TINJAUAN PUSTAKA
Empek-empek adalah makanan yang terbuat dari campuran tepung tapioka, daging ikan, air dan garam yang diaduk menjadi satu lalu dibentuk, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan cuka.
Pada prinsipnya pembuatan
empek-empek dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengolahan
ikan,
pencampuran, pembentukan dan pemasakan (Komariah, 1995). Tahap pengoli~han ikan meliputi proses penyiangan, pencucian, pembuatan filet dan penggilingan daging ikan.
Menurut Suzuki (198 I), pencucian daging ikan bertujuan untuk
menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain yang dapat menimbulkan bau dan warna yang tidak disukai pada produk akhir. Ikan terlebih dahulu difilet untuk memudahkan pada proses selanjutnya. Setelah itu daging ikan digiling. Pada tiihap pencampuran dilakukan penggabungan dari bahan-bahan tersebut dengan proporsi yang tepat sesuai dengan resep yang digunakan. Ketepatan proporsi bahan amat diperlukan karena proporsi atau komposisi sangat berpengaruh terhadap rasa dan kekenyalan empek-empek. Menurut Karmas (1982), Komponen daging ikan dipengaruhi oleh jenis, kesegaran dan komposisi kimia ikan yang digunakan :;erta metode pengolahan yang dipakai.
Penggunaan ikan yang banyak akan membuat
rasa empek-empek yang dihasilkan akan terasa semakin enak (Dinas Perindus1:rian Sumetera Selatan, 1978). Tahap pembentukan bertujuan untuk memantapkan campuran dan membentuknya sehingga diperoleh adonan yang dapat menyatu sampai kalis dan
dapat dibentuk sesuai dengan keinginan. Cara pembentukan empek-empek sangat beragam, tergantung dari jenis empek-empek yang akan dibuat (Komariah, 1995) Dewasa ini empek-empek dikenal dengan berbagai jenis dan bentuk, aritara lain dikenal pempek kapal selam, lenjeran, pempek keriting seperti kue putu mayang, empek-empek adaan yang bentuknya bulat seperti bakso, empek-enlpek lenggang yang menggunakan campuran telur dan dipanggang seperti halnya dengan otak-otak dibungkus dengan daun dan dibakar (Anonimous, 1993). Tahap pemasakan empek-empek dapat dilakukan dengan berbagai cara ~raitu perebusan, pengukusan, penggorengan dan pemanggangan. Empek-empek dibentuk lenjeran dan pemasakan dilakukan dengan perebusan, yaitu dengan memasulckan empek-empek lenjeran ke dalam panci berisi air mendidih, didalam air mendidih.
kemudian direbus
Empek-empek yang telah matang akan mengapung di
permukaan air rebusan, dan jika ditekan dengan tangan akan terasa lembut dan kenyal sampai bagian dalamnya. Proses perebusan bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi sehiligga granula pati mengembang dan protein terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Muchtacli et. al., 1988). Setelah matang, empek-empek diangkat, ditiriskan dan didinginkan sesaat. Berdasarkan penelitian Septriana (1 9 9 9 , daya awet eppek-empek relatif rendah, apabila disimpan pada suhu kamar, pada hari ke-3 empek-empek tidak dapat dikonsumsi lagi, sedangkan jika disimpan dalam refrigerator, empek-empek dapat
tahan sampai 30 hari.
Namun empek-empek yang direbus hanya mempunyai
ketahanan simpan 48 jam.
Apabila penyimpanan terlalu lama, pada permu.kaan
produk akan timbul lendir (Komariah, 1995). Hal ini menyebabkan mutu empekempek turun dan pemasaran ke luar daerah mengalami hambatan. Produsen empekempek mencoba mengatasi masalah ini dengan melumuri permukaan empek-enipek dengan tepung tapioka untuk pemasaran ke luar daerah.
Ikan Tenggiri
Ikan tenggiri termasuk dalam ordo Percomorphi, famili Scombridae, sub famili Scomberomorinae, genus Scomberomorus dan species Scomberomorus commersoni (Saanin, 1968). Ikan tenggiri termasuk ikan pelagis besar (ikan !rang hidup dekat permukaan laut). Adapun ciri-ciri dari ikan tenggiri adalah sebagai berikut, tubuhnya memanjang, bermulut lebar, rahang bergigi tajam dan kuat, tidak bersisik kecuali sisik gurat sisi yang kecil-kecil dan sirip punggung ada dua !rang letaknya berdekatan (Djuhanda, 1981). Ikan tenggiri tergolong ikan buas, predator, karnivor dan makanannya berupa ikan kecil dan cumi-cumi. Hidupnya menyendiri (soliter) di perairan lepas dan pantai (Anonimous, 1979). Warna tubuh ikan tenggiri abu-abu kebiruan pada bagian atas, putih perak pada bagian bawah, dan terdapat banban berwarna gelap, menggelombang dan melintang di sepanjang badan. Siripnya berwarna biru keabu-abuan. Bagian daging yang dapat dimakan dari ikan tenggiri sebanyak 55 % (Ilyas, 1983).
Menurut Komariah (1995), ikan sungai yang umum digunakan oleh masyarakat Palembang sebagai bahan baku dalam pembuatan empek-empek ad.alah ikan belida (Notopterus notopterus), ikan gabus (Channa striata), ikan toman (Channa micropeltes), sedangkan ikan laut yang sering digunakan adalah ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), ekor kuning (Caesio cuning), kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), ikan parang-parang (Chirocentrus dorab). Menurut Dinas Perindustrian Sumatera Selatan (1997), pada awalnya pembuatan empek-empek dengan menggunakan ikan belida akan menghasilkan produk yang lebih kenyal dan rasa yang lebih enak. Namun jenis ikan tersebut saat ini semakin jarang ditemukan di pasaran dan harganyapun relatif lebih mahal. Oleh sebab itu, industri pembuatan empek-empek lebih banyak menggunakan ikan tenggiri atau ikan gabus. Komposisi kimia daging ikan pada umumnya terdiri dari 66-84% air, 15-24% protein, 0,l-22% lemak, 1-3% karbohidrat dan 0,8-2% bahan anorganik (Suzuki, 1981). Komposisi tersebut bervariasi antar spesies, antar individu dalam spesies dan antar bagian dari satu individu ikan. Variasi ini dipengaruhi oleh uinur, laju metabolisme dan aktivitas pergerakan ikan (Stansby, 1963). Air meruprikan komponen dominan pada daging ikan. Kadar air tersebut mempunyai hubungan !rang berlawanan dengan kadar lemak, dimana makin tinggi kadar air maka makin rendah kadar lemaknya. Ikan tenggiri mempunyai komposisi kimiawi seperti tampak pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Komposisi Kimiawi Ikan Tenggiri Bahan * Kadar air (g) Kadar protein (g) Kadar Lemak (g) Kadar Serat (g) Kadar Abu (g) Kadar Karbohidrat ( g ) Energi (Kalori) Asam Amino ** Tryptophan Threonine Iso leucine Leucine Lisin Methionine Cystein Phenvlalanine Tyrosine Valine Arginine Histidine Alanine Aspartic Acid Glutamic Acid Glycine Proline Serine Sumber : * Grace (1977)
1 Berat (gr1100gr) I I
*
A
n,
- 3 -
\"/
-
\D
70.15 20,07 7,89 0,OO 1,62 0.00158 mglgr protein 0.225 0.880 0,925 1.6311,843 0.5940,2 15 0.783 -0,687 1,034 1,201 9,591 1,214 2,055
I
-7--
- 7 - -
- 2 -
2.006 --
-7-
I
0,963 0.7 1- 00,819 - 7
* * Anonimus (2001 )
Tepung Tapioka
Tepung tapioka berasal dari hasil ekstraksi umbi ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) (Tjokroadikoesoemo,1986). Ubi kayu merupakan hasil produk pertanian yang berpotensi tinggi sebagai sumber karbohidrat untuk bahan pangan dan industri. Alasan penggunaan tapioka untuk bahan pangan dan industri karena harganya murah,
mudah didapat, mempunyai daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur yang kuat (Widowati, 1987). Pengolahan pati tepung tapioka sangat erat hubungannya dengan pemanasan, karena bila suspensi pati dalam air dipanaskan akan terjadi gelatinisasi pati. Suhu saat granula pati pecah disebut dengan suhu gelatinisasi (Winarno, 1992). Terjadinya gelatinisasi pati disebabkan adanya gerakan kinetika yang kuat selarna pemanasan yang menyebabkan jembatan hidrogen di bagian luar ikatan primer akan piltus, kemudian bagian molekul yang dibebaskan akan melakukan hidrasi sehiilgga bentuknya lebih terbuka. Bila proses dilanjutkan maka granula yang membengkak akan pecah dan sifat kekentalannya akan hilang. Tepung tapioka memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, tidak berbau dan berasa, mempunyai warna yang terang dan daya lekatnya yang sangat baik (Radley, 1976).
Penambahan tepung tapioka dalam pembuatan empek-empek
berfungsi sebagai bahan pengikat air agar mengurangi penyusutan saat pengolahan. Selain itu tapioka juga membentuk daya emulsi protein ikan, memperbaiki warna produk, membentuk tekstur yang baik dan meningkatkan volume. Peningkatan volume dapat menurunkan jumlah daging ikan yang digunakan sehingga menekan biaya produksi (Sugiyono, 1992). Penggolongan mutu tepung tapioka didasarkan sifat organoleptik dan telmis. Sifat organoleptik meliputi, penampakan bersih, putih, kering, tidak berbau asam atau apek dan tidak kelihatan ampas atau bahan asing. Kandungan zat gizi dan struktur kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Tapioka per 100 gr bahan Kandungan ( gr1100gr) Amilosa (%) Amilopektin (%) Ukuran Granula (pm) Kadar air (g) Kadar Protein (g) Kadar Lemak (a) Kadar Serat (g)' Kadar Abu (g) Kadar Karbohidrat (rr) Energi (Kalori) Asam Amino ** Tw ~ t o ~ .. . h a n Threonine Iso leucine I Leucine Lysine Methionine Cystein Phenilalanine Tyrosine Valine Arginine Histidine Alanine Aspartic Acid ~ l i t a m i Acid c Glvcine \w/
I Serine Sumber :
I
5 p m - 35pm 52 "C - 64 "C 10,99 gr 0,19 gr 0,02 . -ar 0,9 gr O,11 gr 88.69 gr , u 359 kkal mglgr Protein 0,003 0,004 0,004 0,006 0,006 0.002 0,004 0,004 0,002 0,005 0,019 0,003 0,005 0,011 0,029 0.004
Grace (1977); * * Anonimus (200 1).
I
7 -
0,005
*
1
1
Protein
Protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh manusia, karena disamping sebagai zat pembangun dan pengatur juga sebagai bahan bakar dalam tubuh . Zat pembangun protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan proses pembentukan
jaringan terjadi secara besar-besaran (Winarno, 1992). Di alam protein tersedia dillam bentuk protein nabati dan protein hewani. Protein nabati banyak ditemukan pada tanaman polong-polongan, sedangkan protein hewani banyak ditemukan pada telur dan ikan, serta daging. Protein yang terkandung dalam bahan pangan setelah dikonsumsi ,akan mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim-enzim protease) menjadi unit,-unit penyusunnya yaitu asam amino. Asam-asam amino inilah yang selanjutnya diserap oleh usus, dan kemudian dialirkan ke seluruh tubuh untuk digunakan dillam pembentukan jaringan-jaringan barn dan mengganti jaringan yang rusak. Untulc itu diperlukan asam-asam
amino yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan tubuh
(Muchtadi, 1989). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkanciung dalam protein tersebut (Winamo, 1991). Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat menyediakan asarn amino essensial dalam suatu perbandingan yang menyiunai kebutuhan tubuh manusia mempunyai mutu yang tinggi. Sebaliknya protein ;rang kekurangan satu atau lebih asam amino non essensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam-asam amino tersebut dapat disintesis di dalam tubuh. Dari sekitar 24 macam asam amino yang terdapat di alam dan berguna untuk pertumbuhan manusia, ada 10 macam asam amino yang tidak dapat disintesa oleh tubuh manusia, sehingga harus disuplai dari makanan. Asam-asam amino tersebut digolongkan sebagai asarn amino esensial yaitu, lisin leusin, isoleusin, treonin, triptofan, metionin, valin, fenilalanin, arginin, dan histidin. Asam amino lainnya
digolongkan sebagai non esensial karena dapat disintesa oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada sepuluh asam a~nino esensial bagi tubuh, namun di negara yang sedang berkembang dan juga di Indonesia mengungkapkan bahwa asam amino esensial yang sering kekurangan dillam konsumsi pangan dan satu diantara asam amino adalah sebagai berikut : lisin dan treonin, sedangkan triptofan, metionin dan sistin sering disatukan dillam menghitungnya karena sama-sama mengandung unsur sulfur (belerang) dan dalam banyak ha1 mempunyai fungsi yang sama dalam tubuh (Hardinsyah dan Martianto, 1989). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkanciung dalam protein tersebut. Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat menyediiakan asam-amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan tubuh manusia mempunyai mutu yang tinggi. Sebaliknya protein yang kekurangan satu atau lebih asam amino esensial mempunyai mutu yang rendah. Jumlah asam arnino non esensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam-asam arnino tersebut dapat disintesa oleh tubuh. Pada
awalnya
penentuan
skor
suatu
protein
dilakukan
dengan
membandingkan kadar asam-asam amino esensial bahan dengan kadar asam-eeam amino esensial protein telur ayam. Namun ternyata protein telur digunakan sebagai referensi berbeda-beda, sehingga dapat diduga bahwa dengan menggunakan referensi yang berbeda, maka skor kimia suatu protein juga akan berlainan. Oleh sebal) itu
sekarang orang lebih cenderung menggunakan pola asam amino referensi yang dibuat oleh FA0 pada tahun 1973. Ikan kaya akan protein dengan komposisi asam amino yang sangat baik dalam memenuhi kebutuhan diet manusia, dan setara dengan telur, susu atau daging yang dianggap sebagai sumber ketersediaan protein hewani yang paling murah (FAO, 1981 dalam Rimbawan, 1992 ). Ikan selain dianggap sebagai sumber protein, juga mengandung berbagai lemak, vitamin, dan mineral. Sedangkan karbohidrat hmya ada sebagian kecil. Bagian yang dapat dimakan dari ikan berupa sekitar 45 - 50 persen dari berat keselumhan. Komposisi dari daging ikan adalah 15 - 24 persen protein, 0,l - 22 persen lemak, 1 - 3 persen karbohidrat, 0,8 - 2 persen subs1:ansi anorganik dan 66 - 84 persen air (Borgstrom, 1962 dalam Rimbawan, 1992 ). Menurut FAO, 1981 dalam Rimbawan (1992), protein ikan memiliki kualitas yang baik. Keadaan ini dapat diterima dari segi kuantitas ataupun kelengkapannya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun lisin yang terkandung dalam komponen protein ikan dapat mudah msak apabila mendapatkan perlakuan panas yang tinggi dalam jangka watu yang cukup lama; sedangkan lisin merupakan salah satu faktor pembatas dalam pemanfaatan protein oleh tubuh manusia.
Daya Cerna Protein Kemampuan suatu protein untuk dapat dihidrolisis menjadi asam-asam arnino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein (Muchtadi, 1989). Sedangkan menurut Hardinsyah dan Martianto (1 989), daya cerna
protein merupakan bagian dari protein atau asam amino yang dapat diserap tilbuh dibandingkan dengan yang dikonsumsi. Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar di cerna berarti jumlah asamamino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian hesar akan dibuang oleh tubuh bersama kotoran. Pada kehidupan secara umum, suatu bahan pangan selalu mengalami proses pengolahan sebelum dapat dikonsumsi. Proses pengolahan pangan ini dilakilkan dengan berbagai tujuan, antara lain adalah untuk meningkatkan sanitasi pangan, peningkatkan daya simpan, merubah aroma, cita-rasa dan sebagainya. Pengolahan suatu bahan pangan menjadi makanan siap saji, sering kali menimbulkan kerus,&an kualitas pada bahan pangan tersebut secara urnurn, ataupun akan dapat menunulkan daya cerna protein yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut. Kerusakan pada mutu protein ikan dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah pengeringan, pemanasan atau pendinginan, penyimpanan, pengasapan dan sebagainya. Menurut Bender (1978) dalam
Mudjajanto (1991),
apabila protein mengalami proses pemanasan maka terhadap protein tersebut iikan terjadi perubahan. Perubahan tersebut antara lain adalah adalah : 1) Terjadinya perubahan pada struktur protein tersier, yakni akan terjadi proses denaturasi protein. Proses ini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai gizi, namun aktifitas protein sebagai enzim dan hormon pada bahan pangan tersebut akan hilang. 2) Terjadinya proses reduksi pada substansi protein berakibat terjadinya proses pengikatan antara lisin dan kelompok tereduksi. Senyawa yang terbentuk tidak dapat
dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Reaksi tersebut terjadi umumnya terjadi pada proses Mailard atau reaksi pencoklatan non enzimatis. 3). Protein dapat tereduksi menjadi senyawa lain atau asam amino. Kejadian ini biasanya akan menurunkan nilai kecernaannya. 4). Pemanasan yang lebih intensif seperti pemanggangan akan menyebabkan kerusakan yang cukup besar karena terjadi ikatan silang dari poliamin, sehingga protein akan kehilangan fungsi biologisnya dan juga flavor yang berbed;~. Kerusakan pada protein akibat pemanasan dapat terjadi melalui beberapa alternatif proses antara lain degradasi lisin akibat adanya reaksi otooksidasi lemak yang umumnya terjadi pada suhu di bawah 100 "C atau suhu ruangan dan reaksi yang tidak dipengaruhi oleh lemak. Menurut Mauron (1986), ikan yang dipanaskan pada suhu yang relatif tinggi, dengan waktu yang lama akan mengalami degradasi lisin hanya jika kadar air pada saat dipanaskan lebih dari 10%. Kerusakan pada protein dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yakni: a) Kerusakan akibat terjadinya reaksi Maillard. Reaksi ini awalnya ditemukan oleh seorang ahli kimia Perancis bernama Louis Camille Maillard pada tahun 1912, yang pada saat itu meneliti formasi dari pigmen coklat (melanoidin) yang ditemui pada pemanasan glukosa dan glisin. Reaksi yang ditemukannya kemudian disebut sebagai reaksi Maillard, dan berkembang ke arah terjadinya reaksi-reaksi yang sejenis, yakni antara asam amino dengan gula, aldehid atau keton (Hurrel, 1984) Reaksi Maillard terbentuk dari sejumlah reaksi kimia yang melibatkan gilgus fungsi amino dan karbonil, dan menghasilkan sejumlah komponen volatil yang berperan terhadap flavor (rasa dan aroma). Reaksi ini amat dipengaruhi oleh
suhu, pH, kadar air dan jenis dari pereaksi (yaitu jenis gula dan sumber asam amino) pada saat terjadinya reaksi. Dari kajian yang dilakukan oleh Hwang dan Ho (1995) tentang reaktivitas asam amino dalam reaksi Maillard, diketahui bahwa lisin merupakan asam amino yang paling reaktif dalam reaksi Maillard, karena memiliki gugus asam amino bebas di dalam rantai protein. Gugus asam amino bebas ini akan bereaksi dengan gula pereduksi menuju tahapan proses pembentukan melanoidin. b) Penurunan daya cerna akibat terjadinya reaksi biokimiawi dari asam amino. Pemanasan protein khususnya pada protein ikan akan menyebabkan terjadinya denaturasi yang berupa pemecahan struktur sekunder dan lebih tinggi dari protein, tanpa perubahan rantai asam amino. Denaturasi yang disebabkan oleh panas ini selalu bersifat irreversibel atau tidak dapat dikembalikan seperti sernula (FAO, 1981 dalam Rimbawan 1992). c) Kerusakan akibat alkali dan reaksi oksidasi Reaksi antara alkali dan protein akan menyebabkan terbentuknya asam amino baru yang sifatnya tidak tersedia bagi tubuh. Demikian juga halnya dengan terjadinya reaksi antara protein dengan oksigen atau oksidasi.
Bioavailabilitas Lisin Bioavailabilitas lisin adalah jumlah lisin terabsorbsi yang dapat dimanfaatkan oleh mahluk hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Nilai bioavalabilitas lisin umumnya berada di bawah nilai daya cerna protein ataupun lebih rendah dari jumlah lisin yang dapat diabsorbsi oleh usus.
Diantara semua asam amino esensial, lisin merupakan satu-satunya asam amino yang digunakan secara luas dalam pelaksanaan penelitian pengukuran bioavailabilitas dengan metode kimiawi. Keadaan ini disebabkan karena reaktivitas lisin yang cenderung menggambarkan komponen-komponen yang ada dalam pangan, dan karena lisin sering merupakan asam amino pembatas pertama. Pada suatu saat komponen lisin dapat terdeteksi keberadaannya namun sebenarnya lisin tersebut 'tidak tersedia' bagi tubuh. Situasi ini dapat menunjukkan bahwa lisin berada drzlam status tercerna (digested,) namun tidak tersedia (non-bioavailable). Ketidak tersediaan ini terjadi antara lain karena lisin yang terdapat dalam bahan pangan telah terkomposisi menjadi komponen Mailard karena adanya reaksi antara gula pereduksi dan protein, yang ditimbulkan oleh adanya pemanasan dengan suhu tinggi atau pada waktu yang lama Salah satu cara untuk menggambarkan kerusakan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard adalah dengan mengukur lisin tersedia yang tersisa (Holguin dan Nakai, 1980) Lisin adalah satu-satunya asam amino essensial yang memiliki gugusan alsam amino bebas (&-amino)dalam bentuk terkondensasi dalam rantai peptida (Carpenter, 1973). Gugus amino ini dapat bereaksi secara kimia dengan banyak unsur pokok selama pembuatan dan penyimpanan bahan makanan (Finot dan Hurrel, 1985).
Gambar 2. Struktur Kimia Lisin
Asam amino lisin (asarn a-E-diaminokaproat) masih mengandung satu gugus amino bebas walaupun asam amino itu terkondensasi. Oleh karena itu asam arnino lisin mudah sekali bereaksi dengan senyawa lain melalui gugus epsilon arnino bebasnya tersebut. Gugus epsilon amino ini dapat bereaksi dengan gugus metil dari residu alanin membentuk lisinoalanine. Jika kedua residu asam amino tersebut terdapat pada satu rantai protein maka terjadi ikatan silang intra atau inter molekul (Bjarnarson dan Carpenter, 1970). Melalui analisa kandungan asam amino essensial dalam bahan pangan niaka dapat dinilai kualitas gizi bahan pangan tersebut. Bahan yang mengandung asam amino yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan calatan bahwa asam-asam amino tersebut available atau tersedia bagi tubuh. Nilai gizi suatu protein juga ditentukan dengan menggunakan analisa daya cerna dan dilanjutkan dengan analisa untuk menentukan bioavailabilitas suatu asam amino. Bioavailabilitas asam amino dalam bahan pangan adalah jumlah asam arnino yang dapat diabsorbsi oleh usus dan digunakan oleh tubuh untuk sintesis protein atau metabolisme yang spesifik (Finot dan Hurrel, 1985). Southgate (199 I), menyatiikan bahwa bioavailabilitas zat gizi adalah bagian dari zat gizi yang dapat dicr:rna, diabsorbsi dan dimetabolisme oleh tubuh secara normal. Asam-asam amino merljadi tidak tersedia apabila mereka tidak dapat dihidrolisis dari ikatan peptida proteinnya oleh enzim-enzim proteolitik. Pengawetan dan pengolahan pangan berprotein !rang tidak terkontrol dengan baik juga dapat menurunkan daya cerna dan bioavailabilitas asam amino esensial (Muchtadi, 1989). Bioavailabilitas lisin merupakan petunjuk
yang penting untuk mendeteksi kerusakan kualitas protein yang disebabkan oleh proses pengolahan. Pemanasan yang terlalu berlebihan pada bahan pangan yang kaya protein seperti ikan dan susu akan menyebabkan kerusakan pada lisin. Bahan pangan yang mempunyai kandungan gula pereduksi yang tinggi seperti susu amat rentan terhi~dap kerusakan akibat pemanasan, terlebih lagi jika pemanasan terjadi pada saat kelembaban bahan berkisar antara 50-250 grlkg.
Pada situasi tersebut ballkan
penyimpanan di daerah tropis mampu menimbulkan kerusakan. Perusakan atas lisin ini terjadi akibat adanya reaksi yang melibatkan komponen E-NH2 (Pellett dan Young, 1980) Beberapa metoda pengukuran telah dikembangkan untuk menganalisa tingkat kerusakan lisin, yang kesemuanya menggunakan konsep mengukur kerusakan !rang timbul akibat proses hidrolisa enzim pada protein yang tidak sempurna. Beberapa penelitian dilakukan dengan menggunakan Metode Enzimatik In Vitro. Dari beberapa kajian diketahui bahwa terdapat korelasi yang positif atas hasil analisa in vitro dan hasil kajian secara in vivo dengan menggunakan hewan, walaupun secara absolut penelitian secara in vitro menunjukkan hasil yang lebih rendah (Pellett dan Young, 1980 ). Metode Evaluasi Kualitas Protein
Dalam bidang biokimia terdapat berbagai metode untuk menguji kualitas dari protein yang terdapat suatu bahan pangan. Setiap metode mempunyai kelemahan dan kelebihan, dan umumnya setiap metode bersifat spesifik untuk suatu menganalisa
suatu asam amino tertentu. Metode analisa tersebut sebagian besar dikembangkan untuk mengkaji Essential Amino Acid (EAA) atau Asam Amino Essensial yang runat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia khususnya EAA yang bersifat sebagai asam amino pembatas. Secara umum metode evaluasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni evaluasi yang bersifat in-vitro yakni assay kimiawi atau mikrobilogis dan evaluasi yang in-vivo yakni assay yang menggunakan mahluk hidup sebagai sarana pengkajian atau sering disebut sebagai bio-assay. Metode kimiawi yang umum digunakan adalah metode Kjehdahl !rang mengukur jumlah protein yang terkadung dalam suatu bahan pangan, dan biastmya kajian ini dilanjutkan dengan analisa komposisi kandungan asarn amino murni dari protein bahan pangan. Analisa kualitas ini kemudian diperdalam dengan melakukan analiasa bioavalabilitas asam amino tersebut, karena lisin merupakan salah satu asarn amino pembatas maka umumnya digunakan lisin sebagai salah satu tolok ukur kualitas protein. Pengukuran bioavailabilitas lisin umumnya dilaksanakan de~igan menggunakan metode FDNB (1-fluoro-2,4-dinitrobenzene). Bahan ini bersifat reaktif terhadap lisin maka dari analisa jumlah FDNB yang dipergunakan untuk bereaksi dengan lisin maka dapat diduga kandungan lisin dalam suatu bahan. Sejumlah brihan yang telah mengalami kerusakan lisin, pada umumnya lisin c-NH2 bebas yang merupakan kelompok lisin dan terkandung pada protein telah bereaksi dengan suatu komponen dari karbohidrat (laktosa, sukrosa) membentuk dinitrophenil (DNP) yang
merupakan derivatif dari FDNB sehingga EAA tersebut menjadi tidak tersedia bagi mahluk (Pellett dan Young, 1980) FDNB yang bereaksi terhadap lisin ini dapat diukur dengan berbagai ma.cam prosedur, tetapi yang menjadi masalah utamanya adalah tentang cara meminimalkan hilangnya DNP-lisin pada proses hidrolisa. Metode FDNB ini telah terbukti dapat digunakan sebagai indikator akurat untuk menguji kualitas protein dari bahan pangan yang berasal dari ikan dan daging. Namun akurasi metode ini dapat terganggu apabila terjadi proteolisis pada bahan mentah yang digunakan. Metode TNBS (trinitrobenzenesulphonic acid) merupakan alternatif dari penggunaan FDNB karena beberapa kelebihannya seperti tidak berbahaya bagi pemakai, larut dalam air, namun bersifat amat sensitif terhadap kompen Mailard sehingga tidak cocok untuk digunakan dalam analisa beberapa bahan pangan tertentu (Pellett dan Young, 19810).
Uji Organoleptik Menurut Rahayu (1998), dalam uji organoleptik, indera yang berperan dalam pengujian adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran. Untuk produk pangan, yang paling jarang digunakan adalah indera pendengaran. Dalam melakukan suatu penilaian panelis harus dilatih mengguni~kan indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan terhadap suatu rangsangan. Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel.
Dalam
penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik dari suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelonlpok
yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel perorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak.
Perbedaan
ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Rahayu, 1998). Dalam penelitian ini digunakan uji hedonik atau uji kesukaan
yang
merupakan satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang uji kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan.
Tingkat
kesukaan ini disebut orang sebagai skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan amat sangat tidak suka. Skala hedonik dapat direntangkan atau diperkecil menurut skala !rang dikendaki.
Dalam analisisnya skala hedonik ditransformasikan menjadi skala
numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adrinya perbedaan (Rahayu, 1998). Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau brihan yang menyebabkan orang menyenangi.
Dalam ha1 ini panelis mengemukrikan
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1985).
Warna
Menurut Sukarni dan Kusno (1980), yang termasuk dalarn faktor-faktor rupa diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk. Selanjutnya L,owe (1955) dalam Hardinsyah, Setiawan dan Maryati (1989), berpendapat bahwa ha1 pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihatan, Jraitu warna, bentuk, ukuran dan sifat perrnukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan sebagainya. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan, karena meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang (Moehyi, 1992). Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan dari makanan, seperti makanan dari penyimpanan wamanya mungkin akan berubah, oleh karena itu mendapatkan warna yang sesuai dan menarik haws digunakan teknik memasak tertentu atau dengan penyimpanan yang baik (Sukarni dan kusno, 1980). Tekstur Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, langit-langit (tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas makanan. Menurut Sukarni, dan Kusno (1980) termasuk dalam faktor tekstur diantari~nya adalah rabaan oleh tangan, keempukan, mudah dikunyah. Selain itu termasuk juga kerenyahan makanan.
Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat
mempengaruhi kualitas tekstur makanan yang dihasilkan.
Kekenyalan
Kekenyalan didefinisikan oleh Soekarto (1990), sebagai sifat reologi produk pangan yang bersifat deformasi.
Gaya tekan terhadap produk mula-~nula
menyebabkan deforrnasi produk, baru kemudian memecahkan produk setelah produk itu mengalami deformasi bentuk.
Aroma
Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas yang berbeda dan meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi memiliki kesukaan yang berlainan (Sukarni dan Kusno, 15180). Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu cara memasak yang berbeda akan menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 1992). Rasa
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang mempengaruhi cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri (Moehyi, 1992). Rasa merupi~kan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar manis, asin, asam dan pahit (Nasoetion, 1980). Pada konsumsi tinggi indera pengecap akan mudah mengenal rasa-rasa d.asar tersebut. Beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan dan bahan makanan, keempukan makanan atau
kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, tingkat kematangan dan tempeiratur makanan.