TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditi yang mengalami perkembangan yang terpesat. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Pada awal tahun 2001 – 2004, luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3.97% dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13.05% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005 dalam Isroi dkk., 2008). Tahun 2010 produksi Crude Palm Oil (CPO) diperkirakan akan meningkat antara 5% – 6%, sedangkan untuk periode 2010 – 2020, pertumbuhan produksi diperkirakan berkisar antara 2% – 4% (Susila, 2004 dalam Isroi dkk., 2008). Pertumbuhan produksi kelapa sawit yang semakin meningkat sejalan dengan jumlah limbah yang dihasilkan. Upaya untuk mengatasi hal tersebut, Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi kompos tersebut adalah Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). Contoh gambaran, apabila sebuah pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam akan menghasilkan LCPKS 360 m3/hari dan TKKS 138 m3/hari sehingga hasil perpaduan kedua limbah tersebut akan diolah menghasilkan kompos TKKS sebesar 70 ton/hari. Limbah sebanyak ini semuanya dapat diolah menjadi kompos hingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah yang cukup besar (PPKS, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Keunggulan kompos TKKS meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Darnoko dan Ady, 2006). Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit ini tidak menggunakan bahan cair asam dan bahan kimia lain sehingga tidak terdapat pencemaran atau polusi, selain itu proses pengomposannya pun tidak menghasilkan limbah. Proses membuat kompos dimulai dengan pencacahan tandan kosong sawit terlebih dahulu dengan mesin pencacah kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar 2,5 m dan tinggi 1 m. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Tumpukan dibiarkan diatas semen dan dibiarkan di lantai terbuka selama 6 minggu. Kompos dibolak-balik dengan mesin pembalik. Setelah itu kompos siap untuk dimanfaatkan (PPKS, 2008). Darmoko dan Sutarta (2006) menyatakan bahwa dalam kompos TKKS terdapat beberapa kandungan nutrisi penting bagi tanaman. Kandungan nutrisi dalam kompos TKKS dapat disajikan pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Kandungan Nutrisi dalam Kompos TKKS Parameter Air Abu N C P K Ca Mg C/N Bahan Organik
Nilai (%) 45-50 12,60 2–3 35,10 0,2 – 0,4 4–6 1–2 0,8 – 1,0 15,03 >50%
Kompos TKKS dapat diaplikasikan untuk berbagai tanaman sebagai pupuk organik, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pupuk kimia. Penelitian aplikasi kompos TKKS pada tanaman cabe telah dilakukan di Kabupaten Tanah Karo pada tahun 2002. Hasilnya menunjukkan bahwa aplikasi kompos TKKS dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabe, yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk organik (kontrol) maupun aplikasi pupuk kandang. Aplikasi 0,25 dan 0,50 kg kompos TKKS dapat meningkatkan hasil cabe berturut-turut hingga 24% dan 45% dibanding perlakuan kontrol, sedangkan aplikasi pupuk kandang hanya dapat meningkatkan hasil sebesar 7% dibanding perlakuan kontrol (PPKS, 2008). Penelitian aplikasi kompos TKKS ini selain tanaman cabe, juga dilakukan penelitian menggunakan tanaman jeruk. Hasil pengamatan terhadap aplikasi kompos TKKS pada produksi tanaman jeruk selama dua kali panen menunjukkan bahwa aplikasi kompos berpengaruh terhadap peningkatan produksi jeruk. Aplikasi kompos TKKS hingga 30 kg dapat meningkatkan produk jeruk sebesar 49% – 74% dibanding kontrol tanpa kompos. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jeruk dengan aplikasi kompos mempunyai kulit buah yang
Universitas Sumatera Utara
lebih mengkilap dibandingkan jeruk yang tidak diberi kompos. Hal ini diduga erat kaitannya dengan cukupnya hara kalium yang diserap tanaman, yang berasal dari kompos TKKS (PPKS, 2008) Kompos TKKS juga dapat dimanfaat sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. Pada penelitian mengenai pemanfaatan kompos TKKS sebagai media tanpa tanah dan pemupukan pada tanaman pot Spathiphyllum, kombinasi kompos TKKS dan pupuk kandang digunakan sebagai petak utama dan frekuensi pemupukan sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan babwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati kecuali untuk pori terisi udara dan kadar N daun, sedang frekuensi pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua paramater yang diamati kecuali terhadap tinggi tanaman mulai umur dua bulan dan kadar K pada tanaman umur enam bulan. Kombinasi 50% kompos TKKS dan 50% pupuk kandang adalah media yang baik untuk tanaman Spathiphyllum (Wuryaningsih dan Goenadi, 1995).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti lingkungan dan biologis. Cendawan ini diperkirakan pada masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman (Novriani dan Madjid, 2009). Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur
Universitas Sumatera Utara
hara terutama unsur hara Phosphates (P) (Syib’li, 2008 dalam Novriani dan Madjid, 2009). Cendawan Mikoriza Arbuskular merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana cendawan mengkolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon dari hasil fotosintesis dari tanaman (Delvian, 2006). Marin (2006) dalam Novriani dan Madjid (2009), mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan CMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman. Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003). Penggunaan cendawan mikoriza merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Berbagai hasil penelitian yang dikumpulkan Nambiar dan Brown (1998) dalam Melya, dkk (2005) cendawan ini terbukti dapat meningkatkan serapan N, P dan K, meningkatkan ketahanan terhadap senyawa beracun seperti Al dan Na, juga ketahanan terhadap berbagai patogen tanah, serta memberikan sumbangan nyata dalam daur ulang
Universitas Sumatera Utara
unsur hara di dalam tanah. Hasil penelitian ini didukung pula oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan dan perbaikan pertumbuhan tanaman setelah diberikan inokulasi cendawan ektomikoriza, bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak memiliki simbiosis dengan cendawan ini (Supriyanto, 1999). Penggunaan cendawan mikoriza sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah. Aplikasi cendawan mikoriza juga dapat membantu merehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan pada lahan-lahan marginal serta dapat digunakan untuk pakan ternak. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula pada beberapa tanaman komersial telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Inokulasi CMA pada apel dapat meningkatkan kandungan P pada daun dari 0,04% menjadi 0,19%. Penggunaan cendawan mikoriza pada tanaman kopi, dapat meningkatkan bobot kering tanaman serta jumlah daun yang berbeda nyata dengan tanpa mikoriza. Pada tanah dengan ketersediaan hara rendah, inokulasi CMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kakao. Penelitian yang dilakukan pada bibit manggis dengan mengaplikasikan berbagai jenis inokulum CMA yang diperoleh dari beberapa daerah menunjukkan bahwa, setelah 19 bulan diinokulasi CMA ternyata CMA yang berasal dari daerah Sawahlunto Sijunjung dapat memacu pertumbuhan bibit manggis yang cukup signifikan yaitu sekitar 50% lebih cepat dibandingkan dengan bibit manggis yang tidak diinokulasi CMA (Anwarudin, dkk., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian pemanfaatan mikoriza untuk meningkatkan kualitas bibit prioritas Sumatera Selatan yaitu dengan menginokulasi mikoriza pada beberapa tanaman kehutanan, antara lain pulai (Alstonia sp.), bungur (Lagerstromia speciosa), sungkai (Peremona canescens), mangium (Acacia mangium), seru (Scima wallicii) dan mahoni (Swietenia macrophylla) dimana jenis mikoriza yang diinokulasikan pada pulai, bungur, sungkai dan mangium adalah Glomus etunicatum, sedangkan pada seru telah diuji diinfeksi dengan Glomus etunicatum, Glomus clorum dan Gigaspora sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dapat meningkatkan kualitas bibit tanaman kehutanan tersebut. Inokulasi CMA terhadap pertumbuhan bibit panili menunjukkan bahwa interaksi antara tipe panili dengan inokulasi CMA tidak berpengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan bibit. Inokulasi CMA berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang, indeks luas daun, dan bobot kering biomasa (Ulfa dkk., 2006). Penggunaan mikoriza yang tepat dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk. Sebagai contoh mikoriza dapat menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfor, 40% kebutuhan nitrogen, dan 25% kebutuhan kalium untuk tanaman lamtoro (Husin dan Marlis, 2000 dalam Novriani dan Madjid, 2009). Penggunaan mikoriza lebih menarik ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila mikoriza tertentu telah berkembang dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh untuk selamanya. Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah. Demikian pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan kelapangan lebih baik dari yang tanpa mikoriza (Anas, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Gaharu merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam, dan berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Beberapa jenis pohon penghasil gaharu antara lain adalah Aquilaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus. Pohon penghasil gaharu terbaik saat ini adalah dari jenis Aquilaria Spp. salah satunya yaitu Aquilaria malaccensis Lamk. dengan taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Termatophta
Sub Divisi
: Agiospermae
Klas
: Dikotiledonae
Ordo
: Myrtales
Family
: Thymeleaccae
Genus
: Aquilaria
Spesies
: Aquilaria malaccensis Lamk. Batang tanaman dari kelompok Aquilaria Spp. biasanya dapat mencapai
tinggi 35 – 40 m, diameter sekitar 60 cm, dan berkayu keras. Kulit batangnya licin berwarna keputih-putihan. Daun lonjong memanjang dengan panjang 5-8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telit atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm, dan lebar 3 cm.
Universitas Sumatera Utara
Biji bulat atau bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna kemerahan (Tarigan, 2004). Secara tradisional, gaharu digunakan sebagai pengharum tubuh dan bagi masyarakat hindu dibutuhkan dalam upacara keagamaan. Gaharu dapat dihasilkan oleh beberapa jenis tanaman, diantaranya famili Thymeleaccae, Euforbiacceae dan Leguminocceae. Daerah persebaran tanaman tersebut di Indonesia berupa kawasan wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bentuk kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut memiliki sifat dan warna yang berbeda. Selain itu, gaharu pun mengandung resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma keharuman khas. Aroma tersebut sangat populer dan sangat disukai oleh masyarakat Timur Tengah, Saudi Arabia, Yaman, Omman, Daratan Cina, Korea dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dupa dan pengawet berbagai jenis aksesoris (Sumarna, 2005). Dalam perdagangan, gaharu dikenal sebagai produk agarwood, aleowood, atau eaglewood. Rata-rata kuota yang dimiliki Indonesia sekitar 300 ton/tahun. Kuota ini diperoleh dari pembagian permintaan pasar oleh negara-negara produsen gaharu. Hanya saja hingga saat ini produksi gaharu Indonesia baru terpenuhi sekitar 10% – 20% atau sekitar 25 – 40 ton/tahun sehingga masih sangat jauh dari kuota ekspor. Kondisi ini sangat berdampak terhadap harga jual gaharu yang saat ini mencapai Rp. 5 juta/kg. Memperhatikan kuota permintaan pasar atas komoditi gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan gaharu pun memiliki prospek yang tinggi dalam upaya mempersiapkan era perdagangan bebas dimasa
Universitas Sumatera Utara
mendatang. Khusus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang berkualitas dan bernilai
jual
tinggi
akan
berpeluang
meningkatkan
produksi
gaharu
(Sumarna, 2005). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya pohon penghasil gaharu antara lain adalah persyaratan tumbuh. Tempat tumbuh yang cocok untuk tanaman penghasil gaharu adalah dataran rendah, lereng-lereng bukit, sampai ketinggian 750 meter diatas permukaan laut. Jenis Aquilaria tumbuh sangat baik pada tanah-tanah liat (misalnya Podsolik Merah Kuning), tanah lempung berpasir dengan drainase sedang sampai baik. Tipe iklim A-B dengan kelembaban sekitar 70% sampai 80%. Suhu berkisar antara 22°C sampai 28°C dengan curah hujan berkisar antara 2000 sampai 4000 mm/tahun. Lahan tempat tumbuh yang perlu dihindari adalah (1) lahan tergenang secara permanen, (2) tanah rawa, (3) lahan dangkal (kedalaman kurang dari 50 cm), (4) pasir kuarsa, dan (5) lahan yang ber-pH kurang dari 4,0 (Sumartono, 2008). Teknik perbanyakan tanaman mempunyai konsekuensi biaya produksi bibit yang berbeda-beda sesuai dengan teknik yang digunakan. Untuk perbanyakan secara generatif pada tanaman gaharu dapat menggunakan anakan pohon, namun untuk media tumbuhnya harus lebih diperhatikan. Media tumbuh anakan menggunakan media polibag dapat diisi dengan media tanam berupa tanah, kompos organik atau kotoran ternak dan sekam. Pada tahap awal di persemaian, semua jenis bibit penghasil gaharu memerlukan naungan yang cukup (seperti halnya kelompok jenis meranti). Untuk mempercepat pertumbuhannya, bibit penghasil gaharu dapat diinokulasi oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) sejak dini di persemaian (Sumarna, 2005).
Universitas Sumatera Utara