TINJAUAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP STANDAR BAKU PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH Environment Policy Review of Standard Location Selection of Raw Waste Landfill Final Retta Ida Lumongga
Sekretariat Badan Litbang Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan umum Jl.Patimura No.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email:
[email protected] Tanggal diterima: 19 Mei 2014, Tanggal disetujui: 26 Juni 2014
ABSTRACT One of the environmental problem is related to the waste, and to the place where the waste is collected. There are standards that govern the procedures for the selection of landfill site. However, with the advent of new restrictions due to developments in environmental policy , it is necessary to conduct a review of the standards on the basis of policy development, at international level, national level and regional level . The method used is to follow the framework undertakes a review of the results of data collection in the form of various policy documents , standards , evaluation of the results of environmental studies and literature . The results: with the development of the environmental policy of the additional word ‘ protection ‘ to the new law has the potential to influence the standards and their application ; absence of authority over the abundance of local government so that the selection of the location of landfills need to understand the local waste management policies ; development of understanding landfills than a landfill ( the standard) into a waste processing and direct open - dumping into the sanitary landfill;aesthetic standards of the processing can reduce landfill trash. Keyword: environmental policy , standards , waste, location, development
ABSTRAK Salah satu permasalahan lingkungan hidup adalah terkait sampah dan tempat dimana sampah buangan tersebut dikumpulkan. Ada standar baku yang mengatur tentang tata cara pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah, namun, dengan munculnya batasan-batasan baru dikarenakan adanya perkembangan pada kebijakan lingkungan hidup, adalah perlu untuk melakukan tinjauan terhadap standar baku tersebut berdasarkan perkembangan kebijakan aras internasional, nasional dan regional. Metode yang digunakan adalah dengan mengikuti kerangka pikir melakukan telaah terhadap hasil pengumpulan data berupa berbagai dokumen kebijakan, standar baku, hasil studi evaluasi lingkungan dan literatur. Hasilnya, dengan adanya perkembangan kebijakan lingkungan hidup maka adanya tambahan kata ‘perlindungan’ pada Undang Undang baru berpotensi untuk mempengaruhi standar baku dan penerapannya; adanya kelimpahan kewenangan lebih pada pemerintah daerah sehingga pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir perlu memahami kebijakan pengelolaan sampah setempat; pengembangan tempat pembuangan akhir dari sekedar tempat penimbunan sampah menjadi tempat pemrosesan sampah; mengarahkan open-dumping menjadi sanitary landfill; estetika pada standar baku maka pemrosesan sampah dapat mengurangi penimbunan sampah. Kata kunci : kebijakan lingkungan hidup, standar baku, sampah, lokasi, perkembangan
109
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
PENDAHULUAN Konferensi PBB tentang lingkungan hidup sedunia di Stockholm, Swedia pada tahun 1972, merupakan pengejawantahan kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya kerjasama penanganan masalah lingkungan hidup. Motto yang dihasilkan dalam konferensi ini, yaitu hanya satu bumi, menghasilkan rekomendasi yang dikelompoKKan menjadi lima bidang utama, yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011) Salah satu yang menjadi masalah lingkungan adalah permasalahan tentang sampah, termasuk tempat dimana sampah-sampah buangan tersebut dikumpulkan. Melihat dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, volume sampah dari tiap keluarga dengan lima anggota dapat mencapai lebih 450 liter (0,45m3)per bulan. Dengan demikian, kota metropolitan dengan jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa akan menghadapi masalah pelik terkait sampah. Kota metropolitan pada umumnya memerlukan tempat pembuangan akhir sampah seluas 100 ha yang mampu dioperasikan sampai selama sepuluh tahun (Pamekas 2002). Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa akan timbul masalah yang terjadi terkait dengan penampungan pembuangan sampah apabila tidak ditangani secara benar sehingga perlu untuk ditindaklanjuti. Standar baku pemilihan lokasi tempat pembuangan sampah ada diatur dalam Standar Nasional Indonesia 03-32411994 tentang tata cara pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah dalam sebuah gambar bagan alir. Tata cara ini memuat tentang persyaratan dan ketentuan teknis dan dapat dijadikan acuan atau pegangan bagi perencana untuk menentukan lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Kehadiran tempat pembuangan akhir sampah, seringkali menimbulkan dilema, karena meskipun dibutuhkan tetapi kegiatan tempat pembuangan akhir juga dapat menimbulkan masalah gangguan, antara lain kebisingan, ceceran sampah, debu, bau dan binatang-binatang vektor. Pemilihan dan penetapan lokasi tempat pembuangan akhir tersebut haruslah mempertimbangkan berbagai kaidah yang ada, diantaranya, kaidah-kaidah pelestarian lingkungan. Seiring waktu, diterbitkan Undang Undang baru untuk lingkungan hidup yaitu Undang Undang Lingkungan Hidup Nomor 23 jo Nomor 32 Tahun 2009, dimana pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Standar baku berupa Tatacara pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir ini adalah menjadi acuan
110
bagi para perencana untuk menentukan lokasi tempat pembuangan akhir supaya ekonomis dan berwawasan lingkungan. Makalah ini membahas masalah mengenai bagaimana pengembangan standar baku dan penerapannya bila ditinjau dari adanya perkembangan kebijakan lingkungan hidup, agar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terkait tempat pembuangan akhir sampah dapat kemudian ditingkatkan sesuai perkembangan kebijakan lingkungan hidup.
KAJIAN PUSTAKA
Perkembangan Kebijakan Lingkungan Hidup (Internasional, Nasional dan Regional) Selaras dengan hasil konferensi internasional yang diadakan di stockholm, maka pembangunan nasional harus memperhatikan lingkungan dan manusia. Turunan daripada itu, maka dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan utama terutama untuk menangani lintas kabupaten/kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di kabupaten/kota. Perkembangan kebijakan perlu karena permasalahan lingkungan hidup semakin kompleks. Masalah publik dapat dibedakan berdasarkan kategori jumlah orang yang dipengaruhi serta hubungannya antara satu dengan yang lain. Berdasarkan kategori ini, salah satu masalah publik adalah masalah regulasi. Masalah regulasi mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan yang diajukan dalam rangka membatasi tindakantindakan pihak lain. Suatu masalah dikategorikan sebagai masalah regulasi, jika masalah tersebut menyangkut peraturan-peraturan yang bertujuan untuk membatasi tindakan-tindakan pihak tertentu (Winarno 2012). Menggunakan kriteria yang relevan agar diperoleh alternatif terbaik untuk dijadikan tindakan kebijakan (Weimer 1992). Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Wahab 2001). Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan dalam kurun waktu tertentu (Dunn 2003). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program pemerintah yang bersifat desentralis, faktor-faktor tersebut diantaranya: Kondisi lingkungan, Hubungan antar organisasi, Sumberdaya organisasi untuk implementasi program, Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. (Subarsono 2005). Filosofi dasar tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah bahwa tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah mencapai
Tinjauan Kebijakan Lingkungan Hidup Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Retta Ida Lumongga pembangunan berkelanjutan, juga perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjamin harmoni antara manusia dengan lingkungan hidup, termasuk mahluk hidup didalamnya. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup diantaranya adalah peraturan berbasis Lingkungan Hidup. Undang Undang yang mengatur Lingkungan Hidup adalah Undang Undang Lingkungan Hidup No.23 jo No.32 Tahun 2009, dimana pelestarian lingkungan hidup didefinisikan sebagai rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup. Pelestarian lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek, yaitu aspek daya dukung lingkungan hidup dan aspek daya tampung lingkungan hidup. Pasal 1 ayat 6 pada Undang Undang Nomor 23 muncul pada pasal 1 ayat 7 Undang Undang Nomor 32 dengan pengertian daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Sedangkan pasal 1 ayat 8 pada Undang Undang Nomor 23 muncul pada pasal dan ayat yang sama pada Undang Undang Nomor 32, dengan pengertian daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasuKKan ke dalamnya. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan nomenklatur Undang Undang tersebut adalah meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Perbedaan mendasar antara Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang Undang 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Undang Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, sebagian besar urusan pemerintah di desentralisasikan ke pemerintah daerah, karena
itu, diperlukan undng-undang baru yang mengatur secara lebih terinci tugas kewenangan dibidang lingkungan hidup sekaligus memberi tanggungjawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah sesuai kewenangannya terhadap berbagai permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di daerah masing-masing (Keraf 2010). Sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, harus dibuang,terutama berasal dari aktifitas manusia tetapi bukan biologis,dan umumnya berbentuk padat.(Anwar 1990).Manajemen sampah yang tidak komprehensif akan memicu problem sosial,seperti keriuhan masa,antar warga serta upaya penutupan tempat pembuangan akhir (Hadi 2004). Untuk menciptakan lingkungan sekitar yang indah (bersih dari sampah) dan teratur, maka perilaku buruk orang-orang dalam konteks pengelolaan sampah harus diubah dengan dilakukan penegakan pada penerapan peraturan,yang sebenarnya sudah ada, tentang pengelolaan sampah tersebut. (Siagian 2012). Dalam Undang Undang No.32/2009, ada tambahan kata ‘perlindungan’ dengan demikian, bukan sekedar melakukan pengelolaan tetapi juga lebih menekankan pada upaya memberikan perlindungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU No 32/2009 ini dijadikan acuan normatif dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat. Didalamnya, terdapat beberapa pengertian yaitu tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dan tempat pemrosesan akhir sampah (TPAS), tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah (TPPAS) dan tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah regional (TPPASR) apabila digunakan untuk pengolahan dan pemrosesan akhir sampah yang berasal dari dua kabupaten/kota atau lebih. Salah satu strategi yang ditetapkan dalam Permen PU Nomor 21 tahun 2006, adalah melalui pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya (Darwanti 2012). Penanganan sampah diantaranya di hilir (Meilani 2012). Perlu integrasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan termasuk pemerintah, sektor privat dan informal (Joga 2013). Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah dan Paremeter Penyisih Didalam standar nasional indonesia atau SNI 033241-1994, pada pengertian, yang dimaksudkan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah
111
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah yang selanjutnya disebut sebagai TPA. Sedangkan pembuangan akhir sampah adalah berupa tempat untuk menyingkirkan/ mengkarantinakan sampah kota sehingga aman. Kriteria lokasi TPA harus memenuhi persyaratan/ ketentuan hukum, pengelolaan lingkungan hidup dengan analisis mengenai dampak lingkungan, serta tata ruang yang ada. Pada Bab ke tiga standar baku tentang ketentuan-ketentuan, terdapat ketentuan umum tentang pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah, dengan ketentuan yaitu: 1) TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. 2)
Pemilihan lokasi sampah disusun berdasarkan tiga tahapan, yaitu: a. tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan; b. tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional; c. tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.
3) dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dapat dilihat pada lampiran kriteria yang berlaku pada tahap penyisih. Berdasarkan standar ini, kelayakan lokasi TPA ditentukan berdasarkan: Kriteria regional digunakan untuk menentukan kelayakan zone meliputi kondisi geologi, hidrogeologi, kemiringan tanah, jarak dari lapangan terbang, cagar alam banjir dengan periode 25 tahun; Kriteria penyisih digunakan untuk memilih lokasi terbaik sebagai tambahan meliputi iklim, utilitas, lingkungan biologis, kondisi tanah, demografi, batas administrasi, kebisingan, bau, estetika dan ekonomi; Kriteria penetapan digunakan oleh instansi berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai kebijakan setempat. Cara pengerjaan yaitu dengan melakukan analisis terhadap data sekunder , berupa peta topografi, geologi lingkungan, hidrogeologi, bencana alam. peta administrasi, kepemilikan lahan, tata guna lahan dan iklim, data primer berdasarkan kriteria, pembuatan peta skala 1:25.000 atau
112
1:50.000 dan identifikasi lokasi potensial (Tatacara Pemilihan Lokasi TPA Sampah, SNI 03-3241-1994).
Jika melihat pada standar ini, maka bagan alir menggambarkan langkah-langkah pemilihan dan penetapan lokasi tempat pembuangan akhir. Bila bagan alir tersebut dijabarkan, maka yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengetahui kebutuhan lahan TPA sampah. Setelah kebutuhan lahan diketahui, dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan peta kelayakan regional. Peta ini berisi informasi tentang daerah-daerah yang dinilaiu sensitif, misalnya, adanya patahan, daerah yang secara geologi dinilai berbahaya, daerah sekitar mata air dan sumber-sumber lainnya daerah dengan kemiringan lebih dari 20 persen, hutan lindung, lapangan terbang. Apabila peta kelayakan tersebut telah tersedia, selanjutnya menentukan alternatif lokasi TPA di daerah yang layak ditinjau dari sisi regional. Apabila peta kelayakan regional belum tersedia tetapi tidak ada kendala waktu dan dana, maka dibuat peta kelayakan regional dengan mengacu pada perimbangan-pertimbangan yang tertera pada langkah pertama.Jika memungkinkan, peta kelayakan regional tersebut dibuat dengan menggunakan skala 1:50.000, atau 1:25.000. Jika ada kendala waktu dan dana, maka tentukan alternatif calon lokasi TPA di daerah studi dan sekitarnya. Berdasarkan hasil langkah kedua dan keempat, selanjutnya dibuat daftar calon lokasi terpilih, dan dilakukan penilaian terhadap semua alternatif calon lokasi TPA dengan menggunakan parameter penyisih. Jika hasil penilaian disetujui, maka tetapkan lokasinya. Sebaiknya, jika belum disetujui, maka kembali ke langkah kelima untuk mempertimbangkan alternatif lainnya. Parameter penyisih disini terdiri dari parameter penyisih umum dan parameter penyisih lingkungan khusus. Parameter penyisih, bobot, sub parameter dan nilai ditentukan, yaitu yang penting adalah batas administrasi, pemilik hak atas tanah, kapasitas lahan, jumlah pemilik tanah, partisipasi masyarakat. Dalam parameter penyisi batas administrasi, dengan sub parameter berupa dalam batas administrasi, diluar batas administrasi tetapi dalam satu sitem pengelolaan TPA sampah terpadu, diluar batas administrasi sistem pengelolaan TPA sampah terpadu, dan benar-benar diluar batas administrasi. Dari ke empat sub parameter ini, dianggap paling bernilai bila berada dalam batas administrasi. Dalam parameter penyisih pemilik hak atas tanah, maka sub parameter adalah pemerintah daerah/ pusat, pribadi, swasta/perusahaann, dan lebih dari satu pemilik hak atau status kepemilikan. Disini, yang dianggap paling bernilai adalah pemerintah daerah/pusat. Untuk parameter penyisih kapasitas
Tinjauan Kebijakan Lingkungan Hidup Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Retta Ida Lumongga lahan, sub parameter berupa kisaran waktu, antara lebih dari sepuluh tahun, antara lima hingga sepuluh tahun, antara tiga hingga lima tahun, hingga kurang dari tiga tahun. Dalam kisaran waktu ini, yang dianggap bernilai paling tinggi bila diatas sepuluh tahun. Parameter penyisih jumlah pemilik tanah disini terdiri dari jumlah kepala keluarga, terdiri dari sub parameter satu KK, dua hingga tiga KK, empat hingga lima KK, hingga enam hingga sepuluh KK, dengan nilai tertinggi pada pemilikan yang hanya dimiliki oleh satu KK. Kemudian, parameter penyisih partisipasi masyarakat, seb adalah spontan, digerakkan maupun berupa negosiasi, dengan yang dianggap memiliki nilai tertinggi bila dilakukan spontan. Selain parameter penyisih umum, terdapat parameter penyisih lingkungan fisik yang memiliki lebih banyak parameter penyisih yaitu ada tujuh belas parameter. Dalam parameter penyisih lingkungan fisik, maka parameter yang ada adalah tanah yang berada diatas permukaan air tanah, air tanah, sistem aliran air tanah, kaitan dengan pemanfaatan air tanah, bahaya banjir, tanah penutup, intensitas hujan, jalan menuju lokasi, transport sampah satu jalan, jalan masuk, lalu lintas, tataguna tanah, pertanian, daerah lindung/cagar alam, biologis, kebisingan dan bau, serta yang cukup penting adalah estetika. Untuk parameter penyisih tanah diatas permukaan air, sub parameter penyisih berupa harga kelulusan yang berkisar antara kurang dari sepuluh centimeter per detik,diantaranya, hingga lebih besar, dengan harga kelulusan kurang dari ini memiliki nilai tertinggi. Parameter penyisih air tanah, memiliki sub parameter mulai dari lebih besar dan sama dengan sepuluh meter hingga kurang dari sepuluh meter. Untuk parameter penyisih sistem aliran air tanah, sub penyisih adalah area yang berupa discharge area, gabungan recharge dan dischage area/lokal hingga recharge area regional dan lokal. Parameter penyisih kaitan dengan pemanfaatan air tanah, maka sub parameter adalah kemungkinan pemanfaatan hingga proyeksi pemanfaatan dengan ataupun tanpa batas hidrolis. Untuk parameter penyisih bahaya banjir, sub parameter mulai dari tidak ada bahaya banjir hingga kemungkinan bahaya banjir lebih dari dua puluh lima tahun yang tolak kecuali ada teknologi. Parameter penyisih tanah penutuh, maka sub parameter adalah tanah penutup cukup hingga tidak ada tanah penutup. Untuk parameter penyisih intensitas hujan, sub parameter adalah dibawah lima ratus milimeter per tahun hingga diatas seribu milimeter per tahun. Parameter jalan menuju lokasi, maka disini sub parameter adalah datar dengan kondisi baik, datar dengan kondisi buruk dan naik atau turun. Parameter penyisih transportasi sampah satu jalan, sub parameter adalah berdasarkan waktu tempuh,
sehingga berada pada kisaran kurang dari lima belas menit dari centroid sampah, lebih dari lima belas menit hingga setengah jam dari centroid sampah, antara tiga puluh satu hingga enam puluh menit dari centroid sampah, dan lebih dari enam puluh menit dari centroid sampah. Parameter penyisih jalan masuk, maka sub parameter yang ditemukan adalah truk sampah yang tidak melalui pemukiman, hingga yang melalui pemukiman yang terbagi atas pemukiman berkepadatan sedang maupun yang berkepadatan tinggi. Batasan kepadatan adalah tiga ratus jiwa per hektare. Parameter penyisih lalulintas, sub parameter dilihat dari jarak antara TPA dengan lalulintas, yaitu terletak lima ratus meter dari jalan umum, terletak kurang dari lima ratus meter pada lalulintas rendah, terletak kurang dari lima ratus meter pada lalulintas sedang, dan terletak pada lalulintas tinggi. Parameter penyisih lainnya adalah tata guna tanah, dengan sub parameter dilihat dari dampak, yaitu mempunyai dampak sedikit terhadap tataguna tanah sekitarnya, mempunyai dampak sedang terhadap tataguna tanah sekitar, dan mempunyai dampak besar terhadap tataguna tanah sekitar. Parameter penyisih pertanian, adalah untuk TPA yang berada di daerah yang memiliki lahan pertanian, sehingga parameter penyisih adalah berlokasi di lahan tidak produktif, tidak ada dampak terhadap pertanian sekitar, terdapat pengaruh negatif terhadap pertanian sekitar dan berlokasi di tanah pertanian produktif. Parameter penyisih daerah lindung/cagar alam, maka sub parameter adalah soalan keberadaan daerah lindung, yaitu tidak ada daerah lindung/cagar alam. Terdapat daerah lindung/cagar alam yang tidak kena dampak negatif dan terdapat daerah lindung/cagar alam yang kena daerah negatif. Parameter penyisih biologis, sub parameter dilihat dari nilai habitat, yaitu nialia habitat yang rendah, nilai habitat yang tinggi hingga habitat kritis. Parameter kebisingan dan bau, sub parameter dilihat dari keberadaan zona penyangga, yaitu terdapat zona penyangga, terdapat zona penyangga yang terbatas, hingga tidak terdapat penyangga. Terakhir dan yang juga penting dalam tinjauan ini adalah parameter penyisish estetika, dengan sub parameter yang dilihat dari operasi penimbunan sampah, yaitu operasi penimbunan tidak terlihat dari luar, operasi penimbunan sedikit terlihat dari luar, operasi penimbunan terlihat dari luar, dengan yang dianggap paling baik dan bernilai tinggi bila operasi penimbunan tidak terlihat dari luar (Pamekas 2002)
113
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
Kerangka pikir disini adalah dengan memahami pentingnya menjaga lingkungan hidup pada pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah dan memahami tatacara pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah yang terdapat pada standar baku. Perkembangan kebijakan lingkungan hidup dipahami untuk kemudian disandingkan dengan standar baku pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah termasuk skema pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah, untuk kemudian dilakukan sebuah tinjauan dengan menggunakan lensa kebijakan lingkungan hasil pemahaman berdasarkan telaah, hingga menghasilkan sebuah hasil tinjauan kebijakan lingkungan terhadap standar baku tempat pembuangan akhir sampah sebagai masukan untuk pengembangan standar baku tersebut lebih mengikuti perkembangan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan adalah melakukan telaah terhadap berbagai dokumen yang ada terkait perkembangan kebijakan lingkungan secara nasional pada undang-undang dan peraturan dan standar baku pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Tujuannya untuk memperoleh pemahaman mendalam sebagai dasar untuk melakukan tinjauan dan juga melakukan analisis terhadap gambaran situasi yang diperoleh dari data sekunder tentang tempat pembuangan akhir sampah di TPA Sukamiskin dan TPA Leuwigajah untuk melihat gambaran permasalahan pada TPA, disini berada pada daerah Jawa Barat, untuk memahami kondisi permasalahan lingkungan pada kedua TPA tersebut. Selanjutnya, dilakukan tinjauan berdasarkan kerangka pikir yang dibuat, terhadap standar baku dengan berdasakan kebijakan lingkungan , juga dengan melihat hasil analisis terhadap kondisi kedua TPA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
TPA Sukamiskin dan TPA Leuiwigajah (Propinsi Jawa Barat) Dari sisi kelayakan lokasi, baik TPA Sukamiskin dan TPA Leuwigajah adalah berada pada lokasi yang tidak termasuk zona patahan, zona bahaya geologi ataupun hutan lindung. Kedua lokasi juga tidak berada di area yang dekat dengan lokasi lapangan terbang. Lokasi kedua TPA ini ternyata terletak pada daerah sekitar sumur bor artesis dengan pengambilan air tanah yang sangat intensif, namun dengan kemungkinan pencemaran air lindi (leachate) dari timbunan sampah terhadap akiver air tanah dalam relatif kecil dikarenakan tidak dalam zona patahan. Dengan demikian, dari sisi lokasi,
114
kedua TPA ini berada pada kawasan yang layak regional. Dengan nilai bobot parameter yang sama dengan pemilihan lokasi, dengan menggunakan nilai sub parameter yang berlawanan hasil untuk perhitungan indeks potensi resiko lingkungan skala lokal, diketahui bahwa TPA Sukamiskin mempunyai nilai indeks potensi resiko lingkungan yang lebih rendah dibandingkan TPA Leuwigajah. Terindikasi dampak pengoperasian TPA Sukamiskin (IPRL 238) lebih kecil daripada TPA Leuwigajah (IPRL 313) dengan perbedaan jenis resiko yang dapat dibangkitkan. Pada TPA Leuwigajah, kelemahan utama adalah pada kelulusan air tanah permukaan, ketersediaan tanah penutup, jalan akses dan lalulintas serta lokasinya yang ternyata dipengaruhi banjir, yang mengindikasikan bahwa TPA masih dioperasikan dengan sistem open dumping, dengan resiko yaitu timbulnya bau, lalat serta pencemaran udara dikarenakan asap bakaran sampah. Angkutan sampah yang melalui pemukiman yang relatif padat dan jalan yang padat lalu lintas juga dapat menimbulkan gangguan ceceran sampah dan potensi gangguan bau kepada pengguna jalan lainnya. Pada TPA Sukamiskin, kelemahan utama pada kelulusan air tanah permukaan, jalan akses dan lalulintas serta lokasinya yang terletak di daerah pertanian, dengan resiko yaitu timbulnya pencemaran melalui air permukaan, kebisingan, pencemaran udara oleh bau serta gangguan debu di sepanjang jalur pengangkutan. Perkembangan Kebijakan Lingkungan Hidup (Internasional, Nasional, Regional) Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi TPA Sampah
Pada aras internasional, masih dalam rangka upaya penanganan pencemaran, maka dalam perkembangannya kebijakan lingkungan hidup juga memasukkan unsur perlindungan dan bukan hanya pengelolaan. Pencemaran yang diakibatkan buruknya kondisi lokasi tempat pembuangan sampah, dapat mengganggu ekosistem, mencemari kualitas air tanah serta kualitas udara disekitarnya. Juga masih terkait dengan kesehatan dan ceceran sampah bilamana lokasi terlalu dekat dengan permukiman penduduk. Parameter penyisih dapat dijadikan acuan penilaian kelaikan. Pada aras nasional, dengan berlakunya UU baru yaitu No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka ada penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Undang
Tinjauan Kebijakan Lingkungan Hidup Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Retta Ida Lumongga Undang lingkungan hidup yang baru ini dijadikan dasar pengingat untuk Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Pada aras Regional, Pemerintah memberi kewenangan yang lebih luas melalui Undang Undang ini, kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing dan ini berarti adanya pembatasan keleluasaan dalam pengajuan calon lokasi TPA yaitu dibatasi dengan regulasi setempat calon lokasi. Dengan demikian, penerapan standar baku adalah dibatasi dengan regulasi daerah yang ada. Hampir seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai opendumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah. Bila menggunakan open-dumping, maka dapat muncul resiko permasalahan lingkungan seperti yang dialami TPA Leuwigajah di provinsi Jawa Barat, diantaranya bau, lalat dan pencemaran udara akibat asap bakaran sampah. Dengan adanya perkembangan kebijakan, kecenderungan kebijakan adalah mengarahkan tempat pembuangan akhir sampah menjadi sanitary landfill. Berdasarkan perkembangan kebijakan pula, pada peraturan pemerintah daerah tentang pengelolaan sampah di Jawa Barat yang berdasarkan pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diarahkan bukan hanya sekedar sebagai tempat pembuangan akhir tetapi juga menjadi tempat pengolahan tempat pemrosesan akhir sampah. Kekurangan pada Tata cara pemilihan lokasi berdasarkan SNI 03-3241-1994 adalah belum adanya penentuan lokasi jarak aman antara TPA dan pemukiman, yang diatur kemudian dalam pedoman pemanfaatan kawasan sekitar TPA sampah dimana pembuangan telah ditingkatkan menjadi pemrosesan. Pengaturan lokasi adalah ditetapkan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan dampak sosial dan dampak lingkungan. Dalam hal terdapat keterbatasan ketersediaan lokasi dalam suatu wilayah Kabupaten/Kota, maka Gubernur menetapkan lokasi Regional. Pemrosesan akhir sampah dilakukan dengan metode ramah lingkungan, diantaranya lahan urug saniter (sanitary landfill). Pembangunan tempat pengolahan dan pemrosesan sampah Regional dilaksanakan berdasarkan perencanaan pemilihan lokasi, analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan terinci sesuai dengan ketentuan teknis berdasarkan ketentuan peraturan perUndang Undangan. Pada bagan alir pemilihan lokasi TPA berdasarkan standar baku, pada penentuan lokasi,dengan adanya perkembangan kebijakan lingkungan hidup adalah perlu dengan mempertimbangkan
regulasi daerah setempat dimana dianggap potensi menjadi calon lokasi terpilih. Dengan demikian, jika ditinjau dari perkembangan kebijakan lingkungan termasuk yang diturunkan pada peraturan daerah Jawa Barat tentang pengolahan sampah, maka pada standar baku, pengertian tempat pembuangan akhir sebagai sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah, perlu disesuaikan batasannya dengan regulasi daerah, dan dikembangkan fungsinya dari sekedar sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir menjadi tempat yang mengharuskan adanya pengolahan sampah dan menjadi pemrosesan akhir sampah (bukan hanya sekedar menumpuk sampah, tetapi juga wajib proses). Dengan adanya wajib proses, maka penimbunan sampah yang mengganggu estetika dapat dikurangi, sehingga bahaya longsor akibat penimbunan sampah yang melebihi kapasitas seharusnya juga dapat diminimalisir.
Tabel 1 di bawah dapat dijelaskan bahwa berdasarkan pemahaman terhadap Undang Undang lingkungan hidup yang baru termasuk yang didasari oleh Undang Undang tersebut, maka terdapat beberapa komponen yang kini berubah jika menilik pada kondisi dahulu hingga kini. Komponen tersebut adalah, hal perlindungan lingkungan hidup, keleluasan pemilihan lokasi, pemahaman tentang TPA, kebijakan sistem yang diterapkan apda TPA dan hal estetika. Melihat pada implementasi pada lokasi TPA dahulu, terlihat permasalahan pencemaran yang timbul hingga berakibat pada kelongsoran, menunjuKKan pada lokasi yang dipilih, upaya perlindungan saat itu belum menjadi perhatian utama. Dengan demikian, adalah tepat jika perlindungan menjadi lebih difokuskan pada Undang Undang lingkungan hidup yang baru. Sedangkan pada standar baku, masih mengacu pada UU PLH lama, sehingga penambahan kata ‘perlindungan’ belum terdapat. Dengan demikian, jika ditinjau dari Undang Undang lingkungan hidup terbaru yang kini telah mencantumkan kata perlindungan selain pengelolaan untuk lingkungan hidup, maka pemilihan lokasi TPA perlu memperhatikan kriteria upaya perlindungan lingkungan hidup. Pada keleluasaan memilih lokasi, dalam perkembangannya, Undang Undang lingkungan hidup yang terbaru semakin memperkuat peran daerah untuk membuat regulasi pada tiap daerahnya. Apabila sebuah lokasi yang dianggap telah memenuhi kriteria lama untuk calon lokasi TPA, kini harus pula menyesuaikan dengan regulasi daerah terkait pemilihakn lokasi tempat pembuangan sampah di lokasi calon. Untuk pengertian TPA, jika dulu dianggap cukup sebagai sarana fisik kegiatan pembuangan akhir
115
Tabel 1. Perbandingan Permasalahan Lingkungan TPA Sistem Lama, Standar Baku dan Perkembangan Kebijakan Lingkungan Hidup, Berdasarkan Komponen Yang Berubah Berdasarkan Pemahaman UU Lingkungan No
Ke te ra ngan Komp onen
Perm asala han Lingkun gan TPA Siste m Lam a T PA 1
Standa r B aku
Perkem ban ga n Kebijakan Lingkungan Hid up
T PA2
1
Perlin du ngan Lingku ngan Hidu p
Pencemaran air tan ah , p encemaran ud ara
2
Kelelu asaan memilih Lo kasi
Kawasan lay ak regio nal
Kawasan layak region al
Kriteria Regional, Kriteria Pen yisih, Kriteria Pen etap an
K elelu asaan memilih lok asi kin i semak in d ib atasi d engan diperku atn ya peran regulasi daerah
3
TP A
Samp ah di tu mpu k pada TPA in i
Sam pah d i tump uk p ad a TPA ini
TPA sebagai saran a fisik k egiatan pem buan gan ak hir u ntuk men yin gk irkan/ mengkarantin a samp ah secara aman
P erkemb an gan kebijakan lingku ngan m enjad i dasar u paya men gu bah TPA dari seked ar m en um puk sam pah k ini menjad i m engelola/mempro ses sam pah
4
Kebijakan sistem
Open du mping
Op en d ump in g
5
Estetika
Ada Timb unan samp ah
Ad a Tim bun an sam pah
Pen cemaran air tanah, banjir, p encemaran u dara
M asih mengacu p ada UUPLH lama seb elum adany a tambah an kriteria p erlind un gan
Selain mengatu r pen gelo laan lingku ngan h id up k ini ad a tamb ah an kriteria 'perlin du ngan ' men jadi UUPPLH
M en du ku ng Sanitary lan dfill
Op erasi pen imb un an diu ku r han ya dari terlihat atau tidak terlihat dari luar
Ket. TPA1: Sukamiskin; TPA2: Leuwigajah Sumber : Hasil Analisis, 2014
untuk membuang sampah secara aman yang kerap diimplementasikan dengan menimbun sampah saja, kini, perkembangan kebijakan lingkungan hidup menjadi dasar upaya mengubah mindset pengelolaan sampah dari sekedar menimbun menjadi mengelola atau melakukan proses lebih lanjut terhadap sampah tersebut. Sekedar menimbun sampah, ternyata terbukti dapat menimbulkan masalah pencemaran dan bahaya longsor. Perubahan mindset membuat terjadi perubahan kebijakan sistem dari open dumping menjadi sanitari landfill. Pada TPA terdahulu yang menerapkan open dumping, diketahui bahwa resiko terhadap pengrusakan lingkungan adalah tinggi, dengan resiko pencemaran bahkan hingga bahaya banjir dan longsor. Dengan perubahan mindset, sistem sanitary landfill diharapkan dapat meminimalisir resiko pengrusakan yang dulu terjadi. Selain itu, perubahan pengelolaan sampah, dari sisi estetika, juga diharapkan dapat meminimalisir timbunan sampah yang dulu kerap terjadi.
2.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat berdasarkan hasil tinjauan perkembangan kebijakan lingkungan terhadap standar baku pemilihan lokasi TPA sampah adalah: 1. SNI 03-3241-1994 sebagai standar baku tentang Tata cara pemilihan lokasi TPA dapat dikembangkan sesuai dengan adanya perkembangan kebijakan pengelolaan
116
3.
M en du ku ng upay a agar tid ak terjadi/ m eminimalisir pen imbu nan sampah d engan p emrosesan
lingkungan hidup pada aras internasional, aras nasional dan aras regional, dengan undang undang baru Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dimana dalam Undang Undang ini ada tambahan kata ‘perlindungan’ yang sebelumnya tidak ada dalam Undang Undang pengelolaan lingkungan hidup yang lama.
Dalam perkembangan kebijakan lingkungan hidup, dalam aras internasional adalah pembangunan harus memperhatikan unsur lingkungan dan manusia termasuk masalah pencemaran dan lingkungan hidup di sekitar permukiman, sehingga secara aras nasional hal tersebut dalam Undang Undang baru ini menjadi unsur penimbang bahwa pembangunan nasional adalah berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan. Selaras dengan itu, pada aras regional terkait adanya perluasan kewenangan pemerintah daerah dalam Undang Undang ini dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diwujudkan dalam regulasi daerah, berpotensi menambah batasan pada pemilihan lokasi TPA yang ada pada standar baku. Regulasi daerah yang dalam perkembangan kebijakan lingkungan hidup berpengaruh pada standar baku terutama penerapannya adalah contohnya pada pemerintah provinsi daerah Jawa Barat tentang pengelolaan sampah, mengubah pengertian tempat pembuangan akhir untuk sampah dalam standar baku
Tinjauan Kebijakan Lingkungan Hidup Terhadap Standar Baku Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Retta Ida Lumongga (yaitu sebagai sarana fisik untuk kegiatan pembuangan akhir sampah) menjadi tempat pemrosesan akhir sampah, dimana sampah bukan hanya sekedar asal ditimbun melainkan wajib untuk di proses lebih lanjut.
4. Perubahan kebijakan mengarahkan opendumping menjadi sanitary landfill.
5. Dengan adanya perkembangan kebijakan lingkungan hidup ini, dari estetika, adanya pemrosesan sampah dapat meminimalisir penimbunan sampah, sehingga diharapkan selain estetika juga dapat mengurangi bahaya longsor akibat penimbunan sampah yang melebihi kapasitas tempat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Diucapkan terimakasih kepada bapak R.Pamekas selaku peneliti utama sebagai pembimbing dan untuk semua pihak yang telah membantu atas partisipasinya dalam pekerjaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Darwanti, Sri. 2012. Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu. Jurnal Pemukiman 7 (1):33-39. Djayadiningrat , Surna T. 1990. Kualitas Lingkungan Indonesia. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Djayadiningrat, Surna T. 2001. Untuk Generasi Masa Depan, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Departemen Teknik Industri ITB. Studio Tekno Ekonomi. Hadi, Sudharto P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Keraf, A.Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Lya Meilany S. 2002. Konsepsi Penanganan Sampah Dengan Pendekatan 4-R di Perkotaan Dalam Upaya Minimasi Sampah Di Hilir. Proceeding Kolokium Hasil Litbang Permukiman. Nagel, Stuart S. 1984. Public Policy, Goals, Means and Methods. New York: St Martin Press. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.19 Tahun 2012. Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir Sampah. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.13 Tahun 2011. Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Rekagriya Sarana PT. 1991. Draft Laporan Akhir Studi Evaluasi Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sukamiskin. Rekagriya Sarana PT. 1991. Draft Laporan Akhir Studi Evaluasi Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. Pamekas, R. 2013. Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Permukiman. Jakarta: Pustaka Jaya. Pamekas, R. .2002. Penerapan Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup. Prosiding Kolokium. Sukarma, R. and Richard Poland. 2001. Overview of Sanitation and Sewerage Experience and Policy Options. The World Bank. Sadaaki Wakabayashi. 1999. Solid Waste Information Report for Many Cities in Indonesia. Japan International Coopertion Agency (JICA) in association with PT.Arkonin Engineering Manggala Pratama. Siagian, Retta. 2012. People Behaviour in Market Waste Management. Proceeding The 3rd International Seminar on Ecosettlement. SK Walikota Semarang Nomer 50/51/2009 tentang Penetapan Wilayah Banger. SK Walikota Semarang Nomer 50/111/2010 tentang Penetapan Keanggotaan BPPB SIMA. SNI 03-3241-1994 Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Solichin, Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sutiyani, Nik. 2012. Paparan Pembangunan Polder Kota Semarang. Workshop Pengendalian Banjir Perkotaan Semarang 12 September 2012. Thanh,N.C et.al. 1979. Waste Disposal And Resource Recovery. Bankok. Thailand: Asian Institute of Technology Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/ Bapedal. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Prosiding Kolokiun.ISBN No.979-8954-25-4
117
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
Weimer, D. and Aidan R Vinning. 1999. Policy Analysis, Concepts and Practice 3rd edition, Upper Saddle River. New Jersey: Prentice Hall. William, Dunn. 2003. D. Jogjakarta: Gadjah Mada Universiti Press. Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik:Teori,Proses dan Studi Kasus Ed2. Ygyakarta. CAPS.
118