TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Obat Tradisional Defenisi obat tradisional menurut Undang-undang no.23 tahun 1992adalah
bahanatau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat. Umumnya pemanfaatan obat tradisional telah diutamakan sebagai upaya preventif untuk menjaga kesehatan. Selain itu, ada pula yang menggunakannya untuk pengobatan suatu penyakit (Lestari, 2006). Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikuti pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994). Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sediaan sarian atau gelenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kafarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Dirjen RI, 1995). Menurut Materia Medika Indonesia (1995), simplisia dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu:
a. Simplisia Hewan Simplisia hewan adalah simplisia yang berupa hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. b. Simplisia Nabati Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni. c. Simplisia Pelikan (mineral) Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. 2.2
Jenis Obat Tradisional Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.4.2411
tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. 2.2.1
Jamu(Empirical Based Herbal Medicine) Jamu merupakan salah satu obat tradisional yang juga diakui oleh
pemerintah sebagai obat. Jamu berisi bahan-bahan berasal dari alam baik tumbuhan, hewan, maupun mineral. Produk jamu yang beredar harus mencantumkan tanda berupa tulisan jamu (huruf besar) dengan latar belakang warna putih dalam lingkaran hitam (Widodo, 2004).
Saat ini jamu semakin marak di pasaran, seiring dengan pengembangan produksi yang semakin baik dan penerimaan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat memilih jamu karena jamu dipandang lebih aman dan kadang khasiatnya dirasakan lebih baik (Widodo, 2004). Jamu dapat dikelompokkan menjadi jamu yang tidak bermerek dan jamu bermerek. Jamu tidak bermerek antara lain berupa jamu gendong yang biasanya dijual ke rumah-rumah dengan digendong atau jamu yang dijual di satu tempat tertentu dengan nama asli kandungannya (misalnya jahe, temulawak, kunir, bawang putih). Sedangkan jamu bermerek umumnya dibuat dengan peralatan yang lebih canggih dalam jumlah yang cukup banyak dan memiliki izin dari Departemen Kesehatan (Widodo, 2004). Jamu disajikan secara tradisional dalam bentuk serbuk seduhan, pil, atau cairan. Umumnya, obat tradisional ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur. Satu jenis jamu disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu tidak memerlukan pembuktiaan ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Disamping klaim khasiat yang dibuktikan secara empiris, jamu juga harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu. Jamu yang telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu (Lestari, 2006). Tabel 2.1 Perbedaan secara umum antara jamu dan obat modern Jenis sifat Efeknya
Jamu Kurang keras
Obat Modern Lebih keras
Dosis Keamanan Sasaran
Syarat-syarat produk Bahan Harga (Widodo, 2004). 2.2.2
Kurang tinggi Lebih aman Untuk mencegah, meningkatkan vitalitas, meningkatkan ketahanan tubuh, membantu penyembuhan Lebih longgar Natural/alami Biasanya lebih murah
Lebih tinggi Lebih berbahaya Untuk mengobati/menyembuhkan
Lebih ketat Kimia Umumnya lebih mahal
Obat Herbal Terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) Merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau
penyarian bahan alam, baik tanaman obat, hewan, maupun mineral. Dalam proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal daripada jamu. Tenaga kerjanya pun harus didukung oleh pengetahuan dan keterampilan membuat ekstrak. Obat herbal ini umumnya ditunjang oleh pembuktian
ilmiah
berupa penelitian
praklinis.
Penelitian
ini meliputi
standardisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi pembuat ekstrak yang higienis, serta uji toksisitas akut maupun kronis (Lestari, 2006). Kelompok obat ekstrak alam dalam kemasannya terdapat logo jari-jari daun yang melambangkan produk telah melalui serangkaian uji, laboratorium yang meliputi uji toksisitas dan uji praklinis (Mursito, 2008).
Kriteria obat herbal terstandar: a. Aman
b. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik c. Bahan baku yang digunakan telah terstandar d. Memenuhi persyaratan mutu (Lestari, 2006). 2.2.3
Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) Merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat modern.
Proses pembuatannya telah terstandar dan ditunjang oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Karena itu, dalam pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit (Lestari, 2006). Pada kemasan produk fitofarmaka terdapat logo yang melambangkan serangkaian proses, uji laboratorium, yang lengkap meliputi toksisitas, uji praklinis, dan uji klinis (Mursito, 2008). 2.3
Bentuk Sediaan Obat Tradisional Pada awalnya, bahan tumbuh-tumbuhan dikonsumsi langsung dalam
bentuk segar, rebusan, atau racikan namun pada perkembangannya, obat tradisional dikonsumsi lebih praktis dalambentuk pil, kapsul, sirup, tablet, sehingga memudahkan konsumen dalam penggunaanya (Anief, 2000). 2.3.1
Pil Pillulae berasal dari kata “pila” artinya bola kecil. Obat yang berbentuk
bundar seperti bola ini bermacam-macam bobotnya dan masing-masing diberi nama tersendiri. Pillulaemenurut FI III ialah suatu sediaan berupa massa bulat mengandung satu atau lebih bahan obat yang digunakan untuk obat dalam dan bobotnya 50-300 mg per pil (ada juga yang menyebutkan bobot pil adalah 1-5 g) (Syamsuni, 2006).
Disamping bahan berkhasiat ada bahan tambahan berupa zat pengisi, zat pengikat, zat pembasah, zat penabur dan zat penyalut yang sesuai/ cocok. Pil juga dapat disalut enterik (enteric coated) seperti halnya tablet. Syarat waktu hancur pil sama dengan syarat waktu hancur tablet (Joenoes, 1990). Keuntungan dan kerugian memberikan obat bentuk sediaan pil Keuntungan: a. Rasa obat yang tidak enak dapat tertutupi b. Mudah ditelan Kerugian: Kalau disimpan lama sering menjadi keras dan tidak lagi memenuhi syarat waktu hancur, sehingga absorpsi bahan obat tidak sempurna. Bahan tambahan pil umumnya berupa serbuk asal nabati, ada kemungkinan ditumbuhi jamur (Joenoes, 1990). 2.3.2
Komponen Pil Komponen, penggunaan, dan contoh pil yaitu:
1. Zat utama Berupa bahan obat yang harus memenuhi persyaratan Farmakope misalnya KMnO4, asetosal, digitalis folia, garam ferro, dan lain-lain. 2. Zat tambahan yang terdiri dari: a. Zat pengisi Fungsinya untuk memperbesar volume massa pil agar mudah dibuat. Contoh: akar manis (Radix Liquiritiae), bolus alba, atau bahan lain yang cocok (glukosa, amilum, dan lain-lain). Radix liq dengan gliserin adalah konstituen yang
baik untuk bahan-bahan minyak atsiri (Metode Blomberg). Terlebih kalau ditambahkan succus liq. Hal ini karena radix liq mengandung glisirizin yang bersifat mengemulsi minyak. b. Zat pengikat Fungsinya untuk memperbesar daya kohesi maupun daya adhesi massa pil agar massa pil dapat saling melekat menjadi massa yang kompak. Contoh: sari akar manis (Succus liquiritiae), gom akasia, tragakan, campuran bahan tersebut (PGS) atau bahan lain yang cocok (glukosa, mel, sirop, musilago, kanji, adeps, glycerinum cum tragacanth, extr. gentian, extr. Aloe, dan lain-lain). c. Bahan atau zat penabur Fungsinya untuk mempekecil gaya gesekan antara molekul yang sejenis maupun tidak sejenis, sehingga massa pil menjadi tidak lengket satu sama lain, lengket pada alat pembuat pil, atau lengket satu pil dengan pil lainnya. Contoh: lycopodium, talcum. d. Bahan atau zat pembasah Fungsinya untuk memperkecil sudut kontak (<90º) antar molekul sehingga massa menjadi basah dan lembek serta mudah dibentuk. Contoh: air, air-gliserin (aqua gliserinata), gliserin, sirop, madu, atau bahan lain yang cocok (Syamsuni, 2006).
2.3.3
Persyaratan Pil Persyaratan pil sebagai berikut:
1. Pada penyimpanan bentuknya tidak boleh berubah, tidak begitu keras sehingga dapat hancur dalam saluran pencernaan, dan pil salut enterik tidak hancur dalam lambung tetapi hancur dalam usus halus. 2. Memenuhi keseragaman bobot. Timbang 20 pil satu persatu, hitung bobot rata-rata, penyimpangan terbesar terhadap bobot rata-rata, adalah: Tabel 2.2 Penyimpangan terbesar terhadap bobot rata-rata Untuk bobot rata-rata
Penyimpangan terbesar
Penyimpangan terbesar
pil
18 pil
2 pil
100 mg sampai 250 mg
10%
20%
250 mg sampai 500 mg
7,5%
15%
3. Memenuhi waktu hancur seperti tertera pada compressi yaitu dalam air 360 - 380 selama 15 menit untuk pil tidak bersalut dan 60 menit untuk pil yang bersalut. Sedang untuk pil bersalut enterik, direndam dulu dalam larutan HCl 0,06 N selama 3 jam, lalu dipindahkan dalam larutan dapar pH 6,8 suhu 360 - 380, maka dalam 60 menit pengujian pil sudah hancur (Anief, 1995). 2.4
Jamu Pelangsing Menurunkan kelebihan berat badan merupakan proses kegiatan yang
sangat baik agar tubuh tidak menanggung beban berlebihan. Namun, upaya penurunan kelebihan berat badan ini banyak dilakukan dengan jalan pintas, yaitu menggunakan obat-obatan penurun berat badan dari bahan kimia sintetis secara berlebihan. Akibatnya, bukan berat badan yang turun, tetapi berbagai penyakit diderita, termasuk penyakit gagal ginjal (Mursito, 2008).
Karena perhatian sekarang banyak diarahkan pada penampilan dan kesehatan jasmani, banyak orang yang kegemukan mengalihkan perhatian kepada obat pelangsing untuk membantu mereka mengurangi berat badan, atau dalam kasus tertentu, sejumlah bobot yang cukup banyak. Dengan mengekang selera, obat pelangsing ini berfungsi sebagai penolong sementara karena orang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembangkan kebiasaan makan yang baik. Obat yang lazim digunakan pada pil pelangsing adalah amfetamindan non amfetamin, yang kedua-duanya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter. Penggunaan amfetamin tidak begitu dianjurkan karena besar sekali kemungkinan disalahgunakan. Obat bebas yang juga digunakan sebagai pil pelangsing mengandung fenilpropanolamin (pelega hidung yang banyak digunakan untuk flu dan batuk) karena efek sampingnya juga menekan selera makan (Harkness, 1989). Penekan selera makan adalah stimulan susunan saraf pusat. Rangsangan yang berlebihan dapat terjadi apabila penekan selera diberikan bersama-sama dengan stimulan susunan saraf pusat yang lain. Akibatnya gelisah, agitasi, tremor jantung berdebar, demam, hilang koordinasi otot, napas cepat dan pendek, insomnia. Pada kasus berat ada resiko kenaikan tekanan darah yang gejalanya berupa sakit kepala, gangguan penglihatan, atau kebingungan (Harkness, 1989). Obat-obatan yang berbahan baku tanaman maupun mineral secara turuntemurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Tanaman obat ini dimanfaatkan dalam keadaan sudah dikeringkan atau dikenal dengan istilah simplisia. Penggunaan bahan-bahan alami dalam upaya penurunan berat badan mungkin dapat bekerja sebagai pencahar, diuretika, maupun mengurangi
nafsu makan. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat kandungan bahan pada setiap jenis tanaman sangat banyak dan beragam. Akibatnya, sangat besar kemungkinannya untuk saling membantu dalam efek kemanfaatan dan dapat saling meniadakan ataupun mengurangi efek samping dan setiap bahan tunggal. Mengingat keadaan ini maka saat ini penggunaan bahan alam nabati semakin dikenal dan semakin disenangi berbagai lapisan masyarakat (Mursito, 2008). Ramuan tradisional pelangsing tubuh merupakan ramuan dari berbagai simplisia kering maupun segar yang dapat dimanfaatkan dalam upaya membentuk tubuh ramping. Pemanfaatan ramuan tidak dapat dirasakan khasiatnya dalam waktu singkat. Ini disebabkan upaya membentuk tubuh ramping terkait dengan proses normalisasi metabolisme tubuh dan bahan-bahan alam tidak dapat bekerja secepat bahan sintetis. Namun keamanan penggunaan bahan alam dapat lebih dijamin dibanding dengan penggunaan bahan kimia sintetis (Mursito, 2008). 2.5 Jamu Keputihan Keputihan sebenarnya bukanlah penyakit, melainkan hanya gejala yang disebabkan oleh faktor fisiologis atau faktor patologis. Keputihan terjadi jika dari dalam vagina keluar cairan berupa lendir (bukan darah) dalam jumlah yang berlebihan. Dalam keadaan normal, selaput lendir vagina tetap basah, tetapi tidak sampai mengeluarkan cairan yang berlebihan. Setiap wanita pernah mengalami keputihan yang disebabkan oleh faktor fisiologis, yakni saat terjadi ovulasi, sebelum atau sesudah haid, saat hamil atau karena problem kegemukan. Keputihan karena faktor fisiologis biasanya berbentuk lendir encer, bening, dan tidak berbau. Hal ini sangat berbeda dengan keputihan yang disebabkan oleh
faktor patologis. Karena disebabkan oleh serangan bakteri atau jamur, lendir yang keluar berwarna kekuningan bahkan kecokelatan dan terkadang bercampur darah. Selain jamur dan bakteri, keputihan patologis juga bisa dipicu oleh pemakaian oleh anti alergi atau obat anti kanker pada alat kelamin (Sugiarto, 2008). Pengobatan dengan menggunakan ramuan tradisional hasilnya memang tidak secepat dengan obat-obatan pabrik. Waktu penyembuhan dengan ramuan tradisional lebih lama jika dibandingkan dengan waktu penyembuhan dengan pengobatan secara modern, karena sifat pengobatan dengan ramuan tradisonal adalah konstruktif. Artinya, pengobatan dilakukan untuk memperbaiki bagian yang terserang secara perlahan tetapi menyeluruh (Sugiarto, 2008). 2.6 Kadar Air dalam Jamu Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
No.661/IMENKES/SK/VII/1994 kadar air obat tradisional adalah banyaknya air yang terdapat di dalam obat tradisional. Air tersebut berasal dari kandungan simplisia, penyerapan pada saat produksi atau penyerapan uap air dari udara pada saat berada dalam peredaran. Pemerintah sudah menetapkan persyaratan dari berbagai macam bentuk sediaan ramuan dalam bentuk simplisia. Syarat dalam bentuk rajangan adalahsebagai berikut: 1. Kadar air tidak lebih dari 10% 2. Angka lempeng total tidak lebih dari 107 3. Angka kapang dan khamir tidak lebih dari 104 4. Tidak boleh tercemar semua jenis mikroba yang bersifat patogen
5. Aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per sejuta (bpj). Persyaratan tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk menilai tingkat kualitas ramuan ditinjau dari segi keamanan dan kebersihan (Mursito, 2008). Persyaratan kadar air dalam suatu ramuan merupakan parameter penting untuk menilai keadaan ramuan tersebut. Kandungan air dalam tanaman berkaitan erat dengan pertumbuhan mikroba dan proses metabolisme dalam tumbuhan. Agar pertumbuhan mikroba dapat ditahan, diperlukan pengurangan kadar air dari suatu bahan maupun ramuan. Berdasarkan data percobaan persyaratan berbagai macam simplisia berkisar 6-10% (Mursito, 2008). Penetapan kadar air dengan gravimetri tidak dianjurkan karena susut pengeringan tersebut bukan hanya diakibatkan menguapnya kandungan air tetapi juga diakibatkan minyak atsiri dan zat lain yang mudah menguap. Kadar air harus tetap memenuhi persyaratan, selama di industri maupun di peredaran. Upaya menekan kadar air serendah mungkin perlu mendapat pertimbangan terutama bila kandungan obat tradisional tergolong minyak atsiri atau bahan lain yang mudah menguap (Kepmenkes RI, 1994). 2.7
Penetapan Kadar Air Pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan ataupun sediaan yang
dilakukan dengan cara yang tepat diantaranya cara titrasi, destilasi, atau gravimetri yang bertujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Dirjen POM, 2000). 2.7.1
Destilasi (Termovolumetri)
Destilasi berarti memisahkan komponen-komponen yang mudah menguap dari suatu campuran cair dengan cara menguapkannya, yang diikuti dengan kondensasi uap yang terbentuk dan menampung kondensasi yang dihasilkan. Uap yang dikeluarkan dari campuran disebut sebagai uap bebas, kondensat yang jatuh sebagai destilat dan bagian cairan yang tidak menguap sebagai residu (Handoyo, 1995). Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air dengan pembawa cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah daripada air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain adalah toluena, xylena, benzena, tetrakhlorethilen dan xylol. Cara destilasi ini baik untuk menentukan kadar air dalam zat yang kandungan airnya kecil yang sulit ditentukan dengan cara termogravimetri. Penentuan kadar air cara ini hanya memerlukan waktu ± 1 jam (Sudarmadji, 1989). Peristiwa yang terjadi pada destilasi sederhana adalah: a. Penguapan komponen yang mudah menguap dari campuran (yang diisikan secara kontinue) dalam alat penguap b. Pengeluaran uap yang terbentuk melalui sebuah pipa uap yang lebar dan kosong, tanpa perpindahan panas dan perpindahan massa yang disengaja atau dipaksakan, yang dapat menyebabkan kondensasi mengalir kembali ke alat penguap c. Bila perlu, tetes-tetes yang sukar menguap yang ikut terbawa dalam uap dipisahkan dengan bantuan siklon dan dipisahkan kembali ke alat penguap
d. Kondensasi uap dalam sebuah kondensor e. Pendingin lanjut dari destilat panas dalam sebuah alat pendingin f. Penampungan destilat dalam sebuah bejana (penampung) g. Pengeluaran residu (secara kontinue) dari alat penguap h. Pendinginan lanjut dari residu yang dikeluarkan i. Penampung residu dalam sebuuah bejana (Handoyo, 1995). Penyulingan atau destilasi umumnya merupakan proses pemisahan satu tahap. Proses ini dapat dilakukan secara tak kontinue atau kontinue, pada tekanan normal atau vakum. Pada destilasi sederhana, yang paling sering dilakukan adalah operasi tak kontinue. Dalam hal ini campuran yang akan dipisahkan dimasukkan ke dalam alat penguap (umumnya alat penguap labu) dan dididihkan (Handoyo, 1995). 2.7.1.1 Destilasi Azeotrop Destilasi azeotrop pada prinsipnya digunakan untuk memisahkan campuran azeotrop, yaitu campuran dua atau lebih komponen yang sulit dipisahkan. Pada umumnya dalam proses destilasi azeotrop menggunakan tekanan tinggi atau dengan menggunakan senyawa lain untuk memecahkan ikatan azeotrop. Azeotrop merupakan campuran dua atau lebih komponen pada komposisi tertentu dimana komposisi tersebut tidak dapat berubah hanya melalui destilasi biasa. Ketika campuran azeotrop dididihkan, fase uap yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama dengan fase cairnya. Dengan kata lain campuran yang komposisinya senantiasa tetap meskipun cairan tersebut dididihkan. Sebagian besar penyimpangan campuran azeotrop terhadap Hukum Raoult,
memberikan komposisi titik didih maksimum atau minimum (Wilcox & Wilcox, 1995). Titik didih dalam zat cair, molekul-molekul bergerak secara konstan dan mempunyai kecenderungan untuk keluar dari permukaannya dan berubah menjadi molekul-molekul gas, bahkan ketika temperatur masih jauh di bawah titik didihnya. Titik didih suatu zat cair didefenisikan sebagai temperatur dimana besarnya tekanan uap zat cair tersebut sama dengan tekanan atmosfer, sehingga terjadi perubahan fase dari fase cair menjadi fase gas. Titik didih suatu zat cair pada tekanan 1 atm disebut sebagai titik didih normal (Wilcox & Willcox, 1995).
BAB III METODOLOGI