Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
TINGKAT PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN
Wiryanto1* dan Sudewi2 1
Lab. Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia 2 Lab. Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Tjut Nyak Dien, Medan 20123, Indonesia *Corresponding author email:
[email protected]
Abstrak Latar belakang: Praktik kefarmasian di apotek dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota medan. Metode: Penelitian dilakukan dengan cara membagikan kuesioner secara langsung ke 100 apoteker penanggungjawab apotek di kota Medan. Data adalah identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan standar dengan masing-masing skala tiga poin, 0, 2, dan 4 pada setiap elemennya. Tingkat pemenuhan standar terdiri dari kriteria berdasarkan poin kumulatif, dan berdasarkan rerata poin dari masingmasing 5 aspek standar, profesionalisme, manajerial, dispensing, asuhan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan masyarakat, digambarkan dalam diagram jaring laba-laba (spider web). Hasil penelitian: Rerata poin kumulatif tingkat pemenuhan standar praktik beberapa apotek di kota Medan mencapai 72,4 poin, dengan kisaran 14-148 poin. Untuk capaian rerata poin masing-masing aspek standar, profesionalisme mencapai 1,91 poin; manajerial mencapai 2,78 poin; dispensing mencapai 0,94 poin; asuhan kefarmasian mencapai 0,81 poin; dan pelayanana kesehatan masyarakat mencapai 1,38 poin. Tingkat pemenuhan standar dipengaruhi oleh faktor-faktor ada tidaknya pekerjaan lain dan besaran imbalan (P<0,05), tidak dipengaruhi faktor-faktor jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset (P>0,05). Kesimpulan: Rerata tingkat pemenuhan standar praktik beberapa apotek di kota Medan termasuk dalam kriteria bawah standar, terdiri dari kriteria bawah standar 25%, kurang 47%, cukup 14% dan baik 14%. Berdasarkan rerata poin aspek standar, profesionalisme mempunyai kriteria bawah standar, manajerial mempunyai kriteria cukup, dispensing dan asuhan kefarmasian mempunyai kriteria sangat tidak layak, dan pelayanan kesehatan masyarakat mempunyai kriteria tidak layak. Kata kunci: pemenuhan standar, kriteria praktik, praktik kefarmasian, apotek, kota Medan.
1. PENDAHULUAN Praktik kefarmasian di apotek di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan dan kaidah-kaidah profesi (Ahaditomo, 2002; Anonim, 2002). Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian dan berperan mencegah kemungkinan terjadinya masalah terkait obat (drugs related problems) dan kesalahan pengobatan (medication error), lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuh puluh persen Apoteker di Sumatera Utara tidak berada di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian (Anonim, 2008) dan 62,5% apoteker di kota Medan hanya hadir 1 kali dalam sebulan (Wiryanto, 2009). Pelayanan
kefarmasian yang ada lebih sebagai transaksi jual beli, di mana apotek tak ubahnya seperti toko yang sekedar menjual komoditas bernama obat tanpa standar mutu, tanpa standar SDM, tanpa standar sarana prasarana, dan tanpa standar proses (Rubiyanto, 2010). Menurut Bahfen (2006), peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur bidang kefarmasian selalu difokuskan pada komoditi, tenaga dan sarana, pelayanan kefarmasian belum dilakukan secara optimal karena berbagai standar yang perlu diterapkan hingga tahun 2003 belum ada. Departemen Kesehatan RI bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk pertamakali pada tahun 2004 151
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
(Menkes RI, 2004), namun hasil penelitian di kota Medan 5 tahun kemudian menyimpulkan bahwa, praktik kefarmasian di apotek masih dilaksanakan sebagaiman tahun-tahun sebelumnya. Obat keras tetap dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko kepada penggunanya, lebih banyak dijual tanpa resep dokter, dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto, 2009). Pada tahun 2009 pemerintah RI menetapkan PP No.51 tentang pekerjaan kefarmasian (Presiden RI, 2009) yang utamanya mengatur tentang syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian. Pada tahun 2014 melalui sebuah penelitian telah disusun standar praktik kefarmasian di apotek yang lebih bersifat komprehensif menyangkut 5 aspek standar (Wiryanto, dkk., 2014). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota Medan.
hari berikutnya. Data berupa identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan elemen-elemen standar praktik kefarmasian dengan masing-masing skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4 pada setiap elemen standar, data diimput kedalam model penentuan tingkat pemenuhan standar (Wiryanto, dkk., 2015). Tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian terdiri dari kriteria tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian, sangat baik: ≥150; baik: ≥130; cukup: ≥110; kurang: ≥80; bawah standar: ≥60; tidak layak: ≥40; dan sangat tidak layak: <40. Dan kriteria tingkat pemenuhan setiap aspek standar berdasarkan rerata poin hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, sangat baik: ≥3,75; baik: ≥3,25; cukup: ≥2,75; kurang: ≥2; bawah standar: ≥1,5; tidak layak: ≥1; dan sangat tidak layak: <1 tergambar dalam sebuah diagram jaring labalaba.
2. METODE Penelitian dilakukan dengan membagikan a. kuesioner kepada 100 apoteker penanggungjawab apotek di kota Medan sebagai responden, dengan pengambilan kuesioner langsung atau pengambilan kembali beberapa
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik Responden Tabel 1. di bawah ini adalah karakteristik dari 52 responden yang mengisi kuesioner secara lengkap:
Tabel 1. Karakteristik Responden Jenis Kelamin
Jumlah
%
Laki-laki Perempuan Ada-tidaknya Pekerjaan Lain Selain APA Ada Tidak ada Jenis Pekerjaan Lain Selain APA Dinkes/BPOM/RS Perguruan Tinggi Farmasi Lain-lain Tidak ada Pengalaman Sebagai APA ≤5 tahun >5 tahun Kepemilikan Apotek Milik Apoteker Milik Pemodal Tidak ada data Frekuensi Kehadiran di Apotek 1-3 kali sebulan 1 kali seminggu 2-3 kali seminggu Tiap hari, pada jam tertentu Selama apotek buka
14 38 Jumlah 41 11 Jumlah 31 6 4 11 Jumlah 20 32 Jumlah 8 41 3 Jumlah 21 8 7 11 5
26,92 73,08 % 78,85 21,15 % 59,62 11,54 7,69 21,15 % 38,46 61,54 % 15,38 78,85 5,77 % 40,38 15,39 13,46 21,15 9,62
152
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
Responden yang mengisi kuesioner penelitian sebanyak 52 orang dari 100 kuesioner yang dibagikan (angka respon = 52%). Kendala yang dihadapi pada pengumpulan data penelitian adalah, sangat sulitnya menjumpai responden di apotek, ketidakadaan waktu responden, dan ketidakbersediaan responden secara pribadi dalam mengisi kuesioner, sehingga angka respon relatif kecil. Merujuk pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa 73,08% responden adalah perempuan, 78,85% di antaranya mempunyai pekerjaan lain selain
sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA), 69,23% tidak hadir setiap hari di apotek, 61,54% mempunyai pengalaman bekerja lebih dari 5 tahun, dan hanya 15,38% memiliki apotek sendiri. 3.2. Kinerja Bisnis Apotek Tabel 2. di bawah ini adalah kinerja bisnis apotek yang ditunjukkan melalui kemampuan apotek mendapatkan omset per hari, dan kemampuan apotek memberikan imbalan kepada apoteker per bulan.
Tabel 2. Gambaran Kinerja Bisnis Apotek Rerata Omset Per Hari (Rp.) ≤ 2.000.000 > 2.000.000 Tidak ada data Besaran Imbalan APA Per Bulan (Rp.) ≤ 2.000.000 > 2.000.000
Merujuk pada pada Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa 40,39% apotek hanya memiliki omset per hari sampai dengan Rp.2.000.000,sementara melalui penelitian sebelumnya diketahui bahwa pada indeks penjualan 1,15 titik impas apotek adalah Rp.2.079.601,- per hari (Wiryanto, 2010). Selanjutnya 69,23% apotek hanya mampu memberikan imbalan kepada apoteker sampai dengan Rp.2.000.000,sementara imbalan minimum bulanan untuk tahun 2015 di Sumatera Utara adalah Rp.4.062.500,- (PD IAI Sumut, 2015). Dari segi bisnis mayoritas apotek mengalami kesulitan, masing-masing melakukan sesuatu dengan caranya sendiri untuk dapat eksis dalam persaingan antar sesama apotek yang cenderung bersifat “kanibalisme”, tanpa ada institusi yang
Jumlah 21 20 11 Jumlah 36 16
% 40,39 38,46 21,15 % 69,23 30,77
menjadi pelindung, pembina dan pengawas untuk memperbaiki situasi. 3.2. Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian ditentukan berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian terhadap 40 elemen standar yang terbagi ke dalam 5 aspek standar: aspek profesionalisme terdiri dari 12 elemen standar, aspek manajerial terdiri dari 12 elemen standar, aspek dispensing terdiri dari 6 elemen standar, aspek asuhan kefarmasian terdiri dari 8 elemen standar, dan aspek pelayanan kesehatan masyarakat terdiri dari 2 elemen standar. Tabel 3. berikut adalah kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan berdasarkan rerata poin kumulatif hasil penilaian.
Tabel 3. Rerata poin kumulatif dan kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan
1 2 3 4 5
Aspek Standar Profesionalisme Manajerial Dispensing Asuhan Kefarmasian Pelayanan Kesmas
Rerata Poin Kumulatif 24,77 33,35 4,69 72,04 6,46 2,77
Kriteria
Bawah standar
153
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
Merujuk pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa rerata kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian menghasilkan poin kumulatif sebesar 72,04 atau termasuk dalam kriteria
bawah standar. Selanjutnya Tabel 4. adalah distribusi kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan.
Tabel 4. Distribusi kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian berdasarkan poin kumulatif Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Kurang Bawah Standar Tidak Layak Sangat Tidak Layak
Jumlah 0 4 4 13 7 0 24
Merujuk pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa paling banyak (46,15%) dari 52 apotek di kota Medan mempunyai kriteria sangat tidak layak dan tidak ada satupun dari 52 apotek
% 0 7,69 7,69 25,00 13,46 0 46,15
tersebut mempunyai kriteria sangat baik. Tabel 5. adalah rerata kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian berdasarkan aspek standar dari 52 apotek di kota Medan.
Table 5. Rerata kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan berdasarkan aspek standar
1. 2. 3. 4. 5.
Aspek Standar Profesionalisme Manajerial Dispensing Asuhan Kefarmasian Pelayanan Kesmas
Rerata Poin 1,91 2,78 0,94 0,81 1,38
Merujuk pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa tidak ada satupun aspek standar yang mempunyai rerata kriteria baik. Aspek manajerial merupakan aspek standar yang pada penilaiannya tidak memperhitungkan kehadiran apoteker, mempunyai rerata kriteria paling tinggi yaitu cukup. Empat aspek standar yang lain merupakan aspek standar yang menjadi otoritas kerja dan kompetensi apoteker, paling tinggi mempunyai rerata kriteria bawah standar, dan aspek dispensing dan asuhan kefarmasian mempunyai rerata kriteria sangat tidak layak. Rendahnya rerata poin Asuhan Kefarmasian juga mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih cenderung berorientasi produk, belum bergeser ke pelayanan berorientasi pasien sebagaimana seharusnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
Kriteria Bawah Standar Cukup Sangat Tidak Layak Sangat Tidak Layak Tidak Layak
dilakukan Cordina at al (2008), di mana para responden memberi skor yang relatif tinggi pada aktivitas yang berkaitan dengan manajemen dan dispensing apotek, mengindikasikan bahwa mereka merasa relatif nyaman dan kompeten untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan banyak fungsi tradisional para apoteker, dan tidak sepenuhnya meyakini bahwa aktivitas Asuhan Kefarmasian merupakan tanggungjawab para apoteker, jauh dari konsep apoteker sebagai penyedia pelayanan kefarmasian berorientasi pasien. Hasil penilaian kelima aspek standar ini merupakan permasalahan profesi apoteker yang harus ditangani secara sangat serius oleh pemangku kepentingan, utamanya kementerian kesehatan beserta jajarannya dan organisasi profesi IAI. Ketidakberhasilan penanganan 154
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
masalah ini berakibat pada semakin tidak eksisnya profesi, yang dapat bermakna sebagai hilangnya masa depan profesi, dan dapat bermakna sebagai hilangnya garda bagi perlindungan pasien untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang aman terkait risiko, efektif terkait khasiat, dan efisien terkait biaya. Selanjutnya gambar 1. berikut adalah tingkat pemenuhan standar yang ditampilkan dari Tabel 5. dalam bentuk diagram jaring laba-laba (spider
web), di mana garis warna merah merupakan poin hasil penilaian dan garis warna biru merupakan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian pada kriteria ideal. Melalui diagram ini dapat dilihat dengan mudah bahwa sepanjang garis warna merah belum berimpit dengan garis warna biru, maka tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian masih belum mencapai kriteria ideal.
Gambar 1. Rerata tingkat pemenuhan aspek standar kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan
3.3. Hubungan Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dengan Karaketeristik responden Hubungan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan karakteristik responden dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS Statistics 17.0. Oleh karena variabel penelitian diukur dengan menggunakan skala pengukuran kategorik, maka sebagai instrumen uji dipilih Chi-Square dengan syarat sel yang mempunyai nilai ekspektasi (expected count) kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Apabila syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka digunakan alternatif uji Kolmogorov-Smirnov (Dahlan, 2004). Hasil analisis statitistik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Merujuk pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa secara statistik variabel ada tidaknya pekerjaan lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena tidak adanya pekerjaan lain, responden mempunyai peluang lebih banyak untuk lebih fokus melakukan praktik kefarmasian dengan lebih baik. Data menunjukkan bahwa 81,82% responden dengan tidak adanya pekerjaan lain menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 53,90% responden dengan adanya pekerjaan lain menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk.
155
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
Tabel 6. Analisis statitistik hubungan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan karakteristik responden Karakteristik Responden Jenis Kelamin Ada tidaknya pekerjaan lain Jenis pekerjaan lain Pengalaman praktik Besaran imbalan per bulan Kepemilikan apotek Omset apotek
Chi-Square
Angka Signifikansi 0,111
Chi-Square
0,042
Instrumen Uji
KolmogorovSmirnov Chi-Square Chi-Square KolmogorovSmirnov Chi-Square
Selanjutnya secara statistik variabel besaran imbalan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P < 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. Data menunjukkan bahwa 87,50% responden dengan imbalan > Rp.2.000.000,- menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 72,22% responden dengan imbalan ≤ Rp.2.000.000,menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk. Selanjutnya variabel-variabel jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P > 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti untuk saat ini perubahan semua variabel-variabel tersebut
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahaditomo. (2002). Standard Kompetensi Apoteker Indonesia. Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut Teknologi Bandung 1947-2002, 28 Juni 2002. 2. Anonim. (2002). Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di Lhokseumawe. Harian Waspada, Medan. 10 September 2002. 3. Anonim. (2008). Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek. Harian Waspada, Medan., 31 Mei 2008. 4. Bahfen, F. (2006). Aspek Legal: Layanan Farmasi Komunitas Konsep “Pharmaceutical Care”. Medisina Edisi Perdana: 18-26 5. Cordina, M., Safta, V., Ciobanu, A.,
Kesimpulan Tidak terdapat hubungan, P > 0,05 Terdapat hubungan,
0,997; 0,066; 0,974 0,065
P < 0,05
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05 Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
0,000
Terdapat hubungan,
P < 0,05
0,086
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
0,087
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
tidak akan mempu meningkatkan kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. 4. KESIMPULAN Tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti juga tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dan etika profesi dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian di beberapa apotek di kota Medan masih sangat rendah. Situasi dan kondisi penyelenggaraan praktik kefarmasian menyangkut 5 aspek standar masih harus terus dibenahi dan ditingkatkan melalui sebuah model pembinaan dan pengawasan secara sistematis, bertahap dan lebih profesional oleh seluruh jajaran Kementerian Kesehatan dan Organisasi Profesi IAI.
6.
7.
8.
9.
Sautenkova, N. (2008). An assessment of community pharmacists’ attitudes towards professional practice in the Republic of Moldova, Pharmacy Practice: 6(1):1-8. Dahlan, MS. (2004). Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan: Uji Hipotesis dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: PT Arkans. Hal. 17-19; 46-56; 61-121; 124-142 Menkes RI. (2004). Kepmenkes RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. PD IAI Sumut. (2015). Surat No.0177/PD.IAI/SUMUT/IV/2015 tentang Imbalan Minimum Bulanan. Medan: PD IAI Sumut Presiden RI. (2009). Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pemerintahan Negara RI. 156
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Jakarta: Lembaran Negara RI tahun 2009 No.124 Rubiyanto, N. (2010). Rekonstruksi Profesi Apoteker: Sebuah Upaya membuat Peta Jalan Menuju Apoteker sebagai Tenaga Kesehatan. [diakses 6 Februari 2011] www.ikatanapotekerindonesia.net/artikel-akonten/intermezzo/1540-rekonstruksiprofesi-apoteker.html Wiryanto. (2009). Kompetensi Apoteker dan Tingkat Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca PUKA Di Kota Medan. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta, 7-8 Desember 2009 Wiryanto. (2010). Peluang Penerapan PP 51 Terkait Titik Impas: Studi Kasus di Apotek Farma Nusantara Medan, Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVIII, Makassar, 10-12 Desember 2010 Wiryanto, Harahap, U., Karsono, and Mawengkang, H. (2014) Community Pharmacy Practice Standards as Guidelines for Pharmacists in Performing Profession in Indonesia. International Journal of Pharmacy Teaching & Practices. 2014: 5(1): 880-886. Wiryanto, Harahap, U., Karsono, and Mawengkang, H. (2015) Model of Determining Criteria for Community Pharmacy Practice in Indonesia. International Journal of PharmTech Research. 2015: 8(5): 1002-1010
.
157