TINJAUAN PENERAPAN SANITASI BERWAWASAN LINGKUNGAN DENGAN SISTEM PEMISAHAN TINJA DAN URIN Oleh : Ir. Sri Darwati, MSc Pusat Litbang Permukiman E-mail :
[email protected]
Abstrak Sanitasi berwawasan lingkungan adalah sanitasi yang berfokus pada keberlanjutan. Pendekatan di dasarkan pada prinsip pencegahan polusi, mengolah limbah buangan manusia dan memanfaatkan urin dan tinja sebagai sumber daya pertanian. Dalam penerapan praktisnya, desain sanitasi menggunakan jamban dengan sistem pemisahan pengolahan tinja dan urin, ditampung dan diolah dan memanfaatkannya sebagai pupuk organik. Sistem sanitasi tersebut telah banyak dterapkan di negara maju maupun negara berkembang lainnya dalam pencapaian target Millenium Development Goals. Di Indonesia, sistem sanitasi berwawasan lingkungan dengan pemisahan tinja dan urin serta pemanfaatannya sebagai pupuk organik masih menjadi kajian penelitian dalam skala uji coba. Tinjauan dilakukan terhadap penerapan sanitasi berwawasan lingkungan di Tangerang, Surabaya dan Bandung. Sebagai pembanding adalah studi kasus penerapan sanitasi di negara di Asia yang kondisi sosial budaya mirip Indonesia. Analisis dilakukan terhadap kelayakan teknis, pembiayaan dan sosial untuk pengembangan model sanitasi berwawasan lingkungan dan pemanfaatan nutrien. Disimpulkan bahwa secara teknis sanitasi berwawasan lingkungan ini potensial diterapkan di daerah perdesaan karena ketersediaan lahan dan penggunaan nutrien dapat langsung diterapkan untuk pupuk pertanian. Dari aspek pembiayaan, sistem sanitasi berwawasan lingkungan relatif murah dibandingkan dengan sistem konvensional. Dari aspek sosial, kendala utama dalam penerapan adalah faktor kebiasaan, norma budaya dan agama masyarakat yang terbiasa dengan jamban sistem basah. Direkomendasikan untuk pengembangan sanitasi berwawasan lingkungan dengan modifikasi sistem sesuai dengan pola kebiasaan di Indonesia, respon masyarakat terhadap penerapan sanitasi berwawasan lingkungan dan pemanfaatan nutrien tinja dan urin untuk pupuk pertanian.
Kata kunci : sanitasi, berwawasan lingkungan pemisahan, air limbah, urin, tinja Abstract
Environmentally sound sanitation is sanitation focus on sustainability. The approach is based on principle of pollution, prevention, domestic waste treatment and utilizes urine and feaces for agriculture. In its practical application the sanitation is using four techniques: diversion, containment, sanitization and recycling. Urine and faeces are collected separately in a specially designed toilet then they are stored separately in a secure device until safe for recycling. Before use as a fertilizer, it needs to be treated by primary treatment on-site. Environmentally sound sanitation has been implemented in some developed and developing countries to achieve the target of Millennium Development Goals. In Indonesia, environmentally sound sanitation with the urine and 249
Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
feaces diversion is still being researched in pilot plant projects. Review is done through survey and observation of environmentally sound sanitation in Tangerang, Surabaya and Bandung. Comparative study of environmentally sound sanitation using dry sanitation is got from Asian countries which have social economic condition similar with Indonesia’s. Analysis is done to the suitability of sanitation model in technical, financial and social cultural. In conclusion from technical aspect, environmentally sound sanitation is potentially implemented in rural areas concerning with land availability and nutrient can be recycled directly for agricultural purposes. From financial aspect, environmentally sound sanitation is relatively cheaper compare with conventional system. From social aspect, the main constrains in the implementation are habits factor, cultural norm, and religious value that Indonesian who prefer the wet sanitation. It is recommended that the environmentally sound sanitation has to be modified suitable with the habit and socio culture in Indonesia, study about people acceptance of environmentally sound sanitation and its usage of nutrient in waste water for agricultural purpose.
Key words : ecological, sanitation, waste water, urine, feaces PENDAHULUAN Untuk pencapaian target Millenniums Development Goal dibutuhkan pemenuhan akses terhadap prasarana sanitasi dengan pengembangan teknologi rendah biaya yang dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Sesuai target Millenium Development Goals, yaitu mengurangi setengah penduduk pada tahun 2015 melalui peningkatan akses terhadap kebutuhan air bersih dan perbaikan sanitasi. UU no 25/2000/propenas mengarahkan pentingnya pelayanan sanitasi sebagai bagian dari pembangunan bidang kesehatan baik diperkotaan maupun perdesaan. Pemerintah juga harus memperhatikan masalah lingkungan dan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dikarenakan oleh pelayanan sanitasi yang kurang memadai. Sasaran pembangunan sanitasi diarahkan pada upaya meningkatnya cakupan keluarga /masyarakat yang mempunyai akses terhadap pelayanan sanitasi yang sehat di perkotaan maupun perdesaan dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Pelayanan sanitasi air limbah rumah tangga saat ini adalah 74,03 % menggunakan sanitasi setempat baik individu atau komunal, dan sanitasi terpusat 2,31 % (data Deputi Perumahan dan Permukiman Bappenas, 2004). Tulisan ini akan mengulas tentang kelayakan sanitasi berwawasan lingkungan, studi perbandingan dengan penerapan sanitasi berwawasan lingkungan di negara lain. Diketahui dari MDG, penggunaan prinsip sanitasi berwawasan lingkungan menjadi penting, lebih dari penggunaan sistem sanitasi terpusat konvensional. Terutama MDG no 7 tentang jaminan keberlanjutan lingkungan. Sanitasi berwawasan lingkungan diterapkan pada 3 target tujuan yaitu memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan, mengurangi kehilangan sumber daya lingkungan, dan mengurangi setengah dari penduduk yang belum memiliki akses terhadap air minum yang sehat dan mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan paling tidak 100 juta 250
penduduk yang tinggal kumuh tahun 2020.
di
kawasan
Sanitasi Berwawasan Lingkungan Sanitasi berwawasan lingkungan adalah sanitasi yang berfokus pada keberlanjutan. Pendekatan di dasarkan pada prinsip pencegahan polusi. Mengolah limbah buangan manusia dan memanfaatkan urin dan tinja sebagai sumber daya pertanian. Sanitasi berwawasan lingkungan didesain untuk memecahkan sejumlah permasalahan dari sistem sanitasi konvensional seperti tangki septik dan sistem sewerage. Sanitasi berwawasan lingkungan didasarkan pada ide bahwa urin dan tinja merupakan sumber daya dalam rantai makanan. Sistem ini menghemat air, melindungi sumber daya air, mencegah polusi dan mengembalikan nutrien ke dalam siklus makanan. Di perkotaan, kakus sistem basah membutuhkan 20-40% air. Di Indonesia, rata-rata pemakaian air untuk kakus adalah 5-10 L/orang/hari (Puslitbangkim). Air merupakan faktor pembatas untuk pembangunan, tetapi digunakan untuk membilas dan mengalirkan tinja dimana air dan tinja merupakan sumber daya yang bermanfaat. Secara teoritis, nutrien pada air limbah mencukupi sebagai pupuk semua tanaman yang dibutuhkan dari penduduk dunia. Sejumlah 80-90 % nutrien (nutrien, pospor dan potassium) dalam air limbah ada pada buangan kakus. Pada saat urin dan tinja tercampur, air limbah rumah tangga yang mengandung material organik berguna akan tercemar berat oleh bakteri pathogen sehingga sukar digunakan untuk pemanfaatan pertanian. Sistem sanitasi berwawasan lingkungan menawarkan penggunaan 251
nutrien yang terdapat pada limbah rumah tangga manusia dengan cara yang aman sehingga dapat digunakan sebagai pupuk tanaman pertanian.
Penerapan Praktis Sanitasi Berwawasan Lingkungan Dalam penerapan praktis, Sanitasi berwawasan lingkungan menggunakan 4 teknik ; diversion, containment, sanitization and recycling (Sumber : Uno
Winblad)
Diversion (pemisahan) urin dan tinja
dikumpulkan secara terpisah dalam kakus yang didesain khusus. Urin disalurkan pada tangki dan tinja di tampung pada tangki yang lain
Containment (penampungan) urin dan tinja disimpan/diperam terpisah sampai aman digunakan/di daur ulang
secara untuk
Sanitization (pensucihamaan) arti nya organisme pathogen pada tinja dan urin dikurangi sampai pada tingkat pengolahan primer setempat. Untuk tinja dilakukan pengurangan kadar air (dehydration), pH ditingkatkan dan waktu retensi 6-8 bulan)
Desain Sanitasi Berwawasan Lingkungan dengan Sistem Pemisahan Urin dan Tinja Kakus Sanitasi berwawasan lingkungan sistem dengan sistem pemisahan urin dan tinja (Urine Diversion Toilet) tidak membutuhkan tangki septik. Tinja dan urin yang dipisahkan masuk ke dalam 2 penampung yang terpisah. -
Pengolahan tinja Pengolahan tingkat pertama (primer) terjadi dalam penampung di bawah jamban dimana tinja ditampung dan disimpan dalam periode waktu tertentu. Selama Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
proses tersebut, pathogen akan mati setelah 6-12 bulan, dekomposisi dan pengeringan (karena ventilasi dan penambahan material kering), peningkatan pH (penambahan abu, kapur, urea). Pengolahan tingkat kedua (sekunder) direkomendasikan untuk pegomposan untuk penggunaan yang lebih aman. -
Pengolahan Urin Untuk urin biasanya cukup dengan retensi yang pendek pada tangki tertutup (1-2 bulan). Urin dapat digunakan sebagai pupuk karena mengandung NPK tinggi. Tinja manusia mengandung air (6880%), senyawa organik (88-97%), Nitrogen (5-7%), Fosfor (3-6%), Kali (1-2%), Kapur (4-5%) dan Karbon
(40-55%). Tinja juga mengandung bakteri pathogen, sebagai contoh, dalam 125-300 gram tinja manusia terkandung sekira 300 milyar bakteri golongan Coli yang mengindikasikan adanya bakteri pathogen (Prof. Unus Suriawiria ITB). Tinja yang sudah dikomposkan dapat digunakan sebagai pupuk/soil condioner. Dari penelitian di luar negeri, kualitas urin yang diperam 1-2 bulan dari sanitasi berwawasan lingkungan sistem pemisahan urin dan tinja mengandung Total Nitrogen (%N) 0.80 %, Total Phosphorous (%P2O5) 0.07 % dan Total Potassium (%K2O) 0.39% (Sumber :
Fatoumata Sacko Bocoum).
Perbedaan sistem konvensional dan Sanitasi berwawasan lingkungan Tabel 1 Perbedaan sistem konvensional dan Sanitasi berwawasan lingkungan
Sistem Konvensional Sistem terbuka Sistem basah (mnggunakan air untuk mengalirkan kotoran sehingga air tercemar oleh limbah organik) Pengolahan terpusat (sewerage dan instalasi pengolahan air limbah), teknologi tinggi Fokus pada pengolahan dan pembuangan Biaya konstruksi, operasional dan pemeliharaan mahal
Sistem Sanitasi Berwawasan Lingkungan Sistem tertutup Sanitasi sistem kering, menggunakan sedikit air Pengolahan setempat dapat diterapkan pada sistem individual/komunal,dapat meng-gunakan teknologi tinggi atau rendah (fleksibel) Fokus pada keberlanjutan untuk pemanfaatan nutrien Biaya konstruksi, operasional pemeliharaan lebih murah
Sumber : Hans Van Bruggen, IHE, Netherlands
Pemanfaatan Nutrien Air Limbah Tinja merupakan sumber pupuk organik yang paling lengkap dan baik untuk segala jenis tanaman. Petani di Cina sejak 2000 tahun yang lalu telah menggunakan tinja sebagai pupuk sayuran. Kebiasaan ini kemudian digunakan para petani sayuran Cina yang berada di Indonesia. Dengan cara menampung air selokan yang datang Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
dari daerah permukiman ke tempat penanaman sayuran. Tinja juga menjadi komoditas ekspor. Hongkong merupakan negara pertama di dunia yang mengekspor tinja ke RRC. Di Hongkong, tinja menjadi persoalan serius mengingat negara kecil ini amat padat penduduk sehingga sulit mencari tempat pembuangan tinja. Karena itu dengan pengolahan sederhana antara 252
lain berbentuk kolam oksidasi, tinja Hongkong kemudian diekspor ke Cina.
Aspek Pembiayaan Sanitasi berwawasan ingkungan mengurangi kebutuhan perpipaan yang merupakan bagian termahal dari sanitasi sistem perpipaan. Ekologi-sanitasi dapat menyediakan sistem sanitasi berkelanjutan untuk masyarakat berpenghasilan tinggi maupun rendah yang terjangkau. Namun, sukar untuk memberikan gambaran biaya teknologi sanitasi karena sangat tergantung pada kondisi setempat dan bervariasi. Gambaran perbandingan biaya sistem sanitasi dapat dilihat pada gambar 1. Pengalaman Negara Lain dalam Penerapan Sanitasi Berwawasan Lingkungan Sanitasi berwawasan lingkungan telah banyak diterapkan di negara lain baik di negara maju maupun negara berkembang lainnya. China China adalah merupakan negara dengan budaya tertua didunia lebih dari 2000 tahun dengan menggunakan teknik pertanian eko (eco farming). Lebih dari 90 % dari tinja saat ini masih digunakan untuk pertanian di Cina. Paradigma sanitasi berwawasan lingkungan bertujuan untuk memanfaatkan nutrien, trace elemen dan energi yang terkandung dalam air limbah rumah tangga melalui produksi biogas dan limbah organik dan penggunaannya kembali dalam pertanian. Berdasarkan data Menteri Kesehatan, China, sejak tahun 2003, 50,92% dari penduduk di perdesaan mempunyai fasilitas sanitasi berupa cubluk, terdiri atas 248 juta KK, berupa 126 juta kakus 253
individual dan 10.82 juta kakus umum. Sejak tahun 2003 tersebut, 5.84 juta kakus dan cubluk dibangun ( 2,2% pelayanan). Sasaran 2005, peningkatan akses 55% dan 2010 sebesar 65%. Salah satu jenis kakus yang dibangun adalah kakus sistem kering tahun 2003 sebanyak 650,000 kakus tersebar di 17 provinsi, merupakan 0,54 % dari total fasilitasi sanitasi yang dibangun (Data: Menteri Kesehatan Masyarakat, China 2003). Menurut UNICEF, tahun 2005 di China sudah terbangun 1 juta kakus sistem kering, USD sistem (Urine
Diverting Dry Toilets)
Prinsipnya adalah pemisahan urin dengan tinja, urin diperam dan digunakan untuk pupuk pertanian dan tinja ditampung dengan ember dicampur tanah/kapur , setelah menjadi kompos digunakan untuk pertanian. Tahapan untuk sosialisasi yang dilakukan di China adalah dengan membangun model percontohan yang sukses, melakukan pelatihan kepada pemerintah daerah / masyarakat, mendapatkan persetujuan dari pemerin-tahan desa, menseleksi desa untuk dukungan pembiayaan, dan membentuk tim untuk pembangunan di lokasi proyek sanitasi berwawasan lingkungan. Cara lain adalah dengan membuat Biogas dari limbah tinja manusia disatukan dengan limbah dari hewan ternak untuk pembuatan biogas. Tinja manusia dari kakus sistem kering atau basah dapat diolah menjadi biogas dengan sistem pengolahan anerobik. Penambahan kotoran hewan akan meningkatkan C/N rasio karena C/N rasio tinja manusia lebih rendah dari kotoran hewan. Sebagai perbandingan, kotoran manusia mengandung C/N rasio 6-10, kotoran sapi 18, kotoran domba 30. Bahan baku gas-bio optimum bila Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
mengandung C/N rasio 30. Semakin tinggi perbandingan C/N rasio semakin
banyak gas bio yang dihasilkan.
Gambar 1 : Perbandingan biaya dari beberapa teknologi sanitasi
Lokasi Penerapan Perkotaaan dan pinggir kota
Perkotaan/Perdesaan Perdesaan
Biaya (US) per orang termasuk 15 % OP 800
Jenis teknologi Pengolahan tersier Sambungan ke perpipaan dan pengolahan sekunder Sambungan ke pengolahan konvensional Sanitasi berwawasan lingkungan sistemkering Septik tank-jamban Jamban tuang siram Jamban VIP (ventilated impoved latrine) Cubluk sederhana Tradisional dan hygiene yang diperbaiki
450 175-300 140-160 160 70 65 45
Sumber : UNEP Sanitasi berwawasan lingkungan juga direncanakan untuk bangunan tingkat tinggi proyek di Inner Mongolia China. Pada tahun 2007 direncanakan pembangunan 4 lantai dengan 1600 rumah tangga. Sistem pengolahan air Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
limbah dengan sanitasi berwawasan lingkungan dengan sistem : - menggunakan sistem dry urine-
diverting toilets
-
pengumpulan urin dan daur ulang
254
pengumpulan tinja , pensucihamaan dengan melakukan pengomposan /pengolahan) dan daur ulang pengumpulan air limbah non kakus, pengolahan dan penggunaan kembali pengumpulan limbah organik dapur, pengomposan dan daur ulang pemilahan sampah dan daur ulang
-
-
-
Philipina Di Philipina, penggunaan toilet sistem pemisahan urin dan tinja (urin diversion toilet) sedang dalam tahap sosialisasi untuk mencapai penerimaan masyarakat. Proyek Sanitasi berwawasan lingkungan diterapkan di Kota San Fernado La Union, Bohol; Dumagueate dan Bayawan di Negros Orientail dan di rumah sakit San Luis, Agusan del Sur. Urin Diversion Toilet sudah tersedia di pasaran Philipine terbuat dari keramik dan fiberglass. Untuk membersihkan dan membilas, disediakan wastafel atau kran pembilas.
Gambar 2 Model-model Jamban dan Kakus San Fernando Philipina
Nepal ENPHO (Environment and Public Health Organization) memperkenalkan konsep Sanitasi berwawasan lingkungan dan sudah membangun 100 unit di pinggiran 255
kota Katmandu. Programnya adalah untuk menambah 50 unit lagi toilet sanitasi berwawasan lingkungan sampai 2005. Toilet dibangun pada permukiman para petani berpenghasilan rendah untuk meningkatkan sanitasi sekaligus menggunakan tinja yang sudah dikomposkan sebagai pupuk pertanian. Dalam program ini, ENPHO tidak hanya menerapkan teknologi melainkan juga melaksanakan litbang terhadap aspek penerimaan masyarakat, pengaruh urin dan tinja pada tanaman, pola pemusnahan mikroorganisme dan pengomposan dengan urin.
Srilangka Srilangka membangun proyek demonstrasi sanitasi berwawasan lingkungan dengan Kakus Kompos (Composting Toilet) di Kota Matale yang mempunyai kondisi air tanah tinggi, rawan air bersih, dan tanah kedap air. Sistem eko toilet diterapkan pada tanah 2-3 m2 dapat diluar atau di dalam rumah. Terdiri atas bak penampung pada kakus yang ditinggikan. Bak penampung diplester supaya kedap air. Masing-masing bak penampung ada lubang pada dudukan jamban untuk tinja dan urin. Di antara 2 bak penampung ada dibuat lubang untuk pembilasan. Air bilasan dan urin di alirkan melalui pipa dan dialirkan pada bak penguapan (evaporate plant bed) di luar jamban. Tiap bak penampung sebelumnya dilapisi dengan jerami sebelum digunakan. Bak penampung tinja terisi setelah 1 tahun untuk 1 keluarga dengan 5 anggota keluarga, dan setelah penuh lubang pembuangan tinja ditutup dan bak yang satunya digunakan untuk 1 tahun berikutnya.
Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
Setelah bak penampung kedua penuh, bak penampung pertama siap dikosongkan dan diambil pupuknya. Kompos dicampur kembali dengan jerami, sekam abu, serbuk gergaji atau campuran bahan-bahan tersebut.
air limbah kakus dan non kakus. Air limbah dari Biofilter dilalirkan ke sistem wetland atau yang dikenal dengan sebutan Taman Sanitasi berupa kolam dari pasangan batu kemudian diisi koral setinggi 80 cm yang ditanami tumbuhan air (hydrophyte). Air harus dijaga berada pada ke- tinggian 7 cm sampai 10 cm di bawah permukaan koral agar terhindar dari gangguan lalat serangga lainnya. Sistem ini tidak ada pemisahan tinja dan urin. Skema sebagai berikut :
Gambar 3 Jamban Sanitasi berwawasan lingkungan di Matale Srilangka
Air limbah kantor
Pengelolaan Air Limbah Berwawasan Lingkungan di Indonesia Model-model sanitasi berwawasan lingkungan yang ada di Indonesia merupakan sanitasi sistem basah, dengan memanfaatkan kembali air limbah dari efluen tangki septik dan pembuatan biogas. Beberapa tipe model yang sudah dibuat antara lain :
Pengelolaan Air Limbah di Puslitbang Permukiman -
Sistem IPAL dan Wetland di kantor Puslitbang kim Cileunyi Bandung Puslitbangkim mengembangkan sistem pengolahan air limbah perkantoran dengan membuat sistem terpusat berupa perpipaan dan IPAL miniplan yang didesain 300 karyawan. Pengolahan air limbah menggunakan sistem Biofilter, yaitu pengolahan air limbah dengan sistem multi filtrasi dan pengendapan yang mengolah
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
IPAL sistem Biofil
Wetland
Gambar 4. Model Pengolahan air limbah di kantor Puslitbangkim -
Sistem Sanitasi Pemisahan tinja dan urine di Sekejengkol Model lainnya yang sedang dikembangkan adalah sistem sanitasi dengan pemisahan tinja dan urin, namun masih menggunakan air sebagai pembilas di Desa Sekejengkol, Kecamatan Clileunyi Wetan Kabupaten Bandung . Sistem sebagai berikut : - Jamban didesain dengan 2 lubang, untuk tinja dan urin - Tinja dialirkan ke tangki septik, urin dialirkan ke tangki pengeraman - Air dari effluen tangki septik dialirkan bersama-sama dengan air limbah non kakus rumah tangga ke Wetland - Disediakan air untuk pembilas
256
Tangki septik dibuat 2 dipakai unit secara bergantian setelah penuh - Tangki pengeraman urin dibuat 2 secara bergantian setelah penuh Penelitian masih berjalan, belum diperoleh data-data kualitas urin dan tinja. -
Air limbah non kakus
tinja
Tangki septik
Wetland
Jamban 2 lubang urin
Tangki penampung
Tanaman kebun
Gambar 5. Model Pengolahan Air Limbah di Desa Sekejengkol, Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung
MCK Plus di Tangerang
Lembaga Swadaya Masyarakat BEST (Bina Ekonomi Sosial Terpadu) dikota Tangerang ekerja sama dengan BORDA (Bremen Overseas Research and Development Association) dari Jerman melakukan survey penelitian dan Pembiayaan Program dalam Pelaksanaan Pembangunan Pusat Sanitasi Masyarakat (CSC) di Kota Tangerang untuk dibeberapa kelurahan yang ada dengan jumlah kira-kira 29 lokasi dari 60 lokasi yang diusulkan yaitu dengan membangun MCK plus untuk masyarakat berpenghasilan rendah terutama dipermukiman pekerja pabrik yang ada disekitar Kota Tangerang yang mengalami masalah sanitasi baik itu kurang tersedianya sarana Air Bersih, mandi, cuci dan kakus dengan harga yang terjangkau.
menampung volume gas sebesar 1,2 m3/hari, gas ini merupakan hasil dari endapan suatu proses fermentasi atau biodegredasi dari tinja yang dibuang sebagai tinja dan gas yang dihasilkan dari proses ini bervolume 1,2 – 1,4 m3/hari dan dapat digunakan untuk 3 tungku. 2. Bangunan Baffle Septic Tank (Tangki Septik sistem Baffle), bangunan ini dihubungkan dengan Bangunan Digester Biogas dan diletakkan pada bagian bawah /dalam tanah dibawah bangunan kamar mandi dan WC. Bangunan ini untuk mengolah air bekas yang dipakai dari limbah air yang digunakan disebut juga limbah non kakus pengolahannya secara an aerobik dan dapat mengurangi BOD sampai 90%. 3. Efluen dari tangki septik dan air bekas cuci dialirkan ke Wetland Keuntungan dari sistem ini adalah : - Biaya operasional rendah, tidak membutuhkan peralatan teknis yang rumit - Mereduksi pencemar 70 to 90% sehingga menggurangi potensi pencemaran air. - Tidak mencemari air tanah karena konstruksi kedap air - Menghasilkan biogas dapat digunakan untuk keperluan memasak - Pengurasan lumpur relatif lama 2-3 tahun sekali Sistem yang serupa diterapkan oleh BORDA di Denpasar bersama LSM Bali Fokus.
Sistem terdiri atas : 1. Bangunan Digester biogas yang berupa pasangan beton bertulang ataupun bangunan kedap udara dari pasangan batu yang dapat 257
Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
ANALISIS Air limbah kakus MCK Air limbah MCK Non kakus Mandi
Digester (tangki biogas)
Baffle Tangki septik wetland
Gambar 6. Sistem Sanitasi berwawasan lingkungan Model BEST-BORDA
Sanitasi berwawasan Model Pusdakota, Surabaya
lingkungan Universitas
PUSDAKOTA Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota) Universitas Surabaya sedang meneliti penerapan sanitasi berwawasan lingkungan yang merupakan uji coba model untuk penelitian disertasi. Sistem yang dipakai sebagai berikut : - modifikasi jamban, dibuat 2 lubang untuk tinja dan urin - disediakan air untuk pembilasan - tinja ditampung pada bak penampung untuk pengomposan, dibuat 2 unit dipakai bergantian - effluen dari tangki pengomposan dialirkan pada saringan karbon dan kerikil. - Urin ditampung dan diperam selama 2 bulan diuji-cobakan pada demplot untuk pemupukan tanaman
Kelayakan Penerapan Sanitasi Berwawasan Lingkungan di Indonesia Beberapa penelitian tentang Sanitasi berwawasan lingkungan sistem Urine Diversion Toilet sudah dilaksanakan dalam tahap uji coba laboratorium lapangan dan litbang yang masih berjalan. Secara umum, penerapan sanitasi berwawasan lingkungan sistem kering masih menghadapi banyak kendala yang menyangkut pola kebiasaan masyarakat. banyak menggunakan air sebagai pembilas -
-
Aspek Teknis Secara teknis, sistem sanitasi berwawasan lingkungan sangat potensial dalam pemanfaatan sumber daya alam, terutama mengingat semakin mahalnya pupuk pertanian. Berdasarkan studi perbandingan beberapa sistem sanitasi berwawasan lingkungan, sistem model Pilipina dan Srilangka menjadi alternatif yang dapat diadopsi sesuai dengan budaya Indonesia. -
Litbang masih berjalan belum didapatkan data-data kualitas pengolahan. Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
belum terbiasa dengan jamban sistem pemisahan urin dan toilet tidak biasa/ jijik dengan menggunakan tisu sebagai pembersih belum tahu/ belum biasa /tabu menggunakan pupuk dari urin /tinja manusia
Jamban Untuk sistem jamban tipe Urin Diversion toilet yang belum ada di pasaran umum, dapat dibuat jamban secara setempat sebagaimana model Srilangka. Pengolahan urin 258
-
-
-
-
259
Urine dialirkan dalam bak penampung yang didesain agar dapat menampung untuk diperam 12 bulan, di buat 2 unit secara bergantian. Pengolahan tinja Tinja ditampung dalam 2 unit yang secara bergantian, sistem ini dapat mengadopsi konsep cubluk kembar, dengan modifikasi : cubluk berupa bak penampung kedap air dan dipasang langsung di bawah lubang. Alternatif lain adalah dengan menampung pada digester untuk pembuatan biogas. Pengembangan sistem biogas akan tergantung dari kapasitas tangki, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan gas. Sistem ini cocok untuk sistem MCK komunal sebagaimana model BESTBORDA di Tangerang. Akan lebih baik lagi bila tinja manusia dicampur dengan kotoran dari ternak untuk meningkatkan C/N rasio, untuk menghasilkan biogas. Air pembilas Disediakan air pembilas, namun ditampung dan airnya bersama dengan air limbah non kakus dialirkan tangki pengendap dan selanjutnya ke wetland Penempatan bangunan sanitasi berwawasan lingkungan Bangunan kakus sanitasi berwawasan lingkungan ditinggikan elevasinya setinggi bak penampung, untuk memudahkan operasional dalam pengomposan tinja dan pemanfaatan hasil pupuk organik. Lokasi pengembangan model Sistem ini cocok diterapkan untuk daerah-daerah pertanian/ pinggiran kota terutama daerah yang rawan air. Sistem sanitasi berwawasan lingkungan ini sesuai diterapkan
juga untuk daerah air tanah tinggi mengingat sistem ini dibuat dengan sistem penampungan dengan tangki-tangki yang kedap air dan tidak langsung merembeskan ke tanah.
Aspek Pembiayaan Dari aspek pembiayaan, sistem sanitasi berwawasan lingkungan relatif murah dibandingkan dengan sistem konvensional, lagi pula sistem konvensional yang ada di Indonesia pada umumnya pun belum memenuhi standar sehingga menjadi pencemar lingkungan yang potensial. Dari perbandingan biaya sanitasi (UNEP), biaya sanitasi berwawasan lingkungan lebih murah dari tangki septik. Kendala utama adalah lahan, sehingga sistem sanitasi berwawasan lingkungan di Indonesia lebih cocok diterapkan di daerah perdesaan. Hal ini juga menguntungkan karena pupuk urin dan tinja akan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh petani di perdesaan.
Aspek Sosial Aspek sosial akan berkaitan dengan penerimaan masyarakat. Budaya sanitasi berwawasan lingkungan berkaitan dengan pola kebiasaan masyarakat sehingga membudayakan Sanitasi berwawasan lingkungan adalah mengubah pola kebiasaan, berkaitan dengan pemisahan tinja dan urin serta pemanfaatannya untuk pupuk organik. Program sanitasi berwawasan lingkungan di negara lain membutuhkan sosialisasi yang intensif. Diperlukan pemasaran sosial (social marketing) bila sistem ini diterapkan dan bukti-bukti ilmiah yang meyakinkan atas keuntungan dan manfaat penggunaan sanitasi berwawasan lingkungan. Tinjauan Penerapan … (Sri Darwati)
KESIMPULAN Secara teknis sanitasi berwawasan lingkungan ini potensial diterapkan di daerah perdesaan karena ketersediaan lahan dan penggunaan nutrien dapat langsung diterapkan untuk pupuk pertanian. Dari aspek pembiayaan, sistem sanitasi berwawasan lingkungan relatif murah dibandingkan dengan sistem konvensional. Dari aspek sosial, kendala utama dalam penerapan adalah faktor kebiasaan, norma budaya dan agama masyarakat yang terbiasa dengan jamban sistem basah.
REKOMENDASI Perlu modifikasi sistem sanitasi dengan pemisahan tinja dan urin disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Direkomendasikan tinja diolah menjadi biogas dan urine dapat ditampung dan dieramkan untuk pupuk pertanian. Perlunya penelitian lebih lanjut dalam hal kualitas tinja dan urine setelah proses pengeraman yang digunakan untuk pupuk pertanian.
DAFTAR PUSTAKA 1. Winblad, The Next Generation Toilet A Global Perspective, uno440 @netscape.net,Stockholm Environment Institute, Box 2142, S103 14 Stockholm, Sweden 2. Fatoumata Sacko Bocoum, Effects of Hygienised Human Urin on The Productivity of Sorghum (Sorghum bicolor), in The Agro-ecological Conditions of The Village of Sabtenga in Burkina Faso from Durban Conference 3. International Water Resources Association Water International, Volume 25, Number 1, Pages 139.147, March 2000 4. Janusz Niemczynowicz, Present Challenges in Water Management, A Need to See Connections and Interactions Member IWRA, University of Lund, Lund, Sweden
Pengembangan sistem sanitasi berwawasan lingkungan sangat erat terkait dengan kebiasaan dan persepsi, sehingga sosialisasi menjadi faktor kunci keberhasilan pengembangan sistem. Perlunya partisipasi segenap pihak yaitu Pemerintah sebagai penentu kebijakan dan pengembangan teknologi, LSM untuk pemberdayaan masyarakat, swasta produsen dalam mengembangkan model-model jamban dan sistem sanitasi berwawasan lingkungan.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
260
TERALIS BERLUBANG SEBAGAI SARANA JALAN KELUAR PADA PROSES EVAKUASI KEBAKARAN Oleh : Achmad Hidajat Effendi
Abstrak
Pusat Litbang Permukiman E-mail :
[email protected]
Pemasangan teralis di jendela pada bangunan perumahan memiliki tujuan untuk melindungi penghuni bangunan terhadap tindakan pencurian, penyusupan dan sebagainya, namun ternyata dari berbagai kejadian kebakaran, keberadaan teralis sering menimbulkan masalah berupa hambatan baik bagi penghuni bangunan dalam upaya evakuasi saat terjadi kebakaran maupun bagi petugas pemadam yang melaksanakan tindakan penyelamatan penghuni. Dalam kaitan inilah penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan model teralis yang sewaktu-waktu dapat difungsikan sebagai bukaan penyelamat atau sarana jalan ke luar bagi penghuni bangunan terutama bangunan bertingkat rendah, yang selanjutnya dihubungkan dengan perangkat evakuasi lainnya yakni tangga darurat. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya prototip sistem perangkat evakuasi berbentuk teralis yang dapat membuka baik secara otomatis maupun manual. Secara otomatis digunakan thermo-switch yang dihubungkan ke kunci pembuka teralis, sedangkan pada cara manual, digunakan pegas yang dilindungi dengan break-glass sebagai kunci pembuka teralis. Metode yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dan observasi lapangan. Data hasil uji laboratorium terutama pengujian kunci otomatis thermo-switch dianalisis dengan metode uji kendali mutu (Diagram Kendali Shewhart).
Kata Kunci : teralis, perangkat evakuasi, bukaan penyelamat, sarana jalan ke luar. Abstract
The installation of steel-bar in the window is actually aimed at protecting building occupants against theft and strange intruders, however, observation to many fire incidents indicated that the window steel-bar (teralis) often causing problems in the form of obstacles either for the occupant in the efforts of evacuating themselves in case of fire, or, for fire brigade personnels in rescuing building occupants. Accordingly, this research was undertaken with the main objective is to set-up a prototype of window steel-bar which at anytime can be functioned as a safety opening or means of escape, particularly in low rise buildings which then connected to other facility for evacuating that is emergency stairs. The target of this research is to establish a prototype of means of escape system through window steel-bar that can be opened automatically or manual as well. For automatic way, this system used a thermo-switch connected to the steel-bar opening key, where for the manual type, the system used a spring protected with breakglass as steel-bar opening. The methods used in this research are laboratory experiment and field observation. Furthermore, data on laboratory results especially testing data on automatic opening key using thermo-switch was analysed by applying quality control test method which reffered to Shewhart Control Diagram.
Keywords : steel-bar, evacuation facility, safety opening, means of escape . Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
236
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyelenggaraan pembangunan dewasa ini semakin meningkat dan semakin kompleks baik dari segi intensitas, teknologi maupun kebutuhan prasarana dan sarananya. Mengingat keselamatan penghuni yang berada di dalam bangunan dan lingkungannya harus menjadi pertimbangan utama khususnya terhadap bahaya kebakaran, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara PU Nomor 10/KPTS/2000, tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Di sisi lain pesatnya pertumbuhan perekonomian di kota-kota besar, memicu pertambahan penduduk yang semakin padat, diindikasikan dengan semakin meluasnya permukiman penduduk yang padat huni. Dengan demikian kesiapan dan penyediaan sarana penyelamatan khususnya terhadap bahaya kebakaran semakin dituntut. Untuk memenuhi persyaratan keselamatan terhadap bahaya kebakaran dalam suatu bangunan bertingkat, diperlukan tersedianya kelengkapan sistem perangkat evakuasi dan sarana proteksi kebakaran baik sarana proteksi aktif maupun sarana proteksi pasif. Kelengkapan sistem perangkat evakuasi yang terkait dengan masalah penyelamatan penghuni bangunan terhadap bahaya kebakaran adalah keamanan penggunaan atau pemasangan teralis yang dapat berfungsi sebagai sarana evakuasi. Teralis atau penghalang bukaan adalah suatu benda yang berfungsi sebagai alat pengaman aset penghuni bangunan 237
terhadap tindakan kriminal, disatu sisi relatif dapat melindungi keamanan terhadap pencurian, namun disisi lain pemasangan teralis justru sering menjadi penyebab terperangkapnya penghuni bangunan dalam kobaran api pada saat terjadi kebakaran. Beberapa kasus kebakaran yang pernah terjadi seperti di tempat hiburan karaoke di Palembang, sejumlah pengunjung terperangkap karena sulitnya menyelamatkan diri akibat jendela dipasang teralis, diperparah oleh asap tebal yang sulit untuk mencari jalan keluar. Peristiwa terperangkapnya penghuni bangunan Ruko tiga lantai mengakibatkan satu orang meninggal terbakar hangus, terjadi pada hari Senin malam tanggal 23 Mei 2005 di Kapuk Raya Penjaringan Jakarta. Untuk dapat menyediakan tingkat keselamatan penghuni bangunan yang memadai dalam upaya mengimbangi pesatnya pembangunan gedung bertingkat dan mengantisipasi kejadian kebakaran yang banyak merenggut korban jiwa, maka perlu dilakukan penelitian dan pengembangan yang diharapkan dapat memiliki potensi inovasi di bidang teknologi proteksi kebakaran, yaitu sistem perangkat evakuasi teralis berlubang, yang dapat difungsikan sebagai sarana jalan ke luar bagi penghuni bangunan bertingkat, apabila terjadi kebakaran.
Permasalahan Pada bangunan gedung bertingkat rendah (rumah susun perumnas, rumahtoko, rumah kantor dan lain-lain) umumnya tidak tersedia sarana evakuasi untuk penyelamatan penghuni bangunan pada saat terjadi kebakaran, sarana tersebut berupa jalan keluar yang diberi tanda exit melalui akses normal Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
(koridor), tangga vertikal, tangga darurat, selubung peluncur (chute). Pada bangunan gedung bertingkat rendah tersebut, yang paling sering dijumpai yaitu pemasangan teralis yang menutupi seluruh bukaan baik jendela maupun pintu, konsekwensinya bila terjadi kebakaran, penghuni bangunan sulit untuk menyelamatkan diri, sehingga sering terjadi korban kebakaran akibat terperangkap kobaran api.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini, adalah untuk memperoleh keandalan kinerja teralis berlubang melalui eksperimen laboratorium maupun pengujian secara manual dari teralis tersebut. Sedangkan tujuan penelitian adalah menciptakan sistem perangkat evakuasi yaitu teralis berlubang, dan mengembangkan atau memodifikasi teralis yang telah umum digunakan masyarakat, sehingga apabila terjadi kebakaran, teralis tersebut dapat digunakan sebagai sarana jalan ke luar terutama bagi masyarakat yang menghuni bangunan bertingkat rendah.
Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, ruang lingkup bahasan meliputi : 1. Uji keandalan teralis menggunakan kunci pembuka lubang teralis secara otomatis dengan thermo-switch; 2. Uji keandalan teralis menggunakan kunci pembuka lubang teralis secara manual dengan pelindung breakglass.
keseluruhan. Sistem juga berarti azas dari suatu mekanisme, dan dapat pula berarti cara atau metode. Sedangkan evakuasi berarti pemindahan atau pengungsian penduduk / penghuni dari suatu daerah ke daerah lain demi keamanan dan keselamatan jiwa, karena daerah yang ditinggalkan tidak aman atau berbahaya. Sistem evakuasi kebakaran berarti suatu mekanisme atau cara untuk memindahkan (mengungsikan) manusia atau penghuni bangunan demi keselamatan jiwa dari daerah bahaya kebakaran ke daerah yang lebih aman, dengan melalui ketentuan atau prosedur yang berlaku di suatu tempat atau bangunan. Sistem evakuasi kebakaran yang dimaksud adalah yang dipengaruhi oleh desain bangunan, dimana terdapat perangkat evakuasi seperti jalur penyelamatan, tangga kebakaran, tangga darurat, pintu kebakaran, pengendalian asap dan daerah penyelamatan.1)
Tujuan Evakuasi Kebakaran Tujuan evakuasi kebakaran, adalah menyelamatkan seluruh penghuni atau pemakai bangunan, termasuk personel atau karyawan, dan bila memungkinkan barang (benda) berharga lainnya, terhadap bahaya kebakaran dengan menggunakan sarana yang ada serta bantuan dari luar.
TINJAUAN PUSTAKA
___________________________
Sistem Evakuasi Kebakaran Sistem mempunyai arti susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara
1) Amir Kadaryanto, Tingkat Keandalan Sistem Evakuasi Kebakaran pada Beberapa Desain Bangunan Pusat Perbelanjaan Beratrium di Bandung, (Bandung : Tesis Riset, Program Pasca Sarjana ITB, 1996), hlm. 8.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
238
Sarana Penunjang Evakuasi Sarana penunjang evakuasi, meliputi : 1. Sarana penyelamatan jiwa, yang disediakan oleh bangunan, seperti tangga kebakaran, koridor, pintu kebakaran, jendela rescue, exit facilities, temporary shelter dan pintu ke luar. 2. Sarana bantu evakuasi, seperti lampu tanda penunjuk, alat peluncur/chute, tangga darurat, tangga lipat, rope system dan lain-lain. 3. Sarana bantu dari luar, yakni sarana yang disediakan atau diupayakan dari luar oleh Dinas Kebakaran, seperti aerial ladder, snorkel, helikopter, bantuan tim SAR dan lain-lain. Ketentuan mengenai sarana penyelamatan jiwa yang terpasang dalam bangunan diatur dalam peraturan bangunan dan standar-standar teknis pencegahan kebakaran.2)
Tabel 1 Jumlah Exit Versus Penghuni Ruangan dan jumlah orang dalam ruangan Bismen 50 orang atau lebih 500 orang atau lebih 1000 orang atau lebih Setiap lantai bangunan
Kebutuhan minimal jumlah exit 2 2 3 4 2
3. Lokasi jalan ke luar harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga berjauhan dan memungkinkan jalur menuju ke jalan ke luar tersebut berada dalam arah yang berlawanan, gambar 1 dan 1A.
Sarana Jalan Ke luar Untuk menjamin agar penyelamatan diri di dalam bangunan berfungsi dengan baik pada waktu terjadi kebakaran, maka perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Penyediaan sarana jalan ke luar atau exit yang aman di dalam bangunan, yakni ruang jalan ke luar yang dilindungi dengan struktur tahan api. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa jalur menuju ke exit dan jalur keluarnya penghuni dari exit ke halaman luar harus benar-benar aman. 2. Jumlah jalur ke luar (exit) harus disesuaikan dengan jumlah penghuni ruangan sebagaimana terdapat pada tabel 1 sebagai berikut: _______________________________ 2) Suprapto, Ir., MSc.FPE., Pencegahan Kebakaran dan Strategi Evakuasi, (Jakarta Centre for Management Technology, 1994), hlm. 3.
239
Gambar 1 dan 1A. Prinsip dua jalan ke luar.
4. Jalur ke exit harus bebas dari api dan asap dan senantiasa harus tersedia setiap saat. Exit harus ditempatkan jauh agar tidak mudah Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
terhalang oleh sebaran api, misalnya di ujung ruang sirkulasi linier, atau di daerah pertemuan antara jalan sirkulasi. 5. Lebar exit mempunyai satuan unit kelebaran dimana nilai unit lebar exit (W) ditentukan besarnya lewat persamaan berikut : W = A / d.c (tidak berdimensi) dimana : A = luas lantai d = kapasitas penghunian, m2/orang c = kapasitas per lebar unit exit, yakni jumlah orang yang bisa lewat per menit. Selanjutnya lebar exit ditentukan berdasarkan kepadatan penghunian (d) untuk berbagai jenis bangunan, serta kapasitas orang yang melewati exit per menit. Lebar jalan ke luar yang ditentukan untuk perhitungan adalah 56 cm atau 22” didasarkan atas lebar tubuh orang dewasa normal. Sebenarnya orang memerlukan kelebaran ruang 70 cm (28”) agar lebih leluasa bergerak. Untuk orang berkursi roda kelebaran tersebut adalah 69 cm atau 27” dengan demikian kelebaran minimum adalah 80 cm atau 32” (69 cm lebar kursi sedang 11 cm untuk keleluasaan gerakan tangan). 6. Pintu kebakaran harus dapat berfungsi menutup rapat-rapat dan dilengkapi alat pengunci agar dapat menghalangi penyebaran api dan asap secara efektif ke ruang-ruang yang dilindungi. Pintu tersebut harus dapat menutup sendiri atau menutup secara otomatis untuk jenis pintu yang pada keadaan normal terbuka (terbuka karena alat elektro magnetik dan akan menutup lewat aktuasi detektor asap). Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Agar dapat membuka cepat, sering pada pintu dipasang batang panik khususnya pada pintu kebakaran yang terletak di bagian luar bangunan. Pada saat batang panik ditekan, batang tersebut, melepas engsel pengunci pintu dari dudukannya dan pintu langsung terbuka. Bila pintu menutup, pasak pengunci mengatup kembali menjadikan pintu tertutup rapat. Alarm yang memberikan tanda bahwa pintu telah terbuka dapat dipasang di pintu atau diintegrasikan dengan sistem alarm keamanan di pusat kontrol, gambar 2. 7. Jalur menuju exit harus menerus dan kelebarannya harus tetap terjaga serta tidak terhalangi oleh benda-benda yang tidak perlu, gambar 3.
Gambar 2. Pintu Kebakaran.
Gambar 3. Penghalang pada jalur evakuasi. 240
Untuk penyelamatan jalur ke exit tidak boleh melewati ruangan yang kemungkinkan ditutup atau menjadi sumber lokasi kebakaran. Hindari pula jalur/koridor buntu, dimana lebar jalur buntu tersebut tidak boleh melebihi 15 m atau 50 ft, gambar 4.
Gambar 4. Jalur (koridor) buntu. 8. Waktu yang ditempuh untuk mencapai exit merupakan unsur penting pada kejadian kebakaran. Oleh karena itu dalam peraturan bangunan selalu dicantumkan jarak tempuh maksimum yang diperbolehkan. Jarak tempuh ini dipengaruhi oleh jenis bangunan, tingkat resiko akibat kebakaran dan kondisi fisik serta psikologis penghuni terhadap ruangan tempat mereka tinggal. 9. Pada ruang-ruang sirkulasi seperti koridor harus dipasang penunjuk arah ke exit yang diletakkan pada lokasi yang mudah terlihat dan tidak terhalang. Syarat-syarat penunjuk arah serta pemasangannya diatur dalam SNI Kebakaran. 10. Untuk pencegahan terhadap asap terutama dalam menunjang upaya penyelamatan penghuni, maka perlu diadakan ruang-ruang yang bebas asap, penerapan sistem pengendalian asap, misalnya dengan sistem penekanan udara di sumur tangga, penggunaan peralatan ventilasi mekanis dan lain-lain.
241
11. 11. Pada umumnya elevator/lift maupun escalator bukan sarana untuk penyelamatan diri, kecuali untuk keperluan petugas pemadam dan bila memang telah direncanakan untuk maksud menunjang penyelamatan diri terhadap kebakaran. Ketentuan di Indonesia masih melarang penggunaan elevator sebagai sarana untuk penyelamatan diri saat kebakaran. 12. 12. Menurut SNI maka bangunan dengan ketinggian melebihi 8 lantai perlu memiliki landasan helikopter. Ketentuan ini diutamakan untuk bangunan perkantoran, rumah sakit, hotel dan bangunan perdagangan /pertokoan.3) BAHAN, PERALATAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Dalam penelitian teralis berlubang sebagai sarana jalan ke luar pada proses evakuasi kebakaran ini, menggunakan beberapa bahan sebagai berikut : 1. Besi beton diameter 10 mm; 2. Besi strip 30,3 mm; 3. Engsel kupu-kupu; 4. Kayu kaso-kaso jenis kamper dengan kandungan air tidak lebih dari 15 %, sebagai bahan bakar (wood crib); 5. Bahan bakar cair mudah terbakar jenis premium.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1 Ruang uji berukuran 280 x 280 x 280 cm; 2. Dapur pengering (Oven); 3. Timbangan digital 3Kg; ________________________________
3) Suprapto, Ir., MSc.FPE., Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung, (Jakarta : LPM ITB – PT. Jaya Teknik Indonesia, 1992), hlm. 10.
Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Moisture meter (%); Thermodac E-200; Thermocouple; Thermo-switch; Stopwatch; Roll meter; Alat ukur literan (lt.).
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah metode eksperimental dan observasi lapangan. Data hasil uji laboratorium terutama untuk pengujian kunci otomatis thermoswitch dianalisis dengan metode uji kendali mutu (Diagram Kendali Shewhart). Dalam dunia industri, mutu atau kualitas barang yang dihasilkan merupakan faktor yang sangat penting. Barang yang dihasilkan antara lain ditentukan kualitasnya berdasarkan pada pengukuran ataupun karakteristikkarakteristik tertentu. Untuk dapat melakukan hal tersebut, maka perlu dilakukan uji pengendalian mutu. Teknik yang paling umum dilakukan dalam pengendalian mutu secara statistik adalah dengan Diagram Kendali Shewhart. Tes kunci otomatis thermo-switch yang terdapat pada bagian atas teralis berlubang dilakukan dalam ruang uji, dan dipasang pada lubang berukuran pintu dan jendela, kemudian dilakukan pemanasan dengan bahan bakar susunan kayu kamper (wood crib), thermo-switch dapat melepaskan kunci penutup lubang teralis, pada temperatur ± 40ºC. Dengan demikian, bila kunci otomatis tersebut dapat mencapai atau melebihi standar temperatur dari thermo-switch diatas dan dilakukan berulang-ulang, serta tidak terjadi kesulitan dalam melepaskan penutup lubang teralis, maka prototipe teralis berlubang dengan kunci otomatis Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
thermo- switch dapat diterima untuk digunakan. Selanjutnya metode penelitian untuk kunci manual teralis berlubang dilakukan dengan mengamati kinerja pegas pada alat tarik kunci yang dilindungi break-glass secara berulangulang, begitu juga bila tidak terjadi kesulitan dalam melepaskan penutup lubang teralis, maka prototipe teralis berlubang dengan kunci manual dapat diterima untuk digunakan. Analisis metoda uji kendali mutu (Diagram Kendali Shewhart) dengan tingkat kepercayaan ( α ) = 5 %, dimana statistik uji untuk : = Sentral = μ atau : x Batas Kendali Atas (BKA) = μ + Aσ = atau : x + A2R Batas Kendali Bawah (BKB) = μ - Aσ = atau : x - A2R
Spesifikasi Teralis Berlubang
Teralis pintu dan jendela berlubang dibuat dengan spesifikasi dan rancangan sebagaimana terdapat pada tabel 2, gambar 5 s/d 8, sebagai berikut : Tabel 2 Spesifikasi Teralis Berlubang No.
Komponen
Panjang
Lebar
Ø Besi
( mm ) ( mm ) (mm ) Teralis pintu 1795 940 10 Lubang 1595 740 10 teralis pintu 3. Teralis 1140 601 10 jendela 4. Lubang 920 401 10 teralis jendela Sumber : Hasil Penelitian Sistem Perangkat Evakuasi, 2005. 1. 2.
242
Gambar 5. Sketsa teralis pintu berlubang
Gambar 6. Teralis pintu berlubang dengan kunci otomatis thermo-switch.
243
Gambar 7. Sketsa teralis jendela berlubang.
Gambar 8. Teralis jendela berlubang dengan kunci otomatis thermo-switch.
Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
Gambar 9. Teralis pintu dan jendela berlubang dengan kunci manual dilindungi break-glass.
Uji keandalan teralis berlubang, terutama terhadap kunci otomatis thermo-switch dan kunci manual yang dilindungi dengan break-glass dilakukan di ruang uji, berukuran 280 cm x 280 cm x 280 cm, pada tengah-tengah plafon dipasang lima buah termokopel dengan panjang masing-masing titik termokopel 20 cm, dihubungkan ke thermoduc E200, dengan interval waktu pencatatan selama 5 menit. Untuk mengetahui aktivasi dari kunci otomatis thermo-switch dilakukan pembakaran ditengah-tengah ruangan, menggunakan bahan bakar potongan kayu kamper ukuran kaso-kaso dengan panjang 50 cm dan bahan bakar cair premium dengan alas nampan dari galvanis. Jumlah bahan bakar kayu kamper yang dibutuhkan, disesuaikan dengan nilai beban api ruangan tipe 21, yaitu 6 kg/m2 dengan perhitungan, sebagai berikut : Luas ruangan uji : 280 x 280 cm = 78400 cm2 (7,84m2). Jumlah kayu kamper : 7,84 m2 x 6 kg = 47,04 kg/m2.
Gambar 10. Kunci otomatis pembuka tutup lubang teralis menggunakan thermo-switch.
Percobaan Laboratorium Dalam rancangan percobaan teralis berlubang dengan kunci otomatis thermo- switch, untuk teralis pintu dan jendela dengan tiga kali ulangan berjumlah 30 buah, sedangkan untuk uji kunci manual teralis pintu 8 buah dan teralis jendela 7 buah, seluruh benda uji berjumlah 45 buah. Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Gambar 11. Bahan bakar potongan kayu kamper (wood crib)
244
Data hasil uji terdapat pada tabel 3 dan 4, sebagai berikut : Tabel 3 Data Hasil Uji Kunci Otomatis Thermoswitch pada Teralis Pintu dan Jendela Berlubang
No.
Gambar 12. Susunan kayu kamper dan bahan bakar cair premium siap bakar.
Kode
Temperatur Rata2 Ruang Uji ( ºC )
Temperatur Thermoswitch ( ºC )
1. P1 271,50 2. P2 272,34 3. P3 253,18 4. P4 280,00 5. P5 279,00 6. P6 285,00 7. P7 243,00 8. P8 215,00 9. P9 235,50 10. P10 230,50 11. P11 246,90 12. P12 240,00 13. P13 295,89 14. P14 280,95 15. P15 270,60 16. J16 275,75 17. J17 258,50 18. J18 270,00 19. J19 262,34 20. 120 255,50 21. J21 270,00 22. J22 270,30 23. J23 250,38 24. J24 245,00 25. J25 235,00 26. J26 255,50 27. J27 260,50 28. J28 263,90 29. J29 250,00 30. J30 259,80 Sumber : Hasil Penelitian Evakuasi, 2005.
37,90 40,00 40,00 35,00 39,00 43,00 41,00 42,00 38,00 40,00 35,00 40,00 40,50 39,90 41,00 42,00 37,00 40,00 41,50 40,50 38,50 38,00 41,00 40,50 36,00 41,00 38,00 37,00 40,00 38,00 Sistem
Kunci TSwitch Lepas (Menit) 3,00 3,75 4,00 4,50 3,00 5,00 4,70 3,00 3,20 3,00 3,00 3,00 3,00 3,85 4,00 4,29 5,00 5,00 4,75 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,80 5,20 4,00 3,00 4,25 5,25 Perangkat
Gambar 13. Saat pengujian kunci otomatis Thermo-switch pembuka tutup lubang teralis. 245
Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
Tabel 4 Data Hasil Uji Kunci Manual Pada Teralis Pintu dan Jendela Berlubang No.
Kode
Kondisi Pegas
Kondisi Kunci
P1
Kondisi Kaca Pengaman (Break-glass) Mudah dipecah
1.
Kencang
2.
P2
Mudah dipecah
Kencang
3.
P3
Mudah dipecah
Kencang
5.
P5
Mudah dipecah
Kencang
6.
P6
Mudah dipecah
Kencang
7.
P7
Mudah dipecah
Kencang
8.
P8
Mudah dipecah
Kencang
9.
J9
Mudah dipecah
Kencang
Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci
No.
Kode
10.
J10
Kondisi Kaca Pengaman (Break-glass) Mudah dipecah
11.
J11
Mudah dipecah
Kencang
12.
J12
Mudah dipecah
Kencang
13.
J13
Mudah dipecah
Kencang
14.
J14
Mudah dipecah
Kencang
15.
J15
Mudah dipecah
Kencang
Sumber : Hasil Evakuasi, 2005.
Kondisi Pegas
Kondisi Kunci
Kencang
Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci Mudah dibuka dan dikunci
Penelitian
Sistem
Perangkat
Data hasil uji kunci otomatis thermoswitch dari teralis pintu dan jendela berlubang pada tabel 3, setelah dievaluasi terdapat pada tabel 5, sebagai berikut :
Tabel 5 Hasil Uji Teralis Pintu dan Jendela dengan Kunci Otomatis Thermo-switch 40ºC Temperatur Thermo-switch ºC
No. Sampel
Simpangan Baku
Rata-Rata
Rentang _ R 2,10
1,21
x1
x2
x3
P1.
37,90
40,00
40,00
_ x 39,30
P2.
35,00
39,00
43,00
39,00
8,00
4,00
P3.
41,00
42,00
38,00
40,33
4,00
2,08
P4.
40,00
35,00
40,00
38,33
5,00
2,89
P5.
40,50
39.90
41,00
40,47
1,10
0,55
J6.
42,00
37,00
40,00
39,67
5,00
2,52
J7.
41,50
40,50
38,50
40,17
3,00
1,53
J8.
38,00
41,00
40,50
39,83
3,00
1,61
J9.
36,00
41,00
38,00
38,33
5,00
2,52
38,33
3,00
1,53
393,76
39,20
20,44
J10.
37,00
40,00
38,00
Jumlah :
s
Sumber : Hasil Penelitian Sistem Perangkat Evakuasi, 2005.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
246
PEMBAHASAN Data hasil uji temperatur kunci thermoswitch 40ºC sebagai pembuka lubang teralis pada tabel 5, dan berdasarkan perhitungan statistik diagram kontrol shewhart untuk Sentral, Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB), diperoleh hasil, sebagai berikut : Rata-rata dari rata-rata temperatur thermo- switch adalah : X
Xi 393,76 = ---------- = ----------- = 39,38 n 10
Rata-rata dari rentang semua temperatur thermo-switch adalah : _ R
Ri 39,20 = ---------- = ----------- = 3,92 n 10
_ Diagram kontrol rata-rata ( X temperatur thermo-switch, adalah :
)
= X = 39,38 =
oleh Batas Kontrol Atas dan Batas Kontrol Bawah. Sedangkan analisis terhadap hasil uji teralis berlubang dengan sistim kunci manual, sebagaimana terdapat pada tabel 4 diperoleh hasil bahwa, kondisi kaca pengaman kunci dalam bentuk breakglass mudah dipecahkan, kondisi pegas sangat kencang, selanjutnya kondisi kunci mudah ditarik dan dikunci dari dalam, tetapi tidak bisa dari luar. Dengan demikian, maka dikatakan proses pengukuran temperatur thermoswitch sebagai kunci otomatis pembuka lubang teralis berada dalam kendali (kontrol), demikian pula dengan sistim kunci manual, artinya teralis berlubang menggunakan kunci otomatis thermo switch dan kunci manual, kedua-duanya memenuhi syarat dan layak untuk digunakan.
_ BKA (Batas Kontrol Atas): X + 2R = 39,38 + (1,023) (3,92) = 43,39 _ =BKB (Batas Kontrol Bawah) : X -R = 39,38 - (1,023) (3,92) = 35,37 Sentral:
Catatan : Untuk n = 3 didapat A2 = 1,023.
Sesuai hasil analisis dan perhitungan statistik diagram kontrol shewhart terhadap hasil uji temperatur thermoswitch, diperoleh rata-rata 39,38ºC, rata-rata rentang 3,92ºC, batas kontrol atas (BKA) 43,39 ºC dan batas kontrol bawah (BKB) 35,37 ºC. Hasil perhitungan dan analisis uji kinerja thermo-switch sebagai kunci otomatis pembuka lubang teralis cukup akurat, terbukti dari hasil uji rata-rata temperatur tercapai 39,38ºC. Disamping itu, kunci otomatis thermo-switch yang diuji, berada pada daerah yang dibatasi 247
Gambar 14. Kurva temperatur thermo-switch pada teralis berlubang.
Teralis Berlubang … (Ahmad H.E)
KESIMPULAN Proses pengukuran temperatur thermo- switch sebagai kunci otomatis pembuka lubang teralis berada dalam kendali, artinya prototipe teralis berlubang baik teralis pintu maupun teralis jendela seluruhnya memenuhi syarat dan layak untuk digunakan; Hasil pengujian terhadap kunci otomatis yang berjumlah 10 buah sampel dengan frekuensi pengujian 3 kali, seluruhnya berada pada daerah yang dibatasi oleh Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB); Berdasarkan hasil pengujian dan evaluasi terhadap kunci manual teralis berlubang, kondisi kaca mudah dipecah, kondisi pegas sangat kencang dan kondisi kunci mudah ditarik dan dikunci dari dalam, tetapi tidak bisa dari luar, dengan demikian teralis berlubang sistem kunci manual memenuhi syarat dan layak untuk digunakan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum RI. No. 10/KPTS/2000, Ketentuan Teknis
Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum, Jakarta.
2. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI. No. 02/KPTS/1985, Ketentuan
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran pada Bangunan Gedung, Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.
Amir, 1996, Tingkat Keandalan Sistem Evakuasi Kebakaran pada Beberapa Desain Bangunan Pusat Perbelanjaan Beratrium di Bandung, Program
3. Kadaryono,
Magister Arsitektur, Program Pasca sarjana, ITB, Bandung.
4. Suprapto, Ir., MSC.FPE., 1994, Pencegahan Kebakaran dan Strategi Evakuasi, Centre for Management Technology, Jakarta. 1992, Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung, LPM ITB – PT. Jaya Teknik
5. _______________, Indonesia, Jakarta.
6. Sudjana. Prof., Dr., M.A., M.Sc., 1992, Metoda Statistika, Penerbit Transito Bandung.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
248
PENGELOLAAN EKOSISTEM PUSAT PERTUMBUHAN KAWASAN PERBATASAN NUNUKAN-SEBATIK Oleh: Elis Hastuti Pusat Litbang Permukiman E-mail:
[email protected]
Abstrak Pengelolaan pembangunan dengan pendekatan ekosistem di kepulauan Nunukan Sebatik sebagai pusat pertumbuhan kawasan perbatasan, diharapkan dapat menunjang terwujudnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat Nunukan Sebatik khususnya dan Kabupaten Nunukan pada umumnya. Strategi pengelolaan lingkungan urbanisasi, yang berorientasi ekologi dan hidrologi ditujukan dalam pengembangkan kawasan budidaya dengan tetap melindungi kawasan konservasi. Arahan pengelolaan potensi biofisik pulau diarahkan pada kawasan konservasi hidrologi dengan pengembangan prinsip ekologi dalam eliminasi permasalaan lingkungan, terutama untuk meningkatkan nilai ekologi dan ekonomi kawasan. Ditinjau dari potensi kawasan dan pola permukiman yang berkembang, maka pembangunan dengan sistem ekologi yang berkelanjutan adalah penting untuk pengelolaan dampak pertumbuhan kawasan terutama pencemaran tanah dan wilayah perairan. Pendekatan pengelolaan sanitasi yang berkelanjutan, melalui daur ulang atau pengolahan dengan vegetasi/ikan termasuk penerapan produksi bersih pada industri pengolahan hasil pertanian.
Kata Kunci : perbatasan, ekosistem, ekologi, hidrologi Abstract Managing a economic growth center in country border area, Nunukan Sebatik Islands, will require integrated development, using ecosystem approach comprehensively to support security, prosperity of Nunukan-Sebatik’s resident and Nunukan Region’s resident in general. Within the currently urbanized environment, ecosystem approach can be employed through eco-hydrological approach in land development, to achieve conservation and ecological sustainability. It involves ecological integrity of biophysics island in protecting hydrological features and function process and to increase productivity ecosystem. Protecting the island in the face of pollution risk of increasing pressures of growth center development, must be balanced by sustainable sewage system. To achieve ecological integrity and maintained hydrological feature, it proposed the integrated waste treatment system, considering type of ecosystem of settlement, and agricultural development.
Key words : border, ecosystem, ecology, hydrology
261
Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
PENDAHULUAN Latar Belakang Pusat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nunukan yang dipusatkan di Kepulauan Nunukan Sebatik, telah meningkatkan perubahan lahan konservasi menjadi lahan terbangun. Kedua pulau tersebut terletak pada wilayah kepulauan kecil dengan keterbatasan ruang sehingga keberadaan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, baik masyarakat maupun unsur hayati, menjadi sangat penting tetapi juga kepulauan bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan (Bappeda Kab. Nunukan, 2004). Meningkatnya resiko instabilitas ekologis pulau dapat terjadi apabila tidak ada keseimbangan lingkungan, dan sangat bergantung pada kesinambungan fungsi fungsi kawasan konservasi. Selain itu, akibat tidak terkelolanya integritas ekologi pulau dapat pula menjadi ancaman kedaulatan negara karena kerusakan lingkungan pesisir ataupun pencurian sumber daya. Sinergitas diperlukan antara kelestarian sistem ekosistem, keamanan, kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat Nunukan umumnya (Widiati, 2003). Tingkat perubahan lahan yang relatif cepat dan heterogen telah menyebabkan permasalahan degradasi lingkungan, seperti : eksploitasi hutan yang tinggi dengan banyaknya alih fungsi ke kawasan budidaya, sementara potensi sumber daya air sangat tergantung pada potensi hutan dan curah hujan. timbulnya permukiman kumuh di bantaran sungai, yang umumnya para TKI (penduduk di bantaran sungai di Kec. Sebatik terdapat 142 kk, Kec. Nunukan terdapat 176 kk), telah menimbulkan pencemaran limbah Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
domestik dan industri kecil telah mencemari S. Bolong, sebagai air baku PDAM. pengelolaan sampah di perkotaan membutuhkan lahan TPA yang sesuai standar, sementara penampungan sampah yang ada menggunakan bantaran sungai. pembangunan jalur transportasi darat di P. Nunukan dan Sebatik tidak memperhatikan keberadaan kawasan resapan air. meningkatnya pengambilan air tanah oleh pengelola swasta, yang membutuhkan pengaturan debit. kerusakan kawasan pesisir untuk kepentingan pelabuhan, komersil, ataupun tambak udang, telah mengurangi/merusak mangrove. Pembangunan yang tidak disesuai kemampuan lahan berpotensi abrasi pantai (seperti di Tanjung Aru, P. Sebatik). Reklamasi pantai kawasan Lamijung, utara Pulau Nunukan beresiko penurunan infiltrasi dan meningkatkan limpasan di daratan karena tidak disertai konservasi pesisir.
Pengembangan fasilitas untuk pusat pertumbuhan seperti PPLB, pelabuhan, kawasan komersil, permukiman ataupun agroindustri/industri berikat, memiliki dukungan sarana prasarana yang masih relatif terbatas untuk berkembang sebagai kawasan pusat pertumbuhan. Dalam pengembangannya perlu disesuaikan dengan daya dukung wilayah (carrying capacity) dan daya lenting lingkungan (resilience) sebagai kawasan kepulauan. Keseimbangan lingkungan dengan preservasi geomorfologi dan konservasi geohidrolis sangat penting mengingat wilayah sebagai pulau pulau kecil dengan keterbatasan daya dukung. Oleh 262
karena itu strategi pengelolaan dengan pendekatan lingkungan yang berorientasi ekologi dan hidrologi, diperlukan dalam upaya konservasi sumberdaya alam hutan, pesisir, serta mengembangkan kawasan budidaya secara produktif bagi kesejahteraan masyarakat. Diharapkan pula dapat terjadi keserasian pembangunan yang akan dilaksanakan melalui pendekatan kesejahteraan dan keamanan.
Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji strategi dalam pengelolaan lingkungan permukiman dengan berorientasi ekologi-hidrologi di pusat pertumbuhan perbatasan kepulauan sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungan, khususnya permukiman di kepulauan Nunukan Sebatik, Kabupaten Nunukan. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk mencapai sinergitas pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang pusat pertumbuhan perbatasan.
Tinjauan Teoritis
Wilayah perbatasan dengan karakter laut atau pulau-pulau kecil pada umumnya memiliki potensi laut cukup besar dan bernilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Secara ekologis, ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi dibanding proporsi ukuran pulaunya dan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi, serta memiliki daerah tangkapan air relatif kecil. Sehingga memiliki resiko perubahan lingkungan yang tinggi (Pandiadi dkk, 2005). Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta wilayah yang potensial diduduki (dispute) karena 263
bersinggungan dengan wilayah internasional (Bapennas, 2005). Tata Guna Lahan dengan Ekologi yang berkelanjutan
Sistem
Tantangan yang harus dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan diantaranya adalah tantangan aspek geografis dan sumber daya alam. Aspek ini mendukung pembangunan dan sebagai objek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya (Dirjen Tata Ruang, 2002). Secara empiris, terdapat keterkaitan sistem ekologi (hubungan fungsional) antar ekosistem didalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan daratan (lahan atas) dan laut lepas. Oleh karena itu, setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya yang terjadi di ekosistem daratan pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir. Penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya di perbatasan, sering terjadi konflik pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung. Untuk mendapatkan pengelolaan lahan dengan sistem ekologi yang berkelanjutan, perspektif ekologi harus menjadi bagian dalam pengambilan keputusan penataan lahan. Sistem ekologi yang berkelanjutan secara tidak langsung mendukung kepentingan lainnya, termasuk fungsi ekosistem, budaya, nilai estetika, rekreasi dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Penataan ruang kepulauan harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif. Salah satunya melalui pendekatan pengelolaan sumber daya air, artinya proses perencanaan, pemanfaatan, perlindungan maupun Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
pengendalian, dilaksanakan secara terpadu(multistakeholders), menyeluruh (hulu, hilir, kuantitas-kualitas, instreamoffstream), berkelanjutan (antar generasi) dan berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem). Satuan wilayah hidrologis sebagai satu kesatuan pengelolaan wilayah terpadu dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan ’pendekatan bioregion’ yaitu bahwa pendekatan pengelolaan wilayah tanah dan air, cakupannya tidak ditentukan oleh batas administrasi/politik, tetapi oleh batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Pengelolaan Ekosistem Dalam pengelolaan wilayah dengan pendekatan ekosistem mempunyai strategi yang terintegrasi antara lahan, air dan makhluk hidup, untuk mencapai upaya konservasi dan penggunaan yang berkelanjutan (Alcamo etc, 2003). Diantaranya dengan pengelolaan aspek ekologi untuk menjaga fungsi fungsi penting geohidrolis wilayah, dengan menerapkan perlindungan lahan dari tekanan pembangunan tinggi dengan perlindungan kawasan khusus seperti pesisir atau hutan penyangga. Ekohidrologi merupakan pendekatan pembangunan berkelanjutan dimana sistem hidrologi merupakan komponen dasar dari integritas ekologi. Perlindungan ekologi melalui integritas hidrologi dikembangkan dengan tujuan mengintegrasikan lingkungan dan perencanaan tata guna lahan untuk menjaga, atau mungkin untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai ekologi di area perencanaan. Didalam siklus hidrologi, faktor hidrologi dan aktivitas manusia tidak hanya menciptakan jalur sumber makanan dan nutrien tetapi juga jalur pergerakan Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
kontaminan. Sehingga dalam mengintegrasikan hidrologi dalam pendekatan ekosistem mempunyai arti bahwa fungsi hidrologi tidak terganggu oleh aktivitas manusia, yaitu dengan kondisi : - struktur, komposisi, dan fungsi ekosistem yang tidak terdampak oleh kegiatan manusia - proses ekologi alami - proses ekologi yang berkembang Penilaian atau pengukuran parameter biotik/biomonitoring/bioindikator dapat digunakan untuk memprediksi dampak, sehingga strategi pembangunan dengan memperhatikan hubungan aspek hidrologi terhadap komponen biotik akan menjadikan pembangunan lebih berwawasan ekologi (Alcamo, 2003). Integritas ekologi dalam evaluasi pembangunan bukan hanya untuk tumbuhan atau manusia sekitarnya tetapi untuk memperoleh ekosistem yang berkelanjutan secara ekologi. Kerusakan lingkungan, seperti erosi, krisis air dan pencemaran, dapat ditangani dengan pendekatan berbasis purifikasi/daur ulang alam. Keberhasilan penerapan ditentukan kondisi lahan, potensi alam dan juga partisipasi masyarakat. Pengembangan konsep pengolahan air buangan ‘sustainable eco agricultural development’, dapat diterapkan terutama pada kawasan berbasis pertanian (Aswathanarayana, 2001).
KARAKTERISTIK P. NUNUKANSEBATIK Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Dalam renstra Kabupaten Nunukan (2001-2005), dinyatakan bahwa keanekaragaman hayati sumber daya alam Kabupaten Nunukan, disamping 264
memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai ekologis untuk keberhasilan pembangunan daerah. Adapun program prioritas Kabupaten Nunukan dalam rangka percepatan Pembangunan Daerah Perbatasan diantaranya dengan pengembangan sumber daya alam di daerah perbatasan dari pencurian oleh pihak2 yang kurang bertanggung jawab serta pengawasan pemindahan patok patok batas negara di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Upaya untuk menjaga agar lingkungan tetap lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, dinyatakan melalui salah satu Misi Kabupaten Nunukan yaitu dengan pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya alam secara lestari yang berorientasi industri pengolahan dan ekspor dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup dan budaya setempat.
Kondisi daerah dataran tinggi relatif mudah mengalami erosi khususnya daerah yang kondisi hutannya gundul. Tanah dataran rendah yang merupakan tanah sedimen pada tepi sungai dan laut sangat dipengaruhi oleh naik turunnya air sungai.
Kondisi Biofisik Nunukan-Sebatik Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik, memiliki karakteristik spesifik karena terletak pada wilayah kepulauan kecil. Pada umumnya tanah di sebagian Pulau Nunukan dan Sebatik terdiri dari jenis tanah podsolik merah kuning dengan tingkat kesuburan relatif rendah dan memiliki lapisan top soil yang tipis. Tabel 1. Karakteristik Kawasan P. Nunukan - Sebatik Data Penduduk Kec. Kegiatan Iklim Luas pulau Tata guna lahan
265
Nunukan
Sebatik
44.669
28.238
sektor pertanian, industri dan perdagangan - bulan basah 0-2 bulan (> 200 mm) - bulan kering 4-6 bulan ( < 100 mm) 214 km2 ( luas kec. 159.627 ha) - semak belukar bekas perladangan - hutan lahan kering - mangrove/hutan bakau - rawa pasang surut - ladang/tegalan - permukiman kota padat/lama - permukiman nelayan - dermaga pelabuhan
sektor pertanian dan perkebunan - bulan basah 0-2 bulan ( > 200 mm) - bulan kering 4-6 bulan ( < 100 mm) 299 km2 (luas kec. 24.122 ha) - semak belukar bekas perladangan - hutan lahan kering - mangrove/hutan bakau - rawa pasang surut - ladang /tegalan - perkebunan - pesawahan dan tambak - permukiman kota/desa
Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
Data
Nunukan
Potensi
-
Jenis vegetasi mangrove Jenis tanaman keras Jenis tanaman air Tantangan
Sumber : Nunukan
Sebatik
curah hujan 1985-2003 : 3543 mm Sumber air baku kecamatan (S. Bolong, S. Sedadap, S. Meusapa dan S. Mamoso menghasilkan air baku 125 l/det) 10 sungai sebagai sumber air (200 l/det). teras laut/beting pantai sebagai sumber air tanah dangkal di pantai Timur dan barat. peluang pemanfaatan limbah agroindustri peluang wisata komersil/agroindustri
bakau, bruguirea sp, api-api, pedada, xylocarpus sp, dillenia sp. kelapa (Cocos nucifera), jambu (Psidium guajava), kelapa sawit, cocoa, pisang (Musa paradisiaca,
Nangka (Artocarpus sp) Kangkung (Ipomea batata), talas (Colocasia esculenta), alang alang (Imprata cilindraca)
- dermaga pelabuhan - curah hujan 1985-2003 : 3543 mm - kemampuan lahan untuk pertaniah tinggi, - lahan basah untuk pengolahan air limbah - potensi embung 50 Ha, 150 l/s ( target pemenuhan 20 th) - peluang pemanfaatan limbah padat kakus dan limbah agroindustri untuk kebutuhan pupuk - peluang wisata agroindustri bakau, bruguirea sp, api-api, pedada, xylocarpus sp, dillenia sp. kelapa (Cocos nucifera), jambu (Psidium guajava), kelapa sawit, cocoa, pisang (Musa paradisiaca), lada, cengkeh Kangkung (Ipomea batata), talas (Colocasia esculenta), alang alang (Imprata cilindraca) - berkurangnya hutan akan terus berlanjut tanpa disertai penetapan kawasan lindung - meningkatnya kebutuhan pelayanan PDAM dan Penampungan Air Hujan - relokasi permukiman perbatasan di kec. Ajikuning memerlukan penataan kembali infrastruktur lingkungan - abrasi pantai Tanjung Aru - sungai Aijkuning di perbatasan sebagai transportasi utama perdagangan sudah tercemar limbah domestik dan sedimentasi (memerlukan pendekatan bioregion)
- ancaman perubahan lahan koservasi untuk kegiatan budidaya - permukiman kumuh dibantaran sungai /pesisir semakin meluas seiring dengan meningkatnya pendatang - meningkatnya kebutuhan pelayanan PDAM dan pengambilan air tanah oleh swasta dan industri (dapat menurunkan muka tanah dan potensi intrusi air laut) - pencemaran perairan oleh domestik, kawasan industri, komersil (c/ air tanah banyak tercemar coli dan coliform, S.Bolong memiliki NO3 tinggi) - reklamasi pantai di kawasan Komersil Lamijung dapat mengurangi infiltrasi air dan proses purifikasi alam hasil pengamatan lapangan, data sekunder analisa, hasil rapat koordinasi dengan Pemda Kab
ANALISIS Berjalannya otonomi daerah telah mempengaruhi terbukanya pasar yang menawarkan peluang pertambahan penduduk dengan ditetapkannya sebagai Pusat Pertumbuhan Kawasan Perbatasan. Lokasi kepulauan yang strategis, didukung pula sebagai transit antara Tawau (Malaysia) dengan Indonesia. Perkembangan penduduk Kabupaten Nunukan yang cukup pesat (6,8 % per tahun) serta dibukanya sentra perekonomian maka berimplikasi Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
pada intensitas penggunaan lahan yang semakin tinggi dan mengurangi keberadaan dan fungsi kawasan konservasi. Konversi hutan dan pesisir telah mengarah pada sektor pertanian, perikanan, perkebunan, industri dan perdagangan-jasa. Untuk meningkatkan nilai ekologi dan ekonomi wilayah kepulauan Nunukan Sebatik dari ekosistem darat dan laut juga bagi wilayah sekitarnya, maka pengembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi harus diimbangi 266
dengan orientasi pengembangan konservasi ekologi-hidrologi, mengingat wilayah sebagai pulau pulau kecil dengan keterbatasan life support. Pembangunan dan perkembangan penduduk cenderung pesat terutama di kawasan pesisir. Diindikasikan pula pembangunan di Nunukan dan Sebatik telah meningkatkan okupasi pada kawasan hutan dan akan berisiko pada perubahan yang negatif fungsi fisik, biologi maupun ekonomi yang potensial. Secara ekologi, kawasan pesisir di pulaupulau kecil cukup rentan terhadap berbagai bencana alam, seperti gelombang pasang dan pemanasan global. Pada gambar 1, apabila perubahan lahan tidak memperhatikan daya dukung (carrrying capacity) dan kelentingan (resilience) pulau pada kawasan dengan nilai ekologi dan hidrologi yang tinggi, maka potensi
peningkatan pencemaran, erosi/abrasi, akan menyebabkan kerusakan kualitas perairan beserta flora dan fauna. Sehingga dapat meningkatnya ancaman instabilitas ekologi pulau dan keamanan perbatasan terhadap kegiatan illegal logging/fishing/ labour. Keberlanjutan ekologi dan ekonomi kepulauan sangat tergantung pada pengendalian sistem keseimbangan (homeostasis) ekosistem konservasi kondisi hidrologi di Nunukan Sebatik. Perubahan yang cepat kawasan pesisir Nunukan Utara (seperti di Lamijung), sebagai kawasan komersil ‘show window’nya Indonesia, memerlukan preservasi bentang alam pesisir. Untuk terjaminnya keamanan dan keindahan lingkungan kawasan sebagai daya tarik, maka sebaiknya kawasan tidak hanya diperuntukkan wisata belanja saja tetapi juga ekowisata wilayah pesisir.
Tantangan Permukiman Nunukan Sebatik
Kawasan Pertumbuha n -PPLB/CIQS
Area Sensitif Eko-Hidrologi Fisik
- Dry/ Free port - Permukiman - komersil’ (show window’,welcome plaza) - Industri/Berikat
Biologi
Perubahan Iklim
Pencemaran
Ekonomi
Erosi/Abrasi Biodiversity
Hutan DAS
Suksesi Pulau Instabilitas ekologi pulau
Rawa -Teknologi pengendalian - Pengelolaan Ekosistem - Pengelolaan Dampak Kebijakan, Peraturan
Gambar 1.
Prediksi Dampak Perubahan Lahan terhadap Ekologi- Hidrologi Pulau
Pengelolaan Ekosistem Pulau Keseimbangan lingkungan hidrologis mempunyai ketergantungan pada 267
kesinambungan fungsi kawasan konservasi, terutama untuk mencapai keberlanjutan penyediaan air dan Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
menjaga keseimbangan ekologi pulau. Pendekatan terpadu berbasis daya dukung lingkungan yang harus diperhatikan di kawasan pertumbuhan kepulauan dapat dilakukan melalui pendekatan eco–hydrology. Berdasarkan peta topografi skala 1 : 50.000, Pulau Nunukan dan Sebatik memiliki wilayah datar di pesisir, daerah rawa pasang surut, perbukitan dan daerah pegunungan dengan kemiringan 25-40 %. Ketinggian hampir 75 % pada 50-150 m dpl dan ketinggian 0-50 m dpl menempati lebih dari 10 %. Ketinggian maksimum terdapat di pegunungan tengah P. Sebatik. Ditetapkannya sebagai kawasan agroindustri terutama di Sebatik maka diperlukan teknik konservasi tanah dan air terutama dalam pengelolaan pertanian atau perkebunan dan juga pola hutan kemasyarakatan. Adapun arahan pengelolaan potensi biofisik diuraikan pada tabel 2.
Pengelolaan Ekosistem Permukiman Perubahan lahan konservasi menjadi lahan terbangun harus diimbangi dengan peningkatan upaya pemerintah dan dukungan masyarakat dalam pelestarian, konservasi dan pemulihan ekosistem. Kepulauan Nunukan-Sebatik memiliki bentukan kontur alamiah sebagai sistem bidang resapan dan Area Hutan
-
-
Nunukan terletak pada lereng 8-15 % , 15-25 % di bag. tengah dan tenggara terdapat konversi ke lahan permukiman termasuk Hutan Lindung Pulau Nunukan (HLPN
-
-
-
Sebatik Lereng 15-25 %, 30-40 % berupa perbukitan dan hutan sebagai sentra perekonomian , pengelolaan tanaman budidaya terdapat penggalian
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
sistem drainase yang seimbang dengan kondisi bukit, lembah dan sungai sesuai karakteristik diatas. Namun dengan tidak terkendalinya perubahan lahan telah menyebabkan meningkatnya air limpasan dan pencemaran perairan oleh limbah domestik. Masalah krisis kuantitas dan kualitas air bersih, abrasi di Tanjung Aru (P. Sebatik) tidak hanya memerlukan solusi tetapi juga upaya mengeliminasi masalah. Ekosistem rawa yang mulai berkurang keberadaanya di Pulau Nunukan, karena kebutuhan area pelabuhan, pos lintas batas, area komersil, tambak dan permukiman nelayan. Kerusakan fungsi ekologi pesisir dapat mengganggu fungsi hidrologis pesisir untuk filter pencemaran ataupun menampung air hujan lebat yang melebihi kapasitas tampung perairan. Secara fisik ekosistem ini pun akan memberikan perlindungan terhadap lingkungan darat dan perairan dari gempuran gelombang air yang menyebabkan erosi. Selain itu dapatTabel 2. Peranan dan Konservasi Potensi Biofisik Pulau Nunukan Sebatik terjadi penurunan jumlah dan keanekaragaman hayati laut serta vegetasi berperan dalan mentransfer oksigen dan sebagai tempat pelekatan mikroorganisma.
-
-
Aktivitas Konservasi Pendekatan terpadu dengan memperhatikan lintas sektoral (intersectoral interest) pengelolaan SDA berbasis Masyarakat dari pengelolaan hutan skala besar ke pengelolaan multiguna skala kecil agroforestri, memadukan pertanian dengan pohon pada lereng 30-40 % Pembangunan teras bangku terutama pada budidaya tanaman semusim/perkebunan disertai tanaman penguat teras dan pembuatan saluran air/grassed waterways dan struktur terjunan (drop structure)
268
Area
DAS
Nunukan
-
-
-
Sumber Air Tanah
-
-
Sebatik batu gunung di Kawasan Lindung Liang Bunyu (KLLB)
terdapat potensi Sei Bilal, Sei Bolong sebagai sumber air baku (200 l/det) kemungkinan sedimentasi tinggi di Sei Bilal akibat land clearing pencemaran sungai oleh limbah domestik, industri tahu
pencemaran sungai oleh limbah domestik dan tinggi sedimentasi karena perubahan lahan
banyaknya ‘sumur air tanah dalam’ komersial tanpa pembatasan debit Kualitas air bervariasi, namun umumnya tinggi Coli & Coliform
Banyaknya ‘sumur air tanah dalam’ komersial tanpa pembatasan debit
-
-
-
-
-
-
teras laut/beting pantai
Belum dimanfaatkan sebagai sumber air (di bag.timur dan barat)
Daerah cekungan (daerah pasang surut, rawarawa)
-
-
-
terdapat sepanjang pantai menghadap selat Sebatik ditumbuhi Hutan bakau dan nipah di Selatan dan barat P. Nunukan meningkatnya pembukaan tambak udang
Belum dimanfaatkan sebagai sumber air - ditumbuhi Hutan bakau dan nipah digunakan pesawahan dan tambak (dibag timur dan tenggara
Pengelolaan kantong kantong air tawar/air tanah dangkal untuk sumber air bersih
-
-
-
-
269
Aktivitas Konservasi Pengaturan bentuk pertanaman, seperti: pertanaman lorong/ sejajar kontur Pengaturan pola pertanaman yang mempunyai fungsi konservasi, seperti: rotasi tanaman, tumpang gilir, tumpang sari, atau monokultur Pendekatan bioregion dan mempertahankan penutupan lahan oleh vegetasi di DAS Penggunaan pengolahan air limbah secara alam/fitoremediasi Menerapkan produksi bersih pada agroindustri Konversi tanaman sempadan, sperti berakar dalam ke akar serabut, berdaun jarum ke berdaun lebar lebar sempadan sungai yang bervegetasi minimum 15-33,3 meter untuk mengurangi zat pencemar ke sungai. Untuk mencapai naungan sungai yang maksimal dibutuhkan lebar 26,6 meter. Kebutuhan pengembangan kebijakan pembatasan pengambilan air tanah dan area proteksi air tanah dengan vulnerability aquifer tinggi Pengembangan pemanfaatan air tanah oleh industri harus selalu terkendali sesuai ketentuan sejak tahun 2004, peraturan geologi dan pertambangan yang menetapkan pengambilan air tanah untuk komersil tidak boleh lebih dari 1000 m3/hari. konservasi air tanah dengan sumur resapan, pengaturan penggunaan lahan dan manipulasi tanaman di kawasan resapan air untuk meningkatkan infiltrasi air tanah
Konservasi lahan basah dengan pola pemanfaatan berkelanjutan; perikanan tradisional, sistem sawah pasang surut, sistem pengolahan air buangan/sampah pasang surut Pengembangan sistem terpadu pertanian berkelanjutan, disesuaikan kemampuan tanah. Pembukaan lahan dilengkapi daerah pengaman dengan jarak 100 m dari garis pasang laut. Pada wilayah pesisr dengan potensi erosi dan abrasi tinggi (seperti di Tanjung Aru dan Liang Bunyu), diperlukan pembuatan teras/drainase atau pergiliran tanaman atau manipulasi tanaman rendah evapotranspirasi dengan toleran kandungan garam.
Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
Pengelolaan limbah selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah/masyarakat baik kawasan yang sudah berkembang maupun pada perencanaan kawasan. Pengolahan limbah domestik yang telah diterapkan pun ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan lingkungan. Kondisi morfologi pulau dengan topografi yang bervariasi dan perkembangan penduduk yang tidak merata, memerlukan
penerapan strategi pengelolaan yang dapat menekan biaya dan dapat terkompensasi dengan baik. Pendekatan pengelolaan sanitasi yang berkelanjutan, melalui daur ulang atau pengolahan dengan vegetasi/ikan baik di permukiman pesisir atau kawasan komersil, termasuk pula penerapan produksi bersih proses agroindustri /industri pengolahan hasil pertanian (tabel 3).
Tabel 3. Arahan Pengelolaan Pencemaran di Nunukan-Sebatik Pola Permukiman permukiman desa di kawasan agroindustry/ ladang/ kebun/ sawah
Lokasi Pengembangan - kawasan agropolitan Kec. Nunukan bagian daratan - permukiman petani di Kec. Sebatik
Permukiman perbatasan darat
Ajikuning di P.Sebatik
Permukiman di kawasan komersil/ perdagangan dan jasa Permukiman di kawasan industry/berikat
- P. Nunukan, di Lamijung, Pelabuhan Beringin, Sedadap - P. Sebatik, di Tanjung dan Sungai Nyamuk - p. Nunukan (dekat Sedadap)/pantai timur - pantai barat Pulau Sebatik
Permukiman pesisir/nelayan
- Tanjung Harapan, Mensapa P. Nunukan - pantai P. Sebatik
Arahan Pengelolaan Pencemaran komunal dengan pengembangan konsep ecoagricultural development melalui pembuatan eco-pond dan
- sistem
pemanfaatan limbah padat organik untuk kebutuhan pupuk perkebunan - sistem individual/komunal tangki septik dengan resapan melalui filter tanah/tanaman - produksi bersih pada agroindustri
- pengelolaan sampah, limbah dan sedimentasi untuk meningkatkan pemanfaatan sungai Ajikuning sebagai sumber air bersih dan jalur transportasi - pengembangan biomonitoring pencemaran sungai secara partisipatif - pengolahan air limbah domestik terpadu pertanian (eco agricultrual development), karena kemampuan tanah sesuai dengan pertanian dengan upaya konservasi tanah. sistem komunal dengan small bore sewer, pengolahan dapat berupa tangki septik komunal/kolam oksidasi
- menerapkan produksi bersih (3 R dan house keeping) - pengolahan terpusat limbah domestik dan industri - sistem komunal dengan pengolahan tanah/tanaman/kimiawi - sistem komunal dengan pemanfaatan tanaman lahan basah/rawa - sistem eco pond (terpadu dengan tambak/peternakan dan tanaman) - pengembangan tangki septik daerah cekungan/pasang surut - pengembangan biomonitoring untuk mengindikasikan tekanan ekosistem
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
270
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Pembangunan yang cepat dan heterogen di P. Nunukan dan Sebatik sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, telah diindikasikan pola pemanfaatan ruangnya yang cenderung tidak memperhatikan kawasan kawasan konservasi pulau. Sinergitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud apabila terjaganya kelestarian ekosistem karena keterbatasan ruang dan keseimbangan pulau. Pengelolaan biofisik pulau termasuk mengatasi kerusakan ekosistem sumber daya air, dapat diatasi melalui pendekatan ekohidrologi. Dampak pembangunan permukiman pada fungsi area perlindungan hidrolis diatasi dengan pemanfaatan fungsi ekologi kawasan. Keberlanjutan penyediaan air bersih pulau sangat tergantung pada upaya konservasi kawasan penyangga, maka untuk mengatasi dampak pertumbuhan kawasan terutama pencemaran tanah dan wilayah perairan akan diperlukan pengelolaan ekosistem permukiman yang berkelanjutan.
Rekomendasi
Pengelolaan secara biofisik saja tidak mencukupi bila tidak disertai dengan kebijakan yang mendukung secara sosial karena keberhasilan pengelolaan ekosistem salah satunya ditentukan oleh partisipasi masyarakat atau kearifan ekologi masyarakat yang berkembang. Sebagai kawasan perbatasan negara, diperlukan pula pendekatan bioregion karena kesatuan ekosistem yang tidak dapat dibatasi oleh batas wilayah administrasi pemerintahan. Pemanfaatan sistem ekologi untuk eliminasi permasalahan pencemaran, 271
dengan memperhatikan keterkaitan tata ruang daratan dan lautan. Disesuaikan pula dengan lokasi penyebaran permukiman dan basis andalan kawasan seperti fungsi perdagangan/jasa/ pertanian/perkebunan/perikanan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
Alcamo, Joseph, etc, Ecosystems and Human Well-Being : A Framework for Assessment, Island Press, Washington, 2003. Alcamo, Joseph, etc, Ecosystem and human well being : a framework for assessment, World Resources Institute, Washington, 2003 Aswathanarayana, Water Resources Management and the Environment, A.A. Balkema, Amsterdam, 2001. BAPPEDA Kab. Nunukan, Indikator Sosial Kabupaten Nunukan 2004. BAPEDAL Kab. Nunukan, Status
Lingkungan Hidup Nunukan, 2003.
Kab.
Dirjen Penataan Ruang, Penyusunan Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara IndonesiaMalaysia, Dep. Kimpraswil, Jakarta, 2002. Irwan, Djamal, Zoeraini, Ir, Msi, Dr, Prof, Prinsip2 Ekologi dan Organisasi
Ekosistem Lingkungan, 8.
Daerah
Komunitas
PT
Bumi
dan
Aksara,
Jakarta, 2003. LAPAN, Laporan Akhir : Hasil Analisis
Potensi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang, November, 2005. 9. Pandiadi, Ir. MM, Studi Pengembangan Model Transmigrasi Terpadu di Wilayah Perbatasan, Puslitbang Ketransmigrasian Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I., 2005.
Pengelolaan Ekosistem … (Elis Hastuti)
10. Pemerintah Kab. Nunukan, Rencana
Tindak Kebijakan dan Strategis Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, 2005. Puslitbang Permukiman, Kajian Pembangunan Infrastuktur Ke-PU-an untuk Mendukung Peningkatan Fungsi Kawasan Perbatasan, Dep.PU, 2006.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
11. Widiati, Ati, Model Pengembangan
Kawasan Pesisir Dan Laut, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT, Jakarta, Juli 2003.
272
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN RESIDIUM CATALYTIC CRACKING (RCC) TERHADAP SIFAT-SIFAT BETON SEGAR*) Oleh: Agus Taufik & Aan Sugiarto Pusat Litbang Permukiman E-mail : aansugiartotelkomnet.com
Abstrak Residium Catalytic Cracking (RCC) merupakan bahan limbah dari proses perengkahan minyak bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina di UP-VI Balongan Indramayu Jawa Barat. Bahan ini berbentuk bubukan halus berwarna putih keabu-abuan, sangat ringan (berat jenis 2,35 – 2,38) dengan unsur utama silika dan alumina dan dikategorikan sebagai bahan pozolan buatan. Karena sifat-sifatnya tersebut bahan ini diperkirakan dapat digunakan sebagai bahan tambahan atau pengganti sebagian semen (cement substitution) pada campuran beton sehingga diperoleh sifat-sifat khusus dari beton, seperti kemudahan pengerjaan, homogenitas, kekuatan, dan keawetan. Penelitian yang dilakukan meliputi analisis kimia dari RCC, waktu pengikatan semen dengan berbagai kadar RCC, dan sifat-sifat beton segar (slump, temperatur, kadar udara, faktor pemadatan dan berat isi) dari berbagai proporsi campuran dengan variabel faktor air-semen dan kandungan/kadar RCC terhadap jumlah semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur utama RCC berupa SiO 2 + FeO3 + AL2O3 sebesar 89,32 % lebih besar yang dipersyaratkan sebagai bahan pozolan (min. 70 %). Waktu pengikatan cenderung meningkat dengan penambahan bahan RCC pada semen dengan perbedaan waktu yang cukup signifikan. Pengujian kelecakan beton dengan slump test memberikan hasil bahwa pada fas yang rendah penambahan RCC akan mengurangi nilai slump sedangkan untuk fas yang tinggi justru dapat menambah nilai slum, karena semakin rendahnya volume mortar atau ultra fines dalam campuran beton. Sifat-sifat lain seperti temperatur dan kadar udara akan berkurang dengan bertambahnya kadar RCC sedangkan faktor pemadatan dan berat isi akan meningkat dengan bertambahnya kadar RCC. Dari hasil diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa penambahan bahan RCC dapat mempercepat waktu pengikatan, menambah kepadatan beton, mengurangi kadar rongga dan meningkatkan bobot isinya. Dengan demikian pemanfaatan bahan RCC sebagai bahan tambahan atau pengganti sebagian semen pada beton dapat memberikan nilai yang positif, selain sebagai pemecahan masalah lingkungan akibat dampak yang dapat ditimbulkan dari limbah tersebut. Kata Kunci :
203
Residium Catalytic Cracking (RCC), bahan tambahan, sifat-sifat beton, mempercepat waktu pengikatan
Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
Abstract Residium Catalytic Cracking ( RCC) represent the waste substance from a petroleum refimery process belonging to PT. Pertamina Production Unit VI at Balongan, Indramayu West Java. The materials was collected from the refinery unit in form of fine and light powder white broken white color. The chemical compound of materials which mainly is silica and alumina and could be categorized as artificial pozzolan. Referning to its chemical and physical properties, this material could be utilized as cement admixture in concrete making, like workmanship aminity, homogenity, strength and durability. Research conducted at RIHS covered the chemical analysis, setting time of cement by various of RCC, and characteristic of fresh concrete (slump, temperature, air content, compaction faktors, and density) from the various mix proportion of concrete. The research resulted which the chemical analysis of RCC indicated the content of total silica, alumina and ferric oxide reaching 89,32% by weigh which exceed ASTM standard requirement for pozzolan of 70 % content, and the setting time is crease by increase of RCC content in cement. The test result of slump indicated that for low water cement ration (W/C) the slump value is decrease but for high W/C the slump value is increase. The other test resulted that air content and temperature wil be decrease with increase of RCC content but density and compaction faktor wil be decrease with increase of RCC content but density and compaction faktor wil be increase. It was there fore concluded that RCC could be used as cement admixture in concrete making mainly to increase compactibility and density properties of normal concrete. In addition the utilization of RCC would certainly help solving the environmental problems coused by RCC in some certain areas where oil refinery plant were located.
Key word : Residium Catalytic Cracking ( RCC), concrete, quickening cardage time
additional substance, unsure of
*)
Hasil Penelitian di Laboratorium Pusat Litbang Permukiman, Balitbang Kimpraswil Bandung,
PENDAHULUAN Adanya bahan limbah yang cukup melimpah dari proses perengkahan minyak bumi yang dilakukan di PT. Pertamina UP. VI Balongan Indramayu Jawa Barat yang berupa bubukan halus dan ringan yang disebut Residium Catalytic Cracking (RCC) perlu dilakukan pemanfaatannya sebagai pemecahan dalam pengelolaan guna memberikan nilai tambah dan mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan terhadap lingkungan.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Penggunaan bahan RCC sebagai pengganti (substitusi) sebagian semen pada campuran beton diharapkan dapat memberikan dampak positif baik dari aspek teknis, ekonomis maupun lingkungan sehingga penanganan limbah tersebut dapat dilakukan dengan tanpa mengeluarkan biaya khusus yang relatif besar sehingga cukup menjadi beban bagi perusahaan. Disisi lain dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, akan berdampak pula pada dunia industri konstruksi yang juga harus menyesuaikan terhadap kemajuan 204
jaman dengan melakukan inovasi teknologi baik dari aspek bahan, proses maupun sistem konstruksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi baik dari aspek mutu, biaya dan waktu pelaksanaan. Semakin tingginya harga bahan baku terutama semen portland yang berdampak pada harga produk beton merupakan masalah tersendiri guna menemukan bahan alternatif untuk mengurangi biaya konstruksi. Dengan demikian ada dua hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu pemanfaatan bahan limbah sebagai solusi masalah lingkungan dan menurunkan biaya konstruksi. Penelitian yang akan dilakukan dengan menambahkan bahan limbah RCC kedalam campuran beton dengan jumlah bervariasi antara 0 % s/d 40 % dari berat semen. Selanjutnya akan diamati sejauh mana dampak dari penambahan bahan tersebut dengan melakukan pengujian-pengujian terhadap sifat beton segar sebagai upaya atau indikasi dalam pengendalian mutu beton (Quality Assurance) secara dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan RCC pada campuran beton terutama sifat-sifat beton segar seperti kelecakan (slump), temperatur, kadar udara, faktor pemadatan dan berat isi. Sedangkan sasarannya adalah diperoleh campuran atau kadar RCC yang optimal berdasarkan sifat beton yang dihasilkan sebagai dasar pengembangan atau pemanfaatan selanjutnya. STUDI PUSTAKA BAHAN PEMBENTUK BETON Beton merupakan bahan yang diperoleh dengan mencampurkan beberapa bahan baku seperti semen, agregat, air dan 205
atau tanpa bahan tambahan lainnya di bentuk sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu masa yang kompak, padat, kuat dan stabil. Secara rinci bahan pembentuk beton dapat diuraikan sebagai berikut ; Produk hidrasi Semen yg tidak terhidrasi Pasta Rongga kapiler Rongga udara Agregat halus Agregat kasar
Pasta semen Mortar Beton
1. Semen Portland Semen sebagai bahan pengikat (bonding materials) dalam pembuatan beton, memegang peranan penting karena selain akan menentukan karakteristik beton yang dihasilkan juga dapat memberikan indikasi apakah beton cukup tahan terhadap lingkungan agresif, pengaruh cuaca, dan sebagainya. Untuk tujuan tersebut, maka semen portland dibedakan atas 5 jenis selain juga terdapat produk semen lainnya seperti semen portland pozolan, mixed Portland cement, semen alumina, dan lainnya. Masing-masing jenis tersebut memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda sehingga dalam penggunaannya perlu disesuaikan jenis konstruksi dankondisi lingkungan dimana bangunan akan didirikan sehingga tidak terjadi kesalahan teknis yang dapat merugikan. Sebagai acuan dalam pengendalian mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standard lainnya yang berkaitan dengan semen portland seperti ;
SNI dan SNI dan
No. 15-2049-1994 tentang Mutu cara uji Semen Portland No. 15-0302-1989 tentang Mutu cara uji Semen Portland Pozolan
Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
ASTM C-150-95, BS-812-92 ATAU JIS R-5210 tentang Specification for Portland cement.
2. Agregat Agregat sebagai bahan pengisi dalam pembuatan beton mempunyai peranan penting karena beberapa fungsi yang dimiliki diantaranya adalah untuk menambah kekuatan, mengurangi penyusutan, dan mengurangi penggunaan semen. Mutu agregat sangat menentukan kualitas beton yang dihasilkan, oleh karena itu harus dilakukan pengendalian mutu (quality control) sebelum digunakan sebagai bagian dari jaminan mutu (quality assurance) terhadap beton yang akan dihasilkan Klasifikasi agregat dapat dibedakan atas beberapa kriteria misalnya berdasarkan besar butirnya, berat jenis atau sumbernya. Berdasarkan besar butir, agregat dibagi atas 2 jenis yaitu ;
Agregat halus, dengan ukuran butir antara 0,075 s/d 4,8 mm Agregat kasar dengan ukuran butir antara 4,8 s/d 40 mm. Berdasarkan sumbernya, agregat dibagi atas 3 jenis yaitu; Agregat alam, adalah hasil desintegrasi batuan alam Agregat pecah adalah hasil pemecahan batuan alam Agregat buatan yaitu hasil suatu proses pembakaran, dll. Sedangkan berdasarkan beratnya, agregat dibagi atas 3 jenis yaitu ; Agregat ringan dengan berat jenis s/d 1,8 Agregat normal dengan berat jenis 1,8 s/d 2,7 dan Agregat berat dengan berat jenis diatas 2,7 Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
3. Agregat Halus/Pasir Agregat halus dapat berupa pasir alami atau pasir buatan dari proses pemecahan batu gunung dengan kehalusan butir lolos saringan 4,8 (5,0) mm. Pasir harus memenuhi syarat SNI No. 03-1750-1990 dengan bagian yang lolos saringan 0,3 mm tidak kurang dari 15 % agar dapat berfungsi dengan baik terhadap sifat workabilitas dan kepadatan adukan. Agregat halus harus bersih dari kotoran organik dengan kandungan lumpur maksimum 5,0%, mempunyai gradasi yang baik, keras, kekal dan stabil. Beberapa standar lainnya yang dapat digunakan sebagai acuan adalah ; ASTM C-33-93, tentang Specification for concrete aggregate JIS A-1102, tentang Specification for concrete aggregate BS-882-92, tentang Specification for concrete aggregate Dan standar padanan lainnya. 4. Agregat Kasar/Kerikil Agregat kasar dapat berupa kerikil alami atau pecah dari proses pemecahan batu gunung dengan kehalusan butir lolos saringan 38 (40,0) mm. Kerikil harus memenuhi syarat SNI No. 03-1750-1990 tentang spesifikasi agregat untuk beton, dengan kadar lumpur maksimum 1,0%. Agregat kasar harus mempunyai gradasi yang baik, keras, kekal dan stabil. Beberapa standar lainnya yang dapat digunakan sebagai acuan adalah ;
ASTM C-33-93, tentang Specification for concrete aggregate JIS A-1102, tentang Specification for concrete aggregate BS-882-92, tentang Specification for concrete aggregate Dan standar padanan lainnya.
206
5. A i r Air yang dimaksud disini adalah air sebagai bahan pembantu dalam konstruksi bangunan yang meliputi kegunaannya untuk pembuatan dan perawatan beton, pemadaman kapur, pembuatan adukan pasangan dan plesteran dan sebagainya. Air harus memenuhi persyaratan SK SNI No. S-04-1989-F yang meliput ;
Air harus bersih, dengan PH antara 6 – 8, Tidak mengandung Lumpur, minyak dan bahan terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual, Tidak mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2 gr/lt, Tidak mengandung garam yang dapat merusak beton, seperti Cl maks. 500 ppm dan SO4 maks. 1.000 ppm, Kuat tekan mortar dari air contoh minimum 90 % dari kuat tekan mortar yang menggunakan air suling, Khusus untuk beton pratekan, kadar Cl maksimum 50 ppm. Semua jenis air yang meragukan harus diperiksa di laboratorium.
6. Bahan Tambahan Bahan tambahan untuk beton dapat berupa bahan kimia (chemical admixtures) atau bahan mineral (mineral admixtures) yang dicampurkan kedalam adukan beton untuk memperoleh sifatsifat khusus dari beton seperti kemudahan pengerjaan, waktu pengikatan, pengurangan air pencampur, peningkatan keawetan dan sifat lainnya. Dengan digunakannya bahan tambahan tersebut diharapkan dapat membantu atau mempermudah dalam pelaksanaan pekerjaan beton dilapangan sekaligus 207
menurunkan biaya konstruksi baik dari aspek efisiensi waktu atau peningkatan mutu beton yang dihasilkan. 7. Bahan Tambahan (Mineral Admixtures)
Mineral
Bahan tambahan mineral yang telah umum digunakan misalnya Fly Ash dan Mikro Silika (Silica Fume). Bahan ini berbentuk bubukan halus (powder) dengan kandungan utamanya adalah silika yang reaktif terhadap kapur sehingga akan menangkap kapur bebas dalam adukan beton dan membentuk permukaan yang padat, kompak dan kedap air sehingga beton dengan tambahan bahan tersebut akan lebih awet karena susah ditembus oleh bahan perusak beton. Mikrosilika merupakan produk sampingan dari suatu proses industri “Silikon Metal” sebagai hasil pembakaran Quartz (>99% SiO2)dalam tungku listrik, dengan hahan pembantu charcoal berkualitas. Bila ditambahkan dalam adukan beton bubukan tersebut akan tersebar dalam pori-pori beton membentuk struktur dalam beton menjadi padat, kompak sekaligus meningkatkan daya lekat antara pasta semen dengan agregat sehingga porositas beton menjadi kecil. 8. Bahan Katalis Bekas (Residium Catalytic Cracking - RCC) Secara umum katalis diidentifikasikan sebagai zat yang dapat mempercepat laju reaksi tanpa terkonsumsi reaksi. Katalis dapat memperbesar laju reaksi karena dapat menghasilkan mekanisme baru yang mempunyai energi aktifasi yang lebih rendah dibandingkan dengan reaksi tanpa katalis, dan katalis ini tidak dapat merubah kesetimbangan termodinamika reaksi, tetapi hanya Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
mempercepat tercapainya kesetimbangan reaksi pada pengolahan minyak. Umumnya katalis dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu katalis homogen dimana semua zat yang terlibat dalam reaksi termasuk katalis berada dalam satu fasa yang sama, dan katalis heterogen dimana reaksi terjadi pada batas dua fasa. Kebanyakan katalis heterogen adalah padatan seperti halnya katalis pada proses RFCC (Resdium Fluid Catalytic Cracking) yang digunakan dalam penelitian ini. Katalis yang sudah tidak layak pakai akan digantikan secara bertahap jika sudah tidak memenuhi target proses RFCC dengan cara memasukkan fresh catalyst dan mengeluarkan sebagian katalis dalam kesetimbangan (catalyst inventory). Dengan penggantian tersebut, kadar logam dalam katalis kesetimbangan (E-CAT) akan relatif sama dari waktu ke waktu. Limbah katalis (katalis bekas) pasca perengkahan katalitik tersebut mengandung logam-logam Ni dan V dalam konsentrasi tinggi (Ni+V > 8.000 ppm berat). 9. Sifat-sifat Beton Beberapa sifat beton yang baik diantaranya harus memenuhi ; a. Kemudahan Pengerjaan (Workabilitas) Campuran beton yang mudah diaduk, dituangkan, disalurkan, dimampatkan dan diselesaikan dengan tanpa timbul pemisahan berarti mempunyai tingkat kemudahan pengerjaan yang baik. Sifat kemudahan pengerjaan ini dalam praktek dapat diamati dengan menguji kekentalannya atau kelecakannya dengan melakukan tes slump.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemudahan pengerjaan beton adalah : Jumlah relatif pasta dan agregat, Keplastisan pasta, Gradasi agregat, Bentuk dan sifat permukaan agregat, Suhu dan kelembaban udara, Dan faktor lingkungan lainnya. b. Homogenitas Keseragaman dan kekompakan adukan akan mempengaruhi masa pelaksanaan pekerjaan beton, serta beton menjadi kuat, kedap air dan stabil. Bila hal tersebut tidak dapat dicapai maka adukan menjadi segregasi yang disebabkan oleh beberapa faktor ; campuran kurus kurang semen, campuran basah terlalu banyak air, campuran kurang pasir atau filler, adanya besar butir maksimum yang terlalu banyak dari agregat, agregat kasar banyak yang berbentuk panjang dan pipih, transportasi dan pengecoran yang kurang baik, penggetaran yang terlalu lama, kurang kompaknya agregat gabungan sehingga menimbulkan bleeding. c.
Kekuatan Mutu dari beton dinilai dari keteguhannya yang dalam hal ini adalah kekuatan tekan pada umur 28 hari yang diperoleh dari pemeriksaan benda uji. Dengan diketahui kekuatan tekan, maka kekuatan lainnya dari beton 208
senantiasa dapat dihitung berdasarkan rumus empiris. Kekuatan tekan dari beton terutama dipengaruhi oleh faktor air semen dan derajat kekompakan adukan, karenanya dalam perencanaan proporsi campuran harus diperhatikan nilai faktor air semen maksimum dan jumlah semen minimum untuk kelas beton tertentu. d. Keawetan Keawetan beton merupakan fungsi dari kekedapannya, semakin kedap beton akan semakin awet karena ketahanannya terhadap serangan dari luar semakin besar berhubung sukar ditembus oleh zat-zat perusak yang dapat menimbulkan korosi pada tulangan. Beton yang kurang awet dapat ditunjukkan dengan adanya noda-noda pada permukaan, timbulnya retak-retak karena pengaruh cuaca, zat kimia atau pengaruh mekanik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keawetan beton adalah ; adanya garam sulfat dan khlorida temperatur dan kelembaban, tekanan dan gesekan oleh gelombang air laut, jenis semen dan agregat, interaksi air-semen, kadar pori-pori dan derajad kekompakan e. Kekekalan bentuk (stabilitas) Yang dimaksud dengan kekekalan bentuk disini adalah kestabilan bentuk dan ukuran selama masa perawatan dan pemakaian beton. Perubahan bentuk beton disebabkan oleh adanya perubahan volume pada keadaan tanpa beban yang disebabkan oleh adanya 209
penyusutan, kontraksi karena panas dan pengembangan. Sedangkan perubahan bentuk karena pembebanan akan menimbulkan regangan dan rangkak dan biasanya melalui proses yang cukup panjang, dan selanjutnya akan menyebabkan defleksi dan retak pada bagian-bagian tertentu. f.
Hal-hal yang mempengaruhi mutu beton Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beton antara lain; mutu bahan, proporsi campuran, cara penakaran bahan, cara pencampuran, cara pengangkutan, cara pengecoran dan pemadatan, cara penyelesaian akhir dan cara perawatan.
Untuk memperoleh beton yang kuat, padat dan stabil diperlukan proporsi yang tepat, dimana didalamnya terkandung butiran-butiran yang lengkap dari berbagai ukuran sehingga dapat saling mengisi keseluruh rongga dengan baik serta mempunyai kandungan mortar dan ultra finer yang cukup. Pengertian mortar dalam campuran beton adalah seluruh bagian yang lolos pada ayakan 2,4 mm atau mortar =
agregat lolos 2,4 mm + semen + air + udara + filer (liter/m3), sedangkan ultra
finer (butiran sangat halus) adalah seluruh partikel yang lolos ayakan 0,3 mm termasuk filer atau ultra fines =
agregat lolos 0,3 mm + semen + filler (kg/m3).
Untuk menjaga kemudahan pengerjaan dan kepadatan yang optimal kandungan Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
mortar dalam beton yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel. 1 Kandungan mortar dalam beton No 1 2 3 4
Kandungan mortar Dialirkan dg talang & 52 - 53 digetar dg frekwensi tinggi, .................... % Pengecoran dengan 54 – 55,5 pompa beton, …….. % Beton ekspose, .……. % 55,7 - 57 Beton dengan slump 56 - 58 rendah, …..……........ % Jenis pengecoran
Sedangkan kandungan ultra fines (butiran sangat halus) dalam beton yang dianjurkan seperti tabel 2 berikut. Tabel. 2 Kandungan Ultra Fines dalam Beton No 1 2 3 4 5
Ukuran agregat maksimum (mm) 10 20 25 30 63
Kandungan ultra fines (kg/m3) 525 450 425 400 325
Permasalahan lain yang harus dijaga dalam produksi beton adalah penambahan air campuran yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dilapangan, karena adanya penurunan kelecakan beton akibat pengaruh suhu udara dan lamanya proses pengangkutan sebelum ditempatkan. Bila hal tersebut terpaksa harus dilakukan, maka harus seijin tenaga ahli serta didasari perhitungan yang tepat untuk menjamin bahwa mutu beton yang akan diperoleh masih dapat memenuhi persyaratan.
METODA PENELITIAN Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda eksperimental dengan Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
melakukan pembuatan benda uji dilaboratorium dari berbagai variasi campuran (kadar RCC) dan faktor airsemen, untuk dilakukan pengujian slump, bobot isi, kadar udara, temperatur dan faktor pemadatan. Hasil penelitian dapat ditunjukkan secara langsung adanya pengaruh kadar RCC terhadap sifat beton segar yang dihasilkan. Dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran dari penelitian ini, perlu dibentuk suatu langkah-langkah yang tepat dengan diawali kegiatan inventarisasi standar atau metoda yang akan digunakan sebagai acuan pengujian. Secara umum langkahlangkah pembuatan beton dapat diuraikan sebagai berikut:
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk campuran beton meliputi pasir dari Tasikmalaya Jawa Barat, kerikil pecah dari Banjaran, semen portland Type I, air bersih Lab. Puslitbang Permukiman dan RCC dari PERTAMINA UP-IV Balongan Indramayu yang digunakan sebagai bahan tambahan untuk diamati pengaruhnya terhadap sifat-sifat beton segar yang dihasilkan. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan Laboratorium Bahan Bangunan yang meliputi mesin aduk (mixer), alat uji slump, alat uji kadar udara, alat uji faktor pemadatan, apat uji bobot isi, dan alat timbangan.
Penentuan Proporsi Campuran (Mix Design) Rancangan campuran beton dimaksudkan untuk mendapatkan proporsi yang tepat dan ekonomis. Berbagai metoda yang dapat digunakan 210
dalam penentuan proporsi campuran beton, yang pada intinya untuk mendapatkan jumlah bahan yang diperlukan dalam suatu campuran sesuai sifat-sifat yang diinginkan.
perlu dilakukan koreksi berdasarkan berat kering permukaan (SSD).
Pengadukan Campuran Beton
Dalam penelitian ini metoda yang digunakan dalam penentuan campuran beton adalah sesuai SNI No. 03-28341992 (tata cara penentuan campuran untuk Beton Normal), dengan diawali pengujian/pemeriksaan bahan baku (agregat) yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan.
Pengadukan beton sedapat mungkin dilakukan dengan mengacu pada SNI 03-3449-1994, Tata Cara Pengadukan & Pengecoran Beton, dengan sistem batch-mixing menggunakan alat aduk mekanik jenis Pan-Mixer kapasitas 200 liter. Hal ini untuk memperoleh suatu campuran yang homogen dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pemeriksaan Mutu Bahan
Beberapa ketetapan dalam pengadukan beton diantaranya adalah ;
Bahan-bahan terutama agregat yang akan digunakan dalam campuran beton harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui sifat fisis sebagai dasar perhitungan proporsi campuran. Disamping hal tersebut juga untuk memastikan apakah agregat tersebut telah memenuhi persyaratan atau perlu perbaikan mutu (treatment) sebelum digunakan. Hal ini penting untuk menghindari kegagalan yang diakibatkan rendahnya mutu bahan yang akan berpengaruh terhadap kekuatan dan stabilitas bangunan. Selain sebagai pengendalian mutu, pemeriksaan agregat juga sangat diperlukan dalam penentuan proporsi campuran (mix design), sehingga setiap sumber bahan dan jenis agregat yang akan digunakan dalam pembuatan beton mestilah diketahui terlebih dahulu kualitasnya.
Penakaran Bahan Penakaran bahan yang akan digunakan dalam campuran beton dilakukan berdasarkan berat dengan cara ditimbang sehingga ketepatannya dapat dijamin. Bila terjadi perubahan kandungan air dalam agregat, maka 211
Beton harus diaduk sedemikian rupa hingga tercapai penyebaran bahan yang merata dan semua hasil adukannya harus dikeluarkan sebelum mesin pengaduk diisi kembali, Waktu pengadukan sekurangkurangnya selama 1,5 menit dan dilanjutkan 1,5 menit berikutnya setelah semua bahan dimasukkan kedalam mesin pengaduk, Kekentalan adukan harus disesuaikan terhadap jarak pengangkutan, Perekaman data adukan yang rinci meliputi; - waktu & tanggal pengadukan, - proporsi campuran atau mutu beton yang diinginkan, - jumlah atau nomor batch.
Pengangkutan Adukan Beton
Pengangkutan campuran beton dari mesin aduk ketempat pengecoran dilakukan dengan menggunakan alat roda sorong (movebel pallet) untuk menjaga; Terjadinya segregasi, Kekentalan beton tetap terjaga dengan baik, Waktu pengangkutan tidak melebihi dari 30 menit. Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
Pembuatan Benda Uji
dan
Perawatan
Pembuatan dan perawatan benda uji dilakukan sesuai SNI No. 03-4810-1998, Tata cara Pengadukan & Pengecoran Benda Uji Beton di Laboratorium. Dalam metoda ini mencakup persiapan cetakan, pengecoran, pemadatan, serta perawatan/curing benda uji dilaboratorium sampai saat pengujian dilakukan.
Pemadatan dan Perawatan Pemadatan beton dilakukan dengan alat stick-vibrator (penggetar internal) dengan data teknis; Tipe alat: Directly connected to motor, Tenaga penggerak: motor listrik, Frekuensi penggetar: 7000/menit, Amplitudo: 0,8 mm. Diameter batang: 27 mm, Panjang batang: 500 mm.
Pengujian Beton Segar
Contoh untuk Campuran Beton Segar, SNI 03-1972-1990, Metoda Pengujian Slump Beton, SNI 03-1973-1990, Metoda Pengujian Berat Isi Beton, ASTM C-231-97, Test method for Air Content of Concrete, dan Standar lain yang sepadan.
Penambahan RCC Campuran Beton
pada
Pada tahap ini diawali dengan melakukan analisis fisis agregat yang akan digunakan, selanjutnya dilakukan penentuan proporsi campuran beton dengan beberapa variabel dan dilakukan pengujian beton segar yang dapat diuraikan sebagai berikut ;
Faktor air semen: 0,3; 0,4; 0,5; 0,6 dan 0,7. Kadar RCC: 0%; 10 %; 20 %, 30 % dan 40 % terhadap kandungan semen. Jenis pengujian: Berat isi, kadar udara, faktor pemadatan, slump & temperatur
Pengujian beton segar berdasarkan SNI 03-2458-1991, Metode Pengambilan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Residium Catalytic Cracking (RCC).
Hasil analisis kimia bahan RCC dapat disajikan dalam tabel 4 berikut; Tabel. 4 Analisis Kimia Residium Catalytic Cracking (RCC). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Parameter SiO2 FeO3 Al2O3 CaO MgO HP SO3 Pb Ni Sn Mn
Satuan % % % % % % % % % % %
Hasil Uji 24,52 0,25 64,55 2,40 0,05 2,70 0,94 1,22 0,13 0,006
Syarat ASTM C-618-97 N F C Jumlah Jumlah Jumlah SiO2+ SiO2+ SiO2+ FeO3+ FeO3+ FeO3+ Al2O3 Al2O3 Al2O3 Min 70 Min 70 Min 70 Maks 1,5 Maks 1,5 Maks 1,5 -
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Keterangan Bahan katalist RCC tersebut termasuk pozolan buatan
212
Kandungan unsur kimia dalam RCC didominasi oleh SiO2 dan Al2O3 yang dalam campuran beton diindikasikan dapat menambah reaktifitas semen, stabilitas beton dan memproduksi gas sehingga dapat menciptakan rongga udara dalam beton yang dapat meningkatkan workabilitasnya. Jumlah kandungan 3 unsur utama yaitu SiO2+ FeO3+Al2O3 lebih dari 70 %
sehingga dapat dikategorikan sebagai bahan pozolan buatan dan dapat digunakan sebagai bahan tambahan mineral pada campuran beton. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh kandungan RCC terhadap waktu pengikatan adukan semen dilakukan pengujian terhadap beberapa variasi campuran/kadar RCC yang disajikan dalam tabel 5 berikut :
Tabel. 5 Pengujian Waktu Pengikatan campuran Semen dengan RCC No
Kadar RCC
1 2 3 4 5
0% 10 % 20 % 30 % 40 %
Waktu Pengikatan (menit) awal Akhir 175 350 165 270 80 220 70 210 40 195
Dari pengujian di atas terlihat bahwa penambahan bahan RCC pada semen Portland dapat mempercepat waktu pengikatannya, hal ini diperkirakan 213
Syarat SNI.15-20491994 Awal min. 45 menit Akhir Maks. 375 menit
Keterangan
Ada kecenderungan RCC mempercepat waktu pengikatan adukan semen.
adanya pengaruh unsur alumina yang tinggi dalam RCC sehingga menyerap air adukan dan proses pengeringan menjadi lebih cepat. Dengan demikian bahan ini Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
sangat sesuai bila digunakan sebagai bahan tambahan dengan tujuan untuk mempercepat waktu pengerasan beton.
Hasil Analisis Agregat Agregat (pasir dan kerikil) yang akan digunakan sebagai bahan penelitian
dilakukan analisis terlebih dahulu untuk mengetahui kualitasnya serta sebagai dasar dalam penentuan proporsi campuran. Hasil analisis pasir dan kerikil disajikan dalam tabel 6 berikut
Tabel. 6 Hasil Pengujian Pasir dan Kerikil No 1 1 2 3 4 5 6
7
8
Jenis Pengujian 2 Kadar air, ……………… % Kadar lumpur, …..…….. % Penyerapan air, ………. % Berat jenis, ………… gr/cc Kadar zat organik, …. +/Bobot isi, - Genbur, ………….. gr/ltr - Padat, …..……….. gr/ltr Kekerasan - indeks kekerasan, …….. - Rudellof, .……………. % Gradasi, lewat komulatif 19,0 mm, ………………. % 9,6 mm, ………………. % 4,8 mm, ………………. % 2,4 mm, ………………. % 1,2 mm, ………………. % 0,6 mm, ………………. % 0,3 mm, ………………. % 0,15 mm, ..……………. % 0,074 mm, ……………. %
Hasil Pengujian
Persyaratan SNI 03-1750-1990 Pasir Kerikil 5 6 Maks.5,0 Maks.1,0 Negatif(-) -
Pasir 3 4,76 0,78 6,36 2,61 negatif
Kerikil 4 1,80 0,10 3,72 2,64 -
1.524 1.711
1.226 1.473
-
-
1,38 -
14,99
93,42 67,78 43,92 25,57 7,39 2,90 0
96,91 44,48 6,35 0
Maks. 2,2 Zone-I 100 90-100 60-95 30-715-34 5-20 0-10 0
Maks.32 (4,8-19 mm) 95-100 30-60 0-10
Mutu agregat (pasir dan kerikil) cukup baik dan memenuhi syarat SNI 03-17501990 sebagai agregat beton dengan gradasi pasir termasuk zone I dan kerikil dalam susunan 4,8 s/d 19,0 mm. (maks. 20,0 mm). Pasir cukup keras dan bersih tidak memiliki kandungan organik dan lumpur yang melebihi batas sehingga tidak akan terjadi gangguan pengikatan semen dan retak akibat penyusutan awal yang berlebihan. Kondisi ini sangat mendukung dalam analisis bila terjadi penyimpangan Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
kondisi fisis beton yang mungkin saja diakibatkan pengaruh bahan tambahan (RCC) yang digunakan.
Proporsi Campuran Beton Dalam penelitian ini digunakan beberapa variasi campuran beton dengan 2 faktorial utama yaitu faktor air-semen dan persentasi penambahan RCC dalam adukan. Secara lengkap proporsi campuran beton disajikan dalam tabel 7 berikut; 214
Tabel. 7 Proporsi Campuran Beton Kode 1 I-a I-b I-c I-d I-e II-a II-b II-c II-d II-e III-a III-b III-c III-d III-e IV-a IV-b IV-c IV-d IV-e V-a V-b V-c V-d V-e
Kadar RCC 2 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 %
Faktor Air-PC 3 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,70 0,70 0,70 0,70 0,70
Semen 4 633,0 569,7 506,4 443,1 379,8 475,0 427,5 380,0 332,5 285,0 380,0 342,0 304,0 266,0 228,0 317,0 285,3 253,6 221,9 190,2 272,0 244,8 217,6 190,4 163,2
Proporsi campuran beton dengan variasi faktor air semen mulai 0,3 sampai dengan 0,70 diharapkan dapat memberikan gambaran nilai optimum yang dapat digunakan untuk mencapai kekuatan beton struktural dan nonstruktural berdasarkan kekuatan yang dapat dicapai. Sedangkan variasi penambahan bahan RCC yang dimulai dari 0 % sampai dengan 40% diharapkan dapat memberikan nilai optimum sejauh mana bahan ini dapat digunakan berdasarkan dampak positif
215
Jumlah bahan/M3 beton (kg) RCC Pasir Kerikil 5 6 7 698,0 862,0 63,3 694,0 858,0 126,6 689,0 852,0 189,9 690,0 854,0 253,2 681,0 842,0 756,0 935,0 47,5 754,0 932,0 95,0 750,0 928,0 142,5 748,0 924,0 190,0 745,0 921,0 792,0 977,0 38,0 790,0 976,0 76,0 787,0 974,0 114,0 785,0 971,0 152,0 782,0 968,0 815,0 1008,0 31,7 814,0 1006,0 63,4 812,0 1003,0 95,1 810,0 1001,0 126,8 808,0 998,0 832,0 1029,0 27,2 830,0 1026,0 54,4 828,0 1025,0 81,6 827,0 1022,0 108,8 825,0 1020,0
Air 8 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0 190,0
yang dapat diperoleh baik dari aspek teknis, ekonomis maupun praktis.
Hasil Pengujian Beton Segar Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan RCC terhadap sifatsifat beton segar, maka dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter sesuai sasaran yang ingin dicapai seperti kelecakan (slump), suhu beton, kadar udara, faktor pemadatan, dan berat isi yang secara lengkap disajikan dalam tabel 8 berikut
Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
Tabel. 8 Hasil Pengujian Beton Segar Hasil Pengujian Kode
Kadar RCC
1 I-a I-b I-c I-d I-e II-a II-b II-c II-d II-e III-a III-b III-c III-d III-e IV-a IV-b IV-c IV-d IV-e V-a V-b V-c V-d V-e
2 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 % 0% 10 % 20 % 30 % 40 %
Fakto r air seme n 3 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,70 0,70 0,70 0,70 0,70
Slump (mm)
Suhu beton (oC)
Kadar udara (%)
Faktor pemadatan (%)
Berat isi (gr/cm3)
Suhu ruang (oC)
4 109,46 115,00 122,22 82,22 76,66 127,77 122,22 109,44 88,33 72,33 72,67 70,00 69,00 66,33 65,67 73,00 71,00 69,00 71,22 72,33 23,89 31,67 36,67 44,45 38,89
5 25,67 26,17 27,00 26,33 26,33 25,33 25,15 25,38 25,20 25,70 24,40 24,40 25,10 26,80 25,70 26,00 26,10 25,56 25,50 25,70 25,77 24,00 25,00 25,60 26,67
6 2,029 2,500 2,519 2,688 2,875 1,531 1,583 1,675 2,100 2,485 1,521 1,625 1,800 1,854 2,396 1,979 2,229 2,521 1,750 1,542 2,140 1,396 1,417 2,021 1,792
7 98,70 98,13 96,35 94,96 89,71 97,08 94,72 94,72 93,43 90,80 97,06 94,34 93,50 91,57 90,08 93,04 92,28 91,89 89,48 93,46 85,45 91,57 90,04 89,37 88,77
8 2,366 2,323 2,303 2,268 2,236 2,348 2,339 2,333 2,327 2,288 2,344 2,341 2,338 2,326 2,303 2,326 2,323 2,309 2,305 2,303 2,325 2,321 2,319 2,315 2,313
9 23,0 23,5 23,0 24,0 23,0 23,0 23,0 23,5 23,0 23,5 23,0 23,0 23,5 23,0 23,0 23,0 23,0 23,0 24,0 24,0 23,5 23,0 23,0 23,0 23,0
GBR. GRAFIK 2 HASIL PENGUJIAN PENGARUH KADAR RCC THD SLUMP DENGAN FAKTOR AIR SEMEN 0.5
74 SLUMP (mm)
72 70 68 66 64 62 0
10
20
30
40
KADAR RCC ( % )
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
216
KADAR RCC (%)
Berdasarkan hasil pengujian diatas dapat diuraikan bahwa kelecakan beton pada nilai faktor air semen rendah (0,30 s/d 0,50) akan menurun dengan bertambahnya kadar RCC, tetapi kondisi ini akan berbalik pada faktor air semen tinggi (0,60 s/d 0,70). Hal ini disebabkan pada kondisi tertentu sebagian air adukan terserap oleh bahan RCC sehingga kelecakannya berkurang. Suhu beton dari berbagai proporsi dan kadar RCC tidak memberikan perbedaan yang signifikan, dan terlihat lebih disebabkan oleh perbedaan suhu udara saat pengerjaan/pengujian beton dilaksanakan. Kandungan udara dalam adukan beton cenderung meningkat dengan bertambahnya kadar RCC dalam adukan, hal ini diperkirakan karena bahan RCC memproduksi gas sehingga menghasilkan rongga udara dalam beton sehingga semakin meningkat. Sedangkan berat isi dari beton cenderung menurun dengan meningkatnya kandungan RCC dalam adukan, hal ini seiring dengan meningkatnya kadar udara atau rongga dalam beton. 217
Demikian pula dengan faktor pemadatannya terlihat semakin menurun dengan bertambahnya kadar RCC yang disebabkan oleh semakin berkurangnya sifat kelecakan dari adukan beton sehubungan dengan adukan yang semakin kaku/stiff yang disebabkan oleh pengurangan air adukan yang terserap oleh RCC.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kimia terlihat bahwa unsur utama dari bahan Redium Catalytic Cracking (RCC) adalah silika dan alumina dengan kadar di atas 70 % sehingga dapat dikategorikan sebagai pozolan buatan.
Dengan penambahan RCC pada campuran semen dapat mempercepat waktu pengikatan sehingga dapat digunakan sebagai bahan tambahan mineral khususnya untuk beton yang diharapkan mempunyai pengerasan yang cepat seperti beton pracetak, pengerjaan beton ditempat yang lembab, dan sebagainya. Pengaruh Penambahan …. (Agus TS. & Aan S)
Keuntungan lain yang dapat diperoleh dengan penambahan bahan RCC ini adalah dapat meningkatkan kepadatannya sehingga beton menjadi lebih kompak, kedap dan awet karena semakin sulit ditembus oleh bahan perusak beton.
Berdasarkan sifat kelecakan beton, kadar RCC optimum yang dapat ditambahkan kedalam campuran beton adalah 20 % dari berat semen.
Berdasarkan hasil diatas, maka secara teknis bahan RCC dapat digunakan sebagai bahan tambahan mineral (mineral admixtures) pada campuran beton.
Selain keuntungan aspek teknis, pemanfaatan bahan tersebut diharapkan dapat membantu masalah pencemaran lingkungan yang menjadi salah satu paradigma dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Rekomendasi
Hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan penerapan langsung dilapangan baik dalam pengerjaan beton maupun produk komponen bersemen lainnya, sehingga dampak positif yang akan diperoleh dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Dalam pengembangannya perlu sosialisasi secara sistematis dan kontinue, sehingga aspek teknis seperti sifat bahan baku dan dampak lain yang akan diperoleh dapat diketahui oleh masyarakat guna menghindari kesalahan dalam pemanfaatannya.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
DAFTAR PUSTAKA
1. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung (1998), Laporan Akhir Penelitian Lanjutan Limbah Katalis Unit Proses RCC Pertamina UP.IV Balongan Jawa Barat, Bandung. 2. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung (2000), Laporan Akhir Implementasi dan Sertifikasi Pemanfaatan Katalis Bekas RCC Pertamina UP.IV Balongan Jawa Barat, Bandung. 3. A. Subagja (2000), Kajian Laboratorium Pemanfaatan Limbah Katalis RFCC sebagai Bahan Substitusi Semen Portland pada Mortar dan Beton, Bandung. 4. Hansen T.C. (1978), Manual on Concrete Mix Design and Quality Controls, Technical Report No. 21 Bandung, 5. Ulla Kjaer dan Z. Aksa (1980), Pemeriksaan Mutu Beton dan Mutu Pelaksanaan selama Pekerjaan Beton, Bandung. 6. Lanneke Tristanto (1984), Perencanaan dan Pengendalian Adukan Beton, Buku Petunjuk Pelaksanaan Beton, Bandung 7. Lasino (1997), Quality Control of Concrete Works, Bandung 8. Suhartopo (1996), Pengaruh Mortar dan Ultra Fines dalam Beton, PT. Beton Cilegon Agung, Cilegon. 9. Standar Nasional Indonesia, tentang Beton *) Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman Bandung **) Asisten Peneliti Madya Bidang Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman – Bandung ***) Ajun Peneliti Muda Bidang Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman – Bandung
218
PENGAMATAN LAPANGAN TERHADAP KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA DI BANDA ACEH, NAD Oleh : Johny Rakhman Pusat Litbang Permukiman E-mail:
[email protected]
Abstrak Bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi di Indonesia dirasakan sangat sering, bahkan untuk yang kesekian kalinya disertai dengan tsunami, seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Fenomena tumbukan tersebut terjadi secara miring sehingga menyebabkan terbentuknya patahan sepanjang 1.650 km sepanjang pantai barat Sumatera, akibatnya terjadi sesar di darat dan laut yang disebut dengan Mentawai Fault Zone. Gempa di NAD terjadi pada pukul 07.56 WIB dengan Magnitude 8,9 Skala Richter dengan Hiposentrum 20 km di laut dan Episentrum 149 km selatan Meulaboh. Bencana ini merupakan bencana yang sangat dahsyat yang pernah terjadi dalam catatan bencana Gempa dan Tsunami di Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang diperkirakan hampir 130.000 jiwa diseluruh NAD. Dampak lainnya adalah rusaknya seluruh bangunan yang berada dekat dengan pantai baik bangunan rumah tinggal, adapun bangunan lain yang rusak termasuk bangunan gedung sekolah, tempat ibadah, perkantoran dan gedung pertokoan bertingkat. Sebagai pembelajaran dalam menangani bencana tersebut telah dilakukan identifikasi kerusakan bangunan – bangunan yang terkena gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh. Bangunan yang diperiksa meliputi 14 (empat belas) gedung kantor, 3 (tiga) bangunan ibadah, 2 (dua) gedung rumah sakit, 1 (satu) gedung pasar, 1 (satu) gedung lapas, 1 (satu) gedung pertokoan, 1 (satu) bangunan menara air dan 1 (satu) gedung instalasi penjernihan air, yang masing – masing memiliki kerusakan yang berbeda-beda.
Kata Kunci : Identifikasi, Pengamatan, Kerusakan Bangunan. Abstract
Natural disaster in the form of earthquake has frequently occurred in Indonesia including the devastating tsunami that his Nanggroe Aceh Darussalam Province in December 26, 2004. The inclined sub-duction phenomenom had caused a ground shape fault Teaching 1650 km along the West Sumatera beach which formed cesar above the land and below the sea named as Mentawai Fault Zone. The magnitude of earthquake in Nanggroe Aceh Darussalam was 8,9 Richter Scale and hypocenter at 20 km then epicenter at 149 km in south Meulaboh. The disaster is considered the most severe among the earthquake and tsunami that happened in Indonesia causing 130.000 people lossed their life. Other effects were many damaged building and housing particular those located near the beach. With the purpose of learning this case is a lesson, an observation was done to identify damage caused by tsunami. Building which done observed include offices, hospital, mosque, store and water tower.
Key Word : Identification, Investigation, Building Damages. 273
Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
PENDAHULUAN Latar Belakang Bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi di Indonesia dirasakan sangat sering, bahkan untuk yang kesekian kalinya disertai dengan adanya Tsunami, seperti yang terjadi pada Tanggal 26 Desember 2004, di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, fenomena tumbukan tersebut terjadi secara miring sehingga menyebabkan terbentuknya patahan sepanjang 1.650 km sepanjang pantai barat Sumatera, akibatnya terjadi sesar di darat dan laut yang disebut dengan Mentawai Fault Zone. Gempa di NAD terjadi pada pukul 07.56 WIB dengan Magnitude 8,9 Skala Richter dengan Hiposentrum 20 km di laut dan Episentrum 149 km selatan Meulaboh, bencana ini merupakan bencara yang sangat dahsyat yang pernah terjadi dalam catatan bencana Gempa dan Tsunami di Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang diperkirakan hampir 130.000 jiwa diseluruh NAD, dampak lainnya yaitu rusaknya seluruh bangunan yang berada dekat dengan pantai baik bangunan rumah tinggal, adapun bangunan lain yang rusak kurang lebih berjumlah 54.801 rumah dan yang tersisa berjumlah 20.505 rumah, yang habis ditelan lautan Tsunami berjumlah ± 34.296 rumah, adapun bangunan lain yang rusak termasuk bangunan gedung sekolah, tempat ibadah, perkantoran dan gedung pertokoan bertingkat. Untuk mengetahui kegagalan struktur bangunan dalam memikul gaya gempa maka perlu dilakukan mengidentifikasi kerusakan bangunan – bangunan gedung yang terkena gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari kajian ini adalah identifikasi Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
kerusakan bangunan tempat tinggal, rumah ibadah, dan perkantoran pasca gempa dan gelombang tsunami di Banda Aceh. Tujuan kajian ini akan memberikan rekomendasi kondisi bangunan atau klasifikasi kerusakan bangunan pasca gempa dan gelombang tsunami.
TINJAUAN PUSTAKA Teori Gempa Berdasarkan peraturan, building code dan atau standar yang digunakan yaitu SNI 03-1726-2002, tentang Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, bahwa; Bangunan gedung harus dirancang menurut perhitungan bangunan tahan gempa yang artinya kondisi yang menjamin terwujudnya kondisi aman dan tercegahnya kondisi yang dapat menimbulkan bahaya / bencana terhadap gedung dan seluruh isinya / penghuninya beserta perlengkapan dan lingkungannya. Kondisi berbahaya tersebut antara lain disebabkan oleh : a. Kegagalan struktur, yang dapat diikuti oleh runtuhnya sebagian atau seluruh gedung. b. Tidak tersedia / berfungsinya perlengkapan dan / atau sistem penyelamat diluar dan didalam gedung untuk melancarkan upaya penyelamatan orang dan barang berharga, dalam keadaan darurat. c. Akibat bencana alam, seperti angin kencang, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya. Struktur bangunan gedung adalah bagian dari bangunan yang tersusun dari komponen struktur yang dapat bekerja sama secara satu kesatuan, sehingga mampu berfungsi menjamin kekuatan, kekakuan, stabilitas, keselamatan, dan kenyamanan gedung 274
terhadap segala macam beban (baik beban rencana maupun beban tak terduga), dan terhadap bahaya lain dari kondisi sekitarnya (misalnya : tanah longsor, intrusi air laut, banjir, getaran atau gempa). Identifikasi kerusakan komponen struktur pada bangunan yang terjadi dikelompokan menjadi : a. Kerusakan ringan struktur, adalah cacat/kerusakan/kegagalan pada komponen struktur yang tidak akan mengurangi fungsi layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur secara keseluruhan, struktur masih dalam keadaan prima atau kondisi andal. b. Kerusakan sedang struktur, adalah cacat/kerusakan/kegagalan pada komponen struktur yang dapat mengurangi kekuatannya, tetapi kapasitas layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur sebagian atau secara keseluruhan tetap dalam kondisi aman, tetapi dibawah kondisi prima, atau disebut kurang andal. c. Kerusakan berat struktur, adalah cacat/kerusakan/kegagalan pada komponen struktur yang dapat mengurangi kekuatannya, sehingga kapasitas layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur sebagian atau secara keseluruhan dalam kondisi tidak aman, atau disebut tidak andal. Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung (Dirjen Cipta Karya) Metoda ini diterapkan untuk pemeriksaan berbagai jenis bangunan gedung yaitu : Bangunan Lama ; Terhadap bangunan yang sudah berdiri dan sedang dipakai, tetapi diragukan 275
keandalannya, baik dikarenakan faktor umur dan atau terkena suatu bencana, misalnya terbakar atau terlanda gempa, maka pelaksanaan pemeriksaan keandalan diatur sebagai berikut : - Disarankan untuk diperiksa, bila tingkat kerusakan bangunan dan atau kondisi sistem utilitasnya meragukan walaupun diperkirakan tidak membahayakan - Diwajibkan untuk diperiksa, bila tingkat kerusakan bangunan dan atau kondisi sistem utilitasnya sudah tidak berfungsi secara baik dan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan gedung beserta isinya. Ketentuan teknis meliputi sasaran pemeriksaan, nilai dan tingkat keandalan, tipe dan bahan struktur. Sasaran pemeriksaan dari segi struktur adalah : a. Sistem struktur b. Bahan struktur c. Keselamatan struktur d. Keruntuhan bangunan Perkembangan Standar Penentuan Kerusakan Bangunan Gedung di Jepang Pada gempa Tokachi-oki tahun 1968 di Jepang, beberapa gedung sekolah digunakan kembali setelah dilakukan pekerjaan perbaikan dan restorasi. Juga setelah gempa Miyagi–ken-oki tahun 1978, dimana terhitung banyak bangunan yang diperbaiki dan direstorasi, “Panduan Perencanaan Perbaikan untuk Bangunan yang telah berdiri” (Repair Guidelines for Existing Building) belum juga selesai disusun. Tetapi pada kesempatan tersebut juga dikembangkan suatu panduan teknik untuk menentukan derajat kerusakan dan restorasi bangunan rusak. Proyek ini dipimpin oleh Kementerian Konstruksi Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
Jepang dari tahun 1981 sampai tahun 1985. Hasilnya adalah “Panduan Teknik untuk Bangunan Rusak” (Technical Guidelines for Damage Building) untuk konstruksi beton bertulang, baja dan kayu yang dapat digunakan secara luas oleh arsitek, insinyur dan teknisi. Kerangka Standar Penentuan Tingkat Kerusakan untuk Bangunan Beton Bertulang (Damage Degree
Decision Standard for Reinforced Concrete Building)
Isi dari Standar Penentuan Tingkat Kerusakan untuk Bangunan Beton Bertulang adalah untuk menentukan tingkat resiko darurat, dimana dilakukan dengan memeriksa keamanan pada bangunan yang baru diguncang oleh gempa. Sedangkan Metoda Penentuan Klasifikasi Tingkat Kerusakan dimaksudkan untuk menilai kebutuhan Perkuatan yang diperlukan. 1. Dua metoda penentuan ini dapat diaplikasikan pada struktur rangka beton bertulang atau struktur dinding beton bertulang, bangunan struktur beton prategang, pracetak dan dinding tembokan bertulang. 2. Penentuan tingkat resiko darurat diluar kerusakan struktur dan termasuk kemungkinan bahaya jatuhnya atau tergulingnya elemen bangunan harus di klasifikasi sebagai tingkat A, B dan C dimana pada bangunan dengan tingkat C adalah dalam kondisi berbahaya sehingga dilarang masuk kedalam gedung dan dilakukan pengukuran yang teliti. 3. Penyelidikan untuk penentuan darurat suatu gedung harus dilakukan dari mulai tampak luar (untuk bangunan umum, interior pun harus diselidiki) dengan memperhatikan tiga hal sebagai tingkatan kerusakan sistem struktur Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
yaitu, kemiringan total, penurunan pondasi gedung dan hasil tertulis penyelidikan dari standar yang berlaku. 4. Pada penentuan klasifikasi tingkat kerusakan harus dilakukan penyelidikan mengenai penurunan bangunan, kemiringan geometris bangunan, kerusakan rangka struktur dan kerusakan diklasifikasi dalam 5 katagori, yaitu Kerusakan yang tidak mempengaruhi struktur, Kerusakan ringan, Kerusakan sedang, Kerusakan berat dan Runtuh. Juga untuk perbaikan dan perkuatan atau diruntuhkan harus berdasarkan pada pengalaman dan perkiraan intensitas gempa. 5. Penyelidikan tingkat kerusakan pada rangka struktur untuk kebutuhan klasifikasi penentuan kerusakan harus dilakukan pada lantai dengan kerusakan kolom terbanyak dan harus ditentukan kemungkinan terguling dan jatuhnya elemen struktur.
METODE PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah pengamatan lapangan yang diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Pengukuran kualitatif dengan menggunakan check list yang telah disiapkan, pengambilan dokumen gambar dan foto. Pemeriksaan secara kuantitatif, yaitu; pengujian bahan beton, pengukuran bangunan, komponen struktur dan dimensi tulangan. Data-data yang diperoleh dari lapangan tersebut, dievalusi berdasarkan juknis penilaian kerusakan bangunan akibat gempa, dengan acuan kriteria yang telah ditentukan. Prosedur berikutnya adalah 276
menyimpulkan atau memberikan klasifikasi kondisi bangunan tempat tinggal/tempat ibadah/sekolah dan perkantoran yang mengalami kerusakan. Bangunan yang diklasifikasikan rusak sedang yang masih mungkin diperbaiki, akan dibuatkan disain perbaikan atau perkuatan yang memenuhi syarat teknis. Disain tersebut dilengkapi dengan perkiraan jenis pekerjaan utama yang diperlukan.
Bangunan yang diklasifikasikan rusak berat atau direkomendasi untuk dirobohkan, akan dibuatkan oleh tim disain pembangunan setempat yang disesuaikan dengan alokasi dana yang ada. Secara teknis disain tersebut harus memenuhi syarat teknis yang ada. Kriteria yang digunakan dalam menentukan tingkat atau klasifikasi kerusakan bangunan dan tindakan yang dianjurkan dapat dilihat selengkapnya pada tabel berikut ini;
Tabel-1 : Klasifikasi Kerusakan dan Tindakan yang Dianjurkan No.
Kategori Kerusakan
Kerusakan Yang Terjadi
I
Non-Struktur
Dinding retak halus, Plesteran berjatuhan sedikit sedikit Dinding retak kecil, plesteran banyak berjatuhan, plafond & listplank rusak, kemampuan struktur untuk memikul beban tidak berkurang banyak. Dinding retak besar dan menyebar luas, retakan terjadi juga pada dinding pemikul beban, kolom dan balok, kemampuan struktur untuk memikul beban berkurang. Dinding pemikul beban terbelah dan runtuh. Kegagalan unsurunsur pengikat menyebabkan bangunan terpisah, 50 % unsur elemen struktur utama rusak, bangunan menjadi sangat berbahaya. Sebagian besar atau seluruh bangunan runtuh.
II
Rusak Ringan
III
Rusak Sedang
IV
Rusak Berat
V
Rusak Total/ Runtuh
Lingkup Kegiatan Pengamatan Urutan pekerjaan diatas dapat disusun sebagai berikut : pemeriksaan bangunan, penelusuran dokumen gambar asBuilt Drawing, pengukuran bangunan, pengukuran dimensi komponen struktur, pengukuran dimensi tulangan,
277
Tindakan Yang Dianjurkan Perbaikan kosmetik arsitektural. Perbaikan arsitektural.
atau
Perbaikan dan atau perkuatan struktur.
Bangunan diroboh-kan atau dilakukan restorasi, diperbaiki serta diperkuat seca-ra menyeluruh.
Bersihkan lokasi dan bangun kembali.
pemeriksaan kerusakan yang terjadi, dan pengisian check list yang telah disiapkan, dan pembuatan sket gambar, pengambilan gambar atau foto, pengumpulan seluruh data lapangan, evaluasi hasil data lapangan, rekomendasi tindak lanjut, sosialisasi kepada masyarakat desa dan aparat pemda
Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
Sifat-sifat Perbaikan Sifat perbaikan yang akan dilakukan meliputi; A. Perbaikan Arsitektural yang meliputi; menutup retak-retak pada tembok dan plesteran, memperbaiki pintu-pintu jendela, memperbaiki instalasi listrik, pipapipa dan saluran sanitasi, memasang kembali dinding pemisah atau pagar yang roboh, membetulkan penutup atap, mengecat ulang. B. Perbaikan Struktural, adalah perbaikan struktur yang rusak kembali ke kekuatan semula. Pekerjaan ini meliputi; injeksi semen non-shrinkage ke celah-celah komponen kolom, balok, pelat lantai yang mengalami retak sampai 2-3 mm. Mengganti tulangan utama yang telah leleh, mengganti tulangan sengkang yang terlepas atau putus pada balok maupun kolom dan kemudian mengecor kembali. Membongkar bagian dinding yang retak dan terbelah dengan dinding yang baru dan dijangkarkan pada portalnya.
C. Perkuatan Struktural, adalah perbaikan struktur bangunan dengan meningkatkan kekuatan struktur awalnya. Pekerjaan yang termasuk ini meliputi; menambah struktur kolom, balok dan lainnya yang dapat meningkatkan kekuatan aksial maupun lateralnya, menggabungkan dan atau mengikatkan komponen struktur kolom dengan balok pengikat sehingga meningkatkan kekuatan atau kekakuan lateralnya, memperbaiki detail-detail tulangan terutama pada daerah sendi plastis untuk meningkatkan daktilitas strukturnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penilaian kondisi seluruh bangunan diperoleh sesuai dengan metoda yang telah baku, dengan cara pengamatan visual dan uji palu beton yang disesuaikan dengan acuan penilaian kualitatif dan pengukuran secara langsung yang bersifat kuantitatif, sesuai dengan pemeriksaan dan evaluasi dilakukan pada rumah tinggal, tempat ibadah, sekolah dan perkantoran. Seluruh hasil pemeriksaan dan evaluasi dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel -2 : Analisis, Pemeriksaan, Pengamatan dan Pengukuran Rumah Tinggal No 1
Nama Bangunan Bangunan Kantor Sumber Daya Air Alamat : Jln. Ir Moh. Taher 18 Banda Aceh.
Keterangan
Rusak Ringan, pada
hubungan lantai bangunan baru dengan balok bangunan.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Tampak Visual/Uji Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan uji non-destruktif, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor SDA PU, diakibatkan karena pertemuan struktur baru dan lama kurang sempurna, sehingga akibat dari kerusakan itu, terjadilah penurunan pada balok dan plat cantilever yang tertumpu pada kolom selebar 7 cm, sedangkan hasil uji palu beton pada permukaan balok dan pelat lantainya menunjukkan bahwa, permukaan beton terpasang berdasarkan uji Hammer Test menunjukan kuat tekan minimum 300kg/cm2 , artinya kualitas beton terpasang memiliki mutu baik.
278
No 2
Nama Bangunan Bangunan Rumah Sakit Umum Zainal Abidin Alamat Jln. Moh. Daud Beureuh
3
Bangunan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh Alamat: Jln.Moch. Yani-Jln Cut AU-Jln Teuku Cik Pantekulu.
4
Bangunan Dinas Praswil, Banda Aceh Alamat : Jln. Jenderal Sudirman 1,
Keterangan
Tampak Visual/Uji
Rusak Ringan, Secara keseluruhan struktur dalam kondisi baik dan laik huni.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan Rumah Sakit pasca gempa dan tsunami, yaitu adanya kerusakan pada dinding pasang yang mengalami retakan – retakan rambut pada sebagian dinding ruangan perawatan, yang diakibatkan oleh gaya geser gempa yang cukup kuat, akibat dari kerusakan ringan ini sering terjadi pada bangunan – bangunan lain pada umumnya, namun untuk struktur beton bertulang terpasang masih memiliki kondisi yang sangat baik. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan mesjid raya Baiturrahman, diakibatkan karena pertemuan struktur kolom baru dan lama (delatasi) yang ditutup dengan plester, sehingga akibat dari gaya geser gempa mengakibatkan kerusakan pada bagian sambungan yang ditutup plester, pada umunya struktur bangunan mesjid Baiturrahman masih kokoh. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan uji non-destruktif, bahwa ada satu bangunan dalam kondisi rusak berat yaitu terjadi pada bangunan pemeliharaan jalan, diakibatkan karena dimensi kolom yang terlalu kecil serta bukaan jendela yang terlalu besar, sehingga kerusakan yang terjadi mempunyai tipe yang sama yaitu pada tengah – tengah kolom bagian luar bangunan, dan hasil uji palu beton pada permukaan kolom menunjukkan bahwa, permukaan beton terpasang berdasarkan uji Hammer Test menunjukan kuat tekan rata-rata 150 kg/cm2 , artinya kualitas beton terpasang memiliki mutu rendah.
Rusak Ringan, Retakan yang terjadi pada delatasi kolom merupakan retakan pada adukan yang berfungsi sebagai bahan pengisi celah delatasi. Rusak Ringan, pada Gedung Subdin Program & Proyek P3DJ:
Rusak Ringan , pada Gedung Penelitian dan Pengembangan
Rusak Berat, pada Gedung Subdin Pengembangan Jalan 5
Gedung Keuangan Negara
Rusak Ringan pada Bangunan Utama
Alamat : Jln. Tgk H.
Rusak Sedang pada Bangunan sayap kanan,
Moch Daud Beureueh ( 5 km, dari pantai)
6
Peninjauan Gedung Negara PLN (Persero)
Rusak total/Runtuh pada Bangunan Sayap kiri. Rusak Ringan pada ampig.
Alamat: Jln. Tgk. H
Moch Daud Beureueh, 172. ( 5 km, dari pantai) 7
279
Gedung Kantor Gubernur NAD Alamat : Jln. Tku Arief Daud Beureuh
Rusak Ringan pada: Bang Utama: 2 Lantai
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan berat dan runtuh total yang terjadi pada bangunan kantor Keuangan Negara, diakibatkan karena dimensi struktur kolom terlalu kecil, sedangkan beban yang dipikul sangat berat, maka pada saat goncangan gempa terjadilah runtuh total seluruh bangunan pada sayap kiri. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor PLN, diakibatkan karena pertemuan struktur kolom praktis dan ring balok untuk ampig dinding pasangan bata tidak sempurna, maka ampig tersebut terguling jatuh bagian depan bangunan tersebut, untuk struktur beton terpasang tidak mengalami kerusakan, sehingga bangunan masih tetap berdiri dengan kokoh. 1. Keretakan yang terjadi pada dinding pasangan (non-struktural) diakibatkan oleh adanya transfer pergerakan dari simpangan kolom (arah vertikal-horizontal), dan tidak mampu
Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
No
Nama Bangunan (Daerah dataran 4km dari pantai barat)
8
Perumahan Penduduk
Keterangan Bang. Sayap kiri, 3 lantai Bang. Sayap kanan, 3 Lantai
Rusak Ringan
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa kerusakan sedang dan berat yang terjadi akibat gempa tidak ditemui, rusak ringan terjadi hanya retak-retak rambut pada dinding pasangan bata.
Struktur Rusak Berat pada
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan uji non-destruktif, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan PKK, diakibatkan karena dimensi struktur kolom terlalu kecil serta pertemuan kolom dan balok yang tidak sempurna, mengakibatkan rusak berat pada kolom – kolom bagian basement, sedangkan hasil uji palu beton pada permukaan kolom beton terpasang menunjukkan bahwa, permukaan beton terpasang berdasarkan uji Hammer Test menunjukan kuat tekan minimum 225 kg/cm2 , artinya kualitas beton terpasang memiliki mutu sedang.
Rusak Ringan, pada Gedung DPRD untuk komponen bangunan non-struktur yang mengalami retak-retak.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan ruang Sidang DPR bagian belakang, diakibatkan karena pertemuan struktur balok listplank selasar dengan kolom utama kurang sempurna, sehingga akibat dari kerusakan itu terjadilah pergeseran posisi selasar ± 3 cm, yang mengakibatkan pecahnya plester pada kolom beton, sedangkan struktur beton terpasang lainya masih dalam kondisi baik. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor Asuransi Takaful, diakibatkan karena terlalu langsingnya dimensi kolom terpasang, sehingga setiap pertemuan struktur kolom dan balok terjadi patah pada lantai tiga keatas, sedangkan lantai dua kebawah strukturnya masih dalam kondisi baik.
Alamat : Kawasan Jln. Pari-pari 9
Gedung Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jl. T. Hamzah Bendahara 4
10
Gedung DPRD Propinsi NAD Jl. Tgk. H. M. Daud Beureu-eh
11
Gedung Asuransi Takaful Jl. Tgk. H. M. Daud Beureu-eh
12
Gedung Dinas Pendidikan Jl. Tgk. H. M. Daud
Tampak Visual/Uji ditahan oleh dinding tersebut, namun sebagian dinding masih mampu bertahan pada kedudukannya. Dinding pada bagian yang retak dapat diperbaiki dengan mebongkar bagian yang retak kemudian dipasang kembali dengan pasangan yang baru. 2. Retakan pada kolom struktur merupakan kerusakan yang terjadi akibat gaya geser diakibatkan gaya gempa. Retak rambut yang terjadi pada kolom dapat diperbaiki dengan mengisi kembali retakan tersebut dengan cara grouting (dengan cara compress) yang dapat mengisi rongga retakan secara padat. Sedangkan kerusakan pada join kolom-balok dapat diperbaiki kembali sepeti keadaan semula.
Kolom basemen yang mengalami geser pada bagian join kolom balok dan pada bagian bawah kolom-sloof.
Rusak Berat, pada Gedung Asuransi yang terdiri dari enam lantai, bagan atas (lantai 4 – 6).
Rusak Ringan, pada Gedung yang terdiri dari 2 lantai, yaitu pada salah satu ampig.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor Dinas Pendidikan, diakibatkan karena pertemuan struktur kolom praktis dan ring balok pada dinding
280
No
Nama Bangunan
Keterangan
Beureu-eh 22
13
Gedung Dinas Perhubungan Jl. T. Bendahara
14
Hamzah
Gedung Bank Indonesia Jl. Cut Meutia
15
Gedung Polda Jl. Cut Meutia
Secara keseluruhan bangunan tidak mengalami kerusakan.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa pada bangunan kantor Dinas Perhubungan, pasca gempa dan tsunami tidak mengalami kerusakan yang signifikan.
Rusak Ringan, terjadi retak rambut pada dinding.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan Bank Indonesia, terdapat kerusakan retak-retak rambut pada bagian dinding pasangan bata, sedangkan pada struktur betonnya tidak mengalami kerusakan.
Rusak Ringan, pada struktur pelat lantai di ruang Binjas dan ruang Mindok.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan kantor POLDA, diakibatkan karena terlalu beratnya arsip pada ruang pengarsipan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan pada pelat lantai balok, karena tidak kuatnya memikul beban diatasnya yang terus bertambah, sedangkan struktur lainya masih dalam kondisi baik.
Rusak Sedang, pada Masjid POLDA : 16
Gedung Instalasi Pengolahan Air Bersih – Tirta Daroy Jl. Lambaro
17
Bangunan Pasar Ikan Penayung Jl. Penayung
18
Puskesmas DAM Jl. H. Dinurtala
19
Gedung Lembaga Pemasyarakatan
Rusak Sedang, pada Konstruksi saluran beton dari kolam aerasi menuju saringan terjadi retak dan bocor pada sambungan antara bangunan lama dengan bangunan baru.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan Instalasi Air Bersih, diakibatkan karena pertemuan struktur balok baru dan lama kurang sempurna, sehingga akibat dari kerusakan itu, terjadilah pergeseran posisi, yang mengakibatkan bocornya air bersih, sedangkan struktur beton lainya masih dalam kondisi baik.
Rusak Ringan, pada beberapa komponen non-struktur seperti pasangan dinding bata.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan PASAR IKAN PENAYUNG (2 LANTAI), Kerusakan pada kolom dasar bagian depan diakibatkan tidak mampu menahan gaya gempa yang mengakibatkan retak geser pada kolomnya. Sedangkan bagian dinding pasangan dan pada bagian join dengan kolom mengalami retak, diakibatkan oleh simpangan pada saat gempa terjadi.
Secara umum kondisi bangunan baik struktur dan non-struktur masih baik.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bahwa kerusakan yang terjadi pada bangunan Puskesmas DAM (1 lantai) merupakan bangunan lama, Tidak terjadi kerusakan dalam kondisi laik untuk digunakan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada bangunan Lembaga Pemasyarakatan (LP), Kondisi rusak total dan bangunan seluruhnya roboh.
Rusak Total.
Jl. Cut Meutia 20
281
Tampak Visual/Uji ampig pasangan bata kurang sempurna, sehingga akibat dari kerusakan itu, ampig pasangan bata terguling jatuh, sedangkan struktur beton lainnya dalam kondisi baik.
Kantor Perkim dan Perkotaan
Rusak Ringan
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada Bangunan Gedung Perkim dan Perkotaan, Tidak
Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
No
Nama Bangunan
Keterangan
Jl. Pemancar 21
Gedung Kantor Walikota
Rusak Ringan
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada Bangunan Gedung Walikota, Tidak terjadi kerusakan pada struktur bangunan. Kerusakan ringan terjadi pada bagian non-struktural dibeberapa tempat seperti pada dinding pasangan terjadi retakan (rusak ringan), dan terjadi penurunan pada lantai dasar bagian depan dan belakang.
Rusak Ringan
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada Bangunan Menara Air, Tidak terjadi kerusakan pada struktur bangunan. Kerusakan terjadi pada dinding bangunan bawah (tambahan) mengalami retakan besar yang diakibatkan oleh berat beban atap, sehingga kolom tidak mampu memikul beban diatasnya. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada Bangunan Mesjid Baiturrahim, Tidak terjadi kerusakan pada struktur bangunan. Kerusakan terjadi pada dinding pasangan ( tebal satu-bata), diakibatkan tidak menggunakan kolom struktur (beton bertulang).
Jl. Taman Sari
22
Menara Air Jl. Taman sari
23
Mesjid Baiturrahim
Rusak Sedang
Jl. Uleu leuh
24
Gedung Kantor RRI
Tampak Visual/Uji terjadi kerusakan pada struktur bangunan. Beberapa bagian seperti jendela, pintu dan kaca rusak akibat limpahan air gempa Tsunami.
Rusak Ringan
Jl. Uleu leuh
Pembahasan dan Perencanaan Perbaikan Umum Pada kondisi bangunan yang masih efisien untuk diperbaiki, dilakukan perbaikan dan perkuatan sehingga bangunan dapat dimanfaatkan kembali dengan struktur dan konstruksi yang memenuhi syarat bangunan tahan gempa. Sedangkan pada bangunan yang telah runtuh atau dengan tingkat kerusakan yang sudah tidak efisien lagi jika diperbaiki, maka dilakukan pembangunan baru dengan kaidah struktur yang memenuhi syarat bangunan tahan gempa. Untuk bangunan yang direkomendasi untuk Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan pada Bangunan Kantor RRI, Tidak terjadi kerusakan pada struktur bangunan (Kolom,Balok, dan Plat Lantai), kecuali pada tangga lantai dasar terjadi retak rambut pada bagian sisi anak tangga. Beberapa bagian dari kaca jendela dan kaca penerangan pecah.
dirobohkan, sedangkan desain pembangunan diusulkan oleh pengurus bangunan ibadah, maka tim menilai dari segi kelayakan secara teknis memenuhi persyaratan, selain itu menilai kelayakan biaya, agar tidak melebihi dana yang telah direncanakan. Fisik bangunan yang dilaksanakan hanya sebatas alokasi dana yang tersedia dan diusahakan agar komponen srtukturalnya dapat selesai dibangun.
Rumah Tinggal Rusak Ringan Ketika terjadi gempa bangunan rumah tinggal mengalami rusak ringan berdasarkan pengamatan langsung dilapangan, gejala yang terjadi pada bangunan yaitu adanya retakan – 282
retakan kecil pada bagian non strukturalnya, seperti pada dinding pasang bata, sedangkan strukturnya tetap utuh tanpa retakan sedikitpun. Bangunan seperti ini dapat diperbaiki dengan cara seperti berikut : Retakan
dipasang sengkang, kemudian pada pertemuan kolom dan balok ditambah tulangan horisontal yang menghubungkan balok bagian dalam dan luar. Pada kolom juga dipasang tulangan angker diameter 10 mm panjang 50 cm, pada kedua sisinya untuk mengikat pasangan bata. Detail perbaikan dapat dilihat pada gambar perbaikan. Balok
Ram Kawat
Kolom utama lantai satu
Dinding Pasangan Tulangan asli
Gambar-1 : Cara memperbaiki kerusakan pada dinding pasangan bata
Langkah Pertama:
Kupas/bobok tebal plester pada bagian yang retak selebar 10 cm ke atas dan ke bawah hingga permukaan bata terlihat, kemudian siram dengan air agar tidak ada serbuk plester.
Langkah Kedua:
Pasang ram kawat sesui dengan alur retakan, kemudian gunakan paku kecil untuk menempelkannya pada pasangan bata.
Langkah Ketiga:
Buat campuran mortar untuk digunakan sebagai pengisi plester yang telah diberi ram kawat dengan ukuran 1 pc : 5 pasir pasang.
Langkah Keempat:
Lakukan seperti plesteran dinding biasa dengan merata dan padat.
Kolom Beton Rusak Sedang Kolom beton perlu dikupas sampai terlihat betonnya, dipasang tulangan tambahan dilas pada tulangan lama, 283
Tulangan tambahan
Stager/peno pang
Beton lama asli Beton tambahan
Gambar-2 : Cara perbaikan pada struktur kolom yang mengalami rusak sedang
Tahapan pekerjaan perbaikan kolom utama lantai dua ; a. tegakkan kolom dengan menarik kearah dalam gedung, b. kupas selimut beton sampai tulangan utama terlihat, c. pasang tulangan tambahan disekitar kolom yang telah dikupas, d. buat bekisting untuk ngecor beton yang baru, e. cor beton baru sebagai selimut dan berfungsi sebagai perkuatan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisa dan pembahasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kerusakan yang terjadi pada Pengamatan Lapangan … (Johny Rakhman)
beberapa bangunan akibat gempa disebabkan oleh : 1. Bangunan yang didirikan tidak mengikuti kaidah/persyaratan perencanaan bangunan tahan gempa, seperti dimensi penampang kolom/balok, penulangan, mutu beton, dsb. ; 2. Perencanaan lantai dasar atau basement tidak ada dinding pemikul (ruang kosong / terbuka), yang mengakibatkan perlemahan pada konstruksi bangunan ; 3. Join pada kolom-balok terjadi pemisahan campuran bahan, yang diakibatkan kesalahan pada saat pelaksanaan pengecoran. 4. Tulangan geser sengkang tidak terpasang dengan baik, dengan jarak sengkang yang terlalu renggang ; 5. Join dinding pasangan dengan kolom tidak menggunakan angker ; 6. Ampig yang menggunakan dinding pasangan, tidak menggunakan kolom dan balok struktur ; 7. Bangunan-bangunan rumah yang mengalami rusak total dan roboh, banyak diakibatkan oleh gelombang tsunami, yang berjarak 4 km dari sepanjang pantai barat.
Saran Dari kesimpulan diatas dapat ditarik beberapa saran sebagai berikut : Dalam perencanaan dan pelaksanaan mendirikan bangunan atau gedung harus berpedoman pada syarat-syarat yang telah tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan, antara lain : - Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002); - Tata Cara Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung (SNI 03-1727-2002); Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
- Tata Cara Pelaksanaan Mendirikan Bangunan Gedung (SNI 03-17281989) ; Lembaga pemberi izin mendirikan bangunan (IMB) setempat, harus memeriksa terlebih dahulu dan menyetujui setiap perencanaan pembangunan bangunan yang sesuai dengan kaidah struktur dan konstruksi bangunan tahan gempa; Pelaksanaan pekerjaan terutama yang menyangkut pekerjaan struktur pada bangunan, harus diawasi oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan menguasai persyaratan-persyaratan yang berlaku untuk mendirikan bangunan ; Balitbang Departemen Pekerjaan Umum dapat dilibatkan dalam memberikan advis teknik yang berupa: - Verifikasi disain perbaikan dan pembangunan ; - Pengawasan dalam pelaksanaan perbaikan dan pembangunannya.
DAFTAR PUSTAKA 1. Johnny Rakhman, 2004, Laporan Identifikasi Bangunan Gedung Kantor dan Rumah Pasca Gempa dan Tsunami di Banda Aceh, NAD. 2. SNI-03-1726-2002, Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung. 3. Neil Morris, 2002, Bencana Alam Gempa Bumi diseluruh Dunia. 4. Teddy Boen, 1994, Manual Perbaikan Bangunan yang Rusak Akibat Gempa Bumi Lampung Barat. 5. IAEE Committee on Non-Engineered Construction, 1986, Guidelines for Earthquake Resistant NonEngineered Construction.
284
PEMANFAATAN LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT UNTUK PAPAN SERAT SEMEN Oleh : Andriati Amir Husin Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40394 Tlp. 022-7798393 Fax 022-779 8392
Abstrak Pada tahun 1974 jumlah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang dihasilkan oleh industri perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah 1,9 juta ton berat kering atau setara dengan 4 juta ton berat basah. Diperkirakan jumlah tandan kosong kelapa sawit akan meningkat menjadi 9,9 juta ton berat basah pada tahun 2005 (Nuryanto). Pemanfaatan TKKS sebagai sumber bahan bangunan memberikan banyak keuntungan, disamping sumber bahan baku TKKS yang tersedia setiap saat juga keberadaan TKKS sudah terkumpul di PKS (pabrik kelapa sawit). Hal ini akan memberikan nilai tambah terhadap TKKS dan secara keseluruhan akan meningkatkan daya saing serta efisiensi PKS. Pada penelitian ini akan dibuat papan serat semen dengan campuran tiga bagian semen portland dan satu bagian serat TKKS. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor A adalah umur pengujian yaitu 14 hari dan 28 hari, sedangkan faktor B adalah jenis perlakuan pendahuluan. Dari hasil penelitian ternyata kuat lentur yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan, hal ini disebabkan karena mesin pres yang digunakan untuk pembuatan contoh uji tidak dapat mencapai tekanan sebesar 25-30 kg/cm2.
Kata kunci : Tandan kosong kelapa sawit, papan serat semen Abstract
In 1974 the national palm plantation industry was recorded to produce 1.9 million tons of empty palm bunches in dry weight or equivalent to 4.0 million tons in wet weight. They were estimated to substantially increase in wet weight to 9.9 million tons by 2005. The use of empty palm bunches as construction material has advantages in the sense that they have been available at any time at any palm plantation sites. These would added value to empty palm bunches and in the aggregate they could make competitiveness and efficiency of plantation site improved. This research primarily deals with the use of empty palm bunches as the component of cementious fiber boards with samples consisting of three parts of cement and one part of palm fiber. The mix design applied in the research is a two factor complete random mixture. The factor A is the age of samples being tested that is 14 and 28 days while factor B is the preliminary treatments on fiber. The research shows that the bending strength of samples do not meet the requirement, because the pressure of press machine for making samples could not reach 25-30 kg/cm.
Key word : Empty palm bunches, cementious fiber board
219
Pemanfaatan Limbah … (Andriati AH)
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan informasi dari pihak perkebunan kelapa sawit, bahwa tanaman kelapa sawit mempunyai umur efektif tertentu dalam menghasilkan buah yang berimbas pada produksi minyak, yang selanjutnya tanaman tersebut perlu untuk diremajakan. Pada proses pengolahan kelapa sawit di pabrik minyak kelapa sawit juga menghasilkan berbagai limbah yang cukup berlimpah antara lain tandan kosong kelapa sawit, serat buah, tempurung kelapa, abu dan sebagainya. Limbah tersebut bila tidak dimanfaatkan lebih lanjut akan menimbulkan permasalahan baru bagi industri minyak kelapa sawit yang selama ini pemanfaatannya masih belum optimum. Menurut Dirjen Perkebunan pertambahan areal kelapa sawit ratarata mencapai 15.000 Ha/tahun pada tahun 1967-1982. Bila diasumsikan luas areal yang diremajakan sama dengan pertambahan luas areal kelapa sawit 25 tahun sebelumnya, maka pada tahun 1992-2007 diperkirakan ada sekitar 1,7 juta pohon yang ditebang setiap tahun atau setara dengan 0,85 juta ton kayu kering. Pada tahun 1983-1990 pertambahan areal rata-rata mencapai 100.000 Ha/tahun, sehingga pada tahun 2008-2015 jumlah pohon yang ditebang mencapai 11,7 juta per tahun atau setara dengan 5,85 juta ton kayu kering (Prayitno dan Darnoko).
Maksud dan Tujuan Melakukan penelitian pembuatan papan serat semen dari bahan tandan kosong kelapa sawit dengan berbagai jenis perlakuan pendahuluan terhadap serat TKKS yang akan digunakan. Memberi masukan bagi pihak terkait dalam Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
penanggulangan limbah industri kelapa sawit.
Manfaat
Memanfaatkan limbah industri kelapa sawit sebagai bahan bangunan alternatif; Kemungkinan berdirinya usaha kecil yang memproduksi elemen bangunan sehingga dapat mengurangi pengangguran; Memberikan nilai tambah bagi pengelola limbah sebagai sumber usaha baru.
TINJAUAN PUSTAKA Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah industri perkebunan kelapa sawit yang banyak mengandung serat. Sehingga produk-produk yang berbasis serat seperti pulp dan kertas dapat memanfaatkan TKKS sebagai bahan bakunya. Serat TKKS pun dapat berfungsi sebagai agregat, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan beton. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit juga diikuti oleh dampak negatif terhadap lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, padat dan gas dari kegiatan kebun dan PKS. Untuk itu tindakan pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan perkebunan kelapa sawit dan PKS harus dilakukan dan sekaligus meningkatkan dampak positifnya. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan perundangundangan saja tetapi perlu juga didukung oleh pengaturan sendiri secara sukarela dan pendekatan instrumeninstrumen ekonomi. Pengaturan seperti ini dikenal sebagai mixed policy tools (Darnoko,2002). Menurut Darnoko, produksi bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu 220
diterapkan secara terus menerus pada produksi dan daur hidup produk-produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. Biro Pusat Statistik mengatakan bahwa luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 di seluruh Indonesia mencapai 4,1 juta Ha dimana luas tanaman yang menghasilkan sebanyak 2,6 juta Ha. Untuk satu hektar kebun kelapa sawit dapat ditanam kelapa sawit antara 150-170 pohon. Pohon kelapa sawit dapat dipanen pada umur 3-4 tahun dimana setiap pohon mengandung 6 tandan buah. Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan / tahun. Untuk tanaman yang semakin tua produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama berat tandan sekitar 3-6 kg, tetapi semakin tua berat tandan bertambah yaitu 25-35 kg. Berdasarkan pengalaman di lapangan, limbah yang dihasilkan dapat berupa tandan kosong sawit, serat dan cangkang biji yang jumlahnya masing-masing sekitar 23%, 13,5% dan 5.5% dari tandan buah segar. Menurut hasil percobaan di LIPI dari TKKS hanya dapat menghasilkan serat kering sebanyak 10%. Jadi untuk satu tahun dihasilkan serat kering sebanyak : 2,7 juta Ha X 150 pohon X 22 tandan X 3 kg X 23% X 10% = 592 juta kg. Untuk satu tahun produksi papan serat semen dengan ukuran 2 cm X 60 cm X 120 cm diperlukan 145.800 kg serat kering. Ini berarti prospek industri papan semen dari serat TKKS cukup baik. Produksi papan semen dari serat TKKS diperkirakan cukup menguntungkan mengingat persediaan bahan baku yang melimpah, relatif murah dan terkonsentrasi pada satu tempat yaitu di pabrik kelapa sawit (PKS). 221
Menurut Lubis beberapa penelitian telah dihasilkan dalam pembuatan papan partikel dan papan panel dari batang kelapa sawit. Batang kelapa dapat digunakan untuk pembuatan papan dengan menggunakan bahan perekat semen dan gypsum dengan hasil baik (Shaari, Sudin). Menurut Chuen pembuatan papan partikel secara teknis dan ekonomis adalah layak. Papan serat dapat juga dibuat dari serat TKKS dan pelepah. Hal ini berarti jumlah dan kesinambungan pasokan bahan baku untuk produksi papan serat tidak akan menjadi masalah.
METODA PENELITIAN Karena serat TKKS mengandung zat ekstraktif yang cukup tinggi yang akan mengganggu proses pengikatan dan pengerasan semen maka perlu diberi perlakuan pendahuluan dalam beberapa jenis pelarut untuk menghilangkan atau menurunkan kandungan zat ekstraktif tersebut. Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda eksperimental dengan melakukan analisis kimia, kelarutan bahan baku dan pembuatan papan serat semen kemudian dilakukan pengujian antara lain kuat lentur, kuat cabut paku, kerapatan, kadar air, absorpsi, pengembangan tebal dan analisis biaya. 1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOH, teepol, semen portland, serat tandan kosong kelapa sawit dan air. Alatalat yang digunakan adalah timbangan, mixer, cetakan, mesin pres dan mesin untuk pengujian. 2. Bagan Alir Percobaan Pengadaan limbah TKKS penguraian TKKS sampai menjadi serat lepas pencucian serat lepas pemotongan Pemanfaatan Limbah … (Andriati AH)
serat sampai ukuran tertentu perlakuan pendahuluan pengeringan serat penyimpanan serat pencampuran bahan (semen, serat dan air) pencetakan pemeliharaan pengujian 3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan pada percobaan ini adalah tiga bagian semen portland dan satu bagian serat TKKS. Dalam penelitian ini digunakan rancangan percobaan faktorial dua faktor, yaitu : Faktor A : umur pengujian a1 = umur 14 hari a2 = umur 28 hari Faktor B : jenis perlakuan b1= perendaman dgn air dingin (AD) b2 = perendaman dgn air dingin kmd dgn kapur (ADK) b3 = perendaman dgn air panas kmd dgn kapur (APK) b4= perendaman dgn NaOH kmd dgn kapur (NKH) b5= perendaman dgn teepol Jika F hitung lebih besar dari F tabel pada tingkat kepercayaan 5% maka pengaruh faktor yang bersangkutan nyata dan bila 1% pengaruh yang bersangkutan sangat nyata. Selanjutnya akan dilakukan uji beda nyata terkecil (LSD).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengujian Bahan Baku Data hasil pengujian kimia serat TKKS sebelum dan setelah direndam dalam air panas serta kelarutan serat dalam beberapa pelarut lainnya adalah sebagai berikut :
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Tabel 1 Data hasil pengujian kimia No.
Parameter (%)
Sblm direndam
1. Abu 2,68 2. Silikat 3. Lignin 14,68 4. Holoselulosa 71,84 5. α Selulosa 39,29 6. Pentosan 27,20 7. Lemak 1,75 8. Gula Ttd Catatan : Diuji di Balai Besar Selulosa
Stlh direndam dlm air panas 5,13 0,85 12,69 73,53 42,16 27,13 0,63 ttd
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman menerunkan persentase kadar lignin tetapi persentase kadar holoselulosa, selulosa dan pentosan meningkat. Kadar holoselulosa dan α selulosa setelah direndam cukup tinggi untuk umumnya non kayu, sedangkan lignin lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa pulp yang diperoleh akan mengkonsumsi bahan kimia pemasak lebih sedikit dan kemungkinan akan menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, dikarenakan persentase rendemennya meningkat. Kadar abu yang sudah direndam lebih tinggi dari pada kadar abu sebelum direndam. Hal ini kemungkinan disebabkan air yang digunakan untuk merendam mengandung senyawa mineral atau impurities yang tinggi. Kadar gula dan lemak dapat memenuhi syarat. Persyaratan kadar gula dan lemak masing-masing adalah 1% dan 3%.
222
Tabel 2 Data hasil pengujian kelarutan No. 1.
Hasil (%)
Perlakuan Perendaman dlm air dingin selama 24 jam kmd dgn kapur 10% selama 24 jam Perendaman dlm air panas (70oC) selama 2 jam kmd dgn kapur 10% selama 24 jam Perendaman dlm larutan NaOH 1% kmd dgn kapur 10% selama 24 jam Perendaman dlm larutan teepol 1% selama 1 jam kmd dgn kapur 10% selama 24 jam
2. 3. 4.
dari kondensasi molekul-molekul glugosa yang sedikit lebih banyak larut dalam air panas jika dibandingkan dengan air dingin. NaOH dapat menghilangkan pektin tetapi glukosa tidak dapat hilang. Pektin adalah zat bukan selulosa dan akan terurai menjadi kalaktosa, pentosa, asam poligalakturonat dan metal alkohol. Hilangnya pektin dari serat tidak akan mempengaruhi kekuatan serat dan kerusakan serat. Jadi dapat dikatakan bahwa perendaman dengan air panas cukup baik apabila dibandingkan dengan yang lainnya.
7,30 7,53 6,87
6,42
Catatan : Diuji di lab Puskim
2. Pengujian Papan Serat Semen Data hasil pengujian kuat lentur, kuat cabut paku, kerapatan, kadar air, absorpsi dan pengembangan tebal dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Dari tabel di atas ternyata kelarutan dalam air panas lebih besar daripada kelarutan dengan yang lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena serat tersusun dari selulosa dimana selulosa merupakan polimer linier yang tersusun
Tabel 3 Data hasil pengujian kuat lentur, kuat cabut paku, kerapatan, kadar air, absorpsi dan pengembangan tebal pada umur 14 hari dan 28 hari No.
Parameter
1.
Kuat lentur (kg/cm2)
2.
Kuat cabut paku (kg)
3.
Kerapatan (g/cm3)
4.
Kadar air (%)
5.
Absorpsi 2 jam (%)
6.
Absorpsi 24 jam (%)
7. 8.
223
Pengem. tebal 2 jam (%) Pengem. tebal 24 jam (%)
Umur (hari) 14 28 14 28 14 28 14 28 14 28 14 28 14 28 14 28
AD
ADK
APK
NK
TK
5,58 6,54 6,47 7,23 1,039 1,084 11,911 11,707 16,457 23,017 22,826 29,413 0,836 1,1033 1,0398 1,4300
8,56 9,23 10,33 11,63 1,099 1,201 6,964 4,712 23,823 28,074 30,599 30,892 0,143 2,9896 0,3774 1,4367
14,22 20,23 11,30 17,67 1,138 1,137 10,312 2,702 25,143 26,213 29,006 31,516 0,683 0,1095 0,1333 2,6926
14,13 17,28 9,93 13,83 1,156 1,138 10,673 9,620 19,101 28,004 24,124 30,900 0,2220 0,9711 0,8750 1,7294
7,59 10,23 10,13 11,07 1,222 1,305 7,533 6,067 20,234 24,507 23,150 25,329 0,3179 0,762 0,6797 1,3248
Pemanfaatan Limbah … (Andriati AH)
Dari data-data tersebut dibuat analisis variannya (ANAVA) yaitu sebagai berikut : Tabel 4 Analisis varian F hitung
A
6,6958*
Kuat cabut paku 3,2860
B AB
18,4205** 0,9451
2,9110* 0,9439
Perlakuan
Kuat lentur
F tabel
Kerapatan
Kadar air
Absorpsi
Pengem. tebal
5%
1%
5,1428*
2,9818
5,0845*
0,2834
4,17
7,56
35,4286** 48,9357**
7,1264** 3,6936*
4,3387** 2,3234
0,3115* 3,5936*
2,69
4,02
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh utama A untuk kuat lentur adalah nyata. Ini berarti ada perbedaan yang nyata antara perlakuan-perlakuan faktor A yang dicoba. Pemeriksaan terhadap faktor A dengan nilai LSD – 6,1585 ternyata untuk setiap umur pengujian berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Pengaruh utama B sangat nyata. Ini berarti ada perbedaan yang sangat nyata antara perlakuanperlakuan faktor B yang dicoba. Pemeriksaan terhadap faktor B dengan nilai LSD – 3,8950 ternyata perlakuan perendaman dengan air dingin kemudian dengan kapur (b2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan teepol (b5). Kuat lentur yang dicapai masih rendah, hal ini disebabkan karena alat pres yang digunakan tidak dapat mencapai tekanan yang diinginkan yaitu pada waktu pembuatan contoh uji tekanan yang diperlukan 25-30 kg/cm2. Nilai kuat lentur papan semen TKKS terbesar adalah dengan perlakuan perendalam dalam air panas (20,23 kg/cm2) sedangkan nilai kuat lentur terkecil dicapai pada perlakuan perendaman dengan air dingin (6,54 kg/cm2) pada umur 28 hari. Sedangkan persyaratan kuat lentur adalah 100 kg/cm2. Kuat lentur naik dengan bertambahnya umur pengujian. Kuat cabut paku dipengaruhi oleh perlakuan Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
perendaman. Dengan uji LSD (6,3685) ternyata untuk setiap perlakuan perendaman berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Nilai kuat cabut paku papan semen TKKS terbesar adalah dengan perlakuan perendaman dalam air panas (17,67 kg) sedangkan nilai kuat cabut paku terendah dicapai pada perlakuan perendaman dengan air dingin (7,23 kg) pada umur 28 hari. Persyaratan kuat cabut paku untuk papan semen adalah 40 kg. Kerapatan dipengaruhi oleh umur uji, perlakuan perendaman dan interaksi kedua faktor. Kadar air dipengaruhi oleh perlakuan perendaman dan interaksi kedua faktor. Absorpsi dipengaruhi oleh umur pengujian dan perlakuan perendaman. Dengan uji LSD (7,3266) ternyata perlakuan perendaman dengan air dingin kemudian dengan kapur (b2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan air panas (b3). Sifat penyerapan air adalah pertambahan kadar air pada papan semen sewaktu papan semen tersebut direndam dalam air selama 24 jam. Bahan lignoselulosa mempunyai afinitas yang tinggi terhadap air sehingga akan mengembang dan mengkerut sesuai dengan kandungan air yang ada di dalam bahan tersebut. Nilai absorpsi (perendaman dalam air selama 24 jam) papan semen TKKS terbesar adalah dengan perlakuan perendaman 224
dengan air panas (31,516%) sedangkan nilai absorpsi terendah dicapai pada perlakuan perendaman dengan teepol (25,329%) pada umur 28 hari. Pada umumnya absorpsi berhubungan erat dengan pertambahan tebal, tetapi dalam hal ini tidak begitu nyata. Menurut penelitian Memed dan Sulastiningsih, absorpsi dan pengembangan tebal sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Pengembangan tebal dipengaruhi oleh perlakuan perendaman dan interaksi kedua faktor. Dengan uji beda nyata terkecil (0,9378) ternyata perlakuan antara b1 dengan b4 tidak berbeda nyata pada umur 14 hari. (a1b1 dengan a1b4) begitu juga untuk perlakuan antara a 2b1 dengan a2b2. Nilai pengembangan tebal terkecil setelah direndam dalam air selama 2 jam yaitu dengan perlakuan dengan air panas (0,1095%) pada umur 28 hari. Sedangkan setelah direndam dalam air selama 24 jam nilai pengembangan tebal terbesar dicapai pada perlakuan perendaman dengan air panas (2,6926%) pada umur 28 hari. 3. Perkiraan Investasi dan Biaya Produksi Berbagai jenis mesin dapat dirancang untuk pemrosesan limbah sawit menjadi komponen bangunan, misalnya unit produksi dengan kapasitas produksi papan serat semen 100 buah/hari atau 100 X 300 = 30.000 buah/tahun. Untuk memproduksi papan serat semen diperlukan biaya investasi sebagai berikut :
225
Permesinan pembuatan papan serat semen = Rp. 271.000.000,Bangunan los pabrik/unit produksi = Rp. 10.000.000,Lahan pabrik dan kosesi = Rp. 5.000.000,Instalasi listrik dan air = Rp. 2.000.000,-
Biaya persiapan dan peralatan kantor = Rp.3.500.000,Modal kerja 3 bulan produksi papan serat semen = Rp. 93.750.000,-
Jumlah investasi unit produksi papan serat semen adalah Rp. 390.250.000,dengan modal investasi berupa modal sendiri dari para pemegang saham 25% sebesar Rp. 97.562.500,- dan pinjaman dari bank 75% yaitu Rp. 292.687.500,Untuk perhitungan biaya produksi, biaya berikut ini perlu diperhitungkan, yaitu :
Biaya penyusutan, diperhitungkan untuk jangka waktu sebagai berikut: lahan = 10 tahun, bangunan = 10 tahun, peralatan = 5 tahun Biaya variabel tidak langsung: meliputi biaya penyusutan alat, overhead dan biaya pemeliharaan Biaya variabel langsung, meliputi biaya bahan baku, bahan pembantu, upah, biaya tak terduga Biaya bank (sebagai modal diperoleh dari pinjaman bank) yang meliputi pengembalian pinjaman dan bunga bank selama periode pinjaman.
Untuk biaya produksi diperlukan perhitungan biaya-biaya yang dikeluarkan sebagai berikut: Biaya bahan baku dan bahan tambahan; biaya administrasi dan penjualan (promosi); gaji/upah pegawai tetap (manajer dan staf); upah teknisi; biaya penyusutan; biaya pemeliharaan; bunga pinjaman; cicilan pokok pinjaman; pajak. Harga pokok produksi diperhitungkan dari biaya-biaya sebagai berikut : biaya langsung ditambah biaya tak langsung ditambah biaya bank dan overhead dibagi jumlah produksi bersih dalam setahun, dimana produksi bersih adalah total setelah dikurangi dengan kehilangan dalam proses diperkirakan 10%. Pemanfaatan Limbah … (Andriati AH)
KESIMPULAN
Berdasarkan contoh yang diuji, serat tandan kosong kelapa sawit sebelum digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan papan serat semen perlu diberi perlakuan pendahuluan terlebih dahulu yaitu perendaman dalam air panas selama 2 jam (70oC) kemudian dengan larutan kapur dengan konsentrasi 10%. Berdasrkan contoh yang diuji, kuat lentur yang dicapai tidak memenuhi syarat, karena alat pres yang digunakan untuk membuat contoh uji tidak dapat mencapai tekanan sebesar 25 kg/cm2 Produk papan serat semen cukup dapat menguntungkan mengingat ketersediaan bahan baku cukup melimpah, relatif murah dan terkonsentrasi pada satu tempat (PKS) Dengan berdirinya industri rakyat yang memproduksi komponen bangunan yaitu papan serat semen akan memberikan dampak positif yaitu terciptanya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran, tersedianya bahan bangunan alternatif dan ikut mengatasi problem industri pabrik kelapa sawit Harga satu lembar papan serat semen dengan ukuran 120 X 60 X 2 cm adalah Rp.27.000,Alat-alat yang diperlukan untuk memproduksi papan serat semen adalah mesin cold press, mixer, gergaji dan alat bantu lainnya dengan investasi sebesar Rp.271.000.000
DAFTAR PUSTAKA 1.
------, 1989, Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Bangunan Bukan Logam), Departemen Pekerjaan Umum. Chuen, W.W., 1991, An Ekonomic Prospective of Oil Palm Trunk Utilization of Oil Palm Empty Fruit Bunches for Kraft Paper Production. Darnoko, Darmosarkoro, W., dkk, 2000, Penanganan Terpadu Limbah Industri Kelapa Sawit yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding, ISBN:979-9529-24-3,Pusat Penelitian Kelapa sawit, Medan. Darnoko,1992, Potensi Pemanfaatan Lignoselulosa Kelapa Sawit Melalui Biokonversi, Berita Penelitian Perkebunan, 2(2), 85-97. Lubis, A.U., dkk, 1994, Proyek Industri dengan Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia, Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Vol.2, No.3, Medan. Nuryanto, E., 2000, Pemanfaatan Tandan Kosog Kelapa Sawit sebagai Sumber Bahan Kimia, Warta PKKS, Vol.8, N0.3, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Prayitno dan Darnoko, 1994, Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit, Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Vol.2, No. 3, Medan. Shaari, K., Sudin, R., and Killmann, W., 1991, The Feasibility of Palm Trunk as Reinforcing Fibres for Gypsum Bonded Particle Board, Proceeding Oil Palm Trunk and Other Palm Wood Utilization 4-5 April, Oil Palm Tree Utili. Comm., Kuala Lumpur. Sudin, R., Shaari, K. and Ami, Z.M., 1991, Utilization of Oil Palm Trunk for Cement Bonded Particle Board Manufacture, Proceeding Oil Palm Trunk and Other Palm Wood Utilization 4-5 April, Oil Palm Tree Utili. Comm., Kuala Lumpur. 226
METODA BASIS KINERJA DALAM PERATURAN DAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN (Performance-based Methods in Fire Protection Code, Design and Analysis) Oleh: Suprapto
Pusat Litbang Permukiman E-mail :
[email protected]
Abstrak Salah satu kecenderungan baru dalam bidang proteksi kebakaran dewasa ini adalah penggunaan metoda basis kinerja (performance-based method) baik dalam desain, analisis maupun dalam peraturan (codes). Penggunaan metoda preskriptif (prescriptivebased method) yang selama ini dianut nampaknya sudah tidak lagi merupakan satusatunya solusi. Penyebab pergeseran dari prescriptive-based ke performance-based methods, antara lain disebabkan oleh keterbatasan pendekatan preskriptif menghadapi pembangunan yang semakin kompleks, harmonisasi peraturan dan standar sebagai dampak globalisasi, kemajuan di bidang riset dan teknologi proteksi kebakaran, serta kebutuhan akan penerapan prinsip-prinsip enjiniring pada peraturan. Keuntungan dalam penerapan peraturan berbasis kinerja (performance-based code) adalah fleksibilitas dalam mengakomodasi inovasi desain, lebih fungsional, tidak rumit dan aplikatif. Keuntungan lain dari peraturan berbasis kinerja adalah memberikan peluang lebih besar terhadap aplikasi hasil riset, data maupun model yang implikasinya dalam desain adalah dihasilkan nya produk desain yang lebih handal, aman kebakaran dan cost-effective . Katakunci : Metoda basis kinerja, metoda preskriptif, peraturan, produk rancangan yang aman kebakaran dan cost effective
Abstract
The performance-based method has been currently a new trend in the design and analysis of fire protection as well as in the codes. The application of prescriptive-based approach which has been used for many decades seems no longer being the only solution. Shifting from prescriptive-based to performance-based is, among other things, due to the limitations of the prescriptive approach in coping with the increased complexity of building construction, to the global harmonization in regulation systems and standards, to the advances made in fire science and technology, and to the need for codes to use fire safety engineering principles. The advantages of applying performance-based codes is allowing design flexibility, more functional, less complex and easier to apply. Another advantage of performance-based codes is that they will permit the incorporation and use of the latest research, data and models and the implications in the design is ensuring the more reliable, fire safe and cost effective design product. Keywords : performance-based and prescriptive-based method, codes, fire safe and cost effective design product 227
Metode Basis … (Suprapto)
PENDAHULUAN Globalisasi telah membawa dampak terhadap berbagai aspek, salah satunya adalah harmonisasi global di bidang peraturan dan standar-standar teknis. Kemajuan di bidang riset dan teknologi proteksi kebakaran antara lain perkembangan dalam model prediksi resiko kebakaran telah mengubah berbagai pendekatan atau metoda yang selama ini dianut. Salah satu yang menjadi bahasan adalah performancebased method (metoda basis kinerja) yang sudah banyak diterapkan di berbagai negara maju. Penerapan metoda ini tidak hanya terbatas pada analisis dan desain sistem proteksi kebakaran, tetapi sudah pula memberi bentuk lain pada peraturan atau code baik di bidang bangunan ( building code) termasuk peraturan kebakaran (fire safety code). Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai peraturan berbasis kinerja, serta prinsip dasar proses analisis dan desain yang berbasis kinerja khususnya di bidang proteksi kebakaran, yang pada berbagai aplikasi menawarkan solusi yang lebih prospektif dibandingkan dengan peraturan konvensional selama ini. PERATURAN BERBASIS KINERJA Peraturan bangunan (building code) dan peraturan kebakaran (fire code) merupakan suatu norma yang harus dipenuhi dalam rangka tertib pembangunan dan keselamatan bangunan. Instansi yang berwenang akan memeriksa setiap dokumen teknis dari suatu usulan proyek pembangunan bangunan dengan mengacu kepada building code yang ada, apakah sesuai dengan ketentuan atau persyaratan yang tercantum dalam code tersebut. Ini dikenal sebagai metoda preskriptif Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
(prescriptive-based code) dalam peraturan bangunan. Keputusan sesuai atau tidaknya atau kriteria lolos atau tidaknya suatu desain yang diajukan dapat segera diketahui. Namun perkembangan dewasa ini menyangkut penerapan peraturan bangunan, sejak 1990-an memunculkan pendekatan lain yang disebut sebagai metoda berbasis kinerja (performance-based method). Beberapa penyebab perubahan ini adalah adanya kelemahan dari pendekatan atau metoda preskriptif, kemajuan di bidang iptek proteksi kebakaran, kebutuhan akan harmonisasi global sistem regulasi teknis, serta peluang penerapan prinsip-prinsip enjiniring pada peraturan. Hal lain yang memacu penerapan performance-based code adalah ketidak puasan di kalangan industri konstruksi dan komunitas proteksi kebakaran terhadap penerapan metoda preskriptif. Metoda ini kurang memberikan solusi yang mantap terhadap permasalahan desain konstruksi yang spesifik seperti bangunan gedung tinggi, bangunan dengan desain yang unik atau tidak biasa seperti struktur bawah tanah, konstruksi terowongan (tunnel), konstruksi anjungan lepas pantai dsb. Disamping itu dunia konstruksi dihadapkan pada tuntutan persaingan dan peningkatan efisiensi serta tuntutan akan fleksibilitas dalam desain. Tuntutan akan desain yang inovatif dan memiliki fleksibilitas yang tinggi namun berpeluang menurunkan biaya dipenuhi oleh peraturan dan desain yang berbasis kinerja. Berbeda dengan metoda preskriptif yang tidak dapat mengukur level proteksi yang diharapkan, maka pada metoda berbasis kinerja dengan menerapkan skenario kebakaran rancangan (design fire scenario) dapat diprediksi level proteksi tersebut serta 228
memiliki kebebasan dalam mencapai solusi tersebut. Tabel-1 memperlihatkan berbagai keuntungan dan kelemahan dari peraturan yang berbasis preskriptif dan yang berbasis kinerja. Salah satu langkah dalam metoda berbasis kinerja adalah penetapan kriteria kinerja (performance criteria) dan penentuan skenario kebakaran rancangan sesuai kondisi dan peruntukan ruang dan obyek yang diproteksi. Dalam kaitan ini digunakan berbagai model kebakaran rancangan baik model deterministik maupun model
probabilistik. Melalui berbagai riset termasuk percobaan empirik yang telah dilakukan diperoleh banyak data yang mendukung penerapan model deterministik yang selanjutnya disusun dan dirumuskan dalam model-model simulasi kebakaran baik simulasi model zona (zone model) maupun model ruang (field model). Beberapa tanggapan dari berbagai experts dapat dilihat di Tabel 2, sedang tujuan yang ingin dicapai dalam persyaratan berbasis kinerja ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 1 Perbandingan dalam keuntungan / kemanfaatan dan kelemahan antara peraturan yang berbasis preskriptif dan berbasis kinerja SIFAT PERATURAN Prescriptive-based code
KEUNTUNGAN Evaluasi langsung kesesuaian dengan persyaratan yang diditetapkan Tidak mensyaratkan keahlian teknis level tinggi
Performance-based code
229
Menetapkan sasaran keselama- tan lebih jelas dan menyerahkan sepenuhnya cara mencapai sasaran tersebut kepada perancang atau designer Membolehkan solusi rancangan inovatif Menghilangkan hambatan teknis dalam perdagangan sehingga aliran produk lancar Mem-fasilitasi proses harmoni- sasi dalam sistem peraturan internasional Mem-fasilitasi penerapan penge tahuan baru Struktur peraturan lebih sederhana / tidak kompleks Memberikan peluang mempe- roleh desain yang cost-effective Meningkatkan penerapan tekno- logi baru dalam praktek / lapangan
KELEMAHAN Persyaratan dicantumkan tanpa pernyataan tujuan yang ingin dicapai Kompleksitas dari struktur peraturan Tidak ada promosi untuk desain yang cost-effective Tidak ada fleksibilitas untuk inovasi Hanya ada satu cara untuk memperoleh level keselamatan yang dikehendaki Tidak mudah untuk menentukan level proteksi secara kuantitatif Memerlukan pendidikan khusus terutama dalam tahaptahap penerapannya Sulit untuk meng-evaluasi kesesuaian dengan persyaratan yang ditetapkan Memerlukan model-model simulasi komputer untuk evaluasi kinerja
Metode Basis … (Suprapto)
Tabel 2 Beberapa tanggapan Experts mengenai penerapan metoda berbasis kinerja dalam peraturan bangunan / kebakaran EXPERTS Andenberg, Swedia (1991)
Buchanan, Zealand (1994)
New
Babrauskas (1994)
TANGGAPAN Seharusnya peraturan bangunan membolehkan penerapan pendekatan performance-based code sebagai metoda alternatif terhadap prescriptive-based code Catatan dari Swedish Steel Institute menunjukkan adanya cost saving sebesar 65% pada structural fire protection dengan menerapkan fire engineering design method
Peraturan berbasis kinerja memberikan peluang penerapan teknologi baru, menyatakan tujuan secara obyektif, memerinci persyaratan kinerja dan membolehkan penerapan setiap solusi yang memenuhi persyaratan kinerja Persyaratan kebakaran mencakup 4 unsur : timbulnya kebakaran, sarana jalan ke luar, penyebaran kebakaran dan stabilitas struktur selama kebakaran Pendidikan merupakan faktor penting dalam implementasi peraturan berbasis kinerja
Peraturan baru yang berbasis kinerja seharusnya tidak rumit, cukup jelas tujuan yang diharapkan, dapat memberikan verifikasi terhadap perencanaan, perhitungan dan spesifi-kasi dari usulan proteksi kebakaran, dan tidak perlu program komputer besar untuk meng-evaluasi kinerja
Building Code official, Canada (1995)
Peraturan preskriptif yang selama ini diterapkan memiliki kelemahan dalam kerumitan dan kekurang-jelasan sehingga menimbulkan berbagai intepretasi dan meskipun memiliki persyaratan yang mengandung solusi alternatif namun tidak dirinci tujuan dari persyaratan tersebut.
Corbett, USA (1993)
Penerapan engineering method bisa mengurangi biaya konstruksi, meningkatkan unsur keamanan, mengembangkan kepekaan terhadap bahaya dan memberikan keleluasaan dalam desain. Masalah yang dihadapi adalah belum sepenuhnya diterima oleh personel yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pemberian ijin (AHJ)
DiNenno, USA (1993)
Hambatan dalam penerapan performance-based fire safety design adalah kekurangmampuan dalam menetapkan tujuan-tujuan fire safety secara terukur, ketidak-pastian dalam perhitungan dan adanya gap dalam pengetahuan teknis.
Nakaya, (1993)
Untuk mem-fasilitasi perdagangan bebas dan melaksanakan harmonisasi peraturan internasional diperlukan pedoman-pedoman teknis (performance-guidelines) yang terdiri atas firesafety concept and case studies, pedoman teknis rancangan untuk mencegah timbul dan penyebarannya kebakaran, serta pedoman teknis untuk mengevaluasi perilaku manusia saat melaksanakan evakuasi kebakaran
BRI-Japan
Fergusson, UK (1993)
Pendekatan performance-based memberikan keuntungan dalam hal-hal sebagai berikut : kebebasan dalam desain, penghematan biaya konstruksi, peningkatan pengetahuan dan keahlian building officials, serta keuntungan bagi industri asuranci dan publik
Shapiro, USA (1994)
Berbagai faktor yang menghambat penerapan performance-based code, yakni keengganan dari pihak code officials untuk menerima cara mem-prediksi tingkat keamanan melalui model komputer, kepentingan individu yang ditumpangkan dalam panitia perumus standar, serta perubahan-perubahan dalam faktor perencanaan dalam operasi bangunan Diperlukan petunjuk perancangan teknis proteksi kebakaran sebagai
Meacham & Custer, USA (1995)
implementasi peraturan dan perancangan berbasis kinerja Peraturan preskriptif dapat dipakai dalam desain bangunan tipikal, tetapi kurang cocok untuk struktur bangunan yang tidak tipikal. Perancangan berbasis kinerja ditujukan untuk kinerja spesifik yang memperhitungkan interaksi suatu bangunan secara keseluruhan termasuk analisis deterministik dan penaksiran resiko melalui konsep probabilitas. Ada kesulitan bagi petugas dari instansi yang berwenang untuk dapat mengevaluasi rancangan berbasis kinerja karena unsur pemahaman dan pengetahuan mengenai hal tersebut masih terbatas.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
230
TUJUAN YANG INGIN DICAPAI LEWAT PERATURAN BERBASIS KINERJA Tujuan yang ingin dicapai yang dinyatakan dalam peraturan yang berbasis kinerja adalah sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3 berikut : Tabel 3 Pernyataan tujuan persyaratan dalam performance-based code PERUMUS Haviland (1988)
Boring, dkk (1991)
Malhotra (1986)
CIB W14 (1986)
Wakamatsu (1988)
Quaglia, CSIRO,(1992)
Custer, SFPE (1993) NFPA 101 (1994)
231
TUJUAN DAN ATAU PERSYARATAN
Melindungi keselamatan jiwa pengguna bangunan, masyarakat sekitar bangunan dan petugas pemadam Melindungi bangunan, isi bangunan dan bangunan bersebelahan terhadap bahaya kebakaran Melindungi keselamatan penghuni bangunan, kelengkapan untuk evakuasi dan pengungsian sementara selama kejadian kebakaran dan emergency Melindungi keselamatan petugas pemadam selama penanggulangan Melindungi keselamatan bangunan lain yang bersebelahan termasuk mencegah penyebaran kebakaran Menunjang kelestarian lingkungan Keselamatan jiwa, pencegahan meluasnya kebakaran dan perlindungan bangunan yang dicapai dengan cara : Menyediakan sarana jalan ke luar Mencegah pertumbuhan cepat kebakaran Mencegah penyebaran api internal lewat pembatas api Mencegah penyebaran api eksternal Menyediakan sarana pengendalian dan pemadaman api Tujuan umum Membatasi resiko kebakaran Membatasi penyebaran api dalam bangunan Persyaratan funsional untuk mencapai tujuan umum Mengurangi frekwensi kejadian Kontrol kebakaran (asap dan nyala) pada tahap dini Memastikan evakuasi yang aman bagi penghuni / pengguna bangunan Mencegah penyebaran api ke bangunan lainnya Menghindari kegagalan struktur atau membatasi kerusakan struktur Tujuan umum fire safety Mencegah terjadinya kebakaran oleh penggunaan yang salah pada peralatan yang menggunakan api Keselamatan manusia Mencegah gangguan yang bisa mengancam keselamatan publik Mencegah kerusakan / kerugian bangunan Tujuan umum adalah keselamatan sebagai berikut : Keselamatan penghuni bangunan Intervensi efektif petugas pemadam kebakaran Mencegah kebakaran besar Tujuan-tujuan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi bangunan dengan cara : Mencegah kerusakan struktur bangunan Mencegah kerusakan interior bangunan bersejarah Mencegah kerusakan akibat air pada bangunan museum, galeri dan ruang data Sasaran dasar proteksi kebakaran : Menjamin keselamatan jiwa Melindungi terhadap kerusakan Menjamin kontinuitas operasi Mengendalikan setiap efek yang mempengaruhi lingkungan saat kebakaran Penyelamatan jiwa penghuni bangunan di lokasi kebakaran Penyelamatan jiwa penghuni / pengguna bangunan bersebelahan Penyelamatan jiwa petugas pemadam kebakaran
Metode Basis … (Suprapto)
PERUMUS NZ Building Code (1994)
TUJUAN DAN ATAU PERSYARATAN
Bila kebakaran terjadi :
Melindungi orang-orang agar tidak terjadi korban jiwa atau luka
Melindungi orang-orang saat evakuasi berlangsung Mem-fasilitasi operasi rescue
Melindungi orang-orang agar tidak terjadi korban jiwa atau luka saat evakuasi Memberikan perlindungan bagi personel pemadam saat operasi pemadaman Melindungi orang-orang di bangunan sebelah dan bangunan bersebelahan Melindungi lingkungan dari dampak kebakaran
Melindungi orang-orang terhadap kerusakan atau keruntuhan bangunan Melindungi unit-unit hunian dan bangunan lain dari bahaya kebakaran yang disebabkan oleh kondisi struktur akibat bahaya kebakaran
Penyediaan sarana jalan ke luar : Saat kebakaran menyebar :
Stabilitas struktur bangunan
LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN PERATURAN BERBASIS KINERJA 1.
2.
Identifikasi dan membuat list semua tujuan yang ingin dicapai dalam peraturan peraturan tersebut (lihat dalam Tabel 3) Menetapkan kriteria keselamatan dan faktor keamanan
a. Kriteria deterministik
Metodanya : Menghitung pertumbuhan api dan membuat kurvanya Menghitung waktu penyebaran asap Menghitung ketahanan & perilaku struktur Menghitung waktu evakuasi Selanjutnya dievaluasi dan dibandingkan dengan : Kriteria fire ignition Kriteria fire growth Kriteria flashover & post flashover Kriteria life safety Kriteria kemungkinan penyebaran api
b. Kriteria probabilistik 3.
Menetapkan metoda perancangan dan evaluasi
untuk
a. Metoda evaluasi fire safety Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
Japanese fire safety evaluation procedure (Wakamatsu) The NFPA fire risk assessment methodology (Bukowski dkk) The Canadian fire risk cost assessment method (Hadjisophocleous) The Ship fire safety methodology (Srague, etal) The Nordic fire safety methodology (Scherfig) The Fire safety evaluation method (Fitzgerald, WPI) The New Zealand fire engineering design procedure (Buchanan) The Structural fire engineering (Peterson,Swedish method)
b. Fire engineering computer tools
Category of fire engineering models Probabilistic fire models Deterministic fire models Selection of fire models Limitations and assumptions in fire models Validation of fire models Documentation of fire models Sensitivity analysis 232
4. 5.
Uncertainty in fire models Available fire engineering models Identifikasi dan validasi modelmodel kebakaran Identifikasi dan membuat list datadata percobaan yang dibutuhkan
ANALISIS DAN BERBASIS KINERJA
DESAIN
Analisis dan desain proteksi kebakaran berbasis kinerja adalah salah satu elemen dalam proses desain, konstruksi dan pemanfaatan bangunan. Proses desain berbasis kinerja sangat tepat apabila dilakukan sejak tahap studi kelayakan (feasibility study) atau fasa desain konseptual ketika keputusankeputusan pokok sedang ditentukan. Semakin awal metoda ini diterapkan dalam proses desain akan semakin besar keuntungan yang diperoleh, antara lain : Fleksibilitas dalam desain Inovasi dalam desain, konstruksi dan bahan yang digunakan Tingkat keamanan / keselamatan yang sama atau lebih besar Memaksimalkan rasio biaya dan manfaat Proses desain dan konstruksi terdiri atas elemen-elemen sebagai berikut : 1. Fesibility study 2. Desain konseptual 3. Desain skematik 4. Pengembangan desain 5. Dokumentasi desain 6. Konstruksi / instalasi 7. Commissioning 8. Sertifikat penggunaan 9. Pemanfaatan dan pemeliharaan 10. Perubahan-perubahan dalam pemanfaatan Langkah-langkah dalam proses desain berbasis kinerja (lihat Gambar-1) meliputi :
233
1. Menentukan lingkup kegiatan / proyek pembangunan 2. Mengidentifikasi sasaran 3. Menentukan tujuan dan sasaran yang dikehendaki Stakeholders 4. Pengembangan kriteria kinerja 5. Pengembangan skenario kebakaran rancangan (design fire) 6. Pelaksanaan rancangan dengan berbagai alternatif (trial designs) 7. Meng-evaluasi berbagai rancangan alternatif tersebut 8. Pemilihan desain yang memenuhi kriteria (lakukan modifikasi bila perlu) 9. Menseleksi final design 10. Menyusun dokumentasi desain (spesifikasi, gambar, manual dsb)
IMPLIKASI Meski diakui oleh berbagai kalangan bahwa pendekatan performance-based menawarkan berbagai aspek yang cukup menjanjikan, namun ditinjau dari aspek penerapannya masih ditemui berbagai kendala. Penerapan metoda basis kinerja memerlukan pemahaman mengenai prinsip-prinsip dinamika kebakaran, kelengkapan data menyangkut perilaku bahan, struktur dan utilitas serta kemampuan penggunaan perangkat lunak. Pemahaman ini tidak hanya perlu dimiliki oleh para perancang tetapi juga di lingkungan instansi yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan perijinan (authority having jurisdiction). Selanjutnya terkait dengan aspek kebiasaan dan kemudahan dalam penilaian suatu rancangan melalui metoda deskriptif, memerlukan cukup waktu untuk beralih kepada metoda basis kinerja. Masalah lain adalah ketersediaan data dan mekanisme validasi. Oleh karena itu beberapa negara seperti Australia, Jepang dan Metode Basis … (Suprapto)
berbagai peraturan (codes) dan standar khususnya menyangkut proteksi kebakaran nampaknya solusi seperti tersebut di atas dapat diterapkan.
New Zealand menggandengkan kedua metoda tersebut. Untuk kondisi di Indonesia yang masih tengah melengkapi dan menyempurnakan
Defining Project Scope
Identifying Goals
Developing a Fire Protection Engineering Design brief
Defining Stokeholder and Designing Developing Performance Criteria Developing Design Fire Scenarios Developing Trial Designs
Evaluating Trial Designs
Modify Design or Objectives
No
Selected Design Meets Performance Criteria
Yes
Select the Final Design
Prepare Design Documentation
Performance-Based Design Report
Spesification, Drawing, and Operations and Maintenance Manual
Gambar-1 Performance Based Design Process (SFPE-2000)
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 3 Desember 2007
234
6. Johnson, P.F (1993),” International
DAFTAR PUSTAKA 1. NFPA Fire (2002)
Protection
Handbook
SFPE Engineering Guide to Performancebased Fire Protection,”
2. SFPE
&
NFPA
(2000),”
3. Custer, RLP & Meacham, (1997),” Introduction
Performance-based NFPA, Quincy, MA.
Fire
B.J
to Safety,”
R (1992),” An International Survey of Computer Fire Models for Fire and Smoke,”
4. Friedman,
Journal of Fire Protection Engineering,” vol 4, no 3,pp 81-92.
5. Hadjisophocleous, G.V, Benichou,N and Tamim,S (1998),” Literature
Review of Performance-based Fire Codes and Design Environment,” Journal of Fire Protection Engineering, Vol 9, no 1, 1998.
Implications of Performance Based Fire Engineering Design Codes” Journal of Fire Protection Engineering, Vol 5, no 4, 1993.
7. Walton, W.D & Budnick, E.K (1998),” Deterministic Computer Fire Models,” Fire Protection Handbook, 18th Edition. D.D (1999),” An Introduction to Fire Dynamics,” 2nd
8. Drysdale,
Ed, John Wiley & Sons, UK.
J (1995),” Movement of People,” The SFPE Handbook of Fire
9. Pauls,
Protection Engineering,” National Fire Protection Association, Quincy, MA.
10. Babrauskas (1995),” Heat release in fire,” Elsevier Applied Science, NY. 11. NFPA 92B (1995)” Guide for Smoke
Management Systems in Malls, Atria and Large Areas,” National Fire Protection Association
235
Metode Basis … (Suprapto)