TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) Buckle et al. (1987) menyatakan bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari metabolisme gula. Asam laktat yang dihasilkan dengan cara tersebut akan menurunkan nilai pH dari lingkungan petumbuhannya dan menimbulkan rasa asam. Hal ini juga dapat menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis organisme lainnya. Dua kelompok kecil mikroorganisme ini yaitu organisme-organisme yang bersifat homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis-jenis homofermentatif menghasilkan hanya asam laktat dari metabolisme gula sedangkan jenis-jenis heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan asam-asam volatil lai, alkohol dan ester disamping asam laktat. Buckle et al. (1987) menyatakan, beberapa jenis terpenting dalam kelompok ini adalah Streptococcus thermophilus, S. lactis dan S. cremoris, bakteri Gram positif berbentuk bulat sebagai rantai. Pediococcus cerevisae, bakteri Gram positif berbentuk bulat, khususnya terdapat berpasangan atau berempat, berperan penting dalam fermentasi daging dan sayuran. Leuconostoc mesentereoides, L. dextranicum, bakteri Gram positif berbentuk bulat yang terdapat secara berpasangan atau rantai pendek, berperan dalam perusakan larutan gula dengan produksi pertumbuhan dekstran berlendir. Lactobacillus lactis, L. acidophilus, L. bulgaricus, L. plantarum, L. delbrueckii, bakteri berbentuk batang, Gram positif dan sering membentuk pasangan dan rantai dari sel-selnya, lebih tahan terhadap keadaan asam daripada Pediococcus atau Streptococcus dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 Pederson et al. (1957) menyatakan L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, umumnya panjang dan kecil, tidak motil, dan Gram positif. Lactobacillus mampu merombak glukosa dan heksosa aldehid yang serupa, merombak karbohidrat menghasilkan gula sederhana dan merupakan polihidroksil alkohol, baik secara homofermentatif maupun
3
heterofermentatif. Jenis yang kurang dapat bertahan
hidup dengan baik di
permukaan karena bakteri ini termasuk jenis mikroaerofilik atau organisme anaerob. Pederson et al. (1957) menjelaskan L. plantarum adalah bakteri berbentuk batang, berukuran 0.7 – 1.0 dan 3.0 – 8.0 mikron, tunggal atau berbentuk rantairantai pendek, pada bagian ujung melingkar. Organisme ini mempunyai bentuk batang pendek pada kondisi lingkungan yang sesuai dan berbentuk lebih panjang jika kondisi
lingkungannya
kurang
menguntungkan.
Termasuk
golongan
o
homofermentatif dengan suhu pertumbuhan minimum 10 C, maksimum 40 oC dan optimum pada 30 oC. L. plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus sp. 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikrob tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan S. aureus. Senyawa antimikrob yang diproduksi oleh Lactobacillus sp. 2C12 mengandung
bakteriosin.
Berdasarkan
hasil
identifikasi,
bakteriosin
yang
diproduksinya disebut plantaricin. Arief (2005) menyatakan L. plantarum 1A5 merupakan isolat bakteri asam laktat kelima dari daging sapi yang berasal dari Pasar Anyar Bogor dengan umur 9 jam postmortem pada suhu ruang. Permanasari (2008) menyatakan substrat antimikrob yang dihasilkan oleh L. plantarum 1A5 didominasi oleh asam organik mempunyai aktivitas penghambatan paling besar terhadap ketiga bakteri uji (S. aureus ATCC 25923, E. coli ATCC 25922 dan S. typhimurium ATCC 14028). Aktivitas penghambatan tersebut ditunjukkan dengan diameter zona hambat terhadap S. aureus ATCC 25923 dengan rataan 8,99 mm; terhadap E. coli ATCC 25922 dengan rataan 7,87 mm dan terhadap S. typhimurium ATCC 14028 dengan rataan 11,76 mm. Selain itu nilai konsentrasi penghambatan minimumnya terhadap ketiga bakteri uji yaitu 90%. Firmansyah (2009) melaporkan, L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 adalah bakteri dengan bentuk batang (basil) dengan susunan tunggal atau pendek, memiliki karakteristik katalase negatif dan merupakan bakteri Gram positif. Keempat isolat tersebut mampu bertahan pada kondisi media tumbuh mengandung NaCl 6,5%.
4
Isolat 1B1, 2B2 dan 2C12 masih dapat tumbuh pada suhu 15 oC dan dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37 oC dan 45 oC. L. plantarum 1A5 mampu tumbuh dengan baik pada suhu 15 oC dan sangat baik tumbuhnya pada suhu 37 oC dan 45 oC, bakteri ini masih termasuk bakteri mesofilik namun pada suhu rendah bakteri ini pertumbuhannya lebih baik karena mudah beradaptasi. Isolat 1B1 dan 1A5 merupakan bakteri yang paling tahan terhadap asam kuat dan garam empedu. Isolat 1B1 lebih sensitif terhadap kloramfenikol daripada antibiotik amoksilin, sedangkan 1A5 lebih mampu tumbuh pada media yang mengandung amoksilin dibandingkan dengan menggunakan kloramfenikol. Antimikrob Fardiaz (1992) menjelaskan senyawa antimikrob adalah senyawa kimiawi atau biologis yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Komponen antimikrob terdapat dalam bahan pangan melalui berbagai cara, yaitu terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, ditambahkan secara sengaja ke dalam makanan dan terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi pangan. Fardiaz (1992) menjelaskan, senyawa antimikrob dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikrob dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi zat pengawet, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), sifat-sifat fisik dan kimia makanan, termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya. Fardiaz (1992) juga menjelaskan secara umum produksi antimikrob pada bakteri asam laktat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya fase perumbuhan, pH media, suhu inkubasi, aerasi, jenis karbon, jenis sumber nitrogen, konsentrasi NaCl. Kim et al. (1993) menjelaskan fase pertumbuhan bakteri terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan statis, fase menuju kematian, dan fase kematian. Lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
5
adalah medium dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum yang diinokulasikan. Mekanisme Penghambatan Antimikrob Pelczar
dan
Rheid
(1986)
menyatakan
mekanisme
penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikrob yaitu dengan cara merusak dinding sel sehingga lisis maupun mengubah atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler. Beberapa cara antimikrob dalam aksinya melawan mikroorganisme yaitu memberikan efek bakteriostatik dan bakterisidal. Gonzales et al. (1996) menyatakan sifat bakteriostatik akan menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan kematian. Sifat bakterisidal berhubungan dengan kemampuan senyawa untuk menyebabkan lisis sel mikroorganisme. Ray (2004) menyatakan, isolat-isolat bakteri Gram positif sensitif terhadap bakteriosin dengan spektrum yang sangat bervariasi, sedangkan bakteri Gram negatif resisten terhadap bakteriosin. Namun, beberapa bakteri Gram negatif menjadi sensitif mengikuti perusakan struktur lipopolisakarida pada permukaan sel secara fisik dan tekanan kimia. Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien dalam menghambat bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat hidrofilik dan dapat menghalangi aksi bakteriosin. Ray (2004) juga menjelaskan bakteriosin yang berasal dari BAL bersifat bakterisidal terhadap sel sensitif dan dapat mengalami kematian dengan sangat cepat pada konsentrasi yang rendah. Beberapa bakteriosin mempunyai sifat bakterisidal terhadap strain bakteri patogen dan spesies yang berkerabat dekat tetapi beberapa strain efektif melawan banyak strain dalam spesies dan genera yang berbeda. Namun, sel penghasil bakteriosin akan mengalami ketahanan terhadap bakteriosin yang dihasilkannya sendiri, hal ini karena memperoleh ketahanan protein yang spesifik. Jack et al. (1995) menyatakan penentuan aktivitas antimikrob merupakan terjadinya interaksi awal antara molekul-molekul kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di permukaan sel, salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat merupakan reseptor bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri Gram positif. 6
Selanjutnya, aksi bakterisidal dari bakteriosin melawan sel yang sensitif akan dihasilkan melalui destabilitas fungsi dari sitoplasmik, berupa peningkatan permeabilitas membran sehingga mengganggu keseimbangan barier dan dapat mengakibatkan kematian sel. Bakteriosin Bakteriosin menurut Klaenhammer et al. (1990) adalah protein atau peptida yang disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain. Jack et al. (1995) menyatakan bakteriosin dikarakterisasi sebagai suatu senyawa yang bersifat letal terhadap interspesies meliputi beberapa kriteria umum, antara lain mempunyai spektrum aktivitas yang relatif sempit terpusat pada spesies yang filogenik, senyawa aktifnya berupa fraksi protein berukuran 20-60 asam amino yang disintesis di ribosom, bersifat bakterisidal dan tahan panas, memiliki reseptor spesifik pada sel sasaran dan gen determinan terdapat pada plasmid yang berperan dalam sintesis dan tidak membunuh strain penghasil. Riley dan Chavan (2007) menyatakan kondisi bakteri di laboratorium ditumbuhkan pada media monokultur dan pada kondisi mudah stress karena kelebihan nutrisi sehingga mempermudah pelepasan bakteriosin. Namun, beberapa perlakuan sering kali suhu pertumbuhannya ditinggikan yang dapat mengeliminasi plasmid bakterisoin tersebut. Riley dan Chavan (2007) menyatakan metode menggunakan media agar adalah metode yang sering digunakan untuk mendeteksi keberadaan bakteriosin secara in vitro, namun beberapa bakteriosin harus berada di dalam media cair. Adapun nutrisi tambahan yang dapat meningkatkan produksi bakteriosin adalah dengan menambahkan yeast extract (YE) (meningkatkan produksi mutacin), glukosa (berpengaruh terhadap penahanan katabolit dari bakteriosin streptococcal) dan ion magnesium (menahan ekspresi lantibiotik). Matsuaki et al. (1996) menyatakan produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tingkat sumber karbon, nitrogen, dan phosfat yag terdapat dalam media. Sumber karbohidrat yang berbeda menghasilkan bakteriosin yang berbeda pula. Nisin adalah bakteriosin yang diproduksi dari penambahan glukosa, sukrosa dan xylosa oleh Lactococcus lactis 10-1.
7
Tagg et al. (1976) menyatakan bahwa mekanisme bakteriosin cendrung melawan kelompok bakteri Gram positif, yakni adanya sedikit pengaruh dari molekul reseptor atau pelepasan bakteriosin dari sel penghasil ditingkatkan oleh pengaruh lisin atau bakteriosin yang dilepas dalam bentuk protein. Membran terluar pada dinding sel bakteri Gram positif meniadakan kemungkinan pengaruh molekul reseptor yang terjadi pada bakteri Gram positif dengan bakteri yang sensitif. Potensi letal bakteriosin asal bakteri Gram positif terhadap bakteri tergantung pada kecocokan antara permukaan serangan dan interaksi molekul hidrofobik. Klaenhammer (1988) menjelaskan, bakteriosin yang dihasilkan oleh beberapa BAL telah diketahui mempunyai aktivitas hambat terhadap bakteri pembusuk dan patogen makanan yang dapat meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan. Klaenhammer (1988) mengelompokkan bakteriosin menjadi empat, yaitu: 1. Lantibiotik, merupakan bakteriosin yang mengandung cincin peptida lantion dalam molekulnya, contohnya Nisin, Lactinin 481, Lactinin S, Streptococcin SA-FF22. 2. Bakteriosin kecil (<10 kDa), relatif tahan panas, peptide pada sisi aktifnya tidak mengandung lantionin. Kelompok kedua ini dibagi lagi dalam tiga sub kelas. Kelas IIa mempunyai peptide listria aktif dengan sekumpulan sekuen N terminal. Kelas IIb adalah kelompok bakteriosin yang biasanya membentuk komplek berpori dengan aktivitas dua peptide yang berbeda. Kelas IIc adalah bakteriosin yang memerlukan peptide teraktifasi-tiol untuk mengurangi residu sistein dalam aktivitasnya. 3. Bakteriosin bermolekul protein besar (> 30 kDa) dengan protein tidak tahan panas, contoh Helvetion J dan Brevicin 27. 4. Bakteriosin yang mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen kerbohidrat maupun lipid, contoh Plantarisin S yang mengandung glikoprotein. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Penghambatan mikroba oleh suatu senyawa antimikrob dapat dinyatakan dalam nilai minimum inhibitory concentration (MIC). Consentino (1999) mendefinisikan MIC sebagai konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% dari inokulum asal selama inkubasi 24 jam.
8
Nilai MIC menurut Naufalin (2005) merupakan senyawa antimikrob yang lebih rendah menunjukkan bakteri lebih sensitif terhadap senyawa tersebut. Thompson dan Hintom (1996) menambahkan fase pertumbuhan berpengaruh terhadap sensitifitas bakteri terhadap antimikrob asam lemah rantai pendek pada fase pertumbuhan. Hal ini disebabkan penambahan asam rantai pendek seperti propionat pada fase pertumbuhan. Menurut Massilia et al. (2006), penghambatan mikroba oleh suatu senyawa antimikrob dinyatakan dengan nilai MIC yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% dari inokulum asal selama inkubasi 24 jam. Syahniar (2009) melaporkan, konsentrasi minimum penghambatan atau nilai MIC terhadap S. aureus ATCC 25923 ditunjukkan oleh 70% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5. Konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 sebesar 70% tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri indikator hingga mencapai (4,39 ± 0,9) log cfu/ml selama 24-48 jam masa inkubasi. Nilai MBC bakteriosin kasar 1A5 ditunjukkan oleh konsentrasi sebesar 80% yang dapat membunuh 3 log cfu/ml S. aureus ATCC 25923 hingga mencapai (3,46 ± 0,6) log cfu/ml selama 24-48 jam masa inkubasi. Bakteri Patogen Fardiaz
(1992) menjelaskan, bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan
terbagi menjadi bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi dan infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen yang berkembang di dalam bahan makanan, sedangkan infeksi yaitu bakteri yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang diamati sebagai bakteri pembusuk dan patogen pada produk fermentasi adalah dari famili Enterobacteriaceae, di dalamnya termasuk famili Enterobacter, Erwinia, Citrobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Serattia, Shigella dan Yersinia. Staphylococcus aureus Sel-sel S. aureus menurut Buckle et al. (1987) adalah Gram positif berbentuk bola yang umumnya tersusun berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini tidak
9
bergerak, fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada produk-produk yang mengandung NaCl sampai 16%. Secara ekologis S. aureus erat sekali hubungannya dengan manusia dan hewan lainnya, terutama pada bagian kulit, hidung dan tenggorokan. Fardiaz (1992) menyatakan kebanyakan S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Beberapa galur, terutama yang bersifat patogen, memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik dan β-hemolitik. Bakteri ini sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus serta dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi bisul, pneumonia, mastitis pada hewan. Supardi dan Sukamto (1999) menyatakan suhu optimimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 0C, suhu minimum 6.7 0C dan suhu maksimum 45.5 0C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8 dengan pH optimum sekitar 7.0-7.8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya mungkin apabila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya. Jay (2000) menjelaskan, S. aureus membutuhkan asam amino sebagai sumber nitrogennya, thiamin serta asam nikotinat atau vitamin B. Bakteri ini tumbuh dalam kondisi anaerob sehingga dibutuhkan urasil, sedangkan tumbuh pada kondisi aerob dan menghasilkan enterotoksin dibutuhkan monosodium glutamat sebagai sumber karbon, nitrogen dan energi. S. aureus memiliki toleransi yang tinggi pada senyawa seperti tellurit, merkuri klorida, neomycin, polymyxin dan sodium azide. Bacillus cereus Pelczar dan Rheid (1986) menyebutkan B. cereus berbentuk batang berukuran 0,3-2,2 x 1,27-7,0 µm, sebagian besar motil dengan flagellum khas lateral. Gaman dan Sherington (1992) menyatakan, B. cereus sel-selnya berbentuk batang dan umumnya cukup besar, merupakan Gram positif dan sering bergerak dengan flagella peritrichous. Bacillus bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik (katalase positif). Anggota genus ini menghasilkan berbagai jenis enzim perusak karbohidrat, lemak dan protein. B. subtilis, B. coagulans dan B. stearothermophilus dikenal sebagai penyebab keasaman dari makanan kaleng karena fermentasi gula yang dikandung bahan pangan tersebut. B. cereus, Clostridium perfringens dan Clostridium botulinum adalah penyebab keracunan makanan pada manusia.
10