Tinjauan Perencanaan Pelabuhan Perikanan di Kawasan Rawan Tsunami Nanda Meirisya, Emirhadi Suganda 1. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok 2. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok E-mail:
[email protected]
Abstrak Indonesia merupakan negara maritim yang berpotensi untuk mengembangkan hasil laut. Sebagai negara yang dilalui oleh subduction zone, Indonesia rentan terkena bencana gempa dan tsunami. Banda Aceh sebagai daerah yang pernah ditimpa oleh bencana tersebut pada 26 Desember 2004 memerlukan fasilitas pelabuhan sebagai sarana untuk mendukung transaksi perikanan. Untuk itu perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai pelabuhan perikanan di daerah rawan bencana tsunami. Penelitian ini ditulis dengan metode deskriptif melalui pengumpulan data primer dari wawancara dan observasi serta data sekunder dari textbook, journal, dengan menggunakan 3 daerah sebagai bahan studi kasus. Daerah tersebut antara lain pelabuhan perikanan Lampulo Indonesia, pelabuhan perikanan Beruwala Srilanka, dan pelabuhan perikanan Aonae Jepang yang lebih berpengalaman dalam menanggulangi masalah mitigasi bencana tsunami. Penulisan ini membahas dari aspek tata letak dan bangunan yang dapat diintegrasikan dengan upaya mitigasi. Sehingga disimpulkan bahwa tata letak, bentuk bangunan, fasilitas pokok pelabuhan perikanan (bangunan perlindungan pantai) menjadi hal yang sangat penting untuk diterapkan pada pelabuhan perikanan rawan tsunami. Kajian ini menjadi awal pembelajaran bagi Indonesia untuk lebih memperhatikan penanggulangan bencana tsunami terhadap pelabuhan perikanan yang bermasa depan panjang di Indonesia. Kata kunci: Pelabuhan Perikanan, Bencana Tsunami, Mitigasi
Research of Fishing Port Planning in Tsunami Prone Area Abstract Indonesia is a maritime country that has a potential in developing its marine resources. As a country that is traversed by the subduction zone, Indonesia could easily be hit by natural disasters such as earthquake and tsunami. Banda Aceh as a region that has ever been hit by those disasters on December 26th 2004, requires port facilities as a mean to support fisheries transactions. Therefore, there needs to be a further study about the fishing port in tsunami prone areas. This research is written using a descriptive method through primary data collection such as interview and obeservatian, secondary data such as textbooks, journals, and other sources which then been examined through three case studies, each from different regions. The regions are Lampulo fishing port in Indonesia, Beruwala fishery harbor in Srilanka, and Aonae fishing port in Japan that has more experience in tackling the problem of tsunami disaster mitigation. This thesis discusses aspects such as layout of the area and buildings that can be integrated into mitigation efforts. In conclusion, layout, building form, and main facilities of fishing port (such as coastal-protection building) become the important aspects for fishing port located in the tsunami prone area. This research could hopefully be a trigger for Indonesia to pay more attention in encountering natural disasters, especially tsunami that might strike fishing ports since fishing industry has a long and bright future in Indonesia. Keywords: Fishing Port, Tsunami Disaster, Mitigation
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi untuk mengembangkan sarana dan prasarana terhadap wilayah perairannya yang sangat luas. Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan apa yang telah dihasilkan oleh perairannya. Laut sebagai sumber bahan pangan, jalur transportasi, dan daerah yang dapat dimanfaatkan keindahannya menjadi hal yang penting dalam hidup manusia untuk memenuhi kebutuhan. Wilayah perairan ini berpotensi untuk dikembangkan dalam hal perdagangan maritim secara nasional maupun internasional. Pengembangan tersebut dapat meningkatkan pendapatan pribadi maupun daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, perlu adanya suatu wadah khusus yang dapat menampung dan mendukung kebutuhan manusia tersebut yang berfungsi seperti layaknya gerbang untuk menghubungkan daratan dengan daratan lainnya yang dipisahkan oleh wilayah perairan, yaitu pelabuhan. Provinsi Aceh sebagai provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera menjadi bagian dari Negara Indonesia yang memiliki potensi tersebut. Secara geografis, Banda Aceh dilalui oleh dua lempengan bumi, antara lain lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Daerah tersebut merupakan daerah yang rawan bencana gempa dan tsunami. Hal tersebut telah terbukti pada 26 Desember 2004 yang telah memporak-porandakan hampir seluruh kota Banda Aceh akibat bencana gempa dan tsunami. Berbagai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana telah dilakukan sehingga menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap Banda Aceh. Salah satu daerah yang direhabilitasi dan direkonstruksi adalah pelabuhan perikanan Lampulo di Banda Aceh. Hal ini mengingat adanya potensi di Banda Aceh di bidang perikanan terkait letaknya di paling ujung barat Sumatera. Belajar dari tragedi gempa dan tsunami di Banda Aceh, perencanaan suatu pembangunan di daerah yang rawan bencana memerlukan suatu pertimbangan khusus dibandingkan dengan daerah yang tidak rawan bencana. Perlu adanya suatu antisipasi untuk prakiraan kemungkinan datangnya bencana tersebut kembali. Dengan adanya antisipasi, masyarakat dapat lebih mempersiapkan diri dan membantu mengurangi dampak besar dari bencana seperti banyaknya korban yang berjatuhan serta rusaknya infrastruktur yang sangat parah. Pelabuhan perikanan sebagai tempat yang menghimpun kegiatan transaksi hasil tangkapan laut sudah pasti posisinya langsung berhadapan dengan muka laut. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan pada
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
sebuah pelabuhan perikanan yang langsung berhubungan dengan laut sehingga berkurangnya dampak bencana yang negatif melalui perencanaan yang efektif. Perencanaan yang tidak mengindahkan adanya bencana tsunami akan mengakibatkan kerusakan yang sama seperti bencana yang telah terjadi sebelumnya. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus pada daerah yang dilewati oleh subduction zone1 yang berpotensi diterjang bencana tsunami. Dengan demikian masalah yang timbul adalah bagaimana upaya antisipasi bencana di kawasan tersebut terkait tata letak dan bangunan serta bagaimana gambaran mengenai fasilitas pelabuhan perikanan yang dapat diintegrasikan dengan upaya mitigasi bencana tsunami. Dalam penulisan ini, lingkup yang akan dibahas adalah mengenai tata letak dan fasilitas bangunan pelabuhan perikanan terkait dengan upaya mitigasi bencana tsunami. Pembahasan mengenai upaya antisipasi bencana terhadap pelabuhan perikanan ini memiliki tujuan untuk dapat menjawab masalah tersebut.
Tinjauan Teoritis Berikut adalah pembahasan teori mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam sebuah perencanaan pelabuhan perikanan terutama yang terletak di kawasan rawan tsunami. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan antara lain perencanaan pelabuhan perikanan dan perencanaan terkait bencana gempa dan tsunami itu sendiri. 1. Perencanaan Pelabuhan Perikanan Untuk membuat suatu perencanaan pelabuhan perikanan di kawasan rawan tsunami pertamatama perlu memperhatikan bagaimana perencanaan pelabuhan perikanan secara umumnya. Hal apa saja yang menjadi dasar dan syarat menurut beberapa ahli terdahulu termasuk peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun syarat agar sebuah pelabuhan secara umum dapat berfungsi berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli, antara lain: 1.
Memperhatikan kedalaman perairan
2.
Terlindung dari gelombang
3.
Jauh dari sumber pendangkalan
4.
Pemilihan tanah yang stabil
1
Subduction Zone adalah daerah pertemuan lempeng benua dan lempeng samudera
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
5.
Tersedia ruang gerak kapal (kolam pelabuhan yang memadai)
6.
Pembuatan tambatan atau dermaga yang kuat menahan tumbukan kapal
7.
Mempunyai gudang terbuka dan gudang tertutup
8.
Adanya peralatan bongkar muat yang memadai
9.
Adanya air bersih, listrik, telepon, dan minyak yang cukup untuk melayani kapal dan muatan
10. Mempunyai sarana penghubung 11. Adanya bunker bahan bakar dan pemadam kebakaran 12. Tersedia fasilitas pemeliharaan, perkantoran, dan ruang tunggu Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan, fasilitas yang harus ada pada pelabuhan perikanan sehingga pelabuhan tersebut dapat beroperasional, meliputi: •
Fasilitas pokok: lahan, dermaga, kolam pelabuhan, jalan komplek dan drainase;
•
Fasilitas fungsional: kantor administrasi pelabuhan, TPI, suplai air bersih, dan instalasi listrik;
•
Fasilitas penunjang: pos jaga dan MCK.
2. Perencanaan terkait Bencana Gempa dan Tsunami Sebelum mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan terkait bencana gempa dan tsunami, perlu diketahui bagaimana kronologi sehingga bencana tsunami tersebut dapat terjadi. Subandono Diposaptono (2007) menjelaskan bahwa tsunami bisa dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Berbeda dengan gelombang laut biasa yang diakibatkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa, gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik di laut, erupsi vulkanik (meletusnya gunung berapi) di laut, longsoran (land-slide) di laut, atau jatuhnya meteor. Di lokasi pembentukan tsunami, tinggi gelombang tsunami diperkirakan sekitar 0,5 m sampai 3,0 m dan panjang gelombangnya lebih dari puluhan kilometer. (Hal. 6-7)
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Gambar 1. Proses Terjadinya Tsunami Akibat Gempa Bumi di Bawah Laut Sumber: Subandono Diposaptono (2007)
Upaya untuk mengantisipasi bencana guna meminimalisir dampak yang negatif dari sebuah bencana biasa disebut dengan istilah mitigasi bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Berdasarkan dari peraturan pemerintah tersebut, maka pembahasan berikut dikategorikan menjadi dua hal, antara lain upaya struktural/fisik dan upaya non struktural/nonfisik A. Upaya Struktural/ Fisik Subandono Diposaptono (2004) menyatakan bahwa upaya mitigasi bencana tsunami struktural adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Sesuai dengan ruang lingkup yang sudah dibatasi, maka upaya struktural ini ditinjau dari dua aspek, antara lain: 1) Dari aspek tata letak a. Tata letak yang terdiri dari elemen keras (hard material) berupa perkerasan, bangunan dan elemen lembut (soft material) berupa tanaman akan membentuk pola yang dapat menciptakan jalur evakuasi (escape route) dan perlindungan terhadap area yang ada di daratan (Irfani, 2004). b. Subandono Diposaptono (2007) menyatakan bahwa green area atau coastal forest dapat berfungsi sebagai sabuk pengaman area pemukiman. Hal ini dikarenakan tanaman pantai seperti mangrove dan sebagainya dapat meredam gelombang tsunami melalui akar, batang, dan dedaunannya.
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Gambar 2. Coastal Forest Sumber: JICA Study Team (2009)
c. Sisi panjang dari struktur sedapat mungkin diarahkan sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami (Diposaptono, 2007) dan tata letak bangunan yang teratur dapat mengurangi kerusakan (Amri, 2004).
Gambar 3. Tata Letak Bangunan yang Teratur Dapat Mengurangi Kerusakan Sumber: Sjafei Amri (2004)
d. Garis sempadan bangunan minimal 200-250 m dari garis pantai (Irfani, 2004) e. Dapat dilakukan 3 alternatif penempatan, antara lain (Biljsma, 1996): • Protection. Upaya ini adalah membuat suatu struktur yang dapat melindungi bangunan dari gelombang tsunami.Hal ini dilakukan jika peletakan bangunan butuh berada di dekat dengan laut. • Accomodation. Berusaha untuk menyediakan struktur yang ramah terhadap gelombang tsunami, misalnya bangunan dibuat tinggi dan terbuka di bagian bawahnya agar gelombang tsunami dapat teraliri dengan baik • Retreat. Jika tidak membutuhkan tempat untuk dekat dengan laut, maka hal yang bisa dilakukan untuk menghindari gelombang tsunami adalah dengan memberi jarak antara bangunan dan garis pantai serta meletakkan bangunan di tempat yang lebih tinggi sehingga gelombang tsunami tidak dapat menghampiri. 2) Dari aspek bangunan/struktural a. Agar bangunan dapat bertahan sebelum datangnya tsunami maka diperlukan konstruksi bangunan yang tahan gempa. Rumah tahan gempa memiliki tembok dengan perkuatan
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
sloof, balok lingkar (ring balk) dan kolom praktis. Antara pondasi, sloof, balok lingkar, dan kolom praktis harus tersambung dengan baik. Kemudian, denah rumah yang simetris dapat lebih menguraikan beban dengan baik dan akan lebih baik lagi jika diberi alur pemisah (berupa balok atau dinding) antar ruangnya. Hal tersebut untuk membuat perkuatan pada kolom sehingga gaya gempa dapat diuraikan dengan lebih seimbang. Alur pemisah tersebut menghubungkan antara bidang dinding yang panjang dengan dinding yang bersudut (Diposaptono, 2007). b. Pembuatan pemecah gelombang (breakwater), tembok laut (seawall), dan pintu air. (Diposaptono, 2007)
Gambar 4. Breakwater Sumber: RTRW Kota Banda Aceh (2009)
Gambar 5. Tembok Laut Sumber: JICA Study Team (2009)
c. Struktur tahan tsunami seperti, lantai terbawah dari bangunan bertingkat sebaiknya dibuat terbuka, pondasi yang menerus (Diposaptono, 2007) d. Pembuatan bangunan evakuasi publik (escape building)
Gambar 6. Atap Bangunan Pelabuhan yang dirancang untuk evakuasi bila terjadi tsunami Sumber: Subandono Diposatono (2007)
e. Pembuatan embankment. Embankment adalah bangunan pantai yang berfungsi untuk menghalangi air setelah melewati breakwater (RTRW Kota Banda Aceh 2009)
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Gambar 7. Embankment Sumber: JICA Study Team (2005)
f. Perlindungan dengan gumuk pasir (sand dome)
Gambar 8. Perlindungan Gumuk Pasir (Sand Dome) di desa Pancer, Banyuwangi Sumber: Sjafei Amri (2004)
B. Upaya Nonstruktural/Nonfisik
Upaya non struktural adalah upaya yang mendasari upaya struktural agar upaya struktural tersebut dapat berjalan. Upaya ini biasanya berupa kebijakan dari pemerintah tentang tata guna lahan maupun syarat teknis bangunan, serta penyuluhan kepada masyarakat ramai akan bahaya bencana dan bagaimana cara mengantisipasinya. Jika perlu, penyuluhan tersebut dapat dilakukan dengan pelatihan simulasi sehingga masyarakat dapat lebih memahami upaya mitigasi seolah-olah seperti nyata. Dengan adanya kebijakan tersebut, masyarakat dapat lebih mempersiapkan diri untuk menanggapi datangnya bencana. Selain itu, upaya non struktural yang lain adalah pembuatan peta rawan bencana agar masyarakat dapa melihat daerah mana saja yang perlu di antisipasi.
Metode Penelitian Metode yang dilakukan untuk menyusun penulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif melalui pengumpulan data, antara lain:
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
a. Data primer yang didapatkan dari hasil observasi lapangan ke pelabuhan perikanan Lampulo secara langsung guna memperoleh data yang lebih objektif dan dapat dianalisa dengan baik. Penulis juga melakukan wawancara langsung dengan berbagai macam narasumber dari pihak pemerintah dan masyarakat yang dianggap lebih mengetahui hal-hal mengenai bencana gempa dan tsunami serta pelabuhan perikanan. Setelah melakukan kedua hal tersebut, dilakukan perolehan data melalui beberapa pertanyaan (kuesioner) yang diajukan kepada para pekerja kantoran (pengelola), pengusaha, nelayan, maupun pendatang (konsumen) sebagai pengguna fasilitas pelabuhan perikanan. b. Data sekunder yang didapat melalui studi pustaka yang terdiri dari tinjauan penelitian sejenis, textbook, journal, dan peraturan-peraturan pemerintah terkait dengan aspek pelabuhan perikanan dan bencana gempa/tsunami.
Hasil Penelitian Penelitian ini mengkaji tiga kasus dari tiga Negara diantaranya, Indonesia (pelabuhan perikanan Lampulo, Banda Aceh), Srilanka (pelabuhan perikanan Beruwala), dan Jepang (pelabuhan perikanan Jepang) sebagai pembanding yang dianggap lebih maju dalam bidang mitigasi bencana. Berikut hasil kajian dari ketiga negara tersebut yang didasari oleh tinjauan teoritis. Tabel 1. Perbandingan Tiga Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Lampulo, Pelabuhan Perikanan Beruwala, dan Pelabuhan Perikanan Aonae (olahan pribadi, 2013).
Sampel
Pelabuhan Perikanan Lampulo, Banda Aceh
Beruwala, Srilanka
Aonae, Jepang
Jenis pelabuhan
Buatan (reklamasi)
Semi alami (letaknya di teluk dan dikeruk)
Buatan (ada yang dikeruk)
Letak pelabuhan
Dekat muara sungai
Teluk
Semenanjung
Kejadian tsunami
26 Desember 2004
26 Desember 2004
12 Juli 1993
Kurang lebih 12 m
4,82 m menjadi 2,35 m
4,77 m sampai 8,64 m
Variabel
Ketinggian tsunami
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Penahan gelombang
Breakwater, tebing, dan groyne
Breakwater dan seawall
Dermaga
ü
ü
ü
Kolam
ü
ü
ü
Jalan komplek/sirk ulasi
ü
ü
ü
x
x
ü
Tidak searah penjalaran tsunami
Tidak searah penjalaran tsunami
Jalan komplek yang terintegrasi dengan jalur evakuasi Tata letak bangunan
Fasilitas Pelabuan
Breakwater
Green area
Karakter bangunan secara keseluruhan
ü
Menempel di atas tanah dan rumah panggung Struktur konvensional
Tidak searah penjalaran tsunami
ü Menempel di atas tanah Struktur konvensional
x Menempel di atas tanah Struktur konvensional dan berbentuk silinder menyerupai batang pohon
Bangunan sebagai sarana evakuasi
Pelabuhan perikanan Lampulo belum menerapkan secara konsisten antisipasi bencana tsunami. Padahal sudah jelas tertera pada peraturan pemerintah bahwa area tersebut harus dibangun sesuai dengan kebutuhan kawasan yang rentan bencana tsunami. Sangat
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
disayangkan jika perencanaan pelabuhan perikanan samudera yang akan dibangun nanti tidak benar-benar mempertimbangkan adanya keharusan pengadaan mitigasi supaya dampak besar dari bencana tsunami silam tidak terulang lagi. Pada pelabuhan perikanan Beruwala terdapat daratan yang lebih tinggi daripada area permukaan kolam pelabuhan. Daratan ini terbuat secara alami dan menjadi hal yang sangat menguntungkan bagi area pelabuhan. Adanya breakwater yang dibuat tinggi membuktikan bahwa breakwater mampu mereduksi gelombang tsunami. Pelabuhan Perikanan Beruwala juga terlihat masih sangat padat area hijaunya dan hal ini juga yang menjadi keuntungan alamiah bagi pelabuhan dan wilayah pemukiman dibelakangnya sehingga gelombang tsunami dapat tereduksi. Pelabuhan perikanan Beruwala ini tidak terlihat adanya upaya rekontruksi yang signifikan pasca bencana gempa dan tsunami. Hal ini dikarenakan pelabuhan perikanan Beruwala tidak mengalami kerusakan infrastruktur yang sangat parah. Di Jepang, pelabuhan perikanan Aonae sudah terdapat penanggulangan bencana tsunami. Meskipun tidak dilakukan dengan menggunakan mesin-mesin yang berteknologi tinggi, Jepang melakukannya dengan upaya yang lebih sederhana, yaitu dengan menghubungkan semua unsur-unsur yang ada di dalam pelabuhan dan sekitarnya. Misalnya, menghubungkan bangunan dan bukit yang ada di dekat pelabuhan dengan menggunakan jembatan sehingga bangunan tersebut dapat berfungsi sebagai sarana evakuasi.
Pembahasan Beberapa fasilitas pelabuhan perikanan ada yang sudah sesuai dengan upaya mitigasi bencana tsunami, seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang biasanya memang didesain terbuka. Namun, ada beberapa pelabuhan yang tidak melihat peluang ini sehingga TPI tidak diintegrasikan dengan upaya mitigasi (lantai atasnya dibuat perkerasan untuk evakuasi). Fasilitas pokok pelabuhan yang lain seperti breakwater terbukti mampu mereduksi gelombang tsunami. Perlu adanya tambahan fasilitas lain di pelabuhan yang dapat diterapkan sehingga upaya untuk mengurangi dampak tsunami terhadap infrastruktur pelabuhan dan masyarakat sekitar dapat ditanggulangi dengan baik. Berikut pembahasan hasil penelitian ketiga studi kasus yang ditinjau dari aspek tata letak dan bangunan.
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
a. Perbandingan Ketiga Pelabuhan Perikanan dari Aspek Tata Letak
Jika melihat studi kasus yang telah dijelaskan sebelumnya tentu yang paling kurang dalam mengantisipasi bencana adalah pelabuhan perikanan Lampulo, Banda Aceh. Rekontruksi dilakukan dengan seadanya demi tujuan agar terciptanya kembali kegiatan transaksi ikan di Lampulo Banda Aceh. Perencanaan ini dilakukan tanpa matang terlepas dari masalah pembiayaan, namun tidak ada salahnya jika suatu perencanaan pelabuhan benar-benar memperhatikan kondisi wilayah sekitar yang memang jelas rentan terhadap bencana gempa dan tsunami. Berbeda dengan pelabuhan perikanan Beruwala, Srilanka yang tempat pelabuhannya merupakan tebing sehingga bangunan yang di atasnya dapat terlindungi. Kondisi yang terjadi secara alami ini sudah tentu membawa keuntungan bagi masyarakat dan infrastruktur sekitar. Namun, semakin ke arah Utara, tebing yang terbuat secara alami ini semakin tidak tampak terlihat, sehingga tsunami yang terjadi di sebelah Utara tingginya lebih besar dibandingkan dengan arah Selatan. Kemudian jika dilihat secara letak, justru yang paling ekstrim adalah Pelabuhan Perikanan Aonae yang terletak di Pulau Okushiri. Daerah pelabuhan Aonae adalah daerah semenanjung yang berdasarkan teori, daerah ini memiliki kerawanan bencana tsunami yang tinggi dan dapat menimbulkan gelombang yang besar. Di Jepang, cara penanggulangan tsunami dilakukan dengan peninggian daratan sehingga dapat mencegah naiknya gelombang tsunami ke area pemukiman. Pemerintah Jepang melakukan kebijakan untuk memindahkan area pemukiman penduduk ke area lebih dalam pulau. Dari ketiga studi kasus, hanya pelabuhan perikanan Aonae di Jepang yang sudah mengaplikasikan sarana evakuasi secara terencana. Mereka membuat suatu jalur dan tangga serta alur khusus kursi roda untuk melakukan evakuasi. Dari area pelabuhan terdapat alur khusus yang langsung berhubungan dengan bukit, sehingga orang-orang bisa melakukan evakuasi langsung ke bukit. Jika dilihat dari aspek tata letak bangunan, ketiga studi kasus tidak memiliki tata letak bangunan yang sejajar dengan arah penjalaran tsunami. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan peletakan bangunan yang berbeda-beda pada masing-masing pelabuhan. Dengan semikian, upaya untuk mengurangi dampak tsunami dengan cara memperhatikan posisi bangunan menjadi kurang efektif karena pelabuhan tersebut sudah lama terbangun dan tidak mungkin untuk dirombak secara keseluruhan. Solusi untuk mengatasi hal tersebut dapat dipelajari dari
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Jepang yang tidak terlalu memperhatikan posisi bangunan, tetapi mengantisipasinya dengan cara meninggikan bangunan. Jika dilihat dari aspek tata hijaunya, pelabuhan Beruwala adalah pelabuhan yang sangat menguntungkan dari sisi alamiahnya. Pelabuhan Beruwala memiliki zona hijau yang sangat padat seperti pohon kelapa dan sebagainya, sehingga area di belakang pelabuhan tidak terkena dampak yang begitu besar dari hempasan tsunami. Namun, di pelabuhan Aonae Jepang, tidak tampak
adanya
area
padat
pepohonan
melainkan
hanya
rerumputan.
Mereka
mengantisipasinya dengan cara cukup meninggikan daratannya dan membuat suatu perlindungan dari dinding yang tinggi. Pada pelabuhan Lampulo yang lama pepohonan tidak terlihat begitu padat sehingga potensi untuk diterjang tsunami akan menjadi sangat tinggi terlebih lagi pada area pelabuhan Lampulo yang baru hanya merupakan daerah tambak tanpa adanya pepohonan yang padat.
b. Perbandingan Ketiga Pelabuhan Perikanan dari Aspek Bangunan
Jika melihat dari sisi fasilitas, Pelabuhan Perikanan Lampulo lebih lengkap dibandingkan di pelabuhan Aonae Jepang. Hal ini mungkin disebabkan karena Aonae merupakan pulau yang kecil sehingga yang menggunakan pelabuhan hanya para nelayan setempat. Mereka tidak memerlukan ruang packaging untuk mengirimkan barang mereka dan sebagainya. Di pulau Aonae juga terdapat pelabuhan-pelabuhan perikanan yang lainnya seperti pelabuhan perikanan Okushiri yang lebih besar. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Lampulo hampir sama dengan fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan Srilanka, meskipun Srilanka memiliki beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Namun, area pengolahan ikan dilakukan di area breakwater dan tempat ini juga digunakan oleh orang-orang umum untuk memancing. Berbicara tentang breakwater, semua pelabuhan yang tidak diselingi oleh pulau yang lain didepannya pasti membutuhkan breakwater. Pada pelabuhan Beruwala di Srilanka, yang jelas terlihat pengaruhnya terhadap pereduksian gelombang tsunami adalah breakwater. Breakwater ini berfungsi ganda antara lain sebagai pereduksi gelombang tsunami dan pemecah gelombang pada saat tidak terjadi tsunami agar air kolam pelabuhan dapat tenang. Fasilitas-fasilitas pelabuhan perikanan semestinya bisa berpotensi untuk dijadikan area pereduksi gelombang tsunami, sehingga gelombangnya tidak terkena sampai ke area pemukiman.
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Setiap pelabuhan memiliki seawall yang berfungsi sebagai pelindung daratan agar tidak terjadinya abrasi. Namun, seawall yang benar-benar berfungsi sebagai pemecah gelombang tsunami adalah yang terletak di pelabuhan perikanan Jepang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya seawall yang mencapai ketinggian 11 m. Seawall yang dibuat di pelabuhan perikanan Lampulo hanya sekedar berfungsi sebagai pemecah gelombang laut bukan gelombang tsunami. Padahal daerah ini merupakan salah satu tempat yang dilewati oleh subduction zone sehingga akan sayang sekali jika fungsi fasilitas pelabuhan ini tidak dimaksimalkan dengan baik. Kemudian, seawall yang terdapat di pelabuhan perikanan Beruwala bentuknya diperindah dengan adanya ukiran-ukiran sehingga dapat meningkatkan estetika waterfront. Hal ini disebabkan oleh letak seawall yang berdekatan dengan masjid. Menilik fasilitas yang terdapat di pelabuhan Aonae, dapat dikatakan bahwa Jepang sudah lebih maju daripada Indonesia maupun Srilanka. Terlepas dari kemajuan teknologi, Aonae merupakan pulau kecil yang jauh dari pusat kota sehingga upaya mitigasi terhadap pelabuhan perikanannya dilakukan dengan cara diluar kemajuan teknologi tinggi. Kemudian fasilitas publik untuk para nelayan di pelabuhan perikanan Jepang juga dintegrasikan dengan fungsi mitigasi sehingga jika terjadi bencana, para nelayan dapat melakukan evakuasi ke tempat yang dihubungkan secara langsung dengan pelabuhan perikanan. Bangunan yang berada di dekat pelabuhan (biasanya tempat pelelangan Ikan), di Jepang bangunan ini dibuat multifungsi, bagian atas dibuat untuk kegiatan publik dan dijadikan tempat evakuasi jika terjadinya bencana. Kemudian lantai di bawahnya dibuat terbuka dan dijadikan tempat para nelayan berkegiatan. Sayangnya, pelabuhan perikanan Lampulo kurang memperhatikan potensi ini. TPI Pelabuhan Lampulo memang dibuat terbuka, namun bagian atasnya tidak difungsikan sebagai area evakuasi. Bentuk atap yang melengkung dibuat sebagai adaptasi angin sehingga fungsinya tidak dimaksimalkan dengan baik. Area Pelabuhan Perikanan Lampulo yang cukup luas membuat masyarakat harus menempuh jarak yang jauh untuk berlari menghindar terjangan tsunami. Berbeda dengan Pelabuhan Beruwala Srilanka dan Pelabuhan Perikanan Aonae yang tidak besar dan kawasannya yang memanjang sepanjang garis pantai sehingga jarak berlari dari area pelabuhan ke luar pelabuhan lebih dekat dibandingkan dengan pelabuhan perikanan Lampulo yang luas areanya sangat besar. Konstruksi bangunan dan bentuk bangunan yang didirikan di wilayah pelabuhan perikanan Lampulo juga dibuat konvensional, tidak ada suatu kriteria khusus diterapkan padahal wiayah ini rentan terhadap bencana. Berbeda dengan pelabuhan perikana Aonae Jepang, yang
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
memang merencanakan konstruksi bangunannya. Pemilihan bentuk beton bertulang pada pelabuhan perikanan Jepang dibuat silinder agar dapat mendistribusikan gelombang tsunami dengan baik.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dari tinjauan-tinjauan sebelumnya dapat dilihat bahwa Pelabuhan Perikanan Lampulo belum sepenuhnya mengantisipasi bencana tsunami padahal berdasarkan tabel perbandingan yang dijelaskan sebelumnya bahwa tsunami yang tertinggi adalah di Lampulo. Tindakan-tindakan yang dapat diupayakan untuk mengurangi dampak negatif dari bencana tsunami di area pelabuan perikanan, antara lain: 1) Dari aspek tata letak: •
Pelabuhan yang langsung berhadapan dengan muka laut biasanya tidak diselingi oleh tanaman-tanaman seperti hutan bakau dan lain sebagainya. Tanaman hutan bakau dapat menghambat pemantauan dari laut ke darat dan dari darat ke laut. Di area pelabuhan, fasilitas-fasilitasnya perlu berhubungan langsung antara daratan dan lautan.
•
Letak bangunan dapat dibuat dengan tiga opsi, misalnya jika bangunan terletak langsung di dekat area pelabuhan maka bangunannya dibuat seperti rumah panggung (bagian bawah terbuka). Kemudian jika bangunan tidak dibuat panggung, maka perlu adanya penahan gelombang di depannya, lalu jika tidak dengan keduanya, maka daratannya yang ditinggikan.
•
Pengaturan tata letak bangunan yang sejajar arah gelombang tsunami tidak begitu efisien untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan arah penjalaran gelombang tsunami yang sudah pecah melalui breakwater dan pemecah gelombang lainnya sehingga penjalarannya sudah tidak tegak lurus. Selain itu, penempatan ini juga kurang efektif jika diterapkan pada pelabuhan yang sudah ada sejak lama. Tata letak disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas masing-masing
•
Menyediakan jalan komplek yang terintegrasi dengan sarana evakuasi. Sebagai contoh, jalur evakuasi di Pelabuhan perikanan Aonae yang langsung berhubungan dengan bukit terdekat.
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
2) Dari aspek bangunan/struktur fisik: •
Untuk bangunan sebagai infrasruktur pemanfaatan pantai yang mendukung kegiatan transaksi di pelabuhan perikanan perlu dibuat terbuka di lantai bawahnya agar dapat dialiri gelombang tsunami sehingga tidak merusak bangunan.
•
Struktur yang dibuat harus tahan gempa dan sebaiknya berbentuk silinder agar dapat mendistribusikan gelombang tsunami dengan baik. Hal ini dapat digunakan pada bangunan seperti rumah panggung
•
Struktur bangunan layaknya hutan buatan. Struktur dibangunan lantai bawah seperti bangunan untuk para nelayan di Pelabuhan Perikanan Aonae, juga dapat membantu mereduksi gelombang tsunami. Struktur dapat dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti layaknya hutan bakau di wilayah pesisir.
•
Dengan meninggikan bangunan atau daratan sekitar (Artificial height), tempat ini dapat dibangun sedemikian rupa sebagai tempat evakuasi. Tempat ini bisa berupa gundukan yang tinggi (artificial mount) yang dapat dibangun di sekitar area dekat pelabuhan. Untuk sehari-harinya, artificial height ini dapat digunakan sebagai area rekreasi menikmati wilayah pesisir pantai atau fungsi publik lainnya. Artificial height ini juga dapat berfungsi sebagai penahan gelombang tsunami dan melindungi area dibelakangnya. Tempat ini bukan sebagai fasilitas utama pelabuhan namun sebagai tempat untuk evakuasi masyarakat sekitar pelabuhan.
Bangunan-bangunan pelindung pantai yang biasanya menjadi fasilitas pokok pada pelabuhan terbukti dapat mereduksi gelombang tsunami, bangunan tersebut antara lain: •
Seawall, dinding laut ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas garis pantai, namun seawall yang tinggi dapat membantu mereduksi gelombang tsunami yang datang ke daratan. Seawall yang tinggi dan besar dapat dintegrasikan sebagai tempat evakuasi di daerah pinggiran pantai. Sebagai fungsi sehari-harinya dapat digunakan untuk kegiatan bersantai menikmati pemandangan laut , memancing dan sebagainya.
• Embankment, adalah fasilitas tambahan berupa tanggul yang dapat di bangun dipinggir pantai. Biasanya embankment ini juga bisa disebut juga dengan seawall jika letaknya disepanjang garis pantai. Namun, tanggul ini bisa dibangun sebagai fasilitas tambahan untuk mengantisipasi tsunami, tanggul dapat menjalar sampai ke area perumahan penduduk jika diperlukan. • Breakwater, berupa fasilitas pelabuhan yang wajib ada (fasilitas pokok) yang berfungsi untuk memecah gelombang air, bentuk breakwater disesuaikan dengan topografi suatu
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
daerah pesisir. Breakwater juga terbukti mampu mereduksi gelombang tsunami meskipun kecil. Hampir mempunyai fungsi yang bersamaan dengan seawall akan tetapi yang membedakannya adalah breakwater biasanya dibangun dari daerah garis pantai hingga ke laut lepas untuk membentuk suatu kolam pelabuhan. Pada kolam pelabuhan ini, airnya harus tenang agar kapal bisa menepi dengan baik. • Tidal gate, berupa pintu air yang sebaiknya di tempatkan pada pelabuhan yang dekat dengan muara sungai seperti pelabuhan perikanan lampulo yang dekat dengan muara sungai. Hal ini merupakan penting bagi upaya mitigasi agar penjalaran gelombang tsunami tidak masuk melalui sungai. Semua fasilitas pelabuhan perikanan akan sangat efisien jika dintegrasikan dengan mitigasi bencana agar tidak hanya berfungsi sebagai pendukung kegiatan masyarakat namun juga dapat berfungsi sebagai antisipasi bencana. Misalnya bangunan di buat tinggi seperti rumah panggung, Selain itu, alur pelabuhan juga bisa diintegrasikan dengan sarana evakuasi untuk menghubungkan tempat satu dengan yang lainnya namun juga perlu diperhatikan lebar dari jalannya agar suatu ketika bencana terjadi dapat mengurangi traffic jam. Untuk mendukung arah jalan ini, perlu dibuat peta khusus area evakuasi serta rambu evakuasinya agar masyrakat dapat mengikuti alurnya ketika sedang panik.
Saran Di Indonesia, antisipasi terhadap bencana tsunami masih kurang digalakkan padahal bencana ini sudah sering melanda, seperti tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau tahun 1883, tsunami di Aceh tahun 2004, tsunami di Padang, dan tsunami di Pangandaran. Bencana tersebut tidak hanya memporak-porandakan infrastruktur tiapa daerah sekitarnya tetapi juga menelan banyak korban. Sebagai negara yang dilewati oleh subdunction zone di sepanjang garis pantai Selatan wilayah Indonesia. Sudah semestinya diperhatikan antisipasi bencana terutama pada pelabuhan perikanannya. Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi dalam bidang perikanannya, prospek ke depan masih sangat panjang akan ketergantungan dengan hasil laut ini. Perlu adanya fasilitas yang mendukung tidak hanya dari segi kebutuhan pokok untuk bertransaksi ikan tetapi juga kebutuhan akan keselamatan jiwa serta infrastruktur lainnya. Pada Banda Aceh terutama, mengingat adanya pembangunan pelabuhan perikanan tingkat samudera perlu memperhatikan permasalahan ini agar dampak
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
negatif yang besar pada tanggal 26 Desember 2004 tidak terulang lagi. Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan dapat di bagi beberapa sisi, antara lain: 1)
Standarisasi bangunan area pelabuhan perikanan terkait wilayah yang rentan terhadap bencana tsunami. Perlu adanya ketetapan khusus untuk suatu kawasan yang rentan terhadap bencana, terlebih lagi di area pelabuhan perikanan. Bangunan-bangunan di sekitarnya dapat dintegrasikan dengan upaya mitigasi bencana, misalnya saja pada lantai bawahnya dibuat terbuka. Pada lantai bawah yang dekat dengan dermaga dapat difungsikan untuk kegiatan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan lantai atasnya dapat dibuat untuk keperluan lain jika tidak terjadi bencana. Bangunan dapat dibuat lebih dari dua tingkat agar dapat menghemat lahan, dengan begitu lahan yang diperlukan untuk area pelabuhan dapat dikurangi. Sehingga lahan yang lain (area belakang pelabuhan) dapat ditanami dengan hutan bakau sebagai pelindung area pemukiman penduduk atau dibuatnya artificial height sebagai fungsi publik diluar fasilitas pelabuhan perikanan. Hal ini akan lebih efisien dibandingkan dengan luas lahan yang sangat besar pada pelabuhan perikanan namun bangunannya tersebar dengan ketinggian yang tidak cukup untuk sekaligus dijadikan bangunan evakuasi.
2)
Peraturan dari pemerintah Perlu adanya kerjasama dengan pemerintah agar memperhatikan pembangunan di daerahnya. Daerah yang rentan akan bencana perlu perhatian khusus sehingga dengan diberlakukannya peraturan-peraturan terkait bencana tidak hanya dilakukan secara tertulis namun diterapkan juga ke dalam keterbangunannya. Kemudian, perlu adanya standarisasi bangunan yang lebih terperinci mengenai mitigasi pelabuhan perikanan.
3)
Kerjasama masyarakat Masyarakat perlu memahami bencana tsunami, apa dampaknya, apa yang harus dilakukan ketika tsunami terjadi, dan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya. Perlu adanya penyuluhan untuk masyarakat sekitar seperti nelayan, ABK, dan orang orang yang sering berkegiatan di area pelabuhan perikanan agar mereka mengetahui fungsi dari mitigasi bencana tsunami tersebut. Mereka perlu memahami fungsi kenapa bangunan dibuat terbuka dibawahnya, untuk apa perlu adanya tanggul penahan tsunami, dan untuk apa perlu adanya rambu serta peta evakuasi. Mitigasi bencana ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak adanya kerjasama dari masyarakat sekitar.
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Daftar Referensi Akio Kuroyanagi. (1994). Town Planning with Pleasure Harbour. Tokyo:Process Architecture Co.,Ltd. Akira Nagano. (2005). 21th January Future University-Hakodate BPPT. (2002-2003-2004). Penetapan Hasil Riset Untuk Penangggulangan Bencana Tsunami di Indonesia. Tsunami Research Center, BPP Teknologi. Jogjakarta: BPPT Press Def. Quinn, Alonzo. (1972). Design And Construction of Ports and Marines Structures. New York: Mc Graw-Hill Book Company Diposaptono, Subandono. (2007). Hidup Akrab Dengan Gempa dan Tsunami. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama . (2007). Sebuah Kumpulan Pemikiran Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi, Tsunami, Banjir, Abrasi, Pemanasan Global, dan Semburan Lumpur Sidoarjo. Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer Direktorat Pesisir dan Lautan. (2009). Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Rumah Ramah Bencana di Wilayah Pesisir. Jakarta: Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan PulauPulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan .(2005). Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Djamaluddin, Ridwan. (2005). Operasi Bakti TeknologiAceh 2005 Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Jakarta: Balai Teknologi Survey Kelautan Badan Pengkajian dan Peranan Teknologi FEMA. (2012). Guidelines for Design of Structures for Vertical Evacuation from Tsunamis Second Edition. California: APPLIED TECHNOLOGY COUNCIL Hadisoewarno, Soelarto. (1995). Makalah Pelabuhan Bagi Pengembangan Transportasi Laut di Indonesia menghadapi PJPT II. Jakarta: Seminar Sehari Teknil Sipil 1995 Menjadikan Jakarta sebagai Kota Pelabuhan
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013
Intergovernmental Oceanographic Commission.(2009). Tsunami risk assessment and mitigation for the Indian Ocean, knowing your tsunami risk and what to do about it. IOC Manual and Guides No. 52. Paris: Unesco Kodoatie, Robert J.(2006). Pengelolaan Bencana Terpadu Banir, Longsor, Kekeringan, dan Tsunami. Jakarta: Yarsif Watampoe Komarudin. (1999). Pembangunan Perkotaan Berwawasan lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya Dep. Pekerjaan Umum Bekerja Sama Dengan Deputi Bidang Pengkajian Kebijaksanaan Teknologi BPPT Kramadibrata, Soedjono. (1985). Perencanaan Pelabuhan. Bandung: SATELIT OFFSET Murata, Susumu, dkk. (2010). Advanced series on ocean engineering: vol 32 Tsunami: to survive from tsunami. World Scientific:London Resowikoro, Sirjanto. (1993).Dasar-dasar Perencanaan Pelabuhan Laut.Artikel Insinyur Indonesia no. 19 tahun XV 1993. Hal 52-54 Ruslin, M.Anwar. (2012). Port Specipication.Malang:Pelindo 3 Cabang Lembar. Diakses pada 30 Juni 2013 dari http://hamdimuhammad.blogspot.com/. Sciortino, J.A. (2010). Fishing Harbour Planning, Construction, and Management. Roma:FAO Susanto, A.B. (2006). Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta: PT. Aksara Grafika Pratama
Tinjauan Perencanaan..., Nanda Meirisya, FT UI, 2013