TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kakao Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) tata nama tanaman ini sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Anak kelas
: Dialypetalae
Bangsa
: Malvales
Suku
: Sterculiaceae
Marga
: Theobroma
Jenis
: Theobroma cacao L
Kegunaan dan Kandungan Kimia Kakao Salah satu tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antioksidan dan antimikroba alami adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Biji kakao kaya akan komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain: katekin, epikatekin, proantosianidin, asam fenolat, tanin dan flavonoid lainnya. Biji kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan alami, antara lain : mempunyai kemampuan untuk memodulasi sistem ketahanan tubuh, efek kemopreventif untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et al, 2007), selain itu polifenol kakao bersifat antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan bakteri
Universitas Sumatera Utara
karsinogenik (Osawal et al, 2000). Kakao juga mempunyai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibanding teh dan anggur merah (Lee et al, 2003) Disamping menghasilkan biji, dalam proses penanganannya juga menghasilkan produk ikutan (limbah) berupa kulit buah kakao sekitar 73,77% dari berat buah secara keseluruhan. Adanya komponen-komponen polifenol dalam biji kakao, tidak menutup kemungkinan juga terdapat dalam kulit buah kakao dengan khasiat yang sama. Menurut Figuera et al (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid atau tanin terkondensasi atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat dengan glukosa. Tanin yang terikat dengan gula umumnya mudah larut dalam pelarut hidroalkohol, sedangkan tanin terkondensasi atau tanin lebih mudah terekstraksi dengan pelarut aseton 70% . Sampai saat ini kulit buah kakao belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit buah kakao merupakan limbah lignoselulosa yang mengandung komponen utama berupa lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ashadi (1988), mengenai pembuatan gula cair dari kulit kakao didapatkan data mengenai komposisi buah kakao dan kandungan kimia kulit kakao. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kulit kakao mengandung 20,11% lignin, 31,25% selulosa, dan 48,64% hemiselulosa. Kandugan selulosa pada kulit kakao cukup potensial untuk diolah lebih lanjut. Pod kakao merupakan bagian mesokarp atau dinding buah kakao yang mencakup kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Pod buah kakao merupakan bagian terbesar dari buah kakao. Kulit kakao merupakan limbah lignoselulosa. Lignoselulosa merupakan komponen berenergi terbesar yang
Universitas Sumatera Utara
dimiliki oleh limbah. Limbah lignoselulosia dapat digunakan sebagai bahan baku perekat organik. Lignoselulosa terdiri atas tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang saling terikat erat membentuk satu kesatuan (Ashadi, 1988). Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat (Sun dan Cheng, 2002). Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-1,4-glikosidik. Molekul selulosa merupakan mikrofibil dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et al., 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa (Oshima, 1965). Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula. Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula.
Universitas Sumatera Utara
Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa, tetapi gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada gula C-6 (Perez et al., 2002).
Perekat Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk
mengikat
dua
benda
melalui
ikatan
permukaan
(Forest Product Society, 1999 dalam Ruhendi et al., 2007). Berdasarkan unsur kimia utama, Blomquist et al. (1983) dalam Sucipto (2009a) membagi perekat menjadi dua kategori yaitu: 1. Perekat alami a. Berasal dari tumbuhan, seperti pati, dextrins (turunan pati) dan getah tumbuh-tumbuhan. b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, albumin, darah, susu dan soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti bijibijian pohon dan biji durian). c. Berasal dari material lain, seperti aspal, shellac (lak), karet, sodium silikat, magnesium oksiklorida dan bahan anorganik lainnya. 2. Perekat sintetis a. Perekat thermoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya polivinil alkohol (PVA), polivinil asetat (PVAc), kopolimer, ester dan eter selulosa, poliamida, polistirena, polivinil butiral dan polivinil formal. b. Perekat thermoset yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet, dan tidak dapat kembali ke
Universitas Sumatera Utara
bentuk semula. Contohnya urea, melamin, phenol, resorsinol, furfuril alkohol, epoksi, poliurethan, poliester tidak jenuh. Urea, melamin, phenol dan resorsinol akan
menjadi perekat
setelah direaksikan
dengan
formaldehida (HCHO). c. Synthetic elastomers adalah perekat yang pada suhu kamar bisa diregangkan seperti neoprena, nitril dan polisulfida.
Perekat likuida Salah
satu
teknologi
pembuatan
perekat
dengan
memanfaatkan
sumberdaya alam adalah teknologi yang telah dikembangkan oleh Pu et al. (1991), yaitu dengan mengkonversi serbuk kayu dengan proses kimia sederhana yang disebut proses likuifikasi. Perekat alternatif ini dapat mengatasi kebutuhan perekat yang akan semakin meningkat saat ini, selain itu juga dapat mengurangi biaya produksi, karena perekat sintesis saat ini relatif mahal (Risnasari, 2008). Menurut Tano (1997), keadaan suatu perekat ditentukan oleh metode aplikasinya. Perekat cair pada umumnya lebih mudah dipergunakan, secara mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan rata akan tercapai, sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai sapuan (kuas) atau semprot (spray). Perekat likuida dari limbah kulit buah kakao diuji dengan metoda SNI 064567-1998 dalam hal: kenampakan, pH, kekentalan, berat jenis, kadar padatan dan waktu gelatinasi. 1. Kenampakan Warna perekat dari beberapa limbah non kayu adalah merah-cokelat
Universitas Sumatera Utara
kehitaman yang disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya. Menurut Pu et al. (1991), perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna hitam. 2. Derajat keasaman Keasaman perekat likuiada berkisar 8,04-8,40 yang berarti bersifat basa karena adanya penambahan NaOH 40% ke dalam perekat setelah pemasakan dan pendinginan sesaat. Sifat demikian diperlukan untuk memperpanjang waktu simpan perekat, karena pH tinggi akan memperlambat proses curing (pengerasan) perekat tersebut. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida dengan kayu akan lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat rusak (Ruhendi et al., 2007). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar 10-13. 3. Kekentalan (viskositas) Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan kayu akan semakin sulit. Namun jika kekentalan terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi yang berlebihan dan menyebabkan minimnya garis rekat yang terbentuk. Menurut SNI 06-4567-1998, viskositas perekat berkisar 130-300 cps. Kekentalan perekat likuida dari kenaf (Wulansari,2006) dan bambu (Widiyanto, 2002) masih memenuhi standar, sedangkan perekat likuida dari sabut kelapa (Meda 2006, dan Pamungkas 2006) didapatkan berbentuk pasta. Bentuk pasta dari perekat likuida ini akan menyulitkan aplikasi perekat pada saat pencampuran perekat dengan sabut kelapa. Menurut Pu et al. (1991), tingginya
Universitas Sumatera Utara
kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan yang terlalu tinggi dapat dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan. 4. Berat jenis Berat jenis semua perekat likuida dari limbah non kayu lebih rendah dari berat jenis perekat fenol formaldehid menurut SNI 06-4567-1998, yaitu sebesar 1,165-1,200. Berat jenis perekat likuida sabut kelapa (Meda 2006, dan Pamungkas 2006) mengalami penurunan setelah diencerkan dengan air distilat. 5. Kadar padatan Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu pada saat proses perekatan. Kadar padatan perekat likuida kenaf Wulansari (2006), bambu Widiyanto (2002) dan sabut kelapa Meda (2006) dan Pamungkas (2006) lebih rendah dari SNI 06-4567-1998 yaitu 40-45%. Ketiga bahan tersebut memiliki kerapatan yang rendah, sehingga menghasilkan likuida dengan kadar padatan yang rendah juga. 6. Waktu Gelatinasi Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental/mengeras atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi perekat likuida kenaf Wulansaro (2006) dan bambu Widiyanto (2002) adalah >60 menit, sedangkan waktu gelatinasi perekat likuida sabut kelapa Meda (2006) dan
Universitas Sumatera Utara
Pamungkas (2006) adalah >30 menit. Waktu gelatinasi dari ketiga perekat tersebut sesuai dengan SNI 06-4567-1998 yaitu≥30 menit. Dengan semakin lamanya waktu gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur simpan perekat akan semakin lama. Pu et al., (1991) menyatakan bahwa tingginya kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan perekat yang terlalu tinggi ini dapat dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat likuida melalui proses likuifikasi karena mengandung bahan lignoselulosa. Menurut Yoshioka et al. (1992), likuifikasi lignoselulosa adalah suatu prosedur untuk memproduksi minyak dari biomass dalam kondisi konversi tertentu. Likuifikasi lignoselulosa juga dapat dilakukan pada suhu 240~270oC tanpa katalis, 80~150oC dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (kayu termodifikasi kimia). Likuifikasi kayu tanpa perlakuan pendahuluan dapat terjadi dengan cara: a. Perlakuan pada suhu di atas 250oC selama 15-180 menit, dalam pelarut fenol, bisfenol, alkohol, polihidrik alkohol, oksieter, dietilena glikol, triethilena glikol, polietilena glikol, 1,4-dioksana, cicloheksanone, dietil keton, etil npropil keton (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). b. Perlakuan pada suhu 150oC, tekanan atmosfir, dengan katalis asam fenolsulfonik dan asam sulfur (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut fenol, bisphenol dan polihidrik alkohol, serta dikombinasikan dengan penggunaan croos-linking agent atau hardeners, menghasilkan resin (resin fenol formaldehida, resin poliuretan, resin epoksi dan lain-lain) dengan daya rekat yang baik (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007). Menurut Ruhendi et al. (2007), likuifikasi kayu termodifikasi kimia, dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu: a. Likuifikasi dari kayu teresterifikasi Berikut adalah dua penelitian mengenai likuifikasi kayu teresterifikasi: 1.
Kayu yang diesterifikasi dengan serangkaian asam alifatik, dapat dilikuifikasi dalam benzil eter, stiren oksida, phenol resorsinol, benzaldehida, larutan phenol, campuran kloroform-dioksan dan campuran benzene-aseton setelah perlakuan pada suhu 200-270oC selama 20-150 menit (Yoshioka et al., 1992, dalam Ruhendi et al., 2007).
2.
Carboxymethylated wood, allylated wood dan hydroxyethylated wood dapat dilikuifikasi dalam phenol (atau larutannya), resorsinol (atau larutannya) dan formalin, setelah perendaman atau pengadukan pada suhu 170oC selama 30-60 menit (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).
b. Penggunaan pelarut polihidrat alkohol (solvolisis) Allylated wood, methylated wood, ethylated wood, hydroxyethylated wood dan acetylated wood dapat dilarutkan dalam polihidrat alkohol seperti 1,6 hexanediol, 1,4-butanediol, 1,2-ethanediol, 1,2,3-propantriol (glycerol), dengan adanya katalis yang sesuai pada suhu 80oC selama 30-150 menit. Tiap
Universitas Sumatera Utara
reaksi tersebut menyebabkan lepasnya fraksi alkohol (alkoholisis) dari makromolekul lignin (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi, 2007). c. Post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia Kayu termodifikasi kimia yang diklorinasi akan meningkat kelarutannya dalam pelarut. Pada suhu ruang, hanya 9,25% cyanoethylated wood dapat dilarutkan dalam o-cresol. Namun setelah reaksi klorinasi, hampir seluruh cyanoethylated wood tersebut dapat larut dalam o-cresol, pada suhu ruang (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007)
Universitas Sumatera Utara