SOUTH and CENTRAL KALIMANTAN PRODUCTION FOREST PROJECT Jalan A. Yani, No. 37 (km35), Banjarbaru 70711, Indonesia Tel. (62) 0511 781 975 – 979, Fax: (62) 0511 781 613
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Lembar Kerja No. 3
Juni 2001
EUROPEAN COMMISSION – INDONESIA FOREST PROGRAMME
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
KATA PENGANTAR South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) merupakan proyek kerjasama teknis yang didanai bersama-sama, seperti dinyatakan dalam memorandum keuangan ALA/95/18, oleh Komisi Eropa (European Commission) dan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan (MoFEC). Laporan ini diselesaikan sesuai dengan Tahap I Overall Work Plan (OWP) dan sebagian memenuhi Kegiatan 6.1 “Melakukan penilaian lingkungan”, untuk mencapai Hasil 6 “Ekosistem hutan dan ekosistem sekitarnya di areal proyek dikelola untuk mempertahankan viabilitas dan keanekaragamannya”, untuk mewujudkan tujuan proyek untuk tiga tahun pertama, yakni “model SFM yang memperhatikan pedoman dan prinsip-prinsip ITTO yang dikembangkan dan dilaksanakan di dalam Aya Yayang dan areal pilot konsesi di Kalimantan tengah.” Laporan ini disusun dengan bantuan finansial dari Komisi Masyarakat Eropa. Pendapat, pandangan dan saran-saran yang disajikan dalam laporan ini merupakan pendapat konsultan dan tidak mencerminkan pendapat resmi Komisi Eropa. Laporan ini disusun oleh: Dr. Junaidi Payne (Ekologis, SCKPFP) Dengan ditandatanganinya oleh Co-Director Proyek, laporan ini diakui dan disetujui untuk disebarluaskan. Banjarbaru, Juni 2001
Dr. John Tew
Dr. Silver Hutabarat
International Co-Director
National Co-Director
i
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Drs. Muhammad Yani, Msi yang telah mengatur dan berpartisipasi dalam survey sebagaimana dilaporkan disini; dan kepada Ir. Eddy serta Ir. Maserani (Bappeda, HST), Yusi (DisHutBun, HST), Jaka Santosa dan Ahmad Salimi (Koramil Bilayang), Ahmad Apandi (Kecamatan Batu Tangga), Ahmad Padeli (mahasiswa), Norsewan, Kosim, Jaman dan Johar (Desa Hinas Kiri), Makorban, Panisa, Talip dan Dwi (Desa Kiyo) atas partisipasinya dalam kerja lapangan. Terima kasih kepada Pembekal (kepala desa) dan masyarakat Desa Kiyo, Desa Juhu, Desa Aingbantai (Dusun Pasumpitan) dan Desa Batu Perahu atas keramahannya. Laporan ini merupakan hasil diskusi dan tukar pendapat dengan Ir. Alfan Subekti, M. Sc, Ahli Lingkungan SCKPFP.
ii
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
EXECUTIVE SUMMARY SCKPFP was requested by Bappeda of Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) to conduct an ecological and environmental survey of the Meratus forests in HST. The survey was done with a team from HST between 23 – 29 April 2001. In general, the route followed well-established trails and rivers. Topography varies greatly through the area traversed, with slopes of less than 20% in valleys, lower hills and on ridge tops, and slopes exceeding 70% on some middle and higher zones. The Meratus mountains originate from dense, mainly basic and ultrabasic igneous rocks of the ocean floor, overlain by limestone and sedimentary rocks, which were forced up by plate collisions. The vegetation of the area traversed is divided for this report into twelve types. Non-irrigated rice represents the basis of farming throughout the region surveyed, and is usually cultivated at altitudes below 600 m asl and never above 750 m asl. Other cultivated land includes gardens, orchards and rubber plantation). Riverside and valley forest varies in composition but at lower altitudes is often dominated by the trees Saraca declinata and Dracontomelum dao. Young secondary growth (less than about 10 years old) which recolonises abandoned rice fields contains pioneer trees and much bamboo (several species) and shrubby growth. Old secondary growth typically has a fairly continuous canopy cover of greater than 6 metres, and / or scattered trees exceeding 30 cm dbh. In some areas, old secondary growth consists exclusively of dense bamboo groves which shade the ground and prevent re-entry of tree seeds. Hill dipterocarp forest is the natural vegetation of the Meratus hills below an altitude of about 900 metres, in which the majority of large trees are members of the family Dipterocarpaceae. Most dipterocarps on the west side of the Meratus mountains appear to be in the meranti merah group (Shorea species) while those at altitudes of below 700 on the eastern side appear to be a mixture of meranti merah, meranti kuning, meranti putih (all Shorea species) and keruing (Dipterocarpus species). Burned hill dipterocarp forest (dipterocarp forest which had been burned during the 1997 drought) is noted separately. There is clear evidence of the 1997 fire entering unlogged dipterocarp forest up to an altitude of about 720 m asl in some areas. Although the fire caused major damage to the overall forest structure and killed most small trees, the majority of large dipterocarps have survived. Roadside logged forest along an abandoned logging road on Bukit Penitiranggang contains a mix of pioneer trees, and planted Acacia mangium was also present. Logged forest away from the old road was not seen during this survey. Agathis forest (about 900 – 1100 m asl) is dominated by trees of the genus Agathis (presumed to be A. borneensis) and scattered large Shorea trees. Lower montane forest (1000 – 1300 m asl) contains few trees with a trunk diameter greater than 60 cm dbh, and the larger trees which are present include species of the families Lauraceae, Fagaceae and Myrtaceae rather than dipterocarps. Montane mossy forest occurs on the highest peaks (above about 1300 m asl) which form the boundary between the river systems flowing to the north-western and south-eastern
iii
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
sides of the Meratus mountains. Key features of this forest type are very abundant mosses and trees generally not exceeding 15 metres in height. Based on the appearance of vegetation seen during this survey, especially abundant mosses and other epiphytes at higher altitudes, annual rainfall in the Meratus area of HST appears to be high above about 800 m asl, and especially above 1000 m asl. The Meratus region appears to be rather susceptible to landslides. A very large slide consisting of mud, siltstones and large granite boulders was seen on the Juhu River. Based on observations made during the survey, and on information provided by local informants, in comparison with the author’s experience elsewhere, the mammal and bird fauna of the Meratus forests of HST is typical of that found in mountain ranges in Borneo. Based on observations made during this survey, the forest types and tree species composition in the Meratus mountains differ from those in Upper Tabalong catchment, which represents the only other remaining extensive accessible forest area in the province of South Kalimantan. The only other area in South Kalimantan which approaches a similar altitudinal range is the remote Gunung Luang (1096 m asl) which lies north of Tabalong. Based on observations made during this survey, most forest above 700 m asl appears to be natural forest which has never been cultivated (although some has been logged). In contrast, almost all land below 600 m asl has been or is being cultivated. The remaining forest areas in the Meratus area of HST require careful management because they represent the upper catchment areas of the Batangalai River (flowing to the heavily-populated areas of Barabai) and also of the upper Sampanahan River which flows towards the east, and they represent some of the best remaining natural forests in South Kalimantan which are easily accessible. It would be best to retain all forest on steep land in the upper Batangalai River and all other forest above about 700 m asl in the Meratus mountains of HST in their existing condition. Two possible methods to retain these forests would be establishment of protection forest or national park (as proposed by BKSDA, 1997). Another possible method would be to use Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, (Minister of Forestry Decree Number 31/II2001 on Implementation of Community Forests) which provides a procedure for identifying and managing specific protection forest or production forest areas for management by a local community. This would provide a legal basis for retaining the existing forest, and allowing sustainable harvesting of damar, rattan, wild meats and other forest products.
iv
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
RINGKASAN (INDONESIAN SUMMARY) SCKPFP telah diminta oleh Bappeda Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) untuk melakukan survey ekologi dan lingkungan pada hutan Meratus di HST. Survey dilaksanakan bersama dengan tim dari HST antara tanggal 23 – 29 April 2001. Pada umumnya, rute melalui jalan-jalan setapak dan sungai-sungai. Topografi daerah yang dilalui sangat bervariasi, dengan kelerengan lembahnya kurang dari 20%, perbukitan yang lebih rendah dan pada puncak pegunungan, dan kelerengan yang lebih dari 70% pada beberapa tempat di bagian tengah dan yang lebih tinggi. Gunung Meratus berasal dari kepadatan, terutama bebatuan dasar dan ultrabasic yang terbentuk karena panas gunung berapi di dasar laut, dengan hamparan batu kapur dan batu sedimen, yang ditekan keatas oleh pergeseran lapisannya. Vegetasi daerah yang dilalui dalam laporan ini dibagi menjadi dua belas jenis. Ladang tanpa irigasi mewakili pertanian dasar pada seluruh daerah yang disurvey, dan biasanya ditanami pada ketinggian dibawah 600 m dpl dan tidak pernah diatas 750 m dpl. Daerah pertanian lain termasuk kebun, kebun buahbuahan dan kebun karet. Tepi sungai dan hutan lembah bervariasi komposisinya tapi pada ketinggian yang lebih rendah biasanya didominasi oleh pohon-pohon Saraca declinata dan Dracontomelum dao. Pertumbuhan sekunder muda (umurnya kira-kira kurang dari 10 tahun) yang tumbuh melimpah pada ladang padi terdiri dari pohon-pohon perintis dan banyak bambu (beberapa jenis) dan pertumbuhan semak-semak. Pertumbuhan sekunder tua agaknya memiliki lapisan tajuk yang terus menerus lebih besar dari 6 meter, dan/atau pohon-pohon yang tersebar dengan ukuran melebihi 30 cm dbh. Di beberapa tempat, pertumbuhan sekunder tua terdiri dari kelompok bambu yang padat yang menaungi tanah dan menghalangi pertumbuhan kembali bibit-bibit pohon. Hutan dipterocarp perbukitan adalah merupakan vegetasi alami perbukitan Meratus pada ketinggian dibawah kira-kira 900 meter, dimana sebagian besar pohon-pohon besarnya merupakan anggota dari famili Dipterocarpaceae. Sebagian besar dipterocarp pada bagian barat pegunungan Meratus sepertinya menjadi kelompok Meranti merah (spesies Shorea) sementara pada ketinggian dibawah 700 meter di sebelah timur kelihatannya menjadi suatu campuran dari meranti merah, meranti kuning, meranti putih (semua spesies Shorea) dan keruing (spesies Dipterocarpus). Hutan dipterocarp perbukitan yang telah terbakar (hutan dipterocarp yang telah terbakar pada musim kemarau tahun 1997) yang diketahui terjadi secara terpisah. Terdapat bukti yang jelas mengenai kebakaran pada tahun 1997 yang memasuki hutan dipterocarp yang tidak ditebang mencapai ketinggian kira-kira 720 m dpl pada beberapa tempat. Meskipun kebakaran menyebabkan kerusakan yang besar pada seluruh struktur hutan dan mematikan hampir seluruh pohon-pohon kecil, sebagian besar pohon-pohon dipterocarp berukuran besar tetap bertahan. Hutan yang telah ditebang di tepi jalan sepanjang jalan penebangan pada Bukit Penitiranggang terdiri dari campuran pohon-pohon perintis, dan kebun Acacia mangium juga ditemukan. Hutan yang telah ditebang jauh dari jalan lama yang tidak terlihat selama survey ini. Hutan Agathis (kira-kira 900 – 1100 m dpl) yang didominasi oleh pohon-pohon dari genus Agathis (dianggap menjadi A. borneensis) dan pohon-pohon Shorea besar yang berpencar-pencar. Hutan pegunungan yang lebih rendah (1000 – 1300 m dpl) terdiri dari sedikit pohon dengan diameter batang pohon lebih dari 60 v
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
cm dbh, dan pohon-pohon yang berukuran besar pada umumnya berasal dari famili Lauraceae, Fagaceae dan Myrtaceae. Hutan berlumut di pegunungan terdapat di atas puncak yang tinggi (kira-kira diatas 1300 m dpl) yang letak perbatasannya diantara sistem sungai yang mengalir ke bagian barat laut dan bagian tenggara pegunungan Meratus. Hal penting dari jenis hutan ini adalah sangat melimpahnya lumut dan pohon-pohon yang tingginya biasanya tidak lebih dari 15 meter. Berdasarkan pada keberadaan vegetasi yang terlihat selama survey, khususnya dengan melimpahnya lumut dan epifit lainnya pada tempat yang lebih tinggi, curah hujan tahunan di daerah Meratus HST kelihatannya menjadi lebih tinggi kira-kira diatas 800 m dpl, dan terutama diatas 1000 m dpl. Tanah longsor di wilayah Meratus tampaknya mudah terjadi. Suatu longsor yang sangat besar yang mengandung lumpur, siltstone dan potongan batu granit berukuran besar terlihat di Sungai Juhu. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey, dan informasi yang diperoleh dari para informan lokal, dibandingkan dengan pengalaman penulis di tempat lain, mamalia dan burung di hutan Meratus HST merupakan fauna yang umum ditemukan di jajaran pegunungan Borneo. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey ini, jenis hutan dan komposisi spesies pohon di pegunungan Meratus berbeda dengan yang ada di tangkapan Hulu Tabalong, yang menggambarkan satu-satunya areal hutan luas yang masih tersisa yang dapat terjangkau di propinsi Kalimantan Selatan. Satusatunya daerah hutan lain di Kalimantan Selatan yang ketinggiannya hampir serupa adalah Gunung Luang (1096 m dpl) yang terletak di bagian utara tangkapan Tabalong. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey, sebagian besar hutan yang berada pada ketinggian lebih dari 700 m dpl kelihatannya menjadi hutan alami yang tidak pernah ditanami (meskipun beberapa telah ditebang). Sebaliknya, hampir seluruh daerah pada ketinggian dibawah 600 m dpl telah atau sedang ditanami. Daerah-daerah hutan yang tersisa di kawasan Meratus HST perlu dikelola dengan hati-hati karena tempat tersebut mewakili daerah-daerah tangkapan hulu Sungai Batangalai (mengalir ke daerah pemukiman penduduk yang padat di Barabai) dan juga hulu sungai Sampanahan yang mengalir ke arah timur, dan juga mewakili beberapa hutan alam terbaik yang masih tersisa di Kalimantan Selatan yang dapat dijangkau dengan mudah. Akan lebih baik untuk melindungi seluruh hutan pada daerah yang curam di hulu Sungai Batangalai dan semua hutan lain yang berada pada ketinggian kira-kira diatas 700 m dpl di pegunungan Meratus HST sesuai dengan keberadaannya. Dua metode yang mungkin digunakan untuk mempertahankan hutan-hutan tersebut adalah penegakan perlindungan hutan atau taman nasional (sebagaimana yang dianjurkan oleh BKSDA, 1997). Metode lain yang mungkin digunakan adalah dengan menggunakan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/II2001 tentang Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan) yang menyediakan satu prosedur untuk vi
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
mengidentifikasi dan mengelola hutan lindung yang spesifik atau daerah hutan produksi untuk dikelola oleh masyarakat setempat. Hal tersebut dapat memberikan satu dasar hukum untuk mempertahankan keberadaan hutan, dan memungkinkan untuk mengambil hasil damar, rotan, makanan liar dan hasil hutan lain secara berkesinambungan.
vii
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
SINGKATAN DAN AKRONIM BAPPEDA
Badan Perencanaan Daerah (=Local Planning Board)
cm dbh
Centimeter diameter setinggi dada
EA
Environmental Assessment Project Component
GPS
Global Positioning System
HST
(Kabupaten) Hulu Sungai Tengah
Kabupaten
District
Kecamatan
Sub-district
Koramil
Komando Rayon Militer (Kecamatan level military command)
m dpl
meter diatas permukaan laut
PEMDA
Pemerintah Daerah (=Local Government)
SCKPFP
South/Central Kalimantan Production Forest Project
viii
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Daftar Isi Kata pengantar ........................................................................................................................................................................i UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................................................................................ii EXECUTIVE SUMMARY ...................................................................................................................................................iii RINGKASAN (Indonesian Summary)..................................................................................................................................v SINGKATAN DAN AKRONIM ........................................................................................................................................viii 1
Pendahuluan .....................................................................................................................................................1
2
Metode...............................................................................................................................................................2
3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.5.1 3.5.2 3.5.3 3.5.4 3.5.5 3.5.6 3.5.7 3.5.8 3.5.9 3.5.10 3.5.11 3.5.12 3.6 3.6.1 3.6.2
Hasil...................................................................................................................................................................3 Topografi............................................................................................................................................................3 Geologi...............................................................................................................................................................3 Curah hujan ........................................................................................................................................................3 Tanah longsor.....................................................................................................................................................3 Vegetasi..............................................................................................................................................................4 Ladang padi........................................................................................................................................................4 Lahan perkebunan lain .......................................................................................................................................4 Hutan di tepi sungai dan lembah ........................................................................................................................4 Pertumbuhan sekunder muda .............................................................................................................................5 Hutan sekunder tua.............................................................................................................................................5 Hutan dipterocarp perbukitan.............................................................................................................................5 Hutan dipterocarp perbukitan yang telah terbakar .............................................................................................5 Hutan yang telah ditebang di tepi jalan ..............................................................................................................6 Hutan yang telah ditebang..................................................................................................................................6 Hutan agathis......................................................................................................................................................6 Hutan pegunungan yang lebih rendah ................................................................................................................6 Hutan berlumut di pegunungan ..........................................................................................................................6 Margasatwa ........................................................................................................................................................7 Mamalia .............................................................................................................................................................7 Burung................................................................................................................................................................9
4
Diskusi.............................................................................................................................................................13
5
Kesimpulan .....................................................................................................................................................14
6
Referensi .........................................................................................................................................................15
Daftar Tabel Tabel 1 : Jadwal dan rute survey ..............................................................................................................................................2 Tabel 2 : Mamalia di hutan Meratus, Hulu Sungai Tengah ......................................................................................................7 Tabel 3 : Burung-burung besar di hutan Meratus, Hulu Sungai Tengah ..................................................................................9
ix
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Daftar Gambar Gambar 1. Ladang padi (Pasumpitan, 320 m dpl) menunjukan pertumbuhan sekunder tua dan hutan dipterocarp berbukit ....................10 Gambar 2. Lahan pertanian, Desa Juhu (410 m dpl).......................................................................................................................10 Gambar 3. Vegetasi tepi sungai (hulu Sungai Aingbantai, 470 m dpl) dengan sedikit longsor alami yang dapat dilihat disebelah kiri gambar.............................................................................................................................................................................10 Gambar 4. Ladang, pertumbuhan sekunder muda dan tua (antara Sungai Maing dan Beganjung, 450 m dpl) dengan pemandangan puncak Kilai dikejauhan................................................................................................................................................................10 Gambar 5. Hutan bambu (sebelah timur Bukitan, 720 m dpl), jalan lama antara Aingbantai dan Batu Perahu ......................................10 Gambar 6. Percampuran hutan sekunder tua dan hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Bukitan, 720 m dpl) .................................11 Gambar 7. Hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Dataralai, 1000 m dpl) menunjukan pohon Shorea platyclados ? ......................11 Gambar 8. Hutan dipterocarp yang telah terbakar (antara Kilai dan Juhu, 700 m dpl) menunjukan pohon-pohon asli yang bertahan sejak kebakaran tahun 1997(terutama Shorea) ..............................................................................................................................11 Gambar 9. Hutan dipterocarp berbukit (Dataralai, 850 m dpl) pada lereng yang curam ......................................................................11 Gambar 10. Hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Dataralai, 1000 m dpl) yang kaya akan palm liar ............................................11 Gambar 11. Hutan Agathis (sebelah timur Kilai, 1000 m dpl) .........................................................................................................12 Gambar 12. Hutan pegunungan rendah (sebelah barat Kilai, 1350 m dpl) ........................................................................................12 Gambar 13. Hutan pegunungan lebih rendah (sebelah barat Bukitan, 1100 m dpl) menunjukan vegetasi tanah .....................................................12
Gambar 14. Hutan lumut pegunungan (Kilai, 1465 m dpl) .............................................................................................................12 Gambar 15. Tanah longsor (Januari 2001) di Sungai Juhu (penulis berjalan ke dalam hutan pada bagian atas gambar) .........................12
x
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
1
Pendahuluan Komponen Penilaian Lingkungan dari SCKPFP telah diminta oleh Bappeda Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) untuk melakukan survey ekologi dan lingkungan di hutan Meratus HST. Survey dilaksanakan bersama dengan tim dari HST antara 23 – 29 April 2001. Penekanannya adalah pada masalah tangkapan air, margasatwa dan masalah ekologi lainnya. Anggota tim adalah Junaidi Payne dan Alfan Subekti dari SCKPFP bersama dengan pihak-pihak sebagaimana disebutkan pada bagian Ucapan terima kasih dari laporan ini.
1
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
2
Metode Rute yang dilalui ditunjukan pada Tabel 1 dan Peta 1. Pada umumnya, rute melalui jalan-jalan setapak dan sungai-sungai. Pembacaan GPS terhadap beberapa lokasi dilakukan apabila memungkinkan, namun topografi yang berbukit, tutupan awan dan/atau tajuk pohon menghalangi pembacaan di banyak tempat, terutama seluruh rute bukit Bukitan antara Aingbantai dan Desa Batu Perahu. Catatan-catatan yang dibuat mengenai aspek-aspek topografi, geologi, vegetasi dan hewan yang diobservasi selama survey, dilakukan sesuai dengan waktu yang ada dan cuaca yang memungkinkan. Tersedianya peta rupabumi yang relevan (Peta Rupabumi Indonesia, 1:50,000, Lembar 1813-13 Batutangga, tahun 1991) dan peta geologi (Peta Geologi Lembar Sampanahan, Kalimantan, 1:250,000, tahun 1994) diteliti dengan seksama.
Tabel 1 : Jadwal dan rute survey
Rute / lokasi
Tanggal / waktu
Catatan
23 April pagi
Banjarbaru – Barabai – Sulang’ai
Perjalanan
23 April sore
Sulang’ai – Hinas Kiri - Kiyo
Sepeda motor
24 April pagi
Dari Kiyo lewat jalan penebangan lama melalui gunung Panitiranggang Hulu sampai ke Sungai Batangalai
24 April sore
Sungai Dataralai lewat air terjun Gus Dur /pohon Megawati ke kamp Jumantir
17.00 – 22.00 hujan
25 April pagi
Jumantir ke puncak Kilai
07.00 - 11.00 hujan
25 April sore
Kilai ke Desa Juhu
26 April
Di Desa Juhu
27 April pagi
Desa Juhu lewat Sungai Juhu & Puai Juhu ke Canting Tingkit
27 April sore
Canting Tingkit lewat Puai Aingbantai ke Pasumpitan (bagian dari Desa Aingbantai)
28 April pagi
Pasumpitan ke hulu sungai Aingbantai
28 April sore
Hulu Aingbantai lewat puncak pegunungan Bukitan ke Desa Batu Perahu
29 April pagi
Batu Perahu lewat jalan penebangan tua melalui gunung Panitiranggang Hilir ke Desa Atiran
29 April sore
Atiran – Hinas Kiri – Sulang’ai – Barabai Banjarbaru
13.30-14.30 hujan
Sumber: Catatan-catatan survey
2
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
3 3.1
Hasil Topografi Topografi pada daerah yang dilalui sangat bervariasi, dengan kelerengan lembahnya kurang dari 20 %, bukit yang lebih rendah (terutama di sebelah timur pegunungan Meratus) dan pada puncak pegunungan, dan kelerengan yang lebih dari 70% pada beberapa tempat di bagian tengah dan yang lebih tinggi.
3.2
Geologi Gunung Meratus berasal dari kepadatan, terutama bebatuan dasar dan ultrabasic yang terbentuk karena panas gunung berapi di dasar laut, dengan hamparan batu kapur dan batuan sedimen, yang ditekan keatas oleh pergeseran lapisannya. Menurut peta geologi tahun 1994 (1: 250.000) rute yang dilalui termasuk (a) granit Batangalai (hulu Sungai Panghiki dekat Hinas Kiri dan Kiyo), (b) batuan ultrabasic dengan beberapa batuan lain yang terbentuk oleh panas gunung berapi dan batu kapur (perbukitan Penitiranggang), (c) pembentukan Haruyan, terutama berasal dari basal gunung berapi (lembah Batangalai) dan (d) formasi Pitap, campuran kompleks dari batu pasir, siltstone, chert, batu kapur dan basal diatas granit (dari atas jajaran Meratus membentang ke arah timur sampai ke Canting Tingkit).
3.3
Curah hujan Data curah hujan untuk daerah dataran tinggi gunung Meratus tidak tersedia. Lumut, epifit dan semak bukan kayu serta tanaman herba sangat melimpah dibandingkan dengan dataran rendah pada ketinggian kira-kira 800 m dpl. Lumut dan tumbuhan lain yang membutuhkan kelembaban secara terus menerus sangat melimpah pada puncak yang tinggi, menunjukan total rata-rata curah hujan pertahun mencapai 4.000 mm pada tempat yang lebih tinggi.
3.4
Tanah longsor Di daerah Meratus kelihatannya lebih mudah terjadi tanah longsor. Beberapa diantaranya terjadi karena mengikuti konstruksi jalan-jalan penebangan pada lereng-lereng yang curam, sebagaimana yang terjadi di jalan penebangan lama di Peniteranggang. Namun, baru-baru ini tanah longsor secara alami (skala kecil) terjadi di hutan tidak terganggu yang kemudian diketahui disebabkan oleh banyaknya pengendapan dari dua sungai yang mengalir ke Sungai Datalarai, dari bagian tenggara. Longsor yang sangat besar yang terdiri dari unsur lumpur, siltstone dan potongan batu granit besar terlihat di Sungai Juhu pada peta UTM koordinat 0351658, 9701767. Sumber informasi lokal menyatakan bahwa longsor ini terjadi dalam satu malam pada bulan Januari 2001, yang disebabkan aliran sungai Juhu (lebar aslinya sekitar 20 meter dan direntangkan oleh kaki gunung) melebar hampir 100 meter. Panjang longsor yang terjadi tidak dapat diperhitungkan, namun diasumsikan menjadi lebih dari 2 km dari atas sungai.
3
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
3.5
Vegetasi Vegetasi pada daerah yang dilalui menggambarkan suatu rangkaian perkebunan, daerah bukan hutan sampai ke hutan lumut pegunungan yang tidak terganggu di atas gunung Meratus. Untuk membantu memahami macam-macam vegetasi di daerah Meratus, rangkaian tersebut dipisahkan dalam 12 tipe vegetasi, terutama berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey ini. Akan tetapi, survey dan penelitian yang akan datang agaknya perlu menyaring klasifikasi tumbuhan permulaan ini. Bambu (beberapa spesies) merupakan bagian yang sangat menarik pada wilayah yang disurvey, banyak terdapat di daerah perkebunan dan sepanjang tepi sungai, seperti pertumbuhan sekunder. Keberadaan bambu biasanya merupakan petunjuk adanya gangguan pada penutupan hutan di masa lalu. Jadi, dimanapun terdapat bambu biasanya tempat tersebut merupakan ladang padi atau pemukiman di masa lalu, meskipun bambu mungkin juga terdapat dibeberapa tempat tanah longsor alami, tepi sungai dan hutan bekas terbakar.
3.5.1
Ladang padi Ladang tanpa irigasi (Gambar 1) menggambarkan basis pertanian diseluruh wilayah yang disurvey. Ladang-ladang tersebar luas, dan sepertinya luas masingmasing ladang tersebut lebih dari 1 hektar. Berdasarkan penyebaran hutan sekunder (lihat 3.5.5) pada seluruh transek, padi biasanya ditanam pada ketinggian dibawah 600 m dpl dan tidak pernah diatas 750 m dpl. Kemungkinan alasan utama pembatasan pemilihan ketinggian tersebut kelihatannya berhubungan dengan curah hujan yang besar pada daerah yang lebih tinggi, membuat pembakaran tumbuhan yang telah ditebang menjadi sulit dan mungkin juga karena lapisan awan yang selalu menghalangi pertumbuhan tanaman.
3.5.2
Lahan perkebunan lain Lahan perkebunan lain meliputi (a) kebun di dekat rumah, (b) kebun buah-buahan yang terdiri dari campuran pohon buah dan tanaman berguna lainnya seperti kayu manis (Cinnamomum buhrmanii), buah kemiri (Aleurites moluccana) dan palem gula aren (Arenga pinnata), serta (c) perkebunan karet (hanya terlihat pada daerah dataran rendah sebelah barat gunung Meratus).
3.5.3
Hutan di tepi sungai dan lembah Saraca declinata dan Dracontomelum dao diketahui sebagai pohon tepi sungai yang biasa ditemukan pada ketinggian yang lebih rendah; pohon endemik Kalimantan yaitu Endertia spectabilis (Leguminosae) yang ditemukan melimpah pada tempat yang lembab, daerah berbatu di Hulu Tabalong, tidak ditemukan disini. Hutan yang berasal dari hutan dipterocarp dataran rendah tidak ditemukan dan mungkin tidak bertahan lama, karena telah dibuat ladang beberapa waktu yang lalu. Sisa pohon-pohon asli dari hutan lembah dataran rendah yang menyebar (dibawah 350 m dpl) ditemukan di sekitar Pasumpitan, termasuk beberapa pohon Koompassia excelsa. Jenis rotan seperti Calamus manan, C. optimus dan C. caesius juga ditemukan di daerah hutan ini. Hutan tepi sungai pada daerah yang lebih tinggi adalah khas pada lereng, bebatuan dan lereng yang tidak stabil (Gambar 3).
4
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
3.5.4
Pertumbuhan sekunder muda Pertumbuhan sekunder muda (Gambar 4) yang tumbuh melimpah pada ladang padi terdiri dari pohon-pohon perintis dan banyak bambu (beberapa jenis) dan pertumbuhan semak-semak seperti Zingiberaceae. Ada satu rangkaian kesatuan antara pertumbuhan sekunder “muda” dan pertumbuhan sekunder “tua” (3.5.5). Pemotongan yang agak sembarangan dapat menyebabkan pertumbuhan sekunder muda umurnya kurang dari 10 tahun, dan memiliki lapisan tajuk pohon yang belum lengkap yang tingginya kira-kira kurang dari 6 meter. Penulis belum pasti apakah lapisan bambu yang terbentuk sebagai hasil dari penanaman yang disengaja dan berapa banyak yang mewakili pertumbuhan kembali secara alami.
3.5.5
Hutan sekunder tua Hutan sekunder tua adalah dianggap berbeda dari hutan sekunder tua yang berumur lebih dari 10 tahun dan memiliki (a) lapisan tajuk yang hampir secara terus menerus lebih besar dari 6 meter, dan / atau (b) pohon-pohon yang tersebar dengan ukuran melebihi 30 cm dbh. Bambu (beberapa spesies) melimpah pada pertumbuhan sekunder tua seperti halnya pada hutan sekunder muda. Di beberapa tempat, hutan sekunder tua tertentu terdiri dari kelompok bambu yang padat yang menaungi tanah dan menghalangi pertumbuhan kembali bibit-bibit pohon. Di tempat lain, terdapat kombinasi yang baik dari pohon-pohonan dengan bambu, di beberapa tempat (diketahui di Canting Tingkit) termasuk meranti merah (Shorea species) tumbuh dengan baik.
3.5.6
Hutan dipterocarp perbukitan Vegetasi alami di perbukitan Meratus yang terletak pada ketinggian dibawah kirakira 900 meter merupakan hutan dipterocarp (Gambar 9 dan 10), dimana kebanyakan pohon-pohon besarnya merupakan anggota dari famili Dipterocarpaceae. Perbedaan antara tempat-tempat yang ditemukan selama survey ini mewakili kelompok-kelompok yang berbeda dari pohon-pohon dipterocarp. Sebagian besar dipterocarp di sebelah barat gunung Meratus tampaknya menjadi kelompok meranti merah (spesies Shorea) sementara itu pada ketinggian dibawah 700 m di sebelah timur tampaknya menjadi suatu campuran dari meranti merah, meranti kuning, meranti putih (semua spesies Shorea) dan keruing (spesies Dipterocarpus). Identifikasi tingkat spesies berikut bersifat sementara dan memerlukan penelitian lebih lanjut : Shorea platyclados (lereng sebelah barat yang lebih rendah di Kilai); Shorea assamica subspesies philippinensis (sebelah timur Kilai). Pada rute yang diambil, kepadatan dan keragaman pohon-pohon dipterocarp biasanya lebih banyak di sebelah timur Kilai. Meskipun tidak ada pendapat pasti yang dapat dibuat tanpa survey lebih lanjut, namun diperoleh kesan bahwa kepadatan dari semaian dipterocarp dan pohon-pohon kecil pada umumnya sedikit. Hal ini tidak lazim pada hutan-hutan yang berbukit, dimana perbuahan tidak sering terjadi dan musim kemarau secara berkala dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada semaian.
3.5.7
Hutan dipterocarp perbukitan yang telah terbakar Hutan dipterocarp perbukitan yang telah terbakar selama musim kemarau tahun 1997 (Gambar 8) yang diketahui terjadi secara terpisah, menarik dalam dua hal. Pertama, seringkali diasumsikan bahwa kebakaran secara signifikan tidak dapat mempengaruhi kerusakan hutan dipterocarp yang tidak ditebang. Namun, terdapat 5
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
bukti yang jelas mengenai kebakaran pada tahun 1997 yang telah memasuki hutan dipterocarp yang tidak ditebang mencapai ketinggian kira-kira 720 m dpl (a) antara Sungai Batangalai dan puncak Dataralai (tempat ini, terletak diatas lereng bukit dengan air terjun Gus Dur), dan (b) di bagian utara Sungai Juhu. Hal kedua yang menarik adalah, meskipun kebakaran menyebabkan kerusakan yang besar pada seluruh struktur hutan dan mematikan hampir seluruh pohon-pohon kecil, sebagian besar pohon-pohon dipterocarp berukuran besar tetap bertahan. Meskipun demikian, berdasarkan ketiadaan tanaman yang baru tumbuh, menunjukan bahwa hampir seluruh pohon-pohon yang bisa bertahan tersebut tidak berbuah setelah tahun 1997. Pada dasarnya hal tersebut merupakan sisa dari pohon-pohon dipterocarp yang bertahan, dan tidak ditebang, sehingga mereka bisa bertahan sebagai pohon bibit yang memungkinkan hutan untuk tumbuh kembali. Memang, daerah yang telah terbakar mungkin di masa yang akan datang akan menjadi hutan dipterocarp yang subur, seperti beberapa sumber bibit pohon lainnya selain pohonpohon perintis seperti Macaranga di daerah ini. 3.5.8
Hutan yang telah ditebang di tepi jalan Rute yang dilalui di Bukit Penitiranggang terutama mengikuti jalan penebangan yang tertutup oleh banyak tanaman, yang digunakan pada akhir tahun 1970an – awal tahun 1980an. Campuran pohon-pohon perintis yang biasa ditemukan adalah termasuk dalam spesies Macaranga, Octomeles sumatrana, spesies Euodia, Duabanga moluccana, Anthocephalus chinensis, spesies Ficus, spesies Alstonia, spesies Glochidion dan spesies Trema. Terdapat kebun Acacia mangium.
3.5.9
Hutan yang telah ditebang Sejak rute tidak tersesat dari bekas jalan utama, kondisi umum dari hutan yang telah ditebang tidak terlihat selama survey ini.
3.5.10 Hutan agathis Agathis (dianggap menjadi A. borneensis) umumnya ditemukan di sebelah timur Kilai pada ketinggian kira-kira 900 – 1100 m dpl. Beberapa pohon ukurannya lebih dari 100 cm dbh. Pada jenis hutan ini (Gambar 11), Agathis merupakan salah satu pohon berukuran besar yang umum ditemukan, meskipun pohon Shorea besar juga terdapat di daerah hutan yang sama. 3.5.11 Hutan pegunungan yang lebih rendah Jenis hutan ini (Gambar 12 dan 13) adalah lebih jelas terlihat pada bagian barat Kilai (antara 1000 dan 1300 m dpl) dan Bukitan (antara 1000 dan 1100 m dpl). Hutan pegunungan yang lebih rendah terdiri dari beberapa pohon dengan diameter batang pohon lebih dari 60 cm dbh, dan pohon-pohon yang lebih besar dari pada hutan dipterocarp termasuk spesies dari famili Lauraceae, Fagaceae dan Myrtaceae. Hutan ini berbeda dari hutan Agathis (3.5.10) yang mengandung beberapa atau tidak satupun pohon Agathis, dan dari hutan pegunungan yang berlumut (3.5.12) yang memiliki sedikit lumut dan banyak ragamnya serta pohon-pohon yang tinggi. 3.5.12 Hutan berlumut di pegunungan Ini merupakan jenis hutan (Gambar 14) yang terdapat di atas puncak yang tinggi (kira-kira diatas 1300 m dpl) yang letak perbatasannya diantara tangkapan Sungai 6
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Batangalai (yang mengalir ke bagian barat laut) dan Sungai Sampanahan (yang mengalir ke bagian tenggara). Jenis pohon di hutan ini tidak diidentifikasi. Hal yang menarik dari jenis hutan ini adalah sangat melimpahnya lumut di akar pepohonan, batang-batang pohon dan ranting-ranting, serta diatas tanah, dengan pohon-pohon yang biasanya tingginya tidak lebih dari 15 meter.
3.6
Margasatwa Disebabkan oleh singkatnya waktu untuk survey ini, dan kenyataan bahwa rute yang dilalui ditekankan pada sungai-sungai dan jalan setapak yang ada, maka hanya memungkinkan untuk memperoleh informasi yang terbatas tentang margasatwa.
3.6.1
Mamalia Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey, dan berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan setempat, dibandingkan dengan pengalaman penulis di tempat lain, mamalia hutan Meratus di HST adalah merupakan fauna yang khas ditemukan di jajaran pegunungan Borneo. Orang-utan tidak terdapat di hutan Meratus. Dilaporkan bahwa banteng terdapat lebih kearah timur dari kecamatan Sungai Durian.
Tabel 2 : Mamalia di hutan Meratus, Hulu Sungai Tengah
Nama ilmiah
Nama lokal
Bahasa Indonesia
Catatan
Echinosorex gymnurus
Biyuntung
Rindil Bulan
1. Biasanya terdapat di daerah yang lebih rendah, lembah yang lembab
Manis javanica
Tanggiling
Trenggiling peusing
1. Terutama di dataran rendah, bergantung pada melimpahnya semut dan rayap
Tarsius bancanus
Tanta Lisan
Krabuku Ingkat
1. Terutama di pertumbuhan sekunder dataran rendah
Nycticebus coucang
Kukang
Kukang Bukang
1. Terutama di dataran rendah
* Presbytis frontata
Hirangan
Lutung Dahi-putih
2. Terdengar / terlihat di Jumantir (900 m dpl) dan Juhu (800 m dpl)
Macaca nemestrina
Bangkoi
Beruk
1. Hewan perusak di ladang & kebun
Macaca fascicularis
Kera
Kra
2. Hewan perusak di ladang & kebun; terdengar di Juhu
* Hylobates muelleri
Undau
Owa
2. Terdengar di seluruh daerah hutan dipterocarp
Ratufa affinis
Tangka
Jelarang Bilalang
1. Tidak terdengar, menunjukan kelangkaannya
?* Dremomys everetti
Tanggalak’ari
Bajing Gunung
1.Tupai gunung, sebelumnya 7
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
hanya tercatat di Sabah & Sarawak * Sundasciurus species
Gegarak Andu
Bajing
1. Kemungkinan terdapat satu atau keduanya dari spesies gunung (S. jentinki, S. brookei)
Nannosciurus melanotis
Kudading
Bajing-kerdil telinga-hitam
2. Terdengar di sebagian besar daerah hutan yang tinggi Heard in most areas of tall forest
?* Exilisciurus whiteheadi
Kumpis
Bajing-kerdil telingakuncung
1. Dilaporkan ada tapi tidak kelihatan
* Rheithrosciurus macrotis
Kambu-kambu
Bajing-tanah ekor-tegak
1. Spesies hutan dipterocarp berbukit, merupakan endemik Borneo
Petaurista elegans
Ku’ung Tanduhut
Bajing-terbang Totol
1. Spesies hutan pegunungan
Hystrix brachyura
Landak angih
Landak raya
1. Dilaporkan mendukung hutan Agathis
* Hystrix crassispinis
Landak pantai
Landak butun
1. Dilaporkan mendukung daerah yang lebih rendah
Trichys fasciculata
Angkis
Angkis
1.
Helarctos malayanus
Beruang
Beruang
1. Memangsa terutama rayap, serangga dan buah-buahan termasuk Ficus dan Fagaceae
Martes flavigula
Laruk
1. Reported locally to prey on kijang
Mustela nudipes
Selusuk
1.
Mydaus javanensis
Sa’at
Teledu
1. Di lahan pertanian; menyukai lahan yang berbau
Aonyx cinerea
Barang-barang
Sero ambrang
2. Aliran-aliran sungai. Ditemukan kotorannya
Viverra tangalunga
Nasilampung
Tenggalung
1.
Arctogalidia trivirgata
Musang tambang
Musang akar
1.
Arctictis binturong
Musang raya
Binturung
1.
Paguma larvata
Musang tangkuhak
Musang galling
1.
Paradoxurus hermaphroditus
Musang pandan
Musang luwak
1.
Prionodon linsang
Walitang
Linsang
1.
Diplogale derbyanus
Macan burung
Musang belang
1.
? * Diplogale hosei
Musang jayau
Musang gunung
1. Sebelumnya hanya tercatat di Sabah dan Sarawak
Neofelis nebulosa
Macan tandang
Macan dahan
1.
Sus barbatus
Bayi
Babi hutan
2.
Tragulus javanicus
Pelanduk burakit
Pelanduk kancil
1.
Tragulus napu
Pelanduk bungkalang
Pelanduk napu
1.
Muntiacus muntjac
Kijang
Kijang
2. Ditemukan tanduk M. muntjac
Cervus unicolor
Minjangan
Rusa
2.
Sumber: 1 = keberadaannya diidentifikasi oleh Bapak Panisa & Makorban. 2 = melihat bukti atau mendengarnya selama survey. ? = keberadaannya tidak meyakinkan. * = endemik pulau Borneo. Nama lokalnya disediakan oleh Bapak Panisa dan Makorban. 8
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Tabel 3 : Burung-burung besar di hutan Meratus, Hulu Sungai Tengah
Nama ilmiah
Nama lokal
Bahasa Indonesia
Catatan
Argusianus argus
Haruai
Kuau raja
1.
Buceros vigil
Tanghulu
Rangkong gading
2.
Buceros rhinoceros
Enggang
Rangkong badak
2.
Anorrhinus galeritus
Alak-alak
Enggang klihingan
2.
Aceros undulatus
Bainah
Julang emas
1.
Aceros comatus
Singkoikoi
Enggang jambul
1.
Sumber: 1 = keberadaannya diidentifikasi oleh Bapak Panisa & Makorban. 2 = terlihat atau terdengar selama survey. Nama lokal disediakan oleh Bapak Panisa and Makorban. 3.6.2
Burung Berdasarkan pada observasi yang dilakukan selama survey, dan informasi yang diperoleh dari para informan lokal, dibandingkan dengan pengalaman penulis di tempat lain, burung hutan Meratus HST adalah khas fauna yang ditemukan di hutan dipterocarp perbukitan dan hutan pegunungan yang lebih rendah di Borneo. Akan tetapi, survey oleh seorang ahli diperlukan untuk menentukan spesies burung pegunungan yang terdapat pada tempat yang lebih tinggi.
9
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Gambar 1. Ladang padi (Pasumpitan, 320 m dpl) menunjukan pertumbuhan sekunder tua dan hutan dipterocarp berbukit
Gambar 2. Lahan pertanian, Desa Juhu (410 m dpl)
Gambar 3. Vegetasi tepi sungai (hulu Sungai Aingbantai, 470 m dpl) dengan sedikit longsor alami yang dapat dilihat disebelah kiri gambar
Gambar 4. Ladang, pertumbuhan sekunder muda dan tua (antara Sungai Maing dan Beganjung, 450 m dpl) dengan pemandangan puncak Kilai dikejauhan
Gambar 5. Hutan bambu (sebelah timur Bukitan, 720 m dpl), jalan lama antara Aingbantai dan Batu Perahu
10
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Gambar 6. Percampuran hutan sekunder tua dan hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Bukitan, 720 m dpl)
Gambar 7. Hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Dataralai, 1000 m dpl) menunjukan pohon Shorea platyclados ?
Gambar 8. Hutan dipterocarp yang telah terbakar (antara Kilai dan Juhu, 700 m dpl) menunjukan pohon-pohon asli yang bertahan sejak kebakaran tahun 1997(terutama Shorea)
Gambar 9. Hutan dipterocarp berbukit (Dataralai, 850 m dpl) pada lereng yang curam
Gambar 10. Hutan dipterocarp berbukit (sebelah timur Dataralai, 1000 m dpl) yang kaya akan palm liar
11
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
Gambar 11. Hutan Agathis (sebelah timur Kilai, 1000 m dpl)
Gambar 12. Hutan pegunungan rendah (sebelah barat Kilai, 1350 m dpl)
Gambar 13. Hutan pegunungan lebih rendah (sebelah barat Bukitan, 1100 m dpl) menunjukan vegetasi tanah
Gambar 14. Hutan lumut pegunungan (Kilai, 1465 m dpl)
Gambar 15. Tanah longsor (Januari 2001) di Sungai Juhu (penulis berjalan ke dalam hutan pada bagian atas gambar)
12
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
4
Diskusi Berdasarkan pada keberadaan vegetasi, khususnya epifit, curah hujan tahunan di daerah Meratus HST tampaknya meningkat pada ketinggian kira-kira diatas 800 m dpl, dan khususnya diatas 1000 m dpl. Observasi secara relatif terhadap tanah longsor baru-baru ini pada lokasi-lokasi yang berbeda diseluruh daerah yang disurvey menunjukan bahwa wilayah ini mudah terpengaruh oleh bencana seperti itu. Gangguan hutan pada ketinggian yang lebih (dimana lereng-lerengnya lebih curam dan curah hujan lebih banyak) mungkin meningkatkan resiko tanah longsor. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey ini, sebagian besar hutan yang ketinggiannya diatas 700 m dpl tampaknya menjadi hutan alami yang tidak pernah ditanami (meskipun beberapa areal telah ditebang). Sebaliknya, hampir seluruh dataran dibawah 600 m dpl telah atau sedang ditanami. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama survey ini, jenis hutan dan komposisi spesies pohon di pegunungan Meratus berbeda dengan yang ada di tangkapan Hulu Tabalong, yang menggambarkan satu-satunya areal hutan luas yang bisa terjangkau yang masih tersisa di Propinsi Kalimantan Selatan. Satusatunya daerah lain di Kalimantan Selatan yang ketinggiannya hampir serupa adalah Gunung Luang (1096 m dpl) yang terletak di bagian utara tangkapan Tabalong, di perbatasan Kalimantan Selatan dan Tengah. Namun, daerah tersebut sangat terpencil, tidak seperti hutan Meratus di HST. Daerah Meratus di HST mewakili satu dari sebagian besar daerah hutan alami yang tersisa yang dapat dimasuki di Kalimantan bagian tenggara. Margasatwa hutan Meratus di HST tampaknya khas ditemukan pada jajaran pegunungan manapun di Kalimantan. Berdasarkan pada (a) kondisi hutan yang baik pada ketinggian diatas 750 m dpl, (b) tampaknya dataran diatas 700 m dpl tidak cocok untuk pertanian dan (c) resiko meningkatnya tanah longsor jika tajuk hutan dibuka, akan lebih baik jika mempertahankan seluruh hutan pada tempat yang curam di hulu sungai Batangalai dan seluruh hutan dengan ketinggian diatas 700 m dpl pegunungan Meratus di HST pada kondisi keberadaannya. Dua metode yang memungkinkan untuk mempertahankan hutan-hutan adalah penegakan perlindungan hutan atau taman nasional (sebagaimana yang dianjurkan oleh BKSDA, 1997). Metode lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, yang menyediakan prosedur untuk mengidentifikasi dan mengelola hutan lindung yang spesifik atau daerah hutan produksi yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini dapat memberikan dasar hukum untuk mempertahankan keberadaan hutan, dan memungkinkan untuk mengambil hasil damar, rotan, makanan liar dan hasil hutan lain secara berkesinambungan.
13
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
5
Kesimpulan Areal hutan yang tersisa di daerah Meratus di HST memerlukan pengelolaan yang hati-hati karena : -
mereka menggambarkan daerah tangkapan hulu Sungai Batangalai (mengalir ke daerah pemukiman yang padat di Barabai) dan juga hulu Sungai Sampanahan yang alirannya menuju ke arah timur;
-
mereka mewakili dari beberapa hutan alami terbaik yang masih tersisa di Kalimantan Selatan yang mudah untuk dijangkau.
14
Tinjauan lingkungan dan ekologi pada hutan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Lembar Kerja No. 3 – Juni 2001
6
Referensi BKSDA (1997) Laporan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Meratus Hulu Propinsi Kalimantan Selatan. Proyek Perencanaan dan Evaluasi Konservasi Kawasan dan Jenis Propinsi Kalimantan Selatan, Tahun Anggaran 1996/97. Balai Konservasi Sumber Daya Alam V Banjarbaru, Departemen Kehutanan.
15