Tinjauan Buku Sejarah Postmodernisme atau Sejarah Postmodern?
Irony and Crisis: A Critical History of Postmodern Culture Penulis: Stuart Sim Icon Books : Cambridge, UK 2002, 304 hlm., index.
Ditinjau oleh: Iwan Dzulvan Amir (Centre for Strategic and International Studies) Kata postmodernisme di kalangan akademisi muda saat ini sedang kurang populer. Berbagai konotasi negatif mulai dari relativisme moral sampai anarki dengan gampang ditempelkan ke dalam aliran teori sosial ini tanpa adanya pendalaman akan posmodernisme itu sendiri. Berbagai buku teks telah mencoba mengenalkan posmodernisme kepada kalangan mahasiswa dan akademisi muda (misalnya: Connor 1989; Best dan Kellner 1991; Pefanis 1991; Rose 1991; Sarup 1993; Bertens 1995; dan Jencks 1996) dan kali ini telah dikeluarkan buku teks posmodernisme pertama pasca 11 September 2001. Stuart Sim adalah seseorang yang sudah sering menulis dan membahas posmodernisme. Ia telah menghasilkan satu buku tentang estetika postmodern, dua buah kamus yang menyangkut posmodernitas (Sim 1995 dan 1999), sebuah buku panduan teori posmodernitas (Sim 2001), dan biografi ahli posmodern terkenal, Jean-Francois Lyotard (Sim 1996). Dengan kata lain Sim seharusnya sudah memahami batasan-batasan metode narasi dalam komunikasi seperti yang selalu dikritik oleh teoris posmodern. Hal inilah yang agak membuat janggal judul buku teks terbarunya, Irony and Crisis: A Critical History of Postmodern Culture, dari berbagai segi. Judul tersebut setidaknya menyebutkan dua bentuk narasi besar (grand narrative) yaitu sejarah (history) dan budaya (culture). Hal ini menunjukkan bahwa buku teks ini masih memakai narasi sebagai alat komunikasi dan belum beranjak ke bentuk alternatif yang lebih mencerminkan filsafat posmodernisme. Di lain pihak, gambar di sampul depan menunjukkan foto-foto terkenal dari perang teluk tahun 1990–1991 yaitu foto hancurnya salah satu bunker di Irak oleh rudal Amerika sebagaimana dipotret dari pesawat pembom. Tidak disangsikan lagi bahwa foto tersebut merujuk ke deklarasi terkenal teoris posmodern Perancis, Jean Baudrillard, yang mengklaim bahwa perang teluk tidak pernah terjadi (the gulf war didn’t happen). Dengan kata lain cover tersebut menyatakan bahwa buku
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
75
ini adalah tentang posmodernisme. Bab pertama buku ini (hlm.15–26) memperkenalkan para pionir yang memakai istilah postmodernism di dalam berbagai bidang yaitu John Watkins Chapman (pelukis), Arnold Toynbee (sejarawan), C. Wright Mills (sosiolog), Thomas Docherty (budayawan), Joseph Hudnut (arsitek), Daniel Bell (futurolog). Bagian kedua (hlm.27–88) membahas basis filsafat dari posmodernisme. Sim memetakan genealogi filosofis posmodernisme dimulai dari Immanuel Kant, diteruskan ke para pemikir alirah Hegelian, kaum eksistensialis, Marxis, sampai era proliferasi sub-kategori filsafat posmodern seperti dekonstruksionis dan feminisme. Bagian ketiga (hlm.89–150) mengulas tentang sosiologi dan politik posmodernisme. Sim merangkumkan bagaimana filsafat posmodernisme telah mengubah pola pikir feminis, teori sosial dan teori politik. Bagian ini diakhiri dengan polaritas antara teori fatalis Francis Fukuyama dan Samuel Huntington. Bagian keempat (hlm.151–185) membahas ilmu dan teknologi yang berkembang di era posmodern. Sim memulai dari perkembangan metodologis pasca Thomas Kuhn dan kemudian memberikan contoh dalam perdebatan akan teori kaos dan kompleksitas. Bagian ini ditutup dengan perdebatan tentang validitas berbagai ilmu dan teknologi posmodernisme, dimana keduanya mempunyai persoalan dalam hal otoritas ilmu. Bagian kelima (hlm.185–250) mengungkapkan perkembangan budaya dan seni posmodernisme. Bagian ini adalah bagian yang mencakup disiplin ilmu yang paling luas. Sim mencoba merangkumkan perkembangan posmodernisme di dalam arsitektur, sastra, seni visual, film, media dan musik hanya dalam 65 halaman. Bagian yang menurut saya paling menarik adalah ketika Sim mendiskusikan oposisi antara dua pandangan fatalis Francis Fukuyama dan Samuel Huntington dalam menanggapi kasus hancurnya gedung World Trade Center di tangan teroris (hlm.146–147). Sim menuduh keduanya masih terjebak dalam argumen narasi besar (grand narrative). Keduanya melupakan berbagai dinamika skala mikro yang secara kumulatif merupakan penyebab berbagai ‘ledakan perubahan’ dalam skala makro. Sangat disayangkan bahwa Sim sendiri sesungguhnya secara tidak sadar terjebak dalam narasi besar itu sendiri. Format buku ini sebagai buku teks adalah sangat tradisional. Pembaca dapat membaca satu bagian tanpa harus membaca bagian sebelumnya. Buku ini memakai terlalu banyak kutipan-kutipan panjang sehingga malah mirip kamus. Sim mungkin ingin memakai prinsip posmodernisme yang selalu menekankan proses daur ulang (recycling) terhadap materi lama. Akibatnya mahasiswa yang membaca buku ini kemungkinan akan menganggap bagian paling berguna adalah kosakata (glossary) yang sesungguhnya hanyalah kutipan dari kamus posmodernisme yang Sim pernah tulis dulu (1999). Sebagai sebuah karya tulis, buku ini adalah hasil yang cukup mengecewakan dari tangan seorang penulis veteran. Sesungguhnya kita tidak dapat menyalahkan Sim sepenuhnya akan kegagalannya memperkenalkan posmodernisme dengan baik. Harus diakui bahwa format buku cetak memang mendorong penulis untuk tetap memakai format komunikasi naratif yaitu linear, konklusif (buku Sim mempunyai bagian kesimpulan, hlm.251–254), dan yang paling penting, otoritatif. Walaupun buku itu sendiri relatif tidak tebal, baik daftar kepustakaan maupun acknowledgment buku ini sangat komprehensif dan sangat terperinci seperti layaknya buku teks tradisional.
76
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Hal-hal seperti inilah yang sesungguhnya tidak mencerminkan posmodernisme. Mungkin persembahan Sim ini akan lebih efektif seandainya tidak dituangkan dalam bentuk buku melainkan dalam bentuk yang multi-linear seperti situs internet (website) misalnya. Pembaca akan lebih mudah mengakses informasi yang mereka inginkan tanpa harus didikte alur pikirannya oleh si penulis. Sim mencoba menjelaskan bahwa unsur ironi (irony), seperti yang ia cantumkan di judul buku, mendeskripsikan bagaimana posmodernisme mampu membongkar berbagai kekurangan proyek modernitas tetapi tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk mengatakan bahwa modernitas itu baik atau buruk bagi umat manusia. Pembaca yang kritis mungkin akan menganggap bahwa yang ironis adalah bahwa buku Sim itu sendiri memakai perkakas modernisme (buku) dalam menjelaskan posmodernisme. Buku Sim ini memang sebuah narasi seperti yang disinggung di judulnya. Buku ini bukan tentang sejarah postmodernisme dan bukan pula sebuah sejarah postmodern, melainkan hanya sebuah sejarah.
Referensi Best, S. dan D. Kellner 1991 Postmodern Theory: Critical Interrogations. New York: Guildford. Bertens, H. 1995 The Idea of the Postmodern: A History, London and New York: Routledge. Connor, S. 1989 Postmodernist Culture: An Introduction to Theories of the Contemporary, Cambridge, MA: Basil Blackwell. Jencks, C. 1996 What is Post-Modernism? (4th Ed.). Washington, DC: National Book Network. Pefanis, J. 1991 Heterology and the Postmodern: Bataille, Baudrillard, and Lyotard. Durham: Duke University Press. Rose, M.A. 1991 The Post-Modern and the Post-Industrial. Cambridge: Cambridge University Press. Sarup, M. 1993 An Introductory Guide to Post-structuralism and Postmodernism. Athens: University of Georgia Press. Sim, S. 1992 1995 1996 1999 2001
Beyond Aesthetics: Confrontrations with Poststructuralism and Postmodernism. Toronto: University of Toronto Press. A-Z Guide to Literary and Cultural Theorists. Prentice Hall. Jean-Francois Lyotard. Prentice Hall. Routledge Critical Dictionary of Postmodern Thought. London and New York: Routledge. The Routledge Companion to Postmodernism. London and New York: Routledge.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
77
Coppel dan Studi Etnik Cina di Indonesia
Studying Ethnic Chinese in Indonesia Penulis: Charles A. Coppel Singapore: Singapore Society of Asian Studies 2002, ix + 410 hlm. + bibliografi
Ditinjau: Eddy Prabowo Witanto (Program Studi Cina FIB-UI) Menyoal etnik Cina di Indonesia serasa tidak akan ada habisnya. Entah mengapa, golongan etnis ini selalu menarik untuk dikaji, baik dari sudut ekonomi, politik, sejarah, kesusastraan, dan budaya. Salah satu pengamat yang sebenarnya telah lama menekuni soal-menyoal etnik Cina di Indonesia adalah Charles A. Coppel dari Jurusan Sejarah Universitas Melbourne, Australia. Minat kajian utamanya adalah studi politik Indonesia dan masalah-masalah Cina perantauan (Coppel 1983:vii). Setelah buku pertamanya berjudul Indonesian Chinese in Crisis (1983; dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia 1994), ia muncul kembali dengan Studying Ethnic Chinese in Indonesia (2002), sebuah buku yang memuat 23 essai —terbagi dalam empat kelompok—yakni Studying Chinese-Indonesian, Culture and Society, Confucian Religion, dan State and Diaspora. Meski dalam satu mainstream, kedua buku tersebut sangat berbeda jauh. Pertama, Indonesian Chinese in Crisis merupakan sebuah buku tunggal yang secara komprehensif bertutur tentang etnik Cina di Indonesia dari sisi politico-historis, terutama sejak masa Orde Lama hingga masa-masa awal Orde Baru. Sedang Studying Ethnic Chinese in Indonesia merupakan kumpulan esai yang bertutur mengenai pasang surut etnik Cina di Indonesia masa-masa awal Orde Baru (1960-an) hingga awal tahun 2000an. Berbagai essai ini ditulisnya sejak awal tahun 1970-an (dua tahun setelah Soeharto menjadi Presiden RI) hingga tahun 2001 (tiga tahun setelah Soeharto lengser). Pantaslah apabila ia menyatakan ‘... written over more than three decades’ dan ‘... have been published in ten different countries’ (hlm. 2). Kedua, cakupan minat kajian Coppel yang meluas, tidak hanya dari sisi politico-historis sebagaimana tampak pada bukunya yang pertama, namun mengarah pula pada tema-tema religi Konfusian, budaya, dan diaspora, sebagaimana diakuinya ‘... the subject matter of my research has also broadened and diversified over time’; antara ‘... the study of Confucian religion ...’ dan ‘ ... the Malay language and literature of the peranakan Chinese of Java’ (hlm. 3). Persoalan identitas kesukubangsaan menjadi tema yang terus menguat di tahun-tahun belakangan ini, setelah sekian banyak konflik horisontal ternyata melibatkan basis identitas atau simbol-simbol kesukubangsaan. Di tengah menguatnya persoalan identitas itu, perubahan yang terjadi pada etnik Cina di Indonesia menarik dikemukakan sebagai gambaran dinamika sosial
78
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
yang terjadi dalam hubungan antaretnik (Setiawan 2001:32), terlebih setelah Kerusuhan Mei 1998 yang seolah membuka mata kita bahwa ternyata masih ada persoalan yang belum terpecahkan di antara dua kelompok ini, antara etnik Cina dengan sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya. Karena itu, dilekatkanlah label Masalah Cina sebagai suatu pembenaran bahwa konflik itu memang ada, dan karena rentan serta setiap saat dapat saja terjadi, maka Masalah Cina sering digambarkan sebagai bahaya laten. Berbagai terminologi kemudian digunakan para peneliti untuk menyebutnya, seperti Majority-Minority Problems oleh Mely G. Tan (1974) dan The Chinese Problems oleh A. J. Muaja (1958). Dari berbagai diskusi dan seminar, nampak bahwa sebagian besar pertanyaan masyarakat selalu terpulang pada asal-usul permasalahan, ‘bagaimana dan mengapa bisa terjadi?’ Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini, meski sebagian besar peneliti meyakini adanya dua sumber konflik utama, yaitu persaingan di bidang ekonomi dan perebutan kekuasaan (Warnaen 2002:36– 37); terlebih jika makin menyudut pada permasalahan siapa yang penduduk asli dan siapa yang pendatang. Rentannya permasalahan yang bermuara pada dua sumber tadi akan makin menarik jika kita menempatkannya pada bidang historical line, karena akan terpetakan bahwa permasalahan yang ada ternyata bukan hanya sebatas konflik horisontal saja, melainkan juga terjadi konflik vertikal, antara etnik Cina dengan penguasa. Konflik vertikal ini bukan hanya terjadi pada masa Orde Lama hingga sekarang, melainkan telah terjadi sejak masa Kolonial Belanda (lihat Lohanda 2002). Dengan demikian terpaparlah trikotomi konflik penguasa/pemerintah—etnik Cina— mayoritas masyarakat Indonesia. Tahun 1960–1970 agaknya menjadi masa-masa yang paling tidak menguntungkan bagi etnik Cina di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang terjadi selama periode itu agaknya telah dipicu oleh serentetan peristiwa yang telah berlangsung sebelumnya. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1958 Pemerintah telah mengeluarkan seperangkat peraturan bagi etnik Cina, terutama dalam hal penentuan kewarganegaraan, dimulai dengan adanya perjanjian tentang dwi kewarganegaraan bagi etnik Cina di Indonesia yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Cina. Hal ini dilakukan karena adanya perbedaan sudut pandang kewarganegaraan seseorang antara Indonesia (ius soli) dan Cina (ius sanguinis). Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang didirikan tahun 1954 juga mengakomodir keinginan etnik Cina untuk mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI dan membantu proses naturalisasi itu. Pada bulan November 1959 muncul Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 yang berisi tentang larangan bagi warganegara asing untuk berdagang kecil eceran di luar daerah tingkat I, II, dan Karesidenan. Peraturan ini didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno tanggal 14 Mei 1959 No.2933/M, yang melarang orang asing membuka toko-toko eceran di daerah pedesaan (di bawah tingkat kabupaten) (BKMC-BAKIN 1979:301–305). Dalam prakteknya, orang-orang asing yang terkena larangan itu hampir semuanya orang Cina, karena perdagangan eceran tingkat desa terutama di Jawa, seluruhnya berada di tangan mereka. Kondisi ini menyulut berbagai reaksi keras dari masyarakat karena kenyataan kondisi di lapangan sangat berbeda dari apa yang disyaratkan dalam peraturan tersebut, yaitu bahwa semua orang Cina dan keluarganya —tidak peduli apakah mereka sudah berkewarganegaraan Indonesia atau belum—
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
79
untuk pindah ke kota-kota besar. Jika pada masa 1958–1960 terjadi upaya ‘pisah—giring—tindak’ bagi etnik Cina warganegara asing, maka periode 1960–1965 boleh dikatakan menjadi awal periode ketakmenentuan bagi etnik Cina warganegara Indonesia, yaitu dengan terjadinya Kerusuhan anti-Cina 10 Mei 1963, dimulai dari daerah Cirebon, Bandung, dan meledak di Sukabumi, kemudian meluas hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncaknya terjadi pada masa 1965–1970, ketika terjadi Peristiwa G30S/PKI dan kemudian diikuti oleh pelbagai tuduhan terhadap Baperki yang dianggap kekiri-kirian dan proBeijing, apalagi setelah merebaknya selentingan bahwa kudeta tersebut didukung oleh pasokan senjata dari Partai Komunis Cina (PKC). Berbagai prasangka terhadap etnik Cina di Indonesia agaknya makin dipertegas oleh banyaknya peraturan-peraturan yang membelit mereka. Dua isu utama yang termaktub dalam berbagai peraturan ini adalah (1) upaya memutus hubungan dan afiliasi terhadap negeri leluhur dan (2) pembentukan identitas dan karakter sebagai warganegara Indonesia. Pembentukan character building terhadap etnik Cina ini kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain konsep asimilasi, membekali mereka dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), pemutusan afiliasi religi dan budaya. Berbagai peraturan dan kebijakan inilah yang sekarang sedang berusaha digugat oleh sekelompok aktivis. Kondisi hampir serupa tampaknya harus dihadapi kembali oleh mereka pada tahun 1998, ketika mereka dihadapkan pada satu bentuk kerusuhan massal anti-Cina. Terhadap dua periode krisis ini, Coppel menyatakan bahwa ‘Although the accusation against ethnic Chinese of lack of patriotism appears superficially to have some continuity across three decades, its modalities have changed. Whereas in the 1960s they suspect for their assumed political sympathies with the communist goverment in Beijing, in 1990s it is the worldwide Chinese diaspora which brings their identification with Indonesia into doubt’ (hlm. 21). Berbagai faktor eksternal yang kurang menguntungkan ini agaknya menjadi trauma bagi sebagian besar etnik Cina di Indonesia, apalagi sekarang hampir 90% dari mereka bukan lagi etnik Cina totok , melainkan peranakan yang telah terasimilasi begitu rupa. Memang tidak dapat disangkal bahwa faktor internal mereka juga berubah, pun tak selayaknya kita menyamaratakan mereka sebagai satu kelompok homogen, karena mereka juga berasal dari berbagai kelompok dialek yang berpengaruh pada varian-varian kebudayaan Han, induk kelompok suku bangsa mereka (Bab 7 hlm. 106–123). Terlepas dari adanya intervensi faktor eksternal dalam berbagai konflik yang mereka alami, terdapat satu hal yang harus dicermati, yaitu bahwa berbagai konflik vertikal-horisontal yang dialami etnik Cina agaknya membawa mereka pada satu kesadaran baru, seolah diingatkan kembali bahwa bagaimanapun juga mereka adalah etnik Cina. Hal ini makin menguat setelah tahun 1998, ketika mereka makin menampakkan rupa baru sebagai generasi muda yang sedang berada dalam proses re-sinifikasi melalui berbagai bentuk dan model atribut kecinaannya. Tampaknya kita masih harus menunggu upaya Coppel selanjutnya dalam men-xuanming atau meramal apa yang akan terjadi pada etnik Cina di Indonesia, terutama pada tingkat generasi muda. Membaca buku ini tidak ubahnya seperti kita membuka kembali ingatan kita akan masalah Cina di Indonesia. Tentu saja tidak semua permasalahan tentang etnik Cina terjawab dalam buku ini. Namun demikian, ada beberapa hal yang harus kita cermati, pertama bahwa konflik anti-Cina
80
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
di Indonesia senantiasa berakar pada kompetisi yang terjadi di akar bawah, meski berbagai tindak kekerasan acapkali tidak nyata-nyata berhubungan dengan kompetisi ekonomi (hlm. 19). Kedua, bahwa diskriminasi terhadap etnik Cina bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia (hlm. 24). Ketiga, bahwa etnik Cina di Indonesia adalah komunitas yang sangat heterogen meski memiliki satu akar budaya Han yang sama. Heterogenitas ini dibentuk oleh dan bergantung pada lamanya mereka menetap dan tingkat akulturasi dengan budaya setempat (lihat Bab 7). Dalam menimbang buku karya Coppel ini kiranya ada beberapa hal yang harus dicatat. Pertama, buku ini merupakan kumpulan berbagai karangan yang ditulis dalam rentang masa 30 tahun, karena itu Coppel menyarankan agar kita berhati-hati untuk senantiasa menempatkannya dalam konteks masa ketika tulisan itu dibuatnya. Rentang masa ini seolah membawa kita menapaki satu persatu topik dan peristiwa yang terjadi pada masa itu, tentu dengan sudut-sudut pandang yang berbeda. Kehati-hatian ini amat diperlukan, apalagi karena ia tidak mengurutkan paparan berdasarkan historical map, namun mengelompokkannya pada topik-topik tertentu, sehingga kadang terlihat tumpang-tindih antara satu pembahasan dengan pembahasan lain. Kedua, buku ini bukanlah satu tulisan utuh, oleh karenanya terdapat berbagai topik yang disajikan. Beberapa pembaca tentu bisa menilainya sebagai tulisan-tulisan yang tidak atau kurang tuntas, terlebih bagi mereka yang awam terhadap masalah Cina di Indonesia. Oleh karena itu mungkin dapat disarankan agar masyarakat awam membaca dahulu buku Coppel yang pertama— yaitu Indonesian Chinese in Crisis—sebelum membaca buku ini, sehingga terbentuk satu konteks pemikiran dan pemahaman akan topik yang dihadapi. Dibanding bukunya yang pertama, buku ini tak ubahnya seperti kumpulan serpihan (cookies) akan berbagai topik yang sudah ia bahas sebelumnya, namun dalam spektrum yang lebih luas. Di pihak lain, melalui berbagai topik itu kita dapat menilai sejauh mana tingkat pemahaman Coppel akan masalah-masalah yang ada. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, sebagai satu sumbangan terhadap kajian Masalah Cina di Indonesia, buku ini dapat menjadi referensi terhadap berbagai masalah yang kita hadapi hingga hari ini.
Referensi Badan Koordinasi Masalah Cina, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BKMC-BAKIN) 1979 Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia: Buku 1 . Jakarta: BKMC-BAKIN. Coppel, C.A. 1983 Indonesian Chinese in Crisis. ASAA Southeast Asian Publication Series No.8. Kulala Lumpur: Oxford University Press. Lohanda, M. 2002 Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890–1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Muaja, A.J. 1958 The Chinese Problem in Indonesia. Jakarta: New Nusantara. Setiawan, B. 2001 ‘Tionghoa: Dialektika Sebuah Etnis’, Kompas 14 Maret, hlm. 32.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
81
Tan, M.G. 1974 ‘Majority–Minority Situations: Indonesia’. Makalah disajikan pada The Conference on ‘Majority–Minority Situations in Southeast Asia’. ASAIHL. Marawi City: Mindanao State University, 8–10 Mei. Warnaen, S. 2002 Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa.
Feminisme Perempuan Bakul
Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan Penulis: Irwan Abdullah Yogyakarta: Tarawang Press 2001, 222 hal +xvi; 1,2 cm
Ditinjau oleh: Febi Indirani1 Isu gender dan feminisme (gerakan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan menekankan perempuan sebagai subjek) seringkali dianggap sebagai wacana yang datang dari barat dan cenderung dianggap elitis. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Dalam bukunya, Irwan Abdullah membuktikan bahwa gerakan feminis tersebut ada pada strata masyarakat terendah dan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu kalangan perempuan bakul (pedagang) di desa Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Dalam bukunya, penulis menggambarkan upaya perempuan yang bergerak dari sektor domestik ke sektor publik dengan berperan aktif dalam kegiatan perekonomian. Hal ini tak dapat dilepaskan dari menyempitnya lahan pertanian di wilayah pedesaan sehingga perempuan tersingkir dari kegiatan pertanian yang dikuasai laki-laki. Mengingat hasil pertanian yang sangat tergantung pada musim, perempuan lalu bekerja pada sektor-sektor off-farm (di luar pertanian) untuk meningkatkan ekonomi keluarga seperti berdagang di pasar, dan bekerja menjadi buruh pada industri rumah tangga kerajinan. Dengan memiliki kekuatan ekonomi—karena mendapat uang secara teratur setiap hari— perempuan memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga dan kepentingannya sendiri. Pembagian kerja dalam rumah tangga perempuan bakul mengalami pergeseran. Dengan ikut andilnya perempuan dalam ekonomi keluarga, urusan domestik seperti pekerjaan rumah tangga dan pengurusan anak juga mulai dilakukan bergantian dengan suami mereka meski dalam kenyataannya perempuan masih melakukan peran ganda yaitu berdagang, mengurus rumah tangga, membantu kegiatan pertanian dengan jam kerja yang sangat panjang (hlm.142). 1
Adalah peserta dalam Critical Review Training yang diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia, FIB UI dan Ford Foundation pada tanggal 7–12 April 2003, di Kampus FISIP UI, Depok. Artikel ini merupakan hasil revisi dari kegiatan tsb.
82
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Penelitian Irwan mengungkapkan bagaimana perempuan bakul memiliki kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi. Berdagang ternyata dapat meningkatkan status perempuan sebab dengan begitu mereka memiliki kemampuan secara ekonomi, memiliki kepercayaan diri karena meningkatnya andil mereka dalam ekonomi rumah tangga, dan memiliki kepuasan pribadi dengan menjalin relasi sosial dengan teman-teman sesama bakul. Imbalan ekonomi dari kegiatan berdagang kecil-kecilan itu memang tidak memberikan penghasilan yang besar. Namun, berada di luar rumah dan di luar pertanian dalam beberapa jam sehari telah memberikan kepuasan lain bagi perempuan. Dengan berdagang perempuan menemukan jaringan dan kelompok yang memberikan ruang ekspresi diri (hlm.xi). Buku ini merupakan kumpulan makalah dan hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap perempuan pedagang dan perempuan yang bekerja sebagai buruh di industri rumah tangga kerajinan di pedesaan Jawa Tengah. Terdiri atas sebelas bab yang dikelompokkan menjadi empat bagian (Pengantar wacana, Perempuan dalam Wacana sosial, Perempuan dalam Realitas Ekonomi dan Epilog), kumpulan tulisan ini dirangkum dalam judul besar Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Penulis bertolak dari refleksinya mengenai perempuan dalam wacana sosial dan perempuan dalam realitas ekonomi. Irwan mengungkapkan berbagai wacana mengenai persoalan gender sebagai entitas yang dinamis yang dapat mengalami redefinisi dan rekonseptualisasi berdasarkan ruang dan waktu. Untuk itu pembagian peran perempuan dan laki-laki sesungguhnya bukanlah suatu konsep mati namun dapat bergeser seiring dengan perubahan situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam merefleksikan kondisi perempuan dalam realitas sosial, Irwan memaparkan bagaimana penempatan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek dilestarikan melalui berbagai bentuk wacana dan sarana. Satu hal yang sering ditekankan penulis adalah sesungguhnya perempuan mengalami ketertindasan oleh sistem yang dipertahankan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan yang memiliki kekuatan ekonomi dan atau strata sosial lebih tinggi. Pada bagian lain penulis mengkritik politisi, peneliti kajian perempuan dan bahkan kaum feminis yang sangat ingin memperjuangkan kepentingan perempuan. Menurut penulis, kesalahan utama yang dilakukan mereka adalah mereproduksi struktur patriarkal dengan menekankan ketimpangan gender dengan mengedepankan wacana pemberdayaan perempuan, ketegangan perempuan, dan perempuan sebagai makhluk yang lemah. Irwan menyatakan bahwa kaum feminis pun cenderung tidak dapat memahami perempuan meskipun mereka berusaha mewakili kaum perempuan. Para feminis berkaca pada kekuatankekuatan mereka sendiri yang merupakan kekuatan segelintir orang yang memiliki kapital sosial dan kapital ekonomi untuk menjadi perempuan seperti yang diinginkan mereka sendiri. Karena itu, hal tersebut tidak membantu meningkatkan kesejahteraan perempuan sama sekali dengan kebutaan kita terhadap ‘apa yang sesungguhnya’ diinginkan oleh perempuan (hlm.28).
Perempuan berdagang: suatu upaya menjadi subjek Menarik melihat penulis berhasil mengungkapkan sebuah realitas bagaimana upaya perempuan bergerak menjadi subjek ekonomi dan tidak sekadar objek. Hal ini disebut penulis sebagai perumusan kembali eksistensi perempuan, setelah penulis mengungkapkan posisi
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
83
perempuan dalam wacana sosial dengan basis hipotesis bahwa eksistensi perempuan selalu terpinggirkan dalam sistem kemasyarakatan. Irwan hendak membuktikan bahwa peran perempuan dalam ekonomi dapat merupakan jalan bagi mereka untuk merebut ruang eksistensi. Sebagaimana yang diungkapkan penulis dalam kata pengantarnya, bagaimanapun berdagang telah merupakan ranah kekuasaan yang memberikan perempuan ruang untuk manuver, paling tidak untuk keluar dari ranah yang terdominasi oleh laki-laki yakni rumah dan pertanian tempat perempuan desa pada umumnya dalam menghabiskan sebagian besar waktunya. Hal tersebut penting untuk diungkapkan, mengingat aktualisasi diri bagi perempuan bekerja biasanya hanya dibicarakan dalam konteks perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Sementara wacana perempuan bekerja pada strata ekonomi bawah umumnya hanya menyentuh keterpaksaan perempuan untuk menjalani peran ganda —bekerja pada sektor publik dan domestik sekaligus— karena desakan kebutuhan ekonomi. Namun, berdasarkan penelitian Irwan, ternyata kebutuhan aktualisasi diri dan berhubungan dengan dunia luar adalah faktor yang lebih penting yang menyebabkan perempuan bakul menikmati pekerjaannya meski dengan penghasilan yang tak seberapa. Meskipun demikian, sebetulnya menarik untuk ditelaah lebih jauh apakah posisi tawar perempuan bakul dalam pengambilan keputusan—terutama bila terjadi perbenturan kehendak dengan suami— juga meningkat seiring dengan kemampuan mereka memperoleh uang. Hal ini penting untuk diketahui mengingat persoalan ketimpangan gender juga tidak semata merupakan persoalan ekonomi tetapi juga terkait dengan faktor-faktor lain seperti agama dan budaya Bagaimanapun budaya masyarakat Jawa yang menuntut kepatuhan istri kepada suami, swarga nunut neraka katut adalah budaya yang sudah mengakar kuat dan sulit untuk dihilangkan. Sayangnya penelitian Irwan memang belum sampai mengungkap sedalam itu. Mungkin penelitian ini dapat dilanjutkan, baik oleh Irwan maupun peneliti-peneliti lainnya. Satu hal yang juga patut mendapat perhatian, sebagaimana kondisi yang dialami perempuan bekerja pada umumnya, perempuan bakul tetap mengalami beban yang lebih berat daripada suaminya. Selain berdagang, mereka masih harus membantu kegiatan pertanian suaminya dan melakukan kerja-kerja domestik yang semuanya harus dijalani sekaligus. Hal ini sesungguhnya menimbulkan persoalan dan ketertindasan baru bagi perempuan. Untuk itu, Irwan memberikan kritik bahwa upaya menarik perempuan ke wilayah publik seringkali justru memberikan beban ganda bagi perempuan. Cara-cara semacam ini menurut Irwan sesungguhnya ikut mereproduksi realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, bahwa bidang publik dinilai lebih tinggi daripada bidang domestik. Penulis beranggapan ada yang lebih penting dari meningkatkan partisipasi perempuan di ruang publik, yakni bagaimana meningkatkan partisipasi laki-laki pada ruang domestik. Sayangnya Irwan juga tidak memberikan lebih banyak penjelasan mengenai langkahlangkah konkret apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi laki-laki dalam ranah domestik tersebut. Luasnya pengetahuan penulis dalam persoalan gender memang tak diragukan lagi. Penulis sudah terbukti cukup konsisten dalam kepeduliannya terhadap persoalan tesebut. Beberapa karya lain bertema gender dari Irwan yang telah diterbitkan adalah Reproduksi Ketimpangan Gender (1995), Dilema Wanita (1996), dan Sangkan Paran Gender (1997). Namun dalam buku ini sepertinya penulis mempunyai kesulitan untuk menata ulang gagasan karena terlalu banyak hal yang hendak dipaparkannya dalam satu tulisan.
84
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Gagasan-gagasan menarik penulis tersebar di berbagai bab tanpa diupayakan untuk mengerucut ke suatu pemikiran utama yang hendak ditonjolkan. Pembaca mungkin akan mengalami kesulitan menangkap fokus dari buku ini karena secara keseluruhan tidak tampak sebuah rajutan apik yang menjalin pokok-pokok pemikiran antar bab. Hal ini kemungkinan besar disebabkan setiap bab memang merupakan tulisan yang terpisah dan ditulis dalam kurun waktu yang berbeda antara 1991–1999. Akibatnya, beberapa poin juga kadang tumpang tindih dan mengulang-ulang antara bab yang satu dengan bab lain. Terlepas dari semua itu, artikel-artikel dalam buku ini tetap mencerminkan cukup matangnya wawasan penulis dalam bergelut dengan wacana gender. Karena itu, banyak pula informasi dan masukan kritis yang dapat diperoleh baik oleh pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang persoalan ketidakadilan gender maupun bagi para aktivis perempuan dan peneliti kajian perempuan. Lebih dari itu sebagai laki-laki yang sebenarnya lebih diuntungkan dalam ketimpangan struktur gender, ia memiliki empati yang kuat akan persoalan-persoalan yang dialami perempuan dan dengan tak segan pula memberikan kritik pedas terhadap kaumnya. Meski demikian Irwan menekankan bahwa bukanlah laki-laki yang harus dilawan melainkan stuktur dan sistem yang timpang dan seringkali dilestarikan tidak hanya oleh laki-laki tapi juga oleh perempuan sendiri.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
85