dalam penelitian ini lebih kecil daripada nilai MIC ekstrak teh (94,1 mg/ml) terhadap Salmonella Typhimurium (Tiwari et. al., 2005). Berdasarkan data tersebut, dapat diperkirakan secara kasar bahwa ekstrak etanol jintan hitam lebih baik daripada
ekstrak
teh
dalam
menghambat
pertumbuhan
Salmonella
Typhimurium. Perbedaan jenis ekstrak serta jenis rempah akan memberikan nilai MIC yang berbeda. Nilai MIC ekstrak isopropanol Zingiber officinale Rose,
61
Boesenbergia pandurata Holtt, dan Curcuma longa Linn. terhadap Salmonella Typhimurium berturut-turut adalah 7-8%(v/v), 4-5% (v/v), dan 5-6% (v/v) (Thongson, et. al., 2004). Nilai MIC ekstrak isopropanol-heksan Zingiber officinale Rose (jahe), Boesenbergia pandurata Holtt (fingerroot), dan Curcuma longa Linn. (kunyit) terhadap Salmonella Typhimurium berturutturut adalah 8-9 %(v/v), 8 %(v/v), dan 5-8 %(v/v) (Thongson, et. al., 2004). Selain dipengaruhi jenis ekstrak dan jenis rempah, nilai MIC dipengaruhi juga oleh jenis mikroba. Nilai MIC dari minyak atsiri tanaman Lavandin ‘Grosso’ terhadap Salmonella Typhimurium adalah 1 µl/ml sedangkan terhadap Staphylococcus aureus adalah 2 µl/ml (Rota et. al., 2004). Nilai MIC minyak atsiri tanaman Rosmarinus officinalis terhadap Salmonella Typhimurium adalah 1.5 µl/ml sedangkan terhadap Staphylococcus aureus adalah 3-5 µl/ml (Rota et. al., 2004). Namun, tetap tidak menutup kemungkinan bahwa ekstrak yang sama memiliki nilai MIC yang sama terhadap bakteri yang berbeda. Hal ini diperoleh Rota et. al. (2004) yang menunjukkan nilai MIC minyak atsiri tanaman Thymus vulgaris (L) terhadap Salmonella Typhimurium dan Staphylococcus aureus adalah 2 µl/ml. Nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam (0.084 % w/w) lebih kecil daripada nilai MIC minyak atsiri tanaman Lavandin ‘Grosso’ terhadap Salmonella Typhimurium (1 µl/ml) (Rota et. al., 2004). Nilai MIC terhadap Staphylococcus aureus dari ekstrak etil asetat jintan hitam (1.88 % w/w) lebih kecil daripada nilai MIC ekstrak metanol kulit kayu Alstonia macrophylla (>2000 µg/ml) (Chattopadhyay, et. al., 2001). Nilai MIC terhadap Pseudomonas aeruginosa dari ekstrak metanol jintan hitam (1.88 % w/w) lebih kecil daripada nilai MIC minyak atsiri Oreganum scabrum (1.27 mg/ml) (Aligiannis, et. al., 2001). Nilai MIC ekstrak-ekstrak dari biji jintan hitam, tergolong lebih kecil jika dibandingkan dengan ekstrak rempah-rempah lainnya sehingga ekstrak jintan hitam memiliki peluang yang baik untuk diteliti lebih lanjut aktivitas antimikrobanya dan diaplikasikan dalam bahan pangan baik sebagai pengawet maupun sebagai pangan fungsional.
62
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Biji jintan hitam mengandung senyawa antimikroba yang bersifat volatil dan non-volatil dengan berbagai kepolaran. Senyawa antimikroba biji jintan hitam memiliki kelarutan tinggi pada pelarut semi polar, yaitu etanol dan etil asetat, sedikit larut dalam pelarut polar dan pelarut non-polar. Keefektifan masing-masing senyawa antimikroba tergantung pada jenis bakteri yang dihambat. Ekstrak biji jintan hitam menunjukkan aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas terutama pada ekstrak etanol, minyak atsiri dan ekstrak etil asetat karena dapat menghambat semua bakteri uji. Diameter penghambatan terbesar ekstrak etanol dan minyak adalah dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus, sedangkan diameter penghambatan terbesar ekstrak etil asetat adalah dalam menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak air dan ekstrak heksan kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak metanol tidak dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak etanol terhadap Salmonella Typhimurium adalah 0.084 % (w/w). Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) minyak atsiri terhadap Bacillus cereus adalah 1.72% (w/w). Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak etil asetat terhadap Staphylococcus aureus adalah 1.88 % (w/w). Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak metanol terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah 1.88 % (w/w). Pada minyak atsiri terdeteksi adanya komponen fenol dan terpenoid. Uji fitokimia pada ekstrak etanol menunjukkan adanya komponen fenol dan steroid. Pada ekstrak etil asetat terdeteksi adanya fenol dan flavonoid.
63
B. SARAN Penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini masih banyak kekurangan dan perlu diteliti lebih lanjut antara lain : •
Untuk mengetahui komponen penyusun dari masing-masing ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, perlu dilakukan identifikasi fitokimia dengan metode High Performance Layer Chromatoraphy (HPLC).
•
Optimalisasi proses ekstraksi untuk memperoleh rendemen minyak atsiri dan ekstrak jintan hitam yang tinggi, yaitu dengan mencoba metode ekstraksi yang lain atau melakukan beberapa perubahan pada parameter ekstraksi, seperti suhu dan jenis pelarut.
•
Penentuan nilai MIC dengan metode pengenceran untuk memperoleh nilai MIC yang lebih tepat.
•
Aplikasi ekstrak biji jintan hitam pada model sistem pangan.
64
DAFTAR PUSTAKA Achyad, D. E. dan R. Rasyidah. 2000. Jintan Hitam (Nigella sativa L.). www.asiamaya.com. [20 Januari 2006]. Adawiyah, D. R. 1998. Kajian pengembangan metode ekstraksi komponen antimikroba biji buah atung (Parinarium glaberium Hassk.). Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ahmad, I. dan A. Z. Beg. 2001. Antimicrobial and phytochemical studies on 45 Indian medicinal plants against multi-drug resistant human pathogens. Journal of Ethnopharmacology. 74:113-123. Ahmad, I., Z. Mehmood, dan F. Mohammad. 1998. Screening of some Indian medicinal plants for their antimicrobial properties. Journal of Ethnopharmacology. 62:183-193. Al-hebshi, N., M. Al-haroni, dan N. Skaug. 2005. In vitro antimicrobial and resistance-modifying activities of aqueous crude khat extracts against oral microorganisms. Archives of Oral Biology. www.bora.uib.no/bitstream. [12 Agustus 2006]. Aligiannis, N., E. Kalpoutzakis, S. Mitaku, dan I. B. Chinou. 2001. Composition and antimicrobial activity of the essential oils of two Origanum spesies. Journal of Agricultural Food Chemistry. 49:4168-4170. Al-Jabre, S., O. M. Al-Akloby, A. R. Al-Qurashi, N. Akhtar, A. Al-Dossary, dan M. A. Randhawa. 2003. Thymoquinone, an active principle of Nigella sativa, inhibited Aspergillus niger. Pakistan Journal Medical Research, 42 (3). www.pmrc.org.pk. [15 Agustus 2006]. Al-Saleh, I. A., G. Billedo, dan I. I. El-Doush. 2006. Levels of selenium, DL-αtocopherol, DL-γ-tocopherol, all-trans-retinol, thymoquinone and thymol in different brands of Nigella sativa seeds. Journal of Food Composition and Analysis. 19:167-175. Anonim. 2006a. Nigella sativa. www.en.wikipedia.com. [13 Maret 2006]. Anonim. 2006b. Chemical analysis of Black seed Oil. www.blackseed.com. [20 Maret 2006]. Anonim. 2006c. Essential Oil. www.wikipedia.com. [9 November 2006]. Apriantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, S. Yasni dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor, IPB Press.
65
Ardiansyah. 2001. Teknik ekstraksi komponen antimikroba andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Babayan, V. K., D. Koottungal dan G. A. Halaby. 1978. Proximate analysis, fatty acid and amino acid composition of Nigella sativa L. seeds. Journal of Food Science. 43:1314-1315. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI). 2005. Foodwatch Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Sekretariat Jenderal Jejaring Intelijen Pangan, Jakarta. Baird-Parker, T. C. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam : Lund, B. M., BairdParker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin. Bloomfield, S. F. 1991. Methods for assesing antimicrobial activity. Di dalam Denyer S. P. dan W. B. Hugo. (eds.). Mechanism of Action of Chemical Biocides their Study and Exploitation. Blackwell Scientific Publication, London. Branen A. L. dan P. J. Davidson. 1993. Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker, New York. Cahattopadhyay, D., K. Maiti, A. P. Kundu, M. S. Chakraborty, R. Bhadra, S. C. Mandal, dan A. B. Mandal. 2001. Antimicrobial activity of Alstonia macrophylla : a folklore of bay islands. Journal of Ethnopharmacology. 77:49-55. Coconut Coast Handmade Soap Co. 2006. www.ccnphawaii.com.htm. [20 September 2006].
Steam
Distillation.
D’Aoust J. Y. 2000. Samonella. Di dalam : Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Donmez, A. A. dan B. Mutlu. 2004. A new species of Nigella (Ranunculaceae) from Turkey. Botanical Journal of the Linnean Society. 146 : 251-255. Dorman H. J. D. dan S. G. Deans. 2000. Antimicrobial agents from plants : antibacterial activity of plant volatile oils. Journal of Applied Microbiology. 88 : 308-316. Faizi S, R. A. Khan, S. Azher, S. A. Khan, S. Tauseef, dan A. Ahmad. 2003. New antimicrobial alkaloids from the roots of Polyalthia longifolia var. pendula. Planta Medical. 69:350—5.
66
Fardiaz, S., Suliantari, dan R. Dewanti. 1987. Bahan Pengajaran Senyawa Antimikroba. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. -------------. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Garigga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermentation Sausages. Journal of Applied Microbiology. 7:142-148. Granum, P. E. dan T. C. Baird-Parker. 2000. Bacillus species. Di dalam : Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Harbone, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan. K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB, Bandung. Hart, H. 1983. Kimia Organik : Suatu kuliah singkat. Terjemahan. S. Achmadi. Penerbit Erlangga, Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hinton, A. dan K. D. Ingram. 2000. Use of oleic acid to reduce the population of the bacterial flora of poultry skin. Journal Food Protection. 9:1282-1286. Hirasa, K. dan M. Takemasa. 1998. Spice Science and Technology. Marcell Dekker, Inc., New York. Houghton P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall, London. Hu J. P. , N. Takahashi, dan T. Yamada. 2000. Coptidis rhizoma inhibits growth and proteases of oral bacteria. Oral Dis. 6:297—302. Hutapea, J. R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Javidnia, K., R. Miri, R. B. Najafi, dan N. K. Jahromi. 2003. A preliminary study on the biological activity of Daphne mucronata Royle. DARU, 11 (1). www.diglib.tums.ac.ir. [28 Juli 2006]. Ji, Y. L. , S. K. Yong dan H. S. Dong. 2002. Antimicrobial synergistic effect of linolenic acid and monoglyceride against Bacillus cereus and Staphylococcus aureus. Journal Agricultural and Food Chemistry. 50 (7).
67
Ketaren, S. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. UI Press, Jakarta. Koster, S. K. 2001. Distillation. www.ulwax.edu.htm. [20 September 2006]. Lambert, R. J. W., P. N. Skandamis, P. J. Coote, dan G. J. E. Nychas. 2001. A study of the minimum inhibitory concentration of action oregano essential oil, thymol and carvacrol. Journal of Applied Microbiology. 91:453-462. Leelapornpisid, P., S. Chansakao, T. Ittiwittayawat, S. Pruksakorn. 2006. Antimicrobial activity of herbal extracts on Staphylococus aureus and Propionibacterium acnes. www. actahort.com. Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Mattjik, A. A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor. Mashhadian, N. V. dan H. Rakhshandeh. 2005. Antibacterial and antifungal effects of Nigella sativa extracts against S. aureus, P.aeroginosa, and C. albicans. Pakistan Journal Medical Science. 21 (1):47-52. www.pjms.com. [28 Juli 2006]. Meral, G. dan N. U. Karabay. 2002. In vitro antibacterial activities of three hypericum species from west anatolia. Turkish Electronic Journal of Biotechnology. http://www.biyotekder.hacettepe.edu.tr/dergi.html. [28 Juli 2006]. Moyler, D. A. 1994. Spices Recent Advances. Di dalam Charalambous (Ed.). Spices, Herbs and Edible Fungi. Elsevier, Amsterdam. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press, New York. Nair, R. dan S. Chanda. 2006. Activity of some medicinal plants against certain pathogenic bacterial strains. Indian Journal of Pharmacology. www.findarticles.com. [28 Juli 2006]. Nikaido, H. dan M. Vaara. 1985. Molecular basis of bacterial outer membran permeability. Microbiology Review. 49:1-32. Prescott, L. M., J. P. Harley, dan D. A. Klein. 2003. Microbiology. Mc Graw-Hill, Singapore. Pelczar, M. J. and R. D. Reid. 1979. Microbiology. Mc. Graw Hill Book Co., New York. Roller, S. 2003. Natural Antimicrobials for Minimal Processing of Foods. CRC Press, New York.
68
Rota, C., J.J. Carraminana, J. Burillo, A. Herrera. 2004. In vitro antimicrobial activity of essential oils from aromatic plants against selected foodborne pathogens. Journal of Food protection. 67:1252-1256. Scalbert, A. 1991. Antimicrobial properties of tannins. Phytochemistry Review. 30 (12): 3875-3883. Singh, G., P. Marimuthu, H. S. Murali, dan A. S. Bawa. 2005. Antioxidative and antibacterial potentials of essential oils and extracts isolated from various spice materials. Journal of Food Safety. 25:130-145. Still, D. W. 2002. Bioengineering and Breeding Approaches. Dalam : Phytochemicals in Nutrition and Health. Meskin, M. S, W. R Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omeya (Eds.). CRC Press, USA, pp. 122-127. Syamani, F. A. 2001. Kajian ekstraksi oleoresin jinten hitam (Nigella sativa L.). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Thongson, C., P. M. Davidson, W. Mahakarnchanakul dan J. Weiss. 2004. Antimicrobial activity of ultrasound-assisted solvent-extracted spices. Letters in Applied Microbiology. 39:401-406. Tiwari, R. P., S. K. Bharti, H. D. Kaur, R. P. Dikshit & G. S. Hoondal. 2005. Synergistic antimicrobial activity of tea & antibiotics. Indian Journal Medical Research. 122:80-84. WHO. 2005. Food safety and foodborne illness. www.who.int.com. [27 Maret 2006]. Willshaw, G. A., T. Cheasty, dan H. R. Smith. 2000. Escherichia coli. Di dalam : Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. WordNet. 2006. Extraction. www.answers.com/extraction. [20 November 2006].
.
69
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian Jintan hitam Digiling Bubuk jintan hitam
Ulangan
Didistilasi uap
(100 ºC, 2 jam)
Minyak atsiri (Komponen volatil) • Dianalisa aktivitas antimikroba • Dianalisa kualitatif komponen alkaloid, flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin
Direfluks dengan pelarut air (100 ºC, 3 jam)
Ampas (Komponen non-volatil) Direfluks dengan pelarut organik (heksana, etil asetat, metanol) (60 ºC, 3 jam dan 2 jam) Ekstrak heksan, ekstrak metanol, ekstrak etil asetat
Ulangan
Direfluks dengan pelarut etanol (80 ºC, 3 jam)
(80 ºC, 2 jam)
Disaring
Ampas
Disaring
Ekstrak
Ampas
Ekstrak
dikeringkan (oven vakum)
dikeringkan (oven vakum)
Ekstrak pekat
Ekstrak pekat
Dihembus gas N2 Ditimbang
• Dianalisa aktivitas antimikroba • Dianalisa kualitatif komponen alkaloid, flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin
• Dianalisa aktivitas antimikroba • Dianalisa kualitatif komponen alkaloid, flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin
Lampiran 2. Diagram alir persiapan kultur bakteri dan uji konfirmasi jumlah mikroba Kultur bakteri Diambil satu ose Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril Diinkubasi 24 jam, suhu 37 ºC Diambil 1 ml Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril Diinkubasi 24 jam, suhu 37 ºC Diamati kekeruhannya Keruh
Agak bening
Dipipetl 1 ml
Dipipet 1 ml
Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril
Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril
Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dipipet masing-masing 1ml dari pengenceran 105-108 Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril
Dilakukan pengenceran dari 100-105 Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril
Dituang agar Didiamkan hingga agar membeku Diinkubasi 48 jam, 37 ºC Diamati dan dihitung jumlah koloni Ditentukan jumlah µl NB yang akan dimasukkan ke dalam 25 ml NA cair (A)
71
Lampiran 3. Diagram alir uji difusi sumur Kultur mikroba yang telah disegarkan Dipipet sejumlah A (sesuai hasil pada persiapan kultur) Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril Dituang ke dalam cawan petri steril Dibiarkan beku Dibuat 4 lubang/sumur Lubang A
Lubang B
Lubang C
Lubang D
Ditetesi 50 µl DMSO
Ditetesi 50 µl lar antibiotik
Ditetesi 50 µl sampel
Ditetesi 50 µl sampel
Diinkubasi 37 ºC, 24 jam Diamati dan diukur area penghambatan tiap sumur Ditentukan ekstrak yang akan diuji nilai MIC
72
Lampiran 4. Contoh perhitungan penentuan jumlah mikroba Jumlah mikroba umur 24 jam = 108 sel/ml NB. Jumlah sel yang diinginkan dalam agar (NA) = 105 sel/ml agar Jumlah agar dalam 1 cawan = 25 ml Jumlah NB (yang mengandung 108 sel) yang dimasukkan = 105 sel / ml NA x 25 ml NA 108 sel / ml NB = 25 x 10-3 ml NB = 25 µl NB
73
Lampiran 5. Hasil uji konfirmasi metode hitungan cawan Jenis bakteri
Jumlah sel bakteri yang digunakan saat pengujian
Bacillus cereus
2.1 x 108
Escherichia coli
3.9 x 108
Salmonella Typhimurium
6.2 x 108
Pseudomonas aeroginosa
4.1 x 108
Staphylococcus aureus
4.2 x 108
74
Lampiran 6. Hasil analisis minyak atsiri jintan hitam tanpa penghalusan bahan
75
Lampiran 8. Contoh perhitungan rendemen • Rendemen ekstrak etanol Bobot jintan hitam halus = 34.58 gr Bobot ekstrak etanol pekat = 2.9005 gr Rendemen ekstrak etanol = Bobot ekstrak etanol pekat x 100 Bobot jintan hitam halus = (2.9005/34.58) x 100 = 8.39 % • Rendemen ekstrak etil asetat Bobot ampas ekstrak heksan = 18.60 gr Bobot ekstrak etil asetat pekat = 0.9454 gr Rendemen ekstrak etil asetat = Bobot ekstrak etil asetat pekat x 100 Bobot ampas ekstrak heksan = (0.9454/18.60) x 100 = 5.08 % • Rendemen ekstrak metanol Bobot ampas ekstrak etil asetat = 21.92 gr Bobot ekstrak metanol pekat = 1.8855 gr Rendemen ekstrak metanol = Bobot ekstrak metanol pekat x 100 Bobot ampas ekstrak etil asetat = (1.8855/21.92) x 100 = 8.60 %
77
Lampiran 9. Hasil penghitungan standar eror (SE) Mikroba Bacillus cereus Escherichia coli Salmonella Typhimurium Pseudomonas aeroginosa Staphylococcus aureus Ekstrak air
Simbol 1 2 3 4 5 14:10 Tuesday, December 10, 1996
1
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 2 1.6500000 0.1500000 MIKROBA2 2 0 0 MIKROBA3 2 0 0 MIKROBA4 2 2.9250000 0.0250000 MIKROBA5 2 3.3700000 0.1900000 --------------------------------------Ekstrak etanol
14:10 Tuesday, December 10, 1996
2
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 2 5.3150000 0.1350000 MIKROBA2 2 1.6700000 0.0200000 --------------------------------------Ekstrak etanol
14:10 Tuesday, December 10, 1996
3
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA3 3 5.2000000 0.1903506 MIKROBA4 3 7.0533333 0.2167436 MIKROBA5 3 9.3366667 0.3075350 --------------------------------------minyak_atsiri
14:10 Tuesday, December 10, 1996
4
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 3 6.0666667 0.1748650 MIKROBA2 3 3.2500000 0.2250185 MIKROBA3 3 4.2300000 0.4063250 MIKROBA4 3 2.2866667 0.2265931 MIKROBA5 3 7.3600000 0.3340659 --------------------------------------Ekstrak heksan
14:10 Tuesday, December 10, 1996
5
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 3 2.0800000 0.4600000 MIKROBA2 3 0 0 MIKROBA3 3 0 0 MIKROBA4 3 3.7166667 0.8264449 MIKROBA5 3 4.0233333 0.3608478 --------------------------------------Ekstrak etil_asetat
14:10 Tuesday, December 10, 1996
6
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 3 3.0366667 0.7033570 MIKROBA2 3 2.1466667 0.1894143 MIKROBA3 3 4.1900000 0.3652853 MIKROBA4 3 5.0700000 0.4772141 MIKROBA5 3 3.1700000 0.2151743 --------------------------------------Ekstrak metanol
14:10 Tuesday, December 10, 1996
7
Variable N Mean Std Error --------------------------------------MIKROBA1 3 4.1766667 0.7096556 MIKROBA2 3 0 0 MIKROBA3 3 3.0800000 0.2454248 MIKROBA4 3 5.5633333 0.4318307 MIKROBA5 3 4.3333333 0.4935698 ---------------------------------------
78
Lampiran 10. Hasil analisis ragam Rancangan Faktorial Acak Lengkap 1 08:45 Friday, December 20, 1996 General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
EKSTRAK
6
1 2 3 4 5 6
MIKROBA
5
1 2 3 4 5
Number of observations in data set = 83
Rancangan Faktorial Acak Lengkap
2 08:45 Friday, December 20, 1996
General Linear Models Procedure Dependent Variable: DIAMETER Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
29
437.87556667
15.09915747
37.36
0.0001
Error
53
21.41883333
0.40412893
Corrected Total
82
459.29440000
R-Square
C.V.
Root MSE
DIAMETER Mean
0.953366
17.70784
0.63571136
3.59000000
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
EKSTRAK MIKROBA EKSTRAK*MIKROBA
5 4 20
175.75671308 156.46550143 105.65335216
35.15134262 39.11637536 5.28266761
86.98 96.79 13.07
0.0001 0.0001 0.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
EKSTRAK MIKROBA EKSTRAK*MIKROBA
5 4 20
152.72013515 158.82907781 105.65335216
30.54402703 39.70726945 5.28266761
75.58 98.25 13.07
0.0001 0.0001 0.0001
79
Lampiran 11. Hasil uji lanjut Duncan Ekstrak Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol
Simbol 1 2 3 4 5 6
Mikroba Bacillus cereus Escherichia coli Salmonella Typhimurium Pseudomonas aeroginosa Staphylococcus aureus
Simbol 1 2 3 4 5
Rancangan Faktorial Acak Lengkap
3 08:45 Friday, December 20, 1996
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: DIAMETER NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 53 MSE= 0.404129 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 13.52601 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .4903 .5157 .5325 .5446 .5539 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A B C C D D
6.0569 4.6387 3.5227 3.4307 1.9640 1.5890
13 15 15 15 15 10
Rancangan Faktorial Acak Lengkap
EKSTRAK 2 3 5 6 4 1
4 08:45 Friday, December 20, 1996
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: DIAMETER NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 53 MSE= 0.404129 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 16.58537 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .4428 .4657 .4808 .4918 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A B C D E
5.3771 4.5247 3.7506 2.9471 1.2206
17 17 16 17 16
MIKROBA 5 4 1 3 2
80
Lampiran 13. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri Salmonella Typhimurium
Konsentrasi (% w/w) 10 20 30 40 50
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1 5.87 8.97 8.8 8.55 8.55
5.8 8.82 8.62 8.58 8.13
Ulangan 2 6.48 8.87 8.67 7.43 9.07
7.23 8.98 8.5 7.6 7.73
Rata-rata diameter penghambatan (mm) 6.35 8.91 8.65 8.04 8.37
Kuadrat zona Ln penghambatan konsentrasi (mm2) 2.30 3.00 3.40 3.69 3.91
40.3225 79.3881 74.8225 64.6416 70.0569
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan.
kuadrat zona hambat (mm)
Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 15.118x + 16.537
0
1
2
3
4
5
ln konsentrasi
Kurva (i) Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri Salmonella Typhimurium Y = 15.118X + 16.537 Jika Y=0; X= -1.09386 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 0.3349 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*0.3349 MIC = 0.0837 = 0.084 % (w/w)
82
Lampiran 14. Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri Bacillus cereus
Konsentrasi (% w/w) 10 20 30 40 50
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1
Rata-rata diameter penghambatan (mm) 4.68 8.67 8.69 10.90 11.06
Ulangan 2
4.83 5.3 8.8 9.77 8.33 8.52 11.15 11.93 12.37 11.63
4.13 7.9 9.17 10.32 10.03
4.43 8.2 8.77 10.22 10.2
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan (mm2)
2.30 3.00 3.40 3.69 3.91
21.8556 75.1111 75.6175 118.9009 122.2867
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
kuadrat zona hambat (mm)
140
y = 62.27x - 120.25 R2 = 0.9367
120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
ln konsentrasi
Kurva (ii) Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri Bacillus cereus Y = 62.27X – 120.25 Jika Y=0; X= 1.931106 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 6.897138 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*6.897138 MIC = 1.724284 = 1.72% (w/w)
83
Lampiran 15. Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap bakteri Staphylococcus aureus
Konsentrasi (% w/w) 10 20 30 40 50
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1 3.67 4.82 4.63 7.3 9.23
3.72 4.57 5.15 6.82 7.3
Ulangan 2 4.33 5.67 4.45 6.27 7.7
3.40 4.5 5.63 6.9 7.73
Rata-rata diameter penghambatan (mm) 3.78 4.89 4.96 6.82 7.99
Kuadrat zona Ln penghambatan konsentrasi (mm2) 2.30 3.00 3.40 3.69 3.91
14.2884 23.9121 24.6016 46.5124 63.8401
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi 70 60 y = 27.903x - 56.322
50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
l n k ons ent r a s i
Kurva (iii). Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap bakteri Staphylococcus aureus Y = 27.903X – 56.322 Jika Y=0; X= 2.0185 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 7.5269 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*7.5269 MIC = 1.8817= 1.88 % (w/w)
84
Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak metanol jintan hitam terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa
Konsentrasi (% w/w) 10 20 28
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1 3.23 6.4 8.83
Ulangan 2
6.52 7.55
4.12 6.37 7.37
6.27 -
Rata-rata diameter penghambatan (mm) 3.68 6.32 7.78
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan (mm2)
2.30 3.00 3.33
13.5056 39.9424 60.5284
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan.
Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi 70 60 y =44.719x - 90.375 50 R2 =0.9891 40 30 20 10 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
l n k o n se n t r a si
Kurva (iv). Penentuan nilai MIC ekstrak methanol jintan hitam terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa Y = 44.719X - 90.375 Jika Y=0; X= 2.0209 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 7.5455 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*7.5455 MIC = 1.8864 = 1.88 % (w/w)
85
86
Lampiran 7.Hasil analisis minyak atsiri jintan hitam dengan penghalusan bahan
76