II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Sitorus (2004) mengungkapkan pengertian sumberdaya lahan/tanah (land resources) adalah 1. Gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis yang terdiri dari lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang berada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Komponen-komponen penyusun sumberdaya lahan terdiri dari : (1) iklim, (2) air, (3) bentuk lahan dan topografi, (4) tanah, (5) formasi geologis, (6) vegetasi, (7) organisme/hewan, (8) manusia dan (9) produk budaya manusia. 2. Dari sudut pandang sistematik, sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai “suatu sistem” yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu : (1) sub-sistem tanah, (2) sub-sistem klimatologi, (3) sub-sistem hidrologi, (4) sub-sistem vegetasi, (5) sub-sistem manusia dan budayanya dan (6) sub-sistem penunjang aktivitas manusia. 3. Sebagai faktor produksi yang secara bersamaan digunakan dengan tenaga kerja, modal dan pengelolaan sebagai faktor produksi yang mana lahan dapat
menghasilkan
makanan,
serat,
bahan
bangunan,
mineral,
sumberdaya energi, dan bahan mentah lainnya yang digunakan dalam masyarakat modern. Dimana lahan dapat digunakan dalam 10 tipe
11
penggunaan utama yaitu : (1) lahan perumahan, (2) lahan komersial dan industri, (3) lahan tanaman, (4) lahan padang rumput dan penggembalaan, (5) Lahan hutan, (6) lahan mineral, (7) lahan rekreasi, (8) lahan trasportasi, (9) area pelayanan (area militer, tahanan, kuburan, waduk, lokasi listrik tenaga air), (10) Lahan gundul. 4. Barang konsumsi yang mempunyai nilai (value), misalnya untuk perumahan, tempat rekreasi, taman (parks) sering diperlakukan sebagai barang konsumsi meskipun dapat juga dianggap sebagai faktor produksi.
Hardjowigeno (2003) juga memberikan defenisi lahan secara ilmiah yaitu kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi yang meliputi tanah yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman beserta faktor-faktor fisik lingkungannya seperti lereng, hidrologi, iklim, dan sebagainya. Lahan merupakan input yang sangat dibutuhkan dalam banyak aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, permukiman, komersial, dan penggunaan untuk industri dan juga eksplorasi mineral yang terkandung di dalamnya. Lahan adalah sumberdaya alam yang sangat penting yang secara mudah dapat dipergunakan yang pada awalnya diperkenalkan oleh ilmu ekonomi modern pada akhir abad ke18 (Hartwick and Olewiler, 1986). Menurut Reksohadiprodjo (1985), apabila lahan digunakan bersamabersama dengan faktor-faktor produksi lain seperti tenaga kerja, modal, teknologi, dan lain-lain menjadi bahan pertimbangan untuk tempat tertentu bagi pemanfaatan tertentu pula. Pemanfaatan lahan sangat menentukan cara-cara masyarakat
12
berfungsi. Lahan yang merupakan sumber dasar atau asal makanan, permukiman, air serta zat asam harus dimanfaatkan secara baik sehingga menjamin ekosistem yang stabil, membatasi pencemaran udara, serta menciptakan struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional masyarakat dan tidak terbatas pada perkembangan kota-desa saja.
2. 2 Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan Penetapan harga lahan dapat diterapkan secara : 1. Land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari surplus lahan tersebut 2. Ekonometrika berdasarkan karekteristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi 3.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan.
2. 2. 1 Teori Nilai Lahan (Land rent) Menurut Barlowe (1986) sewa lahan merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan. Sewa lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yaitu merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
13
Sewa tanah dan keuntungan usaha merupakan dua konsep sewa lahan penting yang digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut hanya berbeda dalam satu hal yaitu contract land merupakan pembayaran yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya oleh pemilik lahan. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus pendapatan merupakan hak dari penyewa. Sewa lahan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai surplus ekonomi dari kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi karena lokasi ekonomi. Perbedaan kesuburan tanah mengakibatkan perbedaan output dengan biaya produksi total yang sama. Lahan subur akan menghasilkan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam besarnya biaya produksi rata-rata per unit untuk lahan dengan berbagai tingkat kesuburan tersebut. Perbedaan kualitas lokasi mengakibatkan adanya perbedaan dalam land rent. Hal ini disebabkan dengan biaya produksi rata-rata per unit yang sama, harga output yang diterima produsen di daerah pasar proporsional dengan harga jual output, sedangkan pada lokasi yang lebih jauh, harga yang diterima produsen akan lebih rendah karena meningkatnya biaya trasportasi. Adanya perbedaan harga yang diterima produsen tersebut mengakibatkan land rent tertinggi adalah lokasi
14
yang dekat dengan pasar dan land rent semakin rendah atau menurun apabila semakin jauh dari pasar. Teori sewa lahan menurut model klasik yang banyak digunakan adalah konsep dari David Ricardian dan Von Thunen (Barlowe, 1986). David Ricardo memberikan konsep tentang sewa lahan atas dasar perbedaan alam kesuburan tanah terutama pada masalah sewa lahan di sektor pertanian, tetapi dalam analisisnya David Ricardo tidak terlepas dari asumsi yaitu pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya lahan yang subur dan melimpah. Ricardo berpendapat hanya lahan yang subur yang digunakan untuk budidaya pertanian dan tidak ada pembayaran sewa lahan sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut, karena penduduk masih jarang atau sedikit jumlahnya. Sewa lahan akan muncul apabila jumlah penduduk bertambah sehingga meningkat permintaan akan lahan yang mengakibatkan digunakannya lahan kurang subur oleh masyarakat. Teori sewa lahan dari David Ricardo secara ringkas dapat diuraikan dalam contoh berikut : Dengan suatu tingkat penggunaan input tenaga kerja dan kapital yang sama (misalnya dengan biaya Rp. 1 juta) pada suatu areal yang sama, dengan empat perbedaan tingkat kesuburan tanah. Kesuburan dibedakan dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu lahan A, B, C, D dengan kapasitas produksi masing-masing 100 unit, 80 unit, 60 unit, 50 unit. Dengan asumsi tersebut untuk menghasilkan tiap unit produksi pada lahan kualitas A diperlukan biaya Rp. 40.000,- untuk lahan B Rp. 50.000,- lahan C Rp. 66.600,- dan lahan D Rp. 80.000,-. Apabila lahan kualitas A cukup tersedia untuk menghasilkan seluruh kebutuhan produksi, maka harga pasar produk akan berkaitan dengan Rp. 40.000,- biaya produksi per unit. Tidak ada rent yang perlu
15
dibayar, karena setiap pengguna lahan dapat menggunakan lahan dengan kualitas/tingkat kesuburan yang sama. Situasi ini akan berubah apabila lahan kualitas B harus digunakan untuk menghasilkan produk karena pertumbuhan penduduk. Pada keadaan ini harga produk harus meningkat pada tingkat Rp. 50.000,- untuk menutupi biaya produksi pada lahan kualitas B tersebut. Harga produk yang lebih tinggi ini akan memberikan surplus ekonomi sebesar Rp. 10.000,- per unit produk kepada si pengguna lahan kualitas A. Surplus
ini sebenarnya tidak diperlukan untuk
menjamin produksi yang berkesinambungan dari lahan A, tetapi karena sudah demikian adanya, itu menjadi land rent kepada pemilik lahan A tersebut. Demikian seterusnya untuk lahan C dan D. Lahan A mempunyai nilai sewa karena pertumbuhan penduduk, lahan B mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan selanjutnya lahan B mulai memiliki nilai sewa apabila lahan C mulai digunakan untuk perluasan tanam. Lahan C akan mulai memiliki nilai sewa lahan apabila lahan D mulai digunakan untuk perluasan tanam. Dengan demikian lahan A memiliki nilai sewa lahan yang tertinggi yang ditunjukkan oleh surplus ekonomi dari lahan D. Teori sewa lahan model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor kemapuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi lahan dalam menentukan nilai sewa lahan (land rent) dibahas dalam model Von Thunen. Model ini menunjukkan berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan menemukan bahwa sewa lahan di dekat pusat pasar lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar.
16
Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan biaya trasport dari daerah produksi ke pusat pasar. Semakin jauh jarak lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Lahan yang lokasinya dekat ke pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dengan sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan. Sewa lahan mempunyai hubungan yang terbalik dengan jarak lokasi lahan ke pasar seperti terlihat dalam Gambar 1.
Land rent (Rp)
Land rent (Rp) P
Land rent Y
C
Biaya
K
X
Jarak ke pasar (km)
Keterangan : P = Harga produk C = Biaya produksi K, X = Jarak lahan ke pasar
Gambar 1. Pengaruh Biaya Transportasi dari Berbagai Lokasi ke Pasar terhadap Land Rent Sumber : Barlowe, Raleigh (1986) Barlowe (1986) mengajukan konsep penggunaan lahan tertinggi dan terbaik. Sebagian besar lahan dapat digunakan dalam berbagai penggunaan. Lahan yang mempunyai nilai tertinggi dijumpai di sebagian besar kawasan pusat perdagangan. Lahan dalam keadaan penggunaan tertinggi dan terbaik apabila digunakan dapat memberikan keuntungan optimum kepada pengguna atau kepada
17
masyarakat yang dapat diukur dengan istilah moneter, dalam nilai sosial dan intangible value atau kombinasi keduanya. Penggunaan lahan tertinggi dan terbaik dari sebidang lahan sering dapat diubah mengikuti perubahan dari kualitas lahan, perubahan teknologi dan perubahan kecenderungan permintaan. Dalam masyarakat modern, lahan pada umumnya memberikan keuntungan yang lebih tinggi apabila digunakan untuk keperluan komersial atau industri (A), dibandingkan dengan tipe penggunaan lainnya. Kemudian diikuti berikutnya oleh penggunaan untuk pemukiman (B) lalu diikuti dengan berbagai tipe lahan tanaman dan padang rumput (C), padang penggembalaan (D) seperti terlihat dalam Gambar 2. Penggunaan Komersial dan Industri (A) Perumahan (B)
P
Lahan Pertanian dan Padang Rumput (C)
Pusat Kota
Padang Penggembalaan (D)
R Zona transper dari C ke D
Zona transper dariB ke C
Zona transper dari A ke B
Q Nilai Lahan dan Sewa Ekonomi Lahan
Kapasitas Penggunaan Menurun
Gambar 2. Profil Umum Penggunaan Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)
18
Margin antara penggunaan untuk komersialdan industri dengan perumahan terjadi di titik P. Pada titik ini lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk perumahan daripada dilanjutkan untuk penggunaan komersial. Transfer margin yang lain yang juga nyata adalah di titik Q dimana lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk lahan pertanian dan padang rumput daripada dilanjutkan untuk penggunaan pemukiman dan titik R dimana menjadi lebih mengguntungkan untuk menggeser ke penggunaan padang penggembalaan daripada dilanjutkan untuk penggunaan untuk pertanian dan padang rumput. Setiap orang pada tiap-tiap kasus ini dapat melanjutkan penggunaan transfer margin lahannya sebesar mungkin atau tidak ada margin lagi dan masih menghasilkan uang. Setiap orang yang menggunakan lahannya diantara adanya transfer margin dan tidak ada margin dikatakan peggunaan dengan prinsip zona transfer. Penjelasan di atas merupakan konsep nilai lahan dan prinsip highest and best uses yang dapat digunakan untuk menjelaskan kompetisi antara penggunaan lahan dan hasil dari pengalokasian sumberdaya lahan diantara penggunaanya. Kompetisi ini berlanjut seperti sebuah proses yang tidak berkesudahan dan berakibat pada kemampuan mengamati alokasi yang berkelanjutan dan berulang dalam penggunaan sumberdaya lahan diantara variasi penggunaan dan pemakai lahan tersebut. 2. 2. 2 Teori Harga Lahan Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market
19
expressions) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Alonso (1970) juga mendefenisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Defenisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengkaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente lahan seperti rente ricardian, rente lokasi atau rente sosial. McAuslan (1989) menyatakan bahwa semua lahan memiliki nilai. Nilai itu tergantung dari nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan di atas lahan tersebut tetapi sukar untuk menemukan dan kemudian menggunakan suatu cara untuk menilainya kecuali melalui pasar. Seperti halnya untuk barang ekonomi yang lainnya, pasarlah merupakan cara yang paling baik dengan melihat perpotongan antara penawaran dan permintaan lahan tersebut dalam menentukan harga lahan tersebut. Daniel (2002) menyatakan harga atas lahan ditentukan secara objektif ekonomis. Nilai ekonomis lahan komersial biasanya dianggap sebagai kapitalisasi atau pengejawatahan dari bunga. Semakin tinggi bunga maka akan semakin rendah harga lahan tersebut dengan asumsi penghasilan atau hasil bersih dari lahan tersebut tetap.
20
Menurut Randall (1987) perbedaan harga lahan dengan nilai lahan adalah harga lahan cenderung bernilai lebih tinggi dari nilai lahan baik pada wilayah pertanian maupun di wilayah perkotaan. Menurut teori lokasi, hal ini disebabkan karena tidak terdapat ekonomi aglomerasi. Rente lokasi (urban rent) memiliki gradien kurva yang lebih tajam dibandingkan dengan rente Ricardian (agriculture rent) sehingga terjadi spesialisasi penggunaan lahan antara wilayah kota dan wilayah desa. Pada kenyataannya, kadang-kadang untuk wilayah-wilayah yang terpencil harga lahan dapat lebih rendah dibandingkan nilai lahan. Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan atau secara konkrit harga lahan akan semakin meningkat jika kualitas lingkungan bertambah baik. Meningkatnya harga lahan sesungguhnya banyak berkaitan dengan banyaknya fasilitas yang diciptakan, terutama oleh investasi pemerintah yang bersifat pekerjaan umum seperti pembangunan jalan, fasilitas listrik, lapangan terbang, saluran irigasi, pengolahan limbah, dan sebagainya. Semua fasilitas umum tersebut menimbulkan kemudahan dan meningkatkan kepuasan (utility) dan tentunya kepuasan ini akan menambah kesediaan bagi orang untuk membayar. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum tersebut akan meningkat pula. Dengan perkataan lain, adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang dibarengi pula dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk
21
daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri atau penggunaan lain yang menguntungkan. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga lahan tidak terlepas dari nilai lahan dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, fasilitas-fasilitas yang tersedia di sekitar lahan ditentukan dalam kekuatan permintaan dan penawaran di pasar lahan. Menurut Daniel (2002) ada 2 faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran lahannya dan faktor permintaan lahan tersebut. Dari faktor penawarannya yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan, dan kandungan mineral dalam lahan tersebut. Dari lokasi lahan, dapat dilihat dari aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir. King (2000) juga memberikan defenisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteistik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat krja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum. Sutarjo (1992) memberikan penjelasan tentang pengaruh kualitas dan lokasi lahan terhadap harga lahan. Kenaikan nilai dan harga lahan merupakan suatu konsekuensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Lahan yang semula penggunaannya tidak pasti dijadikan suatu kawasan yang
22
produktif akan menaikkan nilai dan harga lahan Pembangunan kota memerlukan lahan yang luas dan memerlukan komponen-komponen kegiatan fungsional yang mendukung dan bersifat produktif seperti sarana transporasi, pasar, bank, dan kondisi jalan akan merupakan suatu hal yang sangat peka terhadap kemungkinan kenaikan harga lahan. Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentu permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumsi terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semikin mahal (Menurut Halcrow dan Mazzota, 1992).
Harga Lahan (Rp / m2)
S2 S1
P2
D2 P1 D1
Q1
Unit Kepemilikan Lahan (Q)
Gambar 3. Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)
23
Pada harga keseimbangan bersifat fleksibel, selalu berubah-ubah dan cenderung meningkat karena penawaran lahan yang semakin terbatas yang disertai permintaan lahan yang semakin bertambah. Dengan mengasumsikan bahwa kurva supply lahan bersifat hampir tidak elastik dan kurva permintaan bersifat sangat elastik dan berubah sesuai dengan perkembangan ekonomi, sehingga terjadi pergeseran kurva permintaan lahan dari D1 meningkat ke D2. Pergeseran permintaan lahan tersebut mendorong peningkatan harga dari P1 meningkat ke P2 dengan penurunan tingkat penawaran lahan, dapat ditunjukkan pada Gambar 3 di atas (Barlowe, 1986). 2.2.3 Nilai Jual Objek Pajak Lahan Nilai jual objek pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli, yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli. NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi (lahan, perairan, pedalaman, serta laut wilayah Indonesia) beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun di bawahnya, dan/atau bangunan yang melekat di atasnya. Pengelompokan nilai jual rata-rata atas permukaan bumi berupa lahan dan/atau bangunan digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang. Klasifikasi lahan dan bangunan adalah untuk dapat menghitung besarnya pajak PBB terutang, maka objek bumi dan atau bangunan tersebut harus diketahui dahulu besarnya harga atau NJOP per meter perseginya berdasarkan letak, lingkungan, dan strategis objek, menurut klasifikasi objek yang bersangkutan.
24
Tata cara penilaian objek PBB secara teknis penilaian terdiri dari 2 cara, yaitu penilaian massal dan penilaian individual (Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan). Penilaian individual adalah suatu sistem penilaian terhadap objek pajak secara manual dengan memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak yang dimaksud. Teknik penilaian individual diterapkan untuk jenis objek pajak kontruksi khusus atau umum yang telah dinilai secara CAV (Computer Assisted Valuation). Dalam penilain individual, meskipun pendataan dilakukan tidak tepat pada tanggal 1 Januari, tetapi analisis penilaian harus disesuaikan dengan keadaan tanggal 1 Januari tahun pajak berjalan. Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) disusun atas dasar model bangunan yang dianggap dapat melewati tipikal kelompok bangunan tertentu. Kemudian dilakukan perhitungan untuk menetukan nilai bangunan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 2.
2. 3 Pemukiman Menurut UU No. 2 thn 1992 pemukiman adalah suatu perumahan atau kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik kota atau desa berfungsi sebagai tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sedangkan pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan, karena pada umumnya di
25
pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan banyak dijumpai di kawasan perkotaan. Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi. Masalah pemukiman manusia di Indonesia, sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya, mencerminkan akibat keterbelakangan pembangunan dan sekaligus juga merupakan masalah yang menyertai proses pembangunan sendiri. Keterbelakangan pembangunan menimbulkan akibat-akibat terhadap pemukiman manusia cenderung untuk memburuk karena pertambahan penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan penambahan fasilitas-fasilitas pelayanan umum. Masalah-masalah ini dihadapi dalam situasi dan skala yang berlain-lainan di daerah-daerah perkotaan dan di daerah-daerah perdesaan. Urbanisasi di Indonesia tidaklah sepesat di negara-negara lain tetapi tekanan penduduk berpusat di beberapa kota besar saja.
26
Sebagai akibat konsentrasi-konsentrasi penduduk yang meningkat di kotakota besar terutama di Pulau Jawa adalah penggunaan lahan yang tidak terkendalikan dan sangat kurangnya tanah yang cocok bagi pembangunan lingkungan, perumahan, dan prasarna. Spekulasi tanah dan meningkatnya harga tanah, merupakan hambatan-hambatan utama bagi pembangunan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pembangunan pemukiman sehat. Sebagai akibat urbanisasi yang pesat, daerah-daerah perkotaan telah meluas yang mengakibatkan berkurangnya tanah-tanah pertanian yang subur di daaerah sekelilingnya. Survei-survei
keadaan
perumahan
sekarang
menunjukkan
bahwa
kebanyakan rumah-rumah tidak memenuhi syarat-syarat perumahan yang sehat dan layak. Banyak daerah-daerah tempat tinggal yang sedang tumbuh tidak mendapatkan penyediaan air minum dan tanpa sistem pembuanagn sampah. Daerah-daaerah perkampungan buruk (slums) tumbuh dengan pesat di kota-kota besar karena urbanisasi yang tidak terkendalikan. Daerah-daerah tersebut menyebabkan
lingkungan-lingkungan
pemukiman
merosot
keadaannya.
Kekurangan akan perumahan menyebabkan kepadatan baik dalam rumah-rumah maupun jumlah penghuni dalam rumah yang telah ada. Hal-hal tersebut akan mempunyai akibat terhadap keadaan kesehatan. Di banyak daerah di Pulau Jawa kepadatan penduduk yang makin meningkat telah melampaui daya dukung sistem ekologi perdesaan. Penduduk yang berkelebihan di desa-desa terdesak ke lereng-lereng pegunungan atau ke kota-kota dan menyebabkan eksploitasi SDA secara tidak terkendalikan dan irasional dengan akibat kerusakan pada sistem ekologi. Tekanan penduduk yang
27
makin mendesak di daerah-daerah perdesaan mengakibatkan kebutuhan akan tanah yang lebih besar yang memaksa orang-orang untuk menduduki tanah yang tadinya tidak diperuntukkan bagi pemukiman dan pertanian, atau banyak orang yang menempati tanah yang peka terhadap bencana alam seperti tanah longsor, banjir, letusan gunung. Sebagai akibatnya, sering terjadi banjir dengan akibatakibat malapetaka. Sumber-sumber air yang tadinya berada di daerah-daerah hutan pegunungan telah berkurang bersamaan dengan pembukaan hutan-hutan yang menyebabkan pula cepatnya erosi daerah-daerah tertentu, merobah sungai menjadi arus-arus yang belumpur dalam musim hujan, bahkan menjadi lembah-lembah yang kering sama sekali di musim kemarau. Pada saat ini mayoritas penduduk pedesaan masih sangat tergantung dari air yang berasal dari sumber-sumber yang tidak terlindungi, dari sungai-sungai atau kolam-kolam yang biasanya sudah tercemar. Jelaslah bahwa penyakit yang berhubungan dengan kurang tersedianya air dan kurang tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan merupakan sebab utama bagi kematian di daerah-daerah perdesaan. Dengan demikian masalah kesehatan dan program pembangunan kesehatan merupakan unsur yang utama dalam pembangunan pemukiman.
2. 4 Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian Rony (1996) yang melakukan penelitian tentang “Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang Mempengaruhinya” diperoleh : Harga lahan di Kotamadya Bogor, baik di wilayah “lama” maupun di wilayah “perluasan” terutama dipengaruhi oleh keberadaan jalan primer, jalan
28
sekunder, status administrasi (kelurahan atau desa), jarak terhadap pusat ekonomi, dan jangkauan terhadap sarana angkutan umum. Di samping itu dipengaruhi juga oleh status kepemilikan lahan, kepadatan penduduk kelurahan/desa, keberadaan kompleks pemukiman, dan kebijakan detil tata ruang. Kelembagaan jual beli lahan formal dapat mendukung keberlangsungan transaksi di kota Bogor tetapi berlangsung secara tidak efisien karena membutuhkan biaya transaksi yang lebih besar dibandingkan ketentuan perundangan. Biaya kontrak yang diperlukan untuk membuat akta berbeda menurut status kepemilikan lahan, wilayah administrasi, dan jenis PPAT. Lahan dengan status kepemilikan bersertifikat (SHM) membutuhkan biaya yang lebih rendah dibandingkan lahan konversi (HMA) yaitu 0,5 – 12,5 persen. Biaya kontrak di wilayah perluasan lebih tinggi dibandingkan di wilayah kotamadya yaitu 0,5 – 12,5 persen berbanding 0,5 – 6 persen. Kelembagaan jual beli lahan non-formal (calo tanah) meningkakan biaya informasi sehingga menurunkan efisiensi transaksi, tetapi masih dibutuhkan untuk menigkatkan efektivitas pelaksanaan jual beli. Biaya informasi yang dibutuhkan berbeda menurut tipe calo tanah. Jual beli lahan status hak milik bersetifikat dan hak guna bangunan banyak dilakukan jasa notaris, sebaliknya untuk lahan konversi (HMA) banyak menggunakan jasa camat. Pemanfaatan lahan di dekat bantaran sungai dan sudut kota banyak dihuni para pemukim “tidak sah”, karena tuntutan yang bersifat ekonomi, serta karena informasi asimetrik tentang peruntukan kawasan di lokasi bantaran sungai dan sudut kota. Perkembangan lahan publik di kotamadya Bogor telah mengalami penurunan luas yang drastis yaitu -14,68 ha atau -7,3 persen (1990 - 1993), yang
29
paling besar berkurangnya adalah lapangan olahraga dan taman kota yaitu -13,57 ha atau (-66,83 persen), dan dikonversi untuk permukiman dan industri. Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2004) tentang ”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Tanah Sareal” menghasilkan : karakteristik penjual lahan di kecamatan Tanah Sareal serara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/derajat. Memilki mata pencaharian sebagai wiraswasta, buruh tani, pegawai negeri, dan pegawai swasta. Penjual lahan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar 55 tahun. Penjual lahan sebagian besar memiliki tanggungan keluarga, yaitu berkisar 4-5 orang. Motivasi yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan merupakan motivasi berdasarkan pertimbangan pribadi penjual sehingga perlu dilakukannya transaksi lahan. Penjual lahan tersebut merupakan salah satu alternatif penjual untuk memperoleh tambahan dana untuk modal usaha, membayar hutang, dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Faktor penarik bagi penjual dalam melakukan dikarenakan adanya beberapa faktor yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penjual sehingga dilakukannnya transaksi jual beli lahan, diantaranya tingkat harga lahan yang tinggi, peluang bisnis lahan yang menjanjikan, dan tingkat suku bunga bank yang tinggi. Harga dan nilai lahan di Kecamatan Tanah Sareal diduga dipengaruhi oleh luas lahan, status lahan, kepadatan penduduk, sarana angkutan umum, keamanan lingkungan, fasilitas air, dan fasilitas telepon pada tarif kepercayaan 85 persen. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga
30
lahan dan nilai lahan pada taraf 85 persen adalah prasarana jalan, jarak pasar, dan kompleks pemukiman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuryanti (2006) di Kecamatan Telukjambe Timur didapat : luas total lahan yang dijual oleh sebanyak 40 responden sebesar 158.629 meter persegi. Ditinjau dari status lahannya, lahan yang dijual sebagian besar sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yaitu 24 orang, sedangkan lahan yang dijual dengan status hak milik adat (HMA) yaitu sebanyak 16 orang dimana sebagian besar tanahnya adalah tanah warisan. Karakteristik penjual lahan di Kecamatan Telukjambe Timur secara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/sederajat. Memiliki mata pencaharian sebagai wiraswata dan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar antara 46-55 tahun. Alasan yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, memperoleh tambahan dana untuk modal usaha dan membayar hutang. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga lahan dan nilai lahan adalah kepadatan penduduk, prasarana jalan, jarak pasar, kompleks pemukiman, keamanan lingkungan dan fasilitas air. Penelitian-penelitian terdahulu di atas dilakukan tanpa melihat pemerataan lokasi lahan tersebut, penelitian tersebut dilakukan pada 40 responden hanya yang telah terdaftar di PPAT Kecamatan dan Notaris sedangkan penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cibinong pada semua kelurahan yaitu 12 kelurahan sehingga penelitian ini lebih dapat merepresentasikan harga lahan secara lebih baik dibanding dengan penelitian sebelumnya. Variabel-variabel yang digunakan merupakan variabel berdasarkan teori dan fakta yang relevan. Penelitian
31
sebelumnya menggunakan model regresi liniear berganda dan model double-log namun tidak memeberikan penjelasan secara mendalam model yang terbaik dalam menjelaskan harga lahan sedangkan penelitian ini memberikan model terbaik dalam menjelaskan harga dan nilai lahan.