TINJAUAN PUSTAKA
Anemia dan Penyebabnya Anemia gizi didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal dengan kisaran normal berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Adapun batas normal Hb untuk pria adalah ≥ 13 g/dl sedangkan unt
uk wanita
adalah ≥ 12 g/dl (WHO 2008). Tanda-tanda anemia antara lain : pucat, lemah, lesu, pusing dan penglihatan sering berkunang-kunang. Anemia dapat terjadi karena berbagai sebab. Penyebab yang paling umum diantaranya adalah karena defisiensi zat besi yang diperkirakan 50% dari kasus anemia yang ada saat ini (WHO 2001). Saidin 1997 menyatakan bahwa konsumsi zat besi pada remaja putri di Bandung sebesar 45,5% angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG). Kekurangan (defisiensi) zat besi dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi, adanya gangguan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi zat-zat gizi tersebut dengan baik maka dalam jangka panjang akan terjadi anemia, karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsifungsi lain dalam tubuh terganggu (Lee & Niemen 1993). Pada remaja putri selain karena kurangnya asupan zat besi melalui makanan, anemia juga disebabkan karena banyaknya zat besi yang hilang pada saat menstruasi (NACC 2009). Pada tahap awal kekurangan zat besi mula-mula akan mengalami penurunan cadangan zat besi. Pada tahap ini penurunan cadangan zat besi belum disertai penurunan kadar Hb darah, sehingga yang bersangkutan belum menderita anemia. Tahap selanjutnya zat besi tidak mencukupi untuk pembentukan Hb, sehingga kadar Hb penderita menurun sampai di bawah normal dan timbul anemia (Lee & Niemen 1993). Selain karena kekurangan zat besi, anemia dapat juga disebabkan karena perdarahan, kerusakan sel-sel darah merah karena suatu penyakit, dan produksi sel darah merah tidak berjalan lancar karena kekurangan zat-zat gizi lain seperti asam folat dan vitamin B12 tidak tersedia dalam jumlah yang cukup (Bodgen & Klevay 2000; Tolentino & Friedman 2007) Penyebab lainnya adalah karena infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing seperti Hookworm, Trichuris trichiura, Schistosomiasis (WHO 1999).
8
Di Indonesia penyakit cacingan masih merupakan masalah yang besar. Penyakit cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digesti), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing atau kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes 2004). Untuk kasus anemia defisiensi besi, diperkirakan cacing menghisap 2-100 cc darah setiap hari (Dirjen PPM & PL 2004). Infeksi akut dan kronis seperti human immunodeficiency virus (HIV), kanker, tuberkulosis dan lain-lain, defisiensi zat gizi mikro yang lain seperti vitamin A, dan B12, asam folat, juga bisa menyebabkan anemia (Tolentino & Friedman 2007). Diduga pula bahwa pada keadaan besi berlebihan dapat menyebabkan gangguan metabolisme besi. Besi berlebihan adalah suatu keadaan patologis dimana simpanan besi total dalam tubuh meningkat lebih tinggi dari kadar normal, sering kali dengan disfungsi organ sebagai akibat deposisi besi. Penyebab besi berlebihan adalah hemokromatosis (genetik) primer (genetic haemochromatosis, GH) merupakan gangguan resesif autosomal yang dihubungkan dengan absorpsi besi berlebih. Sembilan puluh persen kasus bersifat homozigot untuk suatu mutasi pada human hemochromatosis protein (dikenal sebagai gen HFE) yang terletak dekat dengan kompleks human leucocyte antigen (HLA) pada kromosom 6. Penyebab yang lebih jarang meliputi mutasi pada gen untuk hepsidin, hemojuvelin, dan reseptor transferin. Semua mutasi ini dianggap penyebab penurunan kadar hepsidin dan kemudian peningkatan absorpsi besi. Selain itu besi berlebih juga dapat disebabkan karena komponen makanan dan komponen genetik, zat besi dalam makanan berlebih, eritropoisis yang tidak efektif dengan peningkatan absorpsi besi (misalnya talasemia intermedia), dan dapat juga disebabkan karena transfusi berulang pada pasien dengan anemia refraktur berat misalnya talasemia mayor, meilodisplasia, dimana setiap unit darah mengandung 250 mg zat besi (Metha & Hoffbrand 2006). Faktor penyebab anemia yang lain adalah kemiskinan, perilaku kesehatan, lingkungan kurang baik, ketiadaan akses ke layanan kesehatan (Freire 2007).
9
Rendahnya pengetahuan dan perilaku tidak sehat berperan sangat besar yang mengakibatkan tingginya prevalensi anemia (Sakti, Rachmawati, Rahfiludin 2003; Farida 2006; Gunatmaningsih 2007; Proboningrum 2009). Meskipun ketersediaan pangan nasional dan pendapatan perkapita baik, unsur lain yang penting adalah pengetahuan gizi dan daya beli (Atmawikarta 2005),. Penelitian pada remaja putri murid SMU dan MAN di Jawa Barat menunjukkan bahwa remaja putri yang mempunyai pengetahuan tentang anemia yang rendah mempunyai kecenderungan menderita anemia 61% lebih tinggi (Budiman 1997). Selain pengetahuan, anemia bisa disebabkan karena lingkungan yang tidak sehat dan banyaknya pencemaran lingkungan yang terjadi terutama di lingkungan perkotaan, karena banyaknya polutan yang berasal dari kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik berupa senyawa organik maupun logam berat yang bersifat kumulatif dan bersaing dengan zat besi selama metabolisme zat gizi dalam tubuh dan bisa menyebabkan keracunan. Kurangnya akses ke layanan kesehatan serta rendahnya sanitasi lingkungan dan higienis perorangan
juga mempunyai
kontribusi terhadap kejadian anemia (WHO 1999). Penyebab kejadian anemia lainnya adalah faktor kemiskinan. Anemia defisiensi besi umumnya ditemukan pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (WHO 2001). Hal itu disebabkan karena rendahnya daya beli makanan yang bergizi terutama makanan sumber zat besi.
Prevalensi Anemia di Indonesia Berdasarkan hasil survei NSS-HKI (Nutrition and Health Surveilance System – Helen Keller International) tahun 1999 dan tahun 2000 prevalensi anemia pada balita berkisar 40-70% dan pada wnita usia subur (WUS) berkisar 20-40%. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada balita usia < 6 bulan 61,3%, bayi usia 6-11 bulan 64,8%, anak usia 12-23 bulan 58%, wanita hamil 40%, wanita usia subur 27,9%, prevalensi anemia pada anak sekolah dan remaja 26,55%. Menurut SKRT tahun 2004 prevalensi anemia semakin tinggi pada kelompok umur 5-11 tahun sebesar 39%, pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu
10
nifas 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur di atas, balita dan wanita mempunyai resiko anemia paling tinggi, termasuk remaja putri. Untuk menilai apakah prevalensi anemia menjadi suatu masalah dalam suatu populasi, maka WHO (2001) menetapkan batasan prevalensi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat:
Tabel 1. Klasifikasi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Katagori Kesehatan masyarakat
Prevalensi Anemia (%)
Berat
≥ 40
Sedang
20,0 – 39,9
Ringan
5,0 – 19,9
Normal
≤ 4,9 Sumber : WHO 2001
Dampak Anemia Tanda-tanda anemia yang paling umum adalah 5 L yakni lesu, lemah, letih, lelah dan lalai. Jika terjadi pada anak-anak maka dapat menimbulkan dampak seperti kesakitan dan kematian; perkembangan otak dan pertumbuhan fisik terhambat; perkembangan motorik, mental, kecerdasan terhambat; daya tangkap belajar menurun; pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun; interaksi sosial kurang (Aliefien 2005). Tanda-tanda lainnya termasuk pucat, kuku rapuh, pusing dan lekas marah (Anomin 2004). Pada beberapa wanita merasa lelah bahkan sebelum mereka beraktivitas. Sebelum muncul tanda-tanda yang telah disebutkan, terdapat tanda-tanda lain seperti kaki dan tangan dingin, sesak nafas, jantung berdebar, sakit kepala, kehilangan konsentrasi, depresi, kinerja menurun, siklus menstruasi tidak teratur, kehilangan gairah seksual, daya tahan tubuh menurun, kesembuhan pada luka dan jaringan lemah. Zat besi berperan penting pada regulasi temperatur tubuh dan menyebabkan seseorang yang menderita anemia defisiensi besi tidak tahan terhadap udara dingin (WHO 2001).
11
Penelitian Dupport (2003) menunjukkan dampak penurunan kadar zat besi pada saat menstruasi akan menyebabkan glositis, jantung berdebar, tidak dapat berkonsentrasi (memory disorder) serta gelisah. Jika tidak segera ditangani anemia defisiensi zat besi bisa menyebabkan gangguan kesehatan serius. Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan sangat kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Anemia yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan infertilitas pada wanita usia subur, melahirkan prematur pada wanita hamil, pada anemia yang berat pingsan dan depresi dapat terjadi pada wanita disegala umur (USAID 2005). Namun umumnya anemia ringan tidak mempunyai tanda-tanda atau hanya tandatanda ringan, hal ini menyebabkan wanita sering tidak menyadari tanda-tandanya atau cenderung menganggap tanda-tanda yang ringan tersebut adalah karena stress dari kehidupan modern.
Fungsi Zat besi, Hemoglobin dan Feritin Dalam Tubuh Di dalam tubuh, fungsi utama zat besi adalah dalam produksi komponen pembawa oksigen yaitu hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah dan merupakan protein yang berikatan dengan zat besi berfungsi untuk mengangkut oksigen ke berbagai jaringan-jaringan tubuh sedangkan mioglobin terdapat di dalam sel-sel otot dan berfungsi untuk menyimpan dan mendistribusikan oksigen ke dalam sel-sel otot (Hoffbrand, Pettit, Moss 2001) Zat besi sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). Zat besi juga merupakan bagian dari sistem enzim (sitokrom peroksidase, xanthin oksidase, suksinat dehidrogenase, katalase dan peroksidase) dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel-sel otot (Garrow & James 1993). Mioglobin akan
12
berikatan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Mioglobin yang berikatan dengan oksigen inilah yang menyebabkan daging dan otot-otot menjadi berwarna merah (Anonim 2004). Zat besi terdapat sebanyak 55 mg/kg berat badan untuk laki-laki dewasa dan 45 mg/kg berat badan untuk wanita dewasa. Secara normal sekitar 60%-70% zat besi tubuh terdapat pada hemoglobin yang bersirkulasi dalam eritrosit (Koury & Ponka 2004). Pada vertebrata, zat besi ditransportasikan dalam tubuh antara bagian absorpsi, penyimpanan dan penggunaan oleh glikoprotein plasma, transferin yang mengikat Fe3+ sangat kuat tetapi bereaksi dapat balik. Pergantian harian besi transferin adalah sekitar 30 mg dan secara normal sekitar 80% dari zat besi ditransport
ke sumsum tulang untuk sintesis
hemoglobin dalam
meningkatkan sel-sel eritroid. Eritrosit yang sudah tua difagositasi oleh magrofag dari sistem retikuloendotelial dimana sebagian heme dibagi dari hemoglobin dan katabolisasi secara enzimatik melalui sintesis heme oksigenase-1 (Maines 1997). Zat besi yang terkurung dalam cincin protoporfirin di dalam magrofag yang dibebaskan, hampir semuanya secara kwantitatif dikembalikan ke sirkulasi. Sisa pergantian harian 5 mg ditukar dengan jaringan eritroid yang disebut hati. Sekitar 1 mg dari diet zat besi diserap tiap hari, dan keseimbangan zat besi total diatur melalui pengeluaran harian 1 mg zat besi melalui mekanisme nonspesifik (hampir semuanya desquamasi sel) (Richardson & Ponka 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Krumel dan Ehterton (1996) kebutuhan zat besi pada kondisi fisiologis remaja putri diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh 0,5 mg, kehilangan basal 0,75 mg, dan kehilangan darah pada saat menstruasi 0,6 mg. Apabila AKG zat besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh. FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja pada keadaan fisiologis untuk tumbuh adalah 0,55 mg/hari dengan asumsi kehilangan basal 0,65 mg, dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan zat besi sekitar 1,68 mg/hari. Jika diperkirakan bioavailibilitas sebesar 5-10% maka diperlukan 17-34 mg/hari. Untuk kebutuhan remaja putri di Indonesia usia 10-12 tahun direkomendasikan sebesar 20 mg/hari
13
dan usia 13-19 tahun sebesar 26 mg/hari berdasarkan pada tingkat bioavailibilitas sekitar 10% (Kartono & Soekarti 2004). Hemoglobin adalah molekul protein oligomer (BM 64.500) yang mengandung empat rantai polipeptida dan empat gugus prostetik heme, yang mempunyai atom besi dalam bentuk fero (Fe2+). Bagian protein yang disebut globin, terdiri dari dua rantai α (masing-masing mempunyai 141 residu) dan dua rantai β (masing-masing mempunyai 146 residu).
Gambar 2: Struktur kimia hemoglobin dalam sel darah manusia C = Karbon, H = Hidrogen, Fe = Iron, N = Nitrogen, O = Oksigen Analisis sinar X telah menemukan bahwa molekul hemoglobin berbentuk agak bulat, dengan diameter kira-kira 5,5 nm. Masing-masing terdiri dari empat rantai mempunyai struktur tersier yang khas, yang mencirikan berlipatnya rantai. Seperti pada mioglobin, rantai α dan β hemoglobin mengandung beberapa potongan α-heliks yang dipisahkan oleh lekukan-lekukan. Keempat rantai polipeptida bersama-sama menyesuaikan diri di dalam suatu susunan yang mendekati tetrahedral, untuk membangun suatu struktur kuartener hemoglobin yang khas. Terdapat satu gugus heme yang terikat oleh masing-masing rantai. Heme-heme ini agak terpisah kira-kira 2,5 nm satu terhadap yang lain, dan terletak dengan kemiringan sudut yang berbeda-beda. Tiap-tiap heme sebagian terlindung di dalam kantung yang dilapisi oleh gugus R hidrofobik. Heme ini terikat pada rantai polipeptida melalui ikatan koordinasi atom besi pada gugus R residu histidin. Ikatan koordinasi keenam dari atom besi tiap-tiap heme tersedia untuk
mengikat
(Lehninger 1982).
molekul
O2 ,
seperti terlihat
dalam
gambar
di atas
14
Selain berfungsi untuk memproduksi hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga dapat tersimpan di dalam protein feritin dan hemosiderin di dalam hati, serta di dalam sumsum tulang belakang. Sebagai indikator jumlah zat besi di dalam tubuh, feritin yang bersirkulasi di dalam darah dapat digunakan untuk menilai status zat besi di dalam tubuh. Turunnya kadar feritin berarti cadangan besi tubuh menurun, namun feritin dapat meningkat bila terjadi peradangan atau infeksi, sehingga pada saat menderita infeksi kandungan feritin tidak dapat digunakan sebagai standar cadangan besi tubuh (Wish 2006).
Absorpsi Zat besi Gambaran yang aneh dan mungkin unik dari metabolisme besi adalah bahwa sebenarnya terjadi pada sistem yang tertutup (closed sircuit). Dalam keadaan normal sangat sedikit besi dari makanan yang diserap, jumlah yang dikeluarkan melalui urin adalah minimal, dan sebagian besar dari seluruh besi dalam tubuh secara terus menerus didistribusikan ke seluruh tubuh dalam beberapa lingkaran metabolisme. Karena tidak ada jalan untuk mengekskresikan besi secara berlebihan, absorpsi dari usus harus diatur, bila tidak akan ditimbun di dalam jaringan dalam jumlah yang toksik. Beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meingkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus (Agustriadi & Suega 2006). Dalam makanan biasanya terdapat 10-50 mg besi setiap hari, tetapi hanya 10%-15% dari jumlah tersebut yang diabsorpsi Rendahnya zat besi yang dapat diserap ini kemungkinan menjadi penyebab ketidak tersediaan zat besi yang ada dalam makanan dan kontrol endogen terhadap pengambilannya. Besi dalam makanan lebih banyak diserap pada keadaan defisiensi, dan penyerapannya menurun jika tubuh mempunyai banyak simpanan zat besi.
15
Pitat, oksalat, tanin dan bahkan fosfat yang ada dalam bahan makanan nabati cenderung membentuk endapan besi yang tidak larut yang menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap (Linder 1991; Food Nutrition Board 2001; Schlenker 2007). Dalam lingkungan yang alkalis (konsentrasi alkohol tinggi) seperti usus bagian atas dan terutama dalam kondisi aklorohidria (relatif tidak ada produksi HCl dalam lambung) akan membentuk ikatan hidroksida yang tidak larut. Untuk mencegah pengaruh tersebut digunakan pengkilasi Fe seperti
vitamin C,
fruktosa, fumarat dan beberapa asam amino yang menyebabkan zat besi tersebut dalam keadaan larut sehingga dapat diserap (Linder 1991).
Tabel 2. Beberapa faktor yang meningkatkan penyerapan Fe oleh usus Zat Makanan (Langsung) Vitamin C Fruktosa Asam Sitrat Protein makanan Lisin, Histidin, Sistein, Metionin EDTA (pengkilasi alamiah seperti dalam group heme)
Yang meningkatkan penyerapan Fe Faktor-faktor Endogen (Tidak Langsung) Meningkatkan eritropoisis, seperti pada hipoksia (altitut), hemolisis, hemoragi, androgen, garam-garam Ca (pembebasan eritropoitin biasanya terlibat)
Idiopatik Hemokromatosis (karena kerusakan genetik)
Pada orang dewasa memasukkan 25-30 mg vitamin C dalam makanan akan meningkatkan absorbsi zat besi sampai 85% (Gutrie 1995). Vitamin C merupakan pereduksi
ion
ferri
menjadi
ferro
sehingga
lebih
mudah
diserap
(Sharp & Srai 2007).
Tabel 3. Beberapa faktor yang menghambat penyerapan Fe oleh usus Yang menghambat penyerapan Fe Zat Makanan Faktor-faktor Endogen (Langsung) (Tidak Langsung) Oksalat. Tanin. Fitat, Karbonat , Tingginya Fe cadangan tubuh (dalam sum-sum Fosfat tulang) Serat (bukan selulosa) Kelebihan ion: Co2+, Cu2+, Zn2+, Cd2+ Mn2+, Pb2+ Infeksi/peradangan Makanan rendah protein Tidak ada HCL lambung (achylia, achlorohydria) Sumber; Berdasarkan pada Linder MC (1991)
16
Pada metabolisme besi yang normal, absorpsi besi di usus memegang peranan sangat penting. Absorpsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena pH asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses absorpsi besi di epitel usus. Zat besi diserap dari usus disimpan sebagai feritin di
epitel usus di
transport dalam plasma sebagai transferrin. Progenitor eritroid memperoleh zat besi untuk sintesis hemoglobin dari transferrin plasma atau dari daur ulang penghancuran eritrosit yang sudah tua oleh magrofag di dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Zat besi yang berlebih untuk keperluan produksi hemoglobin disimpan dalam magrofag sebagai feritin, yang dioksidasi menjadi hemosiderin. Simpanan ini dapat dikeluarkan dari magrofag pada saat dibutuhkan atau pada saat eritropoiesis meningkat (Andrews 1999).
Gambar 3. Absorpsi zat besi. (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Proses absorpsi besi dibagi 3 fase: 1. Fase luminal, dimana besi pada makanan dilepaskan ikatannya karena pengaruh asam lambung dan direduksi dari bentuk feri menjadi fero yang siap diserap di duodenum.
17
2.
Fase mukosal, merupakan suatu proses aktif yang sangat kompleks dan terkendali dimana sel absorptif pada puncak vili-vili usus feri dikonversi menjadi fero oleh enzim ferireduktase yang dimediasi oleh duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh protein divalent metal transporter 1 (DMT1).
Gambar 4. Absorbsi besi di usus halus (sumber: Andrews, N.C., 1999. N Engl J Med; 23: 2508-9).
Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral transporter (feroportin/FPN). Pada proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase (a.l. hephaestin), lalu feri diikat oleh apotransferin dalam katableter usus. Terdapat fenomena mucosal block, dimana setelah beberapa hari dilakukan bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorpsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi
18
besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.
Gambar 5. Regulasi absorbsi besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. N Engl J Med; 26: 1986-95).
3. Fase korporeal, zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferrin. Transferrin ini akan melepaskan besi pada sel retikuloendotehelial system (RES) melalui poses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besitransferin ini (Fe2-Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin (transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada permukaan sel membentuk kompleks Fe2Tf-Tfr, yang akan membentuk
endosom. Suatu pompa proton akan
19
menurunkan pH endosom, sehingga melepaskan ikatan besi dari transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan
sel dan dapat
dipergunakan kembali. (Agustriadi & Suega 2006)
Gambar 6. Siklus transferin (sumber: Andrews, N. C., 1999. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Metabolisme zat besi Metabolisme besi pada makrofag diawali dengan fagositisasi eritrosit dan pemecahannya di fagosom, kemudian besi dikeluarkan melalui feroportin dengan bantuan seruloplasmin ferooksidase (yang berperan homolog seperti hepaestin di enterosit), Pada siklus besi dalam tubuh terjadi suatu closed circuit dimana peredaran jumlah besi tubuh sangat efisien, hasil absorpsi besi di usus bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag sumsum tulang untuk keperluan eritropoesis. Selanjutnya, hasil eritropoesis yang inefektif dan besi pada eritrosit yang telah mengalami penuaan, akan dikembalikan lagi kepada makrofag dengan
20
jumlah yang sama dengan keperluan eritropoesis tersebut. Sehingga hasil akhir mekanisme ini adalah keseimbangan jumlah besi tubuh (Ganz 2003). Jumlah zat besi dalam badan orang dewasa sehat kurang lebih sebanyak 4 gram. Sebagian besar (± 2,5 gram) berada di dalam sel darah merah atau hemoglobin. Sebagian zat besi terdapat di dalam pigmen pada otot yang disebut mioglobin. Mioglobin ini berfungsi menangkap dan memberikan oksigen. Enzim intraselular yang disebut porfirin juga mengandung zat besi. Enzim lain yang terpenting diantaranya adalah citokrom yang selalu banyak terdapat di dalam sel. Pada orang yang sehat, sebagian zat besi (± 1 gram) disimpan di dalam jaringan terutama di dalam hati dalam bentuk berikatan dengan protein yang disebut feritin. Untuk menjaga badan agar tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh badan dari makanan. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru (Linder 1991). Proses penggantian selsel darah merah yang lama dengan sel-sel darah merah yang baru disebut turn over. Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar, yaitu sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan kembali oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah yang baru Pada keadaan seimbang 1-2 mg zat besi diserap dan dibuang oleh tubuh setiap hari. Diet zat besi diserap oleh entrosit usus dua belas jari. Zat besi dalam tubuh bersirkulasi dalam plasma berikatan dengan transferin. Sebagian besar zat besi digunakan sebagai prekursor eritroid dan sel-sel darah merah dewasa. Lebih kurang 10-15% terdapat dalam serat-serat otot (dalam bentuk mioglobin) dan jaringan lainnya (dalam enzim-enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan dalam selsel parenkim hati dan makrofag retikuloenditelial. Makrofag-makrofag ini menyediakan sebagian besar zat besi yang dapat digunakan melalui degradasi
21
hemoglobin pada eritrosit yang sudah tua dan mengambil kembali zat besi pada transferin untuk disebarkan ke sel-sel
Gambar 7. Skema metabolisme zat besi (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Hanya 1-2 mg zat besi dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang melalui jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses). Pada wanita zat besi yang dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dari pada laki-laki (Beard 2000). Selain kehilangan basal masih ada kehilangan lewat jalur lain. Setiap bulan wanita dewasa mengalami menstruasi, dan setiap periode menstruasi dikeluarkan zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/periode. Karena menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka banyaknya zat besi yang dikeluarkan setiap hari adalah 28 mg dibagi dengan 30 sama dengan kira-kira
22
1 mg/hari. Dengan demikian wanita mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki dewasa. Zat besi yang dapat diabsorpsi 5-10% (untuk menu makanan yang cukup bervariasi) maka seorang laki-laki dewasa harus mengkonsumsi zat besi sebanyak 13 mg/hari, dan wanita harus mengkonsumsi 26 mg/hari walaupun wanita mengeluarkan zat besi hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki, tetapi karena wanita lebih efisien mengabsorpsi zat-zat gizi termasuk zat besi maka untuk menjaga keseimbangan zat besi dalam tubuh, wanita dapat mengkonsumsi lebih rendah dari 26 mg/hari asal dalam bahan makanannya ada daging atau ikan dan sumber vitamin C yang cukup (Davidson 1973 dalam Husaini 1989).
Hepsidin Dan Peranannya Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ dalam tubuh (Daniel 2008). Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke dalam plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN). Ketika konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi terakumulasi dalam feritin sitoplasma (Ganz 2007).
23
Gambar 8. Efek interaksi hepsidin – ferofortin pada eksport besi sellular (Sumber: Ganz 2007. J Am Soc Nephrol 18: 394-400, 2007)
Hormon hepsidin pertama kali diisolasi oleh Park et al (2000) pada saat mempelajari karakter antimikrobial berbagai cairan tubuh manusia. Park et al (2001) mengisolasi suatu peptida baru dari urin dan menamakannya hepsidin, berdasarkan tempat diproduksinya (hati, hep-) dan karakter antimikrobial in vitro (-cidin). Studi sebelumnya oleh Krause et al (2000) juga mengisolasi peptida yang sama dari ultrafiltrat plasma dan menamakannya LEAF-1 (Liver expressed antimicrobial peptide), suatu peptida dengan karakter antimikrobial yang diekspresikan oleh hati. Yang istimewa dan tidak seperti peptida antimikrobial lainnya yang sekuen peptidanya sangat bervariasi antar species, pada beberapa spesies mamalia (tikus, babi) dan ikan sekuen hepsidinnya ternyata hampir identik dengan hepsidin manusia dan tikus yaitu pada manusia hanya terdapat satu macam hepsidin, sedangkan pada tikus didapatkan dua macam hepsidin yaitu hepsidin 1 dan 2. Namun Lou et al (2003) menyatakan bahwa ekspresi hepsidin 2 tidak berpengaruh terhadap metabolisme besi seperti hepsidin 1. Di tahun-tahun berikutnya studi-studi mengenai peptida ini makin berkembang sehingga diketahui bahwa peningkatan produksi peptida ini (hepsidin) berhubungan dengan
24
keadaan-keadaan seperti anemia berat, keganasan, peradangan kronis, serta diketahui adanya penurunan produksinya pada hemokromatosis.
Gambar 9. Struktur utama hepsidin manusia N = amino terminal, C = karboksi terminal, pita kuning = jembatan disulfida, pita biru = asam amino. Pola ikatan disulfida dengan 8 sistein terlihat pada sequence asam amino (Sumber: Tomas Ganz, Blood, 1 August 2003, Vol. 102, No. 3, pp. 783-788) Secara struktur, hepsidin manusia merupakan suatu peptida kecil kaya sistein (delapan sistein) yang didapat dari gugus C-terminal dari suatu asam amino prepropeptida, yang dapat diisolasi dari urin dan ultrafiltrat darah, sebagian besar mengandung 25 asam amino (hep-25) dan sebagian lagi ditemukan dengan rantai asam amino yang lebih pendek (hep-20 dan hep-22). Molekul hepsidin berbentuk seperti jepitan rambut (hairpin) kedua lengannya disilang oleh gugusan disulfida. Suatu hal yang tidak biasa yang tampak pada molekul ini adalah susunan sisteinnya, dimana terdapat jembatan disulfida pada dua sistein yang berdekatan sehingga reaktifitas kimianya lebih besar dibandingkan dengan ikatan disulfida pada peptida antimikrobial lainnya seperti pada defensin, takiplesin dan lainnya. Hepsidin ini diyakini sebagai regulator kunci dari homeostasis besi dengan cara meregulasi absorbsi besi di usus, mendaur ulang besi dari makrofag dan mengontrol persediaan besi di dalam hati: Hormon hepsidin ini juga muncul untuk meregulasi transpor besi melalui placental syncytiotrophoblast selama kehamilan
25
(Nemeth & Ganz 2006). Di dalam enterosit, hepsidin terikat pada protein transport besi basolateral (feroportin), inisiasi internalisasi dan mendegradasi ferofortin tersebut dan secara efektif menghambat fluks besi dari sel dan mereduksi absorpsi besi (Nemeth et al. 2004). Pada tikus transgenik over ekspresi hepsidin diasosiasikan dengan anemia pada imflamasi dan anemia defisiensi besi yang berat. Meskipun pada tikus ekspresi hepsidin menunjukkan berbanding terbalik dengan absorpsi dan ekspresi protein transport besi (Frazer et al. dalam Young et al. 2009), namun sampai saat ini hubungan yang signifikan antara ekspresi hepsidin dan absorpsi besi pada manusia belum ditetapkan. Hal ini disebabkan karena ukuran dari protein ini yang kecil (25-AA) sehingga sulit untuk diukur. Hal ini mengarahkan beberapa peneliti untuk mengukur prohepsidin, yaitu suatu 60-AA linear yang merupakan prekursor bagi
peptida
25-AA
yang
mengandung
empat
ikatan
disulfida
(Young et al. 2009).
Hubungan Hepsidin Dengan Metabolisme Besi Hubungan antara hepsidin dan metabolisme besi diungkapkan pertama kali oleh Pigeon et al tahun 2001 (saat meneliti respon hati terhadap beban besi yang berlebihan) yang menyatakan bahwa mRNA hepsidin diproduksi oleh hepatosit dan lipopolisakarida serta beban besi yang berlebihan baik secara oral maupun parenteral dapat merangsang produksi hepsidin sebagai feedback terhadap keadaan besi berlebihan tersebut, sehingga gen hepsidin dianggap sebagai gen upstream stimulatory factor-2 (USF2). Nicolas et al (2001), menyatakan bahwa pada hewan percobaan tikus yang dihilangkan fungsi gen USF2-nya akan mengalami kondisi seperti hemokromatosis, dimana terjadi hiperabsorpsi besi pada usus dan peningkatan pelepasan besi dari makrofag sehingga terjadi peningkatan kandungan besi pada hati dan pankreas serta defisiensi besi pada limpa. Pada hati terjadi kekurangan mRNA hepsidin. Untuk membuktikan bahwa hepsidin dapat secara langsung sebagai sensor pada homeostasis besi, maka pada studi Nicolas et al (2002). berikutnya dibuatlah model tikus percobaan tansgenik dengan over ekspresi hepsidin (kebalikan dari penelitian sebelumnya). Model transgenik tersebut menunjukkan kadar besi tubuh
26
dan anemia mikrositik yang berat, sedangkan fetusnya mati pada masa perinatal dengan anemia defisiensi besi yang berat, sehingga disimpulkan bahwa hepsidin merupakan suatu regulator negatif uptake besi di usus serta release besi dari makrofag maka terjadi retensi besi di makrofag (Agustriadi & Suega 2006).
Gambar 10. Skema hubungan hepsidin dengan metabolisme besi (Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)
Kelebihan zat besi berbahaya, karena menyebabkan pembentukan radikal bebas. Seluruh zat besi tubuh diregulasi terutama pada tingkat absorpsi oleh enterosit, tidak ada jalur regulasi aktif untuk ekskresi zat besi (hanya dapat terjadi karena perdarahan atau pengelupasan enterosit yang memuat zat besi). Regulasi pengambilan zat besi oleh enterosit dan pengeluaran simpanan zat besi dari makrofag dan hepatosit dimediasi oleh hormon hepsidin, dan dampaknya terhadap ferroportin (lihat skema di atas). Hepsidin menurunkan kadar zat besi serum dengan menurunkan absorpsi zat besi dan mencegah makrofag mengeluarkan zat besi ( menyebabkan penumpukan besi). Hepsidin diregulasi oleh kadar zat besi dan eritropoisis. Meningkatnya zar besi akan akan mengatur hepsidin yang selanjutnya menurunkan kadar zat besi dan berakibat buruk. Eritropoisis yang aktif menghambat hepsidin ( membiarkan zat besi diabsorpsi/dikeluarkan untuk
27
sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin meningkat karena peradangan sitokin, terutama IL-6 dan penurunan ketersediaan zat besi selama proses peradangan. Karena itu peradangan menyebabkan suatu defisiensi zat besi fungsional karena zat besi tidak dikeluarkan dari makrofag ( menghasilkan peningkatan simpanan zat
besi).
Hal ini menyebabkan anemia pada penyakit
peradangan
(Andrew 1999).
Cara Mencegah dan Mengobati Anemia Kegiatan penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dilakukan merupakan kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yaitu promosi atau kampanye tentang anemia kepada masyarakat luas ditunjang dengan kegiatan penyuluhan. Salah satu strategi untuk meningkatkan asupan Fe adalah dengan suplementasi Fe. Berdasarkan Pedoman Penanganan Anemia yang dikeluarkan oleh Depkes tahun 2001 untuk mencegah dan mengobati anemia adalah sebagai-berikut: 1.
Meningkatkan konsumsi makanan bergizi. Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, tempe). Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
2.
Menambah pemasukan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah (TTD). Tablet Tambah Darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat. Tablet Tambah Darah adalah obat bebas terbatas sehingga dapat dibeli di Apotik, Toko Obat, Warung, Bidan Praktek, Pos Obat Desa. Dianjurkan menggunakan Tablet Tambah Darah generik yang disediakan pemerintah dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu dapat juga dipergunakan Tablet Tambah Darah dengan merek dagang lain yang memenuhi kandungan seperti Tablet Tambah Darah generik. Tablet Tambah Darah diminum 1 (satu) Tablet Tambah Darah
28
seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama haid. Untuk ibu hamil, minumlah 1 (satu) Tablet Tambah Darah setiap hari paling sedikit selama 90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan 3.
Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti: kecacingan, malaria dan penyakit TBC.
Berdasarkan panduan yang dianjurkan oleh International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG), penggunaan zat besi untuk suplementasi dalam mencegah dan menangani anemia defisiensi besi dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini:
Tabel 4. Petunjuk untuk suplementasi zat besi yang dianjurkan/hari oleh INACG Group
Dosis
Anak-anak umur 2-5 tahun
20-30 mg zat besi
Anak-anak 6-11 tahun
30-60 mg zat besi
Remaja dan orang dewasa
60 mg zat besi
Pada anak-anak usia 2-5 tahun berdasarkan dosis zat besi 2 mg/kg berat badan/hari. Jika kelompok populasi termasuk remaja atau wanita usia subur, harus menambahkan 400 µg asam folat bersamaan dengan suplementasi zat besi untuk mencegah kelainan kelahiran pada wanita yang nantinya akan mengalami kehamilan. Apabila di daerah tersebut merupakan endemik hookworm (prevalensi 20-30% atau lebih) akan lebih efektif bila mengkombinasikan suplementasi zat besi dengan penanganan antihelmintik baik terhadap orang dewasa maupun anakanak di atas umur lima tahun (Stoltzfus & Dreyfuss 1998).
Dosis untuk
penanganan antihelmintik yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 5. Lama suplementasi pada remaja dapat dilakukan selama tiga bulan (Tee at al 1999; Haidar et al 2003) atau enam bulan (Viteri et al 1999; Sungthong et al 2002). Pemberian suplemen dapat dilakukan tiap hari, satu kali perminggu atau dua kali perminggu. Penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di Lima Peru menunjukkan bahwa pemberian suplemen tablet besi dua kali seminggu menunjukkan hasil peningkatan Hb yang tidak berbeda nyata dibandingkan
29
dengan yang diberikan tiap hari (Zavaleta et al 2000). Respon Hb terhadap suplementasi tablet besi terjadi pada saat konsumsi tablet besi ke-20 dan tidak berpengaruh setelah konsumsi tablet zat besi ke-40 (Ekstom 2001). Karena terdapat perbedaan pola suplementasi yaitu harian dan mingguan, maka pendekatan selain lama suplementasi dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kapsul yang diminum, harus lebih dari 20 tablet (Briawan 2008).
Tabel 5. Dosis antihelmintik yang dianjurkan oleh INACG Antihelmintik
Dosis
Albendazole
400 mg dosis tunggal
Mebendazole
500 mg dosis tunggal
Levamisole
2,5 mg/kg bb dosis tunggal
Pyrantel
10 mg/kg bb dosis tunggal
Penanganan antihelmintik dapat diberikan pada ibu hamil dan ibu menyusui. Namun aturan secara umum tidak boleh memberikan obat pada trimester pertama Bila di daerah yang endemik schistosomiasis saluran kencing, penanganan tahunan untuk anak usia sekolah yang dilaporkan terdapat darah dalam urinnya maka dianjurkan untuk diberikan : Praziquantel
40 mg/kg bb dosis tunggal