KAJIAN IN VITRO PRODUK ENKAPSULASI NANOEMULSI EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa)
ROVIE FARAH DIBA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian In Vitro Produk Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Rovie Farah Diba NRP F251100021
RINGKASAN ROVIE FARAH DIBA. Kajian In Vitro Produk Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa). Dibimbing oleh SEDARNAWATI YASNI dan SRI YULIANI. Jintan hitam (Nigella sativa) adalah tanaman herbal yang banyak tumbuh di negara Mediteranea dan dapat mengobati berbagai penyakit. Penelitian telah banyak dilakukan terhadap ekstrak jintan hitam, yaitu fraksi minyak atsiri dan oleoresin, serta khasiat jintan hitam. Beberapa hasil penelitian secara in vitro dan in vivo menyatakan bahwa jintan hitam dapat menghambat pertumbuhan mikroba, menurunkan kadar gula darah (hipoglikemi), dan meningkatkan imunitas tubuh. Banyak senyawa bioaktif yang bersifat lipofilik dan kelarutannya rendah dalam air memiliki penyerapan yang terbatas dalam saluran pencernaan. Sistem pengantaran enkapsulasi berbasis nanoemulsi minyak dalam air merupakan pendekatan yang efektif dalam memasukkan senyawa bioaktif. Enkapsulasi nanoemulsi dapat melindungi senyawa bioaktif terhadap degradasi selama penyimpanan, mengurangi dampak terhadap sifat organoleptik makanan dan meningkatkan bioavailabilitasnya. Ekstrak jintan hitam yang terdispersi dalam fase air menggunakan pengemulsi yang sesuai dapat dihasilkan dengan metode energi rendah, yaitu teknik emulsifikasi spontan. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi nanoemulsi dan enkapsulasi nanoemulsi ekstrak jintan hitam serta kajian sifat fungsional secara in vitro. Metode penelitian yang dilakukan meliputi ekstraksi, pembuatan dan karakterisasi nanoemulsi ekstrak jintan hitam, proses enkapsulasi nanoemulsi ekstrak jintan hitam, pengujian disolusi untuk mengkaji kelarutan senyawa aktif (senyawa fenolik) dalam medium asam (buffer klorida) dan medium basa (buffer fosfat), serta mengkaji kemampuan ekstrak jintan hitam, nanoemulsi dan produk enkapsulasi dalam menurunkan kadar gula darah secara in vitro melalui uji penghambatan enzim alfa glukosidase. Dalam formulasi nanoemulsi digunakan fase organik ekstrak jintan hitam yang terlarut dalam pelarut organik etanol 70%, serta fase air terdiri dari Tween 80 dan pelarut air. Konsentrasi Tween 80 sebagai surfaktan yang digunakan meliputi 1%, 2%, dan 3% (w/w). Nanoemulsi terbaik ditentukan berdasarkan ukuran, kehomogenan, dan kestabilan partikel. Proses enkapsulasi menggunakan bahan penyalut maltodekstrin atau disebut M (100%) dan campuran maltodekstrin dengan isolat protein kedelai pada rasio 80 dan 20 (w/w), untuk kemudian disebut MSP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nanoemulsi jintan hitam dengan Tween 80 sebanyak 3% memiliki kehomogenan, kestabilan yang baik, serta ukuran partikel terkecil, yakni 10.93 nm. Produk enkapsulasi nanoemulsi yang telah dilakukan rekonstitusi lebih banyak berbentuk bulat yang menunjukkan proses enkapsulasi cukup efisien. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan dan kandungan fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk enkapsulasi MSP dan M masing-masing sebesar satu gram kandungan ekstrak, menunjukkan produk enkapsulasi MSP memiliki kapasitas antioksidan dan kandungan senyawa fenolik yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bentuk enkapsulasi MSP dapat menjaga senyawa fenolik dari reaksi oksidasi selama proses pembuatan. Hasil pengujian penghambatan enzim alfa-glukosidase ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk
enkapsulasi menunjukkan kemampuan penghambatan enzim alfa-glukosidase produk enkapsulasi MSP masih lebih tinggi dari produk enkapsulasi M. Hasil uji disolusi pada medium asam menunjukkan bahwa pada 15 menit awal, sampel ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M sudah mengalami pelepasan total fenol yang tinggi, sedangkan produk enkapsulasi MSP memiliki pelepasan total fenol terkendali pada medium asam dan pelepasan total fenol lebih tinggi pada medium basa. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa penerapan teknologi nano pada pembuatan nanoemulsi, produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam dengan bahan pengisi maltodekstrin (M) dan campuran maltodekstrin dengan isolat protein kedelai (MSP) memiliki sistem pelepasan senyawa fenolik yang berbeda. Pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi MSP lebih terkendali pada medium asam dan lebih tinggi pada medium basa. Kata kunci : ekstraksi, enkapsulasi, jintan hitam, nanoemulsi, uji disolusi.
SUMMARY ROVIE FARAH DIBA. In Vitro Analysis Nanoemulsion Encapsulation Product of Black Cumin Extract (Nigella sativa). Supervised by SEDARNAWATI YASNI dan SRI YULIANI. Black cumin (Nigella sativa) is a medicinal plant that grows in Mediterranean countries and have been able to treat variety of diseases. Research has been widely carried out on the extraction of black cumin, especially in fraction of essential oil and oleoresin, then efficacy of black cumin. Black cumin had capability to inhibit microbial growth, lowering blood sugar levels (hypoglycemia), and enhancing the body's immunity based on in vitro and in vivo studies. Most of bioactive compounds had a certain characteristic of lipophilic and low solubility of water absorption in the digestive tract. Encapsulation delivery system based on oil in water nanoemulsion is an effective approach to incorporate bioactive compounds. Nanoemulsion encapsulation of bioactive compound has ability to protect against degradation during storage, reducing the impact on the organoleptic properties of the food and improving the bioavailability. Black cumin extract which dispersed in the water phase using suitable emulsifiers can be generated by a low energy method, namely the spontaneous emulsification technique. The purpose of this study is to produce nanoemulsion and process of encapsulation nanoemulsion of black cumin extract then study of their functional properties based on in vitro test. This research method consisted of extraction, manufacturing and characterization nanoemulsion of black cumin extract, encapsulation process of nanoemulsion of black cumin extract, and dissolution test of encapsulation products to determine bioactive compound (phenolic compound) release in acidic medium (chloride buffer) and alkaline medium (phosphate buffer). Furthermore, the inhibition activity of alpha-glucosidase is measured in lowering blood sugar. Nanoemulsion is made from a mixture of extract ethanol 70% of black cumin and liquid phase of Tween 80 solution with concentration of 1%, 2%, and 3% (w/w). The best nanoemulsion is determined based on the size, homogeneity, and stability of the particles. Furthermore the best nanoemulsion is encapsulated using maltodextrin 100% (namely M) and mixture of maltodextrin with soy protein isolate at a ratio 80:20 (w/w, namely MSP) as a carrier material. Results showed that black cumin nanoemulsion with 3% Tween 80 has homogeneity, good stability, and the smallest particle size, that is 10.93 nm. Reconstitution of nanoemulsion encapsulation product that has more spherical globula, indicated efficiently encapsulation process. Based on antioxidant capacity and phenolic content of black cumin extract, nanoemulsion, encapsulation product in each 1 gram extract content, showed that encapsulation product of MSP has high antioxidant capacity and phenolic content. These results indicated that form of encapsulation product of MSP can protect phenolic compounds from oxidation reaction during manufacturing process. The inhibition activity of alphaglucosidase demonstrated the ability of encapsulation product of MSP was higher than encapsulation product of M. Based on dissolution test in acid medium, the black cumin extract, nanoemulsion, and encapsulation product of M have highly release of total phenol
at early 15 minutes, whereas encapsulation product of MSP has controlled release of total phenol in acid medium and more higher release of total phenol in alkaline medium. The results of this study stated that application of nanotechnology in manufacturing of nanoemulsion and encapsulation products of black cumin nanoemulsion with maltodextrin and mixture of maltodextrin and soy protein isolate (80:20 w/w) carrier have different active compounds (phenolic) release system. The release of phenolic compounds encapsulation product of MSP more controllable in acid medium and more higher in alkaline medium. Keywords: black cumin, dissolution test, encapsulation, extraction, nanoemulsion
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
KAJIAN IN VITRO PRODUK ENKAPSULASI NANOEMULSI EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa)
ROVIE FARAH DIBA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi
iii
Judul Tesis : Kajian In Vitro Produk Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa) Nama : Rovie Farah Diba NIM : F251100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Sedarnawati Yasni, MAgr Ketua
Dr Ir Sri Yuliani, MT Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 24 Desember 2013
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 adalah pembuatan nanoemulsi jintan hitam, dengan judul Kajian In Vitro Produk Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Jintan Hitam. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Sri Yuliani, MT selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Hanifah N Lioe, MSi selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran yang konstruktif. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Yahya, mba Yane, mba Nurul, mba Vera, Bu Antin, mba Ari, pak Rojak, pak Wahid, pak Adi, pak Taufiq, pak Sobirin, bu Rubiah, pak Gatot dan seluruh laboran di Laboratorium Departemen ITP IPB beserta Bapak Tri, Bu Dini, mba Citra, mba Dwi, serta seluruh staf di Laboratorium Pengolahan Pangan Balai Besar Pascapanen Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar IPN 2010, Umi, bu Irdha, bu Rara, bu Maria, bu Mardhiyah, bu Inneke, Tika, Fahma, Ame, Ayu, Intan, mba Fitri, Putu, Pak Cecep, Pak Ramlan, mba Diana, bu Sri, dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dorongan, inspirasi, semangat, motivasi, doa, dan kebersamaan kepada penulis selama menjalankan kuliah dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar LPPOM MUI Pusat, mba Muti, bu Uning, Pak Lukman, bu Atik, bu Liesbet, mba Suryani, mba Bembi, bu Mira Suprayatmi, bu Mira Sofyaningsih, bu Lia, bu Susi, bu Tetty, bu Sri Muljani, mba Tina, mba Riasti, mba Yuni, pak Sri Harsojo, pak Zaenal, Ivon, Ratna, Rizka, Evrin, Catur, Aang, Heri, serta seluruh pengurus, auditor, dan staf yang tak dapat disebutkan satu per satu, atas dukungan, motivasi, semangat, doa kepada penulis selama menjalankan kuliah dan penelitian. Terakhir, terima kasih tak terhingga kepada suami tercinta Harry Alexander, SH, MH, LLM dan anakku tersayang Yusuf Fatha Mubina, Yasmin Nada Shaliha, Yahya Adam Alexander, Yasmin Nisa Sakina atas kebersamaan, doa, motivasi dan kasih sayangnya. Kepada bapak ibu tercinta, Bapak Abduh Atmadiwirya dan Ibu Ida Azizah beserta ibu mertua Ibu Novemy Latin, terima kasih tak terhingga atas dukungan, motivasi, dan doa hingga penulis dapat menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014 Rovie Farah Diba
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis
1 1 2 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Jintan Hitam Tekonologi Nano
4 4 6
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode penelitian
9 9 9 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan Penelitian utama Pembuatan dan karakterisasi nanoemulsi Pembuatan dan karakterisasi produk enkapsulasi nanoemulsi Uji disolusi ekstrak, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi nanoemulsi Penghambatan enzim alfa-glukosidase
18 18 24 24 26 29 33
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
35 35 35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
56
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Komposisi biji jintan hitam Komposisi mineral biji jintan hitam Profil asam lemak jintan hitam Hasil analisis proksimat jintan hitam Komposisi komponen volatil minyak atsiri biji jintan hitam menggunakan SDE Lickens Nickerson Rendemen ekstrak jintan hitam Karakteristik ekstrak jintan hitam Komponen kimia oleoresin jintan hitam Ukuran partikel nanoemulsi jintan hitam berdasarkan konsentrasi surfaktan Ukuran partikel produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam Nilai kapasitas antioksidan dan nilai total fenol ekstrak, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam Nilai penghambatan enzim alfa-glukosidase
4 5 6 18 20 21 21 23 25 27 29 34
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Diagram alir penelitian pendahuluan Diagram alir penelitian utama Foto SEM produk enkapsulasi nanoemulsi Hubungan waktu dan pelepasan total fenol pada medium asam Hubungan waktu dan pelepasan total fenol pada medium basa
11 13 28 30 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hasil minyak atsiri jintan hitam dengan metode destilasi air Hasil ekstrak jintan hitam dengan metode refluks tiga jam Pembuatan nanoemulsi jintan hitam dengan pengaduk magnetik Produk enkapsulasi nanoemulsi dengan bahan penyalut (a) maltodekstrin, (b) kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai Uji statistik hasil ekstraksi Uji statistik ukur an partikel nanoemulsi Uji statistik kapasitas antioksidan Uji statistik nilai total fenol Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 1% surfaktan Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 2% surfaktan Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 3% surfaktan Kesetaraan ekstrak dgn nanoemulsi dan powder Hasil uji penghambatan enzim alfa-glukosidase Riwayat hidup
43 43 43 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 56
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, terjadi peningkatan kuantitas obat dan terapi herbal. Sebagian masyarakat banyak yang memilih untuk menyembuhkan penyakit dengan terapi herbal karena khawatir terhadap efek samping obat yang dapat membahayakan tubuh. Terapi herbal bertujuan untuk mencegah dan atau mengobati penyakit menggunakan bahan alami yang berasal dari tanaman. Tanaman dapat menghasilkan suatu bahan fitokimia yang sangat bermanfaat karena mengandung lemak rendah, bebas kolesterol, protein tinggi, serta mengandung serat larut dan tidak larut. Beberapa tanaman sayuran, buah, dan rempah dapat berpotensi sebagai obat karena kandungan senyawa antioksidan yang dimilikinya (Hernani 2006). Masyarakat di Indonesia menggunakan rempah sebagai bumbu dalam masakannya. Selain berfungsi menambah citarasa makanan, rempah juga mengandung zat antioksidan. Beberapa tanaman rempah yang pernah diteliti khasiatnya antara lain jahe, kunyit, temugiring, temumangga, laos, kapulaga, cengkeh, temukunci, ketumbar, jintan, kencur, lada, pala, dan asam. Di antara tanaman rempah tersebut, ada salah satu jenis rempah yang telah digunakan dalam pengobatan sejak 3000 – 2000 tahun sebelum Masehi, yaitu jintan hitam, yang termasuk salah satu jenis dari tanaman jintan (Junaedi et al. 2011). Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu spesies dari genus Nigella yang memiliki 25 spesies tanaman yang termasuk dalam famili Ranunculaceae. Tanaman jintan hitam banyak tumbuh di negara Mediterania, Timur Tengah, Eropa Timur dan Asia Barat (Kumar 2011). Di beberapa negara, jintan hitam digunakan dalam hidangan tradisional yang manis, seperti pasta jintan hitam yang dimaniskan dengan madu atau sirup, dan bumbu makanan pada produk roti dan keju (Rouhou et al. 2007). Berbagai penelitian telah dilakukan tentang cara mengekstrak senyawa aktif dan menguji khasiat yang terdapat dalam biji jintan hitam. Ekstraksi jintan hitam dengan metode refluks selama 3 jam menggunakan pelarut etanol memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba (Yasni et al. 2009). Secara in vivo, substitusi bubuk jintan hitam sebanyak 7.5 % dalam ransum tikus dapat menurunkan tekanan darah, gula darah, dan serum kolesterol (Yasni et al. 2009 ; Fararh et al. 2004; Tasawar et al. 2011). Pengaruh antidiabetes pada tanaman telah dilaporkan oleh banyak peneliti, salah satunya jintan hitam (Ghorbani, 2013). Kemampuan jintan hitam dalam menurunkan kadar gula darah atau sebagai antihiperglikemik juga telah diujikan secara in vitro melalui uji penghambatan enzim alfa glukosidase dengan nilai IC50 172.81 µg/ml (Thirumurugan et al. 2011). Saat ini teknologi nano banyak dikembangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pangan fungsional. Banyak senyawa bioaktif memiliki sifat lipofilik dan kelarutan yang rendah dalam air, serta penyerapannya dalam saluran pencernaan terbatas. Pada industri pangan, hal tersebut dapat di atasi dengan cara melakukan enkapsulasi senyawa bioaktif sebagai sistem pengantaran ke dalam tubuh, melindungi senyawa bioaktif yang kurang larut dalam air, dan mengatur pelepasan
2 senyawa bioaktif yang terjerap dalam pangan fungsional. Enkapsulasi berbasis nanoemulsi minyak dalam air merupakan pendekatan yang efektif dalam memasukkan senyawa bioaktif ke dalam bahan pangan (Silva et al. 2012). Penelitian menggunakan teknologi nano dengan bahan baku jintan hitam masih terbatas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ravindran et al. (2010), nanoemulsi jintan hitam dibuat menggunakan energi rendah dengan komposisi thymoquinone murni, asetonitril sebagai pelarut, pluronat F-68 sebagai surfaktan. Penelitian yang dilakukan oleh AlHaj et al. (2010), pembuatan nanopartikel menggunakan energi tinggi dengan komposisi ekstrak jintan hitam dengan metode ekstraksi superkritik (supercritical fluid extraction / SFE), palm oil, 1% tween 80, dan sorbitol. Tubesha et al. (2013) dalam penelitiannya melakukan pembuatan nanoemulsi jintan hitam menggunakan energi tinggi dengan komposisi thymoquinone murni, glyceroltrioleate, 2% tween 80, dan air demineralisasi. Pada ketiga penelitian nanopartikel jintan hitam tersebut, penggunaan bahan baku utama yang merupakan senyawa murni, ekstrak jintan hitam yang diperoleh dengan metode ekstraksi superkritik, adanya penggunaan energi tinggi, masih belum bernilai ekonomis apabila diaplikasikan pada industri pangan. Metode ekstraksi dan penggunaan metode energi rendah pada pembuatan nanoemulsi merupakan hal yang perlu dikaji agar dapat bersifat aplikatif. Selain itu, untuk mengetahui ketersediaan senyawa aktif jintan hitam bagi tubuh dan fungsi jintan hitam dalam menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), perlu dikaji pelepasan senyawa aktif jintan hitam dalam medium asam dan basa serta uji penghambatan enzim alfa glukosidase secara in vitro.
Perumusan Masalah Sistem pengantaran berbasis emulsi merupakan cara yang mudah dalam melindungi senyawa bioaktif yang kurang larut dalam air. Nanoemulsi yang berisi partikel relatif kecil (r <100 nm), dapat lebih mudah meningkatkan penyerapan senyawa bioaktif yang bersifat hidrofobik. Ekstrak yang terdispersi dalam fase air menggunakan pengemulsi yang sesuai dapat dihasilkan dari metode yang menggunakan energi rendah, yakni metode emulsifikasi spontan. Pada metode emulsifikasi spontan, sistem emulsi terdiri dari fase organik (minyak dan pelarut organik) serta fase air (air dan surfaktan hidrofilik). Pembentukan nanoemulsi terjadi secara spontan setelah campuran minyak-surfaktan dimasukkan ke dalam fase air (Bouchemal et al. 2004). Pada penelitian Ravindran et al. (2010), fase organik yang digunakan untuk pembuatan nanoemulsi jintan hitam adalah senyawa thymoquinone murni dan pelarut asetonitril. Penggunaan senyawa thymoquinone murni sebagai fase organik dalam pembuatan nanoemulsi jintan hitam juga dilakukan oleh Tubesha et al. (2013). Pada pembuatan nanopartikel jintan hitam oleh AlHaj et al. (2010), fase organiknya adalah ekstrak jintan hitam yang yang diperoleh dari metode ekstraksi superkritikal. Pada ketiga penelitian yang menggunakan teknologi nano berbasis jintan hitam tersebut, masih terdapat keterbatasan apabila diaplikasikan pada industri pangan, diantaranya penggunaan senyawa murni, penggunaan ekstraksi superkritikal dan pembuatan nanopartikel menggunakan energi tinggi. Penggunaan thymoquinone sebagai senyawa murni jintan hitam, selain terbatas
3 ketersediaannya, juga memerlukan biaya tinggi dalam memperolehnya. Penggunaan metode ekstraksi superkritikal membutuhkan biaya untuk pengadaan alat ekstraksi superkritikal tersebut. Pembuatan nanopartikel menggunakan energi tinggi, memerlukan pasokan energi, seperti daya listrik disamping ketersediaan alat sehingga belum bersifat ekonomis. Berdasarkan keterbatasan penelitian nanopartikel jintan hitam yang telah ada tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan pembuatan nanoemulsi jintan hitam menggunakan energi rendah dan melakukan kajian ketersediaan senyawa aktif jintan hitam didalam tubuh dan khasiat dalam menurunkan kadar gula darah secara in vitro. Senyawa aktif jintan hitam yang dimaksud pada penelitian ini adalah senyawa polifenol, terkait dengan senyawa aktif utama jintan hitam yaitu thymoquinone, yang termasuk dalam senyawa fenolik kuinonik. Pada tahap awal penelitian dilakukan empat metode ekstraksi jintan hitam. Hasil terbaik dari keempat metode ekstraksi jintan hitam digunakan pada pembuatan nanoemulsi jintan hitam sebagai salah satu komponen fase organik. Penggunaan konsentrasi surfaktan dalam pembuatan nanoemulsi mengacu pada penelitian AlHaj et al. (2010) yakni 1% Tween 80 dan Tubesha et al. (2013) yang menggunakan 2% Tween 80. Metode ekstraksi jintan hitam yang digunakan mengacu pada penelitian Yasni et al. (2009) yang melakukan ekstraksi jintan hitam dengan metode refluks dengan pelarut 70% dan penelitian oleh Sugindro et al. (2008) yang melakukan ekstraksi jintan hitam dengan metode maserasi. Nanoemulsi ekstrak jintan hitam yang memiliki karakteristik terbaik dilakukan enkapsulasi. Pada pembuatan enkapsulasi nanoemulsi digunakan dua macam bahan penyalut untuk dapat dikaji karakteristiknya satu sama lain. Penelitian terkait senyawa aktif yang tersalut nanopartikel menunjukkan ketersediaan bagi tubuh meningkat yang dapat dikaji secara in vitro dengan melakukan uji disolusi (Gunasekaran et al. 2007). Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan uji disolusi untuk mengkaji ketersediaan senyawa aktif jintan hitam bagi tubuh dan mengkaji kemampuan ekstrak jintan hitam, nanoemulsi dan produk enkapsulasi dalam menurunkan kadar gula darah secara in vitro melalui uji penghambatan enzim alfa glukosidase.
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kondisi ekstraksi jintan hitam terhadap jumlah rendemen, kapasitas antioksidan 2. Melakukan pembuatan nanoemulsi jintan hitam menggunakan energi rendah dan mengkaji pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap karakteristik nanoemulsi jintan hitam 3. Melakukan pembuatan produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam 4. Melakukan uji disolusi untuk mengkaji kelarutan senyawa aktif jintan hitam dalam medium asam dan basa 5. Melakukan uji penghambatan enzim alfa glukosidase untuk mengkaji potensi ekstrak jintan hitam, nanoemulsi dan produk enkapsulasi sebagai bahan antihiperglikemik
4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk pengembangan produk pangan fungsional berbasis jintan hitam dengan menggunakan teknologi nano.
Hipotesis 1. Konsentrasi surfaktan pada pembuatan nanoemulsi dapat mempengaruhi karakteristik nanoemulsi 2. Bahan penyalut pada enkapsulasi nanoemulsi mempengaruhi pelepasan senyawa aktif pada medium asam dan basa
2 TINJAUAN PUSTAKA Jintan Hitam (Nigella sativa) Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu spesies dari genus Nigella yang memiliki kurang lebih 25 spesies tanaman yang termasuk dalam famili Ranunculaceae. Tanaman ini banyak tumbuh di negara Mediterania Timur Tengah, Eropa Timur dan Asia barat. Nama lain Nigella Sativa (Kumar 2011) diantaranya adalah Black Carraway seed, Black Cumin, Black Seed (English), Habbatus Sawda (Arab), Karun jiragam (Tamil), Karunshiragam (Malayalam), Kalonji (Urdu, Hindi), Karijirigi (Kannada), Nulajirakara (Telugu), Kalanjire (Marathi), Kalajira (Bengali), dan Shonaiz (Persian). Komponen yang terkandung dalam jintan hitam antara lain nutrisi, senyawa fenolik, mineral, vitamin, dan minyak essensial. Komposisi nutrisi biji Nigella sativa terdiri dari protein, lemak, dan karbohidrat. Secara umum kandungan nutrisi dan senyawa fenolik yang terdapat pada biji jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam Komposisi Air Protein Lemak Serat Abu Total Polifenol (mg asam galat/kg minyak)
Sumber : Sultan et al. 2009.
Nilai Mean ± SD (%) 6.46 ± 0.17 22.80 ± 0.60 31.16 ± 0.82 6.03 ± 0.16 4.20 ± 0.11 310.26 ± 6.82
5 Biji jintan hitam mengandung sejumlah mineral yang penting bagi tubuh. Kandungan fosfor dan kalsium pada biji jintan hitam lebih besar dari elemen mineral yang lain. Beberapa penelitian telah menentukan komposisi mineral pada biji jintan hitam, diantaranya yang dilakukan oleh Sultan et al. 2009 (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi mineral biji jintan hitam Mineral (mg/100g) Kalsium (Ca) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Sodium (Na) Iron (Fe) Mangan (Mn) Zinc (Zn) Tembaga (C)
Jumlah 570 ± 21.5 543 ± 10.04 265 ± 4.87 17.6 ± 2.21 9.70 ± 0.65 8.53 ± 0.11 6.23 ± 0.21 2.60 ± 0.03
Sumber : Sultan et al. 2009.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Harzallah et al. (2011), minyak atsiri atau essensial oil jintan hitam yang dideteksi menggunakan Gas Chromatography Mass Spectra (GC-MS) mengandung: p-cymene (49.48%), α -thujene (18.93%), α-pinene (5.44%), β-pinene (4.31%), y-terpinene (3.69%), dan thymoquinone (0.79%). Jintan hitam juga mengandung alkaloid seperti koumarin; nigellicine, nigellidine, dan nigellimine-N-oxide. Minyak atsiri jintan hitam mengandung dithymoquinone, thymohydroquinone, nigellone, carvacrol, d-limonene, dcitronellol, 2-(2-methoxypropyl)-5-methyl-1,4-benzenediol dan thymol yang memiliki aktivitas farmakologi, diantaranya sebagai penghilang sakit (analgesik), anti pembengkakan (antiinflamasi), anti alergi (anti histamin), mampu menghambat proliferasi (produksi) sel kanker, antiangiogenesis (menghentikan pembentukan pembuluh darah bagi sel kanker), antioksidan dan antimikroba (Junaedi et al. 2011). Kandungan thymoquinone dalam biji jintan hitam diduga merupakan bahan bioaktif utama dari minyak atsiri jintan hitam (Fararh et al. 2010) dan thymoquinone termasuk dalam senyawa fenolik kuinonik (Kumar 2011). Thymoquinone memiliki sifat antioksidan yang kuat, dapat melindungi jaringan yang bukan tumor dari kerusakan yang disebabkan oleh kemoterapi dan sebagai pelindung dari kerusakan hati (Fararh et al. 2005). Selain itu adanya senyawa β-pinene menunjukkan aktivitas antiproliferatif melawan sel tumor A549 (Bourgou et al. 2010); senyawa longifolene sebagai antioksidan dan antibakteri, dan senyawa thymol sebagai antimikroba (Martos et al. 2011). Biji jintan hitam mengandung asam lemak tidak jenuh, terutama asam linoleat (omega 6). Asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang dikandung minyak jintan hitam berjumlah 15,29 % dan 84.67%; asam lemak tidak jenuh tunggal sebanyak 24,84 %; dan asam lemak tidak jenuh jamak sebanyak 59,83 %. Asam linoleat penting untuk pembentukan prostaglandin E1 yang berfungsi memperkuat sistem imun. Minyak jintan hitam berwarna lebih kuning dan bersifat lebih stabil,
6 sehingga dapat disimpan lebih lama karena adanya kandungan polifenol (Junaedi et al. 2011). Komposisi asam lemak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Profil asam lemak jintan hitam Profil Asam Lemak C10:0 C12:0 C14:0 C16:0 C16:1 C17:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0 C20:1 C20:2 C20:3 C22:1 ALJT ALTJT ALTJJ ALTJT Rasio U: S Rasio P : S
Pentadekaenoat Laurat Miristat Palmitat Palmitoleat Heptadekaenoat Stearat Oleat Linoleat G-Linolenat Arakidat Eikosenoat Eikosadienoat Eikosatrienoat Erusat Asam lemak Jenuh Total Asam lemak Tak Jenuh Total Asam Lemak Tak Jenuh Jamak Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal ALTJT : ALJT ALTJJ : ALJT
Jumlah 0.42± 0.19 0 0.26 ± 0.01 10.51± 0.03 0.09± 0.1 1.17± 0.63 2.91± 0.07 24.42± 0.17 56.85± 0.26 0.20± 0.01 0.26± 0.02 0.33± 0.005 2.79± 0.66 0 0 15.29± 0.7 84.67± 0.7 59.83± 0.43 24.84± 0.27 5.53 3.91
Sumber : Parhizkar et al. 2011.
Teknologi Nano Teknologi nano adalah ilmu yang mempelajari dan merekayasa materi pada skala 1 hingga 100 nanometer, terjadi fenomena unik dan sifat baru (Paull dan Lyons 2008). Teknologi nano berkaitan dengan aplikasi, pembuatan dan pengolahan bahan dengan ukuran kurang dari 1000 nm (Sanguansari dan Augustin 2006). Definisi dasar dari teknologi nano adalah suatu proses rekayasa dari fungsi sistem pada tingkat molekular. Teknologi ini mengacu pada manipulasi atau perakitan diri dari atom, molekul atau kelompok molekul menjadi material atau alat dengan sifat-sifat baru. Cara kerjanya melalui proses “ top down “ ataupun “ bottom up “. Top down berarti memperkecil ukuran sampai pada skala nano yang melibatkan adanya gaya mekanik (energi tinggi). Metode yang dapat digunakan meliputi penggilingan mekanik, homogenisasi tekanan tinggi, mikrofluidisasi dan ultrasonikasi (Sanguansari dan Augustin 2006), sedangkan bottom up merupakan kebalikan proses dari top down. Pada proses ini atom-atom atau molekul dibuat sehingga menjadi susunan dengan skala nano.
7 Metode yang dapat digunakan meliputi kristalisasi, ekstraksi pelarut / evaporasi, sintesis mikrobial, reaksi biomassa (Cushen et al. 2011). Beberapa aplikasi dari teknologi nano yang potensial adalah nanoemulsi dan pengantaran senyawa bioaktif atau delivery of bioactive components (Fathi et al. 2012). Nanoemulsi (juga dikenal sebagai miniemulsi atau submikron emulsi) merupakan emulsi yang terdiri dari fase terdispersi yang dibentuk oleh penyebaran satu cairan dalam larutan cairan lainnya yang memiliki kisaran ukuran antara 50 dan 1000 nm (Sanguansari dan Augustin 2006). Ada beberapa perbedaan antara nanoemulsi dan mikroemulsi, antara lain nanoemulsi terlihat secara optik lebih transparan, stabil secara kinetik, metastabil, dan dapat diencerkan dengan air tanpa perubahan dalam distribusi ukuran droplet. Mikroemulsi terlihat buram dan stabil secara termodinamik (Gupta et al. 2010). Nanoemulsi merupakan cara yang baik untuk pengantaran komponen makanan yang sulit larut dalam air, seperti minyak ikan dan vitamin lipofilik, sesuai dengan kemampuannya untuk meningkatkan kelarutan bioaktif dan penyerapan pada saluran pencernaan, yang disebabkan perubahan permeabilitas surfaktan. Setelah tertelan, droplet didistribusikan di dalam perut melalui droplet kecil nanoemulsi sehingga mendorong penyebaran senyawa bioaktif yang dienkapsulasi dalam saluran pencernaan (Fathi et al. 2012). Enkapsulasi nanoemulsi berbasis sistem pengantaran senyawa bioaktif merupakan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan dispersi senyawa bioaktif produk makanan, melindungi terhadap degradasi atau interaksi dengan bahan lain, mengurangi dampak terhadap sifat organoleptik makanan dan meningkatkan bioavailabilitasnya (Donsi et al. 2011). Sistem pengantaran senyawa bioaktif diartikan sebagai senyawa bioaktif yang diletakkan didalam zat pembawa untuk mengatur laju pelepasan zat bioaktif. Zat pembawa nano (nanocarriers) dapat melindungi senyawa bioaktif dari lingkungan yang kurang kondusif. Zat pembawa nano memiliki luas permukaan yang dapat meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas, dan memperbaiki target pelepasan komponen pangan yang dienkapsulasi, bila dibandingkan dengan zat pembawa ukuran mikro. Secara umum, zat pembawa nano pada makanan dapat berbasis karbohidrat, protein atau lemak (Fathi et al. 2012). Untuk memperoleh larutan yang stabil, bahan penstabil seperti pengemulsi atau surfaktan dapat ditambahkan ke dalam sistem emulsi (Fang dan Bhandari 2010). Surfaktan (surface active agent) atau zat aktif permukaan adalah senyawa organik yang memiliki komposisi struktur satu atau lebih ekor non polar hidrofobik yang terhubung dengan sebuah polar bagian kepala sebagai hidrofilik. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan hidrogen pada permukaan. Hal ini dilakukan dengan menaruh kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air. Pada dasarnya karakteristik surfaktan merupakan manifestasi dari rasio antara bagian hidrofilik dan hidrofobik yang dikenal sebagai hydrophile lipophile balance atau HLB (Jaya 2010). Contoh surfaktan nonionik adalah Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat), yang memiliki nilai HLB 15. Nilai HLB yang besar ini menyebabkan Tween 80 sangat cocok digunakan sebagai pengemulsi pada sistem emulsi minyak dalam air (Suprayogi dan Yudha 2004). Nanoemulsi dapat dihasilkan melalui metode mekanik dan non mekanik. Metode mekanik menggunakan energi tinggi, contohnya High Pressure Homogenization (HPH) atau homogenisasi tekanan tinggi, mikrofluidisasi, dan
8 ultrasonikasi. Metode non mekanik menggunakan teknik difusi pelarut atau emulsifikasi spontan (Fathi et al. 2012). Karakterisasi yang dilakukan terhadap droplet nano diantaranya nilai Poly Dispersity Index atau indeks polispersitas (PDI), zeta potensial, dan morfologi permukaan. Morfologi nanopartikel dapat ditentukan dengan mikroskop elektron transmisi (TEM) dan mikroskop elektron pemindai atau SEM (Lovelyn dan Attama 2011). Polidispersitas merupakan perbandingan dari standar deviasi terhadap rata-rata ukuran droplet, sehingga dapat menunjukkan keseragaman ukuran droplet dalam formulasi. Semakin tinggi polidispersitas menunjukkan semakin rendah keseragaman ukuran tetesan dalam formulasi. Instrumen Particle Size Analyzer dapat mengukur indeks polidispersitas, yaitu penyebaran distribusi ukuran partikel yang diturunkan dari analisis kumulatif hamburan cahaya dinamis. PDI menunjukkan kualitas atau homogenitas dispersi. Nilai PDI yang kecil berarti distribusi ukuran partikel sempit. Pengemulsi tidak hanya berfungsi sebagai penghalang mekanik, tetapi juga membentuk muatan permukaan zeta potensial, yang menghasilkan gaya tolak listrik diantara droplet minyak yang menghambat koalesensi. Zeta potensial mengukur keseluruhan muatan partikel yang diperlukan pada media spesifik yang menunjukkan kestabilan sebuah sistem. Jika sebuah partikel memiliki nilai zeta potensial yang besar (negatif atau positif) akan terjadi saling tolak menolak antar satu partikel dengan yang lain, dan hal ini menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan muatan partikel yang netral. Jika nilai zeta potensial semakin negatif atau positif, maka muatan droplet semakin besar dan emulsi semakin stabil. Nilai zeta potensial yang lebih rendah dari -30 mV atau lebih besar dari +30 mV umumnya mengindikasikan tingkat kestabilan fisik yang tinggi (Gupta et al. 2010).
Spray Drying (Pengeringan Semprot) Spray drying atau pengeringan semprot merupakan cara yang umum digunakan dalam enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan metode yang terdiri dari bahan penyalut di sekitar bahan inti, yang dapat melindungi bahan inti dari oksidasi. Metode pengeringan semprot terdiri dari dua unit, yaitu emulsifikasi bahan inti dengan larutan pati termodifikasi dan dehidrasi pada ruang pengering yang sesuai. Bahan inti dihomogenisasikan dengan larutan pati, lalu emulsi tersebut dipompa dengan pengaturan jumlah tertentu ke atomizer pengering semprot. Partikel kering terbawa dalam aliran udara dan dipisahkan ke ruang pengumpul hasil (Farooqi et al. 2005). Metode pengeringan semprot dapat dilakukan melalui lima tahap, yaitu (1) konsentrasi, yakni produk dikonsentrasikan sebelum dimasukkan ke dalam alat penyemprot (sprayer), (2) atomisasi, yakni pada tahap atomisasi terjadi kondisi penguapan secara optimal menjadi produk kering sesuai karakteristik yang diinginkan, (3) kontak antara droplet-udara, didalam alat cairan yang teratomisasi berinteraksi dengan gas panas, menghasilkan uap air 95% yang terkandung dalam droplet, (4) pengeringan droplet, dan (5) pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara (Patel et al. 2009). Komponen polifenol termasuk contoh senyawa aktif namun sebagian besar rasa komponen polifenol kurang menyenangkan sehingga aplikasinya terbatas.
9 Penggunaan senyawa polifenol yang terenkapsulasi dapat secara efektif mengatasi kekurangan tersebut (Fang dan Bhandari 2010). Setiap bahan penyalut memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal sifat, biaya, dan efisiensi enkapsulasi. Maltodekstrin merupakan turunan dari pati termodifikasi yang larut dan dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan bahan lain dalam pangan atau terkait dalam proses ekstraksi obat, bahan tambahan aromatik, karotenoid, dan vitamin. Fungsi maltodekstrin antara lain dapat digunakan dalam jumlah besar, membentuk film, mampu mengikat bahan flavor dan lemak, dan dapat mengurangi permeabilitas oksigen dinding bahan (Sansone et al. 2011). Maltodekstrin sering digunakan pada enkapsulasi senyawa polifenol (Fang dan Bhandari 2010). Suhu pengeringan semprot dapat mempengaruhi kandungan total polifenol. Penelitian yang dilakukan oleh Sansone et al. (2011) menyatakan komponen polifenol akan hilang pada peningkatan suhu dari 120oC hingga 200oC. Namun suhu lebih rendah dari 120oC tidak dapat menguapkan keseluruhan pelarut (salah satunya air) yang menyebabkan terjadinya bubuk yang berkohesif tinggi. Protein pangan dapat mengikat berbagai molekul bioaktif ke dalam struktur polipeptida sehingga dapat melindungi molekul bioaktif lebih baik sampai pada sel yang dituju. Sebagai contoh, isolat protein kedelai berpotensi sebagai substrat untuk pengembangan sistem pengantaran.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Pertanian IPB, Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Pertanian IPB, dan Laboratorium Balai Besar Pascapanen, Kementerian Pertanian, Bogor, Laboratorium Farmasi dan Medikal BPPT Pusat Penelitian dan Teknologi Serpong. Penelitian berlangsung dari bulan April 2012 sampai Oktober 2013.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jintan hitam yang diperoleh dari Mekah. Bahan surfaktan dan penyalut yang digunakan adalah Tween 80 (Sigma Co, USA), isolat protein kedelai (Solae, Switzerland) dan maltodekstrin yang dibeli dari Toko Setia Guna, Bogor. Bahan kimia dan analisis lain yang digunakan antara lain folin ciocealteau, DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazil), etanol, metanol, natrium sulfat anhidrat, natrium asetat, asam asetat glasial, NaH2PO4.H2O, Na2HPO4.2H2O, KCl, HCl, Na2CO3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Particle Size Analyzer (PSA) DelsaTM Nano C (Beckman Coulter, Coultronics, Prancis), rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-210 dan R-114, Switzerland), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1800, Jepang), Gas Chromatography Mass Spectrometry/GC-MS merek Agilent Technologies 5975C (USA),
10 homogenizer Ultra Turrax T-25 (USA), penyemprot kering (Lab Plant Sd 05, Inggris), dissolution tester (Logan Dissolution Testing System, USA), Scanning Electron Microscopy / SEM (JEOL JSM-6360LA, Jepang), Elisa Reader (Epoch, Biotech, USA).
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahapan penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan ekstrak minyak atsiri dan oleoresin jintan hitam akan digunakan pada penelitian utama. Penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan nanoemulsi jintan hitam, melakukan proses enkapsulasi, mengkaji kelarutan senyawa aktif jintan hitam dalam medium asam dan basa melalui uji disolusi serta mengkaji potensi jintan hitam sebagai bahan antihiperglikemik melalui uji penghambatan enzim alfa-glukosidase.
Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi minyak atsiri dan ekstrak jintan hitam menggunakan dua metode. Ekstraksi minyak atsiri dilakukan dengan metode destilasi dan destilasi ekstraksi berkesinambungan Lickens Nickerson. Ekstrak jintan hitam dilakukan dengan metode maserasi dan refluks. Pada rendemen tertinggi dari ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin jintan hitam dilakukan identifikasi komposisi kimia menggunakan GC-MS untuk mengetahui komposisi kimia ekstrak jintan hitam secara kualitatif. Penentuan metode ekstraksi terbaik pada penelitian pendahuluan berdasarkan pengamatan warna ekstrak secara indrawi, jumlah rendemen, pengamatan kapasitas antioksidan dan nilai total fenol tertinggi. Hasil ekstrak jintan hitam terbaik pada penelitian pendahuluan digunakan pada penelitian utama. Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
11
Gambar 1 Proses ekstraksi minyak atsiri jintan hitam
Gambar 2 Proses ekstraksi oleoresin jintan hitam
12 Ekstraksi minyak atsiri bubuk jintan hitam Metode penyulingan dilakukan dengan memanaskan campuran bubuk jintan hitam sebanyak 100 gram dan 500 mL air dalam labu didih 1 liter yang dihubungkan dengan alat penyuling minyak atsiri. Labu dididihkan selama 6 jam dan volume minyak atsiri yang tertampung diukur. Metode Lickens Nickerson atau ekstraksi berkesinambungan dilakukan dengan memasukkan bubuk jintan hitam sebanyak 100 gram dan air 500 mL ke dalam erlenmeyer 3 L. Campuran tersebut kemudian didistilasi dan diekstraksi secara simultan menggunakan alat Lickens-Nickerson dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml selama 1 jam (dihitung setelah sampel mendidih). Ekstrak yang diperoleh ditambahkan natrium sulfat anhidrat kemudian dipekatkan dengan menggunakan kolom Vigreux pada suhu 40°C – 50°C tanpa vakum selama 6 jam. Destilat yang dihasilkan lalu dihembuskan gas nitrogen untuk menguapkan semua pelarut dan vial ditutup serta diberi kertas parafilm selanjutnya sampel disimpan dalam refrigerator dan siap digunakan sebagai contoh.
Ekstraksi oleoresin bubuk jintan hitam Ekstraksi biji jintan hitam dilakukan dengan metode pemanasan (refluks) dan tanpa pemanasan (maserasi) menggunakan pelarut etanol 70%. Bahan baku ditimbang sebanyak 50 gram dan ditambahkan pelarut dengan perbandingan 1:5 (w/v). Waktu ekstraksi refluks yang diujikan adalah 1 dan 3 jam dengan suhu 60oC-70 oC, sedangkan waktu maserasi yang diujikan adalah 6 dan 24 jam pada suhu ruang dan dilakukan pengadukan. Setelah itu pada masing-masing perlakuan dilakukan penyaringan sehingga diperoleh filtrat dan ampas. Untuk memaksimalkan proses ekstraksi, pada masing-masing ampas dilakukan penambahan pelarut dengan perbandingan 1 : 3 (w/v), diekstraksi kembali, disaring dan filtrat dikumpulkan kembali pada labu filtrat. Filtrat dari masingmasing metode ekstraksi dicampurkan dan dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-210 dan R-114) pada suhu 45oC- 50 oC.
Pengujian komponen kimia minyak atsiri dan ekstrak jintan hitam menggunakan GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) Ekstraksi sebanyak 3.5 gram sampel menggunakan headspace vial dengan fiber SPME (Solid Phase Microextraction) 22 mL jenis Divinylbenzene / polydimethyl siloxane (DVB/PDMS) dilakukan pada suhu 80oC selama 30 menit. Sampel kemudian diinjeksikan ke GC-MS Agilent 5975C (USA) inert XL EI/CI MSD Triple Axis Detector dengan kondisi berikut: suhu injektor 250oC; mode injeksi splitless, suhu interface 260 oC, gas pembawa adalah gas helium (He) dengan laju alir 0.8 mL / menit, kisaran massa 33-550. Kondisi oven diatur dengan suhu awal 45oC selama 1 menit kemudian meningkat 6°C/min sampai 250°C, lalu suhu oven dipertahankan selama 25 menit. Kolom yang digunakan adalah DB-WAX (60 m x 250 µm x 0.25 µm) dengan database NIST5a.
13
Penelitian Utama Penelitian utama dimulai dengan melakukan pembuatan nanoemulsi jintan hitam dengan tiga konsentrasi surfaktan. Pada nanoemulsi jintan hitam yang memiliki karakteristik terbaik berdasarkan ukuran partikel terkecil, kehomogenan dan kestabilan yang baik, diberikan bahan pengisi atau bahan enkapsulan untuk selanjutnya dilakukan pengeringan dengan spray drying. Setelah itu dilakukan beberapa uji in vitro, diantaranya uji disolusi untuk mengkaji ketersediaan senyawa aktif jintan hitam bagi tubuh dan mengkaji kemampuan ekstrak jintan hitam, produk nanoemulsi jintan hitam dan produk enkapsulasi jintan hitam dalam menurunkan kadar gula darah melalui uji penghambatan enzim alfa glukosidase. Uji disolusi dilakukan pada dua medium, yaitu medium asam untuk mensimulasikan pencernaan di lambung dengan waktu tiga jam, dan medium basa untuk mensimulasikan pencernaan di usus dengan waktu enam jam. Senyawa aktif jintan hitam yang digunakan pada uji disolusi adalah komponen polifenol yang diperoleh dari pengukuran nilai total fenol. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.
Keterangan: 1 Karakterisasi nanoemulsi : ukuran droplet, indeks polidispersitas, zeta potensial 2 Karakterisasi produk enkapsulasi : ukuran partikel, indeks polidispersitas,morfologi 3 Analisa in vitro : Uji Disolusi, Uji Kapasitas Antioksidan, Uji Total Fenol, Uji Inhibisi enzim alfa- glukosidase
Gambar 3 Diagram alir penelitian utama
14 Nanoemulsifikasi ekstrak jintan hitam ( modifikasi Bouchemal et al. 2004) Pembuatan nanoemulsi menggunakan teknik emulsifikasi spontan. Sistem emulsi terdiri dari fase organik (ekstrak jintan hitam dan etanol 70%) dan fase air (air dan Tween 80). Fase organik disiapkan dengan mencampurkan ekstrak kental jintan hitam dan pelarut etanol 70% hingga mencapai total padatan terlarut 20o brix. Teknik emulsifikasi spontan dilakukan dengan menambahkan fase organik ke dalam fase air melalui penetesan (tetes demi tetes). Pada saat meneteskan fase organik ke dalam fase air, fase air di aduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3% dari volume emulsi yang akan dibuat. Formula emulsi terbaik ditentukan berdasarkan karakteristik terbaik (ukuran partikel, nilai indeks polidispersitas, zeta potensial) menggunakan light-scattering Particle Size Analyzer DelsaTM Nano C (Beckman Coulter, France).
Enkapsulasi nanoemulsi ekstrak jintan hitam Setelah pembuatan nanoemulsi, ditambahkan bahan penyalut berupa maltodekstrin dan isolat protein kedelai dengan total padatan 26 % (w/w). Bahan penyalut yang dicobakan terdiri atas maltodekstrin dan campuran maltodekstrin dan isolat protein kedelai dengan perbandingan 80 : 20 (w/w). Setelah itu dilakukan homogenisasi selama 5 menit dengan alat homogenizer, kemudian dilakukan hidrasi selama 18 jam pada suhu 4oC. Setelah hidrasi, sesaat sebelum disemprotkeringkan dengan penyemprot kering, dihomogenisasi kembali selama 30 detik dengan kecepatan 11000 rpm. Semprot kering dilakukan dengan laju alir umpan 16 mL/menit dan suhu inlet 170°C.
Karakterisasi nanoemulsi dan produk enkapsulasi nanoemulsi Karakterisasi nanoemulsi yang dilakukan meliputi pengukuran distribusi ukuran partikel, indeks polidispersitas dan kestabilan partikel berdasarkan nilai zeta potensial dengan menggunakan light-scattering Particle Size Analyzer DelsaTM Nano C (Beckman Coulter, France). Karakterisasi produk enkapsulasi nanoemulsi meliputi pengukuran distribusi ukuran partikel, indeks polidispersitas dan morfologi. Pengukuran distribusi ukuran partikel dan indeks polidispersitas menggunakan light-scattering Particle Size Analyzer DelsaTM Nano C (Beckman Coulter, France). Pengamatan morfologi produk enkapsulasi nanoemulsi dilakukan menggunakan alat Scanning Electron Microscopy (SEM) JEOL JSM6360LA.
Uji disolusi (Departemen kesehatan 1995) Sebanyak 500 mg ekstrak jintan hitam dan sampel yang setara dengan ekstrak tersebut ditimbang dan dimasukkan ke dalam chamber disolusi. Uji disolusi dilakukan dalam medium asam (larutan buffer klorida pH 1.2) untuk
15 menirukan kondisi pencernaan di lambung selama 3 jam dan medium basa (larutan bufer fosfat pH 7.4) untuk menirukan kondisi usus selama 6 jam pada suhu (37 ±0.5) °C dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Volume medium disolusi yang digunakan sebanyak 500 mL. Pengambilan alikuot dilakukan setiap 15 menit dengan volume setiap kali pengambilan 15 mL. Setiap kali pengambilan alikuot, volume medium yang terambil digantikan dengan larutan medium yang baru dengan volume dan suhu yang sama. Sampel yang diambil tiap 15 menit diukur kandungan total fenolnya. Pengujian total fenol dijelaskan dibawah ini.
Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002) Larutan standar dibuat dengan melarutkan 10, 25, 50, 75, 100, 125, dan 150 ppm asam galat dalam air suling. Larutan reagen dibuat dengan mencampurkan 50 mL reagen folin-ciocalteau dengan 50 mL air suling. Larutan Na2CO3 dibuat dengan melarutkan 5 g Na2CO3 dalam 100 mL air suling. Larutan standar atau sampel sebanyak 1 mL dilarutkan dalam 5 mL air suling dan 0.5 mL larutan reagen. Setelah itu, larutan didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap kemudian ditambahkan 1 mL larutan Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap selama 1 jam. Setelah inkubasi, larutan divorteks dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1800, Jepang) pada panjang gelombang 725 nm. Nilai total fenol dinyatakan sebagai mg/g GAE (Gallic Acid Equivalent).
Uji kapasitas antioksidan (modifikasi Kubo et al. 2003) Larutan reaksi terdiri dari campuran 1.5 mL buffer asetat 100 mM (pH 5.5), 2.85 mL etanol, dan 150 µL larutan DPPH (100 mM) dalam 1.5 mM methanol yang dibuat segar setiap akan digunakan. Sampel sebanyak 45 µL ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan diinkubasi pada suhu ruang dan tempat gelap selama 30 menit. Untuk larutan blanko dilakukan dengan larutan reaksi yang sama tanpa penambahan sampel. Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1800, Jepang) dengan penentuan nilai absorbansi pada panjang gelombang 517 nm. Kapasitas antioksidan dinyatakan sebagai mg/g AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity).
Uji penghambatan enzim alfa glukosidase (Sancheti et al. 2009) Larutan reaksi terdiri dari campuran 10 µL sampel, 50 µL 0.1 M buffer fosfat pH 7, 25 µL enzim alfa glukosidase (enzim alfa glukosidase yang digunakan berasal dari Saccharomyces cerevisiae tipe I dengan aktivitas 0.2 unit/ml), 25 µL p-nitrofenil-alfa-D-glukopiranosida (pNG) sebagai substrat yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah itu reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 100 µL 0.2 M larutan sodium karbonat. Hidrolisis enzimatik substrat dilihat dengan jumlah p-nitrofenol yang terlepas pada reaksi larutan
16 menggunakan alat Elisa Reader (Epoch, Biotech, USA) pada panjang gelombang 410 nm. Penyiapan pereaksi, yakni enzim alfa-glukosidase sebanyak 1 mg dilarutkan dengan 10 mL 0, 1 M buffer fosfat pH 7 yang mengandung 100 mg BSA (Bovine Serum Albumin). Stok enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan 0.1 M buffer fosfat pH 7. Larutan substrat dibuat dengan melarutkan 0.0753 gram pNG dalam 25 ml buffer fosfat pH 7. Kontrol positif yang digunakan adalah acarbose 1 % (b/v), dengan melarutkan tablet Glucobay (1 gram acarbose) dalam 100 mL HCl 2 N. Buffer kalium fosfat dibuat dengan melarutkan 1.37 gram KH2PO4 dengan air suling, 1.4246 gram K2HPO4 dengan air suling, kemudian dinaikkan pHnya menjadi 7 dengan penambahan NaOH 5%, lalu ditera menjadi 100 mL. Larutan natrium karbonat 0.2 M dibuat dengan melarutkan 0.5 gram dalam 25 mL buffer fosfat pH 7. Perhitungan persentase penghambatan alfa glukosidase dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % daya hambat = A2 – A1 x 100% A2 Keterangan : A2 = Absorbansi blanko – Absorbansi kontrol (-) A1 = Absorbansi sampel – Absorbansi kontrol (-) Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi yang dapat menghambat 50% aktivitas alfa glukosidase pada kondisi uji yang dilakukan. Nilai IC50 ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi linear, konsentrasi sampel sebagai sumbu x dan % penghambatan sebagai sumbu y. Dari persamaan y= a + bx dapat dihitung nilai IC50 dengan menggunakan rumus : IC50 = 50 – a b
Rendemen Ekstrak Jintan Hitam Rendemen dihitung berdasarkan bobot ekstrak yang dihasilkan (setelah seluruh pelarut diuapkan) dibandingkan dengan bobot jintan hitam yang digunakan untuk ekstraksi (basis kering). Perhitungan rendemen sebagai berikut: Rendemen (%) = bobot ekstrak (g) x 100% bobot jintan hitam basis kering (g)
Kadar air (SNI 1992) Metode analisis kadar air yang dipakai adalah metode oven. Prinsip dari metode ini adalah mengukur kehilangan bobot pada pemanasan 1050C yang dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada sampel. Sebanyak 1 gram sampel ditempatkan ke dalam wadah kemudian dikeringkan pada oven suhu 1050C selama 3 jam. Setelah didinginkan di dalam desikator, sampel ditimbang kembali. Pengeringan kembali dilanjutkan hingga memperoleh bobot yang konstan. Kadar air dinyatakan sebagai persentase basis basah melalui perhitungan berikut:
17 % air = w/w1 x 100% Keterangan: w = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram) w1= kehilangan bobot setelah dikeringkan (gram)
Kadar protein (AOAC 1995) Metode yang digunakan adalah metode kjeldahl dengan prinsip penghitungan jumlah nitrogen total yang kemudian dikali dengan faktor konversi. Sebanyak 250 mg sampel ditempatkan ke dalam labu Kjeldahl selanjutnya ditambahkan 1,9 gram K2SO4, 40 mg HgO, 2mL H2SO4 pekat dan beberapa butir batu didih untuk mencegah bumping. Sampel kemudian dipanaskan secara bertahap hingga diperoleh larutan jernih. Setelah dingin, sampel dipindahkan ke labu destilat kemudian ditambahkan 8 – 10mL larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Pada tabung erlenmeyer ditempatkan 5mL H3BO3 dan beberapa tetes indikator merah metal – biru metil. Labu erlenmeyer kemudian ditempatkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor yang terendam di dalam larutan. Proses distilasi dilakukan hingga diperoleh destilat sebanyak 15mL. Destilat yang didapatkan kemudian diencerkan sampai 50mL dengan akuades, selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,02N standar hingga terbentuk warna abu – abu, volume HCl yang terpakai untuk titrasi dicatat. Hal yang sama dilakukan pada larutan blanko. Kadar protein dinyatakan sebagai persentase basis basah melalui perhitungan dengan rumus berikut: % N = [(v1 – v2) x N HCl x 14,007]/berat sampel x 100 % protein = %N x 6,25 Keterangan: v1 = volume larutan HCl untuk titrasi sampel v2 = volume larutan HCl untuk titrasi blanko 6,25 = faktor konversi nitrogen menjadi protein
Kadar lemak (SNI 1992) Metode yang digunakan adalah metode soxhlet dengan prinsip mengekstrak lemak bebas dengan pelarut non polar. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Sumbat selongsong kertas berisi sampel dengan kapas lalu keringkan dalam oven dengan suhu maksimal 800C selama 1 jam. Selongsong selanjutnya dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan ditimbang. Sampel diekstraksi dengan pelarut heksana atau pelarut lemak lainnya selama 6 jam lalu heksana disulingkan dan ekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C. Setelah dingin dilakukan penimbangan hingga tercapai bobot tetap. Kadar lemak dinyatakan sebagai persentase basis basah melalui perhitungan dengan rumus berikut: % lemak = (w – w1)/w2 x 100%
18 Keterangan: w = berat sampel (gram) w1 = berat lemak sebelum ekstraksi (gram) w2 = berat lemak setelah estraksi (gram) Kadar abu (SNI 1992) Prinsip dari pengujian kadar abu adalah dengan menguraikan zat organik menjadi air dan CO2 sehingga hanya tersisa bahan anorganik. Sebanyak 2 gram sampel ditempatkan ke dalam cawan porselen kemudian dilakukan pengabuan dalam tanur listrik pada suhu maksimal 5500C. Sampel didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dinyatakan sebagai persentase basis basah melalui perhitungan berikut: % Abu = (w1 – w2) / w x 100% Keterangan: w = berat sampel sebelum diabukan (gram) w1 = berat sampel dan cawan setelah diabukan (gram) w2 = berat cawan kosong (gram) Analisis Data Semua data ditunjukkan dalam bentuk nilai rata-rata ± standar deviasi, dengan dua kali pengulangan. Data dianalisis dengan analisis satu arah varians ANOVA (Analisis of Variance) menggunakan SPSS versi 17. Apabila dari hasil analisa terdapat pengaruh yang signifikan maka dilakukan uji Duncan dengan selang kepercayaan 5%.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Mekah. Untuk mengetahui karakteristik jintan hitam yang digunakan maka dilakukan analisis proksimat. Hasil analisis proksimat dan perbandingannya dari data literatur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil analisis proksimat jintan hitam Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Hasil Analisis (%) 4.54 ± 0.05 12.74 ± 0.02 44.30 ± 0.49 4.16 ± 0.02 34.31 ± 0.58
Literatur (%) Sultan et al. 2009 Yasni et al. 2009 6.46 ± 0.17 5.52 22.80 ± 0.60 19.69 31.16 ± 0.82 31.68 4.20 ± 0.11 4.28 35.38 38.83
19 Tabel 4 memperlihatkan bahwa secara umum komposisi zat nutrisi berdasarkan hasil analisa proksimat jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini sebanding dengan hasil analisis proksimat jintan hitam pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sultan et al. (2009) dan Yasni et al. (2009). Kadar lemak jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi yakni 44%, dibandingkan kadar lemak pada penelitian oleh Sultan et al. 2009 dan Yasni et al. 2009, yakni 31%. Tingginya komposisi lemak pada hasil proksimat penelitian ini menunjukkan jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini kaya kandungan asam lemak. Kadar protein sampel jintan hitam yang digunakan lebih rendah (12.74%) dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu. Jintan hitam yang merupakan salah satu dari tanaman herbal memiliki komposisi yang dapat bervariasi. Perbedaan komposisi nutrisi di antara jintan hitam dapat disebabkan antara lain perbedaan daerah penanaman, kondisi penyimpanan, tahap pematangan (Rouhou et al. 2007), distribusi geografi, waktu panen dan praktek agronomi (Sultan et al. 2009). Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan metode ekstraksi jintan hitam yang digunakan pada penelitian utama. Sebelum dilakukan ekstraksi, biji jintan hitam digerus menggunakan mortar agar memperluas permukaan sampel, mempersiapkan bahan siap diekstrak, dan menghindari terbuangnya sejumlah minyak yang ada dalam biji jintan hitam. Tahap penelitian pendahuluan ini diawali dengan pembuatan ekstrak minyak atsiri (essensial oil) dan ekstrak jintan hitam. Ekstraksi minyak atsiri jintan hitam dilakukan dengan metode destilasi air dan ekstraksi destilasi berkesinambungan Lickens Nickerson. Dasar pertimbangan pemilihan kedua metode tersebut untuk mengetahui efisiensi proses ekstraksi terhadap minyak atsiri yang dihasilkan. Pada metode destilasi air, minyak atsiri jintan hitam yang diperoleh hanya sedikit, berupa dua titik minyak atsiri yang mengapung pada permukaan air (Lampiran 1). Sedikitnya minyak atsiri yang diperoleh sulit untuk dipisahkan sehingga tidak dapat digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Penelitian ekstraksi biji jintan hitam menggunakan metode destilasi telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Yasni et al. (2009), Borgou et al. (2010), Harzallah et al. (2011), dan Martos et al. (2011). Penelitian tersebut menggunakan cara steam destillation untuk memperoleh minyak atsiri jintan hitam. Berat jintan hitam yang digunakan pada berbagai penelitian tersebut bervariasi pada kisaran 100 gram hingga 500 gram, dengan variasi waktu antara lain 90 menit (Borgou et al. 2010), 2.5 jam (Harzallah et al. 2011), dan 3 jam (Martos et al. 2011 ) dengan rendemen hasil minyak atsiri yang diperoleh sebesar 0.5%, 0.8%, dan 1.2%. Perbedaan rendemen ekstraksi minyak atsiri metode destilasi air pada penelitian ini dengan literatur yang menggunakan steam destillation dapat disebabkan oleh perbedaan alat, perbedaan asal biji jintan hitam yang digunakan, perbedaan waktu ekstraksi dan perbedaan preparasi sampel. Rendemen minyak atsiri jintan hitam yang dihasilkan dengan menggunakan destilasi air menunjukkan efisiensi yang relatif rendah. Lain halnya dengan steam destillation, yang memiliki efisiensi tinggi dan rendemen minyak yang dihasilkan tinggi (Ketaren 1979). Pada metode destilasi ekstraksi berkesinambungan Lickens
20 Nickerson, dapat diperoleh komponen volatil dari jintan hitam. Komponen volatil dari jintan hitam, dan selanjutnya dilakukan identifikasi komponen kimianya dengan GC-MS (Tabel 5).
Tabel 5 Komposisi komponen volatil minyak atsiri biji jintan hitam menggunakan SDE Lickens Nickerson Senyawa p-cymene γ-terpinene alfa-thujene longifolene thymol alfa-pinene β-pinene a
Golongan Kimia Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon sesquiterpen Fenol terpen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen
Area (%) Hasil
Literatur a
9.69 3.24 1.42 1.14 1.02 0.78 0.50
33.75 2.40 3.27 3.11 26.78 0.70 1.12
Sumber: D’Antuono et al. 2002.
Pada Tabel 5 ditunjukkan komposisi komponen volatil dari penelitian ini cukup sesuai bila dibandingkan dengan literatur. Penelitian yang dilakukan oleh D’Antuono et al. 2002 terhadap ekstrak minyak atsiri jintan hitam menggunakan metode Lickens Nickerson menunjukkan komponen volatil setelah p-cymene berdasarkan luas areanya adalah thymol, thymoquinone, alfa-thujene, longifolene, γ-terpinene, β-pinene, dan alfa-pinene. Pada penelitian ini komponen kimia yang ada pada minyak atsiri jintan hitam, mengandung sebagian besar p-cymene (9.69%), γ-terpinene (3.24%), alfa-thujene (1.42%), thymol (1.02%), alfa-pinene (0.78%), t-anethole (0.71%), dan β-pinene (0.50%). Thymoquinone sebagai senyawa aktif utama tidak tampak pada hasil GC-MS dari metode Lickens Nickerson pada penelitian ini. Ketiadaan senyawa thymoquinone dalam minyak atsiri jintan hitam diduga oleh beberapa faktor, diantaranya (1) jenis jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini, terkait ada beberapa jenis jintan hitam yang tidak mengandung thymoquinone (Edris 2009), (2) ada komponen volatil yang teruapkan selama proses preparasi sampel sebelum dilakukan identifikasi oleh alat GC-MS, (3) iklim lokal, lokasi geografis (Bourgou et al. 2010), (4) kondisi lingkungan, musim, geologi, bagian dari tanaman, metode yang digunakan dalam memperoleh minyak atsiri (Martos et al. 2011), serta (5) waktu penanaman, dan praktek agronomi (Sultan et al. 2009). Selain dilakukan ekstraksi minyak atsiri jintan hitam, pada penelitian ini juga dilakukan ekstraksi jintan hitam. Ekstraksi jintan hitam dilakukan dengan metode refluks (menggunakan panas) dan maserasi (tanpa panas). Pelarut yang digunakan pada kedua metode ekstraksi jintan hitam adalah etanol 70%. Penggunaan pelarut etanol 70 % pada ekstraksi jintan hitam mengacu pada penelitian Yasni et al. (2009), dan etanol mempunyai polaritas tinggi sehingga mudah larut dalam air dan dapat mengekstrak lebih banyak (Reineccius 1994).
21 Data hasil ekstraksi jintan hitam dengan metode destilasi air, Lickens Nickerson, refluks, dan maserasi dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Penghitungan rendemen ekstrak diperlukan untuk mengetahui efisiensi dari proses ekstraksi yang dilakukan.
Tabel 6 Rendemen ekstrak jintan hitam Deskripsi 1 2 3
4
Rendemen (%) Minyak atsiri Oleoresin Tidak terdeteksi (t.d) 0.52±0.057 -
Metode Destilasi air (waktu 6 jam) Metode Lickens Nickerson Metode Maserasi a. waktu 6 jam b. waktu 24 jam Metode Refluks a. waktu 1 jam b. waktu 3 jam
-
12.26 ± 0.52a 13.79 ± 0.14b
-
14.49 ± 0.23c 15.39 ± 0.09c
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 7 Karakteristik ekstrak jintan hitam Deskripsi 1
2
Minyak atsiri a. Metode Destilasi air b. Metode Lickens Nickerson Oleoresin Metode Maserasi a. waktu 6 jam b. waktu 24 jam Metode Refluks a. waktu 1 jam b. waktu 3 jam
Kapasitas antioksidan (mg/g AEAC)
Total Fenol (mg/g GAE)
t.d t.d
t.d t.d
Hijau kehitaman Hijau kehitaman
19368.18±5.79a 12481.82±9.64b
20898.17±3.53a 21271.82±7.68b
Hitam Hitam
10027.27±7.71c 32981.82±6.43d
21827.30±2.28c 35877.72±0.10d
Warna
Kuning tua Bening
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 6 memperlihatkan bahwa metode Lickens Nickerson menghasilkan rendemen minyak atsiri (0.52%), walaupun rendemen tersebut sangat rendah dibandingkan dengan rendemen oleoresin etanol 70% jintan hitam (12-15%). Oleh karena itu ekstrak minyak atsiri jintan hitam tidak digunakan pada tahapan penelitian utama. Perolehan rendemen oleoresin jintan hitam metode maserasi 6 jam dan 24 jam, serta refluks 1 jam dan 3 jam, berturut-turut adalah 12.26%, 13.79%, 14.49% dan 15.39%. Nilai rendemen oleoresin jintan hitam tersebut menunjukkan
22 ekstraksi menggunakan panas selama satu jam dan tiga jam lebih efektif bila dibandingkan ekstraksi tanpa menggunakan panas selama 6 dan 24 jam. Perolehan rendemen ekstrak jintan hitam dengan metode refluks satu jam (14.49%) serupa dengan nilai rendemen ekstrak jintan hitam dengan metode dan waktu yang sama yang dilakukan oleh Mashita (2011) yaitu 13.88%. Nilai rendemen ekstrak jintan hitam dari refluks 3 jam (15.39%) lebih tinggi dari nilai rendemen ekstrak jintan hitam 3 jam pada penelitian Yasni et al. (2009) yakni 8.39%. Tingginya rendemen oleoresin jintan hitam dengan metode refluks tiga jam pada penelitian ini disebabkan oleh ekstraksi dilakukan dua kali (duplo) penyaringan, sedangkan pada ekstraksi yang dilakukan Yasni et al. (2009) hanya dilakukan satu kali tahap penyaringan. Namun apabila dilihat secara statistik, nilai rendemen oleoresin jintan hitam dari metode refluks 1 jam dan 3 jam tidak berbeda nyata, yakni 14.49% dan 15.39%. Oleh karena itu penentuan metode ekstrak yang digunakan pada penelitian utama didasarkan pada jumlah rendemen, kapasitas antioksidan dan nilai total fenol ekstrak yang dihasilkan. Analisa kapasitas antiosidan dan total fenol dilakukan untuk mengetahui sifat fungsional ekstrak, yakni kemampuan ekstrak jintan hitam dalam menghambat radikal bebas. Nilai kapasitas antioksidan ekstrak jintan hitam dengan metode refluks 3 jam lebih tinggi dari metode maserasi 6 jam, 24 jam, dan refluks 1 jam. Tingginya kapasitas antioksidan pada ekstrak jintan hitam metode refluks 3 jam berkorelasi dengan tingginya nilai total fenol (Tabel 7). Hal tersebut menunjukkan tingginya kapasitas antioksidan pada ekstrak jintan hitam metode refluks 3 jam dipengaruhi oleh adanya senyawa fenolik. Berdasarkan nilai rendemen, kapasitas antioksidan, dan nilai total fenol, maka ekstrak yang digunakan pada tahap penelitian utama adalah oleoresin jintan hitam dari metode refluks tiga jam (Lampiran 2). Pada oleoresin jintan hitam dengan metode refluks 3 jam dilakukan pengukuran komponen kimia secara kualititatif menggunakan GC-MS. Sebelum dilakukan pengukuran menggunakan GC-MS, ekstrak jintan hitam dipreparasi menggunakan Solid Phase MicroExtraction (SPME) sebagaimana tercantum dalam metode. Komponen kimia oleoresin jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 8.
23 Tabel 8 Komponen kimia oleoresin jintan hitam Senyawa Butyric acid hydrazide Butanedial Pyrazine,methyl2-Propanone, 1-hydroxyAcetaldehyde, hydroxy1-Propanol Acetic acid, hydroxy-, methyl ester Acetic acid Propanoic acid, 2-oxo-, methyl ester Furfural Formic acid Pyrrole Propanoic acid Methanone, dicyclopropylButanoic acid 2-Propenoic acid 2-Furanmethanol Butyrolactone Cyclohexanone, 3-methyl-, (R)Acetamide Vinyl Ether 1-Pyrrolidineethanamine Heptanoic acid Phenol, 2-methoxy Octadecanoic acid Phenol Sulfurous acid, bis(2-pentyl) ester 1,3-Propanediamine, N-methyl Hexadecanoic acid, methyl ester Oleic Acid 6-Octadecenoic acid, (Z) 8-Nonen-2one Heptadecanoic acid, 16-methyl-, methyl ester 9-Octadecenoic acid (Z)-, methyl ester Dimethylamine Tetradecanoic acid 1,2-Benzenediol 2-Heptanol, 6-methyl
Waktu Retensi (menit) 17.42 18.36 18.51 19.28 19.61 20.29 20.74 21.76 22.04 22.48 23.02 23.43 23.67 24.83 25.47 25.63 26.14 26.25 26.48 28.14 28.74 28.85 29.46 30.07 31.98 32.32 33.01 34.35 35.57 36.06 36.23 36.99 38.89 39.39 42.79 44.45 45.24 53.12
Luas Area (%) 0.3267 0.1153 0.5198 12.47924 3.6759 0.6573 1.3180 8.8705 1.3391 0.5579 3.0160 0.1827 0.2544 0.4017 0.1983 0.2110 3.6196 1.3296 0.3042 0.2136 0.2553 0.6902 0.1834 0.1067 0.4978 1.8133 0.8330 5.3702 7.8370 3.9768 6.8204 1.2536 0.8852 7.2493 1.0543 0.9993 0.7312 3.5684
Keberadaan beberapa asam lemak pada oleoresin jintan hitam (Tabel 8) mendukung hasil analisa proksimat jintan hitam yang kaya kandungan asam lemak. Butyric acid hydrazide, 2-propanone 1-hydroxy, propanoic acid 2-oxomethyl ester, formic acid yang merupakan asam lemak rantai pendek memiliki
24 titik didih rendah dan berat molekul kecil. Acetaldehyde hydroxy dapat digunakan sebagai bahan minyak atsiri buatan. Formic acid dapat berfungsi sebagai pengawet makanan. Oleic acid merupakan asam lemak yang mempunyai satu ikatan rangkap (dikenal dengan asam omega 9) dapat berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh. Oleoresin terdiri dari campuran minyak atsiri, resin yang larut dalam pelarut organik yang digunakan dalam ekstraksi, dan kandungan lain yang terdapat dalam rempah yang bersifat non volatil (Lees 2003). Berdasarkan literatur, komposisi kimia senyawa aktif jintan hitam terdapat pada bagian minyak atsiri yang bersifat volatil, dengan ekstraksi sebagian besar menggunakan steam destilasi. Pada penelitian Sellami et al. (2007) yang menggunakan Soxhlet selama 6 jam dengan pelarut isopentan, dilanjutkan dengan dynamic headspace untuk mengekstrak senyawa aromanya, komponen kimia ekstrak jintan hitam yang diperoleh mengandung sebagian besar senyawa p-cymene, kemudian berturut turut alfa-thujene, thymol, β-pinene, γ-terpinene, dan alfa-pinene. Komponen kimia ekstrak jintan hitam tersebut menyerupai komponen kimia yang terdapat pada minyak atsiri jintan hitam. Komponen kimia oleoresin jintan hitam pada penelitian ini yang dipreparasi sebelumnya menggunakan SPME, ternyata tak satupun komponen kimianya menyerupai komponen kimia pada minyak atsiri jintan hitam, misalnya tidak mengandung p-cymene, thymol, dan alfa-thujene. Perbedaan komponen kimia oleoresin jintan hitam pada penelitian ini dengan komponen kimia oleoresin jintan hitam pada penelitian Sellami et al. (2007) dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain metode dan waktu ekstraksi yang digunakan, jenis pelarut, dan preparasi sampel sebelum dilakukan identifikasi komponen kimianya.
Penelitian Utama Pembuatan dan karakterisasi nanoemulsi Pembuatan nano emulsi dipersiapkan dengan mekanisme emulsifikasi spontan, yang terjadi saat fase organik dan fase air dicampur. Fase organik yaitu larutan homogen dari pelarut organik (etanol 70%) dan ekstrak jintan hitam. Untuk mengetahui komposisi perbandingan fase organik maka dilakukan pencampuran antara keduanya dimulai dari perbandingan terendah, yakni 1:1. Pada perbandingan ekstrak kental jintan hitam dengan pelarut 1:1 menunjukkan saling larut antara keduanya dengan nilai total padatan terlarut 31 Brix. Agar mendapatkan ekstrak jintan hitam dengan nilai total padatan terlarut 20 Brix yang digunakan pada pembuatan nano emulsi, maka ekstrak kental jintan hitam 1 gram memerlukan pelarut 5 gram. Fase air disiapkan dengan melarutkan air dan surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik aman digunakan dalam industri kimia, pangan, dan farmasi. Dalam pembentukan emulsi oil in water (o/w), surfaktan non ionik lebih umum digunakan daripada surfaktan ionik dikarenakan kemampuan menstabilkan emulsi. Tween 80 merupakan surfaktan non ionik yang paling umum digunakan. Tween 80 tak berbau dan tak berasa, turunan dari polietoksilasi sorbitan dan asam oleat (Aken et al..2011), memiliki nilai keseimbangan hidrofilik/lipofilik yang
25 tinggi (15.0 ± 1.0) dan digunakan untuk aplikasi o/w. Nilai HLB yang tinggi akan stabil pada sistem emulsi o/w karena memungkinkan hubungan yang lebih besar antara fraksi hidrofilik dengan matriks film hidrofilik yang dapat mengurangi jumlah air yang berikatan dengan fraksi hidrofobik (Brandelero et al. 2010). Pencampuran air dan Tween 80 sebagai fase air dilakukan dengan pengaduk magnetik selama 30 menit pada suhu ruang. Fase organik disiapkan sebanyak 10 % dari total emulsi. Emulsifikasi terjadi saat fase organik diinjeksikan pada fase air (Schalbart et al. 2010). Pengadukan dilakukan selama 45 menit untuk mencapai keseimbangan sistem. Emulsi o/w terbentuk dengan adanya difusi pelarut organik pada sekeliling fase air membentuk nanodroplet. Pada emulsifikasi spontan, terjadi difusi cepat dari pelarut yang larut air, dalam hal ini etanol 70%, yang awalnya dilarutkan pada fase organik kepada fase air saat keduanya dicampur. Proses emulsifikasi spontan telah banyak dilaporkan terjadi pada sistem oil in water (Dewangan dan Suresh 2011). Pembuatan nanoemulsi dengan energi rendah tersebut telah mendapat perhatian terkait keefektifan biaya (Schalbart et al. 2010). Proses pembuatan nanoemulsi menggunakan energi rendah yakni emulsifikasi spontan dengan pengaduk magnetik dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan antara pembuatan emulsi menggunakan Tween 80 pada tiga konsentrasi (1%, 2%, 3%). Pada ketiga emulsi yang dihasilkan, masing-masing dilakukan karakterisasi berupa ukuran partikel, nilai zeta potensial, indeks polidispersitas. Adapun data ukuran partikel dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 No
Ukuran partikel nanoemulsi jintan hitam berdasarkan konsentrasi surfaktan
Sampel
Konsentrasi Tween 80
1 2 3
T1 T2 T3
1% 2% 3%
Ukuran Partikel (nm)
25.40 ± 4.45a 21.18 ± 1.03a 10.93 ± 0.60b
Indeks
Nilai Zeta Potensial
Polidispersitas
(mV)
0.52 ± 0.05a 0.62 ± 0.05a 0.31 ± 0.06b
44.31 ± 0.97b 56.67 ± 6.39a 45.32 ± 2.73b
T1: 1 % Tween 80; T2: 2% Tween 80; T3: 3% Tween 80. a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Tabel 9 menunjukkan bahwa ukuran partikel nanoemulsi dipengaruhi oleh konsentrasi surfaktan sesuai dengan hipotesis pada awal penelitian. Semakin besar konsentrasi surfaktan, ukuran partikel semakin kecil. Ukuran partikel pada emulsi yang menggunakan Tween 80 sebesar 1% (T1), 2% (T2), dan 3% (T3) berturutturut mengalami penurunan dari 25.4 nm menjadi 10.93 nm. Hal tersebut diduga karena pada ukuran partikel yang lebih kecil, luas permukaan akan semakin besar, sehingga diperlukan lebih banyak surfaktan untuk mengisi luas permukaan tersebut (Affandi et al. 2011).
26 Indeks polidispersitas mengindikasikan kualitas kehomogenan suatu dispersi. Nilai indeks polidispersitas yang kecil menunjukkan distribusi ukuran partikel yang sempit, yang berarti ukuran partikel semakin homogen (Lovelyn dan Attama, 2011). Berdasarkan hasil pada Tabel 2, nilai Indeks polidispersitas berturut-turut dari yang terbesar 0.62 (T2), 0.52 (T1), 0.31 (T3). Hal tersebut menunjukkan bahwa nanoemulsi T1 dengan ukuran partikel 25 nm lebih homogen dibandingkan T2 dengan ukuran partikel 21 nm. Ukuran partikel dan indeks polidispersitas terkecil dimiliki oleh T3, yang berarti ukuran partikel 10.93 nm pada T3 lebih homogen bila dibandingkan T1 dan T2. Secara statistik T3 berbeda nyata bila dibandingkan dengan T1 dan T2 untuk parameter ukuran partikel dan indeks polidispersitas. Penurunan ukuran partikel dan indeks polidispersitas seiring peningkatan konsentrasi surfaktan lebih jelas menunjukkan pengaruh konsentrasi surfaktan pada pembentukan nano droplet. Dengan rasio fase organik yang sama (10% w/w) pada ketiga emulsi, peningkatan konsentrasi surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan antara fase organik dan fase air sehingga droplet yang terbentuk lebih homogen, terjadi penurunan penggabungan droplet dan menstabilkan pembentukan droplet kecil (Karjiban et al. 2012). Muatan permukaan zeta potensial menghasilkan gaya tolak listrik diantara droplet minyak yang dapat menghambat penggabungan droplet. Secara umum, partikel dengan nilai zeta potensial melebihi +30 mV atau kurang dari -30 mV menunjukkan kestabilan, karena muatan listrik dari droplet cukup kuat untuk menolak antara droplet yang dominan dalam sistem nanoemulsi (Trujillo et al. 2013). Kisaran nilai zeta potensial yang dihasilkan ketiga nanoemulsi pada penelitian ini 44 – 57 mV. Nilai zeta potensial yang melebihi +30 mV tersebut menandakan ketiga emulsi yang dihasilkan stabil. Dari data ketiga nanoemulsi yang dihasilkan pada penelitian ini, ukuran partikel terkecil dengan indeks polidispersitas yang kecil dan nilai zeta potensial melebihi +30 mV atau kurang dari -30 mV dimiliki oleh emulsi dengan konsentrasi surfaktan 3% (T3). Berdasarkan ukuran partikel pada tiga perbandingan konsentrasi surfaktan, maka nanoemulsi dengan konsentrasi 3% Tween 80 yang digunakan pada enkapsulasi. Pembuatan dan karakterisasi produk enkapsulasi nanoemulsi Enkapsulasi nanoemulsi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan penyalut maltodekstrin (100%), dan kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai pada perbandingan 80:20 (w/w). Maltodekstrin sering digunakan pada enkapsulasi senyawa polifenol (Fang dan Bhandari 2010). Maltodekstrin yang mempunyai sifat cepat larut dalam air, dapat digunakan secara tunggal sebagai bahan penyalut atau dikombinasikan dengan bahan penyalut lain. Dasar pertimbangan penggunaan isolat protein kedelai selain maltodekstrin pada penelitian ini, dikarenakan protein pangan dapat mengikat berbagai molekul bioaktif ke dalam struktur polipeptida sehingga dapat melindungi molekul bioaktif sampai pada sel tubuh yang dituju. Selain itu, kestabilan nanopartikel isolat protein kedelai telah diujikan secara in vitro pada pH asam dan basa (Zhang et al. 2012) serta nanopartikel yang dilapisi dengan protein dapat melindungi senyawa bioaktif pada saluran pencernaan (Chen et al. 2006). Maltodekstrin dan isolat protein kedelai dihidrasi untuk digunakan sebagai bahan penyalut. Bahan inti yaitu nanoemulsi dihomogenisasi dengan bahan penyalut. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering
27 semprot dan diatomisasi. Air yang terdapat dalam campuran nanoemulsi teruapkan oleh udara panas yang terhubungkan dengan bahan atomisasi. Bubuk yang diperoleh kemudian dikumpulkan setelah jatuh ke bagian bawah alat pengering. Penyemprotan kering dilakukan dengan laju alir umpan 16 mL/menit dan suhu inlet 170°C. Pada penelitian yang dilakukan oleh Desmawarni (2007), penggunaan suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 16 mL/menit menghasilkan pengeringan yang cukup baik dari segi fisik produk. Hasil dari produk enkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses rekonstitusi dilakukan terhadap produk enkapsulasi nanoemulsi dengan bahan penyalut maltodekstrin (M) dan kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai (MSP) untuk mengetahui ukuran partikel dan nilai indeks polidispersitasnya. Rekonstitusi dilakukan dengan penambahan air sehingga memiliki total padatan sama seperti sebelum dilakukan pengeringan semprot. Hasil ukuran partikel dan indeks polidispersitas produk enkapsulasi jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Ukuran partikel produk enkapsulasi hasil rekonstitusi nanoemulsi jintan hitam Sampel
Ukuran partikel (nm)
M MSP
797.1 ± 57.77a 1331.58 ± 32.49b
Indeks polidispersitas 0.71 ± 0.19c 0.23 ± 0.08d
M: nanoemulsi yang dienkapsulasi dengan maltodekstrin; MSP: nanoemulsi yang dienkapsulasi dengan campuran maltodekstrin dan isolat protein kedelai 80:20 (w/w) a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Ukuran partikel produk enkapsulasi yang telah direkonstitusi dengan air berkisar antara 700 – 1300 nm. Ukuran partikel produk enkapsulasi M yang telah direkonstitusi (797 nm), apabila dibandingkan dengan ukuran partikel nanoemulsi sebelum dilakukan enkapsulasi (10.93 nm), telah terjadi peningkatan ukuran partikel. Besarnya ukuran partikel pada produk enkapsulasi M dapat disebabkan kurang optimalnya proses rekonstitusi atau terjadi penggabungan pada sebagian droplet partikel sehingga yang terukur adalah partikel mikrokapsul (bubuk). Selain itu peningkatan suhu selama proses pengeringan semprot juga dapat menyebabkan masuknya udara ke dalam partikel sehingga meningkatkan diameter partikel (Sansone et al. 2011), sedangkan besarnya ukuran partikel pada produk enkapsulasi MSP (1331 nm) dapat dipengaruhi oleh ukuran partikel protein (Dickinson 2012). Nilai indeks polidispersitas produk enkapsulasi MSP (0.23) yang lebih kecil dari produk enkapsulasi M (0.71), menunjukkan bahwa produk enkapsulasi MSP dengan ukuran partikel 1331 nm lebih homogen dibandingkan produk enkapsulasi M yang ukuran partikelnya 797 nm. Morfologi produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam yang dilakukan dengan scanning electron microscopy (SEM) memberikan gambar globula dengan tiga dimensi (Lovelyn dan Attama 2011) dapat dilihat pada Gambar 3.
28
(a)
(b)
Gambar 3 Foto SEM perbesaran 750x, produk enkapsulasi nanoemulsi dengan (a) bahan penyalut maltodekstrin (M), (b) kombinasi bahan penyalut maltodekstrin dan isolat protein kedelai (MSP)
Dari morfologi produk enkapsulasi M mendukung besarnya nilai indeks polidispersitas produk enkapsulasi M yang menunjukkan beragamnya ukuran partikel. Beragamnya ukuran partikel dapat dipengaruhi oleh kecepatan laju alir dan suhu konstan selama proses pengeringan semprot (Harimurti et al. 2011). Pada produk enkapsulasi MSP, ukuran partikel lebih besar dari produk enkapsulasi M, namun lebih seragam. Ukuran partikel yang seragam dapat meningkatkan kestabilan selama penyimpanan. Secara keseluruhan, ukuran partikel kedua produk enkapsulasi M dan MSP lebih banyak yang berbentuk bulat, meskipun ada sebagian kecil yang berkerut. Bentuk bulat menunjukkan bahwa nanoemulsi sebagian besar telah terenkapsulasi dengan baik. Pada penelitian ini dilakukan uji kapasitas antioksidan dan kandungan total fenol pada ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M dan MSP. Pertimbangan dilakukan uji kapasitas antioksidan dan total fenol adalah karena kandungan polifenol ekstrak jintan hitam dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia dan berkorelasi dengan sifat antioksidan (Sansone et al. 2011). Nanoemulsi dan produk enkapsulasi juga dilakukan pengujian kapasitas antioksidan dan kandungan total fenol untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama proses pembuatan dan pengeringan. Kandungan antioksidan dan total fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M dan MSP dapat dilihat pada Tabel 11.
29 Tabel 11 Nilai kapasitas antioksidan dan nilai total fenol ekstrak, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam Antioksidan (mg/g AEAC)
Antioksidan (mg/g AEAC)*
Total Fenol Total Fenol (mg/g GAE) (mg/g GAE)*
Ekstrak jintan hitam1)
32981.8±6.43a
32981.8±6.43a
35877.7±0.10a
35877.7±0.10a
Nanoemulsi jintan hitam2)
426.4±8.68b
21320.5±8.68b
652.2±3.39b
32611.1±3.39b
M3)**
1065.5±2.57c
15216.5±2.57c
1364.4±9.56c
19491.9±9.56c
MSP4)**
6689.4±0.64d
95562.8±0.64 d
6870.9±6.63d
98155.7±6.63d
Sampel
AEAC: Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity, GAE: Gallic Acid Equivalent, *hasil perhitungan kesetaraan 1 gram ekstrak pada masing-masing produk, **Asumsi recovery ekstrak dalam produk enkapsulasi 100%, 1)ekstrak jintan hitam sebesar 1 gram, 2)1 gram nanoemulsi mengandung 0.02 gram ekstrak, 3) 1 gram M mengandung 0.07 gram ekstrak, 4) 1 gram MSP mengandung 0.07 gram ekstrak, aAngka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Sebelum dilakukan pengujian kapasitas antioksidan dan total fenol, dilakukan perhitungan kesetaraan ekstrak (Lampiran 12). Dengan kandungan ekstrak yang sama antara nanoemulsi dan ekstrak jintan hitam, kapasitas antioksidan nanoemulsi (21320 mg/g AEAC) lebih rendah (0.6 kali) dari kapasitas antioksidan ekstrak jintan hitam (32981 mg/g AEAC). Nilai total fenol pada nanoemulsi (32611 mg/g GAE) lebih rendah (0.9 kali) dari nilai total fenol ekstrak jintan hitam (35877 mg/g GAE). Hal tersebut menunjukkan bahwa nanoemulsi dapat mempertahankan kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik ekstrak jintan hitam. Selain itu, bentuk sediaan nanoemulsi yang berupa cairan memudahkan aplikasi dibidang pangan dibandingkan bentuk sediaan ekstrak jintan hitam yang berupa pasta. Kapasitas antioksidan produk enkapsulasi M (15216 mg/g AEAC) lebih rendah (0.7 kali) dari kapasitas antioksidan nanoemulsi (21320 mg/g AEAC) dan nilai total fenol produk enkapsulasi M (19492 mg/g GAE) lebih rendah (0.6 kali) dari nilai total fenol nanoemulsi (32611 mg/g GAE). Hal tersebut menunjukkan nanoemulsi yang telah disalut dengan maltodekstrin masih dapat mempertahankan kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik yang dimiliki. Kapasitas antioksidan produk enkapsulasi MSP (95563 mg/g AEAC) meningkat bila dibandingkan kapasitas antioksidan nanoemulsi (21320 mg/g AEAC), demikian pula nilai total fenol produk enkapsulasi MSP (98156 mg/g GAE) meningkat bila dibandingkan nilai total fenol nanoemulsi (32611 mg/g GAE). Peningkatan kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik produk enkapsulasi MSP apabila dibandingkan dengan kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik nanoemulsi menunjukkan nanoemulsi yang telah disalut campuran maltodekstrin dan isolat protein kedelai dapat menjaga nilai fungsional didalamnya, lebih tahan terhadap kerusakan selama penyimpanan, dan diduga adanya kontribusi dari bahan penyalut isolat protein kedelai yang mampu meredam radikal bebas (Gunawan 2009) sehingga kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik produk enkapsulasi MSP lebih tinggi dari nanoemulsi. Dengan
30 demikian ekstrak jintan hitam yang dijadikan nanoemulsi kemudian disalut dengan bahan penyalut maltodekstrin dan isolat protein kedelai 80:20 (w/w) tetap memiliki kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik yang cukup tinggi. Uji disolusi in vitro pada medium asam dan medium basa Disolusi merupakan suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk suatu sediaan ke dalam media pelarut. Uji disolusi dapat digunakan untuk meniru pelepasan zat aktif dari matriks makanan dalam saluran pencernaan (Tedeschi et al. 2009). Proses disolusi dilakukan secara in vitro pada medium asam dengan pH 1.2 untuk menirukan pH cairan lambung dan medium basa pH 7.4 untuk menirukan pH cairan usus. Suhu yang digunakan pada uji disolusi adalah 37±0.5 yaitu menyerupai suhu tubuh manusia. Waktu yang digunakan pada uji disolusi disesuaikan dengan waktu pencernaan dalam tubuh manusia, yakni berkisar 1-3 jam dalam medium asam dan 4±1.5 jam pada medium basa (Kwon 2005). Uji disolusi dapat menunjukkan laju pelepasan zat aktif yang tersalut nanopartikel dalam model tubuh manusia. Hasil uji disolusi yang menunjukkan pelepasan senyawa total fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk enkapsulasi M, MSP pada medium asam dapat dilihat pada Gambar 4.
Pelepasan Total Fenol (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
15
30
45
60
75
90
105 120 135 150 165 180
Waktu (menit)
Ekstrak
Nanoemulsi
M
MSP
Gambar 4 Hubungan waktu dan pelepasan total fenol pada medium asam
Pada Gambar 4 diperlihatkan bahwa pada medium asam, hanya produk enkapsulasi MSP yang memiliki pelepasan senyawa fenol terkendali, berbeda dengan ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M yang pada
31 menit ke 15 sudah mengalami pelepasan senyawa fenol yang tinggi. Pelepasan senyawa aktif yang tinggi pada menit awal uji disolusi disebut dengan burst release. Burst release senyawa fenol ekstrak jintan hitam sebesar 66 % pada menit ke 15 dan mencapai 70 % pada menit ke 165 dan 180. Tingginya pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam sejak menit awal dapat disebabkan tidak adanya penyalutan dan metode ekstraksi yang menggunakan pelarut etanol 70%. Pelarut etanol 70% yang didalamnya mengandung air 30% diduga mempengaruhi sifat ekstrak jintan hitam yang cenderung hidrofilik sehingga mudah larut dalam medium buffer. Burst release senyawa fenol nanoemulsi berkisar sebesar 74 % pada menit ke 15 dan perlahan meningkat hingga 80 % pada menit ke 180. Pelepasan senyawa fenol nanoemulsi yang melebihi pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam menunjukkan bahwa ekstrak jintan hitam yang telah dijadikan emulsi dengan ukuran partikel nano, lebih mudah larut. Kemampuan nanoemulsi untuk meningkatkan kelarutan senyawa fenol diduga karena komposisi nanoemulsi yang mengandung surfaktan hidrofilik (3%) dan sebagian besar (87%) mengandung pelarut air. Nanoemulsi yang memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan ketiga sampel lain (ekstrak jintan hitam, produk enkapsulasi M dan MSP) yakni 10.93 nm, memiliki luas permukaan lebih besar untuk dapat diisi oleh molekul air dan buffer sehingga kelarutan senyawa fenol pada nanoemulsi sudah tinggi sejak awal dilarutkan. Pengamatan fisik pada saat uji disolusi juga memperlihatkan nanoemulsi yang berbentuk cairan paling cepat larut ke cairan medium dibandingkan sampel lain. Burst release senyawa fenol produk enkapsulasi M sebesar 64 % pada menit ke 15 dan perlahan mencapai 79 % pada menit ke 180. Pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi M pada menit ke 15 masih dibawah pelepasan senyawa fenol ekstrak, namun meningkat sampai menit ke 75 kemudian stabil. Nilai pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi M yang cenderung tinggi pada medium asam menunjukkan bahwa bahan penyalut maltodekstrin tidak mampu melindungi zat aktif dalam waktu yang lama. Hal ini berhubungan dengan sifat maltodekstrin yang memiliki daya larut tinggi. Selain itu diduga senyawa fenol terjerap pada permukaan produk enkapsulasi M sehingga lebih cepat terlepas. Pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi MSP yang menggunakan kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai sebagai bahan penyalut, pada medium asam lebih terkendali, berkisar antara 14 hingga 62%. Hal tersebut diduga karena ukuran partikel produk enkapsulasi MSP yang lebih besar yaitu 1331 nm dan senyawa fenol yang tersalut sebagai inti memerlukan waktu lebih lama untuk larut. Pengamatan fisik secara indrawi pada saat uji disolusi juga membuktikan proses kelarutan ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M kedalam medium pelarut terjadi dengan cepat apabila dibandingkan dengan proses kelarutan produk enkapsulasi MSP yang terjadi secara perlahan. Berdasarkan pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk enkapsulasi M dan MSP pada medium asam, dapat dikatakan bahwa ekstrak jintan hitam yang telah dibuat emulsi berukuran nano, kemudian disalut dengan maltodekstrin dan isolat protein kedelai 80:20 (w/w) dengan ukuran partikel yang cukup seragam (hasil SEM Gambar 3b) bersifat tahan pada pH asam sehingga dapat melepaskan senyawa fenolik sedikit demi sedikit. Lain halnya
32 dengan ekstrak jintam hitam yang tidak disalut, nanoemulsi yang berukuran partikel kecil, dan produk enkapsulasi M, ketiga sampel tersebut tidak tahan terhadap pH asam sehingga pada menit ke 15 sudah besar kelarutannya. Hasil uji disolusi yang menunjukkan pelepasan senyawa total fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk enkapsulasi M, MSP pada medium basa dapat dilihat pada Gambar 5.
Pelepasan Total Fenol (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 225 240 255 270 285 300 315 330 345 360
Waktu (menit) Ekstrak
Nanoemulsi
M
MSP
Gambar 5 Hubungan waktu dan pelepasan total fenol pada medium basa
Pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, produk enkapsulasi M pada medium basa (Gambar 5), menunjukkan pola yang serupa sehingga kurva yang terbentuk tampak berhimpit. Pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam dan nanoemulsi hampir sama sejak menit ke 15, yakni ekstrak jintan hitam terlepas 70% dan nanoemulsi 73%. Pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi M pada menit ke 15 dan 30 lebih rendah dari pelepasan senyawa fenol ekstrak dan nanoemulsi, yakni 61% dan 67, namun pada menit ke 45 hampir sama, yaitu sebesar 71%. Pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi MSP yang berkisar 26-70%, masih lebih tinggi bila dibandingkan pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi MSP pada medium asam (14-62%). Hal tersebut dapat disebabkan isolat protein kedelai yang merupakan salah satu protein pangan dapat mengikat berbagai molekul bioaktif kedalam struktur polipeptida sehingga dapat
33 melindungi molekul bioaktif sampai pada sel yang dituju (Zhang et al. 2012). Kelarutan produk enkapsulasi MSP pada medium basa yang lebih tinggi juga dapat disebabkan adanya pengaruh dari isolat protein kedelai yang lebih larut pada pH basa. Sukamto (2012) mengungkapkan bahwa pada pH basa terjadi peningkatan muatan negatif pada molekul protein yang meningkatan interaksi antara molekul protein dengan pelarut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelepasan senyawa fenol produk enkapsulasi MSP yang terkendali pada medium asam dan lebih tinggi pada medium basa sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahan penyalut dapat mempengaruhi pelepasan senyawa aktif pada medium asam dan basa. Terkendalinya pelepasan senyawa fenol pada produk enkapsulasi MSP pada medium asam memberikan informasi bahwa penggunaan isolat protein kedelai sebagai bahan penyalut dapat melindungi senyawa aktif dalam lambung hingga terlepas lebih tinggi pada sel usus. Gambar 4 dan 5 memperlihatkan adanya kemiripan pelepasan senyawa fenol antara ekstrak jintan hitam, nanoemulsi dan produk enkapsulasi M, yaitu sejak menit awal disolusi sudah mengalami burst release. Setelah terjadinya burst release, pelepasan senyawa fenol ekstrak jintan hitam, nanoemulsi dan produk enkapsulasi M cenderung stabil pada kedua medium seiring dengan lamanya waktu disolusi sehingga kurva terlihat landai. Landainya kurva dapat disebabkan terjadinya kesetimbangan cairan dalam medium dan adanya pengenceran setiap pengambilan contoh. Terjadinya burst release pada ekstrak jintan hitam dan nanoemulsi dapat disebabkan tidak adanya penyalutan sehingga senyawa fenol dapat terlepas dengan mudah kedalam pelarut. Burst release yang terjadi pada produk enkapsulasi M dapat disebabkan oleh maltodekstrin yang cepat larut dalam air dan senyawa fenol yang tersalut diduga tidak tersalut sebagai inti tetapi tersebar pada mikrokapsul, termasuk pada permukaannya. Produk enkapsulasi M yang telah direkonstitusi memiliki ukuran partikel 797 nm namun cukup beragam seperti yang terlihat pada foto SEM (Gambar 3 a). Beragamnya ukuran partikel produk enkapsulasi M yang diperkuat dengan nilai indeks polidispersitas yang mendekati satu (0.71) juga diduga penyebab terjadinya burst release pada produk enkapsulasi M. Produk enkapsulasi MSP yang pelepasan senyawa aktifnya terkendali pada medium asam dan lebih tinggi pada medium basa sesuai dengan penelitian Tedeschi et al. (2009) dan Chen et al. (2006). Hasil kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa pelepasan senyawa aktif ekstrak teh hijau yang disalut oleh whey protein pada medium asam terkendali dan nanopartikel yang dilapisi protein dapat melindungi senyawa aktif pada saluran pencernaan. Penghambatan enzim alfa-glukosidase Enzim alfa-glukosidase adalah enzim yang berada pada permukaan membran sel usus halus dan mengkatalisis proses akhir pencernaan karbohidrat. Pada penderita Diabetes Melitus, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan berlebihnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) setelah makan. Obat yang termasuk dalam golongan penghambat enzim alfa-glukosidase adalah acarbosa. Uji penghambatan terhadap enzim alfa-glukosidase dilakukan untuk mengkaji potensi antihiperglikemik dari ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan
34 produk enkapsulasi M dan MSP. Nilai penghambatan ekstrak jintan hitam, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi M dan MSP terhadap enzim alfa-glukosidase dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Penghambatan enzim alfa-glukosidase ekstrak, nanoemulsi, dan produk enkapsulasi nanoemulsi jintan hitam Sampel Obat acarbose (1 gram) Ekstrak jintan hitam (1 gram) M (0.07 gram)** MSP (0.07 gram)**
IC50 (µg/ml) 0.32 4113.99 161431.37 130876.72
IC50 (µg/ml)* 0.32 4113.99 11530.81 9348.34
*Hasil perhitungan lanjut setelah disetarakan kandungan ekstrak **Asumsi recovery ekstrak dalam produk enkapsulasi 100%
Setelah dilakukan analisis penghambatan enzim alfa-glukosidase, didapatkan nilai IC50 dari yang paling kecil adalah obat acarbose, ekstrak jintan hitam, produk enkapsulasi MSP dan M. Obat acarbose sebagai senyawa murni dengan konsentrasi 0.33 µg/ml sudah dapat memiliki kemampuan menghambat enzim alfa-glukosidase sebesar 50%. Namun demikian dalam penggunaan jangka panjang, acarbose sebagai obat komersil anti diabetes memiliki efek samping seperti menyebabkan perut kembung, ketidaknyamanan perut dan diare (Kavishankar et al. 2011), selain harganya yang relatif mahal (Sama et al. 2012). Tanaman herbal telah banyak diuji khasiatnya dalam pengobatan diabetes, terkait kemampuannya dalam menghambat enzim alfa-glukosidase, aman bila digunakan dalam waktu jangka panjang, dan harga yang lebih terjangkau. Penelitian terkait kemampuan jintan hitam dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan metode penghambatan enzim alfa-glukosidase secara in vitro masih terbatas bila dibandingkan dengan penelitian terkait kemampuan jintan hitam dalam menurunkan kadar glukosa darah secara in vivo. Pada penelitian ini, ekstrak jintan hitam yang dihasilkan dari ekstraksi reflux 3 jam dapat menghambat 50% aktivitas enzim alfa-glukosidase pada konsentrasi 4113.99 µg/ml. Produk enkapsulasi MSP dan M, dengan kandungan ekstrak jintan hitam yang sama, dapat menghambat 50% aktivitas enzim alfaglukosidase pada konsentrasi 9348.34 dan 11530.81 µg/ml. Nanoemulsi jintan hitam yang terdiri dari komposisi ekstrak jinten hitam, pelarut etanol 70%, Tween 80 dan air sesuai dengan formula pembuatan, dapat menghambat enzim alfaglukosidase sebesar 44.25 % (Lampiran 13). Persentase penghambatan enzim alfa-glukosidase nanoemulsi sebesar 44.25 % menunjukkan perlu ditingkatkannya ekstrak jintan hitam dalam formulasi pembuatan nanoemulsi jintan hitam agar dapat menghambat aktivitas enzim alfa-glukosidase sebesar 50%. Ekstrak jintan hitam yang dapat menghambat enzim alfa-glukosidase dengan nilai sebesar 4113.99 µg/ml pada penelitian ini menunjukkan adanya aktivitas penghambatan enzim alfa-glukosidase dibandingkan dengan ekstrak jintan hitam pada penelitian Gholamhoseinian et al. (2008) yang tidak
35 menunjukkan aktivitas penghambatan enzim alfa-glukosidase. Selanjutnya ekstrak jintan hitam dengan nilai IC50 sebesar 4113.99 µg/ml tersebut dijadikan pembanding pada penghambatan enzim alfa-glukosidase produk enkapsulasi. Nilai IC50 produk enkapsulasi MSP dan M, masing-masing 9348.34 dan 11530.81 µg/ml, melebihi nilai IC50 ekstrak jintan hitam. Kemampuan penghambatan enzim alfa-glukosidase pada produk enkapsulasi yang membutuhkan konsentrasi lebih tinggi daripada konsentrasi ekstrak jintan hitam dapat disebabkan adanya bahan lain dalam pembuatan produk enkapsulasi, seperti pelarut, surfaktan, bahan penyalut, dan pengaruh proses pemanasan pada pengeringan. Lebih kecilnya nilai IC50 produk enkapsulasi MSP daripada produk enkapsulasi M, menunjukkan kemampuan penghambatan enzim alfa-glukosidase produk enkapsulasi MSP masih lebih besar dari produk enkapsulasi M. Hal tersebut diduga kandungan senyawa antioksidan dalam isolat protein kedelai (Oliveira et al. 2014) turut berkontribusi dalam menghambat enzim alfa-glukosidase.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak jintan hitam yang dihasilkan dari metode refluks 3 jam pada penelitian ini memiliki jumlah rendemen, kapasitas antioksidan, dan nilai total fenol tertinggi. Nanoemulsi ekstrak jintan hitam terpilih dengan cara emulsifikasi spontan memiliki ukuran partikel yang semakin kecil jika konsentrasi surfaktan semakin besar. Nanoemulsi jintan hitam dengan konsentrasi 3% Tween 80 memiliki kehomogenan, kestabilan yang baik, serta ukuran partikel terkecil, yakni 10.93 nm. Morfologi globula produk enkapsulasi nanoemulsi lebih banyak berbentuk bulat, yang menunjukkan proses enkapsulasi cukup efisien. Hasil pengujian kapasitas antioksidan, total fenol, disolusi, dan penghambatan enzim alfa-glukosidase menunjukkan bahwa produk enkapsulasi nanoemulsi dengan bahan penyalut campuran maltodekstrin dan isolat protein kedelai (MSP) memiliki kapasitas antioksidan dan kandungan fenolik yang tinggi dengan pelepasan total fenol terkendali pada medium asam dan pelepasan total fenol lebih tinggi pada medium basa, serta memiliki potensi sebagai bahan antihiperglikemik. Saran Untuk memperbaiki nilai indeks polidispersitas nanoemulsi perlu dipertimbangkan penggunaan kombinasi surfaktan atau melakukan optimasi formulasi pembuatan nanoemulsi. Untuk meningkatkan kemampuan nanoemulsi jintan hitam sebagai antihiperglikemik, perlu dilakukan penambahan konsentrasi ekstrak jintan hitam dalam pembuatan nanoemulsi. Dalam rangka pengembangan produk pangan fungsional berbasis jintan hitam menggunakan teknologi nano, pembuatan nanoemulsi menggunakan energi rendah perlu dikombinasikan dengan bahan baku lain.
36
DAFTAR PUSTAKA Aken GAV, Bomhof E, Zoet FD, Verbeek M, Oosterveld A. 2011. Differences in in vitro gastric behaviour between homogenized milk and emulsions stabilised by Tween 80, whey protein, or whey protein and caseinate. Food Hydrocolloids. 25: 781-788. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.09.016. Affandi MM, Julianto T, Majeed A. 2011. Development and stability evaluation of astaxanthin nanoemulsion. Asian J Pharm Clin Res. 4:142-148. AlHaj NA, Shamsudin MN, Alipiah NM, Zamri HF, Bustamam A, Ibrahim S, Abdullah R. 2010. Characterization of Nigella Sativa L. essential oil – loaded solid lipid nanoparticles. American Journal of Pharmacology and Toxicology. 5(1):52-57. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The AOAC.Virginia: AOAC, nc. Arlington. Bakkali S, Averbeck S, Averbeck D, Idaomar M. 2008. Biological effects of essential oils – A review. Food and Chemical Toxicology. 46:446–475. doi:10.1016/j.fct.2007.09.106. Bertucco A dan Vetter G, 2001. High Pressure Process Technology, Fundamentals and Applications. Netherland: Elsevier Science B.V. Bhatt P, Madhav S. 2011. A detailed review on nanoemulsion drug delivery system. IJPSR. 2(10):2482-2489. Bouchemal K, Briancon S, Perrier E, Fessi H. 2004. Nano-emulsion formulation using spontaneous emulsification: solvent, oil, and surfactant optimisation. International Journal of Pharmaceutics 280: 241-551. doi:10.1016/j.ijpharm.2004.05.016. Bourgou S, Ksouri R, Bellila A, Skandrani I, Falleh H, Marzouk B. 2008. Phenolic composition and biological activities of Tunisian Nigella sativa L. shoots and roots. C R Biologies. 331: 48–55.doi:10.1016/j.crvi.2007.11.001. Borgou S, Pichette A, Marzouk B, Legault J. 2010. Bioactivities of black cumin essential oil and its main terpenes from Tunisia. South African Journal of Botany 76: 210– 216.doi: 10. 1016 / j . sajb. 2009.10.009. Brandelero RPH, Yamashita F, Grossmann MVE. 2010. The effect of surfactant Tween 80 on the hydrophilicity, water vapor permeation, and the mechanical properties of cassava starch and poly(butylenes adipate-co-terephthalate) (PBAT) blend films. Carbohydrate Polymers (82): 1102– 1109.doi:10.1016/j.carbpol.2010.06.034. Chen L, Remondetto GE, Subirade M. 2006. Food protein-based materials as nutraceutical delivery systems. Trends in Food Science & Technology. 17: 272–283.doi:10.1016/j.tifs.2005.12.011. Cushen M, Kerry J, Morris M, Romero MC, Cummins E. 2011. Nanotechnologies in the food industry- Recent development, risks and regulation. Trends in Foods Science and Technology. 20: 1-17. doi:10.1016/j.tifs.2011.10.006. D’Antuono LF, Moretti A, Lovato AFS. 2002. Seed yield, yield components, oil content and essential oil content and composition of Nigella sativa L. and Nigella damascena L. Industrial Crops and Products. 15: 59-69. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Ed. Ke-4. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
37 Desmawarni. 2007. Pengaruh komposisi bahan penyalut dan kondisi spray drying terhadap karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewangan D, Suresh PK. 2011. Nanosized emulsions as a drug carrier for ocular drug delivery: A review. JITPS. 2: 59-75. Dickinson E. 2012. Use of nanoparticles and microparticles in the formation and stabilization of food emulsions. Trends in Food Science & Technology. 24 : 412.doi:10.1016/j.tifs.2011.09.006. Donsì F, Sessa M, Mediouni H, Mgaidi A, Ferrari F. 2011. Encapsulation of bioactive compounds in nanoemulsion-based delivery systems. Procedia Food Science. 1: 1666 – 1671. doi:10.1016/j.profoo.2011.09.246. Edris AE. 2009. Anti-cancer properties of Nigella spp. essential oils and their major constituents, thymoquinone and β-elemene. Current Clinical Pharmacology. 4: 43-46.doi:10.2174/157488409787236137. Fang Z, Bhandari B. 2010. Encapsulation of polyphenols - a review. Trends in Food Science & Technology. 21 : 510-523.doi:10.1016/j.tifs.2010.08.003. Fararh KM, Atoji Y, Shimizu Y, Shiina T, Nikami H, Takewaki T. 2004. Mechanisms of the hypoglycaemic and immunopotentiating effects of Nigella sativa L. oil in streptozotocin-induced diabetic hamsters. Research in Veterinary Science. 77: 123–129. doi:10.1016/j.rvsc.2004.03.002. Fararh KM, Ibrahim AK, Elsonosy YA. 2010. Thymoquinone enhances the activities of enzymes related to energy metabolism in peripheral leukocytes of diabetic rats. Research in Veterinary Science. 88: 400–404. doi:10.1016/j.rvsc.2009.10.008. Fararh KM, Shimizu Y, Shiina T, Nikami H, Ghanem MM, Takewaki T. 2005. Thymoquinone reduces hepatic glucose production in diabetic hamsters. Veterinary Science. 79: 219–223. doi:10.1016/j.rvsc.2005.01.001. Farooqi A.A, Sreeramu B.S., Srinivasappa K.N. 2005. Cultivation of spice crops. India: Universities Press Private Limited. Fathi M, Mozafari MR, Mohebbi M. 2012. Nanoencapsulation of food ingredients using lipid based delivery systems. Elsevier. Trends in Food Science & Technology: 13-27. doi:10.1016/j.tifs.2011.08.003. Gholamhoseinian A, Fallah H, Sharififar F, Mirtajaddini M. 2008. The Inhibitory Effect of Some Iranian Plants extracts on the alpha glucosidase. IJBMS. 11(1): 1-9. Ghorbani A. 2013. Best herbs for managing diabetes: A review of clinical studies. BJPS. 49 (3): 413-422. Gunawan S A. 2009. Studi Sifat Fisikokimia, Sifat Fungsional, Nutrisi dan kapasitas antioksidan konsentrat protein tempe kacang komak [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Gunasekaran S, Sanghoon K, Lan X. 2007. Use of whey protein for encapsulation and controlled delivery applications. Journal of Food Engineering. 83: 31-40. Gupta PK, Pandit JK, Kumar A, Swaroop P, gupta S. 2010. Pharmaceutical nanotechnology novel nanoemulsion – High energy emulsification preparation, evaluation and application. The Pharma Research. 3: 117-138. Harimurti N, Nhestricia N, Subardjo SY, Yuliani S. 2011. Effect of oleoresin concentration and composition of encapsulating materials on properties of the
38 microencapsulated ginger oleoresin using spray drying method. Indonesian Journal of Agriculture. (4)1: 33-39. Harzallah HJ, Kouidhi B, Flamini G, Bakhrouf A, Mahjou T. 2011. Chemical composition, antimicrobial potential against cariogenic bacteria and cytotoxic activity of Tunisian Nigella sativa essential oil and thymoquinone. Food Chemistry. 129: 1469–1474. doi:10.1016/j.foodchem.2011.05.117 Hernani RM. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya. Jaya H. 2012. Perilaku disolusi, stabilitas, dan aktivitas antiinflamasi ketoprofen tersalut nanopartikel kitosan termodifikasi tripolifosfat [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Jaya I. 2010. Aplikasi konvergensi nanoteknologi-bioengineering untuk peningkatan perolehan minyak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. M & E 8, No.1. Junaedi E, Yulianti S, Suty S, Kuncari ES. 2011. Kedahsyatan Habbatussauda. Jakarta: Agro Media Pustaka. Jung CH, Seog HM, Choi IW, Park MW, Cho HY. 2006. Antioxidant properties of various solvent extracts from wild ginseng leaves. LWT. 39: 266–274. doi:10.1016/j.lwt.2005.01.004. Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta: Agromedia Pustaka. Karjiban RA, Basri M, Rahman MBA, Salleh AB. 2012. Structural properties of nonionic Tween80 micelle in water elucidated by molecular dynamics simulation. APCBEE Procedia 3: 287 – 297.doi:10.1016/j.apcbee.2012.06.084. Ketaren S. 1979. Minyak Atsiri. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kavishankar GB, Lakshmidevi N, Murthy SM, Prakash HS, Niranjana SR. 2011. Diabetes and medicinal plants-A review. Int J Pharm Biomed Sci. 2(3): 65-80. Kubo I, Chen QX, Nihei KI. 2003. Molecular design of antibrowning agents: Antioxidative tyrosinase inhibitors. Food Chemistry. 81: 241-247. Kumar TVS. 2011. Studies on the extracts of black cumin (Nigella Sativa L.) obtained by supercritical fluid carbon dioxide. India: Food Engineering Department, University of Mysore. Kwon GS, 2005. Polymeric drug delivery systems. Boca Raton: Taylor & Francis Group. Lees M. 2003. Food Authenticity and Traceability. USA: Woodhead Publishing Limited, CRC Press LLC. Lovelyn C, Attama AA. 2011. Current state of nanoemulsions in drug delivery. Journal of Biomaterials and Nanobiotechnology. 2: 626-639. doi: 10. 4236/ jbnb. 2011.225075. Marsili R. 1997. Techniques for analyzing food aroma. New York: Marcel Dekker,Inc. Martos MV, Mohamady MA, López JF, ElRazik KAA, Omer EA, Alvarez JAP, Sendra E. 2011. In vitro antioxidant and antibacterial activities of essentials oils obtained from Egyptian aromatic plants. Food Control. 22: 1715-1722. doi:10.1016/j.foodcont.2011.04.003. Mashita M. 2011. Skrining aktivitas penghambatan enzim alfa-Glukosidase dan penapisan fitokimia dari beberapa tanaman obat yang digunakan sebagai antidiabetes di Indonesia [skripsi]. Depok [ID]: Universitas Indonesia.
39 Mun’im A, Katrin, Azizahwati, Andriani A, Mahmudah KF, Mashita M. 2013. Screening of α-glucosidase inhibitory activity of some Indonesian medicinal plants. IJMAP. 3(2): 144-150. Oliveira CF, Coletto D, Correa APF, Daroit DJ, Toniolo R, Brandelli A. 2014. Antioxidant activity and inhibition of meat lipid oxidation by soy protein hydrolysates obtained with a microbial protease. IFRJ. 21(2): 775-781. Patel RP, Patel MP, Suthar AM. 2009. Spray drying technology: An overview. Indian Journal of Science and Technology. 2(10): 0974- 6846. Paull J, Lyons K. 2008. Nano-in-food- threat or opportunity for organic food? Italy: Organic World Congress. Parhizkar S, Latiff LA, Rahman SA. 2011. Comparison of the supercritical fluid extraction with conventional extraction methods to determine the fatty acid composition of black cumin seeds. Malaysia: Scientific Research and Essays 6(34): 6817-6820.doi: 10.5897/SRE11.469. Quintanilla-Carvajal MX, Camacho-Diaz BH, Meraz-Torres LS, Chanona-Perez JJ, Alamilla-Beltran L, Jimenez Aparicio A, Gutierrez Lopez GF. 2009. Nanoencapsulation: A new trend in food engineering processing. Mexico: Springer. Food Eng Review. 2:39-50. Ravindran J, Nair H.B., Sung B., Prasad S., Tekmal R.R., Aggarwal B.B. 2010. Thymoquinone poly(lactide-co-glycolide) nanoparticles exhibit enhanced antiproliferative, anti-inflammatory, and chemosensitization potential. Biochem Pharmacol. 79(11): 1640-1647.doi: 10.1016/j.bcp.2010.01.023. Reineccius, G. 1994. Source Book of Flavors. New York: Chapman & Hall. Rouhou SC, Besbes S, Hentati B, Blecker C, Deroanne C, Attia H. 2007. Nigella sativa L.: Chemical composition and physicochemical characteristics of lipid fraction. Food Chemistry. 101: 673–681.doi:10.1016/j.foodchem.2006.02.022. Sama K, Murugesan K, Sivaraj R. 2012. In vitro alpha amylase and alpha glucosidase inhibition activity of crude ethanol extract of Cissus arnottiana. Asian Journal of Plant Science and Research. 2 (4):550-553. Sancheti S, Seo SY. 2009. Chaenomeles Sinensis : A potent alfa-and βglucosidase Inhibitor. American Journal of Pharmacology and Toxicology 4 (1): 8-11. Sanguansari P, Augustin MA. 2006. Nanoscale materials development- A food industry perspective. Trends in Food Science & Technology: 547-556. doi:10.1016/j.tifs.2006.04.010. Sansone F, Mencherini T, Picerno P, d’Amore M, Aquino RP, Lauro MR. 2011. Maltodextrin/pectin microparticles by spray drying as carrier for nutraceutical extracts. Journal of Food Engineering. 105: 468–476. doi:10.1016/j.jfoodeng.2011.03.004. Schalbart P, Kawaji M, Fumoto K. 2010. Formation of tetradecane nanoemulsion by low-energy emulsification methods. International journal of refrigeration 33: 1612-1624.doi:10. 1016/ j. ijrefrig.2010.09.002. Sellami IH, Kchouk ME, Marzouk B. 2007. Lipid and aroma composition of black cumin (Nigella sativa) seeds from Tunisia. Journal of Food Biochemistry 32:335–352. Silva,KTD. 1995. A Manual On The Essential Oil Industry. Austria: United Nations Industrial Development Organization, Vienna International Centre.
40 Silva HD, Cerqueira MA, Vicente AA. 2012. Nanoemulsions for food applications: Development and characterization. Food Bioprocess Technol. 5:854–867.doi: 10.1007/s11947-011-0683-7. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Cara uji makanan dan minuman. Dewan Standardisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Cengkeh bukan untuk obat. Dewan Standardisasi Nasional. Strychaz S, Shetty K. 2002. Effect of agrobacterium rhizogenes on phenolic content of menthapulegium alite clonal line for phytomedition applications. Process Biochem. 38:287-293.doi.org/10.1016/S0032-9592(02)00078-X. Sugindro, Mardliyati E, Djajadisastra J. 2008. Pembuatan Dan Mikroenkapsulasi Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam Pahit (Nigella Sativa Linn). Majalah Ilmu Kefarmasian. 5(2):57 – 66. Sukamto. 2012. Sifat busa dan emulsi isolat protein isoelektrik (IPI) biji koro (Dolichos lablab) hasil alkalisasi. Fakultas Teknologi Pertanian Univ. Brawijaya Malang. Sultan MT, Butt MS, Anjum FM, Jamil A, Akhtar S, Nasir M. 2009. Nutritional profile of indigenous cultivar of black cumin seeds and antioxidant potential of its fixed and essential oil. Pak. J. Bot. 41(3): 1321-1330. Suprayogi, Yudha B. 2004. Membuat Effervescent Tanaman Obat. Surabaya: Trubus Agrisarana. Syamani FA. 2001. Kajian Ekstraksi Oleoresin Jintan Hitam [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Tasawar Z, Siraj Z, Ahmad N, Lashar MH. 2011. The effects of Nigella sativa (Kalonji) on lipid profile in patients with stable coronary artery disease in Multan, Pakistan. Pakistan Journal of Nutrition. 10 (2): 162167.doi:10.3923/pjn.2011.162.167. Tedeschi C, Clement V, Rouvet M, Pamies BV. 2009. Dissolution tests as a tool for predicting bioaccessibility of nutrients during digestion. Food Hydrocolloids. 23: 1228–1235. doi:10.1016/j.foodhyd.2008.09.012. Thirumurugan K, Bachhawat A, Shihabudeen MS. 2011. Screening of fifteen indian ayurvedic plants for alpha-glucosidase inhibitory activity and enzyme kinetics. Int J Pharm Pharm Sci. 3(4): 267-274. Trujillo LS, Graü MAR, Fortuny RS, Belloso OM. 2013. Effect of processing parameters on physicochemical characteristics of microfluidized lemongrass essential oil-alginate nanoemulsions. Food Hydrocolloids. 30: 401-407. doi:10.1016/j.foodhyd.2012.07.004. Tubesha Z, Imam MU, Mahmud R, Ismail M. 2013. Study on the potential toxicity of a thymoquinone-rich fraction nanoemulsion in Sprague Dawley Rats. Molecules. 18:7460-7472.doi:10.3390/molecules18077460. Yasni S, Syamsir E, Direja EH. 2009. Antimicrobial activity of Black Cumin extracts (Nigella sativa) against food pathogenic and spoilage bacteria. Microbiol Indones. (3) 3: 146-150. Yuliani D. 2010. Kajian aktivitas antioksidan fraksi etanol jintan hitam [skripsi]. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Yuliani S, Desmawarni, Harimurti N, Yuliani SS. 2007. Pengaruh laju alir Umpan dan suhu inlet spray drying pada karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe. J.Pascapanen. 4(1): 18-26.
41 Zhang , Liang L, Tian Z, Chen L, Subirade M. 2012. Preparation and in vitro evaluation of calcium-induced soy protein isolate nanoparticles and their formation mechanism study. Food Chemistry. 133: 390–399. doi:10.1016/j.foodchem.2012.01.049.
43
Lampiran 1 Hasil minyak atsiri jintan hitam dengan metode destilasi air
Lampiran 2 Hasil ekstrak jintan hitam dengan metode refluks 3 jam
Lampiran 3 Pembuatan nanoemulsi jintan hitam dengan pengaduk magnetik
Lampiran 4 Produk enkapsulasi nanoemulsi dengan bahan penyalut (a)maltodekstrin, (b) kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai
(a)
(b)
44
Lampiran 5 Uji statistik hasil ekstraksi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Rendemen Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
301.385a
4
75.346
536.539
.000
Intercept
1283.462
1
1283.462
9139.517
.000
Perlakuan
301.385
4
75.346
536.539
.000
Error
.702
5
.140
Total
1585.549
10
302.087
9
Corrected Total
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Rendemen Duncana,,b Subset Perlakuan
N
1
2
3
4
Licken Nickerson
2
Maserasi 6 jam
2
Maserasi 24 jam
2
13.790
Refluks 1 jam
2
14.495
Refluks 3 jam
2
Sig.
.520 12.445 14.495 15.395 1.000
1.000
.119
.061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .140. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = 0.05.
Kesimpulan: Berdasarkan uji statistik hasil ekstraksi, nilai rendemen ekstrak dengan metode refluks 1 jam dan 3 jam tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
45
Lampiran 6 Uji statistik ukuran partikel nanoemulsi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Size Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
221.626a
2
110.813
14.094
.030
Intercept
2204.167
1
2204.167
280.339
.000
Perlakuan
221.626
2
110.813
14.094
.030
Error
23.587
3
7.862
Total
2449.380
6
245.213
5
Corrected Total
a. R Squared = .904 (Adjusted R Squared = .840) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Size a,,b
Duncan
Subset Perlakuan
N
1
2
Tween 80 3 %
2
Tween 80 2%
2
21.175
Tween 80 1%
2
25.400
Sig.
10.925
1.000
.229
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.863. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = 0.05. Kesimpulan: Berdasarkan uji statistik ukuran partikel nanoemulsi, nanoemulsi yang menggunakan Tween 80 sebesar 1% dan 2% tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
46
Lampiran 7 Uji statistik kapasitas antioksidan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Antioksidan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
3.729E9
3
1.243E9 2041.238
.000
Intercept
4.875E9
1
4.875E9 8005.816
.000
Perlakuan
3.729E9
3
1.243E9 2041.238
.000
Error
2435527.226
4
Total
8.606E9
8
Corrected Total
3.731E9
7
608881.806
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Antioksidan Duncana,,b Subset Perlakuan
N
1
Emulsi
2 21320.450
M
2
Ekstrak
2
MSP
2
Sig.
2
3
4
15216.450 32981.815 95562.770 1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 608881.806. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = 0.05. Kesimpulan: Berdasarkan uji statistik kapasitas antioksidan, keempat sampel berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
47
Lampiran 8 Uji statistik nilai total fenol Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Totalfenol Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.621E9
3
5.404E8 1917919.853
.000
Intercept
1.063E9
1
1.063E9 3774036.487
.000
Perlakuan
1.621E9
3
5.404E8 1917919.853
.000
Error
1126.992
4
281.748
Total
2.684E9
8
Corrected Total
1.621E9
7
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Totalfenol Duncana,,b Perlakua n
Subset N
1
Emulsi
2 32611.110
M
2
MSP
2
Ekstrak
2
Sig.
2
3
4
19491.970 98155.720 35877.725 1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 281.748. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = 0.05.
Kesimpulan: Berdasarkan uji statistik nilai total fenol, keempat sampel berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
48
Lampiran 9 Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 1% surfaktan (Tween 80)
Kesimpulan: Nanoemulsi dengan konsentrasi 1% Tween 80 memiliki ukuran partikel 23.2 dengan nilai indeks polidispersitas 0.563
49
Lampiran 10 Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 2% surfaktan (Tween 80)
Kesimpulan: Nanoemulsi dengan konsentrasi 2% Tween 80 memiliki ukuran partikel 20.6 dengan nilai indeks polidispersitas 0.684
50
Lampiran 11 Hasil uji ukuran partikel nanoemulsi dengan konsentrasi 3% surfaktan (Tween 80)
Kesimpulan: Nanoemulsi dengan konsentrasi 3% Tween 80 memiliki ukuran partikel 12.1 dengan nilai indeks polidispersitas 0.447
51
Lampiran 12 Kesetaraan ekstrak dengan produk nanoemulsi dan enkapsulat 1. Contoh formulasi pembuatan nanoemulsi Volume Larutan 10 gr
Oleoresin 20obrix (10%) 1 gr
Tween 80 (3%) 0.3 gr
Air 8.7 gr
Telah dihitung bahwa 1 gram ekstrak jinten hitam memerlukan 5 gram etanol 70% agar total padatannya menjadi 20obrix. 1 gram ekstrak dalam 6 gram campuran (1/6 gram = 0.17 = 0.2 gram) Pada contoh pembuatan nanoemulsi di atas, 1 gram oleoresin 20o brix dalam 10 gram campuran (=10 gram larutan) mengandung ekstrak jinten hitam sebanyak 0.2 gram. Jadi 1 gram nanoemulsi mengandung ekstrak 0.2/10 = 0.02 gram 2. Formulasi spray drying Volume emulsi
Ekstrak 20 brix (10%)
Tween 80 (3%)
400 gr
40 gr
12 gr
Air
Padatan (maltodekstrin, isp) 348 gr 100 gr
Volume larutan (vol emulsi + padatan) 500 gr
1 gram emulsi terdapat ekstrak = 0.02 gram 400 gr emulsi terdapat 400 x 0.02 = 8 gr ekstrak % ekstrak sebelum spray drying = 8 gram ekstrak = 0,016 x 100% = 1,6 % 500 Ekstrak dalam 1 gr ekstrak yaitu 20%, maka Etanol dalam 1 gr ekstrak = 100% - 20% = 80% Etanol dalam 40 gram ekstrak = 80 % x 40 gr = 32 gram Setelah spray drying yang hilang adalah air dan etanol, jadi total padatan setelah spray drying: Vol larutan – (vol air+ vol etanol) = 500 – (348+32) = 500-380 = 120 gr Maka % ekstrak setelah spray drying 8 gram ekstrak x 100% = 6,6 % = 7% 120 Jadi dalam 1 gram powder, baik itu M atau MSP setelah spray terdapat 7% x 1 gram = 0,07 gram ekstrak
52
Lampiran 13 Hasil uji penghambatan enzim alfa-glukosidase nanoemulsi
Ulangan 1 2
Abs kontrol blanko 0.052
Abs blanko 0.582 0.582
Abs kontrol sampel 0.356
Abs sampel
% inhibisi
0.64 0.663
46.42 42.08
Contoh perhitungan persen penghambatan enzim alfa-glukosidase (ulangan 1) % Inhibisi : (abs blanko – abs kontrol blanko) – (abs sampel – abs kontrol sampel) x 100 % (abs blanko – abs kontrol blanko) : ( 0.582 – 0.052) – (0.64 – 0.356) x 100% ( 0.582 – 0.052) : 46.42 %
Ratarata 44.25 ± 3.07
53
Lampiran 14 Hasil uji penghambatan enzim alfa-glukosidase acarbose, ekstrak, produk enkapsulasi M dan MSP Ekstrak
(a)
(b)
(c)
(d)
Persentase penghambatan alfa-glukosidase (a) acarbose, (b) ekstrak jintan hitam, (c) produk enkapsulasi M, (d) produk enkapsulasi MSP Perhitungan penghambatan enzim alfa-glukosidase Sampel
Y
b
a
Ekstrak (1 gram) M (0.07 gram) MSP(0.07 gram) Acarbose (1 gram)
50 50 50 50 50 50 50 50
27.18 27.41 22.01 22.77 16.19 21.65 14.48 15.41
-176.5 -177.8 -213.7 -223.3 -139.7 -206.4 67.24 66.97
Ln (x) 8.33 8.31 11.98 12.00 11.72 11.84 -1.19 -1.10
X (IC50)
Rata2 X (IC50) 4113.99
4160.26 4067.71 159678.51 161431.37 163184.22 122652.36 130876.72 139101.08 0.30 0.32 0.33
Keterangan: X = konsentrasi (µg/mL) Y = persentase penghambatan enzim alfa-glukosidase a dan b didapat dari persamaan grafik y= a+bx IC50* = IC50 produk enkapsulasi bila disetarakan dengan 1 gram ekstrak
IC50* 4113.99 11530.81 9348.34 0.32
54
Contoh perhitungan IC50 penghambatan enzim alfa glukosidase (M ulangan 1) Y = a + b x (x masih dalam satuan ln x) 50 = -213.7 + 22.01 x x = (50 + 213.7) / 22.01 x = 11.98 (masih dalam satuan ln x ln x = 11.98, maka x = 159678.51 µg/mL) Contoh perhitungan IC50 produk enkapsulasi M bila disetarakan dengan 1 gram ekstrak = Nilai rata2 IC50 produk enkapsulasi M : (1/0.07) = 161431.37 : (14) = 11530.81 µg/mL
55
Lampiran 15 Hasil pengukuran kapasitas antioksidan
Sampel (S) M (0.07 gram) MSP (0.07 gram) Extrak (1 gram) Emulsi (0.02 gram)
0.49
0.068
64.36
1072.73
Kapasitas antioksidan (1 gr ekstrak) 1065.15 15216.45
0.491 0.472
0.067 0.086
63.45 80.72
1057.58 6727.27
6689.39
95562.77
0.473 0.193 0.202 0.089
0.085 79.81 6651.52 0.365 334.36 33436.36 0.356 326.18 32618.18 0.469 428.91 428.91
32981.82
32981.82
426.41
21320.45
abs abs abs Bblanko sampel abs S (B)
0.558
0.1
mg/g AEAC
ppm
0.458 418.91
Rata2 mg/g AEAC
418.91
Contoh perhitungan kapasitas antioksidan M (1 gram ekstrak) Rata2 kapasitas antioksidan mg/g AEAC x (1/0.07) = 1065.15 x (1/0.07) = 15216.45
Lampiran 16 Hasil pengukuran total fenol
Sampel
Absorbansi
[ ] ppm
1357.68
Rata2 mg/g GAE 1364.44
Total Fenol (1 gr ekstrak) 19491.97
1371.19 6859.19
6870.90
98155.72
35877.72
35877.72
652.22
32611.11
mg/g GAE
M (0.07 gr) MSP (0.07 gr) Ekstrak
0.297 33.36667 0.3 33.7 0.761 84.92
(1 gr) Emulsi (0.02 gr)
0.271 0.236
85.14 6882.61 30.48 35869.12 30.48 35886.33 26.59 664.72
0.227
25.59
0.763 0.271
639.72
Contoh perhitungan nilai total fenol emulsi (1 gram ekstrak) Rata2 kapasitas antioksidan mg/g GAE x (1/0.02) = 652.22 x (1/0.02) = 32611.11
56
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 September 1979. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Abduh Atmadiwirya dan Ida Azizah. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1983-1985 di TK Bulak Rantai, Jakarta Timur. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1985-1988 di SDN 13 Lahat, Sumatra selatan dan SDN 06 Solok, Sumatra barat pada tahun 1988-1991. Pendidikan SMP pada tahun 1991-1992 di SMP Adabiyah Padang dan SMP 19 Jakarta Selatan pada tahun 1992-1994. Lulus SMP, penulis melanjutkan pendidikannya di SMUN 6 Jakarta Selatan hingga tahun 1997, dan pada tahun yang sama melanjutkan jenjang Sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia hingga tahun 2002. Bekerja sebagai auditor Lembaga Pengkajian Pangan Kosmetika dan Obat-obatan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Jakarta tahun 2004 kemudian bergabung dengan LPPOM MUI Bogor tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pasca sarjana IPB, Program Studi Ilmu Pangan. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar magister, penulis melakukan kegiatan penelitian dengan judul Kajian In Vitro Produk Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa) di bawah bimbingan Prof Dr Ir Sedarnawati Yasni MAgr dan Dr Ir Sri Yuliani MSi.