II.TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri Asam Laktat (BAL) termasuk kelompok bakteri baik bagi manusia dan umumnya memenuhi status GRASS (Generally Recognize As Safe), yaitu aman bagi manusia. Kelompok bakteri ini tidak membusukkan protein dan dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat secara fermentatif menjadi asam laktat sehingga disebut bakteri asam laktat. Istilah BAL juga dihubungkan dengan bakteri yang berperan dalam fermentasi makanan dan pakan, serta bakteri yang berhubungan dengan kesehatan permukaan mukosa hewan dan manusia (Axselsson 2004). BAL bersifat Gram positif, tidak membentuk spora, dapat berbentuk koki, kokibasili atau batang, dan mempunyai komposisi basa DNA kurang dari 50% mol G + C. BAL pada umumnya tidak bersifat katalase dan membutuhkan karbohidrat yang difermentasi untuk pertumbuhannya (De Vuyst dan Vandamme 1994). Klasifikasi bakteri asam laktat menjadi beberapa genus didasarkan pada perbedaan morfologi, jenis fermentasi glukosa, perbedaan suhu pertumbuhan, produksi asam laktat, kemampuan untuk tumbuh pada konsentrasi garam tinggi, dan toleransi terhadap asam, alkali, serta garam yang berbeda-beda. Pada pengklasifikasian beberapa genus baru, penambahan karakteristik seperti komposisi asam lemak dan sifat motil juga digunakan sebagai dasar. Klasifikasi terbaru menggolongkan BAL ke dalam 20 genus, namun dari sudut pandang teknologi pangan hanya terdapat 12 genus BAL yang utama, yaitu : Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Oenococcus, Weisella dan Vagococcus (Axelsson 2004). Ditinjau dari hasil metabolisme glukosa, BAL terbagi menjadi dua golongan, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif (Surono 2004). Menurut Axelsson (2004), BAL yang hanya memproduksi asam laktat melalui jalur glikolisis disebut homofermentatif, sedangkan yang memproduksi zat-zat lain disamping asam laktat (asam laktat terbanyak) melalui fosfoketolase disebut heterofermentatif. Leuconostoc, Oenococci, Weissela dan beberapa Lactobacilli termasuk kelompok bakteri heterofermentatif dan selainnya adalah bakteri homofermentatif (Axelsson 2004). Jalur fermentasi BAL homofermentatif dan heterofermentatif dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. BAL homofermentatif melibatkan jalur Embden Meyerhof, yaitu glikolisis, menghasilkan asam laktat, 2 mol ATP dari 1 molekul heksosa dalam kondisi normal, dan tidak menghasilkan CO2. Secara umum BAL homofermentatif digunakan dalam fermentasi susu menjadi yogurt. Selain itu, dapat juga dimanfaatkan untuk menghasilkan asam laktat sebagai asidulan dalam industri makanan dan industri polilaktat suatu industri polimer atau plastik ramah lingkungan (Surono 2004). Jalur 6-fosfoglukonat/fosfoketolase digunakan oleh BAL heterofermentatif dalam memetabolisme gula. Selain menghasilkan asam laktat, BAL heterofermentatif juga menghasilkan etanol, CO2, asam asetat, dan manitol serta 1 mol ATP dari heksosa dan tidak mempunyai enzim aldolase. BAL jenis ini banyak dimanfaatkan dalam industri susu untuk menghasilkan keju, senyawa citarasa, dan pengental yaitu eksopoliskarida (Surono 2004). BAL memerlukan nutrisi yang sangat kompleks dalam pertumbuhannya. Oleh karena itu, umumnya habitat BAL kaya akan nutrisi seperti berbagai jenis makanan yaitu susu, daging, dan sayuran. Selain pada makanan, beberapa jenis BAL juga merupakan bakteri mulut, saluran
usus, dan vagina dari mamalia (Axelsson 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup BAL sangat beragam, namun komposisi kimia dan kandungan nutrisi pada habitatnya adalah yang paling berpengaruh (Surono 2004).
Gambar 1. Jalur fermentasi BAL homofermentatif (Todar 2009)
4
Gambar 2. Jalur fermentasi BAL heterofermentatif (Todar 2009)
5
Air Susu Ibu (ASI) juga merupakan salah satu sumber BAL. Menurut Salminen et al. (2004), ditemukan strain Bifidobacterium bifidum (yang kemudian dikenal Lactobacillus bifidus) di dalam ASI. Hal ini berkaitan dengan keberadaan N-acetylglucosamine sebagai faktor bifidus di dalam ASI, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus (Surono 2004). Nuraida et al. (2007) telah melakukan penelitian terhadap isolat klinis bakteri asam laktat yang diisolasi dari ASI. Isolat yang teridentifikasi diantaranya adalah Streptococcus homofermentatif, Lactobacillus heterofermentatif, dan Lactobacillus homofermentatif. BAL dapat memproduksi senyawa antimikroba berupa produk asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin (De Vuyst and Vandamme 1994). Menurut Salminen et al. (2004), asam organik (asam laktat dan asam asetat) menyebabkan penurunan pH sitoplasma yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Hal ini disebabkan akumulasi anion yang terbentuk menyebabkan penurunan laju sintesis makromolekul dan mempengaruhi perpindahan senyawa melalui membran sel.
B. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK Menurut Fuller (1989) yang dikutip oleh Agrawal (2005) probiotik adalah mikroba hidup yang sangat menguntungkan bagi manusia dan hewan karena dapat meningkatkan keseimbangan mikroflora usus. Seleksi mikroba khususnya bakteri asam laktat (BAL) sangat diperlukan untuk mendapatkan strain-strain probiotik yang unggul. Hal tersebut dikarenakan tidak semua BAL berpotensi sebagai probiotik. Definisi lain probiotik menurut Winarno (1997) adalah suatu preparat yang terdiri dari mikroba hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia atau ternak secara oral. Probiotik diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan manusia atau ternak, dengan cara memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba alami yang tinggal di dalam saluran pencernaan makhluk hidup yang dimaksud. Untuk dapat memberikan manfaat sepenuhnya, galur probiotik harus dapat mengkoloni usus minimal untuk sementara atau dalam jangka waktu pendek (Jenie 2003). Salminen et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu probiotik, diantaranya adalah: (1) bersifat nonpatogenik dan mewakili mikrobiota normal pada usus inangnya, serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus, (2) dapat tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus halus, (3) mampu mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus inangnya, (4) dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri patogen, (5) mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan. Makanan, minuman atau suplemen probiotik biasanya mengacu pada bakteri hidup. Produk probiotik dapat berupa bakteri kering beku, dalam bentuk tablet, kapsul, produk fermentasi susu seperti yoghurt, dan susu manis acidophillus (Salminen et al. 2004) yang dikonsumsi manusia dan hewan yang memberikan efek menguntungkan dengan memperbaiki sifat dari mikroflora indogenus. Produk yang mengandung probiotik dikategorikan sebagai pangan fungsional (Kneifel et al. 1999; Hoover 2000) dan di Indonesia hal ini telah resmi
6
dinyatakan dalam Peraturan Pangan Fungsional dari BPOM tahun 2005, namun belum secara spesifik dinyatakan regulasi dan jumlah minimal kandungannya. Nousiainen et al. (2004) merekomendasikan dosis probiotik dalam diet berkisar antara 6 7 10 -10 CFU/g untuk dapat memberikan efek yang diinginkan. International Diary Federation (IDF) memberikan standar jumlah minimum probiotik hidup sebagai acuan adalah 106 CFU/ml pada produk akhir (Indratingsih, 2004). Namun demikian, jumlah ini bukanlah nilai mutlak karena dosis efektif dari probiotik bersifat spesifik tergantung pada kemampuan probiotik untuk bertahan dan berpenetrasi pada saluran pencernaan inang (Nousiainen et al. 2004 di dalam Salminen et al. 2004). Terdapat beberapa efek kesehatan yang menguntungkan dari probiotik yaitu membantu mengurangi beberapa jenis penyakit dan masalah kesehatan. Beberapa penyakit yang dapat dikurangi diantaranya adalah infeksi enterik, diare, diare akibat obat antibiotik, konstipasi, dan kanker usus (Salminen et al. 2004). Probiotik juga dapat menghambat bakteri patogen dan melakukan metabolisme terhadap laktosa sehingga bermanfaat bagi penderita intoleransi laktosa (Rusilianti 2006). BAL yang dapat mencapai saluran pencernaan manusia dalam keadaan hidup adalah Bifidobacteria (B. bifidum, B. infantis, B. breve, B. adolescentis, dan B. longum), beberapa spesies Lactobacillus (L. acidophilus, L. salivarus, L. fermentum, L. casei, L. plantarum, L. brevis, dan L. buchneri), dan beberapa Enterococci (Yuguchi et al. 1992). Keberadaan bakteribakteri tersebut dalam saluran pencernaan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroflora dalam usus. Bakteri-bakteri tersebut menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen Listeria monocytogenes, Escherichia coli, dan Salmonella sp. (Jenie 2003). Penelitian tentang BAL sebagai probiotik telah banyak dilakukan. Erkkilä dan Petäjä (2000) telah mengisolasi strain Lactobacillus sake dan Pediococcus acidilactici dari daging yang berpotensi sebagai probiotik karena kemampuannya untuk bertahan dalam suasana asam dan konsentrasi garam empedu yang tinggi. Moyano et al. (2008) mengisolasi BAL yang berpotensi sebagai probiotik dari feses manusia. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh tujuh isolat BAL yang berpotensi sebagai probiotik, enam isolat teridentifikasi sebagai Lactobacillus casei dan satu isolat lainnya adalah Lactobacillus fermentum.
C. BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT ASI Air Susu Ibu (ASI) merupakan salah satu habitat BAL. ASI adalah cairan putih segar yang keluar dari kelenjar mamae seorang ibu sesaat setelah melahirkan bayi. ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresikan oleh kelenjar mamae ibu dan berguna sebagai makanan bagi bayinya (Siregar 2004). ASI pertama yang keluar berupa cairan berwarna kuning kental disebut kolostrom atau jolong. Kolostrom bertanggungjawab terhadap populasi mikroflora dalam usus bayi (Surono 2004). Kolostrom mengandung banyak sekali zat gizi yang sangat diperlukan bayi, salah satunya adalah faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus (Worthington dan Roberts 1993). Pada tahun 1889, Tissier, peneliti Prancis di laboratorium Prof. Pasteur, menemukan bahwa bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang meminum ASI adalah Bifidobacterium. Semula bakteri ini diberi nama Bacillus bifidus, bentuknya seperti huruf Y, dalam bahasa Latin disebut bifurcated, sehingga selanjutnya disebut Bifidobacterium (Surono 2004).
7
Berbagai penelitian mengenai BAL yang diisolasi dari ASI telah banyak dilakukan. Pada Tabel 1. disajikan beberapa strain BAL yang telah berhasil diisolasi dari ASI. Tabel 1. Kelompok dan spesies BAL yang diisolasi dari ASI Kelompok Bakteri Lactobacillus sp.
Spesies L. gasseri L. rhamnosus L. acidophilus L. plantarum L. fermentum
Enterococcus sp.
E. faecium E. faecalis
Sumber: Martin et al. (2004), berdasarkan hasil penelitian Gavin dan Ostovar (1977), West et al. (1979), Eidelman dan Szilagyi (1979), El-Mohandes et al. (1993), Wright dan Fenny (1998), Marta´ n et al. (2002), Heikkila dan Saris (2003), dan Xaus et al. (2003)
Selain hasil penelitian di atas, Nuraida et al. (2007) juga telah melakukan penelitian terhadap isolat klinis BAL yang diisolasi dari ASI. Isolat-isolat BAL yang diperoleh dari ASI tersebut diamati ciri fisiologis dan sifat biokimianya. Isolat-isolat BAL tersebut teridentifikasi sebagai Streptococcus heterofermentatif, Lactobacillus heterofermentatif, dan Lactobacillus homofermentatif. Hartanti (2007) dan Nuraida et al. (2007) lebih lanjut mengidentifikasi beberapa BAL yang telah diisolasi dari ASI, diantaranya adalah Lactobacillus A22, A23, B16, R14, R21, R23, dan R23H. Hasil pengamatan ciri fisiologis dan sifat biokimia menunjukkan kultur Lactobacillus rhamnosus A23, B16, R14, R21, R23, dan R23H serta Lactobacillus acidophillus A22 tergolong bakteri Gram positif, berbentuk batang, katalase negatif, mampu tumbuh pada suhu 10, 15, dan optimal tumbuh pada suhu 45oC, tidak menghasilkan CO2 dari fermentasi glukosa sehingga tergolong sebagai bakteri asam laktat homofermentatif kecuali Lactobacillus R23H, serta tidak menghasilkan dekstran dari fermentasi sukrosa. Bakteri-bakteri L. rhamnosus dan L. acidophillus isolat ASI ini dapat bertahan pada kondisi penambahan NaCl sampai konsentrasi 6.5% Beberapa BAL isolat ASI kemudian diikutsertakan dalam uji sifat probiotik. Berdasarkan hasil penelitian Hartanti (2007) dan Nuraida et al. (2007) isolat A22, A23, B16, R14, R21, dan R23 yang diuji secara in vitro menunjukkan ketahanan hidup yang baik pada kondisi pH asam (pH 2 selama 5 jam) dan konsentrasi garam empedu sebesar 0.5%, serta memiliki daya hambat terhadap Bacillus cereus, Salmonella typhimurium, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2009) menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki daya penghambatan terhadap Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) di atas 1 log dengan jumlah EPEC 105 CFU/ml dan jumlah isolat BAL 106 CFU/ml. Berdasarkan hasil uji tersebut, terlihat bahwa isolat A22, A23, B16, R14, R21, R23, dan R23H memiliki sifat-sifat bakteri probiotik. Uji gula-gula yang dilakukan terhadap beberapa strain BAL isolat ASI menunjukkan bahwa isolat tersebut dapat memfermentasi glukosa, rafinosa, dan sedikit memfermentasi inulin dan oligofruktosa (Hartanti 2007). Nuraida et al. (2009) meneliti pertumbuhan Lactobacillus acidophillus A22 serta Lactobacillus rhamnosus B16 dan R21 pada media berbasis MRSB dengan penambahan 5% FOS dan 5% inulin. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga isolat tersebut
8
dapat tumbuh dengan cukup baik pada media yang mengandung 5% FOS dan sedikit lebih rendah pada media yang mengandung 5% inulin.
D. PREBIOTIK Untuk meningkatkan jumlah bakteri menguntungkan yang terdapat dalam kolon dibutuhkan sumber karbohidrat yang tidak dapat dicerna sehingga dapat dijadikan substrat untuk pertumbuhan bakteri. Terdapat beberapa jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna, diantaranya adalah fruktooligosakarida (FOS), galaktosilaktosa, isomaltooligosakarida, atau transgalaktooligosaksrida (TOS) yang memiliki efek meningkatkan jumlah bifidobacteria indigenous dan beberapa bakteri asam laktat (Salminen et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut, lahirlah konsep prebiotik. Gibson dan Roberfroid (1995) yang diacu dalam Salminen et al. (1998) mendefinisikan prebiotik sebagai bahan pangan yang tidak dapat dicerna (non digestible) yang menguntungkan bagi inang dengan menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan atau aktivitas bakteri tertentu dalam kolon inang. Salminen et al. (2004) menyebutkan bahwa suatu ingredien pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik jika memenuhi persyaratan berikut: (1) tidak terhidrolisis atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas, (2) secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon, (3) dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, sehingga secara sistematik dapat meningkatkan kesehatan. Prebiotik pada umumnya merupakan karbohidrat dengan bobot molekul rendah yang tidak dapat diserap dan dicerna serta umumnya berbentuk oligosakarida dan serat pangan (Silalahi dan Hutagalung 2002). Salminen et al. (2004) menyebutkan bahwa beberapa jenis prebiotik seperti inulin dan oligosakarida kedelai berasal dari sumber alami. Saat ini industriindustri pun telah banyak memproduksi prebiotik komersial seperti fruktooligosakarida (FOS), galaktooligosaksrida (GOS), dan xylooligosakarida. Konsumsi prebiotik merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kandungan mikrobiota pada saluran pencernaan. Selain sebagai suplemen bagi bakteri eksogenous, prebiotik juga merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna yang secara selektif mampu menstimulasi proliferasi dan aktivitas populasi bakteri baik pada saluran pencernaan inang. Sebagian besar prebiotik teridentifikasi sebagai karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat difermentasi oleh bakteri. Proliferasi populasi mikrobiota saluran pencernaan seperti Lactobacilli dan Bifidobacteria dapat meningkat melalui konsumsi prebiotik. Peningkatan jumlah mikrobiota berkisar antara 10-100 kali di dalam feses (Crettenden 1999 di dalam Salminen 2009). Selain mendukung pertumbuhan probiotik, prebiotik juga memiliki banyak manfaat lain bagi tubuh. Prebiotik mempunyai efek yang menyerupai serat pangan sehingga dapat mencegah terjadinya konstipasi. Dengan menstimulasi pertumbuhan bakteri baik, prebiotik juga turut berperan dalam mencegah diare (Musatto 2007). Prebiotik akan dimetabolisme oleh probiotik di dalam kolon dan menghasilkan Short Chain Fatty Acid (SCFA) yang akan menyebabkan pH kolon menurun. Penurunan pH kolon mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen serta mempercepat penyerapan mineral. Bakteri yang berperan dalam pembentukan SCFA di dalam kolon umumnya berasal dari golongan Lactobacillus dan Bifidobacteria. SCFA yang dihasilkan diantaranya adalah asetat, propionat, dan butirat (Musatto 2007).
9
Fermentasi prebiotik yang menghasilkan SCFA berlangsung pada kondisi anaerob. Prebiotik akan dihidrolisis menjadi monomer unit glukosa, galaktosa, xylosa, atau arabinosa, yang kemudian akan difermentasi melalui glikolisis menjadi asam piruvat. Setelah dalam bentuk piruvat, akhirnya diubah menjadi SCFA dan sebagian gas. Hasil samping selain SCFA akibat fermentasi bakteri diantaranya adalah metana (CH4), hidrogen (H2), dan karbon dioksida (CO2). SCFA hasil fermentasi akan diserap pada lokasi usus besar dan diangkut ke hati melalui sirkulasi enterohepatic (Cummings 1997). Persamaan fermentasi heksosa menjadi SCFA dalam kolon adalah sebagai berikut: 59 C6H12O6 + 38 H2O → 60 CH3COOH + 22 CH3CH2COOH + 18 CH3CH2CH2COOH + 96 CO2 + 268 H+ + panas Efek prebiotik bersifat spesifik terhadap jenis probiotik tertentu. Ukuran molekul, komposisi gula penyusun, dan struktur ikatan prebiotik akan menentukan jenis probiotik yang dapat memetabolismenya terkait dengan enzim yang disekresikan oleh probiotik tersebut. Berbagai penelitian mengenai pengaruh prebiotik terhadap probiotik telah banyak dilakukan. Bouhnik et al. (1996) meneliti pengaruh pemberian susu fermentasi yang mengandung probiotik Bifidobacterium sp. dan prebiotik FOS terhadap manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah Bifidobacteria pada feses manusia yang mengkonsumsi susu fermentasi dibandingkan dengan yang tidak mengkonsusmsi susu fermentasi. Shin et al. (2000) meneliti pengaruh beberapa jenis prebiotik komersial yaitu inulin, FOS, dan GOS terhadap probiotik Bifidobacterium spp. Dengan penambahan prebiotik pada media, proliferasi sel Bifidobacterium spp. menjadi lebih cepat. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas prebiotik antara lain jenis prebiotik, dosis, dan komposisi mikroorganisme. Reid et al. (2001) yang diacu di dalam Surono (2004) menyarankan dosis prebiotik yang efektif adalah 1 – 3 g/hari untuk anak-anak dan 5 – 15 g/hari untuk orang dewasa. Konsumsi prebiotik yang berlebih (lebih dari 20 g/hari) dikhawatirkan dapat memberi efek laksatif yaitu mempercepat pengeluaran pada sistem saluran pencernaan atau melunakkan sisa pencernaan (Bouhnik et al. 1999). Jenis prebiotik yang umum digunakan dan sudah banyak diteliti diantaranya adalah inulin, FOS, dan GOS (Bouhnik et al. 1999). Jenis prebiotik tersebut dapat digunakan sebagai sumber prebiotik tunggal atau dikombinasikan antara satu jenis prebiotik dengan prebiotik lainnya. Produk pangan komersial yang telah memanfaatkan prebiotik sebagai salah satu ingredientnya diantaranya adalah produk olahan susu. Terdapat lebih dari 10 merk susu formula dan makanan pendamping ASI yang dipasarkan di Indonesia mengandung prebiotik inulin, FOS, dan GOS di dalam produknya. European Commission (EC) bahkan telah merekomendasikan kombinasi prebiotik FOS:GOS (1:9) sebanyak 0.8 g/ 100 ml untuk produk susu formula (SCF 2001a; SCF 2001b). Kombinasi oligofruktosa berantai panjang dan GOS berantai pendek dengan perbandingan 1:9 telah digunakan pada produk susu formula di Eropa selama lebih dari lima tahun (Veereman 2007).
1. Inulin Inulin merupakan polimer fruktan yang diisolasi pertama kali dari tanaman Inula helenium. Inulin juga ditemukan pada chicory, dandelion, dan artichoke (Roberfroid 2000). Inulin dan hidrosilatnya ditemukan secara alami pada beberapa tanaman seperti bawang
10
putih, asparagus, bawang daun, pisang, gandum, dan jerussalem artichoke (Salminen et al. 1998). Inulin umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pengganti lemak (Gorski 1995). Sama halnya dengan prebiotik lain, inulin tidak dapat dihidrolisis atau diserap di dalam usus halus. Inulin juga telah menunjukkan efek meningkatkan jumlah bakteri baik pada kolon sehingga dapat dikatakan sebagai prebiotik (Roberfroid et al. 1998). Inulin adalah fruktan dengan ikatan β(1-2) antar monomer pada poli atau oligomernya. Terdapat unit glukosa pada ujungnya yang memiliki ikatan β(2-1) dengan monomer fruktosa (Niness 1999). Roberfroid (1999) menyatakan hal yang sama bahwa fruktan tipe inulin memiliki komposisi β-D-fruktofuranosa yang saling terhubung dengan ikatan β(1-2), dengan monomer pertama dari rantainya adalah residu β-D-glukopiranosil atau β-D-fruktopiranosil. Struktur inulin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur inulin (Roberfroid 2008) Inulin memiliki derajat polimerisasi (DP) yang cukup tinggi dibandingkan dengan prebiotik lainnya yaitu berkisar antara 2 – 60 dengan rata-rata DP sebesar 10 (Roberfroid 1993 di dalam Salminen et al. 1998). Hasil ini berdampak pada karakteristiknya yang larut sempurna di air panas, namun sedikit larut dalam air dingin maupun alkohol (Bergner 1997). Oleh karena itu, pemanfaatan inulin secara lebih luas perlu diperhatikan. Selain sebagai pengganti lemak, inulin juga telah dimanfaatkan sebagai bahan pengental dan pemanis buatan. Beberapa produk yang memanfaatkan inulin sebagai ingrediennya antara lain selai, roti, sereal, susu, bahkan tablet suplemen (Franck dan Leener 2005). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh inulin terhadap pertumbuhan berbagai probiotik. Rowland et al. 1998 meneliti pangaruh pemberian prebiotik inulin dan probiotik Bifidobacerium longum terhadap saluran cerna tikus yang menderita kanker. Hasilnya menunjukkan terdapat efek yang sinergis antara prebiotik dan probiotik yang diberikan. Penelitian lain menunjukkan bahwa Lactobacillus plantarum IS-10506 dapat memfermentasi inulin saat ditumbuhkan pada media berbasis MRSB dengan inulin sebagai sumber karbon (Artanti 2009). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Huebner et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian inulin tidak mendukung pertumbuhan Lactobacillus plantarum 4008. Hal ini mengindikasikan bahwa efek inulin sebagai prebiotik bersifat spesifik terhadap strain tertentu.
11
2. Fruktooligosakarida Fruktooligosakarida (FOS) merupakan jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna yang tersusun atas glukosil-(fruktosil)n-1-fruktosa (GFn) dan (fruktosil)m-1-fruktosa (Fm). Huruf n dan m merepresentasikan derajat polimerisasi (DP) yang menunjukkan banyaknya unit fruktosa dalam oligomer FOS (Salminen et al. 2004). FOS banyak terdapat dalam berbagai jenis tanaman secara alami. FOS dapat ditemukan pada bawang, asparagus, bawang daun, pisang, dan gandum serta terdapat dalam akar chicory sebagai sediaan energi utamanya (Salminen et al. 1998). FOS umumnya digunakan sebagai pemanis pengganti sukrosa karena memiliki nilai kalori yang rendah yaitu sekitar 1.5 kkal/g (Roberfroid et al. 1993). Produk pangan yang memanfaatkan FOS sebagai pemanis diantaranya adalah kue, roti, permen, produk susu, dan beberapa minuman (Trenev 2000). FOS selama ini diperoleh dengan dua cara berbeda, yaitu melalui hidrolisis parsial inulin yang berasal dari chicory dan melalui sintesis dari sukrosa menggunakan fruktosil transferase (Franck 2000). FOS difermentasi secara selektif oleh sebagian besar BAL galur bifidobacteria. Konsumsi FOS 4-20 g/hari secara selektif mampu menstimulasi pertumbuhan bifidobakteri pada manusia (Salminen et al. 2004).
R = CH2OH n = 2-9
Gambar 4. Struktur FOS (Roberfroid 2008) FOS dalam sistem pencernaan manusia tidak mengalami perubahan signifikan karena struktur spesifik (ikatan β(2-1)) yang dimilikinya tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Senyawa ini akan sampai ke dalam usus besar dan difermentasi oleh mikroba (Franck 2000). Sama halnya dengan inulin, FOS sebagai hidrosilat inulin menunjukkan efek peningkatan proliferasi bifidobakteri pada kolon yang diikuti dengan penurunan jumlah bakteroid dan klostridia pada feses (Hidaka et al. 1990; Gibson et al. 1995 di dalam Salminen et al. 1998). Penelitian yang dilakukan Gmeiner et al. (2000) menunjukkan bahwa penambahan prebiotik FOS dapat meningkatkan proliferasi sel Lactobacillus acidophilus secara in vitro. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pennachia et al. (2006) menyimpulkan bahwa Lactobacillus plantarum DL6 dapat tumbuh pada media berbasis MRSB yang mengandung 2% FOS sebagai sumber karbon, namun tidak demikian dengan Lactobacillus plantarum
12
WCFSI. Perbedaan respon tiap strain ini dikarenakan perbedaan pengkodean gen dalam sistem metabolik yang berpengaruh terhadap skor aktivitas prebiotik (Huebner et al. 2007). Umumnya dosis FOS dalam asupan terhadap percobaan klinis yang pernah dilakukan berkisar antara 3 – 20 g/hari untuk orang dewasa serta 0.4 – 3 g/hari untuk balita. Dosis ini merupakan dosis aman karena mewakili rata-rata kandungan FOS yang terdapat secara alami pada bahan pangan, khususnya sayuran (Roberfroid et al. 1998).
3. Galaktooligosakarida Galaktooligosakarida (GOS) merupakan salah satu oligosakarida yang mampu menstimulasi proliferasi bifidobakteri. GOS banyak ditemukan pada ASI, susu sapi, dan produk yoghurt komersial. Struktur kimianya terdiri dari beberapa molekul galaktosa yang berikatan dengan gugus glukosa dibagian ujungnya. GOS disintesis dari laktosa melalui transfer glikosil dari satu atau lebih unit D-galaktosil menjadi unit D-galaktosa dengan memanfaatkan enzim β-D-galaktosidase sebagai katalis (Mahoney 1998 di dalam Villaluenga et al. 2008).
n Gambar 5. Struktur GOS (Roberfroid 2008) Molekul GOS (sebagai contoh, Gal (β 1-4) Gal (β1-4) Glc) merupakan hasil sintesis yang memanfaatkan aktivitas enzim β-galaktosidase dari laktosa yang dikenal dengan istilah reaksi transgalaktosilasi. β–galaktosidase adalah kelompok enzim hidrolitik dan telah banyak digunakan oleh industri produk olahan susu untuk menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Reaksi hidrolisis ini dapat meningkatkan tingkat kemanisan pada produk olahan susu dan juga menurunkan kadar laktosa sehingga bermanfaat bagi penderita intoleransi laktosa (Lomer et al. 2008 di dalam Gosling et al. 2010). Reaksi transgalaktosilasi dan pembentukan GOS dari laktosa pertama kali diteliti pada tahun 1950 (Wallenfels 1951 di dalam Gosling et al. 2010). Sejak saat itu, GOS telah menjadi produk komersial yang banyak beredar di Eropa dan Asia ( Crittenden dan Playne 1996 di dalam Golsing et al. 2010). Sebanyak 6000 ton GOS telah diproduksi di Jepang pada tahun 2005 (Taniguchi 2005 di dalam Golsing et al. 2010). Sintesis GOS dari laktosa dengan memanfaatkan hidrolisis enzimatik oleh β-Dgalaktosidase yang berasal dari Aspergillus oryzae dan Streptococcus thermophilus telah berhasil dilakukan (Ito et al. 1990 di dalam Salminen et al. 1998). Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pemberian GOS pada diet dengan peningkatan jumlah bifidobakteri dan laktobasili pada feses sukarelawan. Dosis yang dibutuhkan agar dapat memberikan efek yang signifikan adalah 10 g/hari (Ito et al. 1990 di dalam Salminen et al. 1998).
13
E. SUSU FERMENTASI Salah satu minuman hasil fermentasi asam laktat yang telah dikenal luas adalah susu fermentasi. Produk susu fermentasi telah dikenal dan dikonsumsi manusia jauh sebelum penemuan mikroba itu sendiri. Baru pada awal abad ke-20, Metchnikoff (1845-1916) menemukan bahwa komponen asam laktat dan produk-produk lain yang terdapat di dalam susu fermentasi dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Oberman dan Libudzisz 1985 diacu dalam Wood 1998). Susu fermentasi adalah hasil fermentasi susu segar, susu skim atau susu konsentrat yang telah dipasteurisasi atau disterilisasi oleh mikroba tertentu (Oberman dan Libudzisz 1985 diacu dalam Wood 1998). Tujuan awal dari fermentasi susu adalah untuk memperpanjang umur simpan susu sehingga dapat tahan lebih lama. Kosikowski (1977) mengklasifikasikan susu fermentasi menjadi 4 tipe, yaitu: (1) berasam rendah, contohnya susu krim dan susu mentega; (2) berasam sedang, contohnya susu acidophilus dan yoghurt; (3) berasam tinggi, contohnya susu bulgaricus; (4) mengandung asam dan alkohol, contohnya kefir dan koumiss. Jenis susu fermentasi yang sudah dikenal luas antara lain yoghurt, susu acidophilus, susu bulgaricus, kefir, koumiss, yakult, pilima, skyr, taette, lassi, leben, dahi, vilia, dan masih banyak lagi (Vedamuthu 1982 diacu dalam Rose 1982). Secara tradisional susu yang digunakan dalam pembuatan susu fermentasi dapat berasal dari jenis binatang mamalia yang banyak ditemukan di daerah masing-masing, seperti susu unta, susu kambing, susu kuda, susu kerbau dan yang paling umum adalah susu sapi. Keistimewaan susu fermentasi terletak pada umur simpan yang lebih panjang dibanding susu segar. Hal ini karena susu fermentasi memiliki tingkat keasaman yang tinggi (pH < 4,5) sehingga tidak disukai oleh mikroba-mikroba kontaminan. Keistimewaan lain yang membuat susu fermentasi digemari adalah kandungan metabolit-metabolit hasil fermentasi mikroba yang baik bagi kesehatan tubuh terutama saluran pencernaan. Beberapa manfaat dari susu fermentasi menurut Yuguchi et al. yang diacu dalam Nakazawa dan Hosono (1992), antara lain: (1) nilai pH yang rendah di dalam usus akibat aktivitas BAL membantu absorpsi mineral terutama kalsium, (2) menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam usus, (3) membantu penderita intoleransi laktosa karena BAL memfermentasi laktosa yang ada di dalam susu dan dapat meningkatkan sekresi enzim laktase di dalam saluran pencernaan. Rieska (2009) telah melakukan penelitian pembuatan produk susu fermentasi berupa yoghurt dengan memanfaatkan BAL isolat ASI sebagai starter. BAL isolat ASI yang digunakan antara lain adalah Lactobacillus pentosus A7, Pediococcus pentosaceus A16, Lactobacillus fermentum A17f, dan Lactobacillus rhamnosus B16. Hasilnya menunjukkan bahwa BAL isolat ASI tersebut dapat digunakan sebagi starter dalam pembuatan yoghurt. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nilai pH, TAT (% asam laktat), tekstur crud, dan total BAL pada yoghurt, diperoleh suhu dan waktu inkubasi terbaik yang dapat digunakan yaitu pada suhu 37oC dan 42oC selama 48 jam. Kombinasi kultur BAL isolat ASI dengan Streptococcus thermophilus (perbandingan 1:1) menghasilkan mutu sensori yoghurt yang baik dan mendekati mutu sensori yoghurt konvensional (Rieska 2009).
14