TINJAUAN LITERATUR
Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan proses pengeluaran air dan perubahannya menjadi uap air yang mengembun kembali menjadi air yang berlangsung terusmenerus tiada henti-hentinya. Sebagai akibat terjadinya sinar matahari maka timbul panas. Dengan adanya panas ini maka air akan menguap menjadi uap air dari semua tanah, sungai, danau, telaga, waduk, laut, kolam, sawah dan lain-lain dan prosesnya disebut penguapan ( evaporation ). Penguapan juga terjadi pada semua tanaman yang disebut transpirasi
( transpiration ) ( Soedibyo, 2003 ).
Siklus hidrologi dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan, pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh, dan akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfir oleh penguapan ( evaporasi ) dan pemeluhan ( transpirasi ) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah menjadi bagian dari air tanah ( groundwater ). Di bawah pengaruh gaya gravitasi, baik aliran air permukaan ( surface streamflow ) maupun air dalam tanah bergerak ke tempat yang lebih rendah yang dapat mengalir ke laut. Namun, sejumlah besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan ( transpirasi ) sebelum sampai ke laut ( Linsley, dkk, 1989 ).
Universitas Sumatera Utara
Gambar proses siklus Hidrologi dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
Gambar 2. Siklus Hidrologi Secara gravitasi ( alami ) air mengalir dari daerah yang tinggi ke daerah yang rendah, dari gunung-gunung, pegunungan ke lembah, lalu ke daerah lebih rendah, sampai ke daerah pantai dan akhirnya akan bermuara ke laut. Aliran air ini disebut aliran permukaan tanah karena bergerak diatas muka tanah. Aliran ini biasanya akan memasuki daerah tangkapan atau daerah aliran menuju ke sistem jaringan sungai, sistem danau ataupun waduk ( Kodoatie dan Syarief, 2005 ). Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan ( surface run off ). Aliran permukaan sebagian akan meresap ke dalam tanah menjadi aliran bawah permukaan melalui proses infiltrasi (infiltration), dan perkolasi ( percolation ), selebihnya terkumpul di dalam jaringan alur sungai ( river flow ). Apabila kondisi tanah memungkinkan sebagian air infiltrasi akan mengalir kembali ke dalam sungai ( river ), atau genangan lainya seperti waduk, danau sebagai interflow. Sebagian dari air dalam tanah dapat muncul lagi ke
Universitas Sumatera Utara
permukaan tanah sebagai air eksfiltrasi ( exfiltration ) dan dapat terkumpul lagi dalam alur sungai atau langsung menuju ke laut/lautan ( Soewarno, 2000 ). Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai ( DAS ) merupakan daerah yang dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian. Nama sebuah DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol yang umumnya merupakan stasiun hidrometri. Dalam praktek, penetapan batas DAS ini sangat diperlukan untuk menetapkan batas-batas DAS yang akan dianalisis (Sri Harto, 1993).
Gambar 3. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dapat dipandang sebagai bagian dari permukaan bumi tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke sungai menjadi aliran sungai menuju ke suatu titik di sebelah hilir ( down stream point ) sebagai titik pengeluaran ( catchment outlet ). Setiap DAS besar yang
Universitas Sumatera Utara
bermuara ke laut merupakan gabungan dari beberapa DAS sedang sub DAS adalah gabungan dari sub DAS kecil- kecil ( Soewarno, 2000 ). Menurut Sosrodarsono dan Takeda ( 2003 ) berdasarkan perbedaan debit banjir yang terjadi, bentuk DAS dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : 1. Bulu burung Suatu daerah pengaliran yang mempunyai jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke sungai utama. Daerah pengaliran demikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya banjirnya berlangsung agak lama. 2. Radial Daerah pengaliran yang berbentuk kipas atau lingkaran dan dimana anakanak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial. Daerah pengaliran semacam ini mempunyai banjir yang besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai. 3. Pararel Daerah pengaliran seperti ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai.
Burung
Radial
Paralel
Gambar 4. Berbagai macam bentuk DAS.
Universitas Sumatera Utara
Adapun masalah pokok dalam pengelolaan DAS yaitu :
fluktuasi debit pada musim kemarau
kerusakan lahan di daerah tangkapan air
erosi dan sedimentasi
limbah yang bertambah pada sungai
( Sri Harto, 1993 )
Penentuan Hujan Maksimum Cara penentuan hujan rata-rata menurut Sri Harto ( 1993 ) adalah sebagai berikut : Dalam satu tahun tertentu untuk satu tahun dicari hujan maxsimum tahunannya. Selanjutnya dicari hujan harian pada stasiun – stasiun lain pada hari dan kejadian yang sama dan kemudian di rata-ratakan. Masih dalam keadaan tahun yang sama, dicari hujan maxsimum tahunan untuk stasiun kedua, kemudian pada waktu dan kejadian yang sama dicari hujan maxsimum pada stasiun pertama dan dirata-ratakan. Dengan cara ini akan diperoleh data hujan rata-rata sebanyak 40 data, sedangkan data hujan rata-rata tersedia 20 tahun. Untuk itu kita memilih data tertinggi dalam satu tahun pada kedua stasiun tersebut sesuai dengan metode parsial series agar diperoleh data sebanyak 20 data dan satu data dapat mewakili kedua stasiun sekaligus. Sehingga dapat mewakili Daerah Aliran sungai tersebut. Ditentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu disalah satu pos hujan kemudian dicari besarnya curah hujan pada tanggal-bulan-tahun kejadian yang sama untuk pos hujan yang lain, lalu hitung hujan DAS dengan cara yang dipilih (rata-rata Aljabar) dan tentukan hujan maksimum harian pada tahun yang sama untuk pos hujan yang lain dan ulangi langkah selanjutnya untuk setiap
Universitas Sumatera Utara
tahun. Dari hasil rata-rata yang diperoleh dipilih yang tertinggi setiap tahun. Data hujan yang terpilih setiap tahun merupakan hujan maksimum harian DAS untuk tahun yang bersangkutan (Suripin, 2004).
Analisis Frekuensi Analisis
frekuensi
adalah
suatu
analisis
data
hidrologi dengan
menggunakan statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu. Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya, kala ulang diartikan sebagai waktu dimana hujan atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Dalam hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu ulang tersebut (misalnya T tahun) hanya sekali kejadian yang menyamai atau melampaui, tetapi merupakan perkiraan bahwa hujan ataupun debit tersebut akan disamai atau dilampaui K kali dalam jangka panjang L tahun dimana K/L kira-kira sama dengan 1/T (Sri Harto, 1993). Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang bersangkutan, yaitu harus seragam ( homogeneous ), ‘independent’ dan mewakili ( representative ). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan, baik stasiun hujan atau stasiun hidrometri harus tidak pindah, DAS tidak akan berubah menjadi DAS perkotaan ( urban catchment ), maupun tidak ada gangguan-gangguan lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘independence’ disini berarti bahwa besaran data ekstrim tidak terjadi lebih dari sekali. Syarat lain adalah bahwa data harus mewakili untuk
Universitas Sumatera Utara
perkiraan kejadian yang akan datang, misalnya tidak akan terjadi perubahan akibat tangan manusia secara besar-besaran, dibangun konstruksi yang mengganggu pengukuran, seperti bangunan sadap dan perubahan tata guna tanah ( Sri Harto, 1993 ). Penetapan seri data yang akan dipergunakan dalam analisis dapat dilakukan dengan cara : 1. Dilakukan dengan mengambil satu tahun maksimum setiap tahun, yang berarti jumlah data dalam seri akan sama dengan panjang data yang tersedia, seri data yang seperti ini dikenal dengan ‘maximum annual series’. 2. Dengan menetapkan suatu batas bawah tertentu dengan pertimbanganpertimbangan tertentu. Penetapan batas bawah ini dapat saja didasarkan atas alasan-alasan fisik, alasan hidrologik ataupun alasan lain yang dapat dipertimbangkan dan dapat diterima dan dijelaskan kepentinganya. Dalam kaitan ini tidak ada batasan berapa besar data tiap tahun yang dapat diambil dalam satu seri. Seri data yang seperti ini dikenal dengan ‘partial series’. Makin baik data yang tersedia, dalam pengertian kuantitatif dan kualitatif memberikan kemungkinan penggunaan cara analisis yang diharapkan dapat memberikan hasil perkiraan data hidrologi yang lebih baik, khususnya untuk menetapkan besar hujan atau debit dengan kala ulang tertentu. Kala-ulang diartikan sebagai waktu hipotetik dimana hujan atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Jadi, tidak ada pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap
Universitas Sumatera Utara
kala-ulang tersebut. Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu : 1. Distribusi Normal 2. Distribusi Gumbel 3. Distribusi Log-Normal 4. Distribusi Log-Person Type III ( Ersin, 1990 ). Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data debit sungai terbukti sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan agihan normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga agihan lainya. Masing-masing agihan memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus diuji kesesuaianya dengan sifat statistik masing-masing agihan tersebut. Pemilihan agihan yang tidak benar dapat mengandung kesalahan perkiraan yang cukup besar baik, ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’, keduanya tidak diingini. Dengan demikian, jelas bahwa pengambilan salah satu tagihan secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan tagihan tertentu ( Sri Harto, 1993 ). Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi : Tabel 1. Parameter Statistik Analisis Frekuensi
Universitas Sumatera Utara
Parameter
Sampel
1 n ∑ Xi n i =1
X=
Rata-rata
(
)
Simpangan baku
2 1 n s= Xi − X ∑ n −1 i −1
Koefisien variasi
Cv =
s x
n
n ∑ (X i − X )
Koefisien skewness Cs =
3
i =1
(n − 1)(n − 2)s 3 n
n Koefisien Kurtosis
1/ 2
Ck =
2
∑ (X
i
−X)
4
i =1
(n −1)(n − 2)(n − 3) s 4
Sumber: Singh, 1992.
Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Distribusi ini mempunyai probability density function sebagai berikut:
P' ( X ) =
(x − µ) 2 exp − ………………….........….. (1) 2 2 σ σ 2π 1
dimana: P(X)
= fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal).
X
= Variabel acak kontinu
µ
= Rata-rata nilai X
σ
= Simpangan baku dari X
Universitas Sumatera Utara
Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik µ dan σ . Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ , dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X serta mendekati sumbu datar X dan di mulai dari X = µ + 3 σ dan X = µ - 3 σ , nilai mean = median = modus.
Luas 68,27% Luas 96, 45 % Luas 99,73 %
3
σ
2
σ σ
x
σ
2
σ
3
σ
Gambar 5. Kurva distribusi frekuensi normal Dari gambar kurva diatas dapat diterangkan bahwa: 1)
Kira-kira 68,27 % terletak di daerah satu deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - σ ) dan ( µ + σ ).
2)
Kira-kira 95,45 % terletak di daerah dua deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - 2 σ ) dan ( µ + 2 σ ).
3)
Kira-kira 99,73 % terletak di daerah tiga deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - 3 σ ) dan ( µ + 3 σ ).
Rumus yang umum digunakan untuk distribusi normal adalah: XT = X + KT.s ………………………………………….. (2) di mana: XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
Universitas Sumatera Utara
X = Nilai rata-rata hitung sampel s
= Deviasi standard nilai sampel
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. (Suripin, 2004). Menurut Jayadi (2000), sifat khas lain yaitu nilai asimetris (koefisien skewnes) hampir sama dengan nol dan dengan kurtosis 3 selain itu kemungkinan:
(
)
P x − σ = 15,87%
()
P x = 50%
(
)
P x + σ = 84,14%
Distribusi Gumbel Menurut Chow (1964), rumus umum yang digunakan dalam metode Gumbel adalah sebagai berikut: X = X + s.K ............................................................................. (3) Dengan : X = nilai rata-rata atau mean; s = standard deviasi Faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus berikut ini:
K=
YTr − Yn Sn
.......................................................................... (4)
dimana :
Universitas Sumatera Utara
Yn
= reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n
Sn
= reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/n
Tr
= Fungsi waktu balik (tahun)
YTr
= reduced variate yang dapat dihitung dengan persamaan berikut: YTr
T − 1 = -In − In r ………………………………….... (5) Tr
Ciri khas statistik distribusi Gumbel adalah nilai asimetris (koefisien skewness) sama dengan 1,396 dan dengan kurtosis (Ck) = 5,4002 (Wilson, 1972).
Distribusi Log Normal Jika variabel acak
Y = Log x terdistribusi secara normal, maka x
dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Ini dapat dinyatakan dengan model matematik dengan persamaan : YT
= Y + KTS ………………………………………………. (6)
dimana: YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahunan
Y
= Nilai rata-rata hitung sampel
S
= Standard deviasi nilai sampel
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model metematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. (Singh, 1992)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Normal adalah nilai asimetris (koefisien skewness) sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi (Cv) atau bertanda positif.
Distribusi Log Pearson Type III Parameter penting dalam Log Pearson Type III yaitu harga rata-rata, simpangan baku dan koefisien kemencengan. Jika koefisien kemencengan sama dengan nol maka distribusi kembali ke distribusi Log Normal (Suripin, 2004). Langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson Type III adalah sebagai berikut. 1. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis, X = log X. 2. Hitung harga rata-rata: Log X =
1 n ∑ log X i ............................................................... (7) n i =1
3. Hitung harga simpangan baku:
(
)
2 1 n s= log X i − log X ∑ n − 1 i −1
1/ 2
................................................ (8)
4. Hitung koefisien kemencengan:
(
n
n ∑ log X i − log X Cs =
i =1
(n − 1)(n − 2)s 3
)
3
........................................................ (9)
5. Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T: Log XT = log X + K.s ............................................................... (10) (Linsley, dkk, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Pearson Type III adalah: 1. Jika tidak menunjukkan sifat-sifat seperti ketiga distribusi diatas 2. Garis teoritis probabilitasnya berupa garis lengkung. Ada dua cara untuk mengetahui ketepatan distribusi probabilitas data hidrologi yaitu data yang ada diplot pada kertas probabilitas yang sudah desain khusus atau menggunakan skala plot yang melinierkan fungsi distribusi. Suatu garis lurus yang mempresentasikan sebaran data-data yang diplot
kemudian
ditarik sedemikian rupa berupa garis linier. Metode pengeplotan data dapat dilakukan secara empiris, persamaan yang umum digunakan adalah persamaan Weibull : Tr =
n +1 ……………………………………………. (11) m
dimana : m = Nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil. n = Banyaknya data atau jumlah kejadian. (Soedibyo, 2003). Menurut Sri Harto (2000), menyebutkan bahwa masing-masing distribusi mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over estimate maupun under estimate.
Universitas Sumatera Utara
Uji kecocokan Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov (Suripin, 2004). Uji Chi-Square Pada dasarnya uji ini merupakan pengecekan terhadap penyimpangan rerata data yang dianalisis berdasarkan distribusi terpilih. Penyimpangan tersebut diukur dari perbedaan antara nilai probabilitas setiap variant X menurut hitungan distribusi frekuensi teoritik (diharapkan) dan menurut hitungan dengan pendekatan empiris. Teknik pengujiannya yaitu menguji apakah ada perbedaan yang nyata antara data yang diamati dengan data berdasarkan hipotesis nol (H0) (Danapriatna dan Setiawan, 2005). Menurut Suripin 2004, Uji Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Parameter Xh2 merupakan variabel acak. Parameter X2 yang digunakan dapat dihitung dengan rumus: Xh2 = Dimana : Xh2
n
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
∑
.................................................... (12)
= parameter Chi-Square terhitung
G
= jumlah sub kelompok
Oi
= jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei
= jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Universitas Sumatera Utara
Cara memberikan interpretasi terhadap Chi-Square adalah dengan menentukan df atau db (derajat kebebasan). Uji ini digunakan untuk data yang variabelnya tidak dipengaruhi oleh varibel lain dan diasumsikan bahwa sampel dipilih secara acak (Hartono, 2004). Uji Smirnov-Kolmogorov Dalam statistika, uji smirnov-kolmogorov dipakai untuk membedakan dua buah sebaran data yaitu membedakan sebaran berdasarkan data hasil pengamatan sebenarnya dan populasi atau sampel yang diandaikan atau diharapkan. Nilainilai parameter populasi yang dipakai untuk menghitung frekuensi yang diharapkan atau frekuensi teoritik ditaksir berdasarkan nilai-nilai statistik sampel. Uji statistik ini dapat dirumuskan: Dn = max { F0(x)-SN(x)} ……………………………. (13) Dimana F0(x) menyatakan sebaran frekuensi kumulatif yaitu sebaran frekuensi teoritik berdasarkan H0. Untuk setiap harga x, F0(x) merupakan proporsi harapan yang nilainya sama atau lebih kecil dari x. SN(x) adalah sebaran frekuensi kumulatif dari suatu sampel sebesar N pengamatan. Uji ini menitikberatkan pada perbedaan antara nilai selisih yang terbesar (Wikipedia, 2006). Chakravart, et al (1967), menyatakan bahwa uji smirnov-kolmogorov dipergunakan untuk mengambil keputusan jika sampel tidak diperoleh dari distribusi spesifik. Tujuannya untuk menguji perbedaan distribusi kumulatif dari variabel kontinyu, sehingga merupakan test of goodness of fit. Uji smirnovkolmogorov (KS-tes) mencoba untuk memutuskan jika dua data berbeda secara signifikan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Danapriatna dan Setiawan (2005), Uji smirnov-kolmogorov
digunakan untuk pengujian sampai dimana sebaran data tersebut berdasarkan hipotesis. Uji ini ditegaskan berdasarkan H0: data mengikuti distribusi yang ditetapkan, Ha: data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan.
Intensitas Curah Hujan Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1992). Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadiaan hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah yang luas, jarang sekali dengan intensitas yang tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit (Sudjarwadi, 1987). Kurva frekuensi intensitas-lamanya adalah kurva yang menunjukan persamaan dimana t sebagai absis dan I sebagai ordinat. Kurva ini digunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan untuk perhitungan debit puncak dengan menggunakan intensitas curah hujan yang sebanding dengan waktu pengaliran curah hujan dari titik paling atas ke titik yang ditinjau di bagian hilir daerah pengaliran itu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Analisis hubungan dua parameter hujan yang penting berupa intensitas dan durasi dapat dihubungkan secara statistik dengan suatu frekuensi kejadiannya. Penyajian secara grafik hubungan ini adalah berupa kurva Intensity-DurationFrequency (IDF) (Loebis, 1992). Sri Harto (1993), menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas curah hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishgura. Menurut Loebis (1992), intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empiris menggunakan metode mononobe, intensitas curah hujan (I) dalam rumus rasional dapat dihitung berdasarkan rumus : R 24 I = 24 24 t
dimana: R
2/3
……………………………… (14)
= Curah hujan rancangan setempat (mm)
t
= Lamanya curah hujan (jam)
I
= Intensitas curah hujan (mm/jam)
Besar intensitas curah hujan tidak sama di segala tempat, hal ini dipengaruhi oleh topografi, durasi dan frekuensi di tempat atau lokasi yang bersangkutan. Ketiga hal ini dijadikan pertimbangan dalam membuat lengkung IDF (IDF curve = Intensity-Duration Frequency Curve). Lengkung IDF ini
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan ratarata dari waktu konsentrasi yang dipilih (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Waktu Konsentrasi Menurut Suripin (2004), waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi yang dapat ditulis sebagai berikut :
0,87 xL2 t = 1000 xS
0 , 385
………………………………... (15)
dimana: tc = Waktu konsentrasi dalam jam, L = Panjang sungai dalam Km, S = Kemiringan sungai dalam m/m.
Koefisien Limpasan Menurut (Eripin, 2005), koefisien limpasan adalah persentase jumlah air yang dapat melimpas melalui permukaan tanah dari keseluruhan air hujan yang jatuh pada suatu daerah. Semakin kedap suatu permukaan tanah, maka semakin tinggi nilai koefisien pengalirannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai koefisien limpasan adalah: kondisi tanah, laju infiltrasi, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah dan intensitas hujan.
Universitas Sumatera Utara
Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermabel dan jenuh di dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002). Koefisien aliran permukaan (C) merupakan pengaruh tata guna lahan dalam aliran permukaan, yakni bilangan yang menampilkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 – 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati nol dan semakin rusak suatu DAS maka harga C semakin mendekati satu (Kodoatie dan Syarief, 2005). Hassing (1995) berpendapat bahwa cara penentuan faktor C yang mengintegrasikan
nilai
yang
merepresentasikan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi hubungan antara hujan dan aliran, yaitu topografi, permeabilitas tanah, penutup lahan, dan tata guna lahan. Nilai koefisien C merupakan kombinasi dari beberapa faktor yang dapat dihitung berdasarkan Tabel 3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Koefisien Aliran untuk Metode Rasional Koefisien aliran C=Ct+Cs+Cv Topografi
Ct
Tanah
Cs
Vegetasi
Cv
Datar
0,03
Pasir dan gravel
0,04
Hutan
0,04
Bergelombang 0,08
Lempung berpasir
0,08
Pertanian
0,11
Perbukitan
0,16
Lempung dan lanau
0,16
Padang rumput
0,21
Pegunungan
0,26
Lapisan batu
0,26
Tanpa Tanaman
0,28
Sumber: Hassing, 1995. Menurut Suripin 2004, Jika DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefisien aliran permukaan yang berbeda, maka C yang dipakai adalah koefisien DAS yang dapat dihitung dengan persamaan berikut : n
∑C A CDAS =
i =1 n
i
i
∑A i =1
..................................................................... (16)
i
dimana : Ai = luas lahan dengan jenis penutup tanah i Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i n = jumlah jenis penutup lahan. Nilai koefisien limpasan berdasarkan metode rasional dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Koefisien Limpasan Berdasarkan Fungsi Lahan Menurut Metode Rasional Tata guna lahan Karakteristik Pusat bisnis dan perbelanjaan Industri Penuh Perumahan kepadatan sedang – tinggi 20 rumah /Ha 30 rumah /Ha 40 rumah /Ha 60 rumah /Ha Perumahan (kepadatan rendah Taman Daerah datar Parkir -
Koefisien Limpasan 0,9 0,8 0,48 0,55 0,65 0,75 0,4 0,3 0,95
Sumber :Haryono, 1999.
Universitas Sumatera Utara
Metode Rasional Metode rasional adalah metode yang digunakan untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Metode ini telah lama digunakan oleh para peneliti hingga saat ini. Ide yang melatarbelakangi metode rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I
terjadi secara terus-menerus, maka laju limpasan
langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi Tc. Waktu konsentrasi Tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan konstribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem adalah hasil curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai run off coefficient (C) dengan nilai 0≤C≤1 (Chow, 1988). Pendugaan
debit
puncak
dengan
menggunakan
metode
rasional
merupakan penyederhanaan besaran-besaran terhadap suatu proses penentuan aliran permukaan yang rumit akan tetapi metode tersebut dianggap akurat untuk menduga aliran permukaan dalam rancang bangun yang relatif murah, sederhana dan memberikan hasil yang dapat diterima (reasonable) (Gunawan, 1991). Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase daerah pengaliran yang relatif sempit dan mrupakan rumus tertua yang dan paling populer diantara rumus empiris lainnya. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut : Q = 0,2778.C.I.A .................................................................... (17) dimana: Q
= Debit banjir maksimum (m3/dtk)
C
= Koefisien pengaliran/limpasan
I
= Intensitas curah hujan rata-rata (mm/jam)
Universitas Sumatera Utara
A
= Daerah pengaliran (km2)
Rumus ini memiliki arti yakni, jika terjadi curah hujan selama 1 jam dengan intensitas 1 mm/jam dalam daerah seluas 1 km2, maka debit banjir sebesar 0,2778 m3/dtk dan melimpas selama 1 jam (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Menurut Wanielista (1990), beberapa asumsi dasar untuk menggunakan metode rasional adalah : 1.
Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.
2.
Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan intensitas tetap, sama dengan waktu konsentrasi.
3.
Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan
4.
Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.
Universitas Sumatera Utara