II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
JEMBATAN
Pengertian jembatan secara umum, adalah suatu konstruksi yang berfungsi untuk menghubungkan dua bagian jalan yang terputus oleh adanya rintangan-rintangan seperti lembah yang dalam, alur sungai, danau, saluran irigasi, kali, jalan kereta api, jalan raya yang melintang tidak sebidang, dan lain sebagainya. (Ilham 2010) Jenis jembatan sekarang ini telah mengalami perkembangan pesat sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi berdasarkan: (a) Fungsi; (b) Lokasi; (c) Bahan konstruksi; dan (d) Struktur.
2.1.1. Struktur Jembatan Menurut Ilham (2010), secara umum struktur jembatan dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling menopang satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan sebagai suatu satu kesatuan.
A.
Struktur Atas (Superstructures)
Struktur atas dari suatu jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung. Struktur atas jembatan pada umumnya meliputi: (a) Trotoar; (b) Slab lantai kendaraan; (c) Gelagar atau girder; (d) Balok diafragma; (e) Ikatan pengaku; dan (f) Tumpuan atau bearing.
B.
Struktur Bawah (Substructures)
Struktur bawah dari suatu jembatan berfungsi untuk memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain secara vertikal maupun horisontal yang ditimbulkan oleh tekanan tanah, gesekan pada tumpuan, dan lain sebagainya yang kemudian disalurkan ke pondasi. Selanjutnya, beban-beban tersebut akan disalurkan ke tanah oleh pondasi.
C.
Pondasi (Foundation)
Pondasi dari suatu jembatan berfungsi untuk meneruskan beban jembatan ke tanah. Berdasarkan sistemnya, pondasi abutment atau pier jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam jenis, antara lain: (a) Pondasi telapak; (b) Pondasi sumuran; dan (c) Pondasi tiang.
2.2.
BETON BERTULANG
Suatu jembatan slab pada tumpuan sederhana tersusun dari pelat monolit dengan bentang dari tumpuan ke tumpuan tanpa didukung oleh gelagar atau balok melintang (stringer). Jembatan beton bertulang dengan tipe struktur atas berupa slab akan lebih efisien bila digunakan untuk bentang pendek. Hal ini disebabkan oleh berat slab yang tidak ekonomis lagi untuk bentang yang lebih panjang. Struktur slab lebih sesuai untuk bentang sampai dengan 35 ft (± 10 m). Akan tetapi banyak perencana menyatakan bahwa penggunaannya lebih ekonomis bila tidak lebih dari 20 ft sampai dengan 25 ft (± 6 m sampai dengan 8 m). Sistem bentang menerus akan menambah penghematan panjang bentang, dengan pertimbangan kesederhanaan desain dan pekerjaan lapangan. Pada bentang sederhana, panjang bentang adalah jarak ke pusat tumpuan.
Jembatan slab beton diberi perkuatan baja tulangan pada arah longitudinal dan juga harus diperkuat dalam arah melintangnya untuk mendistribusikan beban hidup lateral. Jumlah minimal sesuai dengan prosentase dari baja tulangan utama yang diperlukan untuk momen positif, 100/√S, dengan S adalah panjang bentang dalam feet (atau 100/0,55√S dengan S dalam meter), tetapi tidak boleh lebih dari 50%. Slab harus diperkuat pada semua bagian tepi yang tidak ditumpu. Dalam arah longitudinal, perkuatan dapat berupa bagian slab dengan penulangan tambahan, balok yang terintegral dengan slab dan lebih tinggi dari slab, atau yang terintegral antara slab dan kerb.
A.
Jembatan Gelagar Kotak (Box Girder)
Jembatan gelagar kotak (box girder) tersusun dari gelagar longitudinal dengan slab di atas dan di bawah yang berbentuk rongga (hollow) atau gelagar kotak. Tipe gelagar ini digunakan untuk jembatan dengan bentang yang panjang. Bentang sederhana sepanjang 40 ft (± 12 m) menggunakan tipe ini, akan tetapi biasanya bentang gelagar kotak beton bertulang lebih ekonomis antara 60 ft sampai dengan 100 ft (± 18 m sampai dengan 30 m) dan biasanya didesain sebagai struktur menerus di atas pilar atau kolom. Gelagar kotak beton prategang dalam desain biasanya lebih menguntungkan untuk bentang menerus dengan panjang bentang ± 300 ft (± 100 m). Keunggulan dari gelagar kotak adalah tahan terhadap beban torsi. Pada kondisi lapangan, dimana tinggi struktur tidak dibatasi, penggunaan gelagar kotak dan balok T kurang lebih mempunyai nilai yang sama pada bentang 80 ft (± 25 m). Untuk bentang yang lebih pendek, tipe balok T biasanya lebih murah. Sedangkan untuk bentang yang lebih panjang, gelagar kotak lebih sesuai untuk digunakan.
Gambar 1. Tipikal penampang melintang jembatan gelagar kotak (box girder bridge)
B.
Jembatan Gelagar Dek (Deck Girder)
Jembatan gelagar dek terdiri atas gelagar utama arah longitudinal dengan slab beton membentangi diantara gelagar. Spasi gelagar longitudinal atau balok lantai dibuat sedemikian rupa, sehingga hanya mampu menggunakan slab tipis agar beban matinya menjadi kecil. Jembatan gelagar dek mempunyai banyak variasi dalam desain dan fabrikasi. Salah satunya adalah jembatan beton balok T. Jembatan tipe ini digunakan secara luas dalam konstruksi jalan raya, tersusun dari slab beton yang didukung secara integral dengan gelagar. Penggunaannya akan lebih ekonomis pada bentang 40 ft sampai dengan 80 ft (± 15 m sampai dengan 25 m) pada kondisi normal (tanpa kesalahan pekerjaan). Karena kondisi lalu lintas atau batasan-batasan ruang bebas, konstruksi beton pracetak atau beton prategang sangat memungkinkan untuk digunakan. Akan tetapi perlu adanya jaminan penyediaan tahanan geser dan daya lekat pada pertemuan gelagar dan slab. Untuk itu diasumsikan sebagai salah satu kesatuan struktur balok T. Jembatan gelagar dek lebih sederhana dalam desain dan relatif lebih mudah untuk dibangun, serta akan lebih ekonomis jika dibangun pada bentang yang sesuai. Beberapa variasi gelagar dek dalam desain dan fabrikasi antara lain: (a) Balok T beton bertulang; dan (b) Beton prategang.
4
Gambar 2. Tipikal penampang melintang jembatan gelagar dek (deck girder bridge) Bila gelagar searah dengan arah lalu lintas, tulangan utama slab diletakan pada arah tegak lurus arah lalu lintas tersebut, yaitu arah melintang. Pada slab dengan tumpuan sederhana, bentang jembatan diambil dari jarak pusat ke pusat tumpuan, akan tetapi tidak perlu melebihi dari jarak bersih ditambah dengan tebal slab. Untuk slab menerus yang memiliki dua gelagar atau lebih di atas tumpuannya, jarak bersih termasuk sebagai panjang bentang. Rasio tinggi balok dan panjang bentang yang digunakan dalam jembatan balok T biasanya antara 0,065 sampai dengan 0,075. Tinggi balok yang ekonomis akan diperoleh bila jumlah tulangan desak pada tumpuan bagian dalam (interior support) sedikit. Jarak gelagar ekonomis biasanya berkisar antara 7 ft sampai dengan 9 ft (± 2 m sampai dengan 3 m) dengan slab dek yang menonjol (overhang) maksimal 2 ft 6 in (± 2 m). Bila slab dibuat menjadi satu kesatuan dengan gelagar, lebar efektif dalam desain tidak boleh lebih dari jarak pusat ke pusat gelagar, seperempat panjang bentang gelagar atau 12 kali tebal slab terkecil ditambah lebar badan gelagar. Untuk gelagar terluar, lebar efektif kantilever tidak boleh lebih dari setengah jarak bersih terhadap gelagar berikutnya, atau seperduabelas panjang bentang atau enam kali tebal slab.
2.2.1. Kekuatan Nominal Beton A.
Kuat Tekan Beton
Kuat tekan beton diartikan sebagai kuat tekan beton pada umur 28 hari (fc’) dengan berdasarkan pada suatu kriteria perancangan dan keberhasilan sebagai berikut: (a) Ditetapkan berdasarkan prosedur probabilitas statistik dari hasil pengujian tekan pada sekelompok benda uji silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm, dinyatakan dalam satuan MPa dengan kemungkinan kegagalan sebesar 5%; (b) Sama dengan mutu kekuatan tekan beton yang ditentukan dalam kriteria perencanaan, dengan syarat perawatan beton tersebut sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan; (c) Mencapai tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan, berdasarkan hasil pengujian pada benda uji silinder, dinyatakan dalam satuan MPa yang memenuhi kriteria keberhasilan. Beton dengan kuat tekan (benda uji silinder) yang kurang dari 20 MPa tidak dibenarkan untuk digunakan dalam pekerjaan struktur beton untuk jembatan, kecuali untuk pembetonan yang tidak dituntut persyaratan kekuatan. Dalam hal komponen struktur beton prategang, sehubungan dengan pengaruh gaya prategang pada tegangan dan regangan beton, baik dalam jangka waktu pendek
5
maupun jangka waktu panjang, maka kuat tekan beton disyaratkan untuk tidak lebih rendah dari 30 MPa.
B.
Kuat Tarik Beton
Kuat tarik langsung dari beton (fci) dapat diambil dari ketentuan: (a) 0,33√fc’ MPa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar; atau (b) Dihitung secara probabilitas statistik dari hasil pengujian. Sedangkan kuat tarik lentur dari beton (fcf) dapat diambil dari ketentuan: (a) 0,6√fc’ MPa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar; atau (b) Dihitung secara probabilitas statistik dari hasil pengujian.
C.
Tegangan Ijin Tekan pada Kondisi Batas Layan
Tegangan tekan dalam penampang beton akibat dari semua kombinasi beban tetap pada kondisi batas layan lentur dan/atau aksial tekan, tidak boleh melampaui nilai 0,45 fc’ dimana fc’ adalah kuat tekan beton yang direncanakan pada umur 28 hari, dinyatakan dalam satuan MPa.
D.
Tegangan Ijin Tekan pada Kondisi Transfer Gaya Prategang
Untuk kondisi beban sementara atau untuk komponen beton prategang pada saat transfer gaya prategang, tegangan tekan dalam penampang beton tidak boleh melampaui nilai 0,6 f ci’ dimana fci’ adalah kuat tekan beton yang direncanakan pada umur 28 hari saat dibebani atau dilakukan transfer gaya prategang, dinyatakan dalam satuan MPa.
E.
Tegangan Ijin Tarik pada Kondisi Batas Layan
Tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada penampang beton dapat diambil untuk: (a) Beton tanpa tulangan sebesar 0,15√fc’; dan (b) Beton prategang penuh sebesar 0,5√fc’. Tegangan ijin tarik ini dinyatakan dalam satuan MPa.
F.
Tegangan Ijin Tarik pada Kondisi Transfer Gaya Prategang
Tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada penampang beton untuk kondisi transfer gaya prategang dapat diambil dari nilai-nilai sebagai berikut: (a) Serat terluar mengalami tegangan tarik, tidak boleh melebihi nilai 0,25√fc’, (b) Serat terluar pada ujung komponen struktur yang didukung sederhana dan mengalami tegangan tarik, tidak boleh melebihi nilai 0,5√fc’. Tegangan ijin tarik ini dinyatakan dalam satuan MPa.
G.
Massa Jenis
Massa jenis beton (wc) ditentukan dari nilai-nilai sebagai berikut: (a) Untuk beton dengan berat normal, diambil tidak kurang dari 2400 kg/m3; (b) Ditentukan dari hasil pengujian.
H.
Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas beton (Ec) nilainya tergantung pada mutu beton yang terutama dipengaruhi oleh material dan proporsi campuran beton. Namun untuk analisis perencanaan struktur beton yang menggunakan beton normal dengan kuat tekan yang tidak melampaui 60 MPa, atau beton ringan dengan berat jenis yang tidak kurang dari 2000 kg/m3. Untuk beton normal dengan massa jenis sekitar 2400 kg/m3, Ec boleh diambil sebesar 4700√fc’ yang dinyatakan dalam satuan MPa.
6
I.
Angka Poisson
Angka Poisson untuk beton (v) dapat diambil sebesar 0,2 atau ditentukan dari hasil pengujian.
J.
Faktor Reduksi Kekuatan
Faktor reduksi kekuatan diambil dari nilai-nilai sebagai berikut: (a) Lentur sebesar 0,8; (b) Geser dan torsi sebesar 0,7; (c) Aksial tekan dengan tulangan spiral sebesar 0,7; (d) Aksial tekan dengan tulangan biasa sebesar 0, 65; dan (e) Tumpuan beton sebesar 0,7.
2.2.2. Balok Lentur Struktur balok yang diberi beban lentur akan mengakibatkan terjadinya momen lentur pada balok tersebut, sehingga akan terjadi deformasi (regangan) lentur dalam balok. Regangan-regangan yang terjadi akan menimbulkan tegangan pada balok. Pada kondisi momen lentur positif, akan terjadi tegangan tekan pada serat atas dan tarik pada serat bawah. Agar terpenuhinya syarat stabilitas, maka balik harus mampu menahan tegangan yang terjadi, baik tegangan tekan maupun tarik. Sifat utama beton yang kurang mampu menahan tarik, mengakibatkan perlunya penahan tegangan tarik pada beton dengan cara memasang baja tulangan pada daerah tarik sehingga terbentuk struktur beton bertulang yang menahan lenturan. Kuat lentur suatu balok tersedia karena berlangsungnya mekanisme tegangan-tegangan dalam yang timbul di dalam balok yang dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam. Dalam analisa lentur balok beton bertulang, asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) Bidang penampang tetap rata sebelum lentur dengan sesudah lentur terjadi; (b) Diagram tegangan-regangan baja diketahui; (c) Tegangan tarik beton boleh diabaikan; (d) Diagram teganganregangan yang mendefinisikan besar dan distribusinya di daerah tekan beton diketahui; (e) Regangan tekan maksimum beton dalam keadaan di dalam lentur diambil sebesar 0,003. Dari asumsi-asumsi tersebut, hubungan tegangan dan regangan pada penampang balok beton dapat dimodelkan seperti gambar di bawah ini.
Gambar 3. Diagram tegangan-regangan penampang C adalah resultan gaya tekan dalam yang terletak di atas garis netral yang besarnya dihitung dengan rumus berikut: = 0,85
′×
×
............................................... (1)
7
dengan pengertian: C : resultan gaya tekan dalam, fc’ : kuat tekan beton, a : tinggi blok tegangan, b : lebar balok. Sedangkan T adalah resultan gaya tarik dalam yang terletak di bawah garis netral yang dihitung dengan rumus berikut: =
×
..................................................... (2)
=
×
...................................................... (3)
dengan pengertian: T : resultan gaya tarik dalam, As : tulangan tarik, fy : tegangan leleh minimum. Dan z merupakan jarak antara C dan T. Arah garis kerja C dan T sejajar dan sama besar, tetapi berlawanan arah dan dipisahkan dengan jarak z sehingga membentuk kopel momen tahanan dalam, dimana nilai maksimumnya disebut kuat lentur atau momen tahanan penampang komponen struktur lentur. Dengan menggunakan desain ultimit, untuk tujuan penyederhanaan, berdasarkan bentuk empat persegi panjang pada Gambar 3, intensitas tegangan beton tekan rata-rata ditentukan sebesar 0,85 fc’ dan dianggap bekerja pada daerah tekan dari penampang balok selebar b dan sedalam a, dengan rumus:
dengan pengertian: a : tinggi blok tegangan, β1 : konstanta yang merupakan fungsi dari kelas kuat beton, c : jarak serat tekan terluar ke garis netral. dengan ketetapan nilai β1 sebagai berikut: β1 : 0,85 untuk 0 ≤ fc’ ≤ 30 MPa, β1 : 0,85 – 0,008 (fc’ – 30) untuk 30 ≤ fc’ ≤ 55 MPa, β1 : 0,65 untuk fc’ > 55 MPa. Apabila penampang balok tersebut dibebani momen lebih besar dan terus ditambah, maka regangannya semakin besar sehingga kemampuan regangan beton terlampaui dan akan terjadi keruntuhan pada beton. Pada reruntuhan ini ada tiga macam pola keruntuhan yang tergantung pada nilai tegangan baja tulangan (fs), yaitu: (a) Keruntuhan tarik atau tension failure; (b) Keruntuhan seimbang atau balance failure; (c) Keruntuhan tekan atau compression failure. Keruntuhan tarik terjadi jika persentase baja tulangannya relatif kecil atau disebut dengan balok bertulang kurang (underreinforced beams). Pada kondisi ini, tulangan lebih dahulu mencapai regangan lelehnya sebelum tegangan tekan beton mencapai maksimum. Keruntuhan imbang terjadi bila beton maupun baja tulangan mencapai regangan atau tegangan maksimumnya secara bersamaan. Sedangkan keruntuhan tekan terjadi apabila penampang dengan persentase baja tulangannya cukup besar (overreinforce beams) sehingga tegangan di serat beton lebih dulu mencapai kapasitas maksimum sebelum tegangan pada baja tulangan meleleh. Keruntuhan tekan ini terjadi secara tiba-tiba dan sebelumnya tidak ada tanda-tanda berupa defleksi yang besar. Dalam prakteknya, balok dengan tulangan tunggal jarang sekali digunakan karena jika hanya dengan satu macam tulangan di daerah tarik saja tanpa adanya tambahan tulangan di daerah tekan
8
akan menyulitkan dalam pengaitan sengkang. Dalam perencanaan beton bertulangan tunggal, diusahakan keruntuhan yang terjadi adalah keruntuhan tarik (under reinforced) karena tanda-tanda keruntuhan akan terlihat dengan lendutan yang besar akibat baja yang meleleh. Sesuai dengan mekanisme yang telah dijelaskan, dalam perencanaan penampang balok digunakan tulangan rangkap. Alasan pemasangan tulangan ganda, khususnya tulangan tekan, adalah sebagai berikut: (a) Untuk kasus tinggi balok yang rendah, terdapat kemungkinan ρmax pada kasus tulangan tunggal tidak mencukupi. Untuk itu perlu tulangan tekan yang dapat mempertinggi kapasitas momen; (b) Untuk memperbesar daktilitas beton bertulang akibat momen, karena dengan adanya tulangan tekan menyebabkan garis netral menjadi pendek dan kurvatur menjadi besar; (c) Untuk meningkatkan kekakuan penampang, sehingga mengurangi defleksi pada balok. Dengan adanya tulangan tekan, jelas akan memperbesar inersia penampang balok dan selanjutnya mengurangi lendutan atau defleksi yang terjadi; (d) Untuk mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kombinasi beban yang menyebabkan momen berubah tanda. Perubahan momen ini terjadi karena ada gaya luar yang bekerja pada struktur, misalnya beban horisontal akibat gempa yang dapat menyebabkan momen-momen internal berubah tanda. Selain itu, untuk balok tunggal, apabila beban yang dipikul cukup besar, maka ada kemungkinan ditemui balok dengan persentase tulangan maksimum yang cukup besar. Sedangkan ukuran balok tidak dapat diperbesar karena alasan tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut dipasang tulangan tambahan baik pada daerah tekan maupun daerah tarik yang disebut dengan tulangan rangkap. Penggunaan tulangan ganda ini bertujuan untuk menanggulangi deformasi jangka panjang sebagai fungsi waktu, misalnya rangkak dan susut. Sehingga keberadaan tulangan tekan akan membebaskan beton terhadap gaya tekan yang menerus. Selain itu, kemungkinan adanya momen lentur bolak-balik juga merupakan dasar penggunaan tulangan ganda. Penggunaan tulangan ganda terkadang ada yang berdasarkan keterbatasan tinggi balok, sehingga dalam upaya menambah kapasitas momen dalam, dipakai tulangan tekan. Hal ini rasional, tetapi kurang tepat karena beberapa hal berikut: (a) Penambahan tulangan desak akan menghasilkan tambahan kekuatan yang tidak sebanding dengna jumlah yang ditambahkan; (b) Karena terbatasnya tinggi balok, tulangan tekan ditambah. Jika dilihat dari masalah lendutan, balok yang rendah akan mengalami lendutan yang cukup besar; (c) Penambahan tulangan tekan pada balok rendah berarti memaksakan balok itu tetap rendah. Balok yang rendah akan memerlukan tulangan geser yang begitu banyak. Hal ini akan mempersulit pemasangan tulangan. Penampang bertulang rangkap biasanya ada pada perletakan. Pada tengah bentang, tulangan rangkap biasanya digunakan bila penampang tidak mampu menahan momen negatif perletakan meskipun tulangan tarik pada perletakan sudah ditambah. Dalam hal ini, hampir semua tulangan tarik diteruskan ke perletakan sehingga berfungsi sebagai tulangan tekan. Panjang penyaluran tulangan harus cukup. Tulangan tarik dan tekan harus terikat baik dengan sengkang tertutup untuk mencegah terjadinya tekuk pada tulangan tekan.
Gambar 4. Balok persegi tulangan rangkap
9
Pada gambar di atas, diperlihatkan sebuah penampang persegi dengan tulangan tekan (As’) ditempatkan sejarak d’ dari serat atas dan tulangan tarik (As) pada jarak d dari serat atas. Dalam hal ini diasumsikan bahwa kedua tulangan yaitu As’ dan As leleh yaitu mencapai fy pada saat runtuh. Momen tahanan nominal total (Mn) dapat dianggap sebagai penjumlahan dari dua bagian. Bagian pertama, Mn1 adalah kopel yang terdiri dari gaya pada tulangan tekan dan gaya pada tulangan tarik yang luas tulangannya sama yaitu As’ yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Gambar 4 (d) ( − ′) ......................................... (4)
=
dengan pengertian: Mn1 : momen tahanan nominal, As’ : tulangan tekan, fy : tegangan leleh minimum, d : jarak tulangan tarik dari serat atas, d’ : jarak tulangan tekan dari serat atas. Bagian kedua, Mn2 adalah bagian yang bertulang tunggal, termasuk juga blok segi empat ekivalen (beton tekan) dengan luas tulangan tariknya adalah (As – As’) yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Gambar 4 (e) = (
dengan pengertian: Mn2 : momen tahanan nominal, As : tulangan tarik, As’ : tulangan tekan, fy : tegangan leleh minimum, d : jarak tulangan tarik dari serat atas, a : tinggi blok tegangan. dimana, =
−
(
′)
)
,
( −
⁄2) ............................. (5)
................................................. (6)
dengan pengertian: a : tinggi blok tegangan, As : tulangan tarik, As’ : tulangan tekan, fy : tegangan leleh minimum, d : jarak tulangan tarik dari serat atas, fc’ : kuat tekan beton. Dengan ρ = As/bd dan ρ’ = As’/bd, maka Persamaan 6 dapat dituliskan sebagai berikut: =
(
,
)
.................................................... (7)
Maka momen tahanan nominal total menjadi: =
=
′
+
( − )+ (
−
′)
( −
⁄2) ....................... (8)
Momen tahanan nominal ini harus direduksi dengan faktor ϕ = 0,8 untuk memperoleh desain kekuatan penampang.
10
Persamaan 8 hanya berlaku apabila tulangan tarik (As) pada keadaan leleh. Jika belum pada keadaan leleh, maka balok harus dianggap sebagai balok bertulang tunggal dengan mengabaikan adanya tulangan tekan atau harus dicari tegangan aktual (fs’) pada tulangan tekan (As’) dan menggunakan gaya aktual untuk keseimbangan momennya. Kuat momen rencana dari komponen struktur lentur harus dihitung dengan metode perencanaan batas yang tercantum dalam “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung” SNI 03-2847-2002. Dalam perhitungan kekuatan dari tendon prategang, fy harus diganti dengan fps. Untuk komponen struktur yang menggunakan tendon prategang dengan lekatan penuh, digunakan rumus: =
1−
[ −
+
Sedangkan untuk keseimbangan penampang, digunakan rumus: +
dimana,
= =
= 0,85 × =
=
dengan pengertian: Cs’ : gaya pada tulangan tekan, Cc’ : gaya tekan pada beton, Tp : gaya pada kabel prategang, Ts : gaya pada tulangan tarik. sehingga, diperoleh persamaan: =
−
+
×
×
−
′ ................................................... (11)
×
......................................... (12)
×
................................................... (13) ..................................................... (14)
′ +
−
Jika tulangan tekan diabaikan, maka Persamaan 15 menjadi: =
−
........................ (9)
............................................. (10)
+
×
′]
+
−
+
−
.......... (15)
................................. (16)
dengan pengertian: Ts [d – a/2] : momen nominal yang dipikul oleh tulangan tarik, Tp [dp – a/2] : momen nominal yang dipikul oleh kabel prategang. Apabila penampang merupakan beton prategang penuh, maka digunakan rumus:
2.2.3. Balok Geser
=
−
............................................. (17)
Dalam perencanaan balok lentur, perlu dipertimbangkan bahwa pada saat yang sama balok juga menahan gaya geser akibat lenturan. Untuk komponen struktur beton bertulang, apabila gaya geser yang bekerja sedemikian besar hingga di luar kemampuan beton untuk menahannya, perlu dipasang baja tulangan tambahan untuk menahan geser tersebut.
11
Perilaku geser untuk balok yang elastis homogen bervariasi sepanjang tinggi balok, tergantung dari bentuk penampang yang digunakan. Secara umum, gaya geser horisontal (v) yang berjarak y dari garis netral adalah: =
∫
................................................. (18)
dengan pengertian: v : gaya geser horisontal, V : gaya geser total pada penampang, b : lebar penampang, Iz : momen inersia penampang terhadap garis netral sumbu z, y : jarak titik yang ditinjau terhadap garis netral. Untuk penampang segi empat, Persamaan 18 menjadi: =
−
................ (19)
,
Pada Gambar 5, terlihat bahwa gaya geser pada suatu penampang balok tidak merata sepanjang tinggi balok.
Gambar 5. Diagram tegangan geser dan normal pada balok persegi Dalam perencanaan, umumnya diambil harga rata-rata. Untuk penampang persegi, tegangan geser sepanjang tinggi balok adalah: =
........................................................... (20)
Dalam elemen kecil dA, gaya geser bekerja seragam dalam arah horisontal maupun vertikal seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 6. Tegangan geser pada elemen kecil Jenis tulangan geser yang umum digunakan adalah sengkang vertikal (vertical stirup), yang dapat berupa baja berdiameter kecil atau kawat baja las yang dipasang tegak lurus terhadap sumbu aksial penampang, dan sengkang miring. Sengkang miring juga dapat berasal dari tulangan longitudinal yang dibengkokan, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
12
Gambar 7. Jenis-jenis tulangan geser Fungsi tulangan geser ini diantaranya: (a) Menahan sebagian gaya geser pada bagian retak; (b) Mencegah penjalaran retak diagonal sehingga tidak menerus pada bagian tekan beton; (c) Memberi kekuatan tertentu terhadap beton, karena umumnya sengkang mengikat tulangan longitudinal, sehingga membentuk beton lebih masif. Kekuatan struktur jembatan harus direncanakan dengan menggunakan cara ultimit atau cara Perencanaan Berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT) seperti yang tercantum dalam “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung” SNI 03-2847-2002. Walaupun demikian, untuk perencanaan komponen struktur jembatan yang mengutamakan suatu pembatasan tegangan kerja atau adanya keterkaitan dengan aspek lain sesuai batasan perilaku deformasinya, atau sebagai cara perhitungan alternatif, dapat digunakan cara Perencanaan Berdasarkan Batas Layan (PBL). Perencanaan penampang akibat geser harus berdasarkan pada rumus: Φ
..................................................... (21)
≥
dengan pengertian: Vn : gaya geser nominal, Vu : gaya geser terfaktor pada penampang. Nilai Vn dapat dihitung dengan menggunakan rumus: =
.................................................... (22)
+
dengan pengertian: Vc : kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton, Vs : kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser. Nilai Vc untuk komponen struktur yang dibebani geser dan lentur dapat dihitung dengan menggunakan rumus: =
×
×
............................................ (23)
Sedangkan nilai Vc untuk komponen struktur yang dibebani tekan aksial dapat dihitung dengan menggunakan rumus: = 1+
×
×
×
.................................. (24)
Untuk nilai Vs untuk tulangan geser yang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur dapat dihitung dengan menggunakan rumus: ×
=
×
.................................................. (25)
Komponen struktur yang dibebani kombinasi aksial tekan dan lentur harus direncanakan terhadap momen maksimum yang dapat menyertai beban aksial. Beban aksial terfaktor (P u) dengan eksentrisitas yang ada tidak boleh melampaui kuat rancang beban aksial ϕ Pn, dimana untuk komponen dengan tulangan pengikat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Φ
= 0,65 Φ 0,85 ×
×
−
+
×
................ (26)
13
2.2.4. Kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang memikul beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui pondasi. Kolom merupakan komponen tekan, sehingga keruntuhan pada suatu kolom merupakan lokasi kritis yang menyebabkan runtuh (collapse) lantai yang bersangkutan, dan juga runtuh batas total (ultimate total collapse) seluruh struktur. Kolom beton bertulang mempunyai tulangan longitudinal yang paralel dengan arah kerja beban, dan disusun menurut pola segi empat, bujur sangkar atau lingkaran. Batasan 1-8% dari luas penampang kolom beton Ag lazim digunakan untuk menentukan jumlah tulangan ini, karena persentase yang lebih besar tidak ekonomis dan mempersulit pemasangan. Tulangan ini umumnya diikat oleh tulangan melintang yang ditempatkan dalam interval tertentu, disebut dengan tulangan sengkang. Sengkang berfungsi untuk mengurangi bahaya pecah (splitting) beton yang dapat mempengaruhi daktilitas kolom tersebut. Apabila beban pada kolom bertambah, maka retak akan banyak terjadi di seluruh tinggi kolom, yaitu pada lokasi-lokasi tulangan sengkang. Dalam keadaan batas keruntuhan (limitate state of failure), selimut beton di luar sengkang atau di luar spiral akan lepas sehingga tulangan memanjangnya akan mulai terlihat. Apabila bebannya terus bertambah, maka akan terjadi keruntuhan dan tekuk lokal (local buckling) tulangan memanjang pada panjang yang tidak tertumpu sengkang atau spiral. Keruntuhan kolom dapat terjadi apabila tulangan bajanya leleh karena tarik atau terjadinya kehancuran pada beton yang tertekan. Selain itu, keruntuhan kolom juga dapat terjadi karena kehilangan stabilitas lateral, yaitu karena terjadinya tekuk. Apabila kolom runtuh karena kegagalan materialnya (lelehnya baja atau hancurnya beton), maka kolom ini diklasifikasikan sebagai kolom pendek (short column). Sebaliknya jika panjang kolom bertambah, kemungkinan kolom runtuh karena tekuk semakin besar. Akibatnya, kolom tersebut diklasifikasikan sebagai kolom panjang atau kolom langsing. Suatu kolom dapat dievaluasi berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: (a) Kekuatan unsur-unsur harus didasarkan pada perhitungan yang memenuhi syarat keseimbangan dan kompatibilitas regangan; (b) Regangan di dalam beton dan baja tulangan dimisalkan berbanding lurus dengan jarak terhadap garis netral; (c) Regangan maksimum yang dapat dipakai pada serat tekan ekstrim beton adalah 0,003; (d) Kekuatan tarik beton diabaikan dalam perhitungan. Kolom dapat diklasifikasikan berdasarkan pada: (a) Bentuk dan susunan tulangan. Kolom segi empat atau bujur sangkar dengan tulangan memanjang dan sengkang, kolom bundar dengan tulangan memanjang dan tulangan lateral sengkang atau spiral, kolom komposit yang terdiri dari beton dan profil baja struktur di dalamnya; (b) Posisi beban pada penampang. Kolom dengan beban sentris dan eksentris; (c) Panjang kolom dalam hubungannya dengan dimensi lateral. Kolom pendek (short column), kolom panjang atau kolom langsing.
2.2.4.1.
Kolom Pendek
Perencanaan suatu kolom didasarkan pada kekuatan dan kekakuan penampang lintangnya terhadap aksi beban aksial dan momen lentur. Kekuatan rencana suatu kolom beton bertulang dapat diperoleh dengan mengalikan kekuatan nominal dengan faktor reduksi ϕ. Nilai ϕ untuk kolom dengan sengkang spiral adalah 0,7 dan 0,65 untuk sengkang segi empat.
14
Bila suatu kolom dibebani gaya aksial (P) dan momen (M) seperti pada Gambar 8, biasanya gaya aksial dan momen ini dapat digantikan oleh gaya P yang bekerja pada eksentrisitas, dimana e = M/P.
Gambar 8. Beban pengganti dengan eksentrisitas kecil Tulangan tekan pada kolom beton yang dibebani eksentrisitas pada tingkat beban ultimit umumnya akan mencapai tegangan leleh, kecuali jika beban tersebut kecil dan menggunakan baja mutu tinggi atau dimensi kolomnya relatif kecil. Sehingga diasumsikan bahwa baja tulangan tekan sudah leleh, kemudian baru regangannya diperiksa apakah memenuhi ketentuan ini.
Gambar 9. Diagram tegangan regangan pada penampang kolom dengan tulangan pada dua sisi akibat beban eksentris Dari Gambar 9, diagram tegangan dan regangan pada penampang kolom yang ditulangi dua sisi di atas, diperoleh: = 0,85
+
−
.................................. (27)
Dengan mengambil momen terhadap tulangan tarik, dapat disusun persamaan momen untuk kolom dengan beban eksentris: = 0,85
− -0,5 a)+ As ' fy (d-d'-d +
dengan pengertian: d : jarak tulangan tarik dari serat atas, d’ : jarak tulangan tekan dari serat atas, d” : titik sentroid plastis dari penampang.
" ............ (28)
15
Pada kondisi seimbang (balance failure), dimana fs = fy dan β1 = 0,85. Dengan mensubstitusikan nilai ab dan fs kedua persamaan di atas, akan diperoleh beban aksial momen lentur untuk kondisi keruntuhan seimbang. Sama seperti balok, kolom juga mengalami tiga macam keruntuhan, yaitu: (a) Keruntuhan imbang (balance failure), bila Pu = Pb, diawali dengan lelehnya tulangan yang tertarik sekaligus hancurnya beton yang tertekan; (b) Keruntuhan tarik (tension failure), bila Pu < Pb, diawali dengan lelehnya tulangan yang tertarik; (c) Keruntuhan tekan (compression failure), bila Pu > Pb, diawali dengan hancurnya beton yang tertekan. Tegangan pada tulangan tarik harus ditentukan menggunakan rumus: = 0,003
sehingga, =
>
..................................................... (29)
............................................. (30)
= 0,003
Asumsi bahwa tulangan tekan sudah leleh harus diperiksa dengan melihat regangan pada baja tulangan menggunakan rumus: = 0,003
>
................................................... (31)
Jika baja tulangan tekan belum leleh dan regangannya lebih kecil dari ε y serta nilai fs’ harus ditentukan melalui diagram tegangannya yang dapat dirumuskan sebagai berikut: =
= 0,003
= 0,003
....................... (32)
Nilai ini kemudian disubstitusikan ke dalam Persamaan 27 untuk menggantikan tegangan pada baja tulangan tekan. Apabila suatu kolom segi empat diberi tulangan pada keempat sisinya dan semua tulangan yang sejajar tidak simetris, maka solusinya harus dicari berdasarkan prinsip-prinsip dasarnya. Maka dari itu, Persamaan 27 dan Persamaan 28 harus disesuaikan terlebih dahulu. Kontrol keserasian regangan harus tetap dipertahankan di seluruh bagian penampang. Gambar di bawah ini memperlihatkan kolom yang bertulang pada keempat sisinya.
Gambar 10. Kolom yang mempunyai tulangan pada keempat sisinya (a) Penampang melintang; (b) Regangan; (c) Gaya-gaya
16
Asumsi yang digunakan di sini adalah: Gsc : titik berat gaya tekan pada tulangan tekan, Gst : titik berat gaya tarik pada tulangan tarik, Fsc : resultan gaya tekan pada tulangan = Ʃ As’ fsc, Fst : resultan gaya tarik pada tulangan = Ʃ As fst. Keseimbangan antara gaya-gaya dalam dengan momen dan gaya luar harus terpenuhi dengan menggunakan rumus di bawah ini, yaitu: ............................................. (33)
+ ∑
= 0,85
(0,5 − 0,5 ) + ∑
= 0,85
(0,5 −
) .................... (34)
Trial and error diterapkan dengan menggunakan suatu asumsi tinggi garis netral c, yang berarti pula tinggi blok tegangan ekivalen a diketahui. Besarnya regangan pada suatu lapis tulangan ditentukan dengan menggunakan distribusi regangan seperti diperlihatkan pada Gambar 10 (b) untuk menjamin terpenuhinya keserasian regangan. Tegangan pada setiap tulangan diperoleh dengan menggunakan rumus: =
=
600
,
≤
......................... (35)
Carilah Pn untuk c yang diasumsikan sebelumnya dengan menggunakan Persamaan 33, substitusikan besarnya gaya normal ke dalam Persamaan 34 dan kemudian diperoleh nilai c. Apabila nilai c ini belum cukup dekat dengan c yang diasumsikan semula, lakukan trial and error berikutnya. Gaya tahanan nominal Pn yang sesungguhnya pada penampang ini adalah yang diperoleh pada trial and error terakhir sehubungan dengan c yang sudah benar. Dalam banyak hal, disarankan untuk menggunakan tulangan baja pada sisi tegak terhadap sumbu lentur sekalipun secara teoritis tidak diperlukan paling sedikit 25% dari luas tulangan memanjang utamanya.
2.2.4.2.
Kolom Langsing
Untuk kolom langsing, jika dibandingkan ukuran tinggi kolom ini, dapat menimbulkan momen sekunder akibat defleksi lateral dan bahaya tekuk. Sehingga untuk analisis dan perencanaan kolom langsing, kemungkinan terjadinya tekuk (buckling) diperhitungkan. Peraturan tidak memberikan batas panjang maksimum kolom pendek, tetapi menetapkan digunakannya suatu proses evaluasi kelangsingan pada batas rasio kelangsingan tertentu. Untuk mencegah tekuk yang tidak dikehendaki, diperlukan evaluasi terhadap reduksi kekuatan yang harus diberikan dalam perhitungan struktur kolom. Reduksi kekuatan kolom ini tergantung pada tinggi efektif kolom, ukuran penampang, rasio kelangsingan, dan kondisi ujung kolom. Pada umumnya, suatu kolom dibedakan menjadi: (a) Kolom panjang dengan kelangsingan yang relatif besar, sehingga memerlukan balok lateral; (b) Kolom panjang dengan kelangsingan relatif sedang, sehingga tidak memerlukan balok lateral; (c) Kolom pendek dengan rasio kelangsingan cukup kecil. Suatu kolom digolongkan langsing apabila dimensi atau ukuran penampang lintangnya kecil dibandingkan dengan tinggi bebasnya. Tingkat kelangsingan suatu struktur kolom dapat diungkapkan sebagai rasio kelangsingan, yaitu: ....................................................................... (36)
17
dengan pengertian: k : faktor panjang efektif komponen struktur tekan, lu : panjang komponen struktur tekan yang tidak ditopang, r : jari-jari putaran (radius of gyration) potongan lintang komponen struktur tekan = ⁄ ; ditetapkan 0,3h dimana h adalah ukuran kolom persegi pada arah bekerjanya momen; atau 0,25D dimana D adalah diameter kolom bulat. Ketentuan untuk komponen struktur tekan dengan pengaku lateral, efek kelangsingan dapat diabaikan apabila rasio kelangsingan memenuhi: < 34 − 12
.................................................. (37)
Dimana M1b dan M2b adalah momen-momen ujung terfaktor pada kolom yang posisinya berlawanan. Momen tersebut terjadi akibat beban yang tidak menimbulkan goyangan ke samping yang besar, dihitung dengan analisis struktur elastis. M2b adalah momen ujung terfaktor yang lebih besar dan selalu positif, sedangkan M1b bernilai negatif apabila komponen kolom terlentur dalam lengkungan ganda, dan positif dalam lengkungan tunggal. Untuk komponen struktur tekan tanpa pengaku lateral atau tidak disokong untuk tertahan ke arah samping, maka efek kelangsingan dapat diabaikan apabila memenuhi: < 22 ........................................................... (38)
Untuk komponen struktur tekan dengan klu/r lebih besar dari 100, harus digunakan analisis atau perencanaan yang didasarkan pada gaya dan momen yang didapat dari analisis struktur yang ditinjau. Analisis tersebut harus memperhitungkan pengaruh beban aksial dan variasi dari momen inersia pada kekakuan komponen struktur dan pada momen jepit ujungnya, pengaruh dari lendutan pada momen dan gaya, dan pengaruh dari lamanya pembebanan. Rasio kelangsingan l/r dapat dihitung secara tepat jika panjang efektif kolom diketahui. Panjang efektif kolom merupakan fungsi dari dua faktor utama, yaitu: (a) Panjang yang tidak didukung (unsupported length) lu, yang harus menurut arah sumbu-x dan sumbu-y. Nilai kritis harus dipilih; (b) Panjang efektif k, yang merupakan rasio jarak dua titik yang momennya nol terhadap panjang kolom yang tidak didukung. Faktor k tergantung pada: (a) Sistem struktur (frame) yang diberi perkuatan, misalnya dengan dinding geser atau rangka kaku. Nilai k antara 0,5 hingga 1,0; (b) Sistem struktur tanpa perkuatan. Nilai k antara 1,0 hingga 10,0.
2.3.
BETON PRATEGANG
Beton prategang adalah jenis beton dimana tulangan bajanya ditarik atau ditegangkan terhadap betonnya. Penarikan ini menghasilkan sistem kesetimbangan pada tegangan dalam (tarik pada baja dan tekan pada beton) yang akan meningkatkan kemampuan beton menahan beban luar. Karena beton cukup kuat terhadap tekanan dan sebaliknya cukup lemah serta rapuh terhadap tarikan, maka kemampuan menahan beban luar dapat ditingkatkan dengan pemberian pratekan (Collins dan Mitchel 1991). Sedangkan menurut komisi ACI, beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan dalam dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban luar. Pada elemen beton bertulang, sistem prategang dilakukan dengan menarik tulangannya.
18
2.3.1. Konsep Beton Prategang Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.
A.
Sistem Prategang untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan yang Elastis
Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis, dan merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep ini, lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton. Atas dasar pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang mengalami dua sistem pembebanan, yaitu gaya internal prategang dan beban eksternal. Dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 11. Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang eksentris Dari gambar di atas, dapat dihitung distribusi tegangan (f) yang dihasilkan, yaitu: =
±
±
..................................................... (39)
dengan pengertian: f : tegangan. P : gaya prategang, A : luas penampang, e : jarak pusat tendon terhadap c.g.c, y : jarak dari sumbu yang melalui titik berat, I : momen inersia penampang.
B.
Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi dengan Beton
Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan desakan. Dengan demikian, kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.
19
Gambar 12. Momen tahanan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang
C.
Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban
Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gayagaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang. Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri. Sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Hal ini memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik di dalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.
Gambar 13. Balok prategang dengan tendon parabola Dari gambar di atas, beban (Wb) yang bekerja terdistribusi secara merata ke arah atas, sehingga dapat dinyatakan dalam:
dengan pengertian: Wb : beban, F : gaya prategang, L : panjang bentang, h : tinggi parabola.
=
............................................................ (40)
2.3.2. Metode Prategang Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa beton sangat kuat dalam menerima gaya tekan, akan tetapi lemah dalam menerima gaya tarik. Kemampuan menahan tarik beton bervariasi antara 8-14% dari kemampuan menahan tekan beton, hal ini menyebabkan terjadinya retak akibat
20
lentur (flexural crack) pada saat awal pembebanan. Untuk mengantisipasi keadaan retak tersebut, maka dilakukan suatu gaya yang mampu mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik yang terjadi di daerah-daerah kritis. Gaya itulah yang disebut gaya prategang. Suatu struktur dapat diberi gaya prategang dengan menggunakan baja mutu tinggi (high strength steel), yang tersedia dalam bentuk wire, strand, dan bar (Menn 1989). Metode prategang (prestressed method) dibagi menjadi dua macam, yaitu pre-tensioned dan post-tensioned.
A.
Pre-tensioned
Dalam metode ini, tendon prategang direntangkan diantara abutment. Kemudian beton dituangkan diantara tendon tersebut, setelah beton mengeras dan terjadi lekatan yang cukup kuat antara beton dan tendon, maka angkur pada abutment dilepaskan sehingga beton tersebut langsung tertekan. Awalan “pre-“ dalam “pre-tensioned” menunjukan bahwa tendon tersebut mengalami penarikan sebelum beton mengeras.
B.
Post-tensioned
Dalam post-tensioned, tendon prategang ditarik dan diangkurkan pada beton setelah (post) beton tersebut mengeras dan mencapai kekuatan tertentu. Biasanya selongsong (duct) ditempatkan disepanjang daerah yang akan diprategang sebelum beton dicor. Setelah pengangkuran, tendon dapat terekat (bonded tendon) jika daerah antara tendon dan selongsong diisi dengan mortar (grouting) atau tendon dibiarkan tidak terekat (unbounded tendon) jika grouting tidak dilakukan. Perbedaan penarikan ini akan berpengaruh terhadap luas penampang yang digunakan dalam perhitungan tegangan-tegangan yang terjadi baik dalam tahap initial stage atau final stage. Perbedaan perhitungan luas penampang dapat diberikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Perbedaan perhitungan luas penampang Cara Penegangan Pre-tensioned Post-tensioned
Parameter Yang Digunakan Initial Stage Final Stage Atransformasi, ytransformasi, It Atransformasi, ytransformasi, It Agross, yg, Ig Atransformasi, ytransformasi, Itransformasi
(Sumber: Lin dan Burns, 1982)
2.3.3. Tahap Pembebanan Prategang Dalam perancangan beton prategang, pembebanan tidak hanya ditinjau berdasarkan beban eksternal yang bekerja seperti beban mati dan beban hidup. Tetapi juga terhadap kombinasi dari beban-beban tersebut dengan gaya prategang yang bekerja pada penampang beton. Diantara tahap pembebanan tersebut, yang paling kritis biasanya pada tahap sesaat setelah baja ditegangkan (initial stage) dan pada masa pelayanan atau akhir (service or final stage).
A.
Initial Stage
Initial stage adalah tahap dimana gaya prategang dipindahkan pada beton dan tidak ada beban luar yang bekerja selain berat sendiri. Pada tahap ini, gaya prategangnya maksimum karena belum ada kehilangan prategangan dan kekuatan beton minimum dikarenakan umur beton yang masih muda. Konsekuensinya, tegangan pada beton menjadi lebih kritis. Pada sistem penarikan awal (pretensioned), untuk mempercepat proses penarikan, tendon dilepaskan pada saat beton mencapai 60%80% kekuatan yang disyaratkan, yaitu pada umur 28 hari. Pada sistem penarikan akhir (post-
21
tensioned), tendon tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam dua atau tiga tahap untuk memberikan kesempatan kepada beton untuk mencapai kekuatan yang disyaratkan gaya prategang diterapkan sepenuhnya. Menurut Collins dan Mitchel (1991), untuk balok prategang, perletakan sederhana dengan tendon lurus akan timbul tegangan yang tinggi pada bagian atas ujung balok. Pengalaman menunjukan bahwa timbulnya retak dalam jumlah yang kecil pada daerah ini dapat ditolerir. Sehingga peningkatan tegangan tarik diijinkan. Batas tegangan tarik dapat dinaikkan jika digunakan batang tulangan baja untuk mengontrol retak. Tulangan ini terdiri atas tulangan dengan diameter kecil yang diatur dengan baik.
Gambar 14. Retak pada saat initial stage
B.
Final Stage
Tahap ini adalah pembebanan yang paling berat untuk kondisi masa pelayanan, dengan asumsi bahwa semua kehilangan prategang telah terjadi. Sehingga gaya prategang telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar.
2.4.
STANDAR PEMBEBANAN JEMBATAN
“Standar Pembebanan Untuk Jembatan” RSNI T-02-2005 ini dipersiapkan oleh Panitia Teknik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus Kerja Bidang Prasarana Transportasi Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan pada Sub Panitia Teknik Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi. Standar ini diprakasai oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum (eks. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Standar ini merupakan revisi dari SNI 03-1725-1989 yang membahas masalah beban dan aksi-aksi lainnya yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya, termasuk jembatan pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan tersebut. Dengan terbitnya revisi ini, maka SNI 03-1725-1989 tidak berlaku lagi.
2.4.1. Berat Sendiri Tabel 2. Faktor beban untuk berat sendiri Faktor Beban Jangka Waktu
Tetap
SMS (Layan) Baja, aluminium Beton pracetak Beton dicor ditempat Kayu
1,0 1,0 1,0 1,0
UMS (Ultimit) Biasa Terkurangi 1,1 0,9 1,2 0,85 1,3 0,75 1,4 0,7
(Sumber: RSNI T-02-2005)
22
Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap.
2.4.2. Beban Mati Tambahan (Utilitas) Tabel 3. Faktor beban untuk beban mati tambahan (utilitas) Faktor Beban Jangka Waktu
UMA (Ultimit) Biasa Terkurangi Keadaan umum 1,0* 2,0 0,7 Tetap Keadaan khusus 1,0 1,4 0,8 Catatan: *faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas SMA (Layan)
(Sumber: RSNI T-02-2005) Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat berubah selama umur jembatan. Semua jembatan harus direncanakan untuk bisa memikul beban tambahan yang berupa aspal beton sebesar 50 mm untuk pelapisan kembali di kemudian hari. Lapisan ini harus ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam gambar. Pelapisan kembali yang diizinkan adalah merupakan beban nominal yang dikaitkan dengan faktor beban untuk mendapatkan beban rencana. Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih, saluran air kotor, dan lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh, sehingga kondisi yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
2.4.3. Pengaruh Prategang Tabel 4. Faktor beban akibat pengaruh prategang Jangka Waktu Tetap
Faktor Beban UPR (Ultimit) 1,0 (1,15 pada prapenegangan)
SPR (Layan) 1,0
(Sumber: RSNI T-02-2005) Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis tidak tentu. Pengaruh sekunder tersebut harus diperhitungkan baik pada batas daya layan ataupun batas ultimit. Prategang harus diperhitungkan sebelum (selama pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam kombinasinya dengan beban-beban lainnya. Pengaruh utama dari prategang adalah sebagai berikut: (a) Pada keadaan batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu sistem beban pada unsur. Nilai rencana dari beban prategang tersebut harus dihitung dengan menggunakan daktor beban daya layan sebesar 1,0; (b) Pada keadaan batas ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap sebagai beban yang bekerja. Melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan unsur. Untuk menghitung beban tendon yang bekerja terhadap pengaruh prategang, digunakan persamaan sebagai berikut: =
×
× 0,75 ...................................... (41)
23
dengan pengertian: A : luas tendon, dengan A = jumlah strand × luas tendon (m3), fu : tegangan tarik minimum (mPa).
2.4.4. Beban Lalu Lintas Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban jalur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan tiga as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per jalur lalu lintas rencana. Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T” digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
A.
Beban Lajur “D” Tabel 5. Faktor beban akibat beban lajur “D” Faktor Beban
Jangka Waktu
STD (Layan) 1,0
Transien
UTD (Ultimit) 1,8
(Sumber: RSNI T-02-2005) Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Beban lajur “D” Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L sebagai berikut:
> 30
≤ 30 ∶
∶
= 9,0
= 9,0 0,5 +
............................................. (42) .................................... (43)
24
dengan pengertian: q : intensitas BTR dalam arah memanjang jembatan, L : panjang total jembatan yang dibebani (meter). Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m dengan beban merata (QTD) sebagai berikut: =
, × ×(
, )× × ,
............................................ (44)
dengan pengertian: QTD : beban merata, q : intensitas BTR dalam arah memanjang jembatan, B : lebar lajur lalu lintas. Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok (tidak termasuk kerb dan trotoar) dengan intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
B.
Beban Truk “T” Tabel 6. Faktor beban akibat pembebanan truk “T” Jangka Waktu Transien
Faktor Beban STT (Layan) 1,0
UTT (Ultimit) 1,8
(Sumber: RSNI T-02-2005) Beban truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat pada Gambar 16. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi dua beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara dua as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Gambar 16. Beban truk “T”
25
2.4.5. Gaya Rem Tabel 7. Faktor beban akibat gaya rem Faktor Beban
Jangka Waktu
STB (Layan) 1,0
Transien
UTB (Ultimit) 1,8
(Sumber: RSNI T-02-2005) Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur “D” yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Besarnya gaya rem tergantung dari panjang total jembatan (Lt) yang telah ditentukan sebagai berikut: Tb : 250 kN untuk Lt ≤ 80 m, Tb : 250 + 2,5 (Lt – 80) kN untuk 80 ≤ L t ≤ 180 m, Tb : 500 kN untuk Lt ≥ 180 m. Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas vertikal. Dalam hal dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh dari gaya rem, maka faktor beban ultimit terkurangi sebesar 40% boleh digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal.
2.4.6. Pengaruh Temperatur/Suhu Tabel 8. Faktor beban akibat pengaruh temperatur/suhu Jangka Waktu
SET (Layan)
Transien
1,0
Faktor Beban UET (Ultimit) Biasa Terkurangi 1,2 0,8
(Sumber: RSNI T-02-2005) Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari di waktu siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari seluruh permukaan jembatan di waktu malam. Pada tipe jembatan yang lebar, mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang.
2.4.7. Beban Angin Tabel 9. Faktor beban akibat beban angin Jangka Waktu Transien
Faktor Beban SEW (Layan) 1,0
UEW (Ultimit) 1,2
(Sumber: RSNI T-02-2005)
26
Gaya nominal (TEW) ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung dari kecepatan angin rencana sebagai berikut: (
= 0,0006
[
)
] ....................................... (45)
dengan pengertian: TEW : gaya nominal, Vw : kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau, Cw : koefisien seret, Ab : luas koefisien bagian samping jembatan (m2). Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas, ekuivalen ini dianggap 30% dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar. Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Apabila suatu kendaraan sedang berada di atas jembatan, beban garis merata tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti yang diberikan dengan rumus: = 0,0012
2.4.8. Pengaruh Gempa
(
[
)
= 1,2 ...................... (46)
],
Beban rencana gempa minimum diperoleh dari rumus berikut:
dimana,
∗
= =
.................................................... (47)
.......................................................... (48)
dengan pengertian: T*EQ : gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN), Kh : koefisien beban gempa horisontal, C : koefisien geser dasar untuk daerah, waktu, dan kondisi setempat yang sesuai, I : faktor kepentingan, S : faktor tipe bangunan, WT : berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN). Koefisien geser dasar C sesuai dengan daerah gempa fleksibilitas tanah di bawah permukaan dan waktu getar bangunan. Lampiran 1 digunakan untuk menentukan pembagian daerah. Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa yang meninjau seluruh elemen bangunan yang memberikan kekakuan dan fleksiblitas dari sistem pondasi. Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana, dipergunakan rumus berikut: =2
...................................................... (49)
dengan pengertian: T : waktu getar dalam detik untuk free body pilar dengan derajat kebebasan tunggal pada jembatan bentang sederhana, g : percepatan gravitasi (m/dt2), WTP : berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan ditambah setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan) dalam kN,
27
Kp
: kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m). Jembatan umumnya mempunyai waktu getar yang berbeda pada arah memanjang dan melintang, sehingga beban rencana statis ekuivalen yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing arah.
2.5.
SPEKTRUM RESPONS
Spektrum respons adalah nilai yang menggambarkan respons maksimum dari sistem berderajat-kebebasan-tunggal (SDOF) pada berbagai frekuensi alami (periode alami) teredam akibat suatu goyangan tanah. Untuk kebutuhan praktis, maka spektrum respons percepatan dibuat dalam bentuk spektrum respons yang sudah disederhanakan. (RSNI 03-1726-2010) Untuk penentuan parameter spektrum respons percepatan di permukaan tanah, diperlukan faktor amplifikasi terkait spektrum percepatan untuk periode 0,2 detik (F a) dan periode 1,0 detik (Fv). Selanjutnya parameter spektrum respons percepatan di permukaan tanah dapat diperoleh dengan cara mengalikan koefisien Fa dan Fv dengan spektrum respons percepatan untuk perioda 0,2 detik (Ss) dan perioda 1,0 detik (S1) di batuan dasar yang diperoleh dari Peta Zonasi Gempa Indonesia 2010 sesuai rumus berikut: ............................................................ (50)
=
............................................................ (51)
=
dengan pengertian: SMs : nilai spektrum respons percepatan untuk periode 0,2 detik di permukaan tanah, SM1 : nilai spektrum respons percepatan untuk periode 1,0 detik di permukaan tanah, Ss : nilai spektrum respons percepatan untuk periode 0,2 detik di batuan dasar (Sb), mengacu pada Peta Zonasi Gempa Indonesia 2010 (Lampiran 2), S1 : nilai spektrum respons percepatan untuk periode 1,0 detik di batuan dasar (Sb), mengacu pada Peta Zonasi Gempa Indonesia 2010 (Lampiran 3), Fa : koefisien perioda 0,2 detik, Fv : koefisien perioda 1,0 detik. Nilai-nilai Fa dan Fv untuk berbagai klasifikasi site diberikan pada tabel-tabel di bawah ini. Tabel 10. Faktor amplifikasi untuk periode 0,2 detik (Fa) Klasifikasi Site Batuan Keras (SA) Batuan (SB) Tanah Sangat Padat dan Batuan Lunak (SC) Tanah Sedang (SD) Tanah Lunak (SE) Tanah Khusus (SF)
SS ≤ 0,25 0,8 1,0
SS = 0,5 0,8 1,0
SS SS = 0,75 0,8 1,0
1,2
1,2
1,1
1,0
1,0
1,6 2,5
1,4 1,7
1,2 1,2
1,1 0,9
1,0 0,9
SS
SS
SS
SS
SS
SS = 1,0 0,8 1,0
SS ≥ 1,25 0,8 1,0
(Sumber: RSNI 03-1726-2010)
28
Tabel 11. Faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv) Klasifikasi Site Batuan Keras (SA) Batuan (SB) Tanah Sangat Padat dan Batuan Lunak (SC) Tanah Sedang (SD) Tanah Lunak (SE) Tanah Khusus (SF)
S1 ≤ 0,1 0,8 1,0
S1 = 0,2 0,8 1,0
S1 S1 = 0,3 0,8 1,0
S1 = 0,4 0,8 1,0
S1 ≥ 0,25 0,8 1,0
1,7
1,6
1,5
1,4
1,3
2,4 3,5
2,0 3,2
1,8 2,8
1,6 2,4
1,3 2,4
SS
SS
SS
SS
SS
(Sumber: RSNI 03-1726-2010) Selanjutnya, untuk mendapatkan parameter spektrum respons desain, spektrum percepatan desain untuk perioda 0,2 detik dan perioda 1,0 detik dapat diperoleh melalui perumusan berikut ini: =
=
...................................................... (52) ...................................................... (53)
dengan pengertian: SDs : spektrum respons percepatan desain untuk perioda 0,2 detik, SD1 : spektrum respons percepatan desain untuk perioda 1,0 detik, μ : konstanta yang tergantung pada peraturan perencanaan bangunan yang digunakan, misalnya untuk IBC-2009 dan ASCE 7-10 dengan gempa MCE (2475 tahun dan deterministrik) menggunakan nilai μ sebesar 2/3. Selanjutnya, spektrum respons desain di permukaan tanah dapat ditetapkan sesuai dengan gambar di bawah ini.
Gambar 17. Tipikal spektrum respons di permukaan tanah untuk desain dimana: a) Untuk periode lebih kecil dari T 0, spektrum respons percepatan, Sa didapatkan dari persamaan berikut:
b)
=
0,4 + 0,6
.................................... (54)
Untuk periode lebih besar atau sama dengan T 0, dan lebih kecil atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan, Sa adalah sama dengan SDs,
29
c)
Untuk periode lebih besar dari T s, spektrum respons percepatan, Sa didapatkan dari persamaan berikut: =
keterangan: = 0,2
dan
................................................ (55)
=
30
III. 3.1.
METODE PENELITIAN
WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian ini dilakukan di pekerjaan pembangunan jembatan fly over Rawabuaya yang berlokasi di Jalan Raya Kembangan, Cengkareng, Jakarta Barat untuk mendapatkan data teknis mengenai struktur dari jembatan fly over Rawabuaya ini selama kurang lebih 90 hari dari bulan Februari sampai dengan bulan April. Kemudian penelitian dilanjutkan di Laboratorium Struktur Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Kabupaten Bogor untuk melakukan analisis data teknis yang telah diperoleh selama kurang lebih 60 hari dari bulan Mei sampai dengan bulan Juni. Peta lokasi pekerjaan pembangunan jembatan fly over Rawabuaya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 18. Peta lokasi pekerjaan pembangunan jembatan fly over Rawabuaya
3.2.
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan spesifikasi sebagai berikut: 1) Processor Intel® Core i5 2500k @ 3,30 GHz, 2) RAM sebesar 4,00 Gb, 3) Hard disk berkapasitas 1 Tb dan 320 Gb, 4) VGA Nvidia GeForce GTX 570 dengan LED monitor 22”, 5) Mouse dan keyboard untuk keperluan input data, 6) Sistem operasi Windows 7 32-bit, 7) Software pendukung, diantaranya CSi Bridge 15, Microsoft Office 2007 (Microsoft Word dan Microsoft Excel), serta software pendukung lainnya. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah data teknis mengenai struktur box girder jembatan fly over Rawabuaya sisi barat, diantaranya: 1) Layout Site Plan, 2) Layout Jembatan Fly Over Rawabuaya, 3) Layout Box Girder Jembatan Fly Over Rawabuaya Sisi Barat,