4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jelly Drink Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, kebutuhan akan pangan yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi tetapi bermanfaat bagi kesehatan juga semakin meningkat. Fenomena ini melahirkan suatu konsep pangan fungsional. Siro et al. (2008) mendefinisikan pangan fungsional sebagai “produk makanan yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia tetapi juga berfungsi untuk menurunkan resiko terjadinya penyakit. Muchtadi (2004) menyatakan bahwa makanan atau minuman dikatakan mempunyai sifat fungsional apabila mengandung komponen zat gizi (protein, asam lemak, vitamin dan mineral) dan komponen non gizi (serat pangan, oligosakarida, senyawa fenol dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi satu atau sejumlah terbatas fungsi dalam tubuh, tetapi yang bersifat positif, sehingga dapat memenuhi kriteria fungsional atau menyehatkan. Pangan fungsional memiliki tiga fungsi dasar yaitu : 1) Secara sensori memiliki warna dan penampakan yang menarik serta citarasa yang enak 2) Bergizi tinggi (nutritional) 3) Memberikan
pengaruh
fisiologis
menguntungkan
bagi
tubuh
(physiological) Komponen aktif yang terkandung dalam tanaman memiliki peranan yang penting bagi kesehatan, salah satu fungsinya adalah mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Pigmen yang terkandung dalam mikro dan makro alga memiliki khasiat tertentu untuk kesehatan. Fikosianin dapat berfungsi sebagai peningkat daya tahan tubuh serta pencegah timbulnya kanker. Pigmen ini dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk makanan dan minuman khususnya sebagai
penganti
pewarna
sintetik
dan
mampu
mengurangi
obesitas
(Arlyza 2005). Inovasi pengembangan produk jelly drink dengan pemanfaatan mikro dan makro alga merupakan suatu peluang besar untuk memenuhi tingginya permintaan minuman fungsional.
5
Minuman jelly merupakan salah satu produk cairan yang berbentuk gel yang mudah disedot, kenyal, bisa dikonsumsi sebagai penunda rasa lapar. Gel dapat terbentuk melalui mekanisme pembentukan junction zone oleh hidrokoloid (seperti karagenan) bersama dengan gula dan asam. Minuman ini memiliki tingkat kekentalan diantara sari buah dan jelly (Zega 2010). Jelly drink dapat bermanfaat untuk memperlancar pencernaan karena produk ini memiliki kandungan serat sehingga dapat juga dikategorikan sebagai minuman fungsional. Jelly drink dapat dibuat dengan menambahkan gelling agent seperti jelly powder, yaitu bahan pangan yang berbentuk tepung, terdiri dari hidrokoloid yang dapat membentuk gel. Jelly powder yang dapat digunakan dalam proses pembuatan jelly drink dapat berupa gum dan konjak. Selain jelly powder dapat pula digunakan hidrokoloid lain sebagai gelling agent seperti rumput laut. Jelly drink dapat digolongkan ke dalam minuman ringan. Minuman ringan merupakan minuman penyegar yang umumnya mengandung atau tidak mengandung karbonat, pemanis, asam atau flavor. Komponen penyusun minuman jelly disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komponen penyusun minuman jelly Komponen Gula Karagenan Potassium sitrat Asam sitrat Pewarna Perasa
Jumlah (%) 15-20 0,6-0,9 0,2-0,35 0,3-0,45 Sesuai aturan yang berlaku Sesuai aturan yang berlaku
Sumber : Imerson (2010)
2.2 Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Rumput laut adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun yang semua bagian tubuhnya disebut thallus. Rumput laut merupakan penghasil karagenan yang banyak dimanfaatkan dalam makanan, minuman maupun obat-obatan. Pemanfaatan rumput laut di Indonesia masih sebatas dalam pangan tertentu, namun di Jepang
rumput laut telah
dikonsumsi setiap hari sebagai sumber serat dan juga sumber antioksidan. Taksonomi Eucheuma cottonii menurut Anggadiredja et al. (2011) adalah sebagai berikut:
6
Phylum
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Soliericeae
Genus
: Eucheuma
Spesies
: Eucheuma cottonii
Eucheuma cottonii yang selama ini lebih dikenal oleh pembudidaya rumput laut adalah sinonim dari nama Kappaphycus alvarezii. Parenrengi & Sulaeman (2007) menyebutkan bahwa pergantian nama secara taksonomi ini didasarkan pada tipe kandungan karagenan yang dihasilkan yakni kappa-karagenan. Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis alga merah yang memiliki ciri diantaranya thallus silindris, permukaan licin, warna hijau kekuningan, coklat atau merah dengan pigmen utama klorofil, karotenoid dan fikosianin. Klorofil telah banyak dimanfaatkan dalam makanan maupun minuman. Klorofil diyakini dapat membantu penyerapan nutrisi, membersihkan sistem peredaran darah, antikanker, antioksidan, antihipertensi, antibakteri, memperbaiki fungsi
hati,
menurunkan
kadar
kolesterol
darah
dan
lain-lain
(Merdekawati dan Sudanto 2009). Komponen lain yang dimiliki rumput laut antara lain protein, mineral dan vitamin. Komposisi Eucheuma cottonii dalam bentuk kering disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia Eucheuma cottonii Komposisi Air (g/100g)* Kadar abu (g/100g)* Lemak (g/100g)* Protein (g/100g)* Dietary fiber (g/100g)* Mg (mg/g) Ca (mg/g) K (mg/g) Na (mg/g) Zn (mg/g) Fe (mg/g) .
Sumber : Santoso et al. (2006) * : basis basah
Kandungan 83,3 3,4 0,2 0,7 11,6 2,9 2,8 87,1 11,9 0,018 0,070
7
Eucheuma cottonii dengan kandungan polisakarida yang cukup besar merupakan salah satu sumber serat pangan yang potensial. Saat ini konsumsi serat pangan di Indonesia masih didominasi bahan asal tanaman darat. Rumput laut mengandung
hidrokoloid
dan
senyawa
farmaseutikal.
Hasil
penelitian
Matanjun et al. (2009) menunjukkan bahwa kandungan serat larut air dari Eucheuma cottonii jauh lebih tinggi (18.3%) dibandingkan dengan serat tidak larut air (6,8%). Pemanfatan rumput laut dalam pembuatan makanan maupun minuman selain sebagai sumber serat juga sebagai bahan pengental. Eucheuma cottonii lebih dikenal sebagai penghasil karagenan. Karagenan merupakan senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi dari jenis karagenofit misal Eucheuma cottonii (Anggadiredja et al. 2011). Bawa et al. (2007) telah mengisolasi karagenan dari Eucheuma cottonii dengan perlakuan berbagai pH. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa karagenan yang diektrak dengan pH 8,5 dapat menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pH 7,5 dan pH 8 namun terjadi penurunan rendemen dengan peningkatan pH lebih dari 8,5. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan gel dari rumput laut akan lebih baik apabila pHnya netral dan menuju basa. Karagenan yang terdapat di dalam rumput laut akan dapat berinteraksi dengan makro molekul yang bermuatan, misal protein sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel dan pengendapan. Hasil interaksi karagenan dengan protein sangat bergantung pada pH larutan serta pH isoelektrik dari protein (Winarno 2008).
2.3 Spirulina platensis Spirulina merupakan salah satu alga hijau biru yang banyak dikultivasi. Spirulina dapat dimakan, secara alamiah dapat dikultivasi di air tawar sampai alkali (payau) di danau-danau atau kolam. Susanna et al. (2007) menyatakan bahwa Spirulina dapat dimanfaatkan sebagai suplemen bahan pakan, makanan dan pengobatan. Chlorella dan Spirulina merupakan makanan yang mengandung semua nutrien makanan dalam konsentrasi yang tinggi, dan telah diterima sebagai makanan yang mempunyai banyak fungsi.
8
Hasil uji proksimat yang dilakukan oleh Tokusoglu & Onal. (2003) menunjukkan bahwa Spirulina
memiliki kadar air sebesar 3,76%, kadar abu
sebesar 8,44%, protein kasar 62%, lemak kasar 7,42% , karbohidrat 15,35% dan energi 1573,27 dianalisis per 100 g berat kering. Zat berpotensi lainnya ialah γ-linolenat acid (GLA) yang kadarnya 4,59% dan diketahui bermanfaat bagi penderita hiperkolesterolemia dan juga menyediakan alpha-linolenic acid (ALA) 0,67%, linolenic acid (LA), stearidonic acid (SDA), eicosapentaeonic (EPA) 2,48%, docosahexaenoic acid (DHA) 3,04%, and arachidonic acid (AA) sebesar 0,37%. Vitamin yang terkandung di dalamnya adalah vitamin B1, B2, B3, B6, B9, B12, Vitamin C, Vitamin D dan Vitamin E. Mineral yang ditemukan pada Spirulina diantaranya adalah Na, K, Ca, Mg, Fe, Cd, Cr dan Cu.
Shuda &
Kavimani (2011) menyatakan bahwa disamping γ-linolenic acid, juga masih banyak phytocemical lain yang baik untuk kesehatan. Spirulina juga mengandung phycosianin (7% dari basis keringnya), polisakarida dan juga antioksidan. Sumber antioksidan yang terkandung dalam Spirulina diantaranya adalah fikosianin, β-croten, tocoferol, γ-linoleic acid dan komponen fenol. Selenium yang terkandung dalam fikosianin memiliki aktivitas yang kuat dalam menghambat radikal
superoksidase dan hydrogen peroksida. Fikosianin
merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari secara efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis. Fikosianin berwarna hijau cerah dan larut dalam air (Merdekawati & Susanto 2009). Fikosianin dapat berfungsi sebagai peningkat daya tahan tubuh serta timbulnya kanker. Pigmen ini dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk makanan dan minuman, kosmetika dan obat-obatan khususnya sebagai pengganti pewarna sintetik dan mampu mengurangi obesitas (Arlyza 2005). Kandungan lain yang dimiliki Spirulina adalah asam nukleat dan purin. Komponen ini di dalam tubuh akan dirubah menjadi asam urat yang dalam jumlah banyak akan mengganggu kerja ginjal. Hal inilah yang menjadi pembatas konsumsi Spirulina. Jittanoonta et al. (1999) menyatakan bahwa maxsimum tolerable daily intake (MTD) dari Spirulina adalah 4,33 g/ kg berat badan yang dihitung berdasarkan acceptable daily intake asam nukleat yaitu 2,6 g/orang.
9
Konsumsi suplemen Spirulina sebanyak 10 tablet/hari masih diperbolehkan karena di dalam 10 tablet tersebut hanya mengandung 1,2 g asam nukleat. Riyono (2008) menyatakan bahwa Spirulina memiliki banyak manfaat dan juga keistimewaan. Keistimewaan yang dimiliki Spirulina diantaranya adalah sebagai sumber protein nabati 100% bersifat alkali, dengan dinding sel yang lunak sehingga sangat mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Spirulina merupakan makanan paling alkali dibandingkan sayuran dan buah lain sehingga dapat mencegah dan mengatasi gangguan pencernaan terutama masalah lambung. Menurut Majahan (2010) protein Spirulina 90% dapat dicerna karena mengandung enzim yang membantu dalam proses pencernaan. Spirulina merupakan sumber protein yang potensial. Protein merupakan sumber gizi utama dan memberikan sifat fungsioanal yang penting dalam membentuk karakteristik produk pangan misal pengental, pengemulsi, pembentuk gel, pembentuk buih dan lain-lain. Aplikasi sifat fungsional protein dalam produk pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti air, ion, pH, suhu, lemak, gula dan perlakuan pengolahan (pendinginan, pemanasan, pengadukan dan modifikasi kimia). Jenis-jenis protein seperti albumin, globulin, prolamin, dan glutein dapat larut dalam air. Proses pemanasan akan mengakibatkan denaturasi protein. Pemanasan pada suhu 55-75 oC umumnya menyebabkan denaturasi protein (Kusnandar 2011). 2.4 Bahan Tambahan Makanan Bahan tambahan makanan dapat didefinisikan sebagai komponen baik yang sengaja ditambahkan maupun tidak yang dapat mempengaruhi karakteristik makanan. Bahan tambahan makanan yang digunakan dalam
pembuatan jelly
drink Spirulina yaitu gula dan essence. Sukrosa digunakan sebagai pemanis dalam minuman sedangkan essence digunakan untuk menutupi aroma dari Spirulina. 2.4.1 Gula Gula merupakan istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan beberapa karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pemanis. Karbohidrat yang disusun oleh monomer yang sedikit disebut gula sederhana. Disakarida merupakan gula sederhana yang tersusun atas dua unit monosakarida. Diantara
10
senyawa kelompok disakarida yang banyak ditemukan adalah sukrosa (gula tebu), laktosa dan maltose (Kusnandar 2011). Gula sederhana dapat memberikan rasa manis di mulut. Sukrosa merupakan disakarida yang sering dimanfaatkan dalam proses pengolahan pangan. Sukrosa banyak ditemukan pada tebu, bit, siwalan, dan kelapa kopyor. Sukrosa lebih manis dibandingkan dengan glukosa, laktosa, xilosa, galaktosa, maltosa dan gula invert. Fruktosa sedikit lebih tinggi tingkat kemanisannya dibandingkan sukrosa (Winarno 2008). Pemanis buatan, seperti aspartam, siklamat dan sakarin memiliki tingkat kemanisan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sukrosa. Pada suhu 50 o
C, kelarutan sukrosa per 100 ml air adalah 72,2 g. Apabila sukrosa dipanaskan
diatas suhu lelehnya (>170
o
C) maka akan terjadi reaksi karamelisasi
(Kusnandar 2011). 2.4.2 Essence Penambahan aroma dalam makanan sangat penting karena aroma turut menentukan daya terima konsumen terhadap makanan dan minuman. Essence atau cita tasa tiruan secara alami terdapat dalam bahan makanan. Essence digolongkan sebagai bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah, dan mempertegas aroma. Essence dibagi menjadi dua jenis yakni essence alami dan buatan. Essence buatan dapat dibentuk dari senyawa–senyawa ester tertentu yang mempunyai aroma menyerupai aroma buah-buahan, misalnya amil asetat menyerupai aroma pisang, vanilin memberikan aroma serupa dengan ekstrak panili, dan amil kaproat mempunyai aroma apel dan nenas (Winarno 2008). Essence banyak dimanfaatkan dalam makanan dan minuman untuk mempertegas aroma yang diharapkan. Aroma yang dihasilkan oleh buah ataupun bahan alami yang lain memiliki kekurangan yaitu tidak stabil dalam penyimpanan. 2.5 Antioksidan Tanpa disadari dalam tubuh kita secara terus-menerus terbentuk radikal bebas melalui metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, ultraviolet asap rokok dan lain-lain. Rafat et al. (2010) menyatakan bahwa radikal bebas dapat
11
menyebabkan
peningkatan
resiko
penyakit
kronik
seperti
kanker
dan
kardiovaskular. Radikal bebas dan reactive oxygen species (ROS) dapat dieliminir secara enzimatis (antioksidan internal) maupun non enzimatis (antioksidan eksternal) seperti system glutation, asam askorbat, polisakarida dan protein (Madhyastha dan Vatsala 2009). Antioksidan merupakan suatu senyawa kimia yang dalam kadar tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan lemak akibat proses oksidasi
(Winarti 2010). Sejalan dengan pertambahan usia, kemampuan tubuh
untuk menghasilkan antioksidan akan berkurang sehingga diperlukan antioksidan eksternal. Jeong et al. (2004) menyatakan bahwa antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene dan tertiary butylhydroquinone dapat ditambahkan dalam makanan untuk mencegah terjadinya oksidasi. Meskipun demikian, penggunaan antioksidan sintesis memiliki resiko karena dapat bersifat toksik dan juga menyebabkan karsinogenik. Antioksidan alami seperti flavonoid, tannin, coumarins, curcuminoids, xanthon, penolik, dan terpenoid dapat ditemukan pada tanaman seperti buah, daun dan minyak tanaman. Komponen fenol merupakan salah satu antioksidan yang tidak hanya mampu mendonorkan hidrogen atau elektron tetapi juga mampu mencegah oksidasi pada beberapa ingredien makanan, asam lemak dan juga minyak. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak teroksidasi melalui 4 tahap (Winarti 2010), yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, penambahan asam lemak ke cincin aromatik pada antioksidan dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Prinsip kerja dari antioksidan sebagai berikut: oksigen bebas di udara akan mengoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak yang tidak jenuh. Kemudian radikal bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen sehingga menghasilkan peroksida aktif Mekanisme pembentukan radikal bebas disajikan pada Gambar 1.
12
RH
+
O2
R*
Asam lemak tidak jenuh Oksigen R* Radikal bebas
+
O2
Oksigen
+ OOH Radikal bebas ROO* Peroksida aktif
Gambar 1 Pembentukan radikal bebas. Apabila dalam suatu asam lemak yang terdapat dalam minyak tidak mengandung antioksidan, maka peroksida aktif akan bereaksi dengan ikatan rangkap lemak. Apabila ditambah suatu antioksidan maka peroksida aktif akan bereaksi dengan antioksidan tersebut. Dengan demikian pembentukan radikal bebas dapat dihentikan dengan penambahan suatu antioksidan (Winarti 2010). 2.6 Serat pangan Serat pangan lebih dikenal sebagai serat diet atau dietary fiber adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia. Beristain et al. (2006) menyatakan bahwa serat pangan memiliki peranan yang sangat penting dalam kesehatan. Konsumsi makanan yang memiliki serat tinggi dapat mereduksi total plasma dan LDL kolesterol serta dapat membantu pergerakan sisa makanan dalam saluran pencernaan. Serat pangan (dietary fiber) berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat pangan merupakan karbohidrat komplek yang banyak ditemukan pada dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim percernaan dan tidak dapat diserap oleh sistem pencernaan manusia. Serat kasar merupakan bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan kimia (H2SO4 dan NaOH) (Winarti 2010). Konsumsi serat dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kolesterol merupakan metabolisme awal pembentukan asam empedu dan juga sebagai perkusor dari hormon seks dan hormon adrenalin serta merupakan komponen dari membran sel (Lehninger 1982). Hardoko (2008) menduga bahwa penurunan total kolesterol akibat konsumsi serat terkait dengan mekanisme penggangguan pencernaan dan penghambatan absobsi kolesterol
dalam makanan
sehingga
terjadi produksi empedu yang terus menerus dan berdampak pada penurunan kolesterol darah. Fenomena ini didasarkan pada pernyataan Lehninger (1982)
13
bahwa kolesterol merupakan metabolisme awal terbentuknya bahan baku pembentukan garam empedu dalam tubuh dan berperan dalam pembuangan lemak melalui feses. 2.7 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan optimal Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai kecukupan gizi, acuan dalam menyusun makanan sehari-hari, acuan pendidikan gizi dan acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi. Pencantuman keterangan tentang kandungan gizi harus dinyatakan dalam persentase dari Acuan Label Gizi Produk Pangan (BPOM 2007).