TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pemberdayaan
Konsep pernberdayaan (emp~wemrenr)dapat dipandang sebagai bagian dari
aliran-aIiran scperti eksistensialisme, fenomenologi, dm personalisme yang muncul pada paruh abad ke-20 yang Iebih dikenal sebagai aliran post-modemisme. AIiran ini
rnenitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pa& jargon-jargon
antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pa& dunia kekuasaan. Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi ter-
hadap alam pikimn, tata-masyarakat dan tata-budaya sebelumnya yang berkernbang di suatu negara (Pranarka dm Vidhyandika, 1996).
Pada awal gerakan modem, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan afternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada hakikatnya, proses pemberdayaart &pat l pandang sebagai kekurangberdayaan Clan sistem
kekuasaan yang absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi, dan militer). Konsep
ini digmtikan oIeh sistem baru yang berlandaskan id111manusia clan kemanusiaan (humcmisme) serta rnenolak segala bent& power yang bennuara pada proses
dehumanisasi eksistensi manusia (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Pemberdayaan adalah upaya pengembangan kebebasan rnasyarakat miskin memilih dan bertindak dicirikan voicelessne.~~ dan powerles.uness terhadap stale dm mlrrkers. Word Bank (2002)menyatakan bahwa: "Empoweimeni is the expunsion ($assets and capabilities of pour people lo participute in, negotiute with, injluence, control, umd hold uucountable insfitutium that aJffect their lives. "
Parson (Hikmat, 2001) menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat
adalah variabel j umlah. Menurtrf perspektif tersebut, power rnasyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secam keseluruhan yang disebut tujuan kolektif
(misalnya, &lam pembangunan ekonomi ). Logikanya, pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak
berpenganih negatif terhadap kekuasam (powe$us). Dengan pengertian ini kelompk
miskin &pat diberdayakan meld ui ilmu pengetahan dm kemandrrian sehingga &pat berperan sebagai agen pernbangunan. Pemberdayaan &lam perspekt1f sosioiugi meitwvt Kusnaka Adirnihaj a (Hikmat, 2001: x) adalah menampilkan peran-peran &if dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya. Secara paradoks, mernberdayakan sistem lain, atau secara paterndistik melimpahkan kekuatan ( p w e r ) kepada orang d a p t juga berarti
memberdayakan mereka Memberikan kekuatan (power) akan menghasilkm hierarki
kekuatan dan ketiadaan kekuatan. Simon (Hikmat, 2001: x) menyatakan bahwa pemberdayaan adaf ah suatu aktivitas reff eksi, suatu proses yang mam pu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang rnencari kekuatan atau penen-
tuan diri sendiri (seIf-deremination). Sementara proses lainnya hanya dengan mem-
berikan iklim, hubungan, sumber-swnber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapt meningkatkan kehidupannya. Pemkrdayaan mempakan sistem
yang berinteraksi dengan lingkungan sosid dan fisik. Pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat lob1 pada dasarnya adalah upaya langsung pa& akar permasalahan, yaitu meningkatkan potensi kemarnpuan masyarakat lokal itu sendiri. Kenyataan menunjukkan ketideikberdayaan sebagai sumber malapetaka dan dehumanisasi dapat saja terjadi karena lingkungan di
luar poii tik, bahkan dapat pula tejadi sebagai akibat dari disposisi batin dan mental subyektif dari individu yang bersangkutan.
Pemahaman dan cakupan konsep pemberdayaan sangat Iuas, karena konsep ketidakberdayaan (disempowerment) dapat terjah sebagai akibat dari struktur sosial, dari hubungan rnanusia satu dengan yang lain, dan situasi keluarga, situasi rnasya-
rakat, situasi kerja, konclisi ekonomi, pendidikan, sosia? budaya, di sarnping yang
tergelar dalam bta politik dan pemerintah. Ddam ha1 ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh kondisi dan disposisi subyektif, rnaka pemberdayaan hams menjadi gerak yang tumbuh dari dalam. Friedrnann ( 1 992: 66) mengemukakan bahwa kerniskinan merupakan bentuk
ketidakberdayaan sosial, politik, dm psikologis. Model ketidakberdayaan kerniskinan &ah
varian politik (political variunt ) dari pendebtan kebutuhan dasar (hasic-
needs). Model ini terpusat p u b politik ketirnbang perenca-naan sebagai proses yang
terpenting sehingga perlu diidentifikasi clan menjadi sarana untuk mencap kepuasan
keluarga ymg hendak diberdayakan. Asumsi utama dari model ini addah bahwa mah-rumah tangga (households)
kekurangan kekuatan sosial (social power) unhik memperbaiki kondisi kehidupan anggota keluarga rnereka. Kekuatan sosial (social power) adalah kekuatan yang
berhubungan dengan masyarakat madani f civil sociery); yang terbatas oleh perbedaan bentuk kekuatan negara, ekonomi, dan politik (Friedmann, 1992: 67). Masing-masing kekuatan didasarkan pada swnberdaya tertentu yang &pat diakses oIeh pelaku secara
kolektif. Kekuatan civzi sociery diukur oleh perbedam akses rumah-rumah tangga terkdap basis sociul power. Jika kerniskinan rnerupakan suatu bentuk ketidakberdayaan, maka masyarakat miskin periu diberdayakan. Menurut Mikkelsen (1999: 200), p&is
setiap pendekatan
untuk mengurangi kemiskinan harm dirnulai dengan definisi yang sahih
bag1 sekurang-kurangnya satu masyarakat tertentu, dan pzrhatian hams dipusatkan untuk menghilangkan penyebab kemiskinan bukannya pada penghapusan kemiskin-
an. Karena itu, perlu menginventarisasi definisi dan indikator lokal kemiskinan, dm apabila rnutlglun memetakannya. Ini sangat penting bagi upaya rnenciptakan bentuk program ymg sesmi dengan kebutuhan sebenamya dari kelompok miskin tersebut. Konsep pemkrdayaan masyarakat lokal dianalogkan pula dengan konsep
"hidup layak" yang menjadi ciri dari keberadaan potensi suatu masyarakat untuk
berkembang d m mampu mentaati nilai dan norrna yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh lingkungan masyarakat. Untuk mernudahkan pemahaman, konsep ini seakan-akan merupakan sisi lain dari mata uang bergambar ketidakberdayaan. Dalarn
rnengkaitkan ukuran ketidakberdayaan dengan hidup layak dinyatakan secara relatif, yaitu betubah dari waktu ke waktu.
Pemberdayaan masyarakat rnerupakm hasil kej a dari proses dialektika, baik ditingkat ideologis rnaupun praktis, tidak hanya terbatas pada lingkup ekonorni namun juga secara politis, sehinga masyankat rnemiliki psisi tawar yang lebih
baik. Di tingkat ideologis, pernkrdayaan merupakan fiasii hdektika antara konsep
top-down dan bottom-up, maupun antam
gruwth stratew dan people<entt.red
strategy, sedangkan lalektika tingkat praktis terwujud dari pertentangan antar
otonorni. Pemberdayaan adalah model pembangunan ekonomi yang merangkum nilainilai sosial. Menurut Chamber (1 995), paradigma baru pembangunan tersebut lebih
bersi fat people-cenrered,prticipalory, empowering, and smtuinuble. Ddam tingkat
konsepsional, daya diartikan sebagai kekuatan clan dalam yang dapat diperkuat oleh unsur-unsur penguatan dari luar untuk memotong Iingkaran setan yang menghubung-
kan daya tersebut dengan pembagian kesejahteraan. Karena itu, pemberdayaan dapat ditujukan pda dua sasam~,yaitu: (a) melepaskan belenggu kerniskinan dan keterbelakangan, dm (b) memperkuat posisi lapisan penduduk Iokal dalam struktur
kekuasaan. Pemkrdayaan masyarakat IokaI pada dasarnya tidak mempertentangkan antara konsep pertumbuhan dengan konsep pemerataan. Dua konsep tersebut tidak h a s diasumsikan sebagai tidak serasi (incompcrtibk) atau bersifat antitesis (untifirelical). Model pemberdayaan masyarakat lokd berpendirian bahwa dengan pemerataan akan tercipta l a n h n yang lebih luas unhrk pertumbuhan, sehingga &pat menjamin per-
turnbuhan secara krkelanjutan. Oleh karena itu, pola pertumbuhan sama pentingnya
dengm pmemtaan itu sendiri. Pola pertumbuhan yang tepat bukan bersifat vertikal
dan menghasilkan tetesan ke bawah, melainkan bersifat horizontal, berbasis luas, menciptakan kesempatan kerja, dan tidak terkotak-kotak. Pemberdayaan dapat pula dipandang sebagai sebuah model pendekatan partisi-
patoris. Menurut Mikkelsen (1 999:65), sebam sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan "pemberdayaan," yakni setiap orang berhak menyatakan pendapt dalam peng-
ambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.
Marzuki (2000: 88) melihat konsep pemberdayan dari teori ilmu jiwa, yaitu bahwa manusia memiliki berbagai daya yakni : dayalkekuatan berpikir, bersikap dan
bertindak. Daya-daya inilah yang hams ditumbuhkembangkan pada manusia dan
kelompok manusia agar tingkat berdayanya tinggi mtuk rnengubah diri dan ling-
kungannya. Pemkrdayaan rnasyarakat pada hakekatnya adalah pembangunan
masyarakat itu sendiri.
Menurut pendapt Hubeis (2000: t 4), pemkrdayaan masyarakat (commwzr~ empowerment) adalah penvujudan clan pengembangan kapasitas (cupucldy building)
masyarakat yang bernuansa pa&
pemberdayaan sumberdaya manusia meldui
pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat
pedesaan seiring dengan pembangunan sosial ekonomi rakyat, pramma dm sacana serta pengembangan sistem Tiga-P: Pendampingan yang dapat menggerakkan partisi p i total d m masyarakat; PenyuIuhan yang dapat merespni dan memantau
pembahan-pembahan yang terjadi di m a yarakat; dan Pelayanan yang berfungsi
sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisi k dan non-fisik yang diperlukan oleh masyarakat.
Menurut Slamet (2000: 8-9), konsep pemberdayaan masyarakat mengandung
pengeman, yaitu (a) ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan; (b) cam membuat masyankat mampu membangun dirinya sendiri, (c) mampu = berdaya
=
tahu, rnengerti, faham, termotivasi, berkesempatan, meli hat peluang, &pat memanfaatkan peluang, berenerg, rnampu bekqa sama, tahu berbagai alternatif, marnpu
mengambil keputusan, berani menghadrlpi resiko, mampu rnencari dan menangkap
informasi, mampu bertindak sesuai situasi; (d) penyuluhzrn pembangunan bertujuan mengembangkan sasaran menjadi sumberdaya manusia yang marnpu meningkatkan kualitas bbupnya secara mandiri, tidak bergantung pada belas kasihan pihak lain;
(e) program-program penyuluhan pembangunan
menyediakan segala macam
infomasi, teknologi, kesempatan berlatih dm berorganisasil bekerjasama sebagai ahernatif yang dapat diakses secara relatif mudah oleh masyarakat bukan sebagai perintah atau keharusan dan keseragaman; (f ) dengan penyuIuhan pembangunan, masyarakat sasaran mendapatkan dternatif dan mampu serfa memililu kebebasan
untuk memilih ahematif yang terbaik bagi dirinya; d m ( g ) pernberdayaan itu akan rnenghasilkan rnasyarakat yang dinarnis dan progresif secara berkelanjutan, sebab d i e oleh m b y a motivasi intrinsik dan ekstrinsik sekaligus.
Paradigmst h r u Penyulnhen Pembrmngunan dalam Pem berdayaan Masyarakat
Pengertian pambgma (Kuhn, 2000: v) diperkenalkan pertama oleh Thomas S. Kuhn I962 dalarn karyanya yang monumental The Strucfure of Sc~enceRevolurron, untuk melihat perkembangan dm revolusi ilmu pengetahuan, tetapi dalm
perkembangannya banyak pengertiannya. Misalnya, penellti seperti Patton (Karsidi,
2000: 53) mengartikan paradigma sebagai "a world view, a general perspective, u wuy of breaking down the cornplex~fyof real world." Namun yang dimaksud
paradigma di sini addah konstelasi teori, suatu nilrti dm tema pemikiran. Konstelasi
ini dikernbangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan k a n g k a konsepsi dalam memberi rnakna realitas sosial. Paradigma rnerupakan ternpat kita berpijak dalam rnelihat realitas sosial. Kekuatan suatu p d g m a (Karsidi, 2000: 53) terletak pada kemarnpuan membenhtk
hal-ha1 yang kita lihat, cara kita melihat sesuatu, sesuatu yang kita anggap masalah, macam m d a h yang kita rasa bermanfaat untuk dipecahkan serta macam metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma sebaliknya mempengaruhi
apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita Iihat dan tidak ingin kita ketahui. Oleh karena itu, dominasinya suatu W g m a terhadap paradigma yang Iain sesungguhnya bukanlah urusan saIah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer ( 1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma ymg lain Iebih disebabkan para pendukung paradigma yang rnenang itu Iebih memiliki kekuatan &n
kekuasaan bower) dan pengkut
paradigma yang dikdahkan clan bukan karena paradigma rnereka lebih baik dari yang dikalahkan.
Memilrh paradigma dan teori pembangunan adalah suatu pemihakan &n
berdamkan nilai-nilai tertentu yang kita anut, karena pimildan adalah mustahil
mtuk &pat dihindarkan. Misalnya untuk mengatasi masalah kimiskinan dan keterbdakangan rakyat, formula-formula yang selama ini digunakan dapat dipandang t i d a k h n g dapat mengatasi m d a h kerniskinan namun j ustru menciptah
kimiskinstn massal. Oleh karena itu, tututan untuk mencari dm rnengembmgkan
paradigma baru sangat mendesak untuk dilakukan secara lebih intensif d m serius
p a pabaikan dimasa datang. Kegagalan dalam merumuskan dan mengembangkan paradigrna baru &lam pembangunan ekonomi yang demokratis dm menjamin
kesejahteraan dm keadilan baa masyarakat banyak, akan memperpanjang penderitaan bangsa dalam proses pembangunan. Pemkrdayaan rnasyarakat (Slarnet, 2000: 8) merupakan ungkapan lain &an tujuan penyuluhan pembangunan. Menurut van den Ban
dan Hawkins (1 9991,
pengertian penyuluhan pada dasarnya &pat dikelornpokkan menjadi dua aliran atau
mazhab, yaitu aliran yang lebih menekankan pada perubahan perilaku melalui proses
pendidikan clan diran yang lebih menekankan pada pemecahan masalah (problem solving). DaIam prakteknya, aliran yang menekankan pada pemecahan masalah
cenderung bernuansa transfer of technology yang besorientasi pada target-target produksi tertentu. Tipe-tipe penyuluhan seperti puckage bused lechnologv, part iciptive technology develr~pmen f , formers feud development, dim furmers KwodcJge system merupakan model linier yang mentransfer teknologi dari hasil
perakitan peneliti dan penyuluh untuk dimpaikan kepada petani sebagai pengguna.
Berbeda dan penyuluhan yang menekankan transfer teknologi, penyuluhan yang menekankan perubahan perilaku memandang p e n y u l h sebagai suatu proses
pendidikan. Pendidikan (educution) yang dalam bahasa Latin adalah educure berarti berupaya agar potensi yang dimiliki sewrang menjadi kemampuan yang nyata. Dalam pengertian ini, penyuluhan merupkan kegiatan untuk rnemberdayakan klien untuk rnampu mengambil keputusan secara mandiri dan memecahkan masalahnya sendiri secara bertanggungjawab. Dari studi pustaka di ketahui bahwa penyuluhan yang menekankan transfer teknolog dengan segda tunrnannya dikenal sebagai
paradigrna lama penyuluhan, sedang
penyuluhan yang menekankan proses
perubahan perilaku melalui pendidikan yang memberdayatcan dikenal sebagai paradigma baru penyuluhan seperti terlihal pada Tabel 1 .
Tabel I . P&daan antara Penyuluhan Parahgma Lama dengan Paradigma Baru
No 1.
Unsur Dlanalisis Model
Paradigma Baru
Paradgma Lama
aTransfer
[email protected] keberhasilan adalah produksi yang meningkat. Manusia (klien) dipandang sebagai objek penyul uhan 2
a. BerdaSarkan pada f d d .
pendidhn yang berorientasi pa& unsur rnanusia (kiien). U k m kekrhasilan adalah manusia yang mandiri b.M d e l pemberdayan (empowerment) yang mengutamakan kermn&an. Ke?xxbsilan
&.ModelS-M-C-R-E. Perryduh bdimgsi sebagai jembatan antara peneliti dengan petani . Keberhssilan sangat tergmtung tergantung pada Klien kepada sipeneliti y ang menemukan teknalogi dan sipenyuluh c. Arus komunikasi bersifat linier. c.Partisipasi klien lebih besar P a y uluh lebih berperan daripada daripada penyuluh. klien dm informasi h i f a t satu Komunikasi dengan banyak arah. Bersifat bofiom u arah (top down) 2.
KLien
Klien sebagai pen& (recipr) informasi be1aka Kurang diIibatkan dalam keselmhan kegiatatt
3.
4.
Penyuluh
Proses
Merniliki ciri-ciri pengajar. Penyuluh meI&ukan kegiatan mengajar dan sumber informasi serta dianggap sebagai ahli
Admya proses p e m k a n ilmu.Penyuluh sudah siap sedia tentang materi yang akan diberikan. Sudah ada praktek yang &an hberikan sehingga terkban dengan target-target tertentu
Sumber: Disasikan dari: '~arsidi(2000) dan
2
KIien sebagai mitra atau warga belajar. Petani sebagai sumber i n f o m i dan banyak terlibat Penyuluh melibatkan diri. PenyuIuh berperan sebaga~ failitator, mediator dan pemandu yang bersifat demokds dan egditer Admya proses penemuan ilmu. Klien menemukan sendiri i h u rnelalui pene1usur;m atau penggalian. Klien bainteraksi dengan lingkungan a h dan sosid dan menetapkan ilmu sesuai kebutuh-y a
Padmowihardjo ( 1997).
I
Sumardjo (2000: 1 ) menyatakan bahwa banyak program penyuluhan kurang memberdayakan dan mernandirikan rnasyarakat sasaran karena menyimpang dari falsafah penyuluhan itu sendiri. Banyak program yang rnenggunakan nama penyu1uha.n tetapi isinya sesungguhnya bukan p e n y u l b . Program penyuluhan sering
dimanfaatkan untuk kepentingan politis dan ekonorni yang berkuasa, sehingga kurang dirasakan mdaatnya dari sisi sasaran penyuluhan.
Sumardjo (2000: I ) clan para ahli lainnya (Slamet, 1994: 27; Hubeis, 1994: 1 ) menyatakan bahwa program yang rnenggunakan nama atau pendekatan penyuluhan masih belum difahami secara meluas, baik oleh pelaksana maupun oleh pihak
sasaran. Program penyuluhan sering dicemari oleh kornponen subsidi yang kurang proporsiond sehingga mengahbatkan ketergantungan dan menekan kernandrim. Banyak diternukan program peny uluhan belurn drancang atau direncanakan secara profesional. Bahkan, sebagian besar masy&t
(Hubeis, 1994: 1 ) mas~hberanggap
an bahwa kegiatan penyuluhan boleh a&-boleh tidak, dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Sering dihadapkan pada kenyataan seorang penyuluh profesional namun tidak
memungkinkan bag nya untuk bertindak secara profesiod. Pekerjaan penyduh juga
belum mendapat apresiasi yang semestinya, dm beium difasilitasi secara mernadai. Surnardjo (2000: 2) mensitir bahwa ha1 tersebut kemungkinan erat kaihnnya
dengan b a n y h y a lembaga penyuluhan yang dipimpin oIeh orang yang awam dalarn
penyuluhan. Slamei (2000: I I ) rnenyatakan bahwa tantangan penyuluhan maszt kini, antara lain adalah: (1) Menyiapkan smberdaya rnanusia yang berkualitas menuju masyardcat maclaw; (2) Menyiapkan sumberdaya manusia yang mampu rnelaksanakan dan r n e d a a t k a n
otonomi d a e d ~ dengan baik; (3) Memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Menwut Sumardjo (2000: 21, bila hendak memkdayakan rnasyarakat melalui p e n y u l h n perlu dipahami beberapa M berikut: ( 1) Apa itu penyuluhan: falsafah, prinsip-prinsip, tujuan dm metode yang tepat untuk
dipiiih &lam suatu program maupun kegiatan penyuluhan? (2) Apa hubungan pemberdayaan masyarakat, rnasyarakat madani dengan tujuan
penyuluhan? (3) Bagaimana peran penyduhan dalarn pemberdayaan masyarakat?
Masyarakat madani p d a dasarnya adalah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri (Slarnet, 2000: 8; Sumardjo, 2000: 2) yaitu (1) berdaulat, komunikatif, antisipatif, clan
adaptif terhadap perubahan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun ling-kungan fisik (SDA); (2) berkeswadayaan tinggi ; (3) menerima adanya keberagaman; (4)
selalu berusaha mengembangkan diri; ( 5 ) tahu prioritas apa yang dibutuhkan bagi
kehidupannya dan bagaimana mendapatkannya; dan ( 6 ) dm berani mengarnbil keputusan dm merasa krtanggungjawab atas setiap perilakunya tersebut.
Fahafah dan Prinsippriosip Penyuluhan Pengertian Penyuluhan
Pengertian penyuluhan bukanIah sekedar penerangan tentang berbagai kebi-
jakan pemerintah atau penerangan untuk mewujudkan kepentingan pihak-pihak tertentu yang lebih berkuasa. Penyuluhan juga bukan sekedar penyebaran teknologi (trc~n~fer uf tecknololy), dan bukan pula program chunty yang bersifat darurat
(Sumardjo, 2000: 4). Akan tetapi, rnasih menurut Sumardjo f 2000: 41, penyuluhan adalah program penddikan luar sekolah yang bertujuan untuk (1) mmberdayakan
sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran s e c m mandiri dan (3) mernbangun rnasyarakat rnadani. Penyuluhan ti&
bersifat ud-hock, melainkan suatu sistem yang
berfungsi secara berkelanjutan. Pa& dasamya penyduhan adaiah program yang
menbasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masywakatnya.
Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat adalah pendidikan non-formal, atau penyuluhan yang berperan
memberdayakan masyarakat sasaran dengan cara
sebagai krikut: (1 ) Mengembangkan kemampuan masyarakat menjadi semalun kritis ddam meng-
anti sipasi, melihat dan memahami pennasalahan kehidupan;
(2) Secara demokratis mengembangkan proses adopsi inovasi yang lebih meng-
untungkan masyarakat sasaran penyuluhan; (3) Mendamping sasaran penyuluhan dalam proses pemecahan masaIah (saling
belajar dan saling berbagi pengalaman);
(4) Menjadi mediator antara pembuat kebij&an dan khalayak sasaran, penyuluh sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku (subyek); ( 5 ) Mengembangkan kesadaran masyarakat atas peluang-peluang yang a h , untuk
rnerencanakan pembangunan, melaksanakan, rnengevaluasi d m menikmati hasilnya secara optimal; ( 6 ) Mengembangkan kemampuan masyarakat untulc menentukan program pem-
bangunan, berasas lokal dan juga berorientasi global;
(7) Mengembangkan kemampuan rnasyarakat &lam mengontrol masa depan; dm (8) Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menguasai clan beradaptasi
terhadap lingkungan fisik dsn lingkungan sosial (Sumardjo, 2000: 5). Falsafah dan Tujuan Penyuluban
Menwvt Slamet dan Asngari (1969) dan Surnardjo (1999), falsafah dasar
penyuluhan, yai tu (1) penyul uhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi dan (3) penyutuhan addah proses kontinyu. Pendidikan (education)
k r m l dari bahasa Latin yaitu ex yang berarti keluar dan deuure berarti potensi. S e m M a h educare beram rnengeluarkan atau mewujudkan potensi. Pendidikan
adalah upaya agar potensi rnanusia keluar. lntinya adalah interaksi dan bukan transfer ilrnu. Falsafah penyuluhan juga be&
menolong orang agar orang tersebut
mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk mening-
katkan kesejahteraannya (fu help people to help themselves thruught edercar~oml meany to rmprove their level
of living).
Faisfah menolong orang untuk menoIong dirinya sendiri rnelalui proses penIdikan, menurut Sumardjo (2000: 5), berarti segala bentuk upaya &lam proses penyduhan merupakan suatu proses pendihkan yang menglutsilkan kemandirian (autonumy) yang membawa kesaling-ketergantungan (~nterdependenf)yang setara,
dan bukan justru rnenghssilkan ketergmtungan. Seperti
kata pepatah, penyuluhan
bukanlah memberi ikan, tetapi memberi cara memancing yang efektif clan cara mendapatkan p c i n g yang paling tepat. Penyuluhan berarti suatu upaya meng-
kondisikan situasi sedernikian rupa sehrngga terjadi proses belajar pada sasaran
penyduhan secara suka rela untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Jadi, tujuan penyuluhan addah terjadinya perubahan perilaku secara suka reIa (atas dasar
kesadaran diri dan pernahaman yang tepat) bahwa perubahan perilaku tersebut berguna bagi kepentingannya yakni peningkatan kualitas kehidupan &ri, keluarga dan
masyarakatnya.
Penibahan-perubafianyang diharapkan t q d i , antara lain: ( 1) Pengetahuanlpemahaman bai k jenis, keddaman maupun ketepatannya
(2) Keterampilan dalam melaksmakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan
diri, kelurmrga dan rnasyarakatnya (3) Kecakapan dalam berpikir untuk meyelesaikan persoalan yang menyangkut
kehidupannya sehari-hari (4) Sikap, yaitu kecenderungan untuk: (a)
Tidak berpmangka terhadap hd-ha1 yang belum dikenal
(b) Berani men& dan mencoba sesuatu yang barn untuk memperbaiki kebiasaan hidup yang sudah tidak produktif lagi (c) Mau bekerjasama S a r a setara dalam menyelesaikan masalah bersama
(d) Memupuk sikap swadana dan swadaya (Sumardjo, 2000: 6). Secara singkat dapat dijelaskan bahwa penyuluhan yang tepat akan menghasilkan kemandirian. Proses kemandin'an itu d t c a p rnelalui tiga falsafah
pokok, yaitu:
(1) Penyuluhan
merupakan proses penhdikan, artinya bahwa pada dasarnya
perubahan perilaku sesearang dipengemhi oleh pengetahuan, keterampilan clan sikap rnentalnya, (2) Penyuluhan merupakam proses demokrasi, artinya bahwa perubahan perilaku
terjadi bukan melal ui paksaan, melainkan mereka berhak memutuskan sendri segala sesuatu yang diterimanya bedasarkan pertimbangan yang rasional,
kerjasama dm musyawarah bersama mereka, dan (3) Penyduhan rnerupakan proses yang kontinyu, artinya bahwa kegtatan penyuluhan
tidak akan berhenti selama manusia memiliki kebutuhan hidup dm masih memiliki kebutuhan untuk berusaha menjadi lebih sejahtera. Beran Penyuluh dan Metode Benyuluban
Penyuiuhan bukanlah rnerupakan kegiatan yang sifatnya mendiktekan sesuatu atau mengharuskan sesuatu untuk diketahui, diterima dan dilaksanakan d e h masyara-
kat sasaran penyuhhan. Melainkan, suatu upaya kreatif sehingga sasaran penyu-
luhan secara saclar mengetahui berbagai altematif pemecahan masalah kehidupannya, tertarrk dm m u rnenerapkan sesuatu ysng dianggap paling menguntungkan tanpa hams ditekan atau diancam oleh pihak lain. Ddam ha1 ini peran penyuluh berbeda pa& masyarakat yang berbeda tingkat kemandriannya, antara lain:
(1) Penyuluh berperan sebagai teman (pendamping atau sahabat atau teman dekat)
y ang dapat bersama-sama masyarakat mencari pemecahan masalah yang dihadapi sasaran penyuluhan, misalnya melalui metode-metode kunjungan usaha, konsuItasi, sekolah lapang, diskusi keIompk dan kunjungan rumah. (2) Penyuluh menyediakan berbagai alternatif pemecahan masalah setelah mema-
harni situasi, potensi d m pernasalahan yang dihadapi oleh m a s y d a t . Narnun, keputusan untuk rnemilih alternatif tetap pada masyarakat, rnisalnya meIaIui metode-metode media massa seperti leaflet, brosur, poster-poster, karyawisata, konsultasi, pameran pembangunan dan lain sebagainya.
(3) Penyuiuh rnenunjukkan afternatif pemecahan masalah yang dinilai bertharkan ujicoba (penyebar hasil penelitian) lebih efektif dibanding yang telah dilakukan oleh sasaran, apabila sasaran masih relatif awam terfiadap inovasi, misalnya melalui demonstrasi cam, demplot, denfarm, demonstrasi hasil dan lain sebagainya. (4) Penyuluh berperan sebagai pendorong semmgat sasaran penyuluhan apabila
sasaran penyuluhan sampai pada tahap kehabisan aka1 untuk memecahkan persoalan kompleks, mi salnya melalui kaqawisata, ceramah, diskusi kelompok, bersama sasaran penyuluhan rnencari dukungan dari berbagai pihak untuk
m e m e n masalah sasaran (rekayasa sosial ). Pengem bangan Sumberdaya Manusia rneialui Penyuluban Sumberdaya manusia (SDM) mempakan salah unsur utarna yang penting dalam
pernbangunan, baik daIam konteks makro maupun daiam konteks mikro. Dalam konteks makro pernbangunan memerlukan dukungan sumberdaya alam, s u k r d a y a material dan fmansial, clan sumberdaya manusia yang memiIiki kemampuan meman-
faatkan sumber-surnberdaya tersebut. Pembangunan tidak bisa mencapai sasaran y ang diharapkan, yaitu perubahan dalam rangka rnemperbaiki taraf hidup, apabila SDM yang m m j d unsur utamanya tidak mendukung untuk itu.
Dalam konteks rnikro, SDM diperlukan oleh setiap institusi kemasyarakatan clan organisasi. Berbagai institusi kemasyarakatan ini, seperti institusi keluarga,
institusi ekonorni, dan institusi keagamaan, mempakan unsur penting &lam pem-
binaan dan pengembangan SDM. Demikian pula &lam organisasi SDM berperan sangat penting terutama &lam pencapaian tujuan yang optimal. BiIa tujuan &hit setiap kegiatan pernbangunan, baik dalam konsteks makro maupun mikro, adalah
peningkatan taraf hdup, maka optimalisasi pencapaian tujuan itu adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara optimal (Kindervatter, 1979). Berdasarkan konsep
tersebut, dukungan SDM berkual itas sangat menentukan keoptimalan keberhasilan pen~apaiantujuan itu.
Sumberdaya manusia mernilki dua pengertian yang bisa dijadikan dasar kajian, yaitu: (1) SDM dalam pengertim derajat kualitas usaha yang ditampilkan seseorang yang terlibat dalam proses produksi untuk menghasilkan bslrang atau jasa dan (2)
SDM dalam pengerhan manusia yang memiliki kemampuan kerja untuk menghasilkan prduksi, baik h a n g dan jasa (Sirnanjuntak, 1985). Perbedam antara kedua
pengertian ini terletak pada derajat kuditas rnanusia I tu sendiri. Pa& pengertian
pertam, manusia dipandang sebagai SDM bi1a rnemililu kualitas yang sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan usaha. Dalam konteks makro ciri yang menandainya adalah
kwlitas untuk melaksakan perubahan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Adapun dalam konteks mikro, ciri yang menandainya adaIah kualitas untuk melaksanakan proses produksi, misalnya dalam suatu kegiatan bisnis atau
usaha tani. Jadi, dalarn pengertian ini manusia menjadi SDM apabila dia terlibat
dalam proses produksi d m kualitas kemampuan yang dimilikinya untuk m a g hasilkan prduksi itu.
Pada pengertiam kedua, aspek kualitas tidak ditonjolkan. Hal ini dikarmakan pada dasarnya setiap individu manusia yang termasuk pada kategori angkatan kerja terlibat atau dapat dtlibatkarr &lam proses pernbangunan atau proses produksi . Dalam
kondisi memiliki kemmpuan apapun dia termasuk SDM, apabila dia terlibat dalm proses itu. Biia tidak klum atau tidak terlibat, dia masih dikategorih sebagai
potensi . Oleh xbab ada persyaratan keterlibatan, bai k pada pengertian pertama maupun pada pengertian kedua, pemanfaatan kemampuan dalam proses pem-
bangunan nasional rnaupun dalam proses produksi merupakm indikator utarna proses pengembangan SDM. Artinya, upaya apapun yang diarahkan untuk meningkatkan kompetensi, krrnasuk pada upaya pengembangan SDM apabila dikaitkan dengan pemanfaatannya dalarn pembangunan atau dalam proses produksi.
Menurut Gilley dm Eggland (1989), pengembangan SDM rnempunyai tiga
misi, yaitu: (1) memungkinkan terjadinya proses perkembangan individu, terutama terfokus pada peningkatan kinerja yang terkait dengan pekerjaan yang ditangmi; (2)
menyiapkan pengembangan karir yang terfokus pada peningkatan lunerja yang dengan penugasan dalam jabatan di masa yang akan datang; dm (3) rnenyediakan
pengembangan organisasi yang rnengahasilkan penggunaan potensi dan kinejanya yang meningkat. Berdasarkan konsep ini, inti pengembangan SDM terkait dengan pemanfaatannya, baik &lam pemhgunan maupun dalam organimi. Ini disebabkan
pengembangan SDM itu sendiri merupakan konsep yang datang dari disiplin
ekonorni, yang penerapamya adalah &lam aktivitas ekonomi dalam behgai konteks, baik makro maupun mikro. Penyduhan rnerupakan salah satu upaya meningkatkan kemampuan sasaran membentuk perilaku tertentu yang dapat memperbaiki kualitas hdupnya. Melalui penyul uhan diharapkan timbul nya perubahan perilaku, sehingga masyarakat dapat
menolong diriya sendiri &lam memecahkan masalahnya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya, yang selanjutnya dapat rnencapai kesejahteraan hidupnya. Menurut Asngari (2001: 351, penyuluhan adalah sistem
pendidikan non-formal untuk mengubah perilaku SDM-kiien sesuai dengm yang
dikehen&
atau dlrencanakan. Tujuan jangka pendeknya adaIah mengubah perilah
SDM-klien, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap mentalnya. Tujuafi jangka panjangnya adalah meningkatkan pendapatan SDM-klien pengelola usahanya.
Dengan pendapatan yang meningkat SDM-klien dapat hidup Iebih baik dan lebih sejahtera. Teori Motivasi
Sernua kegiatan manusia seIalu berkaitan dengan motivasi, misdnya &lam bekerja kita mengenal motivasi kerja dan dalam belajar kita mengenal motivasi
belajar. Menunrt Padmowihardjo (1 994: 13 51, perkataan motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dm asi (action). Motif berarti dorongan dm asi berarti usaha.
Motivasi berarti usaha yang diIakukan rnanusia untuk merimbulkam dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Dorongan atau motif itu ada di beIakang tindakan manusia. Motif juga berarti segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Setiap orang mempunyai motif atau dorongan tertentu untuk melakukan sesuatu. Motif akan timbd jika &a-usaha
yang dilakukannya berkaitan dengan
kebutuhannya. Kebutuhan rnerupkan unsur ymg paling kuat untuk rnembentuk
motif. Motif rnendorong timbulnya tindakan dan berada &lam tubuh manusia. Ada dm jenis motivasi, yaitu motivasi intrinsik d m motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menunjukkan timbdnya dormgan melaku-
kan kegiatdaktivitas tertentu j d a diri seseorang berasal dari kesadammya sendiri untuk melakukan kegatadaktivitas tersebut, Misalnya, seseorang belajar dengan
tekun karena ia a d a r bahwa dengan belajar ia akan memperoleh pengetahwin yang
bemanfat untuk kehidupannya. Motivasi ekstrinsik adalah rnotivasi yang menunjuk-
kan timbdnya dorongan melakukan kegiatanlaktivitas tertentu berasai clan l uar atau orang lain. Misalnya, peny d u b pertanian berusaha membujuk petani melakukan PKT (pengendalian hama terpadu).
Herzberg (Thoha 1996: 20 2 -203) mengemhgkan teori motivasi dw faktor, yaitu faktor hygiene (syarat kej a ) dan faktor motivator (pendorong). Faktor lygiene
bersifat ekstrinsik b e d di luar d m ,sedang faktor motivator bersifat inhinsik berada
di dalam diri. Faktor hygiene, misalnya upah atau gaji, honorarium, kondisi tempat kerja, dan kebijaksmm administrrtsi organismi. Faktor motivator, misalnya keber-
hasilan, penghargaan, pekorjaannya sendiri, rasa tanggmg jawab, dan faktor peningkatan. Kedua faktor tersebut perlu untuk keberhasilan s u t u kegistan, namun faktor
motivator lebih besar untuk membangkitkan semangat kerja. Menurut Herzberg
(Thoha, 1996: 2021, persoalan-persoalan semangat kerja ti&
&pat diatasi dengan
pemberian upah dan gaji yang tingp, insentif yang besar, dan rnemperbaiki kondisi ternpat kerja.
McClelland (Thoha, 1996: 206) mengembangkan teori motivasi prestasi, yang mengemukakan bahwa manusia pa& hekekatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang fain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi
untuk berprestasi jika ia mempunyai keingnan untuk melakukan suatu karya yang
berprestasi lebih baik dari prestasi orang lain. Ada tiga kebuhrhan manusia menurut McClelIand (Thoha 1996: 206), yakni kebutuhan unhrk berprestasi, kebutuhan untuk
krafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan. Ketiga kebutuhan ini terbukti mempakan unsur-unsur yang m a t penting untuk menentukan prestasi seseorang dalam kerja.
Ada kberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi, antara lain:
( I j Memerlukan um pan balik yang segem. Orang yang msmpunyai kebutuhan prestasi tinggi, umumnya lebih menyenangi semua informasi mengertai hasi l-has11
yang dikerjakan. lnformasi yang merupakan urn pan bal i k yang bisa mernperbaiki
prestasinya dikemudian hari sangat dibuhlhkan oieh o m g tersebut. (2) Mernperhitungkan keberhasilan. Seseorang yang berprestasi tingp, pada umum-
nya hanya mem perhitungkan keberhasilan prestasi saja &n tidak memperdulikan penghargaan-penghargaan materi . (3) Menyatu dengan tugas. Sekali orang yang berprestasi tinggi memilih suatu tujuan
untuk dicapai, maka ia cenderung untuk menyatu dengan tugas pekerjaannya
sampai ia berm-benar berhasil gemiIang. HaI ini berarti bahwa ia bertekat a h
rnencapai tujuan yang telah dipiliknya dengan ketekatan hati yang bulat tidak
setengah-setengah. Pengertian Perladangan mrpindah
Dari stub pustaka ditemukan beberap definisi perladangan berpindah. Freeman (1955: 32) mendefinisikan perladangan krpindah (shfiing cuitivution) merupakan kegiatan ekonomi dengan ciri utama adalah: rotasi perladangan dmpada tanaman; membersihkan dengan membakar; tanpa tenaga hewan dan pupuk; hanya
menggunskan tenaga manusia; menggunakan tongkat kayu sebagai alat menanarn benih; memnami Iahan untuk jangka pendek dm mengosongkannya untuk jangka
panjang yang dilakukan secara bergilim. ". . . as an economy of which the main charucterisiic are rutution c~f fields ruther thun crops; clearing by meuns of fire; absence of draft anirnais and of manuring; use oJ-hmun labour only; employment ofthe dibble stick . . . ; short periods of soil occupancy ulternut~ngwith long fallow periods. "
Menurut Warner ( 1991: 9), definisi perladangan berpindah ymg paling mum digunakan adalah sistem pertanian yakni ladang dibersihkan (biasanya dibakar) dan ditmami untuk j an& pendek kemudian mereka mengowngkamya.
Namun, karena perkembangan pendekatan agmkosistem dan pandangan
hoIistik tentang sistern perranian
sebagai bagian dari ekosistern alam terjadi
rekonseptualisasi perf adangan berpindah. Pendekatan agroekosistern
berusaha
mengintegrasikan keanekaragaman faktor yang mempengaruhi sistem pola tanam (Wamer, 1 99 1 : 8). Berdasarkan pendekatan agroekosistem yang menekankafi sistem
bera,
maka perladangan berpindah merupakan bagan dari strstegi dan respns
fleksibel terhadap perubahan sosial, ekormrni, &n lingkungan alam. Penekanan pda strateg dan agroekosistem dinamis akan mengakibatkan perladangan berpindah
tidak statis dan tidak pula menjadi sistem pe-an
stabil namun akan menciptakan
suatu sistem pertanian yang fleksibel dalarn menjawab perubahan. Memandang perladangan berpindah sebagai suatu strategi yang fleksikl me-
respons perubahan rnenempatkan perladmgan berpindah pada suatu yang kontinum dengm sistem pertanian lain, rnungkin berbeda dari segi lama wahu bera (fullow), lama periode cropping,t e h k manajemen, dan lain-lain) yang bergerak dari sistem pertanian tertmtu kepada sistem pertanian lain sebagai respons terhadap kondisi yang berubah (Raintree dan Warner, 1986).
Sebagai suatu strategi, perladangin berpindah ti&
populer pada pemerintah
dm badan-badan intemasional, perlacfangan berpindah pada umumnya dipandang rnerusak lahan dm merugikan sumberdaya manusia bahkan dinilai sebagai penyebab utama erosi dm kerusakan (deterioration) tanah. Kegiatan membersihkan hutan, penggunaan l&an perladangan selama satu sampai dua tahun, dan kemudian pindah
ke tempt lain di hutan, merupkm ketugian bila hutan hanya dipanbg dari seg nilai pohon yang ada itu. Namun, masalah utama bukan pa& penebangan hutan
tetapi adalah terjadinya kebakaran pohon-pohon. Kebakaran p h o n tidak disebabkm oleh PB. Siapakah PB itu ?
Di Afrika, perladangan berpindah dipraktekkan oIeh petani di daerah Iembab (humid zone). Narnun, lama bera lahan yang panjang telah berangsur-angsur diganti
oleh penggunaan lahan intensifikasi dekat t e m p t tinggal rnereka d m untuk jangka
waktu yang lama rotasi bera lahm dikemudim hari akan s e d n hilang (Warner,
I991 : 9). Walaupun terdapat variasi pengelolaan, pemelihraan tanaman, dan lain-
lain, intensifikasi pada perladangan berpindah telah terjadr di seluruh wilayah. Berbeda dari Sub-Sahara Afrika, yakni setiap orang penduduk asli, & Asia dan Amerika Latin yang menjadi PI3 adalah etnik minoritas dengan bahasa, agama, dan
nilai-nilai tersendiri. Persepsi pemerintah tentang perladangan berpindah sebagai sistem pemanfaatan lahan yang kompleks dikaitkan deogan yang diprdctekkan oleh
mereka dari luar muinsfreurn budaya negara. Masyarakat memandangnya primitif karena mereka mempunyai kesederhanaan dm merusak sumkrdaya hutan. Prasangka tersebut mendorong muncuI pandangan yang lebih obyektif menge-
mi perlaclangan berpindah & beberap negara, sehi ngga sistem pengelolaan lahan dipandang dari sudut siapa yang mempraktekkan perladangan berpindah tersebut
dari pa& manfaat d m keterbatasannya. I3i Asia dm Amerika Latin persepsi tentang perladangan berpindah lebih kompleks karena kenyataannya tidak hanya dimanfaat-
kan oleh minoritas suku asIi (Iribos) atau penduduk Iokal (indos) tetapi juga oleh petani (peasanf) tak bertanah dan rnigran perbatasan. Baik peusant maupun tribos
dapat diterima sebagai PB, namun sistem pernanfaatan iahan rnereka ming-rnasing
sangat berbeda. Tribos biasanya mempraktekkan perladangan integral, sistem pemanfaatan
lahan didasarkan dengan cara yang lebih tradisional, siklus tahunan, komunitas luas, daya tahan lebih kuat, dm mempunyai rim-ritus yang ddukung oleh pandangan
hidup (wuy of lfe) serta ada sanksi atas pelanggaran terhadap nilai-nilai trahsional yang dianut. Bila PB integral mernasuki daerah baru sebagai perintis (pioneer) maka bagian vegetasi klirnaks (ulimu. vegetution) dapat d i b h atau dibersihkan. BiIa komunitas menetap dengan baik dan sedikit atau tidak ada vegetasi klirnaks yang
dibersihkan, maka mereka mempraktekkan perladangan berpindah integral menetap (establishediniegral swidden) (Conklin, 1957: 2-3). PeuLsantsmempraktekkan par[ iul swiclden tidak sebagai pandangan hdup (wuy of l#e) tapi hanya rnengutamakan Icepentin*
ekonomi ( Conklin, 1957: 2). Pernun1
yang mempraktekkan purtiul swidden rnemiIiki ikatan sosial yang h a t di luar areal
perladangan dan tujuan-tujuan mereka berkaitan dengm kepemilikan dan produktivihs berbeda dari infegrul swiddener.Komunitas rnenetap yang mempunyai ikatan
historis dan sosial-budaya terkadap wilayah perladangm partid (partial swidden) mungkin hanya bertujuan menanmi Iahan selama satu atau dua tahm. PI3 partial @arfial swiddener) rnembuat sebuah ladang rotasi di sarnping pola
perladangan menetap. Pada kasus ini PB partial ( p u r ~ ~sw u liddenerj mempraktekkan
perladangan supplementaly sw idden dan menggunakan ladang rotasi selain lahan menetap. Sistem partial swiclden lain terjadi biIa PB berpindah tempat di dalam hutan. Sering dengan sedikit pengetahuan permulaan teknik perladangan krotasi,PB
mengerahkan semua kemarnpuan pertmannya membuat 1ahan berotasi. PB partial ini membuat perladangan ban, namun
sebagan besar
tidak mempunyai
pengetahuan mengembangkan sistern perladangan berpindah yang berkelanjutan (su~~ainuble).
Perbedaan tersebut tel&
d q p n h n secara luas &lam literatur, walaupun
terdapat kecenderungan, terutama di Arnerika Selatan, istiiah incepienr sw idden clan pioneer swidden sering rnembingungkan. Namurl penggunaan istilah pioneer s e m i
makna aslinya (komunitas suku asli inregrul sw idden yang menetap di suatu daerah), istilah pioneer swidcien salah penggunaan bila yang dimaksud praktek perladangan dari peasant migrant yang pindah dalam hutan dan kernudim melepaskan atau menjual lahan yang tergradasi danlatau tetap mengolah lahan permanen (UNESCO,
UNEF, dan FAO, 1978: 324). Menurut Conklin (1957: 51, definisi asli peu.sunf migrant bukanlah pioneer ~widdener,namun incipient swiddeners yang menarik diri karena tidak mempunyai pengetahuan yang, cukup melakukan perladangan sesuai
kondisi ekosistem hutan Perkdaan antara pioneer swidclener dengan integral swiddener juga mengandung nilai tradisional. Dua sistem perladangan berpindah tersebut mempunyai
dampak yang sangat berbeda terhadap lingkungan, perbedaan terseblrt ham lbuat clalam suatu shrdi (Watters, 1 971 : 6). Bila kerusakan hutan tropis terjadi, ini adalah disebabh oIeh pioneer swiddener,bukan oleh integral ~widdener(Warner, 199I : 10). Penduduk yang tinggal pa&
suatu wilayah selarna satu atau lebih generasi
rnempunyai pengetahuan yang jauh lebih tepat tentang lingkungan setempat dari pada migrani, yang jaub lebih mungkin mempraktekkan sistem pjonaer dan rnenggunakan metode pertanian dari daerah a d (Moran, 1987: 227).
Perladangan krpindah merupakan Strategi Manajemeo Sum berdaya Hutan Tropis Cox dan Atkins (1979: 14) menyatakan bahwa perladangan berpindah me-
nrpakan metode paling efektif untuk mengatasi realitas ekologi hutan tropis daripada
rnerusak dm menyebabkan degradasi lingkungan.
Secara hi storis, perladangan
berpindah tidak terbatas pda wilayah tropis. Dari jaman Neolitikum perhdangan
berpindah telah dilakukan oleh masyarakat pertanian di berbagai klahan dunia. Sekarang di benua Asia, Eropah, Afiika, dan Amerika tam*
hutan dkrsihkan dm
ladang-ladang petani bermunculan. Sampai sekarang sistem perladangan berpindah mas1h digunakan di hutan Eropah sebelah utara (Ruddle dan Manshard, 198 1). Sistem
ini a h tetap berlanjut di hutan tropis karena keterbatasan lingkungan. Diper-
kirakan 5 persen penduduk dunia hidup dari mata pencaharian peladang berpindah (Warner, 1 99 I : 9). Perladangan berpindah hadir sebagai respons t e r h h p kesulitan meme1i hara ugrc1euosys~erndi wiIayah hutan tropis. Ekosistem hutan
tropis dicirikan oleh ren-
dahnya tingkat kesuburan narnun terdapat variasi tanah dan banyak diversifikasi flora dan fauna, menyedialcan sedikit nutrisi narnun potensial muncul pesaing spesies untuk tanaman pangan. Dengan cara menebang dan membakar hutan pohon-pohon
menjadi sampah, PB mernanfdcamya sebagai perangsang energ buatan sehingga spesies pesaing berkurang atau habis dan terjad konsentrasi nutrisi serta pada waktu
relatif singkat terjadi aliran energi ke dalam tanaman pangan (Odum, 197 I clan Bodley, 1976). Cara ini merupakan tindakan memanipulasi lahan hutan dan konversi agar banyak membuka suksesi yang bermanfaat bagi PB (Rambo, 198 1: 36).
Meld ui cara infegral sw rdden, intervensi peladang ti& hanya bersifat temporer &lam ekosistem hutan. Suksesi alamiah kembali dimulai, dan dalam b e h p a ha1 praktek perladangan berpindah aktif membantu pencapaian pemkntukan ulang
(reesrabiishmenl)hutan (Odurn, 1971: 14). Perladangan berpindah yang dipraktek-
kan oleh integrul swiddeners tidak &an merusak hutan, karena akan dganti melalui suksesi pertumbuhan ulang sehinggs bqg PB lebih produkhf daripada hutan aslinya (FAO, 1970).
Pada tempat yang berbeda, wilayah yang berbeda, dan tahap ymg berkda maka pertwnbuhan ulang varietas ecozone.9 akan terjadi. Tanaman untuk panen dan tanaman liar dicampur dan, karma hewan banyak dijumpai yakni terdapat berbagai macam
habitat, perbunthan juga meningkat (UNESCO, 1978: 461). Jika panen
gaga], hutan dart ecozones menyedialcan makanan menghindari kelaparan (Warner, 1991: 12).
Strategi PB rnemunculkan paham tentang teori tujuan, yai tu menentukan berapa banyak tenaga keja yang mesti digunakan unhlk tiap variasi subsisten
sehingga mendapatkan keuntungan yang terbaik dari iingkungan yang ada (Smith, 1972: 421). Tujuan mereka lebih dari sekedar subsisten pertanian sehingga PB
kadang-kadang dianggap sebagai petam part-time; pada kenyatannya rnereka juga berbum, menangkap ikan dan mengumpulkan hasiI hutan untuk dipasarkan (FAO, 1970: 14). Strategi multi guna rnengkombinasikan pertanian dengan berbum,
menangkap ikan dm rnengumpulkan hasil hutan dengan menglnvestasikan tenaga kerja seprlunya, menciptakan agraekosistem dengan produktivitas tingg, stabil dan smtuinuble. Jika salah satu subsistem gagal, maka utilisasi subsistem lain dapat
hintensifkan untuk persedrm makaw yang cukup (Warner, 199 1 : 12). Dalam
beberapa hal, j I ka subsi stem pertanian gagal karena keterbatasan dan degradasi
lahan, menangkap ikan dan mengumpul hasil hutan meru-pakan f u h aktivitas subsistensi (Nietschmann, 1973: 9).
Perladangan Berpiadah di Lahrmn Tropis Perladangan berpindah di lahan tropis rnerupakan adaptasi terbaik terhadap lingkungan yang Inuang menguntungkan, berdasarkan pengetahuan yang lengkap tentang ekologi dan potensi tanah (Allan, 1972: 217).
Tanah tropis asam
diperkirakan I milyar hektar dari lahan yang ada di seluruh dunia. Dari 1 milyar
hektar lahan tersebut, 700 juta hektar adalah tropis basah, 300 juta hektar savana, dan hampir semua di negara berkembang (Warner, 1991: 12). Lingkungan tropis basah perladangan berpindah adalah salah satu jenis tanah asam. Teknik efektif menyirnpan kesuburan tanah adalah unsur penting dari setiap sistem pertaman. PB & lahan tropis mengembangkan teknik untuk memelihara
kesuburan tanah, yaitu dengan cara menggunakan dm memelihara hutan (Benneh, 2 972: 23 5).
PB integral (integral swiddenerj j uga mengenali kesuburan tanah
sebagai tempat vegetasi yang menyediakan nutrisi untuk mendukung tanaman, yaitu ditunjukkan deh pemilihan tempt perladangan di hutan dewasa, apakah hutan primer atau sekunder (Rarnbo, 1981 : 23). Setelah dihakar nutrisi yang tersedia untuk tanaman pangan rneningkat, namun kemudian dengan cepat
mulai menurun,
kemungiunan karena menyebar atau erosi (Andriesse, 1977: 12-13). Nye menemukan bahwa kandungan nutrisi pada tanah di Iahan p e r i a b g m sangat heterogen karena adanya p h o n turnbang, gundukan tanah oIeh rayap, dm
disb-ibusi debu pernbakaran yang tidak merata (Warner, 1991; 14). Variasi ini a h rnembentuk micrus~fesyang ditanami dengan tanaman berbeda pa& suatu ladang yang diusahakan sesuai pengetahuan mereka. PB menanam jenis tanaman yang
berbeda sesuai dengatl pengenalan terhadap kesubumn tanah, yang mana tamman
cocok pada tanah subur dan yang mana cocok pada tanah h a n g subur. Setelah siklus pola tanam seiesai (biasanya 1-4 tahun) ladang dibiarkan bera (ftufilow), narnun tanaman pohon boleh terus dipanen sepanjang tahun. Jika ditinggalkan cukup lama
lahan tersebut akan subur kembali clan jika digunakan segera dengan bera pendek, maka akan terjadi degradasi . Adalah su1it untuk mengenali penyebab degradasi terutama biIa degradasi tejadi berangsur-angsur selarna beberapa generasi. Suatu studi yang rnempelajari pengaruh penggunaan lahan terhadap kesuburan
tanah menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan lahan rnempunyai pengaruh paling
besar terhadap kesuburan tanah. Arnason (Warner, 1991: 14) mempelajari dua
Iadang, keduanya mempunyai keanekaragaman tanaman yang sama. Kedua Iahan
telah dipergunakan sebagai perladangan berpindah selarna 100 tahun, satu dari Iahan dengan p r i d e bera (fiullow) 5-15 tahun, sedang satu lagi dengan periode bera
(fallow) 50 tahun. Ladang yang telah di bem CfuIIow) s e l m 50 tahun, hasil pawn
dua Mi lebih banyak. Sernakin l m a masa bera maka semakin baik untuk perbaikan kesuburan tanah.
Jika masa bera yang panjang dapat dipelihara, maka sistem &an sustu~nable.Tanah yang dilakukan pernberaan addah respons PB untuk kebutuhan prduksi rnakanan
tanpa pemupukan. Jika lama pemberaan dipelihara, ekosistem lahan bekerja dengan
baik; jika pernberaan lebih pendek, kesuburan tanah akan menurun (Gambar 1 ). PB dengan sistem bera panjang berarti memelihara ekosistem lahan yang tidak merusak lingkungan karena ada kesempatan utuk terjadinya suksesi yang menambah
kesuburan lahan. Namun, jika PB menerapkan sistem bera yang relatif pendek akan tejadi tekanan
pada ekosistem Iahan atau tejadi degradasi ekosistem dan akan
berakhir pada kerusakan ekosistem. Sistem bera pendek inilah yang hams dihindari. Koosep Pembangunao BerkeIanjutsn Jeff Rornm (Charoenwatana et ul., 1988: vii) menyatakan bahwa konsep berkelanjutan
(Y
ustuirzability) memiliki beberap pengertian, yaitu: ( I ) menunjuk pa&
pemeliharaan (muintenance) suatu sistem manajemen terkntu yang berlangsung secara t a u s menerus, pengertian ini sering di @an
dibidang kebijakan kehutanan;
(2) menunjuk pada kemampuan berproduksi secara terns-menerus, pengertian ini
digunakan dbidmg kebijakan dm manajemen konservasi lahan dan
keaneka-
ragaman hayati (hiologicul diversip); (3) rnenunjuk pada pemeliharaan tingkat
hargakeuntungan tertentu, misalnya perneliharaan stabilisasi ekonomi desa atau
rumah tangga; dan (4) menunjuk pada pertumbuhan dari prduktivitas dan atau keuntungan stau redistribusi yang tepat dari kduanya,
rnisalnya pertumbuhan
kebutuhan dan harapan manusia. Menurut pendapat Reijntjes (Sumardjo, 1999: 23), konsep sussainahi/ity pa&
dasarnya mengacu pada kemarnpuan untuk tetap berproduksi sambil memelihara sumkrdaya (". . . the cupcity to remain productive while mcrittkming the resource
Input to Ecosystem \ 'I
ap dynamics '1
Forest b
I
Forest cutting
Long Fallows
Fallow
4 Su-ion
I I Short fallow
r
4
7
Degraded Ecosystem
I
J
*
End
f
Loss from Ecosystem
Gambar 1. Model Hubungan antara Ekosistem Hutan Tropis Dinamis dengan Swidden (Warner, 199 I : 1 3)
base "1. Garforth ( 1996: 29) menyatab bahwa sesuatu dapat dikatahn sustainuble
bila ia berlangsung secara terns-menerus (". . . something is susiurnnble f i t cun gu on for ever"). Selanjutnya, Garforth (1996: 29) menyatakan syarat pembangunan yang berkelanjutan: "Development is sustainuble ~f'theincrease in living siandurds or rhe processes by which development occurs can be maintained without the continatal injection of outside resorrrces. "
Definisi di atas tampaknya mengabaikan kemampm penyesuaian (aduptabilily) yang sangat menentukan keberhasilan sebuah sistem. Sebuah sistem pertanian yang memelihara tingkat rec,vcIing yang tinggi dari nutrisi dan k h a n organik, tidak merusak lingkungan dan tidak terganhmg pa& kelangkaan atau supIai input yang unreliable, tapi tidak sesuai (adapt) terhadap perubahan yang bedangsung di sekitar-
nya, rnungkin tidak akan dapat bertahan (survive). Menurut Garforth (1996: 29),
penyesuaian adalah ciri yang Iebih penting dari konsep berkeIanjutan daripada kemampuan untuk terus be-n
tanpa penibahan (unchunged').
Bmdtland Commission 1987 (Garforth, 1996: 29) menyatakan definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu: "Su~tainabledevelopment IS development that meetLythe need of the presen, without compromising the ability of furure generations to meel their own needs dan World Bank (Sumardjo, 1999: 22) mernasukkan proposisi bahwa economic growl, the uIIeviurion of poverly, and sound environmentul munagemenr ure in many ca,Yes mutuully consistent objectives.
*I
DaIam penelitiart ini, visi pembangunan berkelanjutan juga rnewamai rwnusan konsep pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutanllestari. Pada dasarnya &lam
konsep pengelolaan sumberdaya hutan Iestari mengandung aspek-aspek ekologi,
ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep feogeldaan Sumberdaya Hutnrn Lestari
Prawirsatmadja (2002: 74) rnengernukakan bahwa pengelolasn hutan berkelanjutan (lestari) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan keber-
lanj ~rtmaspek-aspek ekolog, ekonorni, sosial, dan budaya dari hutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan k e u n t u n p ekonomi sernata, akan tetapi yang lebih penting menjamin kelestmm fungi sumberdaya hutan itu sendri utltuk menopang kehidupan rnanusia pada generasi luni dm generasi
mendatang.
Sudradjat dm Supriyanto (2002: 16) mengemukakan bahwa hutan perlu dipandang sebagai sistem sumberdaya (resource ~ysiern)yang hersifat multiguna.
Pandangan ini menghamskan adanya pendekatan holistik dan apresiasi oleh sernua pi hak terhadap kekradaan hutan. Pandangan holistik diperlukan agar pendekatan pengeiolaan hutan diiakukan dengan rnempertimbangkan berbagai aspek termasuk aspek sosial, kebudayaan, ekonomi, t e h s dan aspek Iingkungan hidup (ekologi).
Sehingga aspek mdtiguna tersebut dapat diwujudkan secara d s i m a i . Dengan menempatkan hutan sebagai sistern sumberdaya, maka hutan tidak lag
dianggap sebagai produsen kayu semata, melainkan sebap penyangga sistem
kehidupan yang terdiri atas unit-unit sumberdaya (resource ~ c n l f s )yang keberadaan unit satu dengan lainnya saling p e n g a d mempenganrhi. Pengertian pngelolaan
sumberdaya hutan tidak bisa terlepas dari industri turunannya sepem kornuditas has11 hutan, jasa pengatwan air, jasa emtourism d m jasa lingkungan lainnya. Dalam
kerangka pengelolaan sumberdaya hutan yang Iestan, kebijakan industn pengolahm
hasil hutan dm industri turunan lainnya sudah selayaknya rnerupakan bagian integral dan sistem pengelohan sumberdaya hutan
Simon (2002: 242) mengemukakan bahwa secara gans besar kntuk pengeloIaan hutan dapat &bedakan rnenjadi dua kelompk besar, yaitu pengelolaan sumber-
daya hutan lforest resource management) dan pengelolaan ekosistem hutan firesr ecohystem mnugemenr). Pendekatan perencanaan untuk menyusun kedua bentuk
pengelolaan hutan itu sarna, tetapi yang pertama lebih ditekankan pada pemanfaatan fungsi ekonomi, sedang yang kedua pa&
fungsi perlindungan lingkungan. Pada
dasarnya kedua fungsi itu diperhihrngkan dan diperlakukan sama untuk setiap unit
pengelolaan hutan. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan antara lain menge-
mukakan bahwa pengelolaan h m rnencakup kegiatan: (1) penataan hutan dan
p e n y u s w rencana pengelolaan hutan, (2) pernanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, (3) refizlbilitasi dan reklamasi hutan, dm (4) perlindungan hutan dm
konservasi alam. Pengendalian kualitas pengelolaan smkrdaya hutan (Prawiraabnadja, 2002: 73) ditujukan untuk: (1) menjamin kelestarian sistem ekosistem, (2) rneningkatkan
efisiensi dm alokasi pemanfaatan, (3) menjamin dstribusi manfaat yang berkeadilan, (4) pemberdayaan masyarakat sekitar, dan (5) meningkatkan daya saing produk dan
jasa sumberdaya hutan. PP Nomor 25 Tahun 2000 merupakan penjabarm dari prinsip umurn pengelolaan hutan berkelanjutan yang mengandung pengintegrasian
nilai-niIai sosial, ekonomi, dan ekoiogis sumberdaya hutan bagi kesejahteraan
genarasi hni dan generasi yang akan datang. Suatu realita sosial bahwa di &lam d m dl sekitar hutan terdapt kornunitas yang hidup dan krinteraksi dengan hutan setempat. Hubungan-hubungan tersebut
tejadi di antaranya karena adanya sifat common properry
resources (adanya
ke-
pentingan umum yang melekat &am ekosistem hutan). Oleh karena itu, pengelolaan
hutan tidak semestinya mengabaikan realitas ini. Selain admya sense of cornmmiry yang terpelihara &lam kehidupan sosial budaya, di lingkungan masyarakat hukum
adat juga terdapat nilai-nilai dm norma-noma yang berpotensi mendukung penge-
lolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan perlu mengakomodasi dm merndaatkan
interaksi tersebut. Pengembangan peran sen% masyamkat dalam pengelolaan hutan, utamanya masyarakat sekitar hutan dapat dilakukan dengan rnenerapkan clan mengembangkan sistem hutan kemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 3 1Kpts-W200 1).
Hal tersebut dalam upaya menjadikan sumberdaya hutan sebagai sumberdaya masyarakat sekitar, sehingga meningkatkan sense of helonging masyarakat terhadap hutan yang krmuara kepada peningkatan kelestarian hutan dan kesejahteraan
rnasydat sekitar hutan. Hutan Kalimantan Timur memi1iki beraneka ragam hrmbuhan, bekrapa di antaranya rnerupakan primadona ekonomi dan rnenjad sumberdaya utama bag masyarakat asli (Dayak), seperti kayu meranti, din, tengkawang, bakau, kayu rawa,
keruing, kayu lempung, kayu kapur, bamby pinang hutan, rotan, berbagai jenis palma, dan mbi-umbian hutan (Gunawan dkk., 1998: 32). Dernikian juga dengan
fama yang krmeka ragam yang menjadi sumber protein mbati utama bag masyarakat Dayak. Gunawan dkk. (1998: 32) rnenyebutkan babwa setidaknya terdapat 162 jenis satwa, baik rnamalia, aves, repiilia, amvibia, ataupm insekta yang
dilindung undang-undang. Kekayaan flora, fauna dm produk-produk ikutannya
rnendorong orang dari luar rnasyarakat Day& untuk mengeksploitasinya secara ekonomis.
Taman Nasional Kutai memiliki keanekaragaman ekosistem hutan yang unik, seperti hutan L)iprerocurpucecr, hutan dataran rendah, hutan rawa air tawar, hutan
bakau dan hutan tanah kapur. Di kawasan ini terdapat 83 persen dar~sekitar 300 jenis b m g yang ada dr Mimantan, 54 jenis mamdia seperti bekantan, orang utan,
kukang, dan banteng. Kawasan ini menyirnpan ratusan jenis anggrek hutan, dan yang sangat terkenal di antaranya adalah anggrek hitarn. Narnun, luas kawasan menyusut dari luas semula 306 ribu ha menjah 200 ribu ha. Peny usutan terjadi karena kegiatan
pertambangan, galian, HTI, industri, pernukirnan, serta jalan raya yang rnembelah
kawasan ini (Gunawan dkk.,1998: 33). Pengusahaan swnber-sumber daya hutan oleh masyardcat Dayak yang tinggal di dalam &II sekitar hutan (Hoffman, 1985) sudah d l l a k u h s l a m beribu-ribu tahun. Orang-orang asli (Dayak) di Kalimantan Tirnur telah mengusahakan sumber-
daya hutan untuk diperdagangkan ke Cina, Arab, Parsi dan Melayu sejak abad ketiga
S.M. Hal ini membuktikan bahwa perekonomian rnasyarakat Dayak tidak sematamata krtumpu pa& perekonomim subsisten, tetapi juta berorientasi pasar, bsuk
lokal, regional, maupun internasional . Refomasi kehutanan telah mendorong terjadinya perubahan rnendasar atas
paradigma pengelolaan hutan di Indonesia. Perubahan tersebut diawali dengan bergesemya sistem pengelolaan hutan yang semula behasis negara (state haw management) menuju pngelolaan hutan yang bertumpu pada sumberdaya hutan
berkelanjutan (recources bme management) dan berbasis rnasyarakat (community base munagement). Salah satu implikasi perubahan sistem tersebut adalah
d i b e r l a k k ya desentralisasi pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah dan masyardcat lws.
Desentralisasi pengelolaan hutan secam konseptual akan menghasilkan sistem
pengelolaan h u t . yang bersifat demokratis, partisipatif, dan terbuka. Dalam konteks sumberdaya, peradlgma pengelolam hutan bergeser dan sistem pengelolan hutan
berbasis komoditas (timber extruction) menuju sistem pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based forest management). Implikasi perubahan tersebut antara lain mengubah orientasi kelestarian hutan yang semula lebih menekankan aspek
ekonomi (pduksi kayu), beralih kepada upaya mengakomodir kelestarian h g s i ekoIogi dm kelestanan fungsi sosial.
OIeh masyamkat adat Dayak, pengeIoIaan dm penanganan sumberdaya hutan dilakukan dengan arif sehingga berkelanjutan. Sejak dahulu hutan ti dak hanya dipanclang sebagai penghasil kayu, tetapi banyak prcduk lain seperti rotan, gaharu, resin, getah, sarang burung walet, dan batu bezoar. Hasil Hutan Non-Kayu ( W K )
banyak diusahakan di dalam dm di sekitar hutan karena ( 1 ) HHNK mudah diperoleh dan tidak membutuhkan teknolog rumit untuk mendapatkannya, (2) HHNK dapat diperoleh dengan gratis, (3) WHNK mempunyai nilai ekonorni yang penting, baik sebagai alat barter maupun sebagai komuditas yang diperdagangkm. Beer dan McDermott 1989 sebagahana drkutif oleh Gunawan dkk. (1998: 35) mengategorikan HHNK sebagai berikut: (1) edible planr pruducfs, (2) edible unnimul products, (3) nonedible plant prducts, (4) nunedible animal prducs, dan ( 5 )
medical products @tun[ products und unimal producr.~).